bab ii - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41734/3/jiptummpp-gdl-adibdanurd-48498-3-babii.pdf ·...
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Polisitemia Vera
Polisitemia (eitrositosis) didefinisikan sebagai peningkatan konsentrasi
hemoglobin di atas normal. Polisitemia sejati terjadi bila massa sel darah merah
(red cell mass, RCM) total, yang diukur dengan dilusi sel darah merah yang
berlabel isotop, meningkat di atas normal. Polisitemia palsu/semu (pseudo/stress)
terjadi bila peningkatan konsentrasi hemoglobin disebabkan oleh pengurangan
volume plasma. (Hoffbrand V; 2014)
Pada polisitemia vera (PV), peningkatan volume sel darah merah
disebabkan oleh mieloproliferasi endogen. sifat sel asal dari cacat dikemukakan
pada banyak pasien oleh overproduksi granulosit dan trombosit sebaik sel darah
merah. (Hoffbrand V; 2014)
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi Polisitemia Vera tergantung volume sel darah merah yaitu
Polisitemia Relatif dan Polisitemia Aktual atau Polisitemia Vera, dimana pada
Polisitemia Relatif terjadi penurunan volume plasma tanpa peningkatan yang
sebenarnya dari volume sel darah merah, seperti pada pada keadaan dehidrasi
berat, luka bakar, reaksi alergi. (Child J.A.; 2010)
Sedangkan secara garis besar Polisitemia dibedakan atas Polisitemia
Primer dan Polisitemia sekunder. Pada Polisitemia Primer terjadi peningkatan
volume sel darah merah tanpa diketahui penyebabnya, sedangkan Polisitemia
sekunder, terjadinya peningkatan volume sel darah merah secara fisiologis karena
6
kompensasi atas kebutuhan oksigen yang meningkat seperti pada penyakit paru
kronis, penyakit jantung kongenital atau tinggal didaerah ketinggian dll,
disamping itu peningkatan sel darah merah juga dapat terjadi secara non fisiologis
pada tumor yang menghasilkan eritropoitin seperti tumor ginjal, hepatoma, tumor
ovarium dll. (Child J.A.; 2010)
Tabel 2.1 Perbandingan Uji Laboratorium Polisitemia primer dan polisitemia
sekunder
Polisitemia Vera Polisitemia Sekunder
Masa sel darah merah
Sel darah putih
Basofil
Trombosit
Morfologi trombosit
Ukuran limpa
Alkalin fosfatase lekosit
B12 serum
Gatal
Abnormal
Abnormal
Abnormal
Abnormal
Abnormal
Abnormal
Abnormal
Abnormal
sering
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Jarang
(Child J.A.; 2010)
7
2.3 Patogenesis
Adanya reaktivitas berlebihan pada sinyal Janus Kinase yaitu tirosin
kinase yang berperan dalam proses hematopoetik menyebabkan proliferasi
berlebih pada sel-sel hematopoetik dan juga menstimulasi proses inflamasi
pembuluh darah. Proliferasi berlebih pada sel-sel hematopoetik akan
menimbulkan abnormalitas pada penilaian klinis pasien seperti abnormalitas
hitung darah lengkap dan inflamasi akan memicu timbulnya gejala klinis pada
pasien. (Guyton; 2014)
(Guyton; 2014)
Gambar 2.1 Aktivasi berlebihan pada rantai Janus Kinase
Saat ligan terikat ke reseptor sitokin akan memicu dimerisasi. Jaks yang
terikat pada reseptornya melalui domain SH2, mengalami transposforilasi dan
8
setelah itu memposforilasi STAT / Signal Transducer and Activator of
Transcription. STAT yang teraktivasi akan berdimerisasi dan bertranslokasi ke
nukleus, dengan cara mengaktivasi promotor gen. STAT juga bisa diaktivasi
secara langsung oleh Src kinase. Pada gambar dibawah, Jaks memposforilasi
reseptor dan menciptakan binding site untuk STAT. Saat itu juga, reseptor sitokin
juga mengaktivasi jalur sinyal tambahan yang melibatkan protein seperti Akt dan
ERK. (Guyton; 2014)
(Guyton; 2014)
Gambar 2.2 Sinyal yang diperantarai oleh Jaks.
