bab ii tinjauan pustaka -...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cedera
2.1.1 Definisi Cedera
Menurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen
eksternal yang dapat menimbulkan kerusakan fisik maupun mental. Cedera
merupakan penyebab utama kematian pada masa anak dan mewakili salah satu
penyebab yang paling penting dalam tingkat morbiditas dan mortalitas yang dapat
dicegah. Menurut World Health Organisation (WHO) (2008), kemungkinan cedera yang
dialami oleh anak merupakan suatu hal yang paling membahayakan. Cedera dapat
terjadi akibat beberapa kejadian seperti tenggelam, kecelakaan lalu lintas, jatuh dan
terbakar, kecelakaan karena keracunan, dan cedera ini dapat menjadi konsekuensi dari
suatu kejadian bencana alam seperti gempa bumi atau badai.
Fakto risiko yang dapat menjadi masalah utama pada anak adalah lingkungan
rumah yang buruk, ruangan bermain yang kurang memadai, pajanan sampah dan
bahan-bahan kimia. Pengurangan risiko pada kejadian cedera ini dapat menjadi suatu
perencanaan dan pendidikan yang efektif, seperti perencanaan pembuatan lingkungan
tempat anak-anak dapat tinggal dan bermain dengan aman. Pendidikan untuk
membantu anak-anak dan orang dewasa merupakan tempat bergantung anak-anak
dalam menghadapi bahaya dengan baik (Aprinigsih & Hardiyanti, 2009).
12
2.1.2 Klasifikasi Cedera
Menurut Jusuf dan Amri (2008) cedera dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
kelompok dengan cedera ringan yang tanpa pelayanan medis tidak akan mengancam
jiwanya, kelompok dengan cedera sedang atau berat yang jika diberi pertolongan akan
dapat menyelamatkan jiwanya, dan kelompok dengan cedera sangat berat atau parah
yang walaupun diberi pertolongan tidak akan dapat menyelamatkannya.
Klasifikasi cedera menurut Giam & The (1992, dalam Graha & Priyonloadi,
2009), berdasarkan tingkat keperahannya, cedera terbagi atas Cedera ringan, cedera
sedang, dan cedera berat. Cedera ringan atau tingkat pertama di tandai dengan
robekan yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop, dengan keluhan minimal dan
hanya sedikit saja atau tidak menganggu penampilan individu yang berangkutan,
misalnya lecet dan memar, cedera sedang atau tingkat dua ditandai dengan kerusakan
jaringan nyeri, bengkak, merah atau panas, dengan gangguan fungsi yang
berpengaruh pada penampilan individu, misalnya otot robek, atau strain otot, ligamen
robek atau sprain, dan cedera berat atau tingkat ketiga ditandai dengan robekan
lengkap atau hampir lengkap dari otot, ligamen atau fraktur dari tulang yang
memerlukan istirahat total dari pengobatan intensif.
Menurut Giam & The (1992, dalam Graha & Priyonloadi, 2009), klasifikasi
berdasarkan sumbernya, cedera terbagi atas cedera ekstrinsik adalah cedera yang
disebabkan oleh benturan dengan orang lain atau benda, dan cedera intrinsik terjadi
seluruhnya dari dalam tubuh sendiri, misalnya suatu robekan spontan dari otot atau
ligamen karena stres berlebih
2.1.3 Cedera yang Terjadi Pada Anak
Kejadian cedera pada anak sering terjadi di dalam rumah (88,5%), sedangkan
kejadian cedera lainnya sering terjadi di luar rumah seperti tempat bermain, sekolah,
13
atau lokasi lainnya (Bánfai et al, 2015). Menurut Kuschithawati, Megasari, & Nawi
(2007), jenis cedera yang sering dialami oleh anak adalah tergores (31,2%), diikuti
dengan memar (21,1%), dan terkilir (15,2%), sedangkan cedera yang jarang terjadi
pada anak adalah patah tulang (1,1%). Terdapat perbedaan terjadinya cedera ringan
dan berat terhadap laki-laki dan perempuan. Cedera luka bakar, memar, tergores, luka
robek, terkilir, patah tulang, dan kecelakaan lalu lintas lebih sering terjadi pada anak
laki-laki, sedangkan cedera karena tergigit dan kemasukan benda asing banyak terjadi
pada anak perempuan. Jenis cedera yang lebih dominan pada laki-laki adalah luka
robek (61,9%), patah tulang (61%), dan terkilir (58,87%).
2.1.3.1 Luka Bakar
Menurut Pierce dan Neil (2006), luka bakar merupakan respon kulit dan
jaringan subkutan terhadap trauma suhu atau termal. Penyebab tersering terjadinya
luka bakar yaitu trauma suhu panas yang kering (api dan logam panas) atau lembab
(cairan atau gas panas), listrik, bahan panas, dan radiasi.
Menurut Purwoko (2007), sekitar 50-90% cedera bakar pada anak-anak umur
4 tahun dapat dicegah. Kebanyakan luka bakar yang terjadi pada anak balita dan pra-
sekolah disebabkan oleh cairan dan minyak panas. Luka bakar yang disebabkan oleh
api lebih sering terjadi pada anak berusia 5-14 tahun.
2.1.3.2 Patah Tulang (Fraktur)
Patah tulang adalah terputusnya keseluruhan atau terjadinya retakan pada
tulang. Patah tulang ditandai dengan rasa nyeri sedang dan terus menerus, kehilangan
atau berkurangnya fungsi gerak, perubahan bentuk atau deformitas, pemendekan, dan
terjadinya pembengkakan. Banyak kesalahan yang dilakukan pada tindakan
pertolongan patah tulang dan justru mengakibatkan kondisi korban menjadi lebih
14
parah, hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang fraktur atau patah tulang
(Swasanti & Putra, 2013).
Menurut Purwoko dan Satyanegara (2007), fraktur atau patah tulang bisa
bersifat patahan sebagian atau patahan utuh pada tulang yang disebabkan oleh
pukulan atau pelintiran. Anak-anak sangat mudah mengalami pelepasan sendi,
terutama pada bagian sikut. Hal ini berkaitan dengan prilaku anak yang impulsif,
dimana mereka akan mengalami patah tulang dan cedera jaringan lunak. Fraktur bisa
menjadi hal yang mengkhawatirkan jika terjadi kerusakan pada masa pertumbuhan
anak, karena hal ini dapat menyebabkan pertumbuhan yang tidak teratur atau
memendeknya pertumbuhan tulang.
Yang harus diperhatikan pada anak ketika terjadinya patah tulang yaitu adanya
nyeri tusuk ketika ditekan pada daerah cedera, pembengkakan, adanya kelainan
bentuk pada daerah cedera seperti adanya pembengkokan, dan hilangnya kemampuan
untuk bergerak (Purwoko, 2007). Tindakan pertolongan pada patah tulang harus
dilakukan dengan sangat berhati-hati. Gerakan pada tulang yang patah dapat
menyebabkan kerusakan jaringan ataupun pembulu darah yang ada disekitar patahan
tulang (Swasanti & Putra, 2013).
Menurut Tambayong (2000), klasifikasi patah tulang yaitu fraktur (patah
tulang) sederhana (Simple) tidak merusak kulit di atasnya. Fraktur kompleks merusak
kulit diatasnya. Fraktur ada yang komplet, artinya keutuhan tulangnya terputus, atau
tidak komplet. Bila trauma itu sampai menghancurkan tulang menjadi tiga atau lebih
fragmen atau keping, disebut fraktur kominut. Pada fraktur impak, ada fragmen yang
terpendam dalam substansi yang lain. Ada lagi fraktur kompresi, dimana tulang itu
hancur, umumnya mengenai tulang vertebra. Lain lagi fraktur depresi, umumnya pada
tulang tengkorak, yang masuk ke dalam.
15
2.1.3.3 Memar
Menurut Purwoko (2007), memar terjadi ketika pembuluh darah kecil dan
sel-sel lain pecah dibawah kulit dan berdarah kedalam otot serta jaringan lunak lain.
