bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan umum tentang dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. bab...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Dasar Pertimbangan Hakim
1. Pengertian Pertimbangan Hakim
Pertimbangan hakim adalah salah satu aspek terpenting dalam penentuan
terwujudnya nilai-nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan
serta mengandung kepastian hukum, dan disamping itu juga mengandung
manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini
harus disikapi dengan cermat, baik dan penuh ketelitian. Apabila
pertimbangan hakim tidak teliti, tidak baik, serta tidak cermat, maka putusan
hakim yang berasal dari pertimbangan hakim akan dibatalkan oleh Pengadilan
Tinggi / Mahkamah Agung.5
Hakim sebagai pemeriksa suatu perkara juga memerlukan pembuktian,
dimana hasil dari pembuktian tersebut akan digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam memutus perkara. Tahap paling penting dalam
pemeriksaan di persidangan adalah pembuktian. Pembuktian bertujuan untuk
mendapat kepastian bahwa suatu fakta atau peristiwa yang diajukan itu benar-
benar ada, guna untuk mendapatkan putusan hakim yang adil dan benar. Hakim
tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa fakta
atau peristiwa tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikannya kebenaran,
sehingga nampak adanya hubungan hukum antara kedua belah pihak.6
Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat
tentang hal-hal sebagai berikut :
a. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak
disangkal.
b. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek
menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan.
c. Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus
5 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2004), h.140 6 Ibid, h.141
9
dipertimbangkan/diadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat
menarik kesimpulan tentang terbukti/tidaknya dan dapat
dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan.7
2. Dasar Pertimbangan Hakim
Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan
kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan
hasil penelitian yang seimbang dan maksimal dalam tataran praktek dan teori.
Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, di mana hakim
merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak
ukur tercapainya kepastian hukum.
Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 Bab
IX Pasal 24, 25 serta di dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 2009. Undang-
Undang Dasar 1945 yang menjamin adanya sesuatu kekuasaan kehakiman
yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam
penjelasan Pasal 24 ayat 1 dan penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun
2009, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan pancasila dan Undang-undang Negara Republik Indonesia tahun
1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.8 Kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan-ketentuan
mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur
tangan dari pihak kekuasaan ekstra-yudisial, terkecuali hal yang sebagaimana
disebut dalam Undang-undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan
wewenang yudisial bersifat tidak mutlak dikarenakan tugas hakim adalah
menegakkan keadilan dan hukum berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya
mencerminkan rasa keadilan bagi rakyat Indonesia. Kemudian dalam Pasal 24
ayat (2) yang menegaskan bahwa: kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
7 Ibid, h 142 8 Ibid, h 142
10
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
mahkamah konstitusi.9
Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak
(impartial jugde) dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009. Istilah tidak
memihak disini haruslah tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan putusan
hakim harus memihak dengan benar. Dalam hal ini tidak diartikan dan tidak
berat sebelah dalam menentukan pertimbangan dan penilaiannya. Lebih
tepatnya perumusan dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat
(1): “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang”.10
B. Tinjauan Umum Tentang Pekerja Kontrak
1. Pengertian Pekerja
Istilah buruh sudah dipergunakan sejak lama dan sangat popular dalam
dunia perburuhan atau ketenagakerjaan bahkan mulai dari zaman penjajahan
Belanda juga karena peraturan perundang-undangan yang lama, sebelum
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada zaman
penjajahan Belanda yang dimaksud buruh yaitu pekerja kasar seperti kuli atau
tukang yang tugasnya melakukan pekerjaan kasar. Sedangkan bagi yang
melakukan pekerjaan di dalam ruangan seperti di kantor pemerintahan
maupun swasta disebut sebagai karyawan atau peawai. Perbedaan ini
membawa konsekuensi pada perbedaan perlakuan dan hak-hak tersebut oleh
pemerintah Belanda tidak terlepas dari upaya memecah belah oramg-orang
pribumi.11
Setelah Indonesia merdeka, kita tidak mengenal lagi istilah buruh halus
maupun buruh kasar karena semua orang yang bekerja baik disektor swasta,
bekerja pada orang lain atau badan hukum sama-sama disebut buruh. Dalam
perkembangannya tahun 1985 pada waktu kongres Federasi Buruh Seluruh
9 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta, Rineka Cipta, 1996), hlm.94 10 Ibid, h. 95
