bab ii tinjauan pustaka kajian teorirepository.unpas.ac.id/35933/5/bab 2 kajian teori.pdf · 9 bab...
TRANSCRIPT
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Strategi Pembelajaran
Dalam dunia pendidikan, strategi diartikan sebagai a plan, method, or
series of activities designed to achieves a particular educational goal (J. R.
David, 1976). Jadi, dengan demikian strategi pembelajaran dapat diartikan
sebagai perencanan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu (Sanjaya, 2006, hlm. 126).
Kemp (1995) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu
kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujun
pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Senada dengan pendpat
diatas, Dick and Carey (1985) juga menyebutkan bahwa strategi pembelajaran
itu adalah suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara
bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar siswa (Sanjaya, 2006, hlm.
126).
2. CTL (Contextual Teaching and Learning)
CTL banyak dipengaruhi oleh filsafat kontruktivisme yang mulai
digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget.
Aliran filsafat kontruktivisme berangkat dari pemikiran epistemologi
giambatista vico (menurut Suparno, dalam Sanjaya, 2006, hlm. 256-257 )
Pandangan Piaget tentang bagaiman sebenarnya pengetahuan itu
terbentuk dalam struktur kognitif anak, sangat berpengaruh terhadap beberapa
model pembelajaran, diantaranya model pembelajaran kontektual. Menurut
pembelajaran kontekstual, pengetahuan itu akan bermakna manakala
ditemukan dan dibangun sendiri oleh siswa. Pengetahuan yang diperoleh dari
hasil pemberitahuan orang lain, tidak akan menjadi pengetahuan yang
bermakna. Pengetahuan yang demikian akan mudah dilupakan dan tidak
fungsional (Sanjaya, 2006, hlm. 259).
10
Sesuai dengan filsafat yang mendasarinya bahwa pengetahuan
terbentuk karena peran aktif subjek, maka dipandang dari sudut psikologis,
CTL berpijak pada aliran psikologis kognitif. Menurut aliran ini diproses
belajar terjadi karena pemahan individu akan lingkungan. Belajar bukanlah
peristiwa mekanis seperti keterkaitan stimulus dan respons. Belajar tidak
sesederhan itu. Belajar melibatkan proses mental yang tidak tampak emosi,
minat, motivasi, dan kemauan atau pengalaman. Apa yang tampak pada
dasarnya adalah wujud dari adanya dorongan yang berkembang dalam diri
seseorang. Sebagai peristiwa mental perilaku manusia tidak semata-mata
merupakan gerakan fisik saja, akan tetapi lebih penting adalah adanya faktor
pendorong yang ada dibelakang gerakan fisik itu (Sanjaya, 2006, hlm. 259-
260).
Setiap siswa mempunyai gaya yang berbeda dalam belajar. Perbedaan
yang dimiliki siswa tersebut oleh Deporter (1992) dinamakan sebagai unsur
modalitas belajar. Menurutnya ada tiga gaya belajar siswa, yaitu tipe visual,
auditorial, dan kinestestis. Tipe visual adalah gaya belajar dengan cara melihat,
artinya siswa akan lebih cepat belajar dengan cara menggunakan indra
penglihatannya. Tipe auditorial adalah tipe belajar dengan cara menggunakn
alatpendengaraannya; sedangkan tipe belajar dengan cara bergerak, bekerja,
dan menyentuh (Sanjaya, 2006, hlm. 262).
Dalam proses pembelajaran kontekstual, setiap guru perlu memahami
tipe belajar dalam dunia siswa, artinya guru perlu menyesuaikan gaya mengajar
terhadap gaya belajar siswa. Dalam proses pembelajaran konvensional, hal ini
sering terlupakan sehingga proses pembelajaaran tak ubahnya sebagai proses
pemaksaan kehendak, yang menurut Paulo Feire sebagai sistem penindasan
(Sanjaya, 2006, hlm. 262). Sesuai dengan asumsi yang mendasarinya, bahwa
pengetahuan itu diperoleh anak bukan dari informasi yang diberikan oleh orang
lain termasuk guru, akan tetapi dari proses menemukan dan mengkontruksinya
sendiri, maka guru harus menghindari mengajar sebagai proses penyampaian
informasi. Guru perlu memandang siswa sebagai subjek belajar dengan segala
keunikannya. Siswa adalah organisme yang aktif yang memiliki potensi untuk
membangun pengetahuannya sendiri. Kalaupun guru memberikan informasi
11
kepada siswa, guru harus memberi kesempatan untuk menggali informasi itu
agar lebih bermakna untuk kehidupan mereka (Sanjaya, 2006, hlm. 263-264).
Untuk menerapkan CTL, ada sejumlah strategi yang mesti ditempuh.