2.4 Etiologi
Polisitemia Vera merupakan penyakit kronik progresif dan belum
diketahui penyebabnya. Suatu penelitian sitogenetik menemukan adanya kelainan
molekular yaitu adanya kariotip abnormal di sel induk hemopoisis yaitu kariotip
20q, 13q, 11q, 7q, 6q, 5q, trisomi 8, dan trisomi. Namun suatu hipostesis
mengatakan bahwa seseorang yang tinggal di tempat ketinggian mempunyai
9
resiko untuk terkena PV. Kandungan oksigen di lingkungan tempat tinggi
berdampak terhadap kondisi fisiologis seseorang menjadi terganggu. Dampak
rendahnya oksigen lingkungan ini mula-mula dirasakan berupa sesak nafas,
selanjutnya yang dirasakan dapat pula berupa adanya semacam halusinasi yang
diakibatkan mulai berkurangnya oksigen yang menuju ke otak. Keadaan semacam
ini sering membawa akibat yang tidak di inginkan. Gangguan tersebut terutama
mulai terasa pada ketinggian 2000 meter dari atas permukaan laut. Tetapi
timbulnya reaksi-reaksi itu tergantung kepada daya tahan dan daya pengesuaian
perorangan. Kondisi tersebut di atas bertambah berat karena timbul dampak lain
dari rendahnya oksigen lingkungan ini, yang berupa meningkatnya jumlah
eritrosit dengan cepat (eritropoeisis) sehingga terjadi polisitemia (kadar eritrosit di
atas harga normal). Polisitemia ini membawa pengaruh munculnya viskositas
(kekentalan darah) meningkat, sehingga aliran darah menjadi lambat dan tekanan
darah menjadi meningkat serta frekuensi denyut jantung meningkat, sehingga
pekerja merasa berdebar-debar jantungnya serta memperparah kondisi hipoksia
otak. (Wernig G; 2011)
10
Tabel 2.2 Penyebab polisitemia
Polisitemia sejati
A. Polisitemia vera
B. Polisitemia familial primer
Sekunder
A. Eritropoietin meningkat secara sesuai
1. Tempat tinggi
2. Penyakit paru kronik
3. Alveolar Hypoventilation.
4. Penyakit jantung kongenital sianotik
5. Varian hemoglobin dengan peningkatan afinitas oksigen
6. Carboxyhemoglobinemia ( Smokers erythrocytosis )
7. Congenital Decreased 2,3 – diphosphoglycerate
B. Eritropoeitin meningkat secara tidak sesuai
1. Penyakit ginjal: hipernefroma, kista ginjal, hidronefrosis
2. Mioma uteri
3. Tumor-tumor lain, misalnya karsinoma hepatoselular, karsinoma bronkial.
Polisitemia relatif (semu)
Deplesi volume plasma
Stress
Dehidrasi
Terapi diuretik
(Hoffbrand A; 2014)
11
2.5 Gejala dan Manifestasi Klinis
PV terjadi setara pada laki-laki dan perempuan, biasanya pada usia di
atas 55 tahun. Peningkatan RCM menyebabkan kompleksi kemerahan dan
konjungtiva merah, hiperviskositas dapat menyebabkan nyeri kepala dan
gangguan penglihatan. Trombosis (misalnya trombosis vena dalam (deep vein
thrombosis, DVT), Budd-Chiari Syndrome, stroke juga disebabkan oleh
hiperviskositas dan peningkatan trombosis. Perdarahan, terutama
gastrointestinal, dapat terjadi. Kelebihan sekresi histamin dari basofil
menyebabkan peningkatan asam lambung dan sering terjadi ulkus peptikum.
Pruritus, biasanya setelah mandi air panas, dan gout yang disebabkan oleh
peningkatan produksi asam urat, juga sering terjadi. (Atul BM; 2014)
2.5.1 Tanda dan gejala yang predominan terbagi dalam 3 fase
a. Gejala awal (early symptoms )
Gejala awal dari Polisitemia Vera sangat minimal dan tidak selalu
ada kelainan walaupun telah diketahui melalui tes laboratorium. Gejala
awal biasanya sakit kepala (48 %), telinga berdenging (43 %), mudah lelah
(47 %), gangguan daya ingat, susah bernafas (26 %), hipertensi (72 %),
gangguan penglihatan (31 %), rasa panas pada tangan / kaki (29 %),
pruritus (43 %), perdarahan hidung, lambung (24 %), sakit tulang (26 %).
(Landsfeldt U; 2014)
b. Gejala akhir (later symptom) dan komplikasi
Pasien Polisitemia Vera mengalami perdarahan / trombosis,
peningkatan asam urat (10 %) berkembang menjadi gout dan peningkatan
resiko ulkus peptikum. (Landsfeldt U; 2014)
12
c. Fase Splenomegali (Spent phase )
Sekitar 30 % gejala akhir berkembang menjadi fase splenomegali.
Pada fase ini terjadi kegagalan Sum-sum tulang dan pasien menjadi
anemia berat, kebutuhan tranfusi meningkat, hati dan limpa membesar.
(Landsfeldt U; 2014)
2.6 Diagnosis
Polisitemia Vera merupakan Penyakit Mieloproliferatif, sehingga dapat
menyulitkan dalam menegakkan diagnosis karena gambaran klinis yang
hampir sama, sehingga tahun 1970 Polycythenia Vera Study Group
menetapkan kriteria diagnosis berdasarkan Kriteria mayor dan Kriteria minor.