11 Lalu Husni, 2008, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Edisi Revisi, Jakarta, hlm. 33.
11
Indonesia II atau disingkat FBSI, pemerintah mengusulkan untuk mengganti
istilah buruh dengan istilah pekerja karena alasan pemerintah bahwa istilah
buruh lebih cenderung menunjuk golongan yang selalu ditekan dan berada di
pihak lain yakni majikan.
Namun pada masa orde baru, istilah pekerja banyak diintervensi oleh
pemerintah yang menyebabkan banyak buruh trauma akan istilah tersebut.
Sehingga untuk mengakomodir kepentingan buruh dan pemerintah maka
kedua istilah itupun disandingkan.2 Buruh sekarang tidaklah sama dengan
buruh pada masa lalu yang hanya bekerja pada sekitar nonformal seperti kuli,
tukang dan sejenisnya tetapi juga sektor formal seperti di Hotel, Bank,
Supermarket dan lain-lain. Karena itu lebih menyebtukannya dengan istilah
pekerja.
Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Ketenagakerjaan memberi
pengertian pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian ini agak umum namun
maknanya lebih luas karena mencakup semua orang yang bekerja pada siapa
saja, baik perorangan, persekutuan, badan hukum dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk apapun. Penegasan imbalan dalam bentuk apapun ini
perlu karena upah selama ini diidentikkan dengan uang, padahal ada pula
buruh/pekerja yang menerima imbalan dalam bentuk barang.
2. Pengertian Pekerja Kontrak
Dalam istilah hukum pekerja kontrak sering disebut “pekerja PKWT”,
maksudnya pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Hal ini
dikarenakan yang dinamakan pekerja kontrak itu bekerja menggunakan sistem
PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Dasar hukum dari pekerja kontrak
atau pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu diatur dalam Pasal 56,
57, 58, dan 59 Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Pada Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur
perjanjian kerja dibagi menjadi dua jenis, yaitu perjanjian kerja waktu tertentu
dan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. Dalam menjalankan
pekerjaannya, pekerja kontrak atau pekerja perjanjian kerja waktu tertentu
12
sejatinya memahami bahwa terdapat beberapa persyaratan seperti yang diatur
pada Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan. Yaitu, jenis
pekerjaan yang dipekerjakan haruslah bersifat sekali selesai atau sementara.
Diperkirakan pekerjaan tersebut juga memakan waktu yang tidak terlalu lama,
maksimal adalah tiga tahun. Selain itu, pekerjaan yang dipekerjakan kepada
pekerja kontrak hendaknya adalah pekerjaan yang sifatnya musiman, bukan
pekerjaan tetap dan juga pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang hendaknya
berhubungan dengan produk atau kegiatan baru yang masih dalam masa
percobaan atau penjajakan.