Pada awalnya, area memar akan terlihat kemerahan dan mengalami pembengkakan.
Secara bertahap warnanya akan berubah menjadi warna kebiruan atau ungu. Ketika
darah sudah terserap dalam beberapa hari, area ini akan berubah menjadi kuning dan
memudar. Anak yang mempunyai motorik yang aktif, terutama terlibat dalam
permainan yang keras, anak sering mengalami memar (kontusio).
Tindakan pertolongan pada luka memar adalah kompres menggunakan air es
untuk mengurangi lebam dan menghentikan perdarahan yang terjadi, untuk
menghilangkan nyeri dapat diberikan obat-obatan antinyeri, jika memarsemakin
parah, terjadi di bagian kepala rawan (atas telinga atau kepala belakang) dan terjadi
pembengkakan parah, segera bawa anak ke rumah sakit (Swasanti & Putra, 2013).
2.1.3.4 Gigitan Hewan
Risiko utama dari gigitan hewan adalah infeksi, termasuk infeksi rabies.
Rabies merupakan virus yang terdapat di dalam ludah hewan yang terinfeksi dan
ditularkan pada manusia melalui gigitan. Penyakit ini dapat mempengaruhi otak dan
sistem saraf, untuk memastikan anak terinfeksi dengan virus ini yaitu dengan
melakukan pemeriksaan di pelayanan kesehatan, dan jika perlu berikan vaksin rabies
yang diberikan dalam satu seri dari lima suntikan (Puwoko, 2007). Gigi hewan yang
tajam dapat membawa kuman jauh ke dalam kulit anak. Luka gigitan yang parah,
hingga terkoyak, memerlukan jahitan (Armstrong, 2009).
16
2.1.3.5 Terkilir
Terkilir atau keseleo pergelangan kaki adalah cedera jaringan lunak yang
disebabkan oleh kerusakan pada satu atau lebih ligamen dari sendi pergelangan kaki.
Lama pemulihan cedera terkilir dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk usia,
indeks masa tubuh, dan karakteristik termasuk jenis terkilir, dan tingkat keparahan
(Bielska et al, 2012).
2.1.3.6 Keracunan
Manurut World Health Organization (WHO) (2008), rumah dan sekitarnya bisa
menjadi tempat berbahaya bagi anak-anak, khusunya adanya kemungkinan keracunan
yang disengaja. Secara alami, anak-anak mempunyai rasa ingin tahu, menjelajah di
sekitar rumah. setiap tahun terdapat jutaan panggilan untuk pusat kendali racun atau
dapat disebut juga sebagai pusat informasi racun, ribuan anak-anak dirawat di unit
gawat darurat karena mereka telah secara tidak sengaja mengkonsumsi beberapa jenis
produk rumah tangga, obat-obatan atau pestisida. Sebagian besar keracunan yang
tidak disengaja dapat dicegah. Keracunan mengacu pada cedera yang dihasilkan dari
terkena zat exsogenous yang menyebabkan cedera selluler atau kematian. Memahami
penyebab keracunan dapat membantu untuk mengurangi risiko keracunan yang tidak
disengaja maupun yang disengaja.
2.1.4 Faktor Penyebab Cedera
2.1.4.1 Jenis Kelamin
Menurut Espeland (2005 dalam Ayu, 2014) mengatakan bahwa jenis kelamin
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya cedera pada anak–anak,
anak laki-laki lebih sering mengalami cedera karena adanya perbedaan perilaku,
sehingga paparan terhadap risiko menjadi lebih besar. Selain itu, anak perempan
memiliki kemapuan motorik lebih halus daripada laki - laki. Cedera seperti luka bakar,
17
tergores, memar, luka robek, patah tulang, dan kecelakaan lalu lintas lebih sering
terjadi pada anak laki, sedangkan cedera karena tergigit dan kemasukan benda asing
banyak terjadi pada anak perempuan (Kuschithawati, Magetsari, & Nawi. 2007). Hasil
studi yang dilakukan di Provinsi Shandong, China tingkat kejadian cedera lebih tinggi
pada anak laki-laki (81,1 per 1000) dibandingkan perempuan (54,1 per 1000),
sehingga kejadian cedera lebih tinggi anak laki-laki daripada perempuan (Ma, 2008).
2.1.4.2 Pola Asuh Orang Tua pada Anak
Menurut Wong (2008), memberikan tiga macam pola asuh yang harus
dilakukan orang tua dalam keluarga, yaitu:
1. Pola Asuh Demokratis
.Pola asuh demokratik, orang tua mengkombinasikan praktik mengasuh anak
dari dua model yang ekstrem. Mereka mengarahkan perilaku dan sikap anak dengan
menekankan alasan peraturan dan secara negatif menguatkan penyimpangan. Mereka
menghormati individualis dari setiap anak dan mengizinkan mereka untuk
menyuarakan keberatannya terhadap standar atau peraturan keluarga. Kontrol orang
tua kuat dan konsisten tetapi disertai dengan dukungan, pengertian, dan kenyamanan.
Kontrol di fokuskan pada masalah, tidak pada penarikan rasa cinta atau takut pada
hukuman. Orang tua membantu “pengarahan diri sendiri” suatu kesadaran mengatur
perilaku berdasarkan perasaan bersalah atau malu untuk melakuakan hal yang salah,
bukan karena takut tertangkap atau takut dihukum. Standar realistis orang tua dan
harapan yang masuk akal menghasilkan anak dengan harga diri tinggi dan sangat
interaktif dengan anak lain (Wong, 2008).
Tipe mengasuh anak yang paling berhasil tampaknya adalah metode demokratis.
Orang tua tidak membuat batasan yang kaku dan memaksa, tetapi tetap
mempertahankan kontrol yang kuat, terutama pada area ketidaksepakatan orang tua
18
dengan anak. Orang tua saling membagi kekuasaan dan kedua orang tua menjadi
pemimpin tetapi mendengarkan apa yang dipikirkan oleh anak (Wong, 2008).
2. Pola Asuh Otoriter
Otoriter atau diktator, orang tua mencoba untuk mengontrol perilaku dan sikap
anak melalui perintah yang tidak boleh di bantah. Mereka menetapkan aturan atau
standar perilaku yang dituntut untuk diikuti dan tidak boleh dipertanyakan. Mereka
menilai dan memberi penghargaan atas kepatuhan absolut, sikap mematuhi kata-kata
mereka, menghormati prinsip dan kepercayaan keluarga tanpa kegagalan. Mereka
menghukum secara paksa setiap perilaku yang berlawanan dengan standar orang tua.
Otoritas orang tua dilakukan dengan penjelasan yang sedikit dan keterlibatan anak
yang sedikit dalam mengambil keputusan. Pesannya adalah: “ Lakukan saja karena
saya mengatakan begitu” (Wong, 2008).
Hukuman tidak selalu berupa hukuman fisik tetapi mungkin berupa
penarikan diri dari rasa cinta dan pengakuan. Latihan yang hati-hati sering kali
mengakibatkan perilaku pada anak, yang cenderung untuk menjadi sensitif, pemalu,
menyadari diri sendiri, cepat lelah, dan tunduk. Mereka cenderung lebih sopan, setia,
jujur, dan dapat di andalkan tetapi mudah dikontrol. Perilaku-perilaku ini lebih
terlihat ketika penggunaan kekuasaan orang tua disertai dengan pengawasan ketat dan
tingkat kasih sayang yang masuk akal. Jika tidak, penggunaan kekuasaan diktator lebih
cenderung untuk dihubungkan dengan perilaku menentang (Wong, 2008).
