bab ii tinjauan pustaka dan kerangka pikir · “pemakaian kata atau bentuk lain untuk menghindari...
TRANSCRIPT
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Pustaka
Ada tiga tinjauan pustaka yang relevan dengan penelitian ini. Ketiga studi
tersebut adalah skripsi berjudul “Penggunaan Ragam Bahasa Eufemisme dalam
Berita di Media Massa Online” yang disusun oleh Hendri Eko Setiawan (2010)
dari Universitas Negeri Malang, tesis berjudul “Eufemisme dalam Rubrik
Konsultasi Seks dan Kejiwaan di Tabloid Nyata” yang disusun oleh Sutarman
(2012) dari Universitas Sebelas Maret, skripsi berjudul “Gaya Bahasa Eufemisme
pada Rubrik Hukum dan Kriminalitas Harian Solopos Edisi September-Oktober
2012” yang disusun oleh Albar Yudiantoro Putro (2013) dari Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Penelitian pertama adalah skripsi berjudul “Penggunaan Ragam Bahasa
Eufemisme dalam Berita di Media Massa Online” yang disusun oleh Hendri Eko
Setiawan (2010) dari Universitas Negeri Malang. Pada penelitian ini dikaji
penggunaan ragam bahasa eufemisme dalam berita di media massa online. Aspek
eufemisme yang dikaji meliputi (a) bentuk eufemisme, (b) makna eufemisme, dan
(c) fungsi eufemisme. Penelitian ini menggunakan rancangan analisis wacana.
Data penelitian ini berupa teks berita di media massa online. Teks berita
dikumpulkan dari internet di situs Kompas.com, tvone.co.id, dan pikiran-
rakyat.com. Berdasarkan hasil analisis data bentuk eufemisme yang ditemukan
dalam penelitian ini berupa (a) pelabelan positif dan negatif, (b) pengonotasian,
dan (c) pengiasan. Penggunaan pelabelan, pengonotasian dan pengiasan
13
14
merupakan bentuk penggunaan eufemisme dalam berita di media massa online.
Makna eufemisme yang ditemukan dalam penelitian ini meliputi (a) makna
eufemisme bentuk pelabelan positif yang meliputi makna komisif, ekspresif,
representatif, dan makna bentuk pelabelan negatif meliputi makna ekspresif,
representatif, direktif; (b) makna eufemisme bentuk pengonotasian meliputi
makna komisif, representatif,direktif; dan (c) makna eufemisme bentuk pengiasan
yang ditemukan berupa makna representatif, direktif. Fungsi eufemisme yang
ditemukan dalam penelitian ini berupa (a) pelabelan positif (untuk menggugah
rasa simpati dan kesan positif) dan pelabelan negatif (untuk menggugah rasa benci
dan kesan negatif); dan (b) pengonotasian (meninggikan, merendahkan,
menguatkan, dan melemahkan) dan (c) pengiasan untuk menimbulkan atau
menciptakan efek tertentu pada informasi yang disampaikan. Penggunaan gaya
bahasa eufemisme dalam teks berita untuk menghaluskan informasi menyebab
makna yang diterima tidak jelas dan bertafsir. Penggunaan eufemisme dalam
berita politik dan hukum belum tentu bertujuan baik karena bisa saja gaya bahasa
eufemisme dijadikan alat untuk menutupi atau menyamarkan realitas yang
sebenarnya demi kepentingan pribadi dan golongan. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut disarankan kepada wartawan dan pengelola media massa, pembaca media
massa, lembaga atau instansi pendidikan dan peneliti berikutnya. Wartawan dan
pengelola media massa diharapkan dapat menggunakan gaya bahasa eufemisme
dengan tepat agar informasi yang disampaikan kepada khalayak tetap obyektif,
benar, menyeluruh dan berimbang. Pembaca media massa perlu mengkonfirmasi
kebenaran informasi karena informasi dengan penghalusan bahasa atau
eufemisme dapat mengaburkan makna dan memanipulasi fakta. Lembaga atau
15
instansi pendidikan diharapkan dengan hasil penelitian ini dapat dijadikan
cerminan dalam menemukan fenomena penggunaan eufemisme.
Penelitian kedua adalah tesis berjudul “Eufemisme dalam Rubrik
Konsultasi Seks dan Kejiwaan di Tabloid Nyata” yang disusun oleh Sutarman
(2012) dari Universitas Sebelas Maret. Fenomena kebahasaan dalam kehidupan
sehari-hari yang banyak diabaikan orang dan sekaligus menarik untuk dikaji dari
dimensi linguistik adalah eufemisme. Eufemisme merupakan bagian dari budaya
berbahasa masyarakat nusantara. Keberadaannya telah melekat dalam pikiran dan
perasaan serta mencakup berbagai bidang kehidupan dan profesi masyarakat.
Penggunaan eufemisme di media massa cetak merupakan bagian dari kesantunan
berbahasa tulis yang sangat penting untuk diteliti secara mendalam. Penggunaan
ungkapan eufemisme di Rubrik Konsultasi Seks dan Kejiwaan di Tabloid Nyata
memiliki tingkat variasi dan frekuensi kemunculan yang cukup tinggi. Penelitian
ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk ungkapan eufemisme, makna-
makna ungkapan eufemisme, serta mendeskripsikan penggunaan citraan
(imagery) dalam ungkapan eufemisme pada Rubrik Konsultasi Seks dan Kejiwaan
di tabloid Nyata. Dalam penelitian ini wujud datanya berupa data primer. Data
primer diperoleh dari ungkapan-ungkapan eufemisme yang berbentuk kata, frasa,
maupun singkatan yang terdapat dalam Rubrik Konsultasi Seks dan Kejiwaan di
Tabloid Nyata edisi bulan November s.d. Desember 2010. Pengambilan sampel
dilakukan dengan cara purposive sampling. Pengumpulan datanya dilakukan
dengan teknik pustaka dan simak catat. Analisis datanya bersifat interaktif, yaitu
analisis dengan menggunakan langkah-langkah reduksi data, klasifikasi, analisis,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Setelah dilakukan
16
analisis dan pembahasan terhadap bentuk-bentuk ungkapan eufemisme yang
terdapat pada Rubrik Konsultasi Seks dan Kejiwaan (RKSK) di tabloid Nyata
edisi bulan November-Desember 2010, dapat disimpulkan temuan sebagai
berikut: (1) terdapat 5 bentuk penggunaan ungkapan eufemisme yaitu, bentuk
singkatan, jumlah 112 (18,04%), bentuk kata serapan jumlah 245 (39,45%),
bentuk campur kode, jumlah 135 (21,74%), dan bentuk metafora jumlah 80
(12,88%), pencitraan jumlah 49 (7,89%). (2) Deskripsi makna ungkapan
eufemisme yang merupakan kata, istilah, atau singkatan tertentu, misalnya: ML,
Mr. P, Mrs. V, loyo, pisah ranjang, foreplay, petting, dan sebagainya, merupakan
ungkapan eufemisme yang dapat dideskripsikan maknanya secara khusus
berdasarkan konteks pemakaiannya. Deskripsi makna secara keseluruhan terdapat
pada Bab IV laporan hasil penelitian. (3) Penggunaan citraan untuk ungkapan
eufemisme sebagai upaya menghindari penjelasan-penjelasan yang dirasa terlalu
vulgar. Meliputi: citraan penglihatan (visual imagery), citraan perabaan
(tactile/thermal imagery), citraan gerak (movement/kinaesthetic imagery), dan
citraan intelektual (intellectual imagery). Secara umum hasil penelitian ini
mendukung pendapat Salzman dan Elias yang menjelaskan bahwa penutur dapat
mengelak dari ungkapan tabu dengan cara menggantikan/menyulihnya dengan
kata atau ungkapan lain yang dilazimkan dalam masyarakat yang bersangkutan.