Perjanjian kontrak kerja untuk pekerja PKWT memang dapat diperpanjang
atau diperbaharui. Akan tetapi, terdapat batasan waktunya. Perjanjian kontrak
kerja tersebut berlaku paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang
satu kali untuk jangka waktu maksimal satu tahun. Selain itu, perjanjian kerja
waktu tertentu juga dapat diperbarui apabila perusahaan menghendaki. Jangka
waktu maksimal pembaruan PKWT adalah maksimal dua tahun dan hanya
dapat dilakukan sekali. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 59 ayat (3), (4)
dan (6) Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Ketentuan Umum PKWT Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara
pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam
waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu. Dengan demikian pekerja kontrak
dapat diartikan secara hukum adalah pekerja dengan status bukan pekerja tetap
atau dengan kalimat lain pekerja yang bekerja hanya untuk waktu tertentu
berdasar kesepakatan antara Pekerja dengan Perusahaan pemberi kerja. Dalam
istilah hukum pekerja kontrak sering disebut “Pekerja PKWT” atau pekerja
dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
13
3. Hak-Hak dan Kewajiban Pekerja Kontrak
Pada dasarnya hubungan kerja merupakan hubungan yang mengatur hak
dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Pekerja/buruh dengan
perusahaan berada dalam hubungan kemitraan dibidang produksi sehingga
keduanya dituntut untuk berbagi tanggung jawab.12 Takaran hak dan
kewajiban masing-masing pihak haruslah seimbang. Hak adalah kepentingan
yang dilindungi oleh hukum. Dalam hubungan kerja, kewajiban para pihak
berlangsung secara timbal balik artinya kewajiban pengusaha merupakan hak
pekerja/buruh dan sebaliknya kewajiban pekerja/buruh merupakan hak
pengusaha. Pekerja/buruh mempunyai hak-hak dasar yang diatur dalam
Undang-Undang Ketengakerjaan yaitu:
1. Hak Untuk Memperoleh Perlindungan
Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas
keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan serta perlakuan
yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia dan nilai-nilai agama.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 86 Undang-Undang Ketenagakerjaan.
2. Hak Untuk Mendapat Kesempatan dan Perlakuan yang Sama
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa
diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan, diatur dalam Pasal 5
Undang-Undang Ketenagakerjaan. Sesuai ketentuan Pasal 6 Undang-
Undang Ketenagakejaan, setiap pekerja/buruh berhak memperoleh
perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Hak untuk
mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama juga diatur dalam Pasal
28D ayat (2) UUD NKRI Tahun 1945. Artinya pengusaha harus
memberi kesempatan dan perlakuan yang sama kepada pekerja/buruh
tanpa mendiskriminasi pekerja/buruh laki-laki dan pekerja/buruh
perempuan.
3. Hak Untuk Mendapat Waktu Istirahat dan Cuti
Pemberian hak untuk istirahat dan cuti berpengaruh terhadap
produktifitas pekerja/buruh dalam perusahaan. Waktu istirahat dan cuti
12 Janus Sidabalok, 2012, Hukum Perusahaan, Nuansa Aulia, Bandung, hlm.196.
14
bertujuan untuk mengembalikan kesegaran dan kesehatan baik fisik,
mental, dan sosial pekerja atau buruh. Waktu istirahat dan cuti diatur
dalam Pasal 79 sampai dengan Pasal 84 Undang-Undang
Ketenagakerjaan.
4. Hak Atas Upah yang Layak
Pasal 88 Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur setiap
pekerja/buruh berhak memperoleh pnghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pengusaha dalam
menentukan upah tidak boleh mendiskriminasi antara pekerja/buruh
laki-laki dan perempuan terhadap pekerjaan yang sama nilainya.
5. Hak Dasar Pekerja Atas Jaminan Sosial
Hak untuk memperoleh jaminan sosial diatur dalam Pasal 99
Undang-Undang Ketenagakerjaan. Hak atas jaminan sosial juga diatur
oleh Pasal 28H ayat (3) UUD NKRI Tahun 1945. Selanjutnya dalam
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja ditegaskan bahwa:
“Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga
kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai ganti dari sebagian
penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat
peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa
kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal
dunia”.
6. Hak Untuk Membentuk Serikat Pekerja
Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh, sesuai ketentuan pasal 104 ayat (1) Undang-
Undang Ketenagakerjaan. Pengertian serikat pekerja/serikat buruh diatur
dalam Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Ketenagakerjaan, yaitu:
“Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari,
oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar
perusahaan yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan
bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta
15
melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya”.
