bab ii tinjauan pustaka_ i11ama

12
TINJAUAN PUSTAKA Masalah Kesehatan dan Gizi Lansia Penuaan adalah proses normal yang dimulai sejak masa konsepsi sampai dengan akhirnya mati (Harris 2004). Lanjut usia sesuai dengan undang- undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, adalah seseorang yang telah mencapai lebih dari 60 tahun ke atas. Klasifikasi lansia berdasarkan usia menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) yaitu usia lanjut (elderly) (60 74 tahun), usia lanjut tua (old) (75 90 tahun), dan usia lanjut sangat tua (very old) (di atas 90 tahun) (Komnas Lansia 2008). Kemampuan fisiologis seseorang akan mengalami penurunan secara bertahap dengan bertambahnya umur. Proses penuaan ditandai dengan kehilangan massa otot tubuh sekitar 2 3% perdekade. Sarkopenia, kehilangan massa otot yang berkaitan dengan usia, berkontribusi terhadap penurunan kekuatan otot, perubahan pada gaya berjalan dan keseimbangan, kehilangan fungsi fisik, dan meningkatnya risiko penyakit kronis. Selama masa pertumbuhan, proses anabolisme lebih banyak terjadi daripada proses katabolisme. Saat tubuh sampai pada masa kedewasaan, tingkat katabolisme atau perubahan degeneratif menjadi lebih besar daripada regenerasi anabolik (Harris 2004). Stieglietz (1954) dalam Darmojo dan Martono (2006) menerangkan bahwa penyakit pada populasi lansia berbeda perjalanan dan penampilannya dengan yang terdapat pada populasi lain. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa penyakit pada usia lanjut bersifat multi patologis atau mengenai multi organ atau sistem, degeneratif dan saling terkait, kronis dan cenderung menyebabkan kecacatan lama sebelum terjadinya kematian, dan biasanya juga mengandung psikologis dan sosial. Selain itu sering terjadi polifarmasi dan iatrogenesis, yaitu menderita penyakit baru akibat penggunaan obat-obatan yang berlebihan dibandingkan dengan diagnosa. Brocklehurst dan Allen (1987) dalam Darmojo dan Martono (2006) menambahkan satu hal lagi yang penting yaitu usia lanjut juga lebih sensitif terhadap penyakit akut. Selama proses penuaan, pembuluh darah menjadi kurang elastis dan meningkatnya resistensi periferal sehingga meningkatkan risiko terjadinya hipertensi. Peningkatan resistensi pembuluh darah dapat mengganggu aliran darah ke jantung sehingga menyebabkan penyakit kardiovaskuler (Harris 2004).

Upload: nonawita

Post on 24-Oct-2015

28 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

kb

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11ama

TINJAUAN PUSTAKA

Masalah Kesehatan dan Gizi Lansia

Penuaan adalah proses normal yang dimulai sejak masa konsepsi

sampai dengan akhirnya mati (Harris 2004). Lanjut usia sesuai dengan undang-

undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, adalah

seseorang yang telah mencapai lebih dari 60 tahun ke atas. Klasifikasi lansia

berdasarkan usia menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) yaitu usia lanjut

(elderly) (60 – 74 tahun), usia lanjut tua (old) (75 – 90 tahun), dan usia lanjut

sangat tua (very old) (di atas 90 tahun) (Komnas Lansia 2008).

Kemampuan fisiologis seseorang akan mengalami penurunan secara

bertahap dengan bertambahnya umur. Proses penuaan ditandai dengan

kehilangan massa otot tubuh sekitar 2 – 3% perdekade. Sarkopenia, kehilangan

massa otot yang berkaitan dengan usia, berkontribusi terhadap penurunan

kekuatan otot, perubahan pada gaya berjalan dan keseimbangan, kehilangan

fungsi fisik, dan meningkatnya risiko penyakit kronis. Selama masa

pertumbuhan, proses anabolisme lebih banyak terjadi daripada proses

katabolisme. Saat tubuh sampai pada masa kedewasaan, tingkat katabolisme

atau perubahan degeneratif menjadi lebih besar daripada regenerasi anabolik

(Harris 2004).