Tabel 2.4 Kriteria Diagnosis menurut Polycythemia Vera Study Group 1970
KRITERIA MAYOR KRITERIA MINOR
1. Massa eritrosit : laki-laki >36
ml / kg, perempuan > 32 ml / kg
2. Saturasi Oksigen > 92 %
3. Splenomegali
1. Trombositosis > 400.000 / mm3
2. Lekositosis > 12.000 / mm3
3. Aktivasi Alkali fosfatase lekosit
>100 ( tanpa ada demam / infeksi )
4. B 12 serum > 900 pg / ml atau
UBBC (Unsaturated B12 Binding
Capasity ) > 2200 pg / ml
(Landsfeldt U; 2014)
13
Gambaran Elektrokardiografi pada Polisitemia Vera:
PV biasanya ditandai dengan adanya hiperviskositas dimana terdapat
peningkatan volume plasma dan penurunan saturasi oksigen dalam
eritrosit. Hiperviskositas akan meningkatkan myocardial workload dan
iskemia jaringan. Hal tersebut akan menyebabkan repolarisasi memanjang,
ditandai dengan pemanjangan signifikan parameter repolarisasi (QT-QTc,
Tp-Te, Tp-Te/QT) dan didapatkan Pwave juga memanjang. (Hematol A;
2013)
(Hematol A; 2013)
Gambar 2.3 Gambaran Elektrokardiografi pada Polisitemia Vera
2.7 Faktor resiko
Polisitemia adalah penyakit kronis dan bila tanpa pengobatan
kelangsungan hidup penderita rata-rata 18 bulan. Dengan Plebotomi
kelangsungan hidup 13,9 tahun, dengan terapi kelangsungan hidup 11,8 tahun
dan 8,9 tahun pada penderita dengan terapi klorambusil.
14
Penyebab utama morbiditi dan mortaliti adalah
1. Trombosis, dilaporkan pada 15-60 % pasien, tergantung pada
pengendalian penyakit tersebut dan 10-40 % penyebab utama kematian.
2. Kompilkasi perdarahan timbul 15-35 % pada pasien polisitemia vera dan
6-30% menyebabkan kematian.
3. Terdapat 3-10 % pasien Polisitemia vera berkembang menjadi
mielofibrosis dan pansitopenia.
4. Polisitemia Vera dapat berkembang menjadi leukemia akut dan sindrom
mielodisplasia pada 1,5 % pasien dengan pengobatan hanya plebotomi.
(Hematol A; 2013)
Tabel 2.5 Faktor Resiko
Risk category Risk factors
Low risk Age younger than 60 years and
no history of thrombocytosis and
platelet count lower than
150.000/mm3.
Intermmediate risk Age younger than 60 years and
no history off thrombocytosis and
either platelet count higher than
50.000/mm3 or presence off
cardiovascular risk factors
High risk Age 60 years or older positive
history of thrombosis.
(Tefferi A; 2015)
15
2.7 Terapi Polisitemia:
2.7.1 Flebotomi
Flebotomi adalah terapi utama pada PV. Flebotomi mungkin
satu-satunya bentuk pengobatan yang diperlukan untuk banyak pasien,
kadang-kadang selama bertahun-tahun dan merupakan pengobatan
yang dianjurkan. Indikasi flebotomi terutama pada semua pasien pada
permulaan penyakit, dan pada pasien yang masih dalam usia subur.
Pada flebotomi, sejumlah kecil darah yaitu 0,5 ml darah diambil setiap
hari sampai nilai hematokrit mulai menurun. Jika nilai hematokrit
sudah mencapai normal, maka darah diambil setiap beberapa bulan,
sesuai dengan kebutuhan. Target hematokrit yang ingin dicapai adalah
<45% pada pria kulit putih dan <42% pada pria kulit hitam dan
perempuan.
(Clin, A; 2014)
2.7.1.1 Prosedur Flebotomi yang baik dan benar :
Persiapan Punksi
a. Pilih Tabung vacum yang sesuai
b. Beri label pada tabung
c. Persiapkan alat dan bahan sebelum punksi
2.7.1.2 Prosedur Higiene
a. Cuci Tangan
b. Gunakan sarung Tangan
2.7.1.3 Strategi Komunikasi
a. Mengucapkan salam
16
b. Melakukan pendekatan secara professional
c. Melakukan wawancara untuk konfirmasi data pasien secara
singkat dan lengkap
d. Memberi penjelasan tentang tujuan dan proses pengambilan bahan
pemeriksaan
e. Memberi penyuluhan kesehatan
f. Mengucapkan terimakasih
2.7.1.4 Persiapan Pasien
Pasien dalam keadaan tenang, rilek dan kooperatif dan motivasi :
sakit sedikit, proses cepat dan diberi penjelasan perlu atau tidak untuk
puasa.
2.7.1.5 Posisi Pasien
Pasien duduk atau berbaring dengan nyaman. Pada posisi duduk
lengan diletakkan di atas meja atau tempat tidur, dapat menggunakan
bantal untuk memberikan posisi nyaman. Pada posisi berbaring lengan
diulurkan lurus dari bahu sampai pergelangan tangan. Idealnya posisi
pasien saat pengambilan sampel darah harus dicatat Perbedaan posisi
dapat mempengaruhi hasil.
2.7.1.6 Pemilihan daerah Punksi Vena
Vena yang tepat umtuk pengambilan darah : vena mediana cubiti
(terbaik), vena cephalica atau vena basilica (besar, elastis, bentuk
lurus dan rangsang sakit kurang).
17
2.7.1.7 Pemasangan Touniquet
Torniqut dipasang 2-3 inchi di atas vena yang akan dipungsi (5-10 cm/
4 – 5 jari di atas vena yang akan dipungsi). Pemasangan jangan terlalu
kencang, tidak lebih dari 1 menit dan apabila pungsi vena tertunda,
sebaiknya dilepas terlebih dulu dan dipasang kembali sebelum dilakukan
pungsi.
2.7.1.8 Desinfeksi daerah Punksi
Menggunakan kapas atau kasa yang mengandung alkohol 70%.