Selanjutnya Darma Laksana menyatakan bahwa bentuk-bentuk penyulihan
dengan menggunakan peranti bahasa dapat dilakukan dengan: majas (metafora
dan metonimia), eufemisme, parafrasa, alih kode, diglosia, dan teknonim.
Penelitian ini mendukung pendapat Darma Laksana sekaligus melengkapi
17
pendapat tersebut dengan temuan baru yaitu bentuk-bentuk eufemisme yang
terdapat di media massa cetak khususnya di RKSK tabloid Nyata.
Penelitian ketiga adalah skripsi berjudul “Gaya Bahasa Eufemisme pada
Rubrik Hukum dan Kriminalitas Harian Solopos”Edisi September-Oktober 2012
yang disusun oleh Albar Yudiantoro Putro (2013) dari Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian
yang berjudul “Gaya Bahasa Eufemisme pada Rubrik Hukum dan Kriminalitas
Harian Solopos edisi September–Oktober 2012” diperoleh sebagai berikut.
Penelitian ini memaparkan bentuk eufemisme, makna eufemisme, dan tujuan
eufemisme. Bentuk eufemisme dalam penelitian ini terdiri dari 49 kosa kata,
diantaranya adalah terganggu kejiwaannya, gangguan psikologis, kehilangan
pekerjaan, dibui/masuk bui, meregang nyawa, buang air kecil, merenggut nyawa,
mendahului pergi untuk selamanya, sepuh, berusia lanjut, renta, memberikan
keterangan palsu, rekayasa, konspirasi, kondisi polos, tak bernyawa, jasad,
kepergian, lady escort, terjaring, budak minuman haram, dikerjai, digilir,
terpengaruh minuman keras, naik pitam, kegiatan melanggar hukum, barang
haram, dihakimi massa, teperdaya, penyalahgunaan, fiktif, tekanan jiwa,
dikurung, jeruji besi, kompensasi materi, buang air kecil, penghuni rumah
tahanan, raib, tak berada, obat terlarang, mengamankan, menggelapkan,
mengelabui, dijemput ajal, menyelengkan/penyelewengan, pelaku kriminalitas,
markup, mantan, rapor merah. Penggunaan eufemisme pada rubrik hukum dan
kriminalitas harian Solopos dalam penelitian ini bertujuan untuk memperhalus
ucapan, menghindari kesan menyeramkan, menghindari kata yang menimbulkan
18
kesedihan, menghormati orang yang lebih tua/atasan, dan menghindari kata yang
bercitra negatif/vulgar.
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dipaparkan dapat
menjadi bahan referensi untuk membuat penelitian terbaru. Perbedaan yang akan
dimunculkan dalam penelitian ini dibanding dengan penelitian sebelumnya adalah
penelitian ini lebih memfokuskan pada bidang kriminal selain itu penggunaan
sumber data yang memadahi yakni tiga koran. Seiring dengan perkembangan
zaman, media daring seperti koran-koran digital lebih sering digunakan daripada
media cetak. Namun dalam penelitian ini konsisten memakai media massa cetak.
Penelitian ini konsisten dengan media massa cetak karena koran bersifat
repeatable (dapat diulang) maksudnya dapat dibaca berulang-ulang karena
bentuknya yang bisa disimpan. Media massa cetak juga cenderung relatif lebih
murah. Berita-berita yang dimuat di dalam media cetak juga lebih
menginvestigasi, tajam, dan spesifik karena waktu mengedit yang lebih lama.
Selain itu penelitian ini akan membahas tentang bentuk, makna, dan fungsi dari
eufemisme.
B. Landasan Teori
1. Eufemisme
Eufemisme berasal dari bahasa Yunani yaitu euphemizein yang berarti
‘berbicara’ dengan kata-kata yang jelas dan wajar. Eufemisme ini merupakan
turunan dari kata eu’baik’ dan phanai’berbicara’. Secara singkat eufemisme
berarti ‘pandai berbicara, berbicara baik’ (Tarigan, 1985:143). Jadi,
eufemisme itu merupakan ungkapan yang halus yang berperan sebagai
pengganti ungkapan kasar yang dianggap tidak menyenangkan.
19
Ungkapan kasar yang dianggap tidak menyenangkan biasanya
mengganggu pendengar maka harus diganti dengan ungkapan yang
mengandung eufemisme. “Eufemisme (Greek: ‘wellspeaking’) is the practice
of referring to something offensive or indelicate in terms that make it sound
more pleasant or becoming than it really is” (Eufemisme (berasal dari bahasa
Yunani, artinya ‘berbicara baik’) ini dipakai untuk menyebut sesuatu yang
dirasakan mengganggu atau tidak enak, agar terdengar lebih enak atau
menjadi sebenarnya) (Leech, 1974:53). Ungkapan yang dianggap
mengganggu pendengaran haruslah diganti dengan kata-kata eufemisme.
Ungkapan dalam konsep eufemisme tersebut dibentuk dalam rangka
pembentukan citra positif yang berkaitan dengan tata krama sosial. Lebih
jelasnya sesuatu yang mengganggu pendengaran dapat dilihat pada ilustrasi
berikut:
(1) “Korban yang masih SMP mengalami pelecehan seksualdari pamannya sendiri.”
Eufemisme dalam kalimat tersebut adalah pelecehan seksual.
Ungkapan pelecehan seksual merupakan eufemisme dari kata perkosaan,
sodomi, ataupun pencabulan. Jika penggunaan ungkapan perkosaan, sodomi,
ataupun pencabulan digunakan dalam kalimat di atas maka dapat mengganggu
pendengaran. Oleh karena itu harus diganti dengan sesuatu yang dirasa enak
untuk didengar, ungkapan yang dimaksud adalah pelecehan seksual.
Allan dan Burridge juga mengemukakan pengertian dari eufemisme
bahwa
“In short euphemisms are alternatives to diprefered expression,and are used in order to avoid possible loss of face. Thedisprefered expression may be taboo, fear some, distasteful or for
20
some other reasons have too many negatif connotations tofelicitous execute speaker’s communicative intention on a given”(bentuk alternatif terhadap ungkapan yang tidak berkenaan, dandigunakan untuk menghindari kehilangan muka. Bentuk ungkapanyang tidak berkenaan tersebut adalah tabu, ketakutan, dan tidakdisenangi atau alasan-alasan yang lain yang memiliki arti negatifuntuk dipilih/dipakai dalam tujuan komunikasi penutur pada situasitertentu) (dalam Rubby, 2008: 57).
Ungkapan memiliki makna kelompok kata atau gabungan kata yang
menyatakan makna khusus (makna unsur-unsurnya sering kali menjadi kabur).
Bentuk alternatifnya dari ungkapan yang tidak berkenaan adalah dengan
mengganti ungkapan yang kasar tersebut dengan ungkapan yang lebih halus.
Sementara kehilangan muka yang dimaksud dalam definisi tersebut adalah
rasa malu yang akan dirasakan orang yang menyebut dan yang disebut dalam
ungkapan tersebut. Oleh karena itu ungkapan yang mengandung makna tabu
atau yang dirasa tidak menyenangkan perlu dipilah dan diganti dengan
ungkapan yang mengandung eufemisme dalam tujuan komunikasi tertentu.
Contoh ilustrasi mengenai bentuk alternatif terhadap ungkapan yang tidak
berkenaan adalah sebagai berikut:
(2) “Pelaku menggesekkan kemaluannya saat korbansedang lengah karena penumpang yang berdesakan diKRL.”
Eufemisme dalam kalimat di atas adalah kemaluannya. Kemaluannya
merupakan bentuk alternatif terhadap ungkapan yang tidak berkenaan yakni
dari kata kelaminnya. Penggunaan kata kemaluannya dirasa lebih diterima dan
lebih halus dibandingkan kata kelaminnya yang dianggap tidak sopan untuk
diucapkan. Selain itu bentuk alternatif yang digunakan untuk menghindari
kehilangan muka dapat dilihat pada ilustrasi berikut:
21
(3) “Wanita tersebut diketahui bekerja sebagai wanitatunasusila.”