Stieglietz (1954) dalam Darmojo dan Martono (2006) menerangkan

bahwa penyakit pada populasi lansia berbeda perjalanan dan penampilannya

dengan yang terdapat pada populasi lain. Secara singkat dapat disimpulkan

bahwa penyakit pada usia lanjut bersifat multi patologis atau mengenai multi

organ atau sistem, degeneratif dan saling terkait, kronis dan cenderung

menyebabkan kecacatan lama sebelum terjadinya kematian, dan biasanya juga

mengandung psikologis dan sosial. Selain itu sering terjadi polifarmasi dan

iatrogenesis, yaitu menderita penyakit baru akibat penggunaan obat-obatan yang

berlebihan dibandingkan dengan diagnosa. Brocklehurst dan Allen (1987) dalam

Darmojo dan Martono (2006) menambahkan satu hal lagi yang penting yaitu usia

lanjut juga lebih sensitif terhadap penyakit akut.

Selama proses penuaan, pembuluh darah menjadi kurang elastis dan

meningkatnya resistensi periferal sehingga meningkatkan risiko terjadinya

hipertensi. Peningkatan resistensi pembuluh darah dapat mengganggu aliran

darah ke jantung sehingga menyebabkan penyakit kardiovaskuler (Harris 2004).

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11ama

Susunan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan gizi tubuh, dapat

menciptakan dua kemungkinan, yaitu keadaan gizi kurang atau keadaan gizi

lebih (kegemukan). Keadaan obesitas ini banyak dipengaruhi oleh kegiatan yang

berlebihan dari kelenjar hipotalamus, banyaknya sel-sel lemak tubuh, umur para

lanjut usia, aktivitas jasmani yang kurang, faktor psikologis, faktor keturunan, dan

faktor endokrin. Keadaan ini sering pula menimbulkan gangguan dalam tubuh

secara mekanis, secara metabolik, traumata (kecelakaan), maupun gangguan

kardiovaskuler (Astawan & Wahyuni 1988).

Fungsi imunitas juga mengalami penurunan pada lansia, sehingga

kemampuan melawan infeksi berkurang dan meningkatnya kejadian penyakit

infeksi pada lansia. Fungsi ginjal dan kecepatan penyaringan glomerulus

mengalami penurunan sekitar 60% pada usia 30 sampai 80 tahun, terutama

jumlah nefron yang berkurang menyebabkan menurunnya aliran darah (Harris

2004). Pembuangan sisa-sisa metabolisme protein dan elektrolit yang harus

dilakukan ginjal akan merupakan beban tersendiri (Darmojo & Martono 2006).

Masalah gizi merupakan masalah paling penting dalam perawatan pasien

usia lanjut. Penurunan berat badan sebagai akibat kekurangan gizi merupakan

masalah utama yang seringkali dijumpai pada usia lanjut yang dirawat (Setiati

2006). Angka kematian yang berhubungan dengan underweight adalah sama

dengan angka kematian yang berhubungan dengan obesitas, terutama pada

lanjut usia (Harris 2004).

Salah gizi adalah keadaan gizi kurang atau gizi lebih karena asupan zat

gizi di bawah atau di atas kisaran yang dianjurkan dalam waktu yang lama

(Sandjaja et al. 2009). Kejadian salah gizi pada seorang pasien mempunyaki

efek negatif untuk mental maupun fisik pasien. Salah gizi pada seorang pasien

merupakan faktor yang memperpanjang masa rawat pasien, meningkatkan

kebutuhan untuk pelayanan yang dengan tingkat ketergantungan perawat yang

lebih tinggi, butuh perawatan intensif yang lebih tinggi, meningkatkan terjadinya

komplikasi dari penyakit yang diderita pasien dan tentunya akan meningkatkan

angka kematian baik karena penyakitnya atau komplikasi dari penyakitnya

(Daldiyono & Syam 2002).

Angka kejadian kekurangan energi dan protein pada pasien lansia yang

dirawat di rumah sakit berkisar antara 30% sampai dengan 65% (Fogt et al. 1995

dalam Setiati 2006). Suatu studi di Swedia mendapatkan 29% lansia mengalami

salah gizi ketika awal masuk rumah sakit (Thomas et al. 2000 dalam Setiati

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11ama

2006). Studi lain di luar negeri mendapatkan sekitar 60% lansia yang di rawat di

rumah sakit mengalami kekurangan energi dan protein pada saat masuk rumah

sakit atau mengalami salah gizi ketika dirawat sampai sebelum keluar dari rumah

sakit (Sullivan et al. 1990 dalam Setiati 2006).

