bab ii tinjauan pustaka dan pembahasan a ......bab ii tinjauan pustaka dan pembahasan a. tinjauan...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN
A. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Tentang Harta Bersama dan Perceraian
2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Harta Bersama
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketika suami dan istri telah ada dalam ikatan
perkawinan maka terjadi percampuran harta antara harta suami dan istri apabila sebelumnya
tidak dilakukan perjanjian pemisahan harta.
Istilah harta bersama atau yang sering disebut harta gono – gini merupakan sebuah istilah
hukum yang sudah tak asing di dalam masyarakat. Istilah gono-gini dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia dapat diartikan sebagai harta yang berhasil dikumpulkan oleh suami-istri selama
berumah tangga sehingga harta tersebut menjadi hak suami dan istri1. Pengertian harta bersama
diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 35 ayat (1) disebutkan bahwa
harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan, selain itu Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata juga memberi pengertian mengenai harta bersama dalam Pasal
119, disebutkan bahwa sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi
persatuan harta bersama antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-
ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan2. Pengertian harta bersama juga diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 1 huruf f disebutkan bahwa harta kekayaan dalam
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tahun 2001, hlm 330
2 Happy Susanto, 2005, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian. Bandung: Alumni, hal. 59.
perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama
suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, dan selanjutnya disebut harta bersama
tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun3. Berdasarkan pengertian-pengertian
mengenai harta bersama maka menurut penulis harta bersama ialah harta benda yang diperoleh
selama ikatan perkawinan berlangsung, suami atau istri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu
atas harta bersama ini atas persetujuan kedua belah pihak. Mengenai harta bersama tersebut
suami dan istri masing-masing memilki hak untuk menguasai harta yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan di bawah pengawasan masing- masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain.4.
Dasar hukum harta bersama di Indonesia diatur oleh hukum Islam dan hukum positif
yang berlaku di Indonesia. Dasar hukum mengenai harta bersama ini dapat ditemui dalam
Undang - Undang dan peraturan berikut :
a. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 35 ayat (1), disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan harta bersama adalah Harta benda yang diperoleh selama
masa perkawinan.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 119, disebutkan bahwa Sejak saat
dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama antara
suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam
perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh
ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri
c. Kompilasi Hukum Islam Pasal 85, disebutkan bahwa Adanya harta bersama di dalam
perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing
3 Abdul Manan, op.cit,hal. 108-109
4 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37
suami istri. Di dalam Pasal ini disebutkan adanya harta bersama dalam perkawinan,
akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami-
istri.
Pengaturan harta gono-gini diakui secara hukum di Indonesia, hal ini sebagaimana telah
diatur dalam beberapa peraturan Perundang – Undangan baik secara pengurusan, penggunaan,
dan pembagiannya.
2.1.2 Pengertian Perceraian dan Pengaturannya
Dalam menjalani perkawinan tidak sedikit banyak suami istri mengalami kegagalan
dalam menjalaninnya, kegagalan ini sering berujung dengan berakhirnya perkawinan tersebut
atau sering disebut dengan perceraian. Menurut KHI dan Undang-undang Perkawinan, putusnya
perkawinan dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu, kematian, perceraian dan putusan
pengadilan. Putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian biasanya disebabkan oleh
talak atau berdasarkan gugatan cerai. Talak berarti membuka ikatan atau membatalkan
perjanjian. Secara umum talak diartikan sebagai peceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang
ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena
meninggalnya suami atau istri.
Perceraian adalah putusnya hubungan perkawinan antara suami-isteri berdasarkan
putusan hakim atas tuntutan salah satu pihak suami-istri yang didasarkan alasan-alasan yang sah
yang telah disebutkan dalam peraturan Perundang- Undangan5. Menurut Pasal 39 UU No. 1
Tahun 1974 yang dimaksud dengan perceraian ialah hubungan perkawinan yang perceraiannya
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak serta memiliki alasan yang cukup
5 H. M. Djamil Latif, 1982, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal 93
bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri6. Perceraian juga
diatur dalam Pasal 115 KHI yang menyebutkan bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Berdasarkan pengertian
diatas perceraian menurut penulis ialah putusnya hubungan antara suami dan istri karena sudah
tidak dapat lagi hidup rukun sebagai suami istri sebagaimana tujuan dari perkawinan dimana
percerain dilakukan di Pengadilan Agama atau pengadilan yang berwenang.
Perceraian mempunyai akibat hukum yang luas, baik dalam lapangan Hukum Keluarga
maupun dalam Hukum Kebendaan serta Hukum Perjanjian. Seperti yang terdapat di dalam Pasal
41 Undang-undang Perkawinan, disebutkan bahwa akibat hukum yang terjadi karena perceraian
adalah sebagai berikut:
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-
mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan
anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Oleh karena itu, dampak atau
akibat dari putusnya hubungan perkawinan karena perceraian, telah jelas diatur dalam
Undang-undang Perkawinan
6 R. Subekti dan R. Tjitrosubidio, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, halaman 549
Namun secara jelas akibat yang dituimbulkan dengan terjadinya perceraian ialah putusnnya
hubungan perkawinan suami dan istri, Akibat lain dari perceraian adalah menyangkut masalah
harta benda perkawinan khususnya mengenai harta bersama. Mengenai pembagian harta bersama
ini dalam KUH Perdata Pasal 128 - Pasal 129 mengatur bahwa apabila tali perkawinan antara
suami dan istri putus atau bercerai maka harta bersama tersebut dibagi dua antara suami istri
tanpa memperhatikan dari pihak mana barang-barang kekayaan itu sebelumnya diperoleh,
mengenai hal pembagian harta bersama juga diatur dalam Pasal 37 Undang-undang Perkawinan
yang menyebutkan bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masinghal tersebut pula diatur dalam Pasal 97 KHI dinyatakan bahwa apabila
perkawinan putus baik karena perceraian maupun karena kematian, maka masing-masing suami
istri mendapatkan separuh dari harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung.
2.1.3 Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Syariah
Dalam memutusakan perkara perceraian antara suami dan istri maka Perundangan di
Indonesia mengatur bahwa perkara perceraian diselesaikan dipengadilan yang berwenang, salah
satu peradilan yang memiliki kewengan dalam mengadili perkara perceraian ialah Mahkamah
Syariah. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dalam Pasal
128 ayat (2) menyebutkan bahwa Mahkamah Syar‟iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang
yang beragama Islam dan berada di Aceh. Mahkamah Syar'iyah (disingkat MS) adalah salah satu
Pengadilan Khusus yang berdasarkan Syariat Islam di Provinsi Aceh sebagai pengembangan dari
Peradilan Agama. Mahkamah Syar'iyah terdiri dari Mahkamah Syar'iyah Provinsi dan
Mahkamah Syar'iyah (tingkat Kabupaten dan Kota). Kekuasaan dan Kewenangan Mahkamah
Syar‟iyah dan Mahkamah Syar‟iyah Provinsi adalah kekuasaan dan kewenangan Pengadilan
Agama dan Pengadilan Tinggi Agama ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang
berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam bidang ibadah dan Syariat Islam yang ditetapkan
dalam Qanun7
Berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh Mahkamah Syar‟iyah memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili,
memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum
keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari‟at
Islam.
2.2 Pengertian dan Dasar Hukum Rahasia Bank
Rahasia bank adalah salah satu wujud perlindungan hukum di bidang perbankan yang
sangat penting dimiliki oleh perbankan, terutama bagi negara yang memiliki lembaga keuangan
bank. Rahasia bank wajib dipegang teguh oleh para professional. Hal ini ditujukan untuk
melindungi nasabahnya. Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya.8 Menurut ketentuan Pasal 1
angka 16 UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang dimaksud dengan rahasia bank adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengsan keuangan dal ha-hal lain dari nasabah bank yang
menurut kelaziman dunia perbanakn wajib dirahasiakan. Pengertian mengenai rahasia perbankan
juga di kemukakan oleh para ahli yang menyatakan bahwa :
1. Menurut Munir Fuady rahasia bank adalah Hubungan antara nasabah dan banknya mirip
dengan hubungan antara lawyer dan kliennya atau hubungan antara dokter dan pasiennya.