3. Pola Asuh Permisif
Keterampilan membesarkan anak dengan pola permisif didasarkan pada
anggapan bahwa seorang anak dilahirkan seperti sebuah kuntum bunga, yang hanya
memerlukan kasih sayang yang lembut dan dukungan untuk mekar menjadi setangkai
bunga yang indah. Anak-anak yang hidup dalam filosofi ini cenderung untuk
19
mendapatkan apa yang mereka inginkan dan segala pekerjaan dikerjakan untuk
mereka. Banyak dari mereka menjadi orang yang berpusat kepada dirinya sendiri dan
puas terhadap diri sendiri sehingga kurang bertanggung jawab secara sosial dimana
mereka lebih mempedulikan diri sendiri daripada kepedulian mereka terhadap orang
lain (Putra, 2012).
Orang tua dengan pola permisif percaya bahwa ekspresi-ekspresi yang tak
terstruktur dan bebas akan memberikan anak kebebasan untuk dapat menarik
kesimpulan sendiri dan mengungkapkan nilai-nilai mereka sendiri. Baumrind
menemukan bahwa bimbingan yang tidak cukup membuat anak-anak tidak tahu apa
yang harus dilakukan. Anak-anak mendapat kesulitan dalam memahami aturan untuk
diri mereka sendiri dan harus belajar cara yang sulit melalui cara mencoba-coba
(trial and error). Meskipun orang tua permisif mungkin sangat menerima dan mencintai
mereka, mereka tidak berhasil memberikan kepemimpinan yang cukup. Anak-anak
membangun sebuah pemahaman yang salah tentang diri mereka sendiri dirumah,
namun akhirnya menemukan bahwa didalam kehidupan nyata, teman sebaya dan
guru tidaklah sebaik orang tua mereka. Orang tua yang menggunakan pola permisif
memiliki perhatian terhadap hubungan dengan anak, terdapat banyak penguatan,
perlakuan-perlakuan hangat yang tidak jelas, pujian-pujian, orang tua lebih memberi
pengawasan yang lebih longgar, memberikan kesempatan pada anaknya untuk
melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Orang tua cenderung tidak
menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat
sedikit bimbingan yang diberikan oleh orang tua. Orang tua seringkali mengidolakan
anak mereka sendiri dan percaya bahwa anak mereka akan menemukan cara mereka
sendiri jika dibiarkan sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak harus membuat
aturan mereka sendiri. Akan tetapi, cara mencoba-coba adalah sebuah jalan yang sulit
20
untuk dipelajari karena anak-anak tidak lepas dari kesalahan dalam proses
mendefinisikan batasan-batasan (Putra, 2012).
Anak yang dalam pengasuhan orang tua yang permisif merindukan bimbingan
orang tua. Dalam kenyataannya, jika mereka tidak mempunyai garis pedoman atau
batasan-batasan, mereka dapat merasa bahwa orang tua mereka tidak benar- benar
peduli terhadap mereka atau masa depan mereka, dukungan semata adalah tidak
cukup. Dibawah filosofi permisif, orang tua seringkali gagal untuk memberikan
pemberdayaan yang diperlukan (Putra, 2012).
Pola asuh permisif akan menghasilkan anak yang impulsif, agresif, tidak patuh,
manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang
secara sosial (Putra, 2012).
4. Pola Asuh Laissez Faire
Kata laissez faire berasal dari Bahasa Perancis yang berarti membiarkan
(leave alone). Dalam istilah pendidikan, laissez faire adalah suatu sistim di mana
si pendidik menganut kebijaksanaan non intereference (tidak turut campur). Pola
asuhan ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk
berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri.
Orang tua tidak pernah memberi aturan dan pengarahan kepada anak. Semua
keputusan diserahkan kepada anak tanpa pertimbangan orang tua. Anak tidak tahu
apakah perilakunya benar atau salah karena orang tua tidak pernah membenarkan
ataupun menyalahkan anak. Akibatnya anak akan berprilaku sesuai dengan
keinginanya sendiri, tidak peduli apakah hal itu sesuai dengan norma masyarakat atau
tidak. Pada pola asuh ini anak dipandang sebagai makhluk hidup yang berpribadi
bebas. Anak adalah subjek yang dapat bertindak dan berbuat menurut hati nuraninya.
Orang tua membiarkan anaknya mencari dan menentukan sendiri apa yang
21
diinginkannya. Kebebasan sepenuhnya diberikan kepada anak. Orang tua seperti ini
cenderung kurang perhatian dan acuh tak acuh terhadap anaknya. Metode
pengelolaan anak ini cenderung membuahkan anak-anak nakal yang manja, lemah,
tergantung dan bersifat kekanak-kanakan secara emosional.
Seorang anak yang belum pernah diajar untuk mentoleransi frustasi,
karena ia diperlakukan terlalu baik oleh orang tuanya, akan menemukan banyak
masalah ketika dewasa. Dalam perkawinan dan pekerjaan, anak-anak yang manja
tersebut mengharapkan orang lain untuk membuat penyesuaian terhadap tingkah
laku mereka. Ketika mereka kecewa mereka menjadi gusar, penuh kebencian, dan
bahkan marah-marah. Pandangan orang lain jarang sekali dipertimbangkan.
Hanya pandangan mereka yang berguna. Kesukaran-kesukaran yang terpendam
antara pandangan suami istri atau kawan bekerja terlihat nyata.
Adapun ciri-ciri pola asuh laissez faire adalah membiarkan anak bertindak sendiri
tanpa memonitor dan membimbingnya. Mendidik anak acuh tak acuh, bersikap pasif
dan masa bodoh. Mengutamakan kebutuhan material saja, membiarkan saja apa yang
dilakukan anak (terlalu memberikan kebebasan untuk mengatur diri sendiri tanpa ada
peraturan-peraturan dan norma-norma yang digariskan orang tua), keakraban dan
hubungan yang hangat dalam keluarga sangat kurang.
Setiap tipe pengasuhan pasti memiliki resiko masing-masing. Pola asuh laissez
faire membuat anak merasa boleh berbuat sekehendak hatinya. Anak memang
memiliki rasa percaya yang lebih besar, kemampuan sosial baik, dan tingkat depresi
lebih rendah. Tapi juga akan lebih mungkin terlibat dalam kenakalan remaja dan
memiliki prestasi yang rendah di sekolah. Anak tidak mengetahui norma-norma sosial
yang harus dipatuhinya.
22
2.1.4.3 Lingkungan Rumah
Menurut Sofyani (2009, dalam Ayu, 2014) banyak orang mengira bahwa
rumah merupakan tempat yang paling aman untuk melindungi anak-anak dari bahaya
dan kejahatan dari luar. Akan tetapi, banyak yang tidak sadar bahwa sebenarnya
cedera ringan maupun berat justru banyak terjadi di dalam rumah. Lingkungan rumah
dilihat dari tiga kriteria yaitu keamanan di dalam rumah dan lingkungan luar rumah.
a) Keamanan di dalam rumah
Keamanan di dalam rumah dinilai dari ada tidaknya pegangan pada tangga di
dalam rumah, perkakas atau barang tersimpan ditempatnya dan dapat dijangkau oleh
anak atau tidak (Kuschithawati, Magetsari, & Nawi. 2007). Selain itu menurut Susanti
(2015), rumah yang aman adalah rumah yang memiliki lantai dan karpet yang
terpasang dengan baik, permukaan bath-tup atau shower yang tidak licin.
Sebagian kecelakaan terjadi di dalam rumah dan lebih dari setengahnya
melibatkan anak dibawah usia 5 tahun. Banyak kecelakaan yang bisa dicegah bila
mengubah tata letak benda-benda dan perabotan di dalam rumah, memastikan bahwa
jendela-jendela tertutup dan tidak dapat dimasuki anak, tidak pernah mengacaukan
wadah dengan memasukkan bahan yang berbahaya misalnya memasukkan bahan
pemutih ke dalam botol yang biasanya berisi minuman yang tidak berbahaya, tidak
pernah mengatakan kepada anak bahwa obat-obatan dan tablet adalah permen
khusus, memeriksa potensi bahaya ketika mengunjungi rumah teman atau kerabat,
dan meminta izin memindahkan benda-benda yang tajam atau mudah pecah,
mengajarkan dasar-dasar peraturan kepada anak (Purwoko, 2015).
