bab ii tinjauan pustaka - repository.ump.ac.idrepository.ump.ac.id/490/3/bab ii_dita khoerun...
TRANSCRIPT
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Analisis Farmakoekonomi
Farmakoekonomi telah ditetapkan sebagai deskripsi dan analisis biaya
terapi obat untuk sistem kesehatan dan sosial. Penelitian farmakoekonomi
adalah proses mengidentifikasi, mengukur, membandingkan biaya, risiko,
serta manfaat dari program, layanan, atau terapi dan menentukan alternatif
yang menghasilkan outcome perawatan kesehatan yang terbaik untuk
sumber investasi. Informasi ini dapat membantu para pembuat keputusan
klinis dalam memilih pilihan perawatan kesehatan yang paling efektif dan
ekonomis (Trask, 2011).
1. Metode Analisa Farmakoekonomi
Metode Analisa Farmakoekonomi dipisahkan menjadi dua bagian
yang berbeda, yaitu: teknik evaluasi ekonomi dan kemanusiaan. Metode
ini telah digunakan dalam berbagai bidang dan sedang diterapkan untuk
system kesehatan. Teknik evaluasi ekonomi yang digunakan ada empat
metode, yaitu: Cost Benefit Analysis (CBA), Cost Effectiveness Analysis
(CEA), Cost Minimization Analysis (CMA), dan Cost Utility Analysis
(CUA) (Trask, 2011).
a. Cost Benefit Analysis (Analisa Manfaat Biaya).
CBA adalah metode yang memungkinkan untuk identifikasi,
pengukuran dan perbandingan manfaat dan biaya program atau
pengobatan alternatif. CBA dapat digunakan ketika membandingkan
pengobatan alternatif di mana biaya dan manfaat tidak terjadi secara
bersamaan. CBA dapat digunakan ketika membandingkan program
yang berbeda tujuan karena semua manfaat dikonversi ke dalam
satuan mata uang. CBA dapat digunakan untuk mengevaluasi satu
program atau membandingkan beberapa program. Namun, menilai
manfaat kesehatan ke dalam unit mata uang menjadi sulit diukur atau
Cost Effectiveness Analysis..., Dita Khoerun Nisa, Farmasi UMP, 2014
5
dikonversi dan kontroversial. Sehingga gambaran beberapa manfaat
kesehatan dalam unit mata uang adalah tidak tepat atau tidak
diterima secara luas. CBA dapat menjadi metode yang tepat untuk
digunakan dalam membenarkan dan mendokumentasikan nilai
pelayanan kesehatan yang ada atau nilai potensial yang baru. Sebagai
contoh, ketika layanan farmasi klinik bersaing untuk sumber daya
kelembagaan, CBA dapat menyediakan data untuk
mendokumentasikan bahwa layanan menghasilkan pengembalian
yang tinggi pada investasi dibandingkan dengan layanan
kelembagaan lainnya dalam sumber daya yang sama (Trask, 2011).
b. Cost Effectiveness Analysis (Analisa Efektifitas Biaya).
Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah metode yang
menganalisis manfaat kesehatan dan sumber daya yang digunakan
oleh program perawatan kesehatan yang bersaing sehingga para
pembuat kebijakan dapat memilih diantara program kesehatan
tersebut. CEA membandingkan program atau pengobatan alternatif
dengan keselamatan yang berbeda dan kemanjuran profil. Biaya
diukur dalam unit uang, dan hasil diukur dalam hal mendapatkan
hasil terapi yang spesifik (Drummond, 1997). Istilah efektivitas
biaya sering digunakan secara luas merujuk kepada seluruh evaluasi
ekonomi, tetapi harus mengacu pada jenis evaluasi tertentu. Oleh
karena itu membandingkan terapi dengan hasil yang kualitatif serupa
dalam area terapi tertentu. Hasil Analisis efektivitas biaya juga
dinyatakan sebagai rasio, baik sebagai Average Cost Effectiveness
Ratio (ACER) atau sebagai Incremental Cost effectiveness Rasio
(ICER) yang menunjukkan biaya tambahan yang membebankan
pengobatan alternatif dan pengobatan lain dibandingkan dengan efek
tambahan, manfaat, atau memberikan hasil. Namun CEA hanya
dapat menilai obat dalam skala mikro membandingkan alternative
pengobatan dengan hasil terapi yang sama (Dipiro, et al, 2008).