Semuanya sama-sama mengandung kewajiban untuk merahasiakan data dari
7 https://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Syar%27iyah
8 Op.cit Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Perbankan
klien/nasabah/pasiennya. Sering juga untuk rahasia yang terbit dari hubungan seperti ini
disebut dengan istilah rahasia jabatan9.
2. Menurut Kasmir rahasia bank adalah Dikarenakan kegiatan dunia perbankan mengelola
uang masyarakat, maka bank wajib menjaga kepercayaan yang diberikan masyarakat.
Bank wajib menjaga keamanan uang tersebut agar benar-benar aman. Agar keamanan
uang nasabahnya terjamin, pihak perbankan dilarang untuk memberikan keterangan yang
tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal -hal lain dari nasabahnya. Dengan
kata lain, bank harus menjaga rahasia tentang keadaan keuangan nasabah dan apabila
melanggar kerahasiaan ini perbankan akan dikenakan sanksi10
.
Berdasarkan pengertian tersebut maka menurut pendapat penulis rahasia bank ialah suatu
kewajiban yang dimiliki oleh sebuah bank untuk menjaga rahasia nasabah berdasarkan ketentuan
yang wajib dirahasiakan.
Ketentuan mengenai rahasia bank merupakan suatu hal yang sangat penting bagi nasabah
penyimpanan dan simpanannya maupun bagi kepentuingan bank itu sendiri. Terdapat Teori-
teori rahasia bank. Terdapat dua teori tentang rahasia bank, antara lain :
1. Teori rahasia bank yang bersifat mutlak (Absolutely Theory).
Teori rahasia bank yang bersifat mutlak ialah kewajiban bank untuk menyimpan rahasia
atau keterangan-keterangan mengenai nasabahnya yang diketahui oleh bank dalam
keadaan apapun juga, yaitu dalam keadaan biasa atau dalam keadaan luar biasa.
2. Teori rahasia bank yang bersifat relatif.
Teori rahasia bank yang bersifat relatife ialah keadaan diamana bank diperbolehkan
untuk membuka rahasia atau memberikan keteranagan mengenai nasabahnya, untuk
9 Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 87.
10 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta : Raja Grafindo persada, 2008, hal. 57
kepentingan yang mendesak, misalnya untuk kepentingan negara atau kepentingan
hukum yang telah diatur dalam Undang – Undang .11
Indonesia merupakan Negara yang menganut teori yang bersifat relati yang artinya
bahwa terdapat pengecualian dari rahasia nasabah untuk memungkinkan bank membuka
informasi itu yang berkaitan dengan suatu badan atau instansi diperbolehkan untuk meminta
informasi atau keterangan data tentang keuangan nasabah yang bersangkutan sesuai dengan
ketentuan peerundang-undangan yang berlaku. Pasal 20 ayat (1) UU No 10 Tahun 1998
mengatur bahwa setiap nasabah harus dilindungi kerahasiaan datanya oleh bank, akan tetapi
kerahasian perbankan tersebut dapat dibuka untuk:
a. kepentingan perpajakan (Pasal 41)
b. penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan
Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara (Pasal 41A),
c. kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Pasal 42)
d. perkara perdata antar bank dengan nasabahnya (Pasal 43)
e. kepentingan tukar-menukar informasi antar bank (Pasal 44)
f. atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara
tertulis (Pasal 44A)
2.2.1 Peraturan Bank Indonesia nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pemberian Perintah atau Ijin Tertulis Membuka Rahasia Bank
Ketentuan mengenai rahasia bank diatur dalam UU No 10 Tahun 1998 dan kemudian
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan
dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Ijin Tertulis Membuka Rahasia Bank. Berdasarkan
ketentuan tersebut ,pada prinsipnya setiap bank dan afiliasinya wajib merahasiakan keterangan
11
Hermansyah, SH., M.Hum, op.cit,hal. 110 - 111
mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Sedangkan keterangan mengenai nasabah selain
sebagai nasabah penyimpan, tidak wajib dirahasiakan. Terhadap rahasia bank dapat disimpangi
dengan izin terlebih dahulu dari pimpinan Bank Indonesia untuk kepentingan
perpajakan,penyelesaian piutang oleh BUPN/PUPLN dan kepentingan peradilan perkara pidana
dimana status nasabah penyimpan yamg akan dibuka rahasia bank harus tersangka atau
terdakwa. Terhadap rahasia bank dapat juga disimpangi tanpa ijin terlebih dahulu dari Pimpinan
Bank Indonesia yakni untuk kepentingan perkara perdata antara bank dengan nasabahnya,tukar
menukar informasi antar bank,atas permintaan/persetujuan dari nasabah dan untuk kepentingan
ahli waris yang sah. Namun terdapat hal-hal dikecualikan oleh Peraturan Bank Indonesia Nomor
: 2/ 19 /Pbi/2000 mengenai kerahasian bank ini, dimana rahasia perbankan dapat dibuka untuk
a. kepentingan perpajakan;
b. penyelesaian piutang Bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan
Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara;
c. kepentingan peradilan dalam perkara pidana;
d. kepentingan peradilan dalam perkara perdata antara Bank dengan Nasabahnya;
e. tukar menukar informasi antar Bank;
f. permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang
dibuat secara tertulis;
g. permintaan ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan yang telah
meninggal dunia.
Selain beberapa pengucualin yang telah diatur maka bank dilarang untuk membuka
kerahasian perbankan mengenai nasabanya. Pelaksanaan dalam pembukaan rahasia perbankan
ini harus terlebih dahulu memperoleh perintah atau izin tertulis untuk membuka rahasia bank
dari Pimpinan Bank Indonesia selain perintah atau izin tertulis dari Bank Indonesia bank dilarang
memberikan keterangan tentang nasabahnya. Mengenai pemberian perintah atau izin tertulis
membuka rahasia bank dilaksanakan oleh Gubernur Bank Indonesia yang juga dapat menolak
untuk memberikan perintah atau izin tertulis membuka Rahasia Bank apabila surat permintaan
tidak memenuhi persyaratan. Apabila Gubernur Bank Indonesia bersedia memberikan izin untuk
membuka rahasia perbankan maka dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari
setelah surat permintaan diterima secara lengkap oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia
pembukaan kerahasian perbankan harus dilaksanakn oleh dilaksanakan oleh Gubernur Bank
Indonesia.
2.3 Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (disingkat MKRI) adalah lembaga tinggi
negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman
bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan
Mahkamah Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk:
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
2. Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
3. Memutus pembubaran partai politik, dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Mahkamah Konstitusi memiliki satu kewajiban yaitu memberikan putusan atas pendapat
DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga:
1. Telah melakukan pelanggaran hukum berupa :
a) penghianatan terhadap negara;
b) korupsi;
c) penyuapan;
d) tindak pidana lainnya;
2. Melakukan perbuatan tercela, dan/atau
3. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.12
Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusis ialah menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengujian
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hal ini
didasari oleh kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi
serta kedudukan Peraturan perundang-undangan yang tertinggi di Negara Republik Indonesia
ialah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Terdapat beberapa fungsi
dari peraturan perundang-undangan13
yakni :
Fungsi Internal yang terdiri dari fungsi :
1. Fungsi penciptaan Hukum : Penciptaan hukum yang melahirkan sistem kaidah hukum
yang berlaku umum dilakukan atau terjadi melalui kaidah putusan hakim (yurisprudensi)
12
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id 13
Armen Yasir, S.H.,M.Hum Hukum Perundang-undangan hal 32
. Kebiasaan yang tumbuh sebagai praktek dalam kehidupan masyarakat atau negara dan
peraturan perundang-undagan sebagai keputusan tertulis pejabat atau lingkungan jabatan
yang berwenang yang berlaku secara umum.