Ketujuh strategi ini sama pentingnya dan semuanya mesti ditempuh secara
proposional dan rasional (Johnson, 2014, hlm, 21).
a. Pengajaran berbasis masalah
Dengan memunculkan problem yang dihadapi bersama, siswa
ditantang berpikir kritis untuk memecahkannya. Masalah seperti ini membawa
makna personal dan sosial bagi siswa (Johnson, 2014, hlm, 21).
b. Menggunakan konteks yang beragam
Makna itu ada di mana-mana dalam konteks fisik dan sosial. Selama ini
ada yang keliru dengan menganggap bahwa makna (pengetahuan) adalah yang
tersaji dalam materi ajar atau buku teks saja. Dalam CTL, guru
membermaknakan beragam konteks (sekolah, keluarga, masyarakat, tempat
kerja, dan sebaginya), sehingga makna (pengetahuan) yang diperoleh siswa
menjadi semakin berkualitas (Johnson, 2014, hlm, 21).
c. Mempertimbangkan kebhinekaan siswa
Dalam konteks Indonesia, kebhinekaan baru sekadar politik yang tidak
bermakna edukatif. Dalam CTL, guru mengayomi individu dan meyakini
bahwa perbedaan individual dan sosial seyogyanya dibermaknakan menjadi
mesin penggerak untuk belajar saling menghormati dan membangun toleransi
demi terwujudnya keterampilan interpersonal (Johnson, 2014, hlm, 21).
d. Memberdayakan siswa untuk belajar sendiri.
Setiap manusia mesti menjadi pembelajar aktif sepanjang hayat. Jadi,
pendidikan formal merupakan kawah candradimuka bagi siswa untuk
menguasai cara belajar untuk belajar mandiri dikemudian hari. Untuk itu,
mereka mesti dilatih berpikir kritis dan kreatif dalam mencari dan menganalisis
informasi dengan sedikit bantuan atau secara mandiri (Johnson, 2014, hlm, 21-
22).
e. Belajar melalui kolaborasi
Siswa seyogyanya dibiasakan saling belajar dari dan dalam kelompok
untuk berbagi pengetahuan dan menentukan fokus belajar. Dalam setiap
12
kolaborasi selalu ada siswa yang menonjol dibandingkan dengan koleganya.
Siswa ini dapat dijadikan fasilitator dalam kelompoknya. Apabila komunitas
belajar sudah terbina sedemikan rupa disekolah, guru tentu akan lebih berperan
sebagai pelatih, fasilitator, dan mentor (Johnson, 2014, hlm, 22).
f. Menggunakan penilaian autentik
Karena kontekstual hampir berarti individual, yakni mengakui adanya
kekhasan sekaligus dalam pembelajaran, materi ajar, dan prestasi yang dicapai
siswa. Penilaian autentik menunjukan bahwa belajar telah berlangsung secara
terpadu dan kontekstual, dan memberi kesempatan kepada siswa untuk maju
terus sesuai dengan potensi yang dimilikinya (Johnson, 2014, hlm, 22).
g. Mengejar standar tinggi
Standar unggul sering dipersepsi sebagai jaminan untuk mendapat
pekerjaan, atau minimal membuat siswa merasa pede untuk menentukan
pilihan masa depan. Frasa “standar unggul” seyogianya terus-menerus
ditanamkan dalam benak siswa untuk mengingatkan agar menjadi manusia
kompetitif pada abad persaingan seperti sekarangini (Johnson, 2014, hlm, 22).
Menurut Jhonson (2014, hlm.149) Dua komponen sistem pengajaran
dan pembelajaran mandiri dan kerja sama perlu dipelajari dengan teliti.
Pembelajaran mandiri mengutamakan pengamatan aktif dan mandiri.
Pembelajaran mandiri juga melibatkan pengaitan studi akademik dengan
kehidupan sehari-hari dalam cara yang bermakna untuk mencapai tujuan yang
berarti. Kerja sama, sebagai bagian penting dari sistem CTL, memainkan peran
penting dalam pembelajaran mandiri. Selain menghadirkan jalan terbaik untuk
mencapai prestasi akademik yang unggul, CTL adalah proses yang tidak bisa
diukur dengan menggunakan pengukuran standar. Proses belajar ini dikenal
sebagai “pembelajaran mandiri”(Jhonson, 2014, hlm. 150-152). Menurut
Setiani (2015, hlm.62) Pembelajaran berkelompok merupakan salah satu cara
yang dilakukan oleh guru agar peserta didik mampu bergaul, beradaptasi,
memahami perbedaan, dan melatih kerjasama serta tanggung jawab dengan
peserta didik lainnya.
Pada CTL untuk mendapatkan kemampuan pemahaman konsep, anak
mengalami langsung dalam kehidupan nyata dimasyarakat. Kelas bukanlah
13
tempat untuk mencatat atau menerima informasi dari guru, akan tetapi kelas
digunakan untuk saling membelajarkan. Untuk itu beberapa catatan dalam
penerapan CTL sebagai suatu strategi pembelajaran, yaitu sebaga berikut:
(Sanjaya, 2006, hlm. 272)
1. CTL adalah model Pembelajaran yang menekankan pada aktvitas siswa
secara penuh, baik fisik maupun mental.
2. CTL memandang bahwa belajar bukan menghafal, akan tetapi proses
berpengalaman dalam kehidupan nyata.
3. Kelas dalam pembelajaran CTL bukan sebagai tempat untuk memperoleh
informasi, akan tetapi untuk menguji data hasil temuan mereka dilapangan.
4. Materi pembelajaran ditemukan oles siswa sendiri, bukan hasil pemberian
dari orang lain (Sanjaya, 2006, hlm. 272)
Menurut Hosnan (Hosnan, 2014, hlm. 279) kelebihan pembelajaran
menggunakan CTL Contextual Teaching and Learning adalah:
1) Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya, siswa dituntut untuk
dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar disekolah dengan
kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat
mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja
bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi
yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak
akan mudah dilupakan.
2) Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep
kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran
konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntut untuk menemukan
pengetahuan sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme, siswa
diharapkan belajar melalui “mengalami” bukan “menghafal”(Hosnan, 2014,
hlm. 279)
Adapun kekurangan atau kelemahan pembelajaran CTL menurut
Hosnan (Hosnan, 2014, hlm, 279-280) adalah:
1) Guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah
mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk
menemukan pengetahuan dan keterampilan yang baru bagi siswa. Guru
14
lebih intensif dalam membimbing, siswa dipandang sebagai individu yang
sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh
tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan
demikian, peran guru bukanlah sebagi instruktur atau “penguasa” yang
memaksa kehendak, melainkan guru adalah pembimbing siswaagar mereka
dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya (Hosnan, 2014, hlm,
279).
2) Guru hanya memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau
menerapkan sendiri ide-ide dan mengajak siswa agar meyadari dan dengan
sadar menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun,
dalam konteks ini tentunya guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang
ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang
diterapkan semula (Hosnan, 2014, hlm, 280).
Tabel 2.1 TABEL SINTAKS ATAU TAHAPAN MODEL
PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING
N
o
Tahapan
Kegiatan Kegiatan Guru Kegiatan Siswa CTL
1 Pendahulua
n
Menyampaikan
tujuan
pembelajaran
yang ingin dicapai
pada
pembelajaran
tersebut.
Menyampaikan
prasyarat.
Mendengarkan
tujuan yag
disampaikan
guru.
Menjawab
prasyarat dari
guru.
Relating.
2 Inti
Menyampaikan
motivasi.
Menyampaikan
materi dan
memberikan
contoh.
Menjelaskan dan
mendemonstrasik
an percobaan.
Mengorganisasika
n siswa kedalam
Menjawab
motivasi dari
guru.
Mendengarkan
dan mencatat
penjelasan guru.
Memperhatikan
demonstrasi
guru.
Membentuk
kelompok.
Cooperating.
Experimentin
g.
15
N
o
Tahapan
Kegiatan Kegiatan Guru Kegiatan Siswa CTL
kelompok belajar
yang heterogen.
Membimbing
siswa menjawab
pertanyaan yang
ada di LKPD.
Meminta
perwakilan dari
setiap kelompok
mempresentasika
n hasil diskusi
didepan kelas.
Melakukan
percobaan yang
ada di LKS.
Menjawab
pertanyaan yang
ada di LKS.
Mempresentasik
an hasil
percobaan
kelompok yang
diperoleh
Appllying.
3 Penutup
Membimbing
siswa merangkum
atau
menyimpulkan
semua materi
yang telah
dipelajari.
Memberikan tes.
Merangkum atau
menyimpulkan
materi yang telah
dipelajari.
Mengerjakan
soal-soal tes.
Transfering.
Sumber: (Hosnan, 2014, hlm. 278-279).
3. PBL (Problem Based Learning)
Model Problem Based Learning (PBL) adalah model pembelajaran
dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik sehingga siswa
dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuh kembangkan
keterampilan yang lebih tinggi dan inquiry, memandirikan siswa dan
meningkatkan kepercayaan diri sendiri (Arend, dalam Hosnan,2014, hlm. 295).
Pembelajaran berbasis masalah, antara lain bertujuan untuk membantu
siswa mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan pemecahan
masalah, Ibrahim dalam (Hosnan, 2014, hlm. 295). Tujuan pembelajaran
adalah membantu siswa agar memperoleh berbagai pengalaman dan mengubah
tingkah laku siswa, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Perubahan
tingkah laku yang dimaksud meliputi pengetahuan, keterampilan dan nilai atau
norma yang berfungsi sebagai pengendali dan sikap dan prilaku siswa (Hosnan,
2014, hlm. 298).
16
Menurut Syafruddin Nurdin (2016, hlm. 227-228) mengatakan bahwa
kelebihan model problem based learning atau pembelajaran berbasis masalah
yaitu:
a. Mengembangkan pemikiran kritis dan keterampilan kreatif dan mandiri
b. Meningkatkan motivasi dan kemampuan memecahkan masalah
c. Membantu siswa belajar untuk mentransfer pengetahuan dengan situasi baru
d. Dengan model problem based learning atau PBL akan terjadi pembelajaran
bermakna
e. Dalam situasi Problem Based Learning atau pembelajaran berbasis masalah,
siswa mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan secara simultan dan
mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan
f. Problem Based Learning atau pembelajaran berbasis masalah dapat
meningkatkan kemempuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa
dalam bekerja, motivasi intenal untuk belajar, dan dapat mengembangkan
hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.
Menurut Syafruddin Nurdin (2016, hlm. 228) menyaatakan bahwa
kekurangan model problem based learning atau pembelajaran berbasis masalah
diantaranya yaitu:
1) Kurang terbiasnaya peserta didik dan pengajar dengan model ini
2) Kurangnya waktu pembelajaran
3) Siswa tidak dapat benar-benar tahu apa yang mungkin penting bagi mereka
untuk belajar
4) Seorang guru sulit menjadi fasilitator yang baik.