23
Menurut Purwoko (2005), Keamanan tempat di dalam rumah yaitu:
1. Lorong dan Tangga
Anak tangga bukan tempat bermain yang aman bagi anak, keseimbangan seorang
anak belum cukup matang untuk membuat anak mampu menuruni anak tangga
dengan aman, yang perlu diperhatikan adalah pastikan mainan tidak tertinggal disana
sehingga membuat orang dapat tersandung, memaasang lampu di lorong rumah atau
tempat dimana anak anda akan turun jika terbangun di malam hari, jangan
membiarkan anak bermain di tangga karena jarak antar teralis pada pagar sisinya bisa
cikup lebar bagi anak untuk menyelipkan tubuhnya, memasang pagar pengaman
pada kaki dan puncak tangga dengan jarak antar teralis vertikal pada pagar pengaman
ini paling sedikit 10 cm, periksa keamanan pagar sisi tangga secara teratur, pastikan
bahwa pegangan tangannya kuat dan tidak longgar, periksa karpet pada anak tangga
misalnya karpet yang longgar, lepas, atau lainnya yang dapat membahayakan.
2. Pintu depan
Sebaiknya jangan membiarkan pintu depan terbuka, jangan biarkan anak
membuka pintu jika ada yang mengetuk, letakkan gagang pintu pada tempat yang
tidak terjangkau oleh anak-anak jika anak dapat menjangkau gagang pintu maka
pasang selot tambahan di tempat yang lebih tinggi dan selalu pasang selot tersebut.
3. Lantai
Lantai ubin yang dipoles atau divernis dapat membahayakan anak. Sebaiknya
pada lantai letakkan jala-jala antilicin di bawah karpet yang mudah lepas, lantai
lorong harus bebas dari mainan dan tumpukan barang-barang, periksa karpet secara
teratur untuk melihat adanya lubang yang dapat menyebabkan kaki anak tersangkut.
24
4. Dapur
Dapur merupakan salah satu tempat untuk menghabiskan waktu dengan anak.
Kesibukan yang tiada hentinya dan kegiatan memasak dapat menyebabkan dapur
menjadi tempat yang berbahaya misalnya tempat sampah, jangan biarkan anak-anak
mengaduk isi tempat sampah, letakkan kaleng yang berisi benda tajam, tutup kaleng,
dan pecahan kaca kedalam tempat sampah utama di luar rumah, simpan tempat
sampah di tempat yang tidak bisa dijangkau oleh anak.
5. Ruang duduk
Usahakan mengatur ruangan sedemikian rupa sehingga anak-anak terhindar dari
bahaya. Jangan meletakkan mainan di tempat yang tinggi karena anak akan berusaha
untuk mengambilnya. Biasanya di ruang duduk terdapat televisi, video, dan peralatan
audio sebaiknya kabel-kabel dirapikan di belakang papan pelindung sudut bawah
dinding, meletakkan kabel yang panjang di belakang perabotan sehingga anak tidak
dapat tersandung atau menariknya, menutup semua stop kontak yang tidak sedang
digunakan.
6. Kamar anak
Di dalam kamar juga perlu memperhatikan tinggi tempat tidur, gunakan bantal
atau guling sebagai pinggiran anak agar tidak terjatuh, sebaiknya ketika menggunakan
tempat tidur susun di beri batas pinggir tempat tidur, jangan membiarkan anak
bermain di atas tempat tidur susun. Pada bagian jendela kamar pastikan anak tidak
dapat memanjat keluar kamar karena berisiko untuk jatuh.
7. Kamar mandi
Di dalaam kamar mandi anak-anak berisiko jatuh, tenggelam, dan keracunan. Oleh
karena itu selalu tutup pintu kamar mandi agar anak tidak ingin memasukinya,
25
dibagian dalam pintu pasang selot di tempat yang tinggi untuk mencegah anak
mengunci dirinya sendiri.
b) Keamanan di sekitar rumah
Setelah di dalam rumah kebanyakan kecelakaan anak-anak terjadi di jalan atau
sekitar rumah. Keamanan di luar rumah, seperti pencahayaan yang adekuat, baik
dalam maupun diluar, meminimalkan kemungkinan terjadinya kecelakaan selain itu
cedera pada anak–anak bisa terjadi dimana saja antara lain dirumah, disekolah, di
tempat lainnya atau lebih dari satu tempat dan kejadian cedera dapat terjadi pada
waktu kapan saja (Kuschithawati, Magetsari, & Nawi. 2007).
Cedera pada anak-anak terutama cedera yang tidak disengaja terjadi di
berbagai tempat, termasuk di rumah (43,8%), di sekolah (16,3%), di luar ruangan
(12,3%) ketika berjalan ke sekolah (9,7%), dan di tempat-tempat rekreasi publik
(6,3%), sehingga lokasi atau tempat yang paling sering dan berisiko cedera merupakan
tempat bagi anak-anak untuk menghabiskan sebagian besar waktu mereka. Fokus
pada kegiatan umum seperti bermain (34,5%), berjalan (22,1%), melakukan pekerjaan
rumah (14,7%), mengendarai sepeda (11,1%), dan melakukan olahraga dan kegiatan
lainnya (17,6%) (Shi et al, 2014). Menurut Purwoko (2005) Anak berusia 3 tahun
dapat belajar bahwa trotoar itu aman dan jalan itu berbahaya. Anak berusia 5 tahun
dapat belajar cara menyeberang jalan tetapi anak belum dapat mempraktekkan sendiri
tanpa di dampingi oleh orang dewasa.
2.1.4.4 Pengawasan Orang Tua
Menurut Nursalam (2008, dalam Ayu, 2014) mengatakan bahwa tindakan
pencegahan berupa pengawasan dapat dilakuan oleh orang tua, karena anak tidak
memperhatikan bahaya. perlindungan anak dan edukasi orang tua adalah kunci
penentu pencegahan cedera. Pengawasan dari orang tua dinilai dari anak di izinkan
26
atau tidak bermain di dapur, di parit, korek api, danada atau tidaknya pengawasan
pada waktu bermain (Kuschithawati, Magetsari, & Nawi. 2007). Karakteristik orang
tua yaitu sikap orang tua berpengaruh terhadap risiko cedera pada anak, dimana sikap
orang tua akan menentukan bagaimana orang tua akan bertindak untuk melindungi
anaknya dari cedera dengan melakukan tindakan berupa pengawasan yang merupakan
faktor paling berpengaruh terhadap kejadian cedera pada anak (Indarwati, 2011).
Tingkat intensitas pengawasan diperlukan untuk menciptakan keamanan. Pengawasan
yang efektif misalnya memegang tangan anak, berada di dekat anak, dan melihat anak
dari jendela ketika bermain diluar (Barton & Schwebel, 2007).
Satu studi yang dilakukan di pedesaan China Tengah, ditemukan bahwa anak-
anak memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi untuk terjadi cedera karena kurangnya
pengawasan (Shi et al, 2014). Menurut whaley & Wong’s (1991), faktor risiko lain
yang menyebabkan cedera pada anak yaitu ketidakpedulian orang tua pada anak, usia
ibu muda, pengetahuan orang tua, dan stress keluarga.