Ilustrasi di atas memiliki eufemisme yakni wanita tunasusila.
Ungkapan wanita tunasusila memiliki fungsi sebagai bentuk alternatif untuk
menghindari kehilangan muka dari subjek yang dituju. Wanita tunasusila
merupakan bentuk alternatif dari ungkapan pekerja seks komersial. Jika
ungkapan pekerja seks komersial dianggap lebih memalukan dan sangat
merendahkan derajat dari wanita yang bekerja seperti itu maka ungkapan
wanita tunasusila lebih bisa diterima dan tidak serta merta memalukan bagi
wanita yang seperti itu.
Senada dengan pendapat dari Leech serta Allan dan Burridge, I Dewa
Putu Wijana juga mengemukakan tentang definisi dari eufemisme yaitu
“pemakaian kata atau bentuk lain untuk menghindari bentuk larangan atau
bentuk yang ditabukan di dalam bahasa. Pembicaraan eufemisme dalam bab
ini meliputi dua aspek, yakni referensi eufemisme dan manfaatnya“ (Wijana,
2008:78). Pengertian tersebut eufemisme memiliki bentuk larangan atau
bentuk yang ditabukan tergantung dari sudut pandang para penutur
memandang hal tersebut sebagai eufemisme. Penandaan kata atau bentuk lain
sebagai eufemisme dapat dilihat dari referensi yang ditimbulkannya.
Penggunaan eufemisme tersebut memiliki beberapa fungsi bagi para
penuturnya.
Cara menghadirkan asosiasi dan pembentukan citra untuk menjadi
lebih santun dan lebih hormat, maka Geoffrey Leech mengemukakan supaya
menempuh gaya eufemisme:
22
Words for which affective associations bulk large are by no meanslimited to areas such as race and politics. In private life,unpleasant associations are unavoidable in dealing with suchsubjects as death, disease, crime, and punishment, and it is onthese subjects, as well as on taboo-ridden subjects of sex and theexcretive processes of the body, that euphemism, the linguisticequivalent of disinfectant, has an inevitable influence. (Kata-katayang bagian asosiasinya besar tidak berarti hanya terbatas padakata-kata yang menyangkut ras dan politik. Di dalam kehidupanpribadi, asosiasi yang tidak enak tidak terhindarkan untuk kata-kata seperti: kematian, penyakit, kejahatan dan pidana, dan dalamhal inilah seperti halnya dengan hal-hal tabu, tentang seks dan apa-apa yang keluar dari tubuh, maka eufemisme, yang merupakansemacam penghapus hama dalam bahasa, memberikan pengaruhyang tidak dapat dielakkan.) (Leech, 1974:53).
Berdasarkan ungkapan tersebut, eufemisme tidak hanya bersumber
dari kata-kata tentang ras dan politik sehingga secara tidak langsung bidang
kriminal juga dapat menjadi sumber dari eufemisme. Di dalam bidang
kriminal terdapat asosiasi yang tidak mengenakkan seperti kematian,
kejahatan, serta pidana dimana ungkapan-ungkapan tentang hal tersebut juga
disinggung dalam pernyataan Leech. Kemudian di dalam bidang kriminal
biasanya menggunakan kata yang berhubungan dengan organ tubuh dari
manusia yang banyak dijumpai pada kasus pembunuhan. Hal tersebut dirasa
kurang nyaman untuk dituturkan, oleh karenanya kata-kata dengan unsur
tersebut harus dihapuskan dan diganti kata yang lebih enak didengar.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para ahli dapat
disimpulkan bahwa eufemisme merupakan bentuk ungkapan yang digunakan
untuk memperhalus ungkapan yang kasar dan berguna menghindari
kehilangan muka, bentuk larangan, serta hal-hal tabu. Ungkapan tersebut
dapat dihaluskan sesuai dengan kebudayaan suatu masyarakat pemakai bahasa
tertentu.
23
a) Fungsi Eufemisme
I Dewa Putu Wijana dalam kaitannya dengan fungsi eufemisme
mengemukakan fungsi-fungsi eufemisme sebagai berikut:
a. Eufemisme sebagai alat untuk menghaluskan ucapan
b. Eufemisme sebagai alat untuk merahasiakan sesuatu
c. Sebagai alat untuk berdiplomasi
d. Sebagai alat pendidikan
e. Sebagai alat penolak bahaya (Wijana, 2008:86).
Eufemisme sebagai alat untuk menghaluskan ucapan merupakan
fungsi eufemisme yang paling umum. Kata-kata yang tidak senonoh harus
diungkapkan dengan cara-cara yang tidak langsung guna menghindari
berbagai hambatan atau konflik sosial (Wijana, 2008:86-87). Contoh
penggunaan yang memiliki fungsi tersebut adalah sebagai berikut:
(4) “Dua korban meninggal seketika dan satu korban yangmasih anak meninggal di RSU Tasikmalaya,” kataKanitlaka Polres Tasikmalaya, Iptu Bambang K.
Kata yang mengandung eufemisme dalam kalimat tersebut adalah
kata meninggal. Kata tersebut memiliki fungsi sebagai alat untuk
menghaluskan ucapan karena berkaitan dengan korban yang ada dalam
berita tersebut keadaannya ditulis oleh jurnalis supaya kata meninggal
terkesan halus atau tidak mengerikan.
Di dalam bidang kedokteran, eufemisme ternyata tidak hanya
berfungsi untuk merahasiakan sesuatu yang mengkhawatirkan orang yang
menderitanya sehingga akan memungkinkan timbul keadaan yang lebih
24
buruk (Wijana, 2008:87). Contoh penggunaan eufemisme sebagai alat
untuk merahasiakan sesuatu:
(5) “Para pengidap Carcinoma Mammae di Indonesiacenderung menurun.”
Pada kalimat di atas, kata yang mengandung eufemisme adalah
kata Carcinoma Mammae yang merupakan eufemisme kanker payudara.
Penggunaan kata di atas sering digunakan paramedis untuk
menghindarkan sesuatu yang mengkhawatirkan bagi orang yang
mendengarnya atau yang mengidapnya.
Seorang diplomat, serta pejabat senantiasa dituntut kemampuannya
untuk memberikan penjelasan yang memuaskan kepada bawahannya atau
masyarakat agar tidak menimbulkan akses-akses yang tidak diinginkan
(Wijana, 2008:88). Sebagai contoh penggunaan eufemisme yang berfungsi
untuk alat diplomasi adalah sebagai berikut:
(6) “Pendapat dari anggota DPR Fraksi Golkar akanditampung dahulu oleh pimpinan sidang.”
Eufemisme dalam kalimat di atas adalah ditampung. Ditampung
dalam kalimat di atas memiliki fungsi sebagai alat untuk berdiplomasi.
Fungsi tersebut muncul karena pemimpin sidang menghargai dengan
pendapat dari anggota DPR Fraksi Golkar tersebut meskipun usul yang
diajukan sebenarnya usul yang ditolak.
“Penghalusan ucapan ditanamkan sejak dini kepada anak-anak
memiliki tujuan yang bersifat edukatif. Dalam hal ini, sejak dini anak-
anak diajarkan cara-cara menghindari penyebutan secara langsung kata-
25
kata yang memiliki nilai rasa kurang sopan” (Wijana, 2008:89). Contoh
penggunaan eufemisme sebagai fungsi tersebut antara lain:
(7) “Jika merasa ingin buang air kecil jangan ditahan.”
Kata buang air kecil dalam kalimat di atas merupakan eufemisme.
Penggunaan kata buang air kecil sebagai fungsi alat pendidikan. Ketika
anak-anak membaca kalimat tersebut mereka akan langsung mengacu
kepada pipis. Orang tua lebih mengajarkan penggunaan kata buang air
kecil daripada kata pipis.