7. Hak Dasar Untuk Mogok Kerja
Mogok kerja adalah merupakan salah satu persoalan yang dapat
meresahkan dunia usaha dan mengganggu hubungan kerja,
keharmonisan dalam hubungan industrial serta keharmonisan kehidupan
sosial masyarakat. Karena melibatkan banyak pihak yang terkait. Dilain
pihak bagi pekerja yang melakukan pemogokan kerja kadang-kadang
hanya merupakan keterpaksaan sebagai akibat buntunya pembicaraan
atau tidak adanya komunikasi yang baik antara pengusaha dengan para
pekerja/buruh, pada akhirnya mereka menempuh jalan mogok kerja
demi menunjukkan tanggung jawab hak mereka dalam perundingan.
Adanya kebuntuan atau mis-komunikasi, seakan tidak ada lagi jalan lain
yang dapat ditempuh untuk dapat dipenuhinya keinginan para
pekerja/buruh.
Menurut Pasal 137 Undang-Undang Ketenagakerjaan mogok kerja sebagai
hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara
sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. Yang dimaksud
dengan gagalnya perundingan dalam pasal ini adalah tidak tercapainya
kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat
disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan atau
perundingan mengalami jalan buntu serta yang dimaksud dengan tertib dan
damai adalah tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum, dan atau
mengancam keselamatan jiwa dan harta benda milik perusahaan atau
pengusaha atau orang lain atau milik masyarakat. Selain mengatur mengenai
hak-hak yang harus didapatkan dari pekerja/buruh, Undang-Undang
Ketenagakerjaan juga mengatur mengenai kewajiban yang harus dipenuhi oleh
pekerja/buruh, yaitu:
a. Pasal 102 ayat (2), bahwa dalam melaksanakan hubungan
industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruhnya
mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan
16
kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi,
menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan
ketrampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan
dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
b. Pasal 126 ayat (1), bahwa pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh
dan pekerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam
perjanjian kerja bersama.
c. Pasal 126 ayat (2), bahwa pengusaha dan serikat pekerja/serikat
buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja bersama atau
perubahannya kepada pekerja/buruh.
d. Pasal 136 ayat (1), bahwa penyelesaian perselisihan hubungan
industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/serikat
pekerja secara musyawarah untuk mufakat.
e. Pasal 140 ayat (1), bahwa sekurang-kurangnya dalam waktu 7
(tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja dan
serikat pekerja wajib memberitahukan secara tertulis kepada
pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan setempat.
Ketentuan mengenai kewajiban pekerja/buruh juga diatur dalam Pasal
1603, 1603a, 1603b dan 1603c KUHPerdata yang intinya sebagai berikut:
1. Buruh/pekerja wajib melakukan pekerjaan, melakukan pekerjaan
adalah tugas utama dari seorang pekerja yang harus dilakukan
sendiri, meskipun demikian dengan seizing pengusaha dapat
diwakilkan.
2. Buruh/pekerja wajib menaati peraturan dan petunjuk
majikan/pengusaha, dalam melakukan pekerjaan buruh/pekerja wajib
menaati petunjuk yang diberikan oleh pengusaha. Aturan yang wajib
ditaati oleh pekerja sebaiknya dituangkan dalam praturan perusahaan
sehingga menjadi lebih jelas ruang lingkup dari petunjuk tersebut.
3. Kewajiban membayar ganti rugi dan denda, apabila buruh/pekerja
melakukan perbuatan yang merugikan perusahaan, baik karena
17
kesengajaan atau kelalaian, maka sesuatu dengan prinsip hukum
pekerja wajib membayar ganti rugi dan denda.
Dari seluruh ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban pekerja, dapat
dilihat apabila ketentuan tersebut dijalankan dengan baik maka akan tercipta
keselarasan antara pihak pengusaha dan pekerja maupun pekerja dengan
pekerja lainnya. Dengan begitu, kesejahteraan pekerja akan terjamin serta
produktifitas perusahaan dapat berjalan dengan baik dan lancar.
C. Tinjauan Umum Tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
1. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja
Di Indonesia, PHK sudah menjadi suatu hal yang umum bagi masyarakat.