2. Fungsi pembaharuan Hukum : Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen
yang efektif dalam pembaharuan hukum ( law reform ) dibandingkan dengan penggunaan
hukum kebiasaan atau hukum yurisprudensi. Pembentukan peraturan perundang-
undangan dapat direncanakan sehingga pembaharuan hukum dapat pula direncanakan.
Fungsi pembaharuan tidak saja terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada,
tetapi dapat dipergunakan sebagai sarana memperbaharui yurisprudensi, hukum
kebiasaan/adat
3. Fungsi Integrasi Pluralisme Sistem Hukum : di Indonesia masih berlaku berbagai system
hukum (empat macam sistem hukum), yaitu sistem hukum kontinental (barat), sistem
hukum adat, sistem hukum agama (khususnya agama islam) dan sistem hukum nasional
(produk hukum setelah kemerdekaan).
4. Fungsi Kepastian Hukum : Kepastian hukum merupakan asas terpenting dalam tindakan
hukum dan penegakan hukum. Peraturan perundang-undangan dapat memberikan
kepastian hukum yang lebih tinggi dari pada hukum kebiasaan/adat atau yurisprudensi.
Untuk benar-benar menjamin kepastian hukum, peraturan perundang-undangan selain
harus memenuhi syarat-syarat dalam pembentukan Undang-undang.
Fungsi lain ialah fungsi eksternal yaitu keterkaitan peraturan perundang-undangan dengan
lingkungan tempat berlaku. Fungsi eksternal ini dapat disebut sebagai fungsi sosial hukum.
Dengan demikian fungsi ini dapat juga berlaku pada hukum kebiasaan/adat atau yurisprudensi.
Fungsi Sosial dapat dibedakan 14
:
1. Fungsi Perubahan Hukum juga dikenal sebagai sarana pembaharuan (law as social
engineering). Peraturan perundang-undangan diciptakan atau dibentuk untuk mendorong
perubahan masyarakat dibidang ekonomi, sosial, maupun budaya.
2. Fungsi stabilitas Peraturan perundang-undangan dapat pula berfungsi sebagaim stabilitas.
Peraturan perundang-undagan dibidang pidana, dibidang ketertiban dan keamanan adalah
kaidah-kaidah yang terutama bertujuan menjamin stabilitas masyarakat.
3. Fungsi kemudahan Peraturan perundang-undangan dapat pula dipergunakan sebagai
sarana mengatur berbagai kemudahan (fasilitas). Peraturan perundang-undangan yang
berisi ketentuan insentif seperti keringan pajak, penundaan pengenaan pajak,
penyederhanaan tata cara perizinan, struktur pemodalan dalam penananman modal
merupakan kaidah-kaidah kemudahan
Peraturan perundang-undangan yang dirangkai menjadi sebuh pengaturan tersebut diharapkan
mampu menjawab kebutuhan masyarakat dalam bermasyarakat. Namun dewasa ini banyak
kebutuhan masyarakat yang kompleks yang mengakibatkan diperlukan adanya pengaturan yang
terus menunjang kebutuhan masyarakat hal ini membuat beberapa peraturan mengalami
perubahan. Perubahan tersebut diinginkan oleh pihak-pihak yang merasa bahwa peraturan
tersebut sudah tidak dapat sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pengujian Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 atau kita kenal dengan istilah judicial reviw merupakan proses pengujian peraturan
14
Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-Undangan, hlm. 21-22.
perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Terdapat dua bentuk pengujian Undang-Undang
yaitu pengujian formil dan/atau pengujian materiil. Pengujian materiil adalah pengujian Undang-
Undang yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-
Undang yang dianggap bertentangan dengan Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan Pengujian formil adalah pengujian Undang-
Undang yang berkenaan dengan proses pembentukan Undang-Undang dan hal-hal lain yang
tidak termasuk pengujian materiil.
Kedudukan Mahkamah Konstitusi secara normative dalam pengujian Undang-
Undanghanya sebatas sebagai negative legislator yaitu penghapus atau pembatalnorma
yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Namun dalam perkembangannya Mahkamah Konstitusi mengalami pergeseran fungsi
dimana Mahkamah Konstitusi melalui putusannya sudah menjadi lembaga yang bersifat Positive
legislature bukan hanya menjadi negative legislator, Hal ini dapat dilihat dalam prakteknya,
dimana putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat positive legislature sangat banyak
ditemukan dalam produk hukumnya. Mahkamah Konstitusi bersifar Positive legislature yaitu
menciptakan suatu keadaan hukum baru yang bersifat mengatur lewat putusan yang dibuat oleh
Mahkamah Konstitusi15
.
Muatan positive legislature dalam putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dengan
adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menciptakan putusan konstitusional bersyarat
(conditionally constitutional), inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional),
15
Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012)
putusan yang menunda pemberlakuan putusan (limited constitutional), dan putusan yang
merumuskan norma baru.
Model putusan konstitusional bersyarat (conditionally constititional) dan model putusan
inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstititional) pada dasarnya merupakan model
putusan yang secara hukum tidak membatalkan dan menyatakan tidak berlaku suatu norma, akan
tetapi kedua model putusan tersebut memuat atau mengandung adanya penafsiran (interpretative
decision) terhadap suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang ataupun
undang-undang secara keseluruhan yang pada dasarnya dinyatakan bertentangan atau tidak
bertentangan dengan konstitusi dan tetap mempunyai kekuatan hukum atau tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Model putusan yang menunda pemberlakuan putusannya (limited constitutional) pada
dasarnya bertujuan untuk memberi ruang transisi aturan yang bertentangan dengan konstitusi
untuk tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai waktu tertentu. Model
putusan yang lain yaitu yang merumuskan norma baru adalah dalam rangka mengatasi
inkonstitusionalitas penerapan norma. Rumusan norma baru tersebut pada dasarnya bersifat
sementara, nantinya norma baru tersebut akan diambil-alih dalam pembentukan atau revisi
undang-undang terkait.16
.
2.4 Teori Argumentasi Hukum
Argumentasi hukum merupakan suatu proses berfikir yang terikat dengan jenis hukum,
sumber hukum, jenjang hukum. Argumentasi hukum merupakan bagian dari teori hukum karena
ilmu hukum adalah ilmu yang memiliki kepribadian yang khas (sui generis).17
16
www.Ejurnal.mahakamahkosntitusi.go.id 17
Philipus M. Hadjon Titiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, 2005, hlm. 1
Pembentukan hukum dengan menggunakan metode teori argumentasi adalah cara untuk
mengkaji bagaimana menganalisis, merumuskan suatu argumentasi secara cepat, jelas dan
rasional dengan cara mengembangkannya. Teori argumentasi hukum mengembangkan kriteria
yang dijadikan dasar untuk berargumentasi yang jelas dan rasional. Teori argumentasi ialah salah
satu bentuk penemuan hukum oleh hakim yang digunakan oleh hakim untuk mengisi kekosongan
hukum, atau menafsirkan suatu kaidah peraturan perundang-undangan yang tidak atau kurang
jelas. Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas
hukum lainnya yang diberi tugas menerapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang
konkret.18
Satu Argumentasi bermakna hanya dibangun atas dasar logika. Dengan kata lain adalah
suatu “ Condition sine qua non” agar suatu keputusan dapat diterima adalah apabila didasarkan
pada proses nalar, sesuai dengan system logika formal yang merupakan syarat mutlak dalam
berargumentai.19
Dalam pola sivil law hukum utamanya adalah legislasi oleh karena itu langkah
dasar pola nalar yang dikenal sebagai reasoning based on rules adalah penelusuran peraturan
perundang – undangan. Legal reasoning memiliki arti sempit dan luas legal reasoning dalam arti
luas berkaitan dengan proses psikologi yang dilakukan hakim untuk sampai pada keputusan atas
kasus yang dihadapinya sedangkan legal reasoning dalam arti sempit, berkaitan dengan
argumentasi yang melandasi satu keputusan20
. Langkah – langkah yang dapat dilakukan adalah
langkah pertama dikenal sebagai statute approach, langkah kedua ialah Case Approach dan
langkah yang ketiga dikenal dengan conceptual approach.