Pemakaian sejumlah kata eufeminisme merupakan salah satu
pencerminan usaha manusia untuk memperoleh ketentraman, keselamatan,
dan kesejahteraan (Wijana, 2008:90). Contoh eufemisme yang berfungsi
sebagai alat penolak bahaya antara lain:
(8) “Nenek menerkam mangsanya di Gunung Merbabu,Jawa Tengah.”
Kata eufemisme yang mengandung fungsi sebagai alat penolak
bahaya adalah nenek. Kata nenek dalam kalimat di atas merupakan
eufemisme dari kata harimau. Masyarakat Jawa khususnya di Jawa
Tengah mengganti kata nenek menjadi kata harimau oleh orang-orang
yang sedang berjalan di hutan agar memperoleh keselamatan.
a) Referen Eufemisme
Referensi eufemisme mengacu pada berbagai jenis acuan.
Seperti yang diungkapkan Leech tentang referensi dari eufemisme
dalam kehidupan yakni
“In private life, unpleasant associations are unavoidable indealing with such subjects as death, disease, crime, andpunishment, and it is on these subjects, as well as on taboo-
26
ridden subjects of sex and the excretive processes of thebody, that euphemism, the linguistic equivalent ofdisinfectant, has an inevitable influence” (Di dalamkehidupan pribadi, asosiasi yang tidak enak tidakterhindarkan untuk kata-kata seperti: kematian, penyakit,kejahatan dan pidana, dan dalam hal inilah seperti halnyadengan hal-hal tabu, tentang seks dan apa-apa yang keluardari tubuh, maka eufemisme, yang merupakan semacampenghapus hama dalam bahasa, memberikan pengaruhyang tidak dapat dielakkan) (Leech, 1974:53).
Pada pernyataan tersebut diketahui referensi dari eufemisme
ada pada kata-kata yang berhubungan dengan (1) kematian; (2)
penyakit, (3) kejahatan dan pidana, (4) hal-hal tabu, serta tentang (5)
seks dan apa yang keluar dari tubuh.
1) Kematian
Referensi ini berkaitan erat dengan sesuatu yang buruk
yang dialami oleh seseorang. Biasanya referensi kematian dalam
eufemisme bertujuan untuk menghormati orang yang dituju dalam
kaitannya dengan kematian. Penggunaan kata mati atau tewas
dirasa kurang menghormati orang yang menderitanya. Maka dari
itu dapat diganti dengan referensi kematian lain yang dirasa lebih
halus, yakni kata meninggal ataupun gugur. Penggunaan kata
meninggal biasanya lebih sopan digunakan untuk menyebut orang
yang sudah tidak bernyawa lagi, sedangkan penggunaan kata gugur
biasanya digunakan untuk menyebutkan pahlawan yang sudah
meninggal saat melawan penjajah.
2) Penyakit
Penyakit merupakan hal yang sangat tidak menyenangkan
bagi penderitanya. Terlebih lagi jika penyakit yang diderita oleh
27
penderita adalah penyakit yang menjijikkan. Ketika penyakit yang
diderita diungkapkan oleh seseorang biasanya menggantinya
dengan nama penyakit yang lebih halus. Ungkapan tersebut
biasanya juga diungkapkan dalam bidang kedokteran. Referensi
eufemisme berkaitan dengan penyakit seperti epilepsi yang
digunakan untuk menghaluskan kata ayan. Kata ayan dirasa
penyakit yang sangat tidak menyenangkan dan dianggap
menggangu. Oleh karena itu penggunaan kata epilepsi dirasa lebih
menghormati penderitanya.
3) Kejahatan dan pidana
Aktivitas kejahatan dan pindana sering kali disangkutkan
dengan akitvitas yang amoral dan sangat tercela. Hal tersebut
membuat mantan pelakunya sangat malu dan merasa memiliki
derajat yang sangat rendah. Maka dari itu untuk memberi rasa yang
menyenangkan bagi mantan pelakunya, orang biasanya mengganti
ungkapan yang berupa tindak kejahatan dan pidana menjadi lebih
halus. Ungkapan tersebut seperti ditahan yang dirasa kurang
menyenangkan dapat diganti dengan kata diamankan. Ditahan
dapat menimbulkan efek yang menakutkan terhadap pelakunya,
sedangkan diamankan cenderung tidak mengandung resiko yang
lebih negatif.
4) Hal-hal tabu
Hal tabu adalah sesuatu yang dilarang untuk disebutkan
atau diungkapkan oleh seseorang. Biasanya hal-hal tabu tersebut
28
sangat berkaitan erat dengan budaya masyarakat setempat. Ada
beberapa hal-hal tabu yang pantang diucapkan oleh orang karena
jika dilanggar akan menimbulkan dampak yang kurang baik bagi
penutur hal tabu tersebut. Seperti pada kata bodoh yang dirasa
kurang menyenangkan dan dapat menimbulkan dampak yang
negatif bagi subjek yang dituju. Maka dari itu kata bodoh dapat
diganti dengan ungkapan kurang pintar. Orang-orang menganggap
tidak ada orang yang bodoh tetapi yang ada hanya orang yang
kurang pintar karena mereka malas belajar. Orang yang memanggil
seorang anak dengan kata bodoh akan membuat anak tersebut tidak
memiliki kemajuan untuk menjadi pintar. Namun jika orang
menyebutkan anak yang kurang pintar akan ada motivasi bagi
anak untuk belajar dan menghilangkan kata kurang tersebut.
5) Seks dan apa yang keluar dari tubuh
Ungkapan yang berhubungan dengan referensi ini sangat
banyak ditemukan di masyarakat. Masyarakat menggunakannya
untuk aktivitas yang positif maupun yang negatif. Pada bidang
medis, referensi eufemisme yang berhubungan dengan seks atau
apa yang keluar dari tubuh digunakan untuk hal yang positif. Dapat
dilihat pada pemakaian kata air mani yang digunakan untuk
menghaluskan kata sperma yang dianggap terlalu vulgar.
Sementara ada masyarakat yang menggunakan referensi seks dan
apa yang keluar dari tubuh untuk hal yang negatif seperti
melecehkan. Kata perkosaan maupun sodomi merupakan kata yang
29
sangat vulgar dan dengan sengaja melecehkan korbannya. Oleh
karena itu ungkapan yang sangat vulgar tersebut dapat diganti
dengan ungkapan yang lebih halus yakni pelecehan sosial.
Sementara itu referensi eufemisme juga dikemukakan oleh I
Dewa Putu Wijana yaitu: “(1) benda dan binatang; (2) bagian tubuh;
(3) profesi; (4) penyakit; (5) aktivitas; (6) peristiwa; (7) sifat atau
keadaan”(2008:79). Wijana mengemukakan tujuh referensi eufemisme
tersebut dengan komponen semantis yang negatif yang dapat
digunakan oleh penuturnya untuk menyerang orang lain. Referen
tersebut untuk menghubungkan kata-kata yang diucapkannya dengan
acuannya.
b) Makna Eufemisme
Bahasa sebagai alat komunikasi tidak terlepas dari adanya
makna setiap ungkapannya. Tidak terkecuali bahasa yang mengandung
eufemisme. Eufemisme memiliki makna denotasi dan makna konotasi
karena eufemisme memiliki kedudukan untuk menggantikan suatu
makna kata atau frasa yang dirasa kurang layak untuk digunakan.
Keduanya makna tersebut memiliki hubungan yang saling
berkebalikan namun berkaitan. Parera mengungkapkan bahwa:
Denotasi adalah makna yang wajar, yang asli, yang munculpertama, yang diketahui pada mulanya, makna sebagaiadanya, makna sesuai dengan kenyataannya, sedangkanmakna konotasi adalah makna yang wajar tadi telahmemperoleh tambahan perasaan tertentu, emosi tertentu,nilai tertentu, dan rangsangan tertentu pula yang bervariasidan tak terduga pula (2004:98).