Permasalahan terkait ketenagakerjaan ini sudah menjadi perbincangan umum
karena PHK dapat membawa penderitaan bagi para pekerja beserta keluarga
pekerja. Secara yuridis, berdasarkan pada Pasal 1 angka 25 UU
Ketenagakerjaan, PHK ialah pemutusan hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh dan
majikan.
Beberapa ahli mengutarakan pendapatnya mengenai PHK. Menurut
Mutiara S. Panggabean, PHK adalah penghentian hubungan kerja antara
pekerja dan majikan yang dapat disebabkan oleh berbagai macam alasan,
sehingga berakhir pula hak dan kewajiban antara mereka.13
Berdasarkan jenisnya, PHK dapat dibagi menjadi beberapa jenis antara
lain:
a. PHK oleh majikan atau pengusaha
Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja atau buruh
apabila melakukan kesalahan berat sebagaimana yang tertulis di dalam
Pasal 158 UU Ketenagakerjaan. Namun, Pasal tersebut sudah tidak
berlaku lagi karena dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor
012/PUU-1/2003 dinyatakan mencabut ketentuan yang ada di dalam
Pasal 158 UU Ketenagakerjaan tersebut. Pencabutan pasal tersebut
13 Made Indah Puspita, 2015, “Peran Serikat Pekerja Dalam Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak di Hotel Bali Hyatt”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h.44-45.
18
dilakukan karena melalui pertimbangannya Pasal tersebut telah
bertentangan dengan UUD 1945 dalam Pasal 27 ayat (1) yang
menyatakan bahwa seluruh warganegara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu tanpa terkecuali.
Hal inilah yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi, karena
adanya hak lebih yang dimiliki oleh pengusaha dengan dapat melakukan
PHK secara sepihak atas dasar melakukan kesalahan berat dan tidak
berlaku sebaliknya kepada pekerja. Sehingga berdasarkan ketentuan
tersebut, diperlukan adanya penetapan dari lembaga yang berwenang
terlebih dahulu terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pekerja terkait
melakukan kesalahan berat.
Permohonan penetapan PHK wajib diajukan secara tertulis kepada
PHI disertai keterangan alasan dasar pengajuan PHK tersebut.
Permohonan tersebut akan diterima apabila rencana PHK tersebut
dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/buruh atau dengan
pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi
anggota serikat pekerja/buruh. Dan penetapan permohonan PHK hanya
dapat diberikan apabila perundingan tersebut tidak mencapai
kesepakatan diantara kedua belah pihak.14
b. PHK Demi Hukum
PHK demi hukum terjadi karena alasan berakhirnya jangka waktu
kerja yang telah disepakati habis atau apabila pekerja/buruh meninggal
dunia.
Berdasarkan ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, suatu
perjanjian kerja berakhir apabila:
1) Pekerja meninggal dunia;
2) Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
3) Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga
14 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja,
Rajawali Pers, Jakarta, 2011, h. 19
19
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap; atau
4) Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
yang dapat menyebabkan berakhirnya pemutusan hubungan kerja.
Adapun PHK demi hukum ini dapat dilakukan dengan beberapa alasan
sesuai dengan ketentuan Pasal 154 UU Ketenagakerjaan, antara lain:
a) Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah
dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b) Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara
tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya
tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja
sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
c) Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau
peraturan perundang-undangan; atau
d) Pekerja/buruh meninggal dunia.15
2. Syarat Sah Pemutusan Hubungan Kerja
Berdasarkan Pasal 1 angka 25 UU Ketenagakerjaan, PHK adalah
pengakhiran pengusaha untuk menolak pekerja/buruh seluruhnya sebagian
untuk menjalankan pekerjaan. Pada kenyataannya, PHK itu adalah sah ketika
para pihak telah menerimanya secara sukarela beserta dengan kesalahan-
kesalahan yang berarti para pekerja memungkinkan untuk di PHK. Namun
jika salah satu pihak mempersoalkan ataupun tidak menerima PHK tersebut,
maka PHK dianggap sah ketika sudah ada penetapan atau putusan dari
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan
ketentuan pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, sehingga sebelum adanya
penetapan atau keputusan maka PHK yang dikeluarkan oleh pengusaha adalah
15 Abdul R. Budiono, 2011, Hukum Perburuhan dan ketenagaakerjaan, PT. Indeks,
Jakarta, hlm.69
20
batal demi hukum.16
PHK merupakan jalan terakhir yang dapat digunakan dalam sebuah
hubungan kerja. Karena seperti yang disyaratkan di dalam UU
Ketenagakerjaan dan UU PHI bahwa dalam sebuah perselisihan hubungan
industrial wajib diupayakan terlebih dahulu dalam upaya-upaya yang telah
diatur di dalam UU PPHI.