Cara pembersihan harus diperhatikan. Ditunggu sampai alkohol
kering sebelum dilakukan pungsi.
a. Pegang spuit menggunakan tangan kanan
b. Periksa jarum, pegang spuit dengan tangan kanan dan ujung
telunjuk pada pangkal jarum
c. Tegangkan kulit dengan jari telunjuk dan ibu jari kiri di atas
pembuluh darah supaya pembuluh darah tidak bergerak
d. Kedalaman jarum masuk pembuluh darah sekitar 1 – 1,5 cm
e. Tusukkan ujung jarum pada vena yang dikehendaki dengan sudut
15-30 derajat
f. Bila darah sudah tampak mengalir kedalam spuit, fiksasilah
g. Lepas torniquet segera setelah darah mengalir, lalu isi spuit
sejumlah yang dikehendaki.
h. Letakkan kapas kering pada tempat pungsi, jarum ditarik pelan-
pelan.
18
i. Lepaskan jarum dari sempritnya dan alirkan kedalam tabung yang
tersedia melalui dindingnya.
2.7.1.9 Pengambilan Darah Vena menggunakan Vacutainer
a. Pegang jarum pada bagian tutup yang berwarna dengan satu
tangan, kemudian putar dan lepaskan bagian berwarna putih
dengan tangan lainnya.
b. Pasangkan jarum pada holder, biarkan tutup yang berwarna tetap
pada jarum.
c. posisi pungsi telah siap, lepaskan tutup jarum yang berwarna.
Lakukanlah pungsi vena seperti biasa.
d. Masukkan tabung ke holder. Tempatkan jari telunjuk dan tengah
pada pinggiran holder dan ibu jari pada dasar tabung mendorong
tabung sampai ujung holder.
e. Lepaskan tourniquet saat darah mulai mengalir ke tabung.
f. Bila kevakuman habis maka pengaliran darah akan terhenti secara
otomatis (Ratnaningsih 2009)
2.7.1.10 Pasca Phlebotomi
a. Membuang jarum bekas ke dalam disposal container khusus untuk
jarum.
b. Memberi label identitas sample pada masing-masing tabung
vakum.
c. Memperhatikan petunjuk khusus specimen.
d. Mengucapkan ucapan terimakasih kepada pasien.
e. Melepaskan sarung tangan dan cuci tangan dengan antiseptic.
19
f. Mendistribusikan specimen sesuai dengan pemeriksaan yang akan
dilakukan.
(Ratnaningsih; 2010)
2.8 Kemoterapi Sitostatika/ Terapi mielosupresif (agen yang dapat mengurangi
sel darahmerah atau konsentrasi platelet)
Tujuan pengobatan kemoterapi sitostatik adalah sitoreduksi.
Lebih baik menghindari kemoterapi jika memungkinkan, terutama pada
pasien uisa muda. Terapi mielosupresif dapat dikombinasikan dengan
flebotomi atau diberikan sebagai pengganti flebotomi. Kemoterapi yang
dianjurkan adalah Hidroksiurea (dikenal juga sebagai hidroksikarbamid) yang
merupakan salah satu sitostatik golongan obat antimetabolik karena dianggap
lebihaman, tetapi masih diperdebatkan tentang keamanan penggunaan jangka
panjang. Penggunaan golongan obat alkilasi sudah banyak ditinggalkan atau
tidak dianjurkan lagi karena efek leukemogenik dan mielosupresi yang serius.
Walaupun demikian, FDA (Food and Drugs Administration) masih
membenarkan klorambusil dan Busulfan digunakan pada PV.Pasien dengan
pengobatan cara ini harus diperiksa lebih sering (sekitar 2 sampai 3
minggusekali). Kebanyakan klinisi menghentikan pemberian obat jika
hematokrit: pada pria < 45%dan memberikannya lagi jika > 52%, pada wanita
< 42% dan memberikannya lagi jika >49%.
2.9 Fosfor Radiokatif (P32)
Isotop radioaktif (terutama fosfor 32) digunakan sebagai salah satu
cara untuk menekansumsum tulang. P32 pertama kali diberikan dengan dosis
20
sekitar 2-3mCi/m2 secar intravena,apabila diberikan per oral maka dosis
dinaikkan 25%. Selanjutnya jika setelah 3-4 minggupemberian pertama P32:
a. Mendapatkan hasil, reevaluasi setelah 10-12 minggu. Jika
diperlukan dapat diulang akantetapi hal ini jarang dibutuhkan.
b. Tidak mendapatkan hasil, selanjutnya dosis kedua dinaikkan 25%
dari dosis pertama, dandiberikan sekitar 10-12 minggu setelah
dosis pertama.
2.10 Kemoterapi Biologi (Sitokin)Tujuan pengobatan dengan produk biologi
pada polisitemia vera terutama untuk mengontroltrombositemia (hitung
trombosit . 800.00/mm3). Produk biologi yang digunakan adalahInterferon
(Intron-A, Roveron-) digunakan terutama pada keadaan trombositemia yang
tidakdapat dikendalikan. Kebanyakan klinisi mengkombinasikannya
dengan sitostatikSiklofosfamid (Cytoxan).