30
Makna denotasi merupakan makna yang sesungguhnya. Tidak
ada penambahan perasaan yang menimbulkan makna tersebut menjadi
wajar. Makna yang muncul pada makna denotasi merupakan makna
awal atau pertama yang akan menjadi makna asli. Kata atau frasa yang
mengandung makna denotasi akan memunculkan makna yang
sebenarnya atau sesuai kenyataannya pada kata atau frasa tersebut.
Sementara itu, makna konotasi berkebalikan dengan makna
denotasi. Jika makna denotasi tidak ada unsur campuran perasaan
tertentu, maka makna konotasi telah diberi unsur campuran dari
perasaan tertentu. Sehingga makna yang ditimbulkan menjadi
mengunggah emosi tertentu. Bahkan rangsangan dan nilai dari suatu
ungkapan tertentu memiliki variasi makna yang tidak aslinya.
Makna denotasi juga memiliki berbagai penjelasan.
Kridalaksana mengemukakan makna denotasi yakni “makna kata atau
kelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada
sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu;
sifatnya obyektif” (2008:46). Makna denotasi menunjuk seperti apa
adanya sesuatu yang ditunjuk oleh kata tersebut. Penentuan makna
denotasi berdasarkan sifat yang objektif. Sifat tersebut memengaruhi
makna denotasi supaya menjadi makna yang sebenarnya.
“Konotasi adalah aspek makna sebuah atau sekelompok kata
yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau
ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca)”
(Kridalaksana, 2008:132). Makna dari sebuah kata yang ditambahkan
31
dengan perasaan atau pikiran tertentu akan menimbulkan makna
konotasi. Makna konotasi bukanlah makna sebenarnya.
Penjelasan dari makna denotasi dan makna konotasi berkaitan
dengan eufemisme pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
No Makna
Denotasi Konotasi
1. Penghinaan Dijemput paksa
2. Jenazah Politik Uang
3. Meninggal Pencucian uang
Contoh dari makna denotasi pada penjelasan tersebut adalah
penghinaan, jenazah, dan meninggal. Kata-kata tersebut memiliki
makna yang sebenarnya atau sama seperti yang tertulis di kamus.
penghinaan yaitu merendahkan kedudukan seseorang. Jenazah berarti
badan atau tubuh seseorang yang sudah meninggal. Kata meninggal
berarti sudah mati. Kata-kata tersebut tidak memiliki makna bahasa
tingkat kedua atau makna kiasan di dalamnya.
Selain makna denotasi ada juga makna konotasi. Makna
konotasi pada contoh di atas adalah dijemput paksa, politik uang, serta
pencucian uang. Frasa-frasa tersebut memiliki makna yang bukan
makna sebenarnya. Frasa dijemput paksa berarti didatangi dan diambil
secara paksa namun tidak dengan kekerasan. Frasa tersebut sebagai
kiasan untuk kata ditangkap yang cenderung terlalu frontal jika dipakai
untuk aktivitas mengambil seseorang. Frasa politik uang memiliki
32
makna menggunakan uang yang seharusnya dipakai untuk kegiatan
bersama tetapi digunakan untuk kepentingan pribadi. Frasa tersebut
merupakan makna konotasi untuk mengganti frasa penyelewengan
dana. Frasa pencucian uang adalah suatu upaya perbuatan untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang/dana atau harta
kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar
uang atau harta kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari
kegiatan yang sah atau legal. Uang merupakan benda yang dapat rusak
jika terkena air, maka dengan dibuat menjadi makna konotasi
pencucian uang tersebut menjadi makna yang berterima. Makna
konotasi frasa pencucian uang tersebut untuk menggantikan makna
denotasi penyamaran dana.
2. Semantik
Semantik menurut Leech adalah “Semantik (as the study of meaning) is
central to study of communication; and as communication becomes more and
more pressing” (Semantik (sebagai sebuah kajian makna) merupakan pusat
dari kajian komunikasi; dan sebagaimana komunikasi menjadi faktor yang
menjadi semakin krusial dalam organisasi sosial, kebutuhan untuk
memahaminya menjadi semakin diperlukan) (Leech, 1981:7). Ketika penutur
mulai melakukan komunikasi dengan mitra tutur atau dalam sebuah organisasi
diperlukan semantik untuk memahami makna agar tersampaikan kepada mitra
tuturnya. Semantik sangat diperlukan baik dalam bahasa lisan maupun tulis
sebagai bahan komunikasinya.
33
Semantik sebagai pusat dari kajian komunikasi untuk mengkaji kajian
makna. Berdasarkan kajian maknanya, semantik dapat menjadi dua. Veerhar
menyatakan bahwa “perbedaan antara leksikon dan gramatika menyebabkan
bahwa dalam semantik itu kita bedakan pula antara semantik leksikal dan
semantik gramatikal” (Verhaar, 1982:9).
Berbagai definisi dapat mendefinisikan semantik. Selain arti secara
umum, semantik juga bisa dipandang dari arti luas maupun arti sempit.
Tarigan dalam kaitannya dengan arti semantik yaitu:
Semantik dalam arti sempit dapat diartikan sebagai telaah hubungan
tanda dengan objek-objek yang merupakan wadah penerapan tanda-tanda
tersebut. Semantik dalam arti luas dapat diartikan sebagai ilmu telaah makna.
Tarigan mengemukakan “semantik menelaah lambang-lambang atau tanda-
tanda yang menyatakan makna hubungan makna satu dengan makna yang lain
dan pengaruhnya terhadap manusia” (1985:2).
“Semantik adalah salah satu bidang kajian atau cabang linguistik yang
mengkaji arti bahasa atau arti linguistik (lingual meaning atau linguistik
meaning) secara ilmiah” (Subroto, 2011: 1). Dimana arti bahasa sendiri
diartikan sebagai bentuk pengetahuan yang tersimpan di dalam dan terstruktur
di dalam bahasa, dikuasai secara lebih kurang sama oleh para penggunaan
bahasa, serta digunakan dalam komunikasi secara umum dan wajar. Sistem
tanda bahasa itu bersifat lingual dan nonlingual yang memiliki aspek bentuk
(penanda) dan aspek arti (petanda).
Aspek arti adalah bentuk pengetahuan yang ditangkap manakala orang
mendengar atau membaca satuan kata atau satuan frasa atau satuan klausa
34
tertentu yang dilisankan atau yang dituliskan. Hal tersebut dapat juga dilihat
pada segitiga semantik yang dikemukakan Ricard dan Ogden. Sementara
aspek bentuk adalah semua yang teramati, dapat dipegang atau dirasakan yang
bersifat lahiriah.
Hubungan antara aspek bentuk dan aspek arti di dalam tanda lingual
itu pada bersifat arbitrer atau sewenang-wenang. Maksudnya, tidak terdapat
perhubungan atau koresponden atau relasi yang bersifat spesifik antara
keduanya. Sifat hubungannya bersifat konvensi atau kesepakatan antara
pengguna bahasa itu. Sifat atau ciri arbitrer itu sesuatu yang dominan di dalam
bahasa.
Semantik juga dapat menjadi penanda struktur bahasa yang
berhubungan dengan makna dari ungkapan dan wicara. Menurut Kridalaksana
menyatakan bahwa semantik merupakan “bagian struktur bahasa yang
berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu
wicara” (2008:216). Semantik sebagai sistem dan penyelidikan makna dan arti
dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya.
2. Satuan Kebahasaana. Kata
Adapun arti dari kata dalam Kamus Linguistik (Kridalaksana,
2008: 110) adalah “morfem atau kombinasi morfem yang oleh bahasawan
dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang
bebas”.