Makanan untuk Pasien Rawat Inap

Pengaturan makanan pada orang sakit sangat berperan dalam proses

penyembuhan penyakitnya, sama halnya dengan perawatan dan pengobatan

penyakit (Subandriyo & Santoso 1995). Pelayanan kesehatan paripurna seorang

pasien memerlukan tiga jenis asuhan yang terdiri atas asuhan medik, asuhan

keperawatan, dan asuhan gizi. Tujuan utama dari asuhan gizi adalah memenuhi

kebutuhan zat gizi pasien secara optimal baik berupa pemberian makanan pada

pasien yang dirawat maupun konseling gizi pada pasien rawat jalan. Kerjasama

tim dari unsur yang terkait untuk mewujudkan tujuan tersebut meliputi membuat

diagnosa masalah gizi, menentukan kebutuhan terapi gizi, memilih dan

mempersiapkan bahan atau makanan atau formula khusus (oral, enteral, dan

parenteral) sesuai kebutuhan, melaksanakan pemberian makanan,

evaluasi/pengkajian gizi dan pemantauan (Depkes RI 2003).

Cara pemberian terapi gizi dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu

secara oral, enteral, dan parenteral. Pemberian secara oral merupakan cara

yang paling aman, mudah, dan terbaik. Pemberian gizi secara suplementasi oral

dilakukan bila pasien tidak dapat mengkonsumsi makanan secara cukup,

sehingga diperlukan dukungan gizi untuk memenuhi kebutuhannya (Setiati

2006). Penentuan terapi gizi pasien perlu berpedoman pada tepat gizi (bahan

makanan), tepat formula, tepat bentuk, tepat cara pemberian, serta tepat dosis

dan waktu (Depkes RI 2003). Porsi makanan yang dikonsumsi hendaknya kecil,

tetapi frekuensinya lebih sering, supaya tidak memberi rasa jenuh, pengab atau

mual (Roedjito 1989).

Perencanaan Menu

Perencanaan menu merupakan suatu rangkaian kegiatan untuk

menyusun suatu hidangan dalam variasi yang serasi. Perencanaan menu harus

disesuaikan dengan anggaran yang ada dan mempertimbangkan kebutuhan gizi

dan aspek kepadatan makanan, kebiasaan makan penderita, variasi bahan

makan, kombinasi yang dapat diterima oleh penderita, persiapan dan

penampilan makanan, dan cara-cara pelayanan. Pola menu sehari yang

dianjurkan di Indonesia adalah gizi seimbang yang terdiri dari makanan sumber

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11ama

zat tenaga, makanan sumber zat pembangun, dan makanan sumber zat

pengatur (Subandriyo & Santoso 1995).

Tujuan dari perencanaan menu adalah tersedianya siklus menu sesuai

klasifikasi pelayanan yang ada di rumah sakit. Siklus menu pada umumnya

direncanakan pada waktu tertentu misalnya 10 sampai dengan 15 hari (Depkes

RI 2003). Siklus menu satu sampai dua minggu cocok digunakan pada rumah

sakit dengan masa rawat pasien sekitar dua sampai empat hari. Siklus menu

selama tiga sampai empat minggu biasa digunakan pada masa rawat dalam

jangka waktu yang lama (Gregoire & Spears 2007).

Pemilihan Bahan Makanan

Kejelian memilih bahan pangan adalah merupakan langkah awal untuk

menentukan mutu akhir suatu hidangan. Pemilihan diusahakan bahan makanan

yang masih segar secara alami (Astawan & Wahyuni 1988). Konsumsi supaya

diutamakan pada makanan yang dapat mendukung penyembuhan penyakit dan

menghindari makanan yang malah akan memperburuk kondisi penyakit

(Wirakusumah 2001).

Pengolahan Bahan Makanan

Pengolahan makanan merupakan suatu kegiatan mengubah (memasak)

bahan makanan mentah menjadi makanan yang siap dimakan, berkualitas, dan

aman untuk dikonsumsi (Depkes RI 2003). Tujuan dari pemasakan terdiri atas

meningkatkan nilai estetik bahan makanan dengan memaksimalkan kualitas

(warna, tekstur, dan cita rasa), membunuh organisme berbahaya sehingga

makanan yang akan dikonsumsi terjamin aman secara mikrobiologi, dan

meningkatkan daya cerna serta mempertahankan nilai gizi (Payhe-Palacio &

Theis 2009).