2.11 Pengobatan pendukung
a. Hiperurisemia diobati dengan allopurinol 100-600 mg/hari oral
pada pasien dengan penyakit yang aktif dengan memperhatikan
fungsi ginjal.
b. Pruritus dan urtikaria dapat diberikan anti histamin, jika
diperlukan dapat diberikan Psoralen Plus Ultraviolet Light
Therapy (PUVA).
c. Gastritis/ulkus peptikum dapat diberikan penghambat reseptor H2.
d. Antiagregasi trombosit Analgrelide turunan dari Quinazolin.
e. Anagrelid digunakan sebagai substitusi atau tambahan ketika
hidroksiurea tidak memberikantoleransi yang baik atau dalam
21
kasus trombositosis sekunder (jumlah platelet
tinggi).Anagrelid mengurangi tingkat pembentukan trombosit di
sumsum. Pasien yang lebih tua danpasien dengan penyakit jantung
umumnya tidak diobati dengan anagrelid.
(Stewart K.R; 2012)
2.12 Pemeriksaan Laboratorium
a) Eritrosit
Untuk menegakkan diagnosis polisitemia vera, peninggian massa
eritrosit haruslah didemonstrasikan pada saat perjalanan penyakit ini. Pada
hitung sel jumlah eritrosit dijumpai > 6 juta/mL, dan sediaan apus eritrosit
biasanya normokrom, normositik kecuali jika terdapat defisiensi besi.
Poikilositosis dan anisositosis menunjukkan adanya transisi ke arah
metaplasia meiloid di akhir perjalanan penyakit ini. (Yuan, S; 2012)
b) Granulosit
Granulosit jumlahnya meningkat terjadi pada 2/3 kasus PV,
berkisar antara 12-25 ribu/mL tetap dapat sampai 60 ribu mL. Pada dua
pertiga kasus ini juga terdapat basofilia. (Yuan, S; 2012)
c) Trombosit
Jumlah trombosit biasanya berkisar antara 450-800 ribu/mL,
bahkan dapat > 1 juta/mL. Sering didapatkan dengan morfologi trombosit
yang abnormal.4. B12 SerumB12 serum dapat meningkat, hal ini dijumpai
pada 35 % kasus, tetapi dapat pula menurun, yaitu pada + 30% kasus, dan
kadar UB12BC meningkat pada > 75% kasus PV. (Yuan, S; 2012)
22
d) Pemeriksaan sumsum tulang
Pemeriksaan ini tidak diperlukan untuk diagnostik, kecuali bila ada
kecurigaan terhadap penyakit mieloproliferatif lainnya seperti adanya sel
blas dalam hitung jenis leukosit. Sitologi sumsum tulang menunjukkan
peningkatan selularitas normoblastik berupa hiperplasi trilinier seri
eritrosit, megakariosit, dan mielosit. Sedangkan dari gambaran
histopatologi sumsum tulang adanya bentuk morfologi megakariosit yang
patologis/abnormal dan sedikit fibrosis merupakan petanda patognomonik
PV. (Yuan, S; 2012)
e) Pemeriksaan sitogenetik
Pada pasien PV yang belum mendapat pengobatan P53 atau
kemoterapi sitostatik dapat dijumpai kariotip 20q-,=8,+9,13q-,+1q. Variasi
abnormalitas sitogenetik dapat dijumpai selain bentuk tersebut di atas
terutama jika pasien telah mendapatkan pengobatan P53 atau kemoterapi
sitostatik sebelumnya. (Yuan, S; 2012)
2.13 Pengertian Hemoglobin
Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi.
Memiliki afinitas (daya gabung) terhadap oksigen dan dengan
oksigen itu membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah.
Dengan melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari paruparu ke
jaringan-jaringan (Evelyn, 2009).
23
2.13.1 Kadar Hemoglobin (Hb)
Kadar hemoglobin ialah ukuran pigmen respiratorik dalam
butiran-butiran darah merah (Costill, 1998). Jumlah hemoglobin dalam
darah normal adalah kira-kira 15 gram setiap 100 ml darah dan jumlah ini
biasanya disebut “100 persen” (Evelyn, 2009). Batas normal nilai
hemoglobin untuk seseorang sukar ditentukan karena kadar hemoglobin
bervariasi diantara setiap suku bangsa. Namun WHO telah menetapkan
batas kadar hemoglobin normal berdasarkan umur dan jenis kelamin
(WHO dalam Arisman, 2006).
Tabel 2.13.1 Batas Kadar Hemoglobin
Kelompok Umur Batas Nilai Hemoglobin (gr/dl)
Anak 6 bulan - 6 tahun 11,0
Anak 6 tahun - 14 tahun 12,0
Pria dewasa 13,0
Ibu hamil 11,0
Wanita dewasa 12,0
(WHO; 2006)
2.13.2 Struktur Hemoglobin (Hb)
Pada pusat molekul terdiri dari cincin heterosiklik yang dikenal
dengan porfirin yang menahan satu atom besi, atom besi ini merupakan
situs/lokal ikatan oksigen. Porfirin yang mengandung besi disebut heme.
Nama hemoglobin merupakan gabungan dari heme dan globin, globin
sebagai istilah generik untuk protein globular. Ada beberapa protein
24
mengandung heme dan hemoglobin adalah yang paling dikenal dan
banyak dipelajari.