2.1.5 Pencegahan Cedera Selama Masa Kanak-kanak Awal
Tabel 2.1 Pencegahan Cedera Selama Masa Kanak-kanak Awal
Kemampuan perkembangan yang berhubungan dengan risiko cedera
Pencegahan cedera
1. Berjalan, berlari, dan memanjat
2. Mampu membuka pintu dan gerbang
3. Dapat menaiki sepeda roda tiga
4. Dapat melempar bola dan benda lain
Kendaraan bermotor 1. Gunakan sabuk pengaman 2. Awasi anak saat bermain di luar 3. Jangan membiarkan anak bermain di pinggir
jalan atau di belakang mobil yang sedang parkir 4. Jangan membiarkan anak bermain di tumpukan
daun atau kontainer besar di daerah lalu lintas 5. Awasi anak saat mengendarai sepeda roda tiga 6. Kunci pagar dan pintu jika tidak dapat
mengawasi anak secara langsung 7. Ajarkan anak untuk mematuhi peraturan
keamanan pejalan kaki
1. Mampu mengeksplorasi jika di tinggal tanpa pegawasan
2. Memiliki rasa keingintahuan yang besar
3. Tidak berdaya di dalam air,
Tenggelam 1. Awasi anak dengan ketat ketika berada di dekat
sumber air, termasuk ember 2. Jaga pintu kamar mandi dan toilet agar tetap
tertutup
27
tidak waspada terhadap bahayanya
3. Pasang pagar di sekeliling kolam renang dan kunci gerbangnya
4. Ajari berenang dan keamanan dalam air
1. Mampu mencapai ketinggian dengan memanjat, merentangkan badan, dan berdiri dengan ujung jari kaki
2. Menarik benda-benda 3. Mengeksplorasi setiap
lubang 4. Dapat membuka laci dan
lemari 5. Tidak mengetahui sumber-
sumber yang berpotensi menimbulkan panas atau api
6. Bermain dengan benda-bend mekanis
Luka bakar 1. Putar pegangan teko ke bagian belakang kompor 2. Letakkan peralatan listrik, sperti mesin pembuat
kopi dan popcorn ke bagian belakang lemari 3. Simpan korek api dan pematik api rokok di
daerah yang terkunci atau yang tidak dapat di jangkau
4. Letakkan lilin dan obat nyamuk bakar yang menyala, makanan panas, dan rokok di luar jangkauan
5. Jangan biarkan taplak meja tergantung sehingga dapat dijangkau anak
6. Jangan biarkan kawat listrik dari setrikaan atau peralatan lain tergantung sehingga dapat dijangkau anak
7. Tutup soket listrik dengan penutup plastik 8. Letakkan kabel listrik secara tersembunyi atau
diluar jangkauan 9. Jangan mengizinkan anak bermain dengan
peralatan listrik, kabel, atau korek api 10. Ajari tentang apa artinya panas pada anak
1. Mengeksplorasi dengan meletakkan benda ke dalam mulut
2. Dapat membuka laci, lemari, dan banyak wadah
3. Memanjat 4. Tidak dapat membaca label 5. Tidak meengetahui dosis
atau jumlah yang aman
Keracunan 1. Letakkan semua bahan yang berpotensi beracun
di luar jangkauan atau di lama lemari yang terkunci
2. Waspada terhadap memakan bahan makanan yang tidak bisa dikunyah seperti tanaman
3. Letakkan kembali obat atau bahan beracun dengan segera, pasang kembali penutup obat bertakaran secara tepat
4. Berikan obat sebagai obat, bukan sebagai permen
5. Jangan menyimpan sejumlah besar bahan beracun secara berlebihan
6. Segera buang wadah racun yang sudah kosong, jangan pernah menggunakannya kembali untuk menyimpan bahan makanan atau racun
7. Ajari anak untuk tidak bermain dalam wadah sampah
8. Jangan melepas label dari wadah bahan beracun 9. Cari tahu nomor dan lokasi pusat pengendali
racun terdekat
1. Mampu membuka pintu dan beberapa jendela
2. Naik dan turun tangga 3. Kedalaman persepsi belum
sempurna
Jatuh 1. Pasang jaring-jaring pada jendela, paku dengan
aman, dan pasang terali pelindung 2. Pasang gerbang di atas dn bawah tangga 3. Jaga pintu agar tetap terkunci dan gunakan
penutup /pelapis tombol pintu yang tidak dapat dibuka oleh anak pada pintu masuk ke tangga, serambi tinggi atau daerah tinggi lainnya termasuk tempat jemuran
28
4. Ganti karpet yang sudah robek atau yang sudah tidak aman
5. Pertahankan trali tempat tidur agar tetap dalam keadaan tinggi dan kasur berada di tingkat rendah
6. Pasang karpet di bawah tempat tidur dan di kamar mandi
7. Jauhkan mainan atau bantalan besar dari tempat tidur atau dari tempat bermain anak
8. Hindari penggunaan walker, terutama di dekat tangga
9. Kenakan pakaian yang aman 10. Jangan pernah meninggalkan anak di dalam
kereta belanja 11. Awasi tempat bermain, pilih area bermain
dengan lantai dilapisi bahan yang lembut dan aman
1. Memsukkan benda ke mulut 2. Dapat menelan potongan
makanan yang keras atau tidak dapat dikunyah
Tersedak 1. Hindari potongan daging yang besar dan bulat 2. Hindari buah yang ada bijinya, ikan berduri,
buncis kering, permen keras, permen karet, kacang, popcorn, anggur.
3. Pilih mainan yang besar dan kuat tanpa tepi tajam atau tanpa bagian kecil yang bisa dilepas
4. Pilih kotak mainan yang aman atau lemari yang tidak memiliki tutup berengsel berat
5. Letakkan tali tirai diluar jangkauan anak 6. Lapaskan tali penarik dari pakaian
1. Masih kaku dalam berbagai keterampilan
2. Mudah terdistraksi dari berbagai tugas
3. Tidak mewaspadai potensi bahaya yang di timbulkan oleh orang asing atau orang lain
Kerusakan tubuh 1. Hindari benda tajam atau runcing seperti pisau,
gunting, atau tusuk gigi-terutama jika berjalan atau berlari
2. Jangan membiarkan permen lolipop atau benda serupa berada di dalam mulut ketika anak berjalan atau berlari
3. Simpan semua peralatan berbahaya, perlatan berkebun, dan senjata api dalam kabinet terkunci
4. Waspada terhadap bahaya dari binatang yang di awasi dan binatang peliharaan
5. Ajari nama anak, alamat, dan noemr telepon serta meminta bantuan dari orang yang benar (kasir, penjaga keamanan, polisi) jika tersesat; pasang identifikasi pada anak (dijahit di pakaian, bagian dalam sepatu)
6. Ajari tindakan keamanan terhadap orang asing misalnya seperti jangan pergi bersama orang asing, ceritakan orang tua jika ada yang membuat anak merasa tidak nyaman dengan cara apapun, selalu mendengarkan kekhawatiran anak mengenai perilaku orang lain, ajari anak megatakan “tidak” ketika dihadapkan pada situasi yang tidak nyaman.
29
2.2 Konsep Anak
2.2.1 Definisi Anak
Menurut Hidayat (2008), anak merupakan individu yang berada dalam satu
rentang perubahan perkembangan anak yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa
anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari masa
neonatus (0-28 hari), masa bayi (29 hari-1 tahun), masa anak (1-2 tahun), masa pra
sekolah (3-6 tahun), masa sekolah (6-12 tahun), masa remja (12-18 tahun) (Hidayat,
2013).
2.2.2 Karakteristik Anak Usia Pra sekolah
Ritualisme dan negativisme yang melekat pada masa toodler secara bertahap
menghilang selama masa prasekolah sudah memperlihatkan rasa autonomi mereka
secara berbeda. Mereka mampu mengemukakan keinginan mereka akan kemandirian
dan melakukannya secara mandiri karena perkembangan fisik dan kognitifnya yang
semakin halus. Pada usia 4 sampai 5 tahun mereka hanya memerlukan sedikit
bantuan, jika perlu, untuk berpakaian, makan, atau ke toilet. Mereka juga dapat
dipercaya untuk mematuhi peringatan bahaya, meskipun anak usia 3 atau 4 tahun
kadang-kadang masih melebihi batas.
Mereka juga jauh lebih mampu bersosialisasi dan memiliki keinginan untuk
memuaskan, mereka telah menginternalisasi banyak standar dan nilai keluarga dan
budaya. Namun, pada akhir masa kanak-kanak awal mereka mulai mempertanyakan
nilai parental dan membandingkan nilai-nilai tersebut dengan nilai-nilai kelompok
sebayanya dan figur otoritas lain. Akibatnya, mereka kurang berkeinginan untuk
mematuhi peraturan keluarga. Anak usia pra sekolah menjadi semakin menyadari
posisi dan peran mereka dalam keluarga. Meskipun merupakan usia yang lebih aman
30
untuk mendapatkan tambahan sibling, melepaskan posisi anak pertama atau anak
termuda masih tetap sulit dan memerlukan persiapan yang sesuai (Wong, 2008).