1) Kelas Kata
Kridalaksana (2005:51-120) memaparkan pembagian kelas
kata dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
35
a) Verba
Sebuah kata dapat dikategorikan berkategori verba hanya
dari perilakunya dalam frasa, yakni dalam hal kemungkinannya
satuan itu didampingi partikel tidak dalam konstruksi dan dalam
hal tidak dapat didampinginya satuan itu dengan partikel di, ke,
dari, atau dengan partikel seperti sangat, lebih atau agak
b) Adjektiva
Adjektiva adalah kategori yang ditandai oleh
kemungkinannya untuk (1) bergabung dalam partikel tidak, (2)
mendampingi nomina, atau (3) didampingi partikel seperti lebih,
sangat, agak, (4) mempunyai ciri-ciri morfologis, seperti –er
(dalam honorer), -if (dalam sensitif), -I (dalam alami) atau (5)
dibentuk menjadi nomina dengan konfiks ke-an, seperti adil –
keadilan, halus – kehalusan, yakin – keyakinan (Ciri terakhir ini
berlaku bagi sebagian besar adjektiva dasar dan bisa menandai
verba intransitif, jadi ada tumpang tindih di antaranya).
c) Nomina
Nomina adalah kategori yang secara sintaksis (1) tidak
mempunyai potensi untuk bergabung dengan partikel tidak, (2)
mempunyai potensi untuk didahului oleh partikel dari.
d) Pronomina
Pronomina adalah kategori yang berfungsi untuk
menggantikan nomina. Apa yang digantikannya itu disebut
anteseden. Anteseden itu ada di dalam atau di luar wacana (di luar
36
bahasa). Sebagai pronomina kategori ini tidak bisa berafiks, tetapi
beberapa di antaranya bisa direduplikasikan, yakni kami-kami, dia-
dia, beliau-beliau, mereka-mereka, dengan pengertian
‘meremehkan’ atau ‘merendahkan’.
e) Numeralia
Numeralia adalah kategori yang dapat (1) mendampingi
nomina dalam konstruksi sintaksis, (2) mempunyai potensi untuk
mendampingi numeralia lain, dan (3) tidak dapat bergabung
dengan tidak atau dengan sangat.
f) Adverbia
Adverbia adalah kategori yang dapat mendampingi
adjektiva, numeralia, atau preposisi dalam konstruksi sintaksis.
g) Interogativa
Interogativa adalah kategori dalam kalimat interogatif
yang berfungsi menggantikan sesuatu yang ingin diketahui oleh
pembicara atau mengukuhkan apa yang telah diketahui pembicara.
Apa yang ingin diketahui dan apa yang dikukuhkan itu disebut
anteseden. Anteseden tersebut selamanya ada di luar wacana; dan
karena baru akan diketahui kemudian, interogativa bersifat
kataforis.
h) Demonstrativa
Demonstrativa adalah kategori yang berfungsi untuk
menunjukkan sesuatu di dalam maupun di luar wacana. Sesuatu
itu disebut anteseden. Dari sudut bentuk dapat dibedakan antara
37
(1) demonstratif dasar, seperti itu dan ini, (2) demonstratif
turunan, seperti berikut, sekian, (3) demonstratif gabungan seperti
di sini, di situ, di sana, ini itu, di sana-sini (harap perhatikan
adanya fonem yang berulang).
i) Artikula
Artikula dalam bahasa Indonesia adalah kategori yang
mendampingi nomina dasar, nomina deverbal, pronominal, dan
verba pasif dalam konstruksi eksosentris yang berkategori
nominal.
j) Preposisi
Preposisi adalah kategori yang terletak di depan kategori
lain (terutama nomina) sehingga terbentuk frasa eksosentris
direktif.
k) Konjungsi
Konjungsi adalah kategori yang berfungsi untuk meluaskan
satuan yang lain dalam konstruksi hipotaktis, dan selalu
menghubungkan dua satuan lain atau lebih dalam konstruksi.
Konjungsi menghubungkan bagian-bagian ujaran yang setataran
maupun tidak setataran. Keanekaragaman bahasa menyebabkan
beberapa konjungsi sulit dibedakan dari preposisi.
l) Kategori Fatis
Kategori fatis adalah yang bertugas memulai,
mempertahankan, atau mengukuhkan komunikasi antara pembicara
dan kawan bicara. Kelas kata ini biasanya terdapat dalam konteks
38
dialog atau wawancara bersambutan, yaitu kalimat-kalimat yang
diucapan oleh pembicara dan kawan berbicara.
m) Interjeksi
Interjeksi adalah kategori yang bertugas mengungkapkan
perasaan pembicara, dan secara sintaksis tidak berhubungan
dengan kata-kata lain dalam ujaran. Interjeksi bersifat
ekstrakalimat dan selalu mendahului ujaran sebagai teriakan yang
lepas atau berdiri sendiri.
2) Afiksasi
Menurut Kridalaksana (2008:3) Afiks adalah bentuk terikat
yang bila ditambahkan pada bentuk lain akan mengubah makna
gramatikalnya. Jenis-jenis afiks adalah sebagai berikut:
a. “Prefiks adalah afiks yang ditambahkan pada bagian depan
pangkal. Misalnya ber- pada bersepeda” (Kridalaksana,
2008:199).
b. “Sufiks adalah afiks yang ditambahkan pada bagian belakang
pangkal; misal –an pada ajaran” (Kridalaksana, 2008:230)
c. “Infiks adalah afiks yang diselipkan ke dalam dasar”
(Kridalaksana, 2008:93).
d. “Simulfiks adalah afiks yang tidak berbentuk suku kata dan
yang ditambahkan atau dileburkan pada dasar; misal pada
ngopi (pangkalnya kopi)” (Kridalaksana, 2008:222).
39
e. “Konfiks adalah afiks tunggal yang terjadi dari dua bagian
yang terpisah ; misal ke-an dalam keadaan, kelaparan, dsb”
(Kridalaksana, 2008:130).
f. “Suprafiks adalah afiks yang berupa fonem suprasegmental;
misal pada kata Batak Toba ásora ‘jernih’, asorá ‘macam’”
(Kridalaksana, 2008:231).
Sebagai contoh dari koran dalam penelitian ini adalah
(11) Ahli HTN: Hapus Pasal Penghinaan Presiden
Kata yang mengandung eufemisme dalam kalimat tersebut adalah
kata penghinaan. Dalam KBBI (Tim Penyusun Pusat Bahasa, 2008:499),
kata penghinaan berarti proses, cara, perbuatan menghina(kan);
menistakan: ~ yang dilontarkan kepadanya betul-betul keterlaluan. Kata
penghinaan memiliki kata dasar hina. Dalam KBBI kata hina memiliki arti
rendah kedudukannya (pangkatnya, martabatnya), keji, tercela; tidak baik
(perbuatan, kelakuan), mengetahui kedudukan yang sebenarnya. Kata
penghinaan termasuk dalam kata verba karena mencerminkan sebuah
pekerjaan. Penghinaan terdiri dari prefiks {pe-} + hina.
(12) Pada 2015, lanjut Wika, Pemprov Jateng telahmenganggarkan dana untuk mengentaskan 120peserta anak agar kembali ke sekolah.
Kata yang mengandung eufemisme dalam kalimat tersebut adalah
kata mengentaskan. Dalam KBBI, kata mengentaskan berarti mengentas
untuk orang lain; memperbaiki (menjadikan, mengangkat) nasib atau
keadaan yang kurang baik kepada yang (lebih) baik. Kata mengentaskan
berasal dari kata dasar entas yang diberi afiksasi me-kan. Dalam KBBI
40
(Tim Penyusun Pusat Bahasa, 2008:375) kata entas berarti mengangkat
(dari suatu tempat ke tempat lain); 2 mengeluarkan dari lingkungan cairan;
menyadarkan; memperbaiki nasib. Kata mengentaskan merupakan kelas
kata verba karena kata tersebut mercerminkan pekerjaan atau melakukan
pekerjaan. Mengentaskan terdiri dari konfiks {me-} + entas +{-kan}.
a. Frasa
Definisi dari frasa (Kridalaksana, 2008: 66) “adalah gabungan dari
kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif; gabungan itu dapat rapat, ada
renggang”. Sementara menurut Abdul Chaer menyatakan frasa adalah
satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif,
atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi
sintaksis di dalam kalimat (Chaer, 1994:22).