Tabel 2.2. TABEL SINTAKS ATAU LANGKAH-LANGKAH MODEL
PROBLEM BASED LEARNING
Tahap Aktivitas Guru dan Peserta Didik
Tahap 1
Mengorientasikan peserta didik
terhadap masalah.
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran
dan sarana atau logistik yang
dibutuhkan. Guru memotivasi peserta
didik untuk terlibat dalam aktivitas
pemecahan masalah nyata yang dipilih
atau ditentukan.
17
Tahap Aktivitas Guru dan Peserta Didik
Tahap 2
Mengorganisasi peserta didik
untuk belajar.
Guru membantu peserta didik
mendefinisikan dan mengorganisasikan
tugas belajar yang berhubungan dengan
masalah yang sudah diorientasikan pada
tahap sebelumnya.
Tahap 3
Membimbing pengalaman
individu maupun kelompok.
Guru mendorong peserta didik untuk
mengumpulkan informasi yang sesuai
dan melaksanakan eksperimen untuk
mendapatkan kejelasan yang diperlukan
untuk menyelesaikan masalah.
Tahap 4
Mengembangkan dan
menyajikan hasil karya.
Guru membantu peserta didik untuk
berbagi tugas dan merencanakan atau
menyiapkan karya yang sesuai sebagai
hasil pemecahan masalah dalam bentuk
laporan, video atau model.
Tahap 5
Menganalisis dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah.
Guru membantu peserta didik untuk
melakukan refleksi atau evaluasi
terhadap penyelidikan mereka dan
proses yang mereka gunakan.
Sumber: Nur dalam (Hosnan, 2016, hlm. 302).
4. Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan salah satu faktor terpenting dalam dunia
pendidikan. Hasil belajar peserta didik berkaitan dengan berbagai kemampuan
yang dimiliki oleh peserta didik setelah ia mengikuti proses belajar. Sistem
pendidikan nasional di Indonesia umumnya menggunakan rumusan hasil
belajar taksonomi Benyamin Bloom yang terdiri dari ranah kognitif, efektif,
dan psikomotoris (Setiani & Priansa, 2015, hlm. 130).
Proses perubahan dapat terjadi dari yang paling sederhana sampai pada
yang paling kompleks yang bersifat pemecahan masalah, dan pentingnya
peranan kepribadian dalam proses serta hasil belajar (Susilana, 2006, hlm.
102). Pembelajaran dan assesmen umumnya menekankan satu jenis proses
kognitif, yakni mengingat, dua dari banyak tujuan pendidikan yang paling
penting adalah meretensi dan mentransfer (yang menghasilkan pembelajaran
bermakna) (Anderson, 2017, hlm. 94). Adapun kategori-kategori dalam
dimensi proses kognitif diantaranya adalah: 1) Mengingat, 2) Memahami, 3)
Mengaplikasikan, 4) Menganalisis, 5) Mengevaluasi, 6) Mencipta (Anderson,
2017, hlm. 99-102).
18
Secara umum, hasil belajar siswa dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu
faktor-faktor yang ada dalam diri siswa dan faktor eksternal yaitu faktor –faktor
yang ada dalam diri siswa dan faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang berada
diluar diri pelajar, yang tergolong faktor internal menurut susilana ialah:
a. Faktor fisiologis atau jasmani individu baik bersifat bawaan maupun yang
diperoleh dengan melihat, mendengar, struktur tubuh, cacat tubuh dan
sebagainya (Susilana, 2006, hlm. 102).
b. Faktor psikologis baik yang bersifat bawaan maupun keturunan, munurut
Susilana meliputi:
1) Faktor intelektual menurut Susilana terdiri atas :
a) Faktor potensial, yaitu intelegensi dan bakat.
b) Faktor actual yaitu kecakapan nyata dan prestasi
2) Faktor nonintelektual yaitu komponen-komponen kepribadian tertentu
seperti sikap, minat, kebiasaan, motivasi, kebutuhan, konsep diri,
penyesuaian diri, emosional, dan sebagainya (Susilana, 2006, hlm. 102).
c. Menurut Susilana Faktor kematangan baik fisik maupun psikis, yang
tergolong faktor eksternal ialah:
1) Faktor sosial
Faktor sosial terdiri atas:
a) Faktor lingkungan keluarga
b) Faktor lingkungan sekolah
c) Faktor lingkungan masyarakat
d) Faktor kelompok (Susilana, 2006, hlm. 102).
2) Faktor budaya seperti: adat istiadat, ilmu pengetahuan dan teknologi,
kesenian dan sebagainya (Susilana, 2006, hlm. 102).
3) Faktor lingkungan fisik, seperti fasilitas rumah, fasilitas belajar, iklim
dan sebagainya (Susilana, 2006, hlm. 102).
4) Faktor spiritual atau lingkungan keagamaan (Susilana, 2006, hlm. 102).
Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi secara langsung atau tidak
langsung dalam memspengaruhi hasil belajar yang dicapai sekarang. Karena
adanya faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi prestasi belajar yaitu
motivasi berprestasi, intelegensi dan kecemasan (Susilana, 2006, hlm. 103).