Pada manusia dewasa, hemoglobin berupa tetramer (mengandung 4
submit protein), yang terdiri dari dari masing-masing dua sub unit alfa dan
beta yang terikat secara non kovalen. Sub unitnya mirip secara struktural
dan berukuran hampir sama. Tiap sub unit memiliki berat molekul kurang
lebih 16.000 Dalton, sehingga berat molekul total tetramernya menjadi
64.000 Dalton. Tiap sub unit hemoglobin mengandung satu heme,
sehingga secara keseluruhan hemoglobin memiliki kapasitas empat
molekul oksigen (Floris ;2016).
2.13.3 Fungsi Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin di dalam darah membawa oksigen dari paru-paru ke
seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbondioksida dari seluruh
sel ke paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh. Mioglobin berperan sebagai
reservoir oksigen : menerima, menyimpan dan melepas oksigen di dalam
sel-sel otot. Sebanyak kurang lebih 80% besi tubuh berada di dalam
hemoglobin (Sunita, 2008).
Menurut Depkes RI adapun guna hemoglobin antara lain :
1. Mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam
jaringan-jaringan tubuh.
2. Mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh
jaringanjaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar.
3. Membawa karbondioksida dari jaringan-jaringan tubuh sebagai
hasil metabolisme ke paru-paru untuk di buang, untuk mengetahui
25
apakah seseorang itu kekurangan darah atau tidak, dapat diketahui
dengan pengukuran kadar hemoglobin. Penurunan kadar
hemoglobin dari normal
berarti kekurangan darah yang disebut anemia (Sunita, 2008).
2.13.4 Faktor-Faktor Mempengaruhi Kadar Hemoglobin
Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin adalah :
1. Kecukupan Besi dalam Tubuh
Menurut Parakkasi, Besi dibutuhkan untuk produksi hemoglobin,
sehingga anemia gizi besi akan menyebabkan terbentuknya sel darah merah
yang lebih kecil dan kandungan hemoglobin yang rendah. Besi juga
merupakan mikronutrien essensil dalam memproduksi hemoglobin yang
berfungsi mengantar oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, untuk
dieksresikan ke dalam udara pernafasan, sitokrom, dan komponen lain pada
sistem enzim pernafasan seperti sitokrom oksidase, katalase, dan peroksidase.
Besi berperan dalam sintesis hemoglobin dalam sel darah merah dan
mioglobin dalam sel otot. Kandungan ± 0,004 % berat tubuh (60-70%)
terdapat dalam hemoglobin yang disimpan sebagai ferritin di dalam hati,
hemosiderin di dalam limpa dan sumsum tulang. (WHO dalam Zarianis,
2006).
Kurang lebih 4% besi di dalam tubuh berada sebagai mioglobin dan
senyawasenyawa besi sebagai enzim oksidatif seperti sitokrom dan
flavoprotein. Walaupun jumlahnya sangat kecil namun mempunyai peranan
yang sangat penting. Mioglobin ikut dalam transportasi oksigen menerobos
sel-sel membran masuk kedalam sel-sel otot. Sitokrom, flavoprotein, dan
26
senyawa-senyawa mitokondria yang mengandung besi lainnya, memegang
peranan penting dalam proses oksidasi menghasilkan Adenosin Tri Phosphat
(ATP) yang merupakan molekul berenergi tinggi. Sehingga apabila tubuh
mengalami anemia gizi besi maka terjadi penurunan kemampuan bekerja.
Pada anak sekolah berdampak pada peningkatan absen sekolah dan penurunan
prestasi belajar (Elghetany MT; 2011).
Menurut Kartono J dan Soekatri M, Kecukupan besi yang
direkomendasikan adalah jumlah minimum besi yang berasal dari makanan
yang dapat menyediakan cukup besi untuk setiap individu yang sehat pada
95% populasi, sehingga dapat terhindar kemungkinan anemia kekurangan besi
(Elghetany MT; 2011).
2. Metabolisme Besi dalam Tubuh
Menurut Wirakusumah, Besi yang terdapat di dalam tubuh orang
dewasa sehat berjumlah lebih dari 4 gram. Besi tersebut berada di dalam sel-
sel darah merah atau hemoglobin (lebih dari 2,5 g), myoglobin (150 mg),
phorphyrin cytochrome, hati, limpa sumsum tulang (> 200-1500 mg). Ada dua
bagian besi dalam tubuh, yaitu bagian fungsional yang dipakai untuk
keperluan metabolik dan bagian yang merupakan cadangan. Hemoglobin,
mioglobin, sitokrom, serta enzim hem dan nonhem adalah bentuk besi
fungsional dan berjumlah antara 25-55 mg/kg berat badan. Sedangkan besi
cadangan apabila dibutuhkan untuk fungsi-fungsi fisiologis dan jumlahnya 5-
25 mg/kg berat badan. Ferritin dan hemosiderin adalah bentuk besi cadangan
yang biasanya terdapat dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Metabolisme
besi dalam tubuh terdiri dari proses absorpsi, pengangkutan, pemanfaatan,
27
penyimpanan dan pengeluaran Setelah proses pencernaan di lambung, zat besi
dari makanan ada yang diserap ke usus halus dan ada pula yang keluar melalui
tinja. Zat ini lebih mudah diserap dalam bentuk ferro melalui pengangkutan
ion ferro yang sudah diabsorpsi diubah menjadi ion ferri dalam mukosa usus.