Ada dua jenis frasa menurut Ramlan (2001: 142) bahwa frasa-frasa
mempunyai distribusi sebagai berikut:
1. Frasa Endosentrik yaitu frasa yang mempunyai distribusi yang
sama dengan unsurnya, baik semua unsurnya maupun salah
satu dari unsurnya.
2. Frasa Eksosentrik yaitu frasa yang tidak mempunyai distribusi
yang sama dengan semua unsurnya.
Menurut Andrew Carnie (dalam Faradilah, 2013:19-22)
Berdasarkan kategorinya, frasa dapat digolongkan menjadi lima golongan:
1. Frasa Verba
Verb phrase minimally consists of a single verb followed by
a noun phrase, adverb phrase, and prepositional phrase (Frasa
41
verba terdiri dari verba tunggal diikuti oleh frasa nomina, frasa
adverbial, dan frasa preposisi).
2. Frasa Nomina
Noun phrase contains of a noun (usually a proper
[+proper], pronoun [+pron], mass noun [-count], or [plural]),
can be optionally modified by determiners and adjectives
(Frasa nomina terdiri dari nomina (biasanya berupa kata ganti
benda, kata ganti orang, kata benda yang tak dapat dihitung,
dan kata benda jamak), dapat secara opsional dimodifikasi oleh
determiners dan adjektiva).
3. Frasa Adjektiva
Adjective phrase consist of an adjective as head, optionally
proceeded and followed by modifying elements (Frasa adjektiva
terdiri dari adjektiva sebagai induk dan secara opsional
didahului dan diikuti).
4. Frasa Adverbia
Adverb phrase of an adverb as head, optionally proceeded and
followed by modifying elements (Frasa adverbial terdiri dari
adverbial sebagai induk dan secara induk dan secara opsional
didahului oleh unsur-unsur yang menerangkan induk tersebut).
5. Frasa Preposisi
Prepositional phrase consist of preposition followed by a noun
phrase (Frasa preposisi terdiri dari preposisi yang diikuti oleh
frasa nomina).
42
Contoh frasa dalam kalimat di koran pada data penelitian ini adalah
sebagai berikut:
(13) Kepala Disnakertransduk Jateng Wika Bintangmengatakan pekerja anak kebanyakan berasal darikeluarga tidak mampu tersebut tersebar dikabupaten/kota.
Pada kalimat di atas, frasa yang mengandung eufemisme adalah
frasa keluarga tidak mampu. Kata mampu sendiri dalam KBBI (Tim
Penyusun Pusat Bahasa, 2008:869) memiliki arti yakni 1 kuasa (bisa,
sanggup) melakukan sesuatu; dapat: ia tidak -- membayar biaya
pengobatan anaknya; kakeknya tidak -- berdiri lagi karena sangat tua; 2
berada; kaya; mempunyai harta berlebih: mereka cukup -- untuk
menyekolahkan anaknya ke luar negeri. Jika dikaitkan dengan kata
keluarga berarti keluarga yang tidak mempunyai harta berlebih. Frasa
keluarga tidak mampu termasuk dalam frasa endosentris karena jika salah
satu unsurnya ditanggalkan kedudukannya sebagai pengisi fungsi sintaksis
masih bisa diterima.
(14) Soloraya Darurat Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Pada kalimat di atas, frasa yang mengandung eufemisme adalah
frasa kekerasan seksual. Kekerasan dalam KBBI (Tim Penyusun Pusat
Bahasa, 2008:676) berarti 1 perihal (yang bersifat, berciri) keras; 2
perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang
lain; 3 paksaan. Sementara seksual dalam KBBI (Tim Penyusun Pusat
Bahasa, 2008:1245) berarti 1 berkenaan dengan seks (jenis kelamin); 2
berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.
43
Jadi kekerasan seksual merupakan frasa dari perbuatan seseorang yang
menyebabkan kerusakan fisik karena perbuatan seks dengan paksaan.
Frasa kekerasan seksual juga termasuk dalam frasa endosentris karena jika
salah satu unsurnya ditanggalkan kedudukannya sebagai pengisi fungsi
sintaksis masih bisa diterima.
1. Media Cetak: Koran
Menurut KBBI (Tim Penyusun Pusat Bahasa, 2008:733) “koran
merupakan lembaran-lembaran kertas bertuliskan kabar (berita) dan
sebagainya terbagi dalam kolom-kolom (89 kolom), terbit setiap hari atau
secara periodik”. Koran memiliki nama lain seperti surat kabar atau harian.
Sementara itu Effendy menyatakan bahwa “surat kabar adalah lembaran
tercetak yang memuat laporan yang terjadi di masyarakat dengan ciri-ciri
terbit secara periodik, bersifat umum, isinya termasa dan actual mengenai apa
saja dan dimana saja di seluruh dunia untuk diketahui pembacanya” (Effendy,
1993:241).
Koran memberitakan peristiwa yang terjadi sehari-hari dalam
kehidupan manusia. Koran dijadikan sebagai kegiatan komersial dari penerbit
koran yang bersangkutan. Tulisan-tulisan yang terdapat dalam sebuah koran
dihasilkan oleh para penulis berita yang biasa disebut dengan nama wartawan.
Wartawan tersebut bertugas untuk menulis kejadian-kejadian menarik yang
terjadi di tengah dan sekitar masyarakat. Sebuah koran biasanya banyak
wartawan yang disebarkan ke berbagai daerah untuk mengumpulkan dan
menulis berita yang menarik dan nantinya akan menjadi isi dari koran
tersebut. Wartawan tersebut bertugas secara resmi atas nama koran yang
44
bersangkutan dan mendapatkan bayaran atau gaji dari koran tempat wartawan
tersebut mempublikasikan berita atau tulisannya.
Koran biasanya dicetak dengan kertas yang memiliki biaya rendah
serta ringan karena biasanya setelah dipakai akan dibuang. Koran memuat
berita-berita terkini dalam berbagai topik. Topik yang tersedia di dalam koran
biasanya yang berisi tentang kriminalitas, politik, olahraga, tajuk rencana,
cuaca, ekonomi, dan lain sebagainya. Koran juga biasanya menampilkan
karikatur atau gambar-gambar kartun yang dijadikan bahan sindiran kepada
masalah-masalah tertentu. Karikatur tersbeut bisa berupa TTS, komik, atau
bentuk hiburan gambar lainnya.
Seiring dengan perkembangan zaman, koran juga ikut dikembangkan
seperti untuk pemberitaan bidang-bidang tertentu antara lain politik, properti,
industry tertentu, penggemar olahraga tertentu, penggemar seni tertentu atau
partisipan suatu kegiatan tertentu.
Periode penerbitan koran biasanya juga berbeda-beda, namun pada
umumnya koran diterbitkan tiap hari kecuali pada hari-hari libur. Beberapa
negara juga menerbitkan koran sore. Terdapat juga koran mingguan yang
biasanya berbentuk lebih kecil dan kurang prestisius dibandingkan dengan
koran harian dan isinya bersifat lebih ke hiburan.
Sebagai institusi komersil, koran mendapatkan penghasilannya dari
iklan-iklan yang dipasang di koran tersebut. Iklan-iklan tersebut disebar di
berbagai halaman, disisipkan di antara tulisan-tulisan, atau disediakan
halaman-halaman tersendiri yang khusus menampung iklan-iklan. Pemasang
iklan membayar sejumlah tarif tertentu kepada penerbit koran.