19
5. Penilaian Afektif
Telah dijelaskan bahwa sikap (efektif) erat kaitannya dengan nilai yang
dimiliki seseorang. Sikap merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki. Oleh
karenanya, pendidikan sikap pada dasarnya adalah pendidikan nilai (Sanjaya,
2006, hlm. 274). Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam piiran manusia
yang sifatnya tersembunyi, tidak berada dalam dunia yang empiris. Nilai
berhubungan dengan pandangan seseorang tentang buruk, indah dan tidak
indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil dan sebagainya. Dengan
demikian, pendidikan nilai pada dasarnya proses penanaman nilai kepada
pseserta didik yang diharapkan oleh karenanya siswa dapat berperilaku yang
dianggap baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku
(Sanjaya, 2006, hlm. 274).
Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Beberapa ahli
mengatakan bahwa sikap seseorang dapt diramalkan perubahannya, bila
seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi (Sudjana, 2016,
hlm. 29). Tipe hasil belajar afektif tampak pada siswa dalam berbagai tingkah
laku seperti perhatiannya terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar,
menghargai guru dan teman sekelas , kebiasaan belajar, dan hubungan sosial
(Sudjana, 2016, hlm. 30)
Graham dalam (Sanjaya, 2006, hlm 274-275) melihat empat faktor yang
merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu, yaitu:
a. Normativist. Biasanya kepatuhan pada norma-norma hukum. Selanjutnya
dikatakan bahwakepatuhan ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu: (1)
kepatuhan pada nili atau norma itu sendiri; (2) kepatuhan pada proses tanpa
memedulikan normanya sendiri; (3) kepatuhan pada hasilnya atau tujuan
yang diharapkanna dari peraturan itu (Sanjaya, 2006, hlm. 275).
b. Integralist, yaitu kepatuhan yang ddasarkan pada kesadaran dengan
pertimbangan-pertimbangan yang rasional.
c. Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasakan suara hati atau sekadar basa-basi.
d. Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan sendiri (Sanjaya, 2006,
hlm. 275).
20
Dari keempat faktor yang nmenjadi dasar kepatuhan setiap individu
tentu saja yang kita harapkan adalah kepatuhan yang bersifat normativist, sebab
kepatuhan semacam itu adalah kepatuhan yang didasari kesadaran akan nilai,
tanpa memedulikan apakah perilaku itu menguntungkan untuk dirinya atau
tidak (Sanjaya, 2006, hlm. 275).
6. Penilain Psikomotor
Hasil belajar psikomotoris tampak dalm bentuk keterampilan (skill) dan
kemampuan bertidak individu. Menurut Sudjana (2016, hlm. 30) ada enam
tingkatan keterampilan, yakni:
a) Gerakan refleks (keterampilan pada gerakan yang tidak sadar);
b) Keterampilan pada gerakan-gerakan dasar;
c) Kemampuan perseptual, termasuk di dalamnya membedakan visual,
membedakan auditif, motoris, dan lain-lain;
d) Kemampuan di bidang fisik, misalnya kekuatan, keharmonisan, dan
ketepatan;
e) Gerakan-gerakan skill, mulai dari keterampilan sederhana sampai pada
keterampilan yang kompleks;
f) Kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi non-decursive seperti
gerakan ekspresif dan interpretatif (Sudjana, 2016, hlm. 30-31)
Tipe hasil belajar ranah psikomotoris berkenaan dengan keterampilan
atau kemampuan bertindak setelah ia menerima pengalaman belajar tertentu.
Hasil belajar ini sebenarnya tahap lanjutan dari hasil belajar afektif yang baru
tampak dalam kecenderungan-kecenderunagn untuk berperilaku (Sudjana,
2016, hlm. 31-32).
7. Keanekaragaman Hayati
Kita dapat mempelajari banyak hal tentang suatu spesies apabila kita
mengetahui sejarah evolusinya. Suatu organisme mungkin memiliki banyak
kesamaan gen, jalur metabolik, dan protein struktural dengan kerabat-kerabat
dekatnya (Campbell,2012, hlm. 96). Pendekatan molekular membantu kita
memahami hubungan filogenik yang tidak dapat ditentukan oleh metode-
metode nonmolekular, misalnya anatomi perbandingan (Campbell, 2012, hlm.
21
109). Gen yang berbeda berevolusi dengan laju yang berbeda-beda, bahkan
pada garis keturunan yang sama (Campbell, 2012, hlm. 109).
Keanekaragaman hayati atau biodiversity adalah berbagai variasi yang
ada diantara makhluk hidup dan lingkungannya. Keanekaragaman makhluk
hidup tampak pada perbedaan ciri atau sifat yang dimiliki organisme, misalnya
bentuk, ukuran, warna, fungsi organ, dan habitatnya. Keanekaragaman hayati
meliputi berbagai macam aspek, yaitu ciri-ciri morfologi, anatomi, fisiologi,
dan tingkah laku makhluk hidup yang selanjutnya akan menyusun ekosistem
tertentu (Laelawati, 2008, hlm, 2).
Keanekaragaman hayati dapat didefinisikan sebagai keragaman
kehidupan di Bumi, dijelaskan dalam hal jumlah spesies yang berbeda. Saat ini
dunia dalam krisis keanekaragaman hayati, jumlah kepunahan (kehilangan
spesies) diperkirakan akan terjadi dalam waktu dekat untuk pertama kalinya
disebabkan oleh aktivitas manusia. Keanekaragaman hayati tidak merata di
bumi. Keanekaragaman tertinggi berada di daerah tropis dan terendah menuju
ke arah kutub, serta daerah terestrial, air tawar, atau spesies laut. Daerah-daerah
di dunia yang memiliki spesies terbesar dikenal sebagai area keanekaragaman
hayati (Sylvia & Michael, 2017, hlm 628).