Cost Effectiveness Analysis..., Dita Khoerun Nisa, Farmasi UMP, 2014
6
CEA bermanfaat dalam menyeimbangkan biaya dan outcome
pasien dengan menentukan alternatif pengobatan yang mewakili
hasil kesehatan yang terbaik per biaya yang dikeluarkan. CEA dapat
memberikan data berharga untuk mendukung kebijakan obat,
manajemen formularium dan keputusan pengobatan individu pasien.
Secara global, CEA digunakan untuk menetapkan kebijakan umum
mengenai penggunaan produk farmasi (nasional formularies) di
negara-negara maju bahkan memiliki pedoman sendiri untuk
melakukan penelitian (Trask, 2011).
c. Cost Minimization Analysis (Analisis Minimalisasi Biaya).
Analisis Minimalisasi Biaya adalah metode untuk mengukur
kisaran biaya terapi atau program terendah, yang berlaku jika
manfaat yang diperoleh sama (Dipiro, et al, 2008). Analisis ini yang
relatif mudah dan sederhana, hanya membandingkan dua atau lebih
alternatif dengan kesetaraan alternatif terapi yang dibandingkan
tersebut sama sehingga alternatif harus diasumsikan atau
menunjukkan kesetaraan dalam keamanan dan keefektifan (yaitu,
dua alternatif harus setara terapi). Dengan CMA, alternatif harus
diasumsikan atau menunjukkan kesetaraan dalam keamanan dan
kemanjuran (yaitu dua alternatif harus setara terapi). Kesetaraan hasil
yang dimaksudkan dapat dikonfirmasi, biaya dapat diidentifikasi,
diukur, dan dibandingkan dalam satuan biaya. Namun jika tidak ada
bukti yang mendukung hal tersebut, maka analisis menjadi tidak
akurat sehingga studi menjadi tidak bernilai (Trask, 2011).
d. Cost Utility Analysis (Analisis Kegunaan Biaya).
Pakar farmakoekonomi kadang-kadang ingin menyertakan
ukuran preferensi pasien atau kualitas hidup ketika membandingkan
Health care costs ($) .
Clinical outcome (not in $) ACER =
CostA ($) – CostB ($) .
EffectA (%) – EffectB (%) ICER =
Cost Effectiveness Analysis..., Dita Khoerun Nisa, Farmasi UMP, 2014
7
bersaing pengobatan alternatif. CUA adalah sebuah metode untuk
membandingkan pengobatan alternatif yang mengintegrasikan
preferensi pasien dan HRQOL. CUA dapat membandingkan biaya,
kualitas dan kuantitas pasien per tahun. Biaya diukur dalam mata
uang, dan hasil terapi diukur dalam utilitas pasien tertimbang bukan
dalam unit fisik. Sering pengukuran utilitas yang digunakan adalah
kesesuaian kualitas hidup yang diperoleh tahun (QALY). QALY
adalah ukuran umum dari status kesehatan yang digunakan dalam
CUA, menggabungkan morbiditas dan mortalitas data. Sebagai
contoh, dalam setahun penuh kesehatan pasien benar-benar sehat
maka nilainya sama dengan 1,0 QALY, sedangkan pasien yang
menghabiskan setahun dengan penyakit tertentu akan dinilai secara
signifikan lebih rendah tergantung pada penyakit. CUA adalah
metode yang paling tepat untuk digunakan ketika membandingkan
program dan pengobatan alternatif yang memperpanjang harapan
hidup dengan efek samping yang serius, yang menghasilkan
pengurangan morbiditas daripada kematian. CUA kurang sering
digunakan dibandingkan dengan metode evaluasi ekonomi lain
karena kurangnya kesepakatan pada mengukur utilitas, kesulitan
membandingkan QALYs pasien dan populasi, dan kesulitan
kuantifikasi preferensi pasien (Trask, 2011).