45
Koran biasanya terbit setiap hari, namun ada juga yang terbit secara
mingguan. Koran bermanfaat bagi masyarakat atau negara lain. Tanpa koran,
masyarakat tidak akan mengetahui kejadian-kejadian yang terjadi di luar
lingkungannya. Jadi, koran bisa menjadi sarana bagi masyarakat untuk
meluaskan pandangannya tanpa harus hadir secara langsung untuk menggali
informasi dari kejadian yang bersangkutan.
Menurut Onong Uchjana Effendy (1993:119-121) ada empat ciri syarat
yang harus dipenuhi sebuah koran atau surat kabar:
a. Publisitas (Publicity)
Mengandung arti penyebaran khalayak atau kepada publik. Karena
diperuntukkan untuk khalayak umum, isi atau informasi dalam surat
kabar ini terdiri dari berbagai kepentingan yang berkaitan dengan
umum. Untuk itu, penerbitan yang meskipun sama dengan surat
kabar tidak bisa disebut sebagai surat kabar jika hanya ditujukan
kepada sekelompok orang atau golongan.
b. Periodesitas (Periodecity)
Berarti keteraturan dalam penerbitannya. Keteraturan ini bisa satu
kali sehari bisa juga satu atau dua kali terbit dalam seminggu.
Karena mempunyai keteraturan dalam penerbitannya, maka penerbit
buku tidak dapat dikategorikan sebagai surat kabar meskipun isinya
menyangkut kepentingan umum karena tidak disebarkan secara
periodik dan berkala.
c. Universalitas (Universality)
46
Berarti kemesraan dan keragaman. Isinya yang datang dari berbagai
penjuru dunia. Untuk itu jika sebuah penerbitan berkala isinya
mengkhususkan diri pada suatu profesi atau aspek kehidupan seperti
majalah kedokteran, arsitektur, koperasi, atau pertanian, tidak
termasuk surat kabar. Memang benar bahwa berkala itu ditujukan
kepada khalayak umum dan diterbitkan secara berkala, namun bila
isinya hanya mengenai salah satu aspek kehidupan saja maka tidak
dapat dimasukkan ke dalam kategori surat kabar.
d. Aktualitas (Actuality)
Menurut kata asalnya aktualitas berarti “kini” dan “keadaan
sebenarnya”. Kedua-duanya erat sekali sangkut pautnya dengan
berita yang disiarkan surat kabar. Berita adalah laporan mengenai
peristiwa yang terjadi kini, dengan perkataan lain laporan mengenai
peristiwa yang baru terjadi dan yang dilaporkan itu harus benar.
Tetapi yang dimaksudkan aktualitas sebagai ciri surat kabar adalah
pertama, yaitu kecepatan laporan, tanpa menyampaikan pentingnya
kebenaran berita.
Hal-hal yang disiarkan media cetak lainnya bisa saja mengandung
kebenaran, tetapi belum tentu mengenai sesuatu yang baru saja terjadi. Di
antara media cetak, hanyalah koran yang menyiarkan hal-hal yang baru
terjadi. Pada kenyataannya, memang isi koran beraneka ragam, dan lain-
lain yang bukan merupakan laporan tercepat. Kesemuanya itu sekedar
untuk menunjang upaya membangkitkan minat agar koran bersangkutan
dibeli orang.
47
a. Solopos
Solopos adalah koran pagi yang terbit di Kota Surakarta,
Jawa Tengah. Koran ini terbit pertama kali pada September 1997.
Penerbitnya adalah PT Aksara Solopos yang juga menguasai
saham Percetakan PT Solo Grafika Utama, Radio Solopos FM, dan
tabloid olah raga Arena. Sejak bulan Mei/Juni, tabloid olahraga
Arena tidak diterbitkan lagi. Koran terbesar di eks-Karesidenan
Surakarta ini didirikan oleh PT Jurnalindo Aksara Grafika
(penerbit harian Bisnis Indonesia) yang kini menguasai 80%
saham. Selebihnya dimiliki oleh karyawan PT Aksara Solopos.
b. Jawa Pos
Jawa Pos berada di bawah naungan Grup Jawa Pos atau
Jawa Pos Group adalah perusahaan yang menaungi lebih dari 151
koran daerah dan nasional, yang paling terkenal adalah koran Jawa
Pos, dan belasan tabloid, majalah, dan televisi daerah. Koran Jawa
Pos pada tahun 2011 mendapatkan penghargaan. World Young
Reader Newspaper of the Year. Kemudian pada tahun 2013 koran
ini mendapatkan penghargaan Asian Media Award di bidang best
in design. Pada tahun selanjutnya, yaitu tahun 2014, koran Jawa
Pos mendapatkan penghargaan Asian Media Awards di bidang best
in news photography. Koran Jawa Pos juga mendapatkan
penghargaan dari UNNES karena mampu memberikan dampak
yang edukatif. Hal tersebut termuat dari beberapa kolomnya yang
selalu menampilkan hal-hal yang edukatif. Kemudian dari pada itu
48
juga merupakan misi koran tersebut untuk dapat mencerdaskan
kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Jawa Tengah.
c. Kompas
Koran Kompas adalah nama surat kabar Indonesia yang
berkantor pusat di Jakarta. Koran Kompas diterbitkan oleh PT
Kompas Media Nusantara yang merupakan bagian dari Kelompok
Kompas Gramedia (KG). Untuk memudahkan akses bagi pembaca
di seluruh dunia, Kompas juga terbit dalam bentuk daring bernama
KOMPAS.Com yang dikelola oleh PT Kompas Cyber Media.
KOMPAS.Com berisi berita-berita yang diperbarui secara aktual
dan juga memiliki sub kanal koran Kompas dalam bentuk digital.
Koran Kompas adalah satu di antara dua koran di Indonesia
yang diaudit oleh Audit Bureau of Circulations (ABC). Koran
lainnya yang juga diaudit adalah Warta Kota.
49
C. Kerangka Pikir
Kerangka pikir adalah cara kerja yang digunakan oleh penulis untuk
menganalisis dan menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Kerangka pikir
dalam penelitian ini melibatkan berbagai faktor yang ada. Kerangka pikir dalam
penelitian ini secara garis besar adalah sebagai berikut:
Kalimat yang mengandung eufemisme
Berita bidang kriminal pada koran
Solopos, Jawa Pos, dan Kompas edisi
Agustus-Oktober 2015
Bentuk eufemisme menurut
teori Leech
Makna dan fungsi eufemisme
menurut teori Parera dan Wijana
Simpulan
50
Penjelasan dari bagan kerangka pikir di atas adalah sebagai berikut.
Penelitian ini menggunakan data kalimat yang mengandung eufemisme. Koran
Solopos, Jawa Pos, dan Kompas Edisi Agustus-Oktober 2015 untuk dijadikan
sumber data. Koran memiliki berbagai bidang yang dijadikan pemberitaan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu maka diambil berita bidang
kriminal pada koran Solopos, Jawa Pos, dan Kompas Edisi Agustus-Oktober
2015. Setelah data terkumpul, selanjutnya menentukan objeknya dan
mengklasifikasikannya. Klasifikasi tersebut berdasar bentuk, makna dan fungsi,
sesuai dengan rumusan masalah penelitian ini. Analisis bentuk, makna dan fungsi
didasarkan pada teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini. Analisis bentuk
eufemisme menggunakan teori Geoffrey Leech. Analisis makna eufemisme
menggunakan teori Josh Daniel Parera dan untuk menganalisis fungsi eufemisme
menggunakan teori I Dewa Putu Wijana. Setelah dianalisis berdasarkan
klasifikasinya maka dapat ditemukan simpulan. Simpulan yang ditemukan yaitu
jumlah data dari tiap klasifikasi.