Para ahli taksonomi zaman dahulu mengelompokkan semua spesies
yang mereka ketahui menjadi dua kingdom tumbuhan dan hewan. Bahkan
dengan penemuan dunia mikroba yang beranekaragam, sistem dua-kingdom
masih bertahan: karena menyadari bahwa bakteri memiliki dinding sel yang
kaku, para ahli taksonomi menempatkan bakteri dalam kingdom tumbuhan
(Campbell, 2012, hlm 112-113).
Sistem tiga-domain menyoroti fakta bahwa sebagian besar sejarah
kehidupan telah bertutur tentang organisme bersel tunggal, dan bahkan pada
Eukarya, hanya cabang-cabang yang berwarna merah (tumbuhan, fungi, dan
hewan) yang didominasi oleh organisme multiseluler (Campbell, 2012, hlm
113).
Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah variasi orgenisme
hidup pada tiga tingkatan, yaitu tingkat gen, spesies, dan ekosistem.
Kenekaragaman hayati, menurut UU No. 5 tahun 1994, adalah
22
keankearagaman diantara makhluk hidup dari semua sumber termasuk
diantaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lain, serta kompleks-
kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya mencakup
keanekaragaman dalam spesies, antar spesies dengan ekosistem (Irnaningtyas,
2016, hlm. 41-42).
a. Keanekearagaman Gen
Keanekaragaman gen
pada buah mangga
(Mangga Apel)
Kenaekaragaman gen
pada buah mangga
(Mangga Gadung)
Kenanekaragaman gen
pada buah mangga
(Mangga Indramayu
Gambar 2.1 Keanekaragaman Gen Sumber : (Irnaningtyas, 2014, hlm 43).
Keanekaragaman gen adalah variasi atau perbedaan gen yang terjadi
dalam suatu jenis atau spesies makhluk hidup. Contohnya buah durian ada yang
berkulit tebal berkulit berdaging buah tipis, berbiji besar, atau berbiji kecil.
Demikian pula buah pisang memiliki, ukuran, bentuk, warna, tekstur, dan rasa
daging buah yang berbeda. Pisang memiliki berbagai varietas, antara lain
pisang raja sereh, pisang raja uli, pisang raja molo, dan pisang raja jambe.
Varietas mangga, misalnya mangga manalagi, cengkir, golek, gedong, apel,
kidang, dan bapang. Sementara keankeragaman genetik pada spesies hewan
misalnya warna rambut pada kucing, ada yang berwarna hitam, putih, abu-abu,
dan cokelat (Irnaningtyas, 2016, hlm. 42). Keanekaragaman sifat genetik pada
suatu organisme dikendalikan oleh gen-gen yang terdapat di dalam kromosom
yang dimilikinya. Kromosom tersebut diperoleh dari kedua induknya melalui
pewarisan sifat (Irnaningtyas, 2016, hlm. 42).
23
b. Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman jenis pada genus
Panthera (Harimau) (Panthera tigris)
Keanekaragaman jenis pada genus
Panthera (Singa) (Panthera leo)
Keanekaragaman jenis pada genus
Panthera (Macan Tutul) (Panthera
pardus)
Keanekaragaman jenis pada genus
Panthera (Jaguar) (Panthera onca)
Gambar 2.2. Keanekaragaman Jenis Sumber : (Irnaningtyas, 2014, hlm. 44)
Keanekaragaman jenis adalah perbedaan yang dapat ditemukan pada
komunitas atau kelompok berbagai spesies yang hidup di suatu tempat.
Contohnya disuatu halaman terdapat pohon mangga, kelapa, jeruk, rambutan,
bunga mawar, melati, cempaka, jahe, kunyit, burung, kumbang, lebah, semut,
kupu-kupu, dan cacing. Keanekaragaman jenis yang lebih tinggi umumnya
ditemukan ditempat yang jauh dari kehidupan manusia, misalnya di hutan. Di
hutan terdapat jenis hewan dan tumbuhan yang lebih banyak dibanding dengan
di sawah atau dikebun (Irnaningtyas, 2016, hlm. 43).
Beberapa organisme yang memiliki ciri-ciri fisik yang hampir sama.
Misalnya tumbuhan kelompok palem seperti kelapa, pinang, aren dan sawit
24
yang memiliki daun seperti pita. Namun tumbuhan-tumbuhan tersebut
merupakan spesies yang berbeda. Hewan dari kelompok genus panthera terdiri
atas beberapa spesies, antara lain harimau, singa, macan tutul dan jaguar
(Irnaningtyas, 2016, hlm. 43-44).
c. Keanekaragaman Ekosistem
Keanekaragam ekosistem terbentuk karena berbagai kelompok spesies
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, kemudian terjadi hubungan yang
saling mempengaruhi antara satu spesies dengan spesies lain, dan juga antara
spesies dengan lingkungan abiotik tempat hidupnya, misalnya suhu, udara, air,
tanah, kelembapan, cahaya matahari dan mineral (Irnaningtyas, 2016, hlm. 44).