Langkah pertama ialah Pendekatan statute approach ini dilakukan dengan menelaah
semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu hukum)
18
Sudikno Mertokusumo,1996:hlm 37 19
Philipus M. Hadjon Titiek Sri Djatmiati. Op.cit. hlm.17 20
Ibid hlm.42
yang sedang dihadapi. Pendekatan perundang-undangan ini misalnya dilakukan dengan
mempelajari konsistensi/kesesuaian antara Undang-Undang Dasar dengan Undang-Undang, atau
antara Undang-Undang yang satu dengan Undang-Undang yang lain. Yang kedua ialah
Pendekatan Kasus (Case Approach) Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah pada
kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi. Kasus-kasus yang ditelaah
merupakan kasus yang telah memperoleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Hal
pokok yang dikaji pada setiap putusan tersebut adalah pertimbangan hakim untuk sampai pada
suatu keputusan sehingga dapat digunakan sebagai argumentasi dalam memecahkan isu hukum
yang dihadapi. Yang ketiga ialah conceptual approach Pendekatan ini beranjak dari pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pendekatan ini menjadi
penting sebab pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum
dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika menyelesaikan isu hukum
yang dihadapi. Pandangan/doktrin akan memperjelas ide-ide dengan memberikan pengertian-
pengertian hukum, konsep hukum, maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan.
Legal Reasoning memiliki posisi sentral yang sangat penting bagi hakim dalam
menafsirkan hukum. Bahkan, legal reasoning merupakan roh dari setiap upaya penafsiran hukum
yang dilakukan oleh hakim hingga menghasilkan suatu putusan. Dengan kata lain, legal
reasoning memiliki peran sangat penting dalam memandu hakim untuk menentukan makna
efektif dari hukum in casu konstitusi. Mengutip pandangan Golding, term „legal reasoning‟ dapat
digunakan dalam dua arti, yaitu dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, legal reasoning
berkaitan dengan proses psikologis yang dilakukan hakim untuk sampai pada putusan atas kasus
yang dihadapinya. Sedangkan, legal reasoning dalam arti sempit, berkaitan dengan argumentasi
yang melandasi suatu keputusan. Artinya, legal reasoning dalam arti sempit ini menyangkut
kajian logika dari suatu putusan, yaitu hubungan antara reason (pertimbangan, alasan) dan
putusan, serta ketepatan alasan atau pertimbangan yang mendukung putusan tersebut.
Setelah memahami makna legal reasoning dalam arti sempit maupun arti luas, maka perlu
diketahui dan dipahami tentang karakteristik-karakteristik legal reasoning yang tepat mengacu
pada pemikiran filsafat praktis dari Aristoteles, Brett G Scharffs mengemukakan bahwa legal
reasoning yang baik itu tersusu dari tiga gagasan atau konsep, yaitu : pertama, practical wisdom
atau phronesis, kedua, craft atau techne atau keterampian, dan ketiga, rhetorica. Legal reasoning
yang baik menurut Scharffs adalah hasil kombinasi antara practical wisdom, craft dan rhetoric.
Hakim yang baik adalah hakim yang dapat mengkombinasikan skill atau karakter practical
wisdom (kearifan dalam berpraktik hukum), keterampilan dan retorika. Masing-masing dari
ketiga konsep tersebut merupakan komponen esensial dari suatu legal reasoning yang baik.
1. Practical Wisdom
Fokus dari practical wisdom adalah apa yang harus dilakukan pada suatu waktu
tertentu dan pada situasi tertentu. Artinya, practical wisdom terkait sangat erat dengan
memberikan pertimbangan yang mendalam (deliberation/bouleusis), menentukan pilihan
(choice/proairesis) dari serangkaian pilihan yang ada, dan pada akhirnya menentukan
tindakan (action/praxis) terbaik yang harus dilakukan. Dengan demikian, yang dimaksud
dengan practical wisdom bukanlah semata-mata menerapkan dan mengikuti aturan
perundang-undangan. Practical wisdom bukan pula semata-mata mengetahui tentang apa
yang benar dan apa yang salah, melainkan memberikan pertimbangan mendalam tentang
tindakan atau aksi apa yang harus dilakukan.
Menurut Aristoteles, sebagaimana dikutip oleh Scharffs, bahwa practical wisdom
itu terbentuk dari komponen intelektualitas dan komponen karakter. Seorang hakim yang
memiliki pratical wisdom senantiasa dapat melakukan pertimbangan mendalam secara
baik. Pertimbangan mendalam tersebut mencakup bagaimana menemukan sarana-sarana
terbaik untuk mencapai tujuan tertentu termasuk menentukan tujuan yang tepat yang
hendak dicapai.
2. Craft
Aristoteles mendefinisikan craft atau techne sebagai kemampuan atau kapasitas
yang tinggi untuk membuat atau menciptakan sesuatu. Berbeda dengan practical wisdom,
yang lebih terfokus pada tindakan atau aksi, focus dari craft adalah karya cipta atau
produksi. Berbeda dengan practical wisdom craft memiliki satu komponen, yaitu
intelektualitas. Craft terbentuk dari pemanfaatan materi-materi dan sarana-sarana secara
terampil. Dalam bidang hukum, materi-materi dimaksud meliputi sumber-sumber hukum
seperti konstitusi dan ketentuan perundang-undangan, prinsip-prinsip dan pemikiran-
pemikiran dasar tentang hukum, serta berbagai rangkaian peraturan dan pedoman
3. Rhetoric
Tujuan atau inti dari rhetoric (retorika) adalah persuasi. Aristoteles
mendefinisikan retorika sebagai kemampuan untuk menemukan sarana-sarana persuasi
yang tersedia. Definisi yang diberikan oleh Aristoteles ini menarik karena Aristoteles
membedakan antara tujuan eksternal dan tujuan internal dari retorika. Tujuan eksternal
dari suatu retorika adalah untuk memenangkan atau berhasil membujuk (successfully
persuading) audiensinya. Keberhasilan upaya persuasi ini diukur dari hasil yang
diperoleh dari argumen yang telah dibangunnya. Sedangkan, tujuan internal berkaitan
erat dengan penyusunan argumentasi terbaik yang mungkin dibuat dalam suatu keadaan
tertentu dan dengan memanfaatkan sarana-sarana persuasi yang tersedia.
Tujuan atau fokus dari practical wisdom, craft maupun rethoric semuanya dapat
ditemukan dalam pelaksanaan tugas hakim. Putusan yang dibuat hakim, tentunya, terkait
erat dengan tindakan/aksi yang membutuhkan practical wisdom. Dalam hal ini, hakim
membutuhkan pertimbangan yang mendalam, menentukan pilihan dari serangkaian
pilihan yang tersedia, dan pada akhirnya menentukan tindakan atau aksi yang akan
diambilnya. Menurut Aristoteles, sebagaimana dikutip kembali oleh Scharffs, retorika itu
terbentuk dari tiga model persuasi yang berbeda, yaitu logos, atau alasan pathos, atau
emosi dan ethos, atau karakter.
Berdasarkan hal tersebut menurut penulis argumentasi hukum yang tepat dalam hakim
memutuskan suatu perkara menggunakan penafsiran ialah argumentasi tersebut harus didasakan
pada logika hukum yang tepat. Logika hukum setiap hakim bergantung pada aliran filsafat apa
yang diyakini oleh hakim tersebut. Bukan hanya itu logika hukum hakim tersebut juga tidak
boleh bertetangan dengan dasar hukum yang dianut oleh Indonesia yang dalam ha ini ialah
Undang-Undang dasar 1945 yang artinya bahwa putusan hakim haruslah sesuai dengan Undang-
Undang dasar 1945, karena salah satu asas yang dianut Indonesia ialah Asas lex superior derogat
legi inferior yang artinya peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang rendah (asas
hierarki) namun hakim dalam melakukan penafsiran juga harus mempertimbangkan asas
kemanfaatan dari putusan tersebut.