Proses pemasakan terdiri dari enam macam, yaitu pemasakan dengan

medium udara, pemasakan dengan medium air, pemasakan dengan

menggunakan lemak, pemasakan langsung melalui dinding panci, pemasakan

dengan kombinasi, dan pemasakan dengan elektromagnetik (Depkes RI 2003).

Lansia yang kesulitan mengunyah sebaiknya dipilihkan makanan-makanan yang

lunak dan mudah dikunyah, seperti buah-buahan, sari buah, daging giling, susu,

ikan, telur, dan lain-lainnya. Beberapa alat dapat digunakan untuk membuat

makanan menjadi lebih mudah dikunyah seperti alat pencacah daging, mixer,

crusher, grinder, blender dan peralatan-peralatan lainnya perlu disediakan

(Astawan & Wahyuni 1988).

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11ama

Standar Porsi dan Pendistribusian Makanan

Setelah mengalami proses pemasakan, makanan harus mengalami

proses pemorsian dan penyaluran dari dapur ke ruang perawatan. Makanan

diporsikan berdasarkan berat, ukuran, atau jumlah makanan. Standar porsi tidak

hanya diperlukan untuk kontrol biaya, namun juga untuk menciptakan dan

mempertahankan kepuasan konsumen (Payhe-Palacio & Theis 2009). Waktu

pemorsian makanan khusus harus dilakukan bersamaan dengan makanan biasa

sehingga penyajian pada satu ruangan dapat dilakukan secara serempak. Harus

ada tanda khusus untuk plato dengan makanan biasa dan plato dengan

makanan khusus (Subandriyo & Santoso 1995).

Pendistribusian makanan adalah serangkaian kegiatan penyaluran

makanan sesuai dengan jumlah porsi dan jenis makanan konsumen yang

dilayani (makanan biasa atau makanan khusus). Tujuannya adalah pasien

mendapat makanan sesuai diet dan ketentuan yang berlaku. Terdapat tiga

sistem penyaluran makanan yang biasa dilaksanakan di rumah sakit, yaitu

sistem yang dipusatkan (sentralisasi), sistem yang tidak dipusatkan

(desentralisasi), dan kombinasi antara sentralisasi dan desentralisasi (Depkes RI

2003).

Pendistribusian makanan secara sentralisasi dilaksanakan dengan

ketentuan makanan pasien dibagi dan disajikan dalam alat makan di tempat

pengolahan makanan. Pendistribusian makanan secara desentralisasi yaitu

makanan pasien dibawa dari tempat pengolahan ke dapur ruang perawatan

pasien dalam jumlah besar, untuk selanjutnya disajikan dalam alat makan

masing-masing pasien sesuai dengan permintaan makanan. Pendistribusian

makanan kombinasi dilakukan dengan cara sebagian makanan ditempatkan

langsung ke dalam alat makanan pasien sejak dari tempat produksi (dapur), dan

sebagian lagi dimasukkan ke dalam wadah besar, pendistribusiannya

dilaksanakan setelah sampai di ruang perawatan (Depkes RI 2003). Waktu

khusus bagi pasien untuk makan harus ditetapkan jika terdapat cukup staf. Alat

makan seperti sendok, garpu, pisau, barang tembikar, dan tatanan makanan

mungkin dibutuhkan (Watson 2003).

Kebutuhan Gizi pada Pasien Lansia

Masing-masing lansia memiliki kebutuhan gizi yang unik sehingga saran

diet seharusnya diberikan secara individu (Harris 2004). Faktor-faktor yang

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11ama

terkait dengan kebutuhan gizi lansia terdiri dari aktivitas fisik, kemunduran

biologis, pengobatan, serta depresi dan kondisi mental (Wirakusumah 2001).

Kebutuhan gizi dalam keadaan sakit, selain tergantung pada faktor-faktor

yang mempengaruhi dalam keadaan sehat juga dipengaruhi oleh jenis dan berat

ringannya penyakit (Almatsier 2005). Lansia yang sedang sakit akut dihitung

kebutuhan energi dan zat gizinya berdasarkan peningkatan yang dibutuhkan

untuk merespon keadaan hiperkatabolik yang disebabkan oleh stres penyakit

(Arisman 2003). Menurut Depkes RI (2003), penentuan kebutuhan gizi diberikan

kepada pasien atas dasar status gizi, pemeriksaan klinis, dan data laboratorium.