B. Hipertensi
1. Definisi
Hipertensi adalah tekanan darah yang bersifat abnormal dan diukur
paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda. Secara umum
seseorang dianggap mengalami hipertensi apabila tekanan darah sistolik
(TDS) 140mmHg atau lebih dan tekanan darah diastolik (TDD) 90
mmHg atau lebih (Gunawan, 2007).
Klasifikasi tekanan darah oleh JNC VII untuk pasien dewasa (umur
≥ 18 tahun) mencangkup 4 kategori sebagai berikut:
Cost Effectiveness Analysis..., Dita Khoerun Nisa, Farmasi UMP, 2014
8
Table 1. klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC VII
Klasifikasi Tekanan
Darah
Tekanan darah sistolik
(mmHg)
Tekanan darah
diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 90-99
Hipertensi stage 2 ≥ 160 ≥ 100
2. Etiologi Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibedakan menjadi dua
golongan, yaitu:
a. Hipertensi primer atau hipertensi esensial yaitu hiperensi yang tidak
diketahui penyebabnya (Benowitz, 2001). Penyebab hipertensi
primer adalah multifaktor yang terdiri dari faktor genetik dan
lingkungan. Faktor genetic mempengaruhi kepekaan terhadap
natrium, kepekaan terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah
terhadap vasokonstriktor, resistensi insulin. Sedangkan yang
termasuk faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok,
stress emosi, obesitas (Gunawan, 2007).
b. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Penyebab spesifiknya
diketahui, seperti glomerulonephritis, aterosklerosis, aldosteronisme
primer, koarktasio aorta, obesitas, stess berat, hipertensi karena
kehamilan, dan penggunaan obat kortikosteroid (Susalit et al, 2001).
3. Patofisiologi Hipertensi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh
darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat
vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke
korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis
di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam
bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan
asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke
Cost Effectiveness Analysis..., Dita Khoerun Nisa, Farmasi UMP, 2014
9
pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Individu dengan hipertensi
sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan
jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana
sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons
rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan
tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi
epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal
mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons
vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan
penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Renin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung
mencetuskan keadaan hipertensi (Gunawan, 2007).
4. Gejala Klinis Hipertensi
Hipertensi tidak memberikan gejala khas, setelah beberapa tahun
adakalanya pasien baru merasakan nyeri kepala pagi hari sebelum
bangun tidur, nyeri ini biasanya hilang setelah bangun (Tjay dan
Rahardja, 2001). Survei hipertensi di Indonesia, keluhan yang dirasakan
pasien hipertensi seperti pusing, cepat marah, telinga berdenging, sukar
tidur, sesak nafas, rasa berat di tengkuk, mudah lelah, sakit kepala, dan
mata berkunang-kunang. Gejala lain yang disebabkan oleh komplikasi
hipertensi seperti gangguan penglihatan, gangguan neurologi, gagal
jantung, dan gangguan fungsi ginjal (Susalit et al, 2001).
5. Diagnosis Hipertensi
Diagnosis hipertensi didasarkan pada peningkatan tekanan darah
yang terjadi pada pengukuran berulang. Diagnosis hipertensi bergantung
pada pengukuran tekanan darah dan bukan pada gejala yang dilaporkan
Cost Effectiveness Analysis..., Dita Khoerun Nisa, Farmasi UMP, 2014
10
oleh pasien (Benowitz, 2001). Diagnosis hipertensi tidak boleh
ditegakkan berdasarkan sekali pengukuran, kecuali bila TDS ≥ 210
mmHg dan atau TDD ≥ 120 mmHg. Pengukuran pertama harus
dikonfirmasi sedikitnya pada 2 kunjungan lagi dalam waktu 1 sampai
beberapa minggu. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dari pengukuran
berulang tersebut diperoleh nilai rata-rata TDS ≥ 140 mmHg dan atau
TDD ≥ 90 mmHg (Gunawan, 2007). Pemeriksaan yang lebih teliti perlu
dilakukan pada organ target untuk menilai komplikasi hipertensi, dan
pemeriksaan funduskopi dapat membantu menegakkan diagnosis adanya
komplikasi yang disebabkan oleh hipertensi. Pemeriksaan ureum,
kreatinin, kalium, kalsium, urinalisis, asam urat, dan glukosa darah perlu
dilakukan pada pasien hipertensi (Susalit et al., 2001).