B.PEMBAHSAN
A. Temuan Data
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukan oleh penulis apa yang
melatarbelakangin penulis ingin mengkaji apakah apakah putusan Mahkamah Konstitusi nomor
64/PUU-X/2012 telah didasarkan pada argumentasi hukum yang tepat berdarkan pengertian dan
pengaturan mengenai harta bersama dan perbankan serta kewengan yang dimiliki oleh
Mahkamah syariah serta Mahkamah Konstitusi .
Keputusan Mahkamah Konstitusi diatas diawali kasus dalam skripsi ini yaitu perkara
Magda Safrina, sebagai pemohon berkedudukan di Banda Aceh, mengajukan gugatan perceraian
dan pembagian harta bersama (gono-gini) terhadap suami Pemohon. Gugatan perceraian dan
pembagian harta bersama tersebut didaftarkan di Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh melalui
kuasa hukum Pemohon dari kantor Advokat Marlianita,SH dan Rekan yang berkedudukan di
Banda Aceh. Gugatan perceraian dan pembagian harta bersama tersebut didaftarkan di
Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh Nomor 21/Pdt- G/2012/MS-BNA tertanggal 1 Februari
2012 pokok permohonan perkara yang dimohonkan adalah sebagai berikut :
1. Bahwa, Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri sah yang menikah pada tanggal 16
Mei 1995 sesuai dengan Kutipan Akta Nikah No 2019/V/1995 yang dikeluarkan Kantor
Urusan Agama Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh;
2. Bahwa selama dalam masa perkawinan Penggugat dan Tergugat telah memperoleh harta
bersama yang terdiri dari:
a. 1 (satu) satu petak tanah beserta bangunannya yang terletak di Jalan Panti RT 008
/ 001 Kelurahan Bambu Apus Kecamatan Cipayung Kotamadya Jakarta Timur
Propinsi DKI Jakarta sebagaimana tersebut dalam SHM No 09.05.08.01.1.03349
dan AJB No 6/2004.
b. 1 (satu) petak tanah dan bangunan di Aceh Besar. (AJB No. 416 Tahun 2010 yang
luasnya 200 m2
c. 1 (satu) petak tanah kebun berikut tanaman Jabon berusia 1 tahun seluas 10.000
m2 di Aceh Besar. (AJB Nomor 158/SIM/XI/2010)
d. 1 (satu) petak tanah kebun berikut tanaman Jabon berusia 1 tahun seluas 20.000
m2 di Aceh Besar. (AJB Nomor 159/SIM/XI/2010)
e. 1 (satu) petak tanah kebun berikut tanaman Jabon berusia 1 tahun seluas 20.000
M2 di Kabupaten Aceh Besar (AJB Nomor 160/SIM/XI/2010 )
f. 1 (satu) petak tanah kebun berikut tanaman Jabon berusia 1 tahun seluas 20.000
m2 di Aceh Besar. (AJB Nomor 161/SIM/XI/2010 )
g. 1 (satu) unit Mobil Toyota Avanza tahun 2008 warna silver BL 854 JA;
h. Deposito dan Tabungan (Deposito Bank Mandiri Cabang Unsyiah Darussalam no
Seri AC 143716 No. Rek. 158-02-0004155-6 senilai Rp; 600.000.000,- ;
i. Deposito Bank Syariah Mandiri KCP Keutapang Nomor Seri :
7/D568609/333/10-2011 senilai Rp. 300.000.000,- ;
j. Deposito BRI KCP Peunayong Nomor DC 1257124 senilai Rp. 120.000.000,-
k. Cadangan dana transaksi saham online di PT. e-Trading Sekuritas Nomor
Account 580-30-10173-5 senilai Rp. 45.000.000,Rp. 45.000.000,
l. Tabungan Bank Syariah Mandiri Nomor Rekening 5577005009 senilai Rp.
169.747.000
Pokok permohonan :
1. Menceraikan Penggugat (Penggugat dengan Tergugat (Tergugat dengan talak I
(satu) Bain Sughra
2. Menetapkan anak terkecil yang lahir dalam perkawinan Penggugat dan Tergugat
anak kandung ketiga binti Tergugat (usia 7 tahun) berada dalam asuhan
Penggugat selaku ibunya
3. Menghukum Tergugat untuk memberikan biaya hidup Rp. 3.000.000,- per anak
per bulan dan biaya pendidikan untuk ketiga anak sebesar Rp 2.000.000,- per
anak per bulan dan nanti akan disesuaikan dengan perkembangan dan
pertumbuhan anak sampai anak dewasa dan mandiri
4. menetapkan pembagian harta bersama antara Penggugat dan Tergugat adalah 25
% untuk Penggugat, 25 % untuk tergugat dan 50 % untuk anak-anak kandung
penggugat dan tergugat
Terhadap permohonan Pemohon Mahkamah Syariah berpendapat :
1. Mahkamah Syariah berpendapat, bahwa dalil yang dikemukakan oleh
Penggugat di dalam surat gugatannya memuat tentang perselisihan secara
terus menerus antara Penggugat dengan Tergugat dan Penggugat merasa tidak
mungkin lagi mempertahankan rumah tangga dengan Tergugat, dan dalil
tersebut dapat diterima untuk diperiksa lebih lanjut sebagai alasan perceraian
sesuai dengan penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU No 1 tahun 1974 tentang
perkawinan dan Pasal 19 huruf f, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
Jo. Pasal 116 huruf f, Kompilasi Hukum Islam
2. Mahkamah Syariah berpendapat, bahwa berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan yang telah dikemukakan bahwa maksud Pasal 76 ayat (1) UU
No 7 Tahun 1989 yang diubah untuk kedua kalinya dengan UU No 50 Tahun
2009 jo. Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Jo. Pasal
116 huruf f, Kompilasi Hukum Islam telah terpenuhi dalam perkara ini dan
keutuhan rumah tangga para pihak telah tidak mungkin dapat dipertahankan
lagi sehingga maksud firman Allah dalam surat ar Rum ayat 21 jo Pasal 1
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 3 KHI untuk mewujudkan
keluarga yang sakinah, penuh cinta dan kasih sayang tidak dapat dicapai
malah mempertahankan perkawinan para pihak dalam keadaan perselisihan
oleh karena itu adalah beralasan menurut hukum untuk mengabulkan gugatan
Penggugat setentang perceraian
3. Mahkamah Syariah berpendapat, bahwa Penggugat mengajukan pula gugatan
hak pengasuhan anak kandung ketiga binti Tergugat (usia 7 tahun) masih
belum mummayiz, maka dengan mengacu pada Pasal 105 huruf (a) dan Pasal
156 huruf (a) KHI maka terdapat alasan hukum untuk menetapkan anak
tersebut di bawah hadhanah Penggugat, dan Tergugat tidak berhasil
membuktikan Penggugat mempunyai sifat tidak baik untuk memegang hak
hadhanah, oleh karena itu gugatan setentang hak hadhanah dapat dikabulkan
4. Mahkamah Syariah berpendapat, bahwa tuntutan setentang nafkah terhadap
tiga orang anak, dapat dipertimbangkan ; Bahwa sesuai dengan maksud Pasal
105 huruf (c) dan Pasal 156 huruf (c) KHI, maka biaya untuk anak yang
didefinisikan sebagai nafkah anak (biaya hidup dan pendidikan) ditanggung
oleh ayah mereka in casu Tergugat ; Bahwa dengan mempertimbangkan
keadaan anak dan kemampuan Tergugat maka besarnya biaya nafkah untuk
ketiga orang anak tersebut adalah sebagaimana tercantum di dalam diktum
Putusan Mahkamah Syariah
5. Mahkamah Syariah berpendapat, bahwa sesuai dengan ketentuan hukum
sebagaimana maksud KHI Pasal 97 maka harta bersama suami istri dibagi dua
bagian, masing-masing memperoleh separuhnya
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka Mahkamah Syariah memberikan
Putusan sebagai berikut :
1. Menjatuhkan talak I Bain Sughra Tergugat (Tergugat) terhadap Penggugat
2. Menetapkan anak kandung ketiga binti Tergugat (usia 7 tahun berada dalam
hadhanah (asuhan) Penggugat sampai anak tersebut mumayyiz
3. Menghukum Tergugat untuk memberikan biaya hidup dan pendidikan terhadap
tiga orang anak yang bernama Anak Kandung Pertama binti Tergugat (usia 16
thn), Anak Kandung Kedua bin Tergugat (usia 14 thn), dan Anak Kandung
Ketiga binti Tergugat (usia 7 thn) untuk saat ini sejumlah Rp. 6.000.000,-(enam