Ion ferri akan masuk ke dalam plasma dengan perantara transferin yang
diubah menjadi ferritin yang disimpan di dalam sel mukosa. Apabila simpanan
besi total tinggi dan kebutuhan besi tubuh rendah, besi yang baru diabsorpsi
dimasukan ke dalam ferritin dan tidak diangkut ke tempat lain. Apabila
simpanan besi berkurang atau kebutuhan besi meningkat, besi yang baru
diabsorpsi langsung diangkut dari sel-sel mukosa ke sumsum tulang untuk
produksi hemoglobin. (Floris; 2016).
2.14 Respon Fisiologis Tubuh Pada Dataran Tinggi
Pada keadaan normal, manusia dapat beradaptasi pada kondisi high-
altitude melalui beberapa perubahan pada sejumlah sistem organ seperti
paru, jantung, ginjal dan sistem hematologi. Perubahan ini ada yang dapat
muncul segera, namun ada yang baru muncul setelah beberapa hari atau
minggu. Beberapa mekanisme perubahan tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut ini :
2.14.1 Ventilasi
Saat terjadi penurunan tekanan barometrik dan penurunan PaO2 bertahap,
terjadi kompensasi dengan peningkatan ventilasi yang disebut sebagai
hypoxic ventilatory response (HVR). Adanya peningkatan ventilasi saat
istirahat pada pria sehat dari 7,03 ± 0,3 L/menit pada permukaan laut
menjadi 11,8 ± 0,5 L/menit pada hari pertama berada pada ketinggian
28
3.110 m. Ventilasi saat istirahat serta konsumsi oksigen otot saluran nafas
terus meningkat seiring dengan bertambahnya ketinggian, sehingga
diperlukan kapasitas cadangan ventilasi dengan fraksi yang lebih besar
atau maximal voluntary ventilatio) MVV. Sebagai contoh, pasien dengan
MVV hanya 25 L/menit dan peningkatan ventilasi sekitar 4-5 L/menit
pada ketinggian 3.110 m, pasien harus bernafas hampir 50% MVV,
sementara orang sehat hanya 10% MVV. Usaha ekstra untuk bernafas juga
membutuhkan aliran darah yang lebih besar untuk kerja otot-otot
pernafasan, sehingga “mengambil alih” cardiac output dari otot-otot lain
yang akhirnya membatasi kapasitas exercise.
2.14.2 Pertukaran Gas dan Aliran Oksigen
Berbagai faktor mempengaruhi pertukaran udara paru dan oksigenasi
arterial di high-altitude. PAO2 yang rendah membatasi gradient
alveolararterial dan bersamaan dengan tekanan vena yang rendah, juga
menunda ekuilibrasi alveolar-kapiler. Penurunan PaO2 menurunkan
kandungan oksigen darah, namun efek terhadap aliran oksigen terjadi
karena peningkatan COP, hemokonsentrasi oleh efek diuretik ringan dari
hipoksia, sekresi eritropoetin akibat hipoksia serta peningkatan produksi
sel darah merah. Akhirnya, pada setiap PaO2 berapapun, saturasi arteri
akan lebih tinggi pada alkalosis respiratorik akut akibat hiperventilasi yang
menyebabkan pergeseran kurva disosiasi Hb-O2 ke kiri. Pergeseran ini
menyebabkan ambilan oksigen paru berkurang sepanjang waktu sampai
kurva disosiasi bergeser ke kanan sebagai respon peningkatan 2,3-
diphospoglycerate dan kompensasi ginjal untuk alkalosis respiratoriknya.
29
Perubahan ini terjadi sangat cepat (1-2 hari) mengikuti pendakian sampai
ketinggian < 5.000 m dan sebagai hasilnya, posisi kurva disosiasi tidak
berubah dari posisi awal pada permukaan laut.
2.14.3 Sistem Vaskularisasi Paru
Pada high-altitude, hipoksia alveolar menyebabkan hypoxic pulmonary
vasocontriction (HPV) dan peningkatan tekanan arteri paru, tekanan
atrium kiri tetap normal dan peningkatan tekanan parsial paru (Ppa)
menetap selama beberapa waktu.
2.14.4 Mekanik Paru
Berbagai perubahan mekanik paru dapat terjadi pada high-altitude, diduga
terjadi beberapa mekanisme yaitu diantaranya pelebaran vaskular
pulmonar, oedem intersisial ringan, peningkatan distensi abdomen dan
penurunan kekuatan otot pernafasan. Sebaliknya, kapasitas total paru
(TLC) meningkat pada ketinggian, yang berarti volume residual juga
meningkat. Data tentang FEV1 pun masih belum jelas dimana dari studi
dapat ditemukan terjadi peningkatan, penurunan maupun tidak ada
perubahan. Selain itu, terjadi juga peningkatan PEFR (peak expiratory
flow rates) dan penurunan resistensi aliran udara.
2.15 Fisiologi Adaptasi
Pada orang yang mendaki ke high-altitude, terjadi penurunan tekanan
udara, tekanan parsial O2 (PO2), PaO2 dan saturasi oksigen dalam darah.