Selain itu, perlu juga memperhatikan kebutuhan untuk penggantian zat gizi,

kebutuhan harian, kebutuhan tambahan karena kehilangan serta tambahan

untuk pemulihan jaringan atau organ yang sedang sakit.

Energi

Kebutuhan energi secara umum menurun seiring bertambahnya usia

karena terjadinya perubahan komposisi tubuh, penurunan angka metabolisme

basal, dan pengurangan aktivitas fisik. Kebutuhan energi seseorang dapat

diketahui dengan menghitung kebutuhan energi sehari, atau menghitung

persentase peningkatan dari kebutuhan energi untuk metabolisme basal (Frary &

Johnson 2004).

Berat badan ideal biasanya lebih sering digunakan dalam perhitungan

kebutuhan energi daripada berat badan aktual karena perhitungan menggunakan

berat badan aktual dapat menimbulkan kesalahan perhitungan kebutuhan pada

kasus gizi kurang atau gizi lebih. Perhitungan menggunakan berat badan aktual

untuk kasus salah gizi yang sangat ekstrim adalah sebuah pengecualian (Frary &

Johnson 2004).

Kebutuhan energi pada pasien gagal jantung kongestif tergantung pada

berat badan aktual, pembatasan aktivitas, dan tingkat keparahan. Pasien gagal

jantung parah yang kurang gizi kebutuhan energinya meningkat sebesar 30 –

50% di atas energi metabolisme basal, atau sebesar 35 kkal/kg BB (Krummel

2004). Asupan energi yang dianjurkan bagi pasien gagal ginjal kronik adalah

sebesar 30 – 35 kkal/kg BB/hari (Hartono 2006).

Optimalisasi asupan energi adalah prinsip utama dalam terapi gizi dalam

penyakit paru-paru. Keadaan overfeeding atau underfeeding seharusnya

dicegah. Secara umum kebutuhan energi pada pasien penyakit paru-paru adalah

sebesar 1,2 sampai 1,5 kali dari energi metabolisme basal (Heimburger &

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11ama

Weinsler 1997). Faktor stres pada keadaan infeksi ringan hingga sedang ialah

sebesar 1,2 – 1,4 (Hartono 2006). Secara praktis, perhitungan kebutuhan energi

total dalam keadaan akut dapat menggunakan estimasi kebutuhan energi yaitu

25 – 35 kkal/kg BB/hari (PDGKI 2008).

Protein

Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat-zat gizi dan darah,

matriks intraseluler dan sebagainya adalah protein. Salah satu fungsi khas

protein adalah membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh

(Almatsier 2006).

Asupan protein sebanyak 1 sampai 1,25 g/kg berat badan umumnya

aman bagi lansia. Kebutuhan protein meningkat sehubungan dengan adanya

penyakit infeksi dan kronis. Stres fisik dan psikologis dapat merangsang keadaan

keseimbangan nitrogen negatif. Infeksi, penurunan fungsi saluran pencernaan,

dan perubahan metabolisme yang disebabkan karena penyakit kronis dapat

mengurangi efisiensi penggunaan nitrogen dari makanan dan meningkatkan

ekskresi nitrogen (Harris 2004).

Menurut Adult Treatment Panel (ATP) III, konsumsi protein yang

disarankan adalah 15% dari total kebutuhan energi (NCEP 2002). Perencanaan

makan bagi penyandang diabetes di Indonesia adalah hidangan dengan asupan

protein sekitar 10 – 15% dari total kebutuhan energi (PERKENI 2002 dalam

Hartono 2006). Asupan protein pada pasien paru-paru yang tidak mengalami

hypercapnia adalah sebesar 15 – 20% dari total kebutuhan energi (Heimburger &

Weinsler 1997). Dorfman (2004) menyatakan konsumsi protein sedang atau

sebesar 15 – 20% dari total kebutuhan energi dianjurkan bagi penderita asam

urat. Kebutuhan protein dalam situasi stres, seperti alcoholic hepatitis, sepsis,

infeksi, perdarahan pada gastrointestinal, dan asites yang parah dapat diberikan

minimal 1,5 g protein perkilogram berat badan perhari (Hasse & Matarese 2004).