juta rupiah) setiap bulan sampai anak tersebut dewasa atau mandiri
4. Menetapkan harta bersama Penggugat dengan Tergugat seperti yang
dikemukakan oleh penggugat
5. Membagi harta bersama yang tercantum pada diktum mengenai harta bersama
menjadi dua bagian, yang masing-masing pihak mendapat satu bagian.21
Berdasarkan putusan yang telah diberikan oleh Mahkamah Syariah maka Mahkamah
Syariah menjatuhkan talak I (satu) Bain Sughra (Tergugat) terhadap Penggugat dan membagi
harta bersama yang tercantum pada diktum mengenai harta bersama menjadi dua bagian. Dari
beberapa harta bersama tersebut terdapat sejumlah harta bersama dalam bentuk tabungan dan
deposito yang disimpan oleh dan atas nama suami Pemohon di sejumlah Bank di Kota Banda
Aceh dan Bank Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Harta bersama dalam bentuk tabungan
dan deposito tersebut didasarkan pada bukti asli berupa buku tabungan dan bilyet deposito yang
berada di tangan Pemohon. Namun Tergugat melalui kuasa hukum tergugat Darwis, SH,
memberikan jawaban gugatan kepada Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh tertanggal 21 Maret
2012, dalam Duplik 18 April 2012 menyangkal dan menolak keberadaan seluruh tabungan dan
deposito yang disimpan oleh dan atas nama suami Pemohon pada sejumlah Bank di Kota Banda
Aceh dan Bank di Kabupaten Aceh Besar tersebut . Maka dengan terjadinya perbedaan dan
perselisihan antara Pemohon dengan suami Pemohon tentang keberadaan tabungan dan deposito
yang dimaksud, Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh kemudian meminta sejumlah Bank
termaksud untuk memberikan penjelasan mengenai keberadaan tabungan dan deposito dimaksud
demi kepentingan perlindungan harta bersama yang kedudukannya dilindungi oleh hukum dan
Undang-Undang. Surat permohonan kepada Bank termaksud dikirim oleh Mahkamah Syariah
secara terpisah ke beberapa bank yaitu:
21
Putusan Mahkamah Syariah Nomor 21/Pdt- G/2012/MS-BNA
a. Bank Syariah Mandiri KCP Keutapang, Aceh Besar, tertanggal 21 Mei 2012.
b. Bank Mandiri Cabang Unsyiah Darussalam, Banda Aceh, tertanggal 21 Mei 2012.
c. Bank BRI Cabang KCP Peunayong, Banda Aceh, 6 Juni 2012.
Berdasarkan surat yang dikirim oleh Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh tersebut,
Pihak Bank menolak memberikan keterangan surat-surat jawaban tertulis beberapa Bank
terlampir dalam daftar barang bukti yang diajukan oleh Pemohon. Surat tanggapan dari pihak
Bank yang ditujukan kepada Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh berasal dari:
a. Bank Syariah Mandiri KCP Keutapang, Aceh Besar
b. Bank BRI KCP Peunayong, Banda Aceh
Bank- bank tersebut tidak dapat memenuhi panggilan dikarenakan hal tersebut menyangkut
dengan kerahasiaan data nasabah, hal ini sesuai dengan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan dan PBI Nomor 2/19/PBI/2000 dan seterusnya. Bank Mandiri
Cabang Unsyiah Darussalam, Banda Aceh menanggapi panggilan Mahkamah Syariah dengan
menghadiri sidang perceraian Pemohon di Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh pada tanggal 30
Mei 2012. Bank Mandiri Cabang Unsyiah tersebut hadir ke persidangan diwakili oleh Kepala
Cabang Bank Mandiri Cabang Unsyiah,Darussalam, Banda Aceh. Dalam keterangannya di
persidangan, Kepala Cabang Bank Mandiri Cabang Unsyiah Darussalam, Banda Aceh
menjelaskan bahwa deposito yang disimpan atas nama suami Pemohon di Bank Mandiri Cabang
Unsyiah tersebut senilai Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) telah dicairkan oleh suami
Pemohon beberapa hari sebelum gugatan perceraian. Namun pihak bank menolak memberi
keterangan mengenai aliran dana deposito tersebut dengan alasan “ ….. tidak dapat memberi
keterangan tentang dana nasabah dikarenakan menyangkut Dengan kerahasiaan data nasabah.
Hal ini sesuai dengan Pasal 1 UU Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan dan PBI Nomor
2/19/PBI/2000 dan karena Majelis hakim belum mengetahui nomor rekening dan jumlah
deposito karena itu termasuk rahasia Bank, maka bank belum dapat memberitahukannya.
Pemohon berdalil bahwa dengan adanya perselisihan dalam pembagian harta bersama
(gonogini) dalam hal putusnya perkawinan karena perceraian ini bisa mengakibatkan kerugian
materiil yang dialami oleh salah satu pihak yang berselisih, hal yang mana kerugian tersebut
telah dan atau dapat terjadi karena kerahasiaan bank sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1)
dan ayat (2) UU No 10 tahun 1998. Dimana Pemohon beranggapan bahwa Pasal 40 ayat (1) dan
ayat (2) UU No 10 tahun 1998 dalam hal peradilan perdata gugatan perceraian dan pembagian
harta bersama (gono-gini) selama pernikahan, telah memberi ruang kepada salah satu pihak baik
suami ataupun istri yang namanya terdaftar sebagai nasabah bank untuk menguasai dan atau
mengalihkan sebagian dan atau sepenuhnya harta bersama yang diperoleh selama pernikahan
tanpa diketahui oleh pihak lainnya. Kondisi ini dapat menyebabkan salah satu pihak dapat
mengambil secara sewenang-wenang hak pihak lainnya oleh karena itu Pemohon beranggapan
bahwa perangkat hukum yang ada saat ini terkait harta bersama (gono-gini) yang disimpan atas
nama nasabah di suatu bank, dapat dikatagorikan belum benar-benar sesuai dengan kebutuhan
masyarakat demi kepentingan mengayomi ketertiban hidup masyarakat.
Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia mengajukan permohonan ke
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 12 Juni 2012 yang tercatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi (BRPK) pada tanggal 25 Juni 2012 dengan perkara nomor 64/PUU-X/2012 perihal
Pengujian Materiil Pasal 40 ayat (1) dan Pasal 40 ayat (2) UU No 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan ketentuan tersebut berbunyi “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai
Nasabah Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44A” yang mengatur mengenai norma
tentang kewajiban bank merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan
simpanannya serta pengecualian dalam membuka kerahasiaan perbankan sebagaimana diatur
dalam UU No 10 tahuin 1998 yang mana pengecualian tersebut tidak memasukkan pengecualian
untuk perkara pengadilan perdata untuk perceraian serta pembagian harta gono-gini nasabah
penyimpan. Oleh karena itu ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU No 10 Tahun 1998 telah
menghalangi akses Pemohon untuk memperoleh keterangan mengenai harta bersama (harta
gono-gini) Pemohon dengan suami Pemohon, yang diperoleh selama pernikahan dan disimpan di
bank atas nama suami Pemohon sehingga melanggar hak konstitusional Pemohon untuk
melindungi harta benda dan hak milik pribadi Pemohon sebagaimana dijamin oleh Pasal 28G
ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945
Berdasarkan kewenagan yang dimilikinya oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur
dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan menguji Undang- Undang terhadap
Undang-Undang Dasar, yang isinya secara lengkap berbunyi sebagai berikut.
1. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
2. Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 8 Tahun 2011: “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk:
a. menguji Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Berdasarkan hal tersebut Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pengujian Pasal 40 ayat (1) dan Pasal 40 ayat (2)
UU No 10 Tahun 1998 dalam Perkara Nomor 64/PUU-IX/2012 tersebut dengan pertimbangan
dan amar putusan sebagai berikuk
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi :
1. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya,
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”, dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945
menyatakan, “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”.
Terkait frasa “dengan harta benda yang di bawah kekuasaannya” dalam Pasal 28G ayat
(1) UUD 1945 adalah termasuk harta bersama yang diperoleh bersama selama
perkawinan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), dan Pasal
37 UU No 1 tahun 1974 yang menyatakan:
Pasal 35 ayat (1): “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama”.
Pasal 36 ayat (1): “Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak”.
Pasal 37: “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut
hukumnya masing-masing”
Dari ketentuan tersebut,maka setiap orang berhak atas perlindungan harta benda yang di
bawah kekuasaannya dan setiap orang memiliki hak milik pribadi yang tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun
2. Kemudian Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam yang berlaku berdasarkan Instruksi
Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 menyatakan, ”harta kekayaan dalam perkawinan
(harta bersama) yaitu harta yang diperoleh baik sendiri – sendiri atau bersama suami-istri
selama dalam ikatan perkawinan, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah Konstitusi, harta bersama (gono-gini)
yang diperoleh selama pernikahan, termasuk harta yang disimpan oleh suami dan/atau isteri di
satu bank baik dalam bentuk tabungan, deposito dan produk perbankan lainnya merupakan harta
benda milik bersama suami isteri yang dilindungi menurut konstitusi. Menimbang, benar bahwa
setiap nasabah harus dilindungi kerahasiaan datanya oleh bank, sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan, akan tetapi Pasal a quo juga memberikan pengecualian bahwa
data nasabah juga dapat diakses untuk:
a. kepentingan perpajakan (Pasal 41)
b. penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan
Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara (Pasal 41A),
c. kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Pasal 42)
d. perkara perdata antar bank dengan nasabahnya (Pasal 43)
e. kepentingan tukar-menukar informasi antar bank (Pasal 44)
f. atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara
tertulis (Pasal 44A);
Bahwa dari pengecualian tersebut, terdapat norma yang membolehkan data nasabah dibuka atas
perintah pengadilan, yaitu untuk perkara pidana dan perkara perdata antar bank dengan
nasabahnya. Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah Konstitusi, akan lebih memenuhi rasa
keadilan apabila data nasabah juga harus dibuka untuk kepentingan peradilan perdata terkait
dengan harta bersama, karena harta bersama adalah harta milik bersama suami dan isteri,
sehingga suami dan/atau isteri harus mendapat perlindungan atas haknya tersebut dan tidak boleh
diambil secara sewenang-wenang oleh salah satu pihak. Hal demikian dijamin oleh Pasal 28G
ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah Konstitusi, perlu ada penafsiran
yang pasti terkait ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan, agar terdapat kepastian hukum
yang adil dalam pelaksanaan dari pasal a quo, sehingga setiap isteri dan/atau suami termasuk
Pemohon memperoleh jaminan dan kepastian hukum atas informasi mengenai harta bersama
dalam perkawinan yang disimpan di bank. Menurut Mahkamah Konstitusi, apabila Pasal 40 ayat
(1) UU Perbankan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara keseluruhan dan karena itu
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, hal itu justru akan menimbulkan tidak adanya
perlindungan terhadap kerahasiaan bank, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan nasabah
terhadap bank dan merugikan perekonomian nasional. Oleh karena itu, menurut Mahkamah
Konstitusi, untuk melindungi hak-hak suami dan/atau isteri terhadap harta bersama yang
disimpan di bank, maka Mahkamah Konstitusi perlu memberikan kepastian dan perlindungan
hukum yang adil. Ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU No 10 tahun 1998 harus dimaknai “Bank
wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam
hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal
44A serta untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian
Berdasarkan pertimban tersebut Mahkamah Konstitusi memberi amar putusan sebagai
berikut
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian
a. Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk untuk kepentingan peradilan
mengenai harta bersama dalam perkara perceraian
b. Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
termasuk untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara
perceraian22
.
B. ANALISIS
Dalam mengambil keputusan hakim menggunakan pertimbangan yang dijadikan dasar
untuk mengambil keputusan dimana keputusan yang dikeluarkan oleh hakim tersebut diharapkan
dapat memiliki kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Dimana hal ini tidak lepas dari
22
ibid
pertimbangan hakim yang bersifat yurudis, sosiologis dan filosofis agar hukum yang diciptakan
dapat memberi jawaban atas kebutuhan masyarakat mengenai hukum
Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan. Dalam hal
terjadinya perceraian seperti pada perkara yang dikaji oleh penulis maka berdasarkan ketentuan
dalam KUH Perdata Pasal 128 - Pasal 129 mengatur bahwa apabila tali perkawinan antara suami
dan istri putus atau bercerai maka harta bersama tersebut dibagi dua antara suami istri tanpa
memperhatikan dari pihak mana barang-barang kekayaan itu sebelumnya diperoleh. Mengenai
hal pembagian harta bersama juga diatur dalam Pasal 37 Undang-undang Perkawinan yang
menyebutkan bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing. Hal tersebut pula diatur dalam Pasal 97 KHI dinyatakan bahwa apabila
perkawinan putus baik karena perceraian maupun karena kematian, maka masing-masing suami
istri mendapatkan separuh dari harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung.
Harta bersama dalam perkara tersebut ialah harta yang disebutkan oleh pemohon dalam gugatan
dan ditetapkan oleh Mahkamah Syariah, dimana salah satunya ialah harta bersama yang
dimasukan kedalam bank. Namun kerena kerahasian perbankan Mahkamah syariah tidak dapat
mengetahui jumlah harta bersama tersebut yang akhirnya membuat pemohon mengajukan
permohonan judicial review Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 karena
dianggap merugikan pemohon.
Putusan Mahkamh Konstitusi Nomor 64/PUU-IX/2012 yang memutuskan bahwa Pasal
40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) adalah bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk untuk
kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian. Dimana sifat dari
putusan Mahkamh Konstitusi tersebut ialah conditionally constitutional yang artinya bahwa
apabila tafsir yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi dipenuhi, maka suatu norma atau
undang-undang tetap konstitusional, namun apabila tafsir yang ditentukan oleh Mahkamah
Konstitusi dalam putusannya tidak terpenuhi maka suatu norma hukum atau undang-undang
menjadi inkonstitusional sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang Dasar
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pada putusan tersebut Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran terhadap materi
muatan pasal Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang artinya bahwa
hakim melakukan penemuan hukum yang digunakan oleh hakim untuk mengisi kekosongan
hukum, melalui tafsiran suatu kaidah peraturan perundang-undangan yang tidak atau kurang
jelas. Dalam putusan tersebut pemohon mengaitkan permohonan dengan Undang- undang Dasar
Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) dan Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), dan Pasal 37
UU Perkawinan, yang menyatakan bahwa ketentuan kerahasian perbankan berentangan dengan
peraturan-peraturan tersebut.
Menurut pendangan penulis putusan Mahkam Konstitusi telah memberi kepastian dan
perlindungan bagi masyarakat terlebih dalam permohonan tersebut ialah Pemohon karena sifat
putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi memberikan kepastian kepada setiap orang
untuk melindungi hartannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dengan
dibukannya kerahasian perbankan untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam
perkara perceraian menurut pendapat penulis tidak akan memberi peluang kepada pihak yang
namanya terdaftar untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan pihak lainnya atau pihak
yang mempunyai etikat buruk, dimana tindakan ini dapat dilakukan dengan cara melakukan
beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyamarkan keberadaan dana yang ada.