Hipoksemia terjadi karena rangsangan kemoreseptor perifer, yang
menyebabkan terjadinya hiperventilasi, yang meningkatkan PO2 alveoli
dan mengaktivasi VO2 max setiap peningkatan 100 m diatas ketinggian
30
1.500 m, selanjutnya kapasitas aerobik menurun sekitar 10% pada 2.500
m; 25% pada 4.000 m dan 65% pada 8.000 m. Pada high-altitude,
performance latihan fisik yang memerlukan konsumsi oksigen
submaksimal berhubungan dengan ventilasi yang lebih tinggi dan denyut
jantung yang lebih tinggi dari di permukaan laut. Tekanan darah arterial
biasanya stabil, aktivasi simpatis cenderung meningkatkannya, namun
efek ini dihambat oleh vasodilatasi perifer yang secara langsung
diakibatkan oleh hipoksia. (Beall CM; 2012)
2.16 Patofisiologi Kadar Hemoglobin di Dataran Tinggi
Faktor lingkungan sangat penting dalam pencapaian kondisi fisik
seseorang. Lingkungan tempat tinggal akan berdampak pada terjadinya
adaptasi fisiologis seseorang. Salah satu adaptasi lingkungan yang bisa
dijadikan perbandingan dengan adanya perbedaan tekanan parsial oksigen
(PO2), yaitu ketika orang tinggal di daerah ketinggian dalam waktu lama
maka akan terjadi proses aklimatisasi. Terjadi respon kompensasi akut berupa
peningkatan ventilasi dan curah jantung secara bertahap selama beberapa hari
akan digantikan oleh tindakan-tindakan kompensasi yang berkembang lebih
lambat yang memungkinkan oksigenasi jaringan yang adekuat dan pemulihan
asam basa. Produksi sel darah merah meningkat, dirangsang oleh eritropoitein
sebagai respon terhadap penurunan penyaluran oksigen ke ginjal. Hipoksia
juga merangsang sintesis DPG (diphosphoglycerat) dalam sel darah merah,
sehingga oksigen lebih mudah dibebaskan dari hemoglobin di jaringan.
Jumlah kapiler di dalam jaringan meningkat, sehingga jarak yang harus
ditempuh oleh sel darah merah berkurang, sel-sel yang mengalami
31
aklimatisasi menggunakan oksigen lebih efisien, ginjal membantu dengan
tetap menjaga PH darah pada range yang normal. (Vander; 2011)
Guyton membedakan daerah pantai dan pegunungan ditinjau dari suhu
udara dan kadar oksigen (O2) juga berbeda. Semakin tinggi suatu daerah dari
permukaan air laut maka kadar oksigenya (O2) semakin sedikit. Dengan
adanya perbedaan tekanan parsial oksigen (PO2) yang terdapat di dataran
rendah dan dataran tinggi, akan berpengaruh juga pada jumlah hemoglobin
(Hb) dalam butir-butir sel darah merah. Dataran tinggi atau di daerah
pegunungan kadar oksigen (O2) dalam udara akan menurun. Agar tubuh tetap
mendapat jatah oksigen (O2), maka alat angkutnya yang diperbanyak, yakni
jumlah hemoglobin (Hb) dalam sel darah merah akan bertambah. Pada daerah
yang tinggi seperti di pegunungan kadar oksigen (O2) dan tekanannya lebih
kecil dibandingkan dengan daerah pesisir atau dataran rendah. Karenanya
perlu adaptasi fisiologis atau aklimatisasi bagi orang yang tinggal di dataran
tinggi atau di pegunungan, aklimatisasi ini terjadi sejak dia lahir. Salah satu
adaptasi fisiologis yang terjadi yakni : kapasitas paru lebih besar dan kadar
hemoglobin (Hb) darah menjadi banyak. (Guyton; 2014)
2.17 Patofisiologi Kadar Hemoglobin abnormal dan gejala PV.
Polisitemia vera adalah penyakit sumsum tulang disfungsional yang
juga meningkatkan produksi sel darah merah. Meningkatnya produksi sel
darah merah umumnya diikuti dengan meningkatnya Hemoglobin darah.
Sehingga orang dengan gejala polisitemia vera memang lebih beresiko
mempunyai kadar hemoglobin yang lebih tinggi dari kebanyakan orang
normal. Kadar oksigen arterial yang rendah akan menstimulasi sumsum
32
tulang melalui pelepasan eritropoietin di ginjal akan meningkatkan produksi
sel darah merah sehingga terjadi peningkatan massa sel darah merah, Ht dan
viskositas darah. Peningkatan sel darah merah yang bersirkulasi sebenarnya
merupakan respon kompensasi untuk meningkatkan transport oksigen ke
jaringan agar suplai oksigen ke jaringan adekuat. namun peningkatan
viskositas serum ini malah akan mengurangi kecepatan aliran darah dan
perfusi ke jaringan serta gangguan penghantaran oksigen ke jaringan,
sehingga akan muncul gejala seperti sakit kepala, gangguan penglihatan,
kehilangan konsentrasi, parestesia, kelemahan otot dan lemas. Respon
polisitemia dengan terjadinya peningkatkan kapasitas pembawa oksigen akan
bermanfaat pada pasien sianotik, namun saat hematokrit mencapai kadar 65%
atau lebih peningkatan tajam viskositas darah terjadi dan respon polisitemik
menjadi tidak menguntungkan, terutama bila terdapat gagal jantung kongestif.
(Misurin AV; 2011)