Asupan protein sehari untuk pasien gagal ginjal yang belum mengalami dialisis

(predialisis) adalah 0,6 – 0,8 g/kg BB/hari (PDGKI 2008). Konsumsi diet tinggi

protein sebesar 1,5 g/kg BB/hari dalam keadaan anemia digunakan dalam

regenerasi sel darah dan menjaga fungsi hati (Stopler 2004).

Karbohidrat

Asupan karbohidrat diperlukan untuk mencegah penggunaan protein

sebagai sumber energi. Kontribusi karbohidrat terhadap kebutuhan energi total

pada lansia secara umum adalah sekitar 45% sampai 65% (Harris 2004).

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11ama

Selain jumlah, kebutuhan karbohidrat dalam keadaan sakit sering

dinyatakan dalam bentuk karbohidrat yang dianjurkan. Contoh pada kasus

diabetes melitus dan dislipidemia dengan trigliserida darah tinggi, tidak

dianjurkan penggunaan gula sederhana (Almatsier 2005). Sumber karbohidrat

kompleks supaya ditingkatkan, seperti sayuran, serealia, kacang-kacangan, serta

buah-buahan yang mengandung serat, phytochemicals, vitamin, dan mineral

(Harris 2004).

Menurut ATP III, konsumsi karbohidrat yang disarankan adalah 50 – 60%

dari total kebutuhan energi (NCEP 2002). Persentase kontribusi karbohidrat

terhadap pemenuhan kebutuhan energi total pada pasien penyakit paru-paru

yang tidak mengalami hypercapnia adalah 50 – 60% (Heimburger & Weinsler

1997).

Lemak

Kontribusi lemak terhadap total kebutuhan energi yang disarankan adalah

sebesar 25% sampai 35%, serta meningkatkan asupan lemak tak jenuh ganda

dan tunggal, serta mengurangi asupan lemak jenuh (Harris 2004). Kebutuhan

lemak dalam keadaan sakit bergantung jenis penyakit. Penyakit tertentu seperti

dislipidemia membutuhkan modifikasi jenis lemak (Almatsier 2005). Pembatasan

asupan lemak pada makanan bermanfaat dalam mengontrol berat badan dan

pencegahan kanker. Pembatasan lemak sampai dengan kurang dari 20% total

kebutuhan energi dapat mempengaruhi kualitas diet dan memberikan efek yang

negatif dari segi cita rasa, rasa kenyang, dan asupan (Harris 2004).

Menurut ATP III, konsumsi lemak yang disarankan adalah 25 – 35% dari

total kebutuhan energi (NCEP 2002). Asupan lemak pada penderita asam urat

harus lebih sedikit, sedangkan asupan karbohidrat harus mengandung lebih

banyak untuk membantu pengeluaran asam urat yang lebih mudah larut dalam

urin yang alkalis (Hartono 2006). Perbandingan komposisi zat gizi makro dalam

menyumbang kebutuhan energi pada penderita asam urat ialah 50 – 55% dari

karbohidrat, dan lemak tidak lebih dari 30% (Dorfman 2004). Persentase

kontribusi lemak terhadap pemenuhan kebutuhan energi total pada pasien

penyakit paru-paru yang tidak mengalami hypercapnia adalah 20 – 30%

(Heimburger & Weinsler 1997).

Persentase pemenuhan kebutuhan energi total dalam diet rendah sisa

adalah 10 - 25% dari lemak, dan 60 - 80% dipenuhi dari karbohidrat. Diet rendah

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11ama

sisa diberikan kepada pasien diare berat, peradangan saluran cerna akut, serta

pada pra dan pascabedah saluran cerna (Hartono 2005).

Vitamin dan Mineral

Meskipun tampak sehat, kekurangan sebagian vitamin dan mineral tetap

saja berlangsung pada lansia. Kebutuhan energi yang menurun tidak seiring

dengan penurunan kebutuhan vitamin dan mineral, bahkan kebutuhan vitamin

dan mineral cenderung sama atau meningkat. Rendahnya status mineral pada

lansia dapat terjadi karena asupan mineral yang tidak cukup, perubahan

fisiologis, dan pengobatan (Harris 2004).