Pembukaan Kerahasian perbankan mengenai harta bersama didukung oleh sifat
kerahasian perbankan yang dianut oleh Indonesia yaitu rahasia bank yang bersifat relatife yang
artinya bank diperbolehkan untuk membuka rahasia atau memberikan keteranagan mengenai
nasabahnya, untuk kepentingan yang mendesak, misalnya untuk kepentingan negara atau
kepentingan hukum yang telah diatur dalam Undang – Undang yaitu untuk :
g. kepentingan perpajakan (Pasal 41)
h. penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan
Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara (Pasal 41A),
i. kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Pasal 42)
j. perkara perdata antar bank dengan nasabahnya (Pasal 43)
k. kepentingan tukar-menukar informasi antar bank (Pasal 44)
l. atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara
tertulis (Pasal 44A)
dari pengecualian tersebut maka dapat kita lihat bahwa secara eksplisit Undang-Undang telah
mengatur bahwa sistem yang dianut dalam perbankan Indonesia ialah bersifat relatif. Namun
menurut penulis, rahasia perbankan tetaplah harus ada atau dijaga. Tetap terjaganya kerahasian
perbankan juga dapat dilihat dari dibentuknya ketentuan rahasia bank dalam Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 yang sampai saat ini dipegang teguh oleh Bank Indonesia, bank-bank
pelaksana dan pihak-pihak terafiliasi serta ditindaklanjuti dengan mengeluarkan aturan-aturan
pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 2/19/PBI/2000, tentang Persyaratan dan Tata
Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank yang artinya bahwa
pembukaan kerahasia perbankan memiliki peraturan pelaksaana yang harus dipatuhi. Rahasia
perbankan itupun tetap terjaga dengan dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi, hal ini
tercermin dalam putusan Mahkam Konstitusi yang tidak menyatakan bahwa kerahasiaan
perbankan bertentangan seluruhnya dengan Konstitusi karena sejatinya rahasia perbankan harus
tetap ada untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap bank, karena terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi kepercayaan nasabah kepada bank yaitu mengenai pengurusannnya,
pengetahuannya terhadap perbankan dan kepatuhan terhadap kewajiban bank mengenai rahasia
perbankan.
Menurut penulis terdapat kelemahan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara
atau permohonan pemohon tersebut yaitu sifat dari model putusan konstitusional bersyarat
(conditionally constitutional) tidak dapat secara langsung dilaksanakan (non-self executing)
karena harus melalui proses legislasi baik dengan perubahan undang-undang maupun dengan
pembentukan undang-undang dan proses regulasi untuk peraturan di bawah undang-undang.
Agar pelaksanaan kerahasian perbankan tetap terjaga maka diperlukan pengaturan lebih lanjut
sebagai implikasi dari judicial review pasal 40 ayat (1) UU No. 10 tahun 1998 oleh Mahkamah
Konstitusi. Hal ini akan menyulitkan pelaksanaan hukum oleh bank ketika akan membuka
rahasia bank mengenai harta bersama apabila tidak ada pelaksanaan lebih lajut mengenai putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut. Hal ini juga akan menimbulkan kebingungan bagi pihak bank
mengenai prosedur pembukaan kerahasian perbankan, apakah memerlukan izin dan perintah
terlebih dahulu karena dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 2/19/PBI/2000, tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank setiap
tata laksana dalam pembukaan kerahasian perbankan harus mendapat izin dan perintah terlebih
dahulu oleh pejabat yang berwenang. Namun menurut penulis implikasi putusan Mahkamah
Konstitusi mengenai mekanisme pembukaan rahasia bank haruslah melalui ijin Bank Indonesia
dengan mendaftarkan perkara tersebut pada perkara perdata.
Menurut penulis perkara perceraian mengenai harta bersama yang dimasukan dalam
perbankan seharusnya lebih menekankan judicial review pada Pasal 43 UU No. 10 tahun 1998
bukan pada Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 tahun 1998. Permohonan pada penekanan judicial
review pada Pasal 43 UU No. 10 tahun 1998 dapat dilakukan untuk memberikan perluasan
pengaturan bukan hanya terkait perkara perdata antar bank dengan nasabahnya, namun juga
meliputi perkara gugatan harta bersama dalam perkawinan yang digugatkan oleh nasabah
sebagai harta bersama untuk sebagian atau seluruhnya yang disimpan dalam bank.
Perkara perdata adalah perkara mengenai perselisihan hubungan antara perseorangan
(subjek hukum) yang satu dengan perseorangan (subjek hukum) yang lain mengenai hak dan
kewajiban atau perintah dan larangan dalam lapangan keperdataan23
, seperti kita ketahui bahwa
Undang-Undang Perkawinan merupakan salah satu upaya unifikasi hukum perdata yang berlaku
bagi seluruh warga negara Indonesia yang artinya sebelum perkawinan diatur dalam Undang-
Undang perkawinan hal tersebut telah diatur dalam KUH Perdata. Kekhususan dalam hukum
perdata yaitu keseluruhan peraturan atau norma hukumnya mengatur hubungan hukum antara
perseorangan dan atau badan yang mengutamakan kepentingan pribadi dan individu. Dengan
kata lain, hukum perdata adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hubungan antara
kepetingan perseorangan yang satu dengan kepentingan perseorangan yang lain. Oleh karena itu
perkara perceraian yang merupakan ranah dari kepentingan privat yang berkaitan dengan harta
dalam bank dapat di tambah dalam rumusan perkara perdata dalam pembukaan kerahasian
perbankan.
23
http://pn-tanahgrogot.go.id
Namun demikian, belum adanya peraturan yang menindaklanjuti putusan Mahkamah
Konstitusi tidak mengurangi kekuatan mengikat yang telah melekat sejak dibacakannya putusan
tersebut. Setiap pihak yang terkait harus melaksanakan putusan itu. Apabila ada peraturan yang
dilaksanakan ternyata bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, maka yang menjadi
dasar hukum adalah putusan Mahkamah Konstitusi.
Sehingga kerahasiaan perbankan dapat dibuka dalam perkara perceraian mengenai harta
bersama dengan 2 (dua) cara yaitu dengan atas permintaan dan persetujuan, atau kuasa dari
nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis. Sebagai mana diatur dalam Pasal 44A Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pembukaan rahasia bank berdasarkan permintaan suami atau istri
untuk pengecekan deposito yang ada dalam bank harus menyesuaikan dengan aturan yang
menjaga rahasia tersebut. Maka dalam hal ini pihak yang bertanggungjawab dalam membuka
rahasia bank memiliki syarat-syarat sebagai pertimbangan untuk membuka rahasia bank tersebut:
1. Pengisian formulir untuk membuka rahasia bank
Bahwa pengisian formulir ini berisikan tentang identitas pihak yang ingin mengetahui
rahasia bank tersebut sebagai bukti telah terjadi pembukaan rahasia bank.
2. Surat kuasa
Pihak bank mempertimbangkan surat kuasa sebagai alat untuk mengetahui simpanan
uang yang diatas namakan oleh salah satu pihak yaitu suami atau istri. Surat kuasa
tersebut dibuat dihadapan notaris dengan tanda tangan suami atau istri akan lebih kuat
bila di bandingakan dengan keterangan yang berupa surat keterangan dari kelurahan.
Permintaan untuk membuka kerahasian perbankan dengan cara ini dapat dilakukan apabila
suami atau istri yang namanya terdapaftar dibank memiliki etikat baik untuk memberi kuasa agar
kerhasian perbanakn dapat dibuka. Namun berbeda dengan perkara yang sedang penulis kaji
karena suami Pemohon yang menolak untuk memberi keterangan mengenai harta bersama
tersebut.
Cara kedua yang dapat dilakukan mengenai pembukaan kerahasian perbanakan mengenai
harta bersama berkaitan dengan perkara yang sedang dikaji penulis guna kepastian hukum, perlu
dilakukan amandemen Pasal 43 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tentang pembukaan
kerahasian perbankan bukan hanya terkait perkara perdata antar bank dengan nasabahnya, namun
juga meliputi perkara gugatan harta bersama dalam perkawinan yang digugatkan oleh nasabah
sebagai harta bersama untuk sebagian atau seluruhnya yang disimpan dalam bank.