6. Penatalaksanaan Hipertensi
Tujuan pengobatan hipertensi adalah untuk mencegah terjadinya
morbiditas dan mortalitas akibat tekanan darah yang tinggi. Penurunan
TDS menjadi tujuan utama pengobatan karena umumnya TDD akan
terkontrol bersamaan dengan terkontrolnya TDS. Target tekanan darah
tanpa kelainan penyerta adalah <140/90 mmHg. Terdapat hubungan
yang nyata antara tekanan darah dengan terganggunya fungsi ginjal,
otak, jantung, maupun kualitas hidup (Gunawan, 2007). Penanggulangan
hipertensi dapat dilakukan secara non farmakologis dan farmakologis.
Penatalaksanaan non farmakologis dilakukan dengan perubahan gaya
hidup dapat menurunkan resiko kardiovaskuler dengan biaya sedikit dan
resiko yang menimal, tatalaksana ini tetap dianjurkan meski disertai obat
AH karena dapat menurunkan jumlah dan dosis obat. Penatalaksanaan
farmakologis diutamakan dilakukan untuk menurunkan TD dan
mencegah terjadinya penyakit komplikasi. AH yang dapat digunakan
terdiri dari 5 golongan obat seperti: ACEI, diuretik, β-bloker, antagonis
kalsium, dan α-bloker.
Cost Effectiveness Analysis..., Dita Khoerun Nisa, Farmasi UMP, 2014
11
a. ACEI (Antagonis Converting Enzyme-Inhibitors).
ACEI sebagai AH memiliki mekanisme menghambat
pembentukan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga terjadi
vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Vasodilatasi secara
langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya
aldosteron akan menyebabkan yang menyebabkan ekskresi natrium
dan air serta retensi kalium. ACEI efektif sebagai AH pada sekitar
70% penderita. ACEI efektif untuk hipertensi yang
ringan,sedang,maupun berat. Efek samping utama yang ditimbulkan
antara lain batuk kering, gangguan pengecap, gagal ginjal akut,
proteinuria, hyperkalemia, dan hipotensi (Gunawan, 2007).
b. Diuretik
Diuretik adalah zat-zat yang dapat memperbanyak pengeluaran
kemih (diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal (Tjay dan
Raharja, 2001). Mekanisme antihipertensi diuretik yaitu
meningkatkan ekskresi natrium, kalium, dan air sehingga
mengurangi volume plasma dan cairan ekstrasel sehingga terjadi
penurunan curah jantung dan tekanan darah. Diuretic tiazid dapat
digunakan sebagai obat tunggal pada hipertensi ringan sampai
sedang, atau dalam kombinasi dengan AH lainnya bila TD tidak
berhasil diturunkan. Tiazid jarang menyebabkan hipotensi ortostatik
dan ditoleransi dengan baik, harganya murah, dapat diberikan satu
kali sehari, dan efek AH nya bertahan pada pemakaian jangka
panjang. Diuretik kuat misalnya furosemide merupakan AH yang
bekerja di ansa Henle asenden bagian epitel tebal dengan cara
menghambat kontrasport Na+, K
+, Cl
- dan menghambat resorpsi air
dan elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat daripada golongan tiazid,
oleh karena itu diuretic kuat jarang digunakan sebagai AH kecuali
pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal jantung. Diuretik
hemat kalium (contoh: spironolakton) merupakan diuretik lemah,
penggunaannya terutama dalam kombinasi diuretik lain untuk
Cost Effectiveness Analysis..., Dita Khoerun Nisa, Farmasi UMP, 2014
12
mencegah atau mengurangi hypokalemia dan diuretik lain. Dapat
menyebabkan hyperkalemia pada penderita gangguan fungsi ginjal
dan bila dikombinasikan dengan ACEI, ARB, β bloker, AINS atau
dengan suplemen kalium. Efek samping berupa ginekomastia,
mastodinia, menstruasi tidak teratur (Gunawan, 2007).