Seiring berlangsungnya proses penuaan maka kepadatan zat gizi dalam

makanan menjadi lebih diperhatikan. Makanan seseorang harus menyediakan

cukup cairan, kalsium, serat, zat besi, protein, asam folat, dan vitamin A, B12, dan

C tanpa energi yang ekstra (Harris 2004). Vitamin A, C, dan E juga sebagai

antioksidan yang dapat mengurangi kerusakan sel akibat radikal bebas

(Wirakusumah 2001). Fungsi utama vitamin E adalah untuk mencegah oksidasi

PUFA pada membran sel. Karena kurangnya data yang mendukung, American

Heart Association (AHA) tidak merekomendasikan suplementasi vitamin E untuk

mencegah penyakit kardiovaskuler. Suplementasi β-karoten juga tidak

memberikan keuntungan pada pencegahan penyakit kardiovaskuler. Karena itu,

suplementasi vitamin E dan β-karoten tidak disarankan, sedangkan konsumsi

makanan yang kaya antioksidan disarankan (Krummel 2004).

Kandungan vitamin C serum pada lansia lebih rendah daripada orang

yang lebih muda. Dukungan melalui konsumsi pangan tinggi vitamin C lebih

efektif dalam meningkatkan status vitamin C pada lansia (Harris 2004).

Penyerapan zat besi dan pencegahan anemia gizi besi dapat dilaksanakan

dengan meningkatkan asupan pangan sumber zat besi, vitamin C, daging, ikan,

dan unggas setiap waktu makan, serta mencegah mengkonsumsi teh dan kopi

dalam jumlah besar bersamaan dengan waktu makan (Stopler 2004). Saran

asupan vitamin C pada pasien dengan nefrolitiasis yang berusia di atas 50 tahun

adalah kurang dari 2 g perhari (Wilkens 2004).

Defisiensi vitamin larut air seperti vitamin B1, B6, B12, dan asam folat

berkaitan dengan penyakit alcoholic liver. Jika diduga terjadi defisiensi,

suplementasi vitamin B1 dalam dosis besar (100 mg) diberikan selama batas

waktu tertentu (Hasse & Matarese 2004). Defisiensi tiamin (B1) karena

pemberian obat furosemid pertama kali terjadi pada tikus percobaan. Defisiensi

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11ama

sedang vitamin B1 dapat terjadi pada pasien lansia di rumah sakit serta pada

pasien gagal jantung kronik dengan terapi diuretik (Witte & Clark 2004). Eksresi

vitamin B1 dilakukan melalui urin dalam bentuk utuh dan sebagian kecil dalam

bentuk metabolit (Almatsier 2006).

Kebanyakan kasus anemia terjadi karena defisiensi zat gizi yang

dibutuhkan untuk sintesis eritrosit, seperti zat besi, vitamin B6, B12, C, dan asam

folat (Stopler 2004). Lansia sering juga mengalami masalah dengan vitamin B12,

meskipun sudah mengkonsumsi dalam jumlah yang cukup. Vitamin B12

diperlukan untuk mengubah folat menjadi bentuk aktif sehingga dapat berfungsi

dalam memproduksi sel darah merah. Terganggunya penyerapan vitamin B12

dapat menyebabkan pernicious anemia (Harris 2004). Lapisan lambung lansia

mengalami penipisan, serta sekresi HCL dan pepsin berkurang. Hal itu

mengakibatkan penyerapan vitamin B12 dan zat besi menurun (Arisman 2003).

Anemia yang terjadi pada lansia lebih terkait pada penyakit dan pengobatan,

atau menurunnya kemampuan penyerapan akibat pengobatan (Harris 2004).

Pengobatan pada penyakit TB dapat mengganggu metabolisme

pyridoxine (vitamin B6) (Mueller 2004). Isoniazida (Asam Iso Nikotenat

Hidroksida atau INH) yang dipakai untuk pengobatan penyakit paru-paru

merupakan antagonis vitamin B6 karena membentuk kompleks dengan piridoksal

fosfat yang tidak aktif (Almatsier 2006).

Osteoporosis terjadi karena proses demineralisasi tulang. Penyebab

proses ini ialah defisiensi kalsium karena asupan kurang dan penyerapan

kalsium menurun, gangguan keseimbangan hormon seks akibat menopause,

dan ketidakaktifan fisik (Arisman 2003).

Lansia yang dibatasi atau dilarang makan daging dan ikan berisiko

mengalami defisiensi seng karena rendahnya bioavailibilitas seng dari sumber

pangan lainnya. Defisiensi seng berhubungan dengan gangguan fungsi imun,

anoreksia, dysgeusia (kehilangan nafsu makan), dan lamanya proses

penyembuhan (Harris 2004).