Ekosistem bervariasi sesuai spesies pembentuknya. Ekosistem alami antara
lain hutan, rawa, terumbu karang, laut dalam padang lamun (antara terumbu
karang dengan mangrove), mangrove (hutan bakau), pantai pasir, pantai batu,
estuari (muara sungai), danau, sungai, padang pasir, dan padang rumput.
Adapula ekosistem yang sengaja dibuat oleh manusia, misalnya agroekosistem
dalam bentuk sawah, ladang, dan kebun. Agroekosistem memiliki
keanekaragaman spesies rendah dibandingkan ekosistem alamiah, tetapi
memiliki keanekaragaman genetik yang lebih tinggi (Irnaningtyas, 2016, hlm.
44-45).
Ekosistem Hutan Berdaun Jarum
Ekosistem Kutub
25
Ekosistem Padang Rumput
Ekosistem Hutan Mangrove
Gambar 2.3 Keanekaragaman Ekosistem Sumber : (Laelawati, 2008, hlm. 5).
Jenis organisme yang menyusun setiap ekosistem berbeda-beda.
Ekosistem hutan hujan tropis, misalnya di isi pohon-pohon tinggi berkanopi
(seperti meranti dan rasamala) rotan, anggrek, paku-pakuan, burung, harimau,
monyet, orang utan, kambing hutan, ular, rusa, babi dan berbagai serangga.
Pada ekosistem sungai terdapat ikan, kepiting, udang, ular, dan ganggang air
tawar (Irnaningtyas, 2016, hlm. 45). Keankeragaman ekosistem disuatu
wilayah ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain posisi tepat berdasarkan
garis lintang, ketinggian tempat, iklim, cahaya matahari, kelembapan, suhu,
dan kondisi tanah (Irnaningtyas, 2016, hlm 45).
d. Keanekaragaman Hayati Indonesia
Jika dilihat dari letak geografisnya, Indonesia terletaj pada pertemuan
dua rangkaian pegunungan muda, yaitu Sirkum Pasifik dan Sirkum
Mediterania sehingga Indonesia memiliki banyak pegunungan berapi. Hal
tersebut menyebabkan tanahnya menjadi subur (Yusa & Manickam, 2016, hlm.
37). Dengan keadaan tanah yang subur, daratan di Indonesia ditumbuhi oleh
berbagai jenis tumbuhan dan ditinggali oleh berbagai jenis hewan. Di Indonesia
terdapar 10% spesies tanaman ada di bumi, 12% spesies mammalia, 16%
spesies Reptilia dan Amphibia, serta 17% spesies burung yang ada di bumi
(Yusa & Manickam, 2016, hlm. 37)
e. Keanekaragaman Hewan di Indonesia
Berdasarkan garis Wallace, zoogeografi di Indonesia dibagi kedalam
dua kawasan, yaitu kawasan barat dan timur. Hewan di kawasan barat
Indonesia merupakan hewan oriental dan hewan di kawasan timur Indonesia
26
termasuk dalam hewan-hewan Australia. Di sebelah garis Wallace terdapat dua
garis, yaitu garis Weber dan garis Lydekker. Garis Wallace memisahkan mulai
dari sebelah tenggara kepulauan Filipina, melewati antara pulau Mindanao dan
Sangihe, terus keselatan diantara Kalimantan dan Sulawesi, termasuk Samudra
Indonesia diantara Bali dan Lombok. Garis Weber meliputi Kepulauan
Maluku, serta garis Lydekker meliputi Pulau Papua (Yusa & Manickam, 2016,
hlm. 38).
1) Persebaran Hewan di Wilayah Barat Indonesia
Zoogeografi di wilayah barat Indoensia meliputi Sumatera, Jawa
Kalimantan dan Bali. Di wilayah ini banyak terdapat Mammalia besar, seperti
gajah, banteng, harimau, dan badak. Beberapa diantaranya yaitu hewan
endemik. Selain itu terdapat juga berbagai jenis primata, seperti orang utan,
owa jawa, bekantan, tarsius, dan kera ekor panjang, beberapa diantaranya yaitu
hewan endemik. Burung-burung yang terdapat di wilayah Indonesia bagian
barat memiliki warna bulu yang kurang menarik, seperti jalak bali, elang jawa,
dan elang putih (Yusa & Manickam, 2016, hlm. 38).
2) Persebaran Hewan di Wilayah Timur Indonesia
Beberapa Mammalia yang hidup di wilayah timur Indonesia, antara lain
kangguru pohon, wallaby, dan kuskus. Terdapat jenis burung besaryang tidak
dapat terbang, yaitu burung katsuri, cendrawasih, parkit, burung nuri, dan
kakatua raja. Hewan lainnya antaralain jenis reptilia dan amphibian (Yusa &
Manickam, 2016, hlm. 38-39)
3) Persebaran Hewan di Zona Peralihan Indonesia
Zona peralihan merupakan kepulauan yang terletak diantara
kawasan Australia dan Oriental. Adapun zona peralihan di Indonesia
meliputi daerah sekitar garis Wallace yang terbentang dari sulawesi sampai
kepulauan maluku. Jenis hewannya antara lain tarsius, maleo, anoa dan babi
rusa (Yusa & Manickam, 2016, hlm 39)
f. Keanekaragaman Tumbuhan di Indonesia
Jenis-jenis tumbuhan di Indonesia termasuk ke dalam Flora
Malasiana. Kawasan Malasenia ini meliputi Indonesia, papua nugini,
filipina, dan semenanjung malaya. Indonesia memiliki dua diantara lima
27
bioma di dunia, yaitu bioma hutan hujan tropis dan bioma savana.