c. Beta-bloker
Penurunan TD oleh β-bloker yang diberikan per oral
berlangsung lambat. Efek ini mulai terlihat dalam 24 jam sampai 1
minggu setelah terapi dimulai, dan tidak diperboleh penurunan TD
lebih lanjut setelah 2 minggu bila dosisnya tetap. Obat ini tidak
menimbulkan hipotensi ortostatik dan tidak menimbulkan retensi air
dan garam (Gunawan, 2007).
d. Antagonis Kalsium
Antagonis Kalsium contohnya: nifedipin, diltiazem, verapamil.
Menghambat masuknya kalsium pada sel otot polos pembuluh darah
dan miokard. Dipembuluh darah, antagonis kalsium menimbulkan
relaksasi arteriol sedangkan vena kurang dipengaruhi. Efek samping
yang ditimbulkan adalah hipotensi, takikardi, palpitasi, serangan
angina, sekit kepala, pusing, muka merah, bradiaritmia, konstipasi
dan retensi urin (Gunawan, 2007).
e. Alfa-bloker.
α-bloker merupakan satu-satunya AH yang berefek positif
terhadap lipid darah (menurunkan LDL, dan trigliserida,
meningkatkan HDL), dan menurunkan resistensi insulin, sehingga
cocok untuk pasien hipertensi dengan dyslipidemia dan/atau diabetes
mellitus. Efek samping antara lain: hipotensi ortostatik, sakit kepala,
palpitasi, rasa lelah, udem perifer, hidung tersumbat, nausea, dan
lain-lain (Gunawan, 2007).
f. Obat antihipertensi lain
Tidak digunakan untuk monoterapi tahap pertama tetapi
merupakan AH tambahan. Hal ini disebabkan obat-obat ini
Cost Effectiveness Analysis..., Dita Khoerun Nisa, Farmasi UMP, 2014
13
menimbulkan toleransi akibat terjadinya retensi cairan dan
menimbulkan efek samping yang mengganggu pada kebanyakan
penderita. Contoh: hidralazin, metildopa, reserpin (Gunawan, 2007).
7. Pencegahan Hipertensi
Pencegahan hipertensi dipandang dari epidemiologi dapat
dibedakan menjadi prepatogenesis, pathogenesis dan post pathogenesis.
Pada tahap prepatogenesis level pencegahan dapat berupa primordial,
promotif (promosi kesehatan), proteksi spesifik (kurangi garam sebagai
salah satu factor resiko) dengan intervensi pencegahan meningkatkan
derajat kesehatan gizi dan perilaku hidup sehat, pertahankan
keseimbangan trias epidemiologi, serta turunkan atau hindari factor
resiko. Pathogenesis dalam tahap ini dibagi dalam 2 level pencegahan
yaitu diagnosis awal dan pengobatan yang tepat. Pengobatan yang tepat
artinya segera mendapatkan pengobatan komprehensif dan kausal pada
awal keluhan. Intervensi pencegahan pathogenesis meliputi pemeriksaan
fisik periodik tekanan darah dan hindari lingkungan yang stress. Pada
tahap post pathogenesis level pencegahan dengan upaya rehabilitasi
yaitu perbaikan dampak lanjut hipertensi yang tidak bisa diobati
(Bustan,2007).
Cost Effectiveness Analysis..., Dita Khoerun Nisa, Farmasi UMP, 2014