2.2.3 Ciri–Ciri Perkembangan Anak Usia Tiga-Enam Tahun
1. Perkembangan Fisik
Pada akhir usia tiga tahun, seoranga anak memiliki tinggi tiga kaki dan 6 inci
lebih tinggi saat ia berusia 5 tahun. Berat badannya kira-kira 15 kg dan diharapkan
menjadi 20 kg saat berusia 5 tahun. Tentu ada perbedaan berat dan tinggi badan pada
setiap anak dikarenakan faktor keturunan, efek dari pemberian nutrisi, dan faktor lain
yang dimiliki anak dalam riwayat hidupnya. Anak laki-laki akan lebih tinggi dan lebih
berat daripada anak perempuan, namun hal ini juga bisa saja berbeda tergantung pada
perawatan dan kecenderungan pertumbuhan anak. Dalam usia ini otot-otot anak
menjadi lebih kuat dan tulang-tulang tumbuh menjadi besar dan keras. Otak pun
telah berkembang sekitar 75% dari berat otak usia dewasa. Gigi masih merupakan
gigi susu dan akan berganti pada perkembangan berikutnya dengan gigi tetap (Akbar
& Hawadi, 2001).
2. Perkembangan Motorik
Perkembangan motorik bukan hanya mencangkup berjalan, berlari,
melompat, naik sepeda roda tiga, mendorong, menarik, memutar, dan berbagai
aktivitas koordinasi mata tangan, namun juga melibatkan hal-hal seperti menggambar,
mengecat, mencoret dan kegiatan lain. Keterampilan motorik berkembang pesat pada
usia ini. Kemampuan keseimbangan membuat anak mencoba berbagai kegiatan
dengan keyakinan yang besar akan keterampilan yang dimilikinya. Anak mampu
memanipulasi objek kecil seperti potongan-potongan puzzle. Mereka juga bisa
menggunakan balok-balok dalam berbagai ukuran dan bentuk (Akbar & Hawadi,
2001).
31
Anak suka sekali masuk dan keluar kotak besar, di bawah meja, bersembunyi
dari sesuatu. Pada saat anak berusia 5 tahun, belajar permainan lebih melibatkan
keterampilan motorik. Anak sangat menyukai gerakan-gerakan yang membangkitkan
semangat. Untuk itu, mereka tidak butuh duduk berlama-lama. Sehingga yang cocok
pada usia ini permainan yang merangsang kegemaran mereka akan gerakan-gerakan,
bukan permainan kompetisi (Akbar & Hawadi, 2001).
3. Perkembangan Intelektual
Usia 3 sampai 6 tahun merupakan usia yang sangat temperamental bagi anak.
Rasa takut muncul dari apa saja yang mengancam ataupun dari hal-hal yang tidak
biasa. Dengan meningkatnya kesadaran diri seorang anak, anak mudah untuk takut.
Rasa takut muncul pada kebanyakan anak usia empat tahun atau lima tahun dari
cerita-cerita tentang hantu, tempat-tempat berbahaya dan seram, penculikan,
kecelakaan dan kematian. Televisi juga memberi andil pada meningkatnya rasa takut
pada usia ini. Marah seringkali terjadi pada usia kanak-kanak pertama. Setiap hal yang
mengurangi rasa senang anak, konflik dan frustasi merupakan sumber rasa marah
anak (Akbar & Hawadi, 2001).
Emosi iri dan cemburu juga sering muncul pada usia tiga sampai empat
tahun. Hal ini timbul karena anak tidak memiliki hal-hal yang dimiliki oleh teman
sebayanya. Bisa terjadi juga karena setiap anak menginginkan mendapat perhatian
dan afeksi. Rasa ingin tahu merupakan kondisi emosional yang baik dari anak. Ada
dorongan pada anak untuk mengeksplorasi dan belajar hal-hal yang baru. Yang perlu
ditekankan bahwa rasa ingin tahu tersebut terkendali, jangan sampai pada objek-
objek yang biasa dikenalnya serta tentang kejadian-kejadian mekanika yang ada
disekitarnya. Usia tiga tahun anak mulai banyak bertanya dan mencapai puncaknya
32
pada usia sekitar 6 tahun. Untuk itu usia 3-6 tahun disebut pula sebagai Questioning
Age (Akbar & Hawadi, 2001).
4. Perkembangan Sosial
Pada usia 3-6 tahun, anak belajar menjalin kontak sosial dengan orang-orang
yang ada diluar rumah, terutama dengan anak sebayanya. Untuk itulah pada rentang
usia ini disebut dengan Pregang Age. Guru mendorong anak untuk melakukan kontak
sosial dengan anak lain dengan cara bermain dan bicara bersama (Akbar & Hawadi,
2001).
Pada awalnya anak bergaul dengan siapa saja yang dipilihnya untuk bisa
bermain bersama. Namun, lama-kelamaan, anak mempunyai minat yang lebih untuk
bermain dengan temannya yang sama jenis kelaminnya. Pada anak usia pra-sekolah,
teman bermainnya seringkali orang-orang dewasa di dalam keluarga maupun saudara
sekandungnya sendiri, baru kemudian ia bergaul dengan anak lain. Biasanya orang
dewasa yang menemani bermain tidak betul-betul bermain sehingga bisa dikatakan
anak bermain sendiri (Akbar & Hawadi, 2001).
Kebutuhan yang kuat untuk berteman jika terpenuhi, akan diganti oleh anak
sesuai dengan umurnya. Pada anak pra-sekolah, teman penggantinya adalah imaginary
playmates. Teman khayal anak sebgaimana layaknya teman di dunia nyata memiliki
nama, ciri-ciri fisik dan kemampuan yang normal yang dimiliki anak sebaya. Biasanya,
anak cenderung senang dengan teman khayal ini, karena adanya perbedaan dalam
status soaial kehidupan. Usia yang biasa untuk berteman khayal adalah tiga sampai
empat tahun dan diatas usia itu, anak biasanya menggantikan dengan binatang
peliharaan. Binatang peliharaan seperti kelinci, burung, kucing, ikan, dan kura-kura
(Akbar & Hawadi, 2001).
33
2.2.4 Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Pertumbuhan (growth) meupakan peningkatan jumlah dan besar sel di seluruh
bagian sel di seluruh bagian tubuh selama sel-sel tersebut membelah diri dan
meyintesis protein-protein baru, menghasilkan penambahan jumlah dan berat secara
keseluruhan atau sebagian. Perkembangan (development) adalah perubahan secara
berangsur-angsur dan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh, meningkat dan
meluasnya kapasitas seseorang melalui pertumbuhan, kematangan, atau kedewasaan,
dan pembelajaran (Hidayat, 2013).
Menurut Hidayat (2009), pertumbuhan dan perkembangan adalah hal yang
berbeda tetapi saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Namun pertumbuhan
dan perkembangan setiap anak berbeda dimana dapat mengalami masa percepatan
dan masa perlambatan. Peristiwa pertumbuhan anak terjadi pada besarnya, jumlah,
ukuran didalam tingkat sel, organ maupun individu, sedangkan peristiwa
perkembangan anak terjadi pada perubahan bentuk dan fungsi kematangan organ
seperti sosial, emosional, dan intelektual.
Menurut Piaget (1896-1980, dalam Santrock, 2011), memberikan gagasan
bahwa perkembangan manusia melalui empat tahapan untuk mengerti tentang dunia.
Setiap tahap dikaitkan dengan usia dan terdiri atas cara yang jelas dan berbeda untuk
berpikir dalam memahami dunia.