Lansia yang tidak mengalami masalah dengan tekanan darah dan retensi

cairan dapat mengkonsumsi natrium sekitar 2 – 4 g/hari, dan meningkatkan

asupan kalium (Harris 2004). Penyakit-penyakit tertentu seperti sirosis hati,

penyakit ginjal tertentu, dekompensasio kordis, dan hipertensi esensial dapat

menyebabkan gejala edema dan atau hipertensi. Dalam keadaan demikian

asupan garam natrium perlu dibatasi (Almatsier 2005). Menurut Wirakusumah

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11ama

(2001) makanan yang mengandung cukup tinggi kalium merupakan salah satu

obat yang cukup manjur bagi penderita hipertensi. Kalium berfungsi untuk

memelihara keseimbangan garam (Na) dan cairan serta membantu mengontrol

tekanan darah yang normal. Asupan natrium dalam sehari disarankan bagi

pasien dengan gangguan kardiovaskuler adalah kurang dari 2400 mg (6,4 g

garam dapur) dan mempertahankan asupan kalium sekitar 90 mmol perhari

(3510 mg), serta cukup konsumsi kalsium sesuai kebutuhan (NCEP 2002).

Di Indonesia telah direkomendasikan angka kecukupan gizi untuk lansia

sehat, seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Angka kecukupan vitamin dan mineral pada lansia

Zat Gizi Pria Wanita

60-64 th ≥65 th 60-64 th ≥65 th

Vitamin A (RE) 600,0 600,0 500,0 500,0 Vitamin E (mg) 15,0 15,0 15,0 15,0 Vitamin B1 (mg) 1,2 1,0 1,0 1,0 Vitamin B6 (mg) 1,7 1,7 1,5 1,5 Vitamin B12 (mcg) 2,4 2,4 2,4 2,4 Asam Folat (mcg) 400,0 400,0 400,0 400,0 Vitamin C (mg) 90,0 90,0 75,0 75,0 Kalsium (mg) 800,0 800,0 800,0 800,0 Besi (mg) 13,0 13,0 12,0 12,0 Seng (mg) 13,4 13,4 9,8 9,8

Sumber: WNPG VIII dalam LIPI (2004)

Kebutuhan vitamin dan mineral pada orang sakit juga dapat diambil dari AKG

yang dianjurkan. Vitamin dan mineral perlu ditambahkan dalam bentuk suplemen

untuk menjamin kebutuhan dalam keadaan tertentu (Almatsier 2005).

Status Gizi Lansia

Status gizi seseorang merupakan refleksi dari mutu makanan yang

dimakan sehari-hari (Astawan & Wahyuni 1988). Lansia seperti tahapan-tahapan

usia lainnya dapat mengalami baik keadaan gizi lebih maupun gizi kurang

(Darmojo & Martono 2006). Status gizi lansia dapat dinilai dengan cara-cara

yang baku bagi berbagai tahapan umur yakni penilaian secara langsung dan

tidak langsung. Jellife (1966) dalam Gibson (2005) menerangkan bahwa

penilaian secara langsung dilakukan melalui pemeriksaan antropometri, klinis,

biokimia, dan biofisik. Antropometri merupakan salah satu macam pengukuran

dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.

Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain berat badan, tinggi badan, lingkar lengan

atas, dan tebal lemak di bawah kulit (Supariasa et al. 2001).

Page 12: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11ama

Laporan WHO tahun 1985 menyatakan bahwa batasan berat badan

normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI) atau

Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan alat yang sederhana untuk

memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan

kekurangan dan kelebihan berat badan (Supariasa et al. 2001). Klasifikasi IMT

berdasarkan WHO untuk populasi Asia ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Cut off point IMT untuk populasi Asia menurut WHO tahun 2004

Klasifikasi IMT (kg/m2)

BB kurang (underweight) < 18,5 Severe underweight < 16,0 Moderate underweight 16,0 – 16,9 Mild underweight 17,0 –

18,49 Normal 18,5 – 24,9 BB Lebih (overweight) ≥ 25 Pra-obes 25 – 29,9 Obes ≥ 30 Obes I 30 – 34,9 Obes II 35 – 39,9 Obes III ≥ 40

` Sumber: PDGKI (2008).