Tumbuhan khas Malesiana yang terkenal adalah Raflesia, dan bunga
bangkai. Keanekaragaman tumbuhan yang bernilai ekonomis dan dapat
dimanfaatkan, antara lain tumbuhan berubah, seperti durian, rambutan,
kedondong, salak, dan masih banyak lainnya (Yusa & Manickam, 2016,
hlm. 39)
B. Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan
Strategi pembelajaran merupakan salah satu metode pembelajaran
yang dapat meningkatkan hasil belajar. Peneliti ingin mengetahui bagaimana
penggunaan pembelajaran CTL dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada
materi keanekaragaman hayati. Sebelum dilakukan penelitian, telah ada
penelitian yang dilakukan terlebih dahulu oleh peneliti lain. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan Munawir Maulidin (2014) dengan judul
“Penerapan Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning dengan
Menggunakan Strategi Problem Based Learning untuk Meningkatkan
Aktivitas dan Hasil Belajar Akuntansi Siswa Kelas XI IS di SMA Swasta Sinar
Husni Medan Tahun Pembelajaran 2013/2014”menunjukkan adanya
peningkatan hasil belajar siswa dilihat dari hasil dilihat pada siklus I hasil
belajar yang diperoleh sebesar 56,1% atau 23. Sedangkan pada siklus II
terdapat peningkatan yang cukup signifikan yaitu hasil belajar yang diperoleh
menjadi sebesar 82,93% atau 34 siswa yang mencapai KKM, jadi peningkatan
dari siklus I ke siklus II sebesar 26,83%. Dan berdasarkan penelitian yang
dilakukan Fajar Surya Hutama (2014) “Pengaruh Model PBL melalui
Pendekatan CTL terhadap Hasil Belajar IPS” menunjukkan hasil belajar yang
signifikan dapat terlihat dari nilai rata-rata kelas yang menggunakan model
PBL melalui pendekatan CTL dari 42,09 menjadi 57,61 atau meningkat sebesar
15,52, dan menurut penelitian Albrian Fiky Prakoso (2013) dengan judul
“Penerapan Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan Metode
Problem Solving dalam Meningkatkan Hasil Belajar Kajian Kebutuhan
Manusia” dimana hasil belajar siswa kelas X TKJ diSMK Muhammadiyah 5
Kalitidu pada kajian kebutuhan manusia mengalami peningkatan pada aspek
28
kognitif dan aspek afektif. Peningkatan ini dapat dilihat dari data hasil evaluasi
pada setiap akhir siklus.
C. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.4 Bagan Kerangka Pemikiran
D. Asusi dan Hipotesis
1. Asumsi
Pembelajaran berbasis masalah, antara lain bertujuan untuk membantu
siswa mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan pemecahan
masalah( menurut Ibrahim Hosnan, 2014, hlm. 295). Model Problem Based
Learning (PBL) adalah model pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran
Kondisi Awal
Metode yang digunakan dalam pembelajaran masih konvensional sehingga belum
muncul peran aktif siswa dalam pembelajaran
Strategi pembelajaran yang digunakan belum optimal
Rendahnya hasil belajar siswa pada materi keanekaragaman hayati
Siswa SMA kelas X
Blended
Pembelajaran
CTL dengan
Kondisi Akhir
Diharapkan:
Siswa cenderung lebih aktif,menandakan bahwa motivasi belajar siswa sudah
meningkat
Media pembelajaran berhasil menarik siswa selama proses pembelajaran
Adanya peningkatkan hasil belajar pada keanekaragaman hayati
29
siswa pada masalah autentik sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannya
sendiri, menumbuhkembangkan keterampilan yang lebih tinggi dan inquiry,
memandirikan siswa dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri(Arend, dalam
Hosnan,2014, hlm. 295).
Pada CTL untuk mendapatkan kemampuan pemahaman konsep, anak
mengalami langsung dalam kehidupan nyata dimasyarakat. Kelas bukanlah
tempat untuk mencatat atau menerima informasi dari guru, akan tetapi kelas
digunakan untuk saling membelajarkan (Sanjaya, 2006, hlm. 272).
Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah variasi orgenisme
hidup pada tiga tingkatan, yaitu tingkat gen, spesies, dan ekosistem.
Kenekaragaman hayati, menurut UU No. 5 tahun 1994, adalah
keankearagaman diantara makhluk hidup dari semua sumber termasuk
diantaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lain, serta kompleks-
kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya mencakup
keanekaragaman dalam spesies, antar spesies dengan ekosistem (Irnaningtyas,
2016, hlm. 41-42).
2. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran dan asumsi, maka hipotesis penelitian
ini adalah dengan dilakukannya blended model pembelajaran CTL dengan PBL
dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi kenaekaragaman hayati.
Dan dengan dilakukannya blended model pembelajaran CTL dengan PBL tidak
dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi keanekaragaman hayati.