2.2.5 Perkembangan Kognitif Anak
Perkembangan kognitif anak menurut Hidayat (2009), menjadi empat tahap
yaitu :
1. Tahap sensori motor (umur 0-2 tahun), pada tahap ini anak dapat menerima
informasidengan cara melihat, mendengar, menyentuh, dan aktivitas motorik.
Pada masa ini semua benda yang dilihat, dirasakan, disentuh maupun didengar
34
oleh anak akan diarahkan ke mulut karena rasa keingintahuannya, ini menandakan
sifat egois dari pikiran anak.
2. Tahap praoperasional (umur 2-7 tahun), pada tahap ini anak belum mampu dalam
mengoperasionalkan apa yang dipikirkan melalui tindakan. Dalam penelitian
piaget anak selalu menunjukkan sifat egois seperti anak selalu ingin memilih
sesuatu atau mendapatkan ukuran yang lebih besar meskipun isi didalamnya
sedikit. Pada masa ini pikiran anak bersifat transduktif, dimana menganggap
semua sama, seperti seorang pria didalam keluarga adalah ayah maka semua pria
adalah ayah, pikiran yang kedua bersifar animisme, bahwa selalu memperhatikan
benda mati, seperti ketika anak terbentur benda mati maka anak akan memukulnya
kearah benda mati tersebut.
3. Tahap kongkret (7-11 tahun), pada tahap ini anak sudah berfikir secara nyata
dengan kehidupannya, namun sikap berfikirnya belum sampai pada pikirannya
dalam membuat konsep atau hipotesa dan pada masa ini anak dapat menyamakan
argumen dengan orang lain. Sifat egois pada anak sudah mulai hilang sebab anak
sudah mengerti tentang ketidakmampuan dalam mendapatkan rasa keinginannya.
Sifat pikiran pada anak usia ini adalah reversibilitas dimana cara memandang dari
arah berlawanan (kebalikan).
4. Formal atau operasional (11 tahun keatas) pada tahap ini pola pikir anak sudah
mengalami perkembangan dengan membentuk kepribadian dan mampu
menyelesaikan aktivitas dalam pikirannya, mampu menduga, dan mampu
membuat hipotesa ataupun konsep.
Pada masa pertumbuhan anak usia prasekolah, perubahan pertumbuhan akan
dapat dilihat dari meningkatnya berat badan rata-rata 2 kg dan tinggi badan rata-rata
6,75-7,50 setiap tahunnya, terlihat kurus akan tetapi aktifitas motoriknya tinggi,
35
sistem tubuh yang sudah mencapai kematangan seperti berjalan, melompat, dan lain-
lain (Hidayat, 2007).
Perkembangan kognitif pada masa ini sudah mulai menunjukkan
perkembangan seperti perubahan dalam pola makannya dimana pada dasarnya
kesulitan untuk makan, proses eleminasi pada anak sudah mulai menunjukkan adanya
kemandirian, anak sudah mempersiapkan diri untuk memasuki sekolah dan terlihat
anak tidak mampu menilai sesuatu berdasarkan apa yang dilihat, anak membutuhkan
pengalaman belajar dengan lingkungan dan orang tuanya. Perkembangan psikososial
pada anak sudah menunjukkan adanya inisiatif, konsep diri yang positif, serta mampu
mengidentifikasi identitasnya sendiri (Hidayat, 2007).
Menurut Santrock (2011), Anak-anak mengembangkan rasa penguasaan diri
akan sesuatu melalui peningkatan kemampuan keterampilan motorik kasar dan
motorik halus. Motorik kasar pada anak prasekolah tidak lagi hanya berdiri dan
bergerak, melainkan akan menggerakkan anggota tubuh lebih percaya diri dan
membawa mereka lebih aktif lagi dimana dengan rasa ingin tahunya untuk ingin
mengetahui lingkungannya. Pada masa ini, anak akan melakukan gerakan sederhana
seperti berjalan, berlari, dan melopat.
Dari beberapa penelitian menyatakan bahwa usia anak 3-5 tahun adalah usia
dimana anak memiliki tingkat aktivitas yang tinggi, sehingga mereka tidak ingin diam
ketika makan maupun tidur karena aktivitas yang tinggi dan perkembangan otot-otot
besar, seperti pada lengan dan kaki (Santrock, 2011).
Perkembangan motorik halus pada anak mulai memiliki kemampuan untuk
menggoyangkan jari kaki, menggambarkan dua atau tiga bagian, memilih garis yang
lebih panjang, menggambar orang, melepas objek dari jari lurus, mampu menjepit
benda, melambaikan tangan, menggunakan tangannya untuk bermain, menempatkan
36
objek kedalam wadah, makan sendiri, minum dari cangkir dengan bantuan,
menggunakan sendok dengan bantuan, makan dengan jari, membuat coretan diatas
kertas, dan lain-lain (Hidayat, 2009).
2.3 Panduan Antisipasi–Asuhan Keluarga
Masa pra sekolah memberikan lebih sedikit kesulitan dalam pengasuhan anak
di bandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, dan stadium perkembangan ini di
fasilitasi oleh panduan antisipasi yang teapat di area yang telah di diskusikan. Terjadi
pergeseran dalam praktik pengasuhan anak dari perlindungan ke edukasi. Sementara
pencegahan cedera yang sebelumnya dipusatkan pada pengamanan lingkungan
terdekat, seperti pagar pelindung dan penutup lubang beraliran listrik diganti dengan
penjelasan verbal tentang mengapa ada bahaya dan bagaimana menghindarinya
dengan penilaian dan pemahaman yang tepat.
Selama periode ini juga terjadi transisi emosi antara orang tua dan anak .
meskipun anak masih terikat pada orang tua mereka dan menerima semua nilai dan
kepercayaan orang tua, mereka mendekati periode kehidupan ketika mereka akan
mempertanyakan pengajaran sebelumnya dan lebih suka ditemani teman sebaya.
Memasuki sekolah menandai perpisahan dari rumah bagi orang tua maupun bagi
anak. Orang tua perlu bantuan dalam menyesuaikan perubahan ini, terutama bila ibu
tel;ah memusatkan pada aktivitas kewajiban rumah tangga. Ketika anak prasekolah
mulai masuk sekolah dasar, ibu mungkin perlu mencari aktivitas di luar keluarga,
seperti keterlibatan dengan masyarakat atau meniti karier. Dengan cara ini semua
anggota keluarga menyesuaikan diri terhadap perubahan, yang merupakan bagian dari
proses pertumbuhan dan perkembangan.
37
2.3.1 Asuhan Keluarga di Rumah
Panduan selama masa prasekolah
1. Usia 3 tahun
1. Mempersiapkan orang tua terhadap peningkatan ketertarikan anak dalam
memperluas hubungan
2. Mendorong pendaftaran ke program sekolah
3. Menekankan pentingnya membuat peraturan
4. Mempersipkan orang tua terhadap perilaku pengurangan ketegangan secara
berlebihan yang akan terjadi, seperti perlunya “selimut keamanan”
5. Mendorong orang tua untuk memberikan pilihan jika anak tidak yakin
6. Mempersiapkan orang tua terhadap adanya perubahan besar pada usia 3
setengah tahun seperti yang telahdiperkirakan, ketika anak menjadi kurang
memiliki koordinasi (motorik dan emosional), menjadi tidak aman, dan
memperlihatkanemosional yang ekstrim
7. Mempersiapkan orang tua terhadap ketidaklancaran bicara yang normal dan
menasihati mereka untuk menghindari pemfokusan pola
8. Mempersiapkan orang tua untuk memperkirakan permintaan ekstra
perhatian mereka sebagai cerminan ketidakamanan emosi anak dan
ketakutan akan kehilangan cinta
9. Memperingatkan orang tua bahwa keseimbangan perilaku pada usia 3 tahun
akan berubah ke perilaku agresif, diluar batas pada usia 4 tahun
10. Menginformasikan orang tua untuk mengantisipasi selera makan yang stabil
dengan lebih banyak pemilihan makanan
11. Menekan perlunya perlindungan dan edukasi anak utuk mencegah cedera.
38
2. Usia 4 tahun
1. Mempersiapkan orang tua untuk perilaku yang lebih agresif, termasuk
aktivitas motorik dan bahasa ofensif
2. Mempersiapkan orang tua untuk perkiraan penolakan terhadap otoritas
orang tua
3. Mengeksplorasi perasaan orang tua mengenai perilaku anak
4. Menganjurkan semacam istirahat bagi pemberi asuhan primer, seperti
menempatkan anak di prasekolah setengah hari
5. Mempersiapkan orang tua terhadap peningkatan keingintahuan seksual
6. Menekankan pentingnya penentuan batas yang realistis pada perilaku dan
teknik disiplin yang sesuai
7. Mempersiapkan orang tua terhadap anak usia 4 tahun yang sangat imajinatif
yang suka “mengarang cerita“ (harus dibedakan dengan kebohongan) dan
terhadap teman bermain imaginer anak.
8. Mempersiapkan orang tua untuk mengantisipasi adanya mimpi buruk atau
adanya peningkatan mimpi buruk serta menganjurkan orangtua untuk
memastikan bahwa anaknya telah terbangun penuh dari mimpi yang
menyeramkan.
9. Memberikan jaminan bahwa periode ketenangan akan mulai pada usia 5
tahun
3. Usia 5 tahun
1. Menginformasikan orang tua untuk mengharapkan periode tenang pada anak
usia 5 tahun.
2. Membantu orang tua mempersiapkan anak untuk masuk ke dalam
lingkungan sekolah.
39
3. Memastikan bahwa imunisasi tepat waktu sebelum memasuki sekolah.
4. Menganjurkan agar ibu yang tidak bekerja mempertimbangkan aktifitasnya
sendiri ketika anak mulai memasuki sekolah.
5. Menganjurkan pelajaran berenang untuk anak.
2.4 Identifikasi Faktor Penyebab Terjadinya Cedera pada Anak Usia 3-6 Tahun
Kuschithawati, Magetsari, & Nawi (2007) meneliti tentang faktor risiko
terjadinya cedera pada anak usia sekolah dasar. Tujuan dari penelitian ini adalah
mengidentifikasi jenis cedera dan faktor risiko terjadinya cedera pada anak–anak
sekolah dasar di yogyakarta. Penelitian ini merupakan studi cross sectional yang
dilakukan di sekolah, dengan pengambilan sampel secara multistage cluster sampling
(pengambilan sampel melalui beberapa tahap). Hasil penelitian ini memiliki prevalensi
cedera sebesar 42,56 % (luka ringan 36,89% dan luka parah 5,7%). Faktor terkait
dengan kejadian cedera pada anak–anak sekolah dasar yaitu jenis kelamin dan
lingkungan rumah. Jenis cedera yang sering terjadi pada anak–anak sekolah dasar
adalah tergores, memar, terkilir, gigitan hewan, luka bakar, kecelakaan lalu lintas,
patah tulang dan terkena serpihan kecil yang dapat melukai anggota tubuh.
Menurut Granie (2010), cedera yang tidak di sengaja menjadi masalah
kesehatan yang serius di masyarakat terutama bagi anak-anak dan risiko yang sering
terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Responden pada penelitian ini
berjumlah 170 anak yang pernah mengalami cedera, usia 3 sampai 6 tahun (89 anak
laki-laki dan 81 anak perempuan) di ukur secara tidak langsung dalam dilakukan
selama 2 kali yang diisi oleh orang tua mereka. Hasil dari penelitian menunjukkan
bahwa perilaku risiko cedera pada anak laki-laki dan perempuan diperkirakan
disebabkan oleh maskulin sterotip. Ini menggambarkan bahwa peran gender
40
mempunyai dampak atau pengaruh terkait dengan perilaku risiko cedera pada anak
prasekolah
Wang, et al (2011) melakukan penelitian yang bertujuan untuk
mengidentifikasi kejadian dan faktor risiko cedera pada anak-anak pra sekolah usia 0-
6 tahun di negara Cina. Metode yang digunakan yaitu penelitiaan secara acak
dilakukan di kota Shenzhen yang terletak di Cina bagian selatan. Target populasi
dalam penelitian ini yaitu anak-anak usia 0-6 tahun di kota Shenzhen. Hasil kejadian
cedera adalah 3,4%. Setelah dilakukan penyesuaian untuk semua variabel yang dipilih.
Faktor risiko pada anak-anak meliputi pekerjaan ayah, anak yang terlalu aktif,
penyimpanan barang yang membahayakan bagi anak, dan faktor pengawasan orang
tua dan faktor–faktor perlindungan guru terhadap keselamatan anak-anak di sekolah.
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu intervensi yang diberikan diharapkan dapat
membantu mencegah dan mengurangi terjadinya cedera pada anak-anak
Morrongiello, et al (2006) melakukan uji pembelajaran ibu mengenai
permasalahan yang ada dirumah tentang keamanan bagi anak-anak berusia 24-30
bulan dan 36-42 bulan. Peneliti melakukan penelitian utuk mengetahui bagaimana
hubungan strategi gaya pembelajaran orang tua dan penilaian terkait dengan faktor-
faktor risiko cedera yang tidak disengaja pada anak-anak. Metode yang digunakan
adalah wawancara yang mengkaji permasalahan dirumah tentang struktur keamanan
yang berkaitan dengan jatuh, luka bakar, luka, keracunan, sesak nafas, dan tersedak.
Ibu melakuakan identifikasi trhadap anakmya yang berkaitan dengan masalah
keamanan, jenis cedera yang terjadi, dan sejauh mana ibu memanfaatkan
pembelajaran sebagai strategi untuk mengatasi setiap permasalahan keamanan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dukungan ibu tentang masalah keamanan dirumah
tidak bervariasi sesuai dengan umur anak, ibu menggunakan ajaran yang diperoleh
41
untuk mengelola masalah keamanan untuk semua jenis cedera, dan jenis strategi
pembelajaran (penjelasan, aturan, dan modifikasi perilaku) bervariasi dengan gaya
pengasuhan yang menekankan ekspresi diri dan aturan sendiri. Dengan demikian,
ajaran tentang keselamatan adalah strategi menejemen risiko cedera yang digunakan
oleh ibu untuk mengatasi bahaya dirumah. Namun, tipe dari strategi mengajar yang
digunakan bervariasi sesuai dengan gaya pengasuhan yang memiliki implikasi
terhadap risiko cedera pada anak.
Morrongiello, et al (2010) melakukan penlitian tentang child injury: The Role of
Supervision in Prevention. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa pengawasan dapat
mempengaruhi risiko cedera pada anak-anak telah menarik perhatian dalam beberapa
waktu dan mempunyai kemajuan yang telah di buat baru-baru ini untuk mengatasi
masalah dan penilaian tentang pengawasan. Dibuktikan dengan meningkatnya
dukungan konsep suatu hubungan secara umum antara peningkatan pengawasan dan
penurunan risiko cedera, tetapi juga menunjukkan bahwa sifat perilaku anak dan
lingkungan yang dapat berhubungan dengan tingkat pengawasan dalam
mempengaruhi terjadinya risiko cedera. Sehingga suatu tantangan untuk
mengembangkan pedoman tentang pengawasan yang layak. Tujuan penelitian untuk
menelusuri apakah dan bagaimana risiko cedera anak-anak yang bervariasi sesuai
dengan pengawasan yang berbeda (misalnya, ibu vs ayah vs kakak) dan bagaimana
hubungan ini berubah sebagai suatu fungsi dari tahap pengembangan anak. Penelitian
terbaru menjelaskan bahwa menghimbau untuk lebih mengawasi anak–anak dirumah.
Mempelajari penelitian tersebut berpengaruh terhadap tindakan pengawasan dengan
benar. Langkah selanjutnya sangat penting dalam penelitian ini yang dapat
mendukung program dalam pengawasan dan mengurangi risiko cedera pada anak-
anak.