1) Penyelesaian Melalui Bipartit
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UU PPHI upaya penyelesaian melalui
bipartit wajib dilakukan terlebih dahulu untuk mencapai mufakat secara
musyawarah. Perundingan bipartit berdasarkan pasal 1 angka 10 UU
PPHI adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial. Upaya ini dilakukan selama maksimal
30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Namun
apabila dalam waktu tiga puluh hari tersebut masih belum mencapai
musyawarah, maka upaya penyelesaian bipartit ini dianggap gagal.
Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam dalam pasal 3
UU PPHI telah mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat
perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak untuk kemudian
didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada pengadilan
hubungan industrial pada pengadilan pegeri di wilayah para pihak
mengadakan perjanjian bersama. Perjanjian bersama yang telah didaftar
akan mendapatkan akta bukti pendaftaran Perjanjian bersama dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian bersama.
Namun apabila perundingan Bipartit gagal maka salah satu atau para
pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti
bahwa upaya penyelesaian bipartit telah dilakukan sebelumnya (Pasal 4
UU PPHI).
16 Boris Tampubolon, 2018, “Kapan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) itu Sah?”, https://konsultanhukum.web.id/kapan-pemutusan-hubungan-kerja-phk-itu-sah/. Diakses tanggal 4 Juli 2019 pukul 00.11 WIB
21
2) Penyelesaian Melalui Mediasi
Mediasi hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
mediator yang netral (Pasal 1 angka 11 UU PPHI). Sesuai dengan
ketentuan pasal 8 UU PPHI, penyelesaian perselisihan melalui mediasi
ini dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
Berdasarkan Pasal 13 UU PPHI, apabila upaya penyelesaian melalui
mediasi berhasil mencapai kesepakatan maka dibuat perjanjian bersama
yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta
di daftar di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di
wilayah hukum para pihak mengadakan perjanjian bersama untuk
mendapat akta bukti pendaftaran. Namun, dalam hal tidak tercapainya
kesepakatan diantara para pihak, maka mediator mengeluarkan anjuran
tertulis untuk disampaikan kepada para pihak. Dalam hal anjuran tertulis
tersebut ditolak oleh salah satu atau para pihak, maka salah satu atau
para pihak dapat mengajukan penyelesaian perselisihan ke pengadilan
hubungan industrial pada pengadilan negeri setempat.
3) Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dapat dilakukan oleh
konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Sedangkan pengertian
penyelesaian melalui konsiliasi ini sendiri seperti yang tertuang di dalam
Pasal 1 angka 13 UU PPHI adalah penyelesaian perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang
netral. Penyelesaian yang dilakukan oleh konsiliator ini hanya dapat
dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian
22
secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para
pihak (Pasal 18 Ayat (2) UU PPHI).
Menurut Pasal 23 UU PPHI dalam hal tercapainya kesepakatan
melalui upaya konsiliasi ini, maka dibuat perjanjian bersama yang
ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan
didaftarkan di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di
wilayah hukum pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama untuk
mendapatkan akta bukti pendaftaran. Namun apabila kesepakatan
tersebut tidak tercapai maka sesuai dengan ketentuan pasal 24 ayat (1)
UU PPHI salah satu pihak dapat mengajukan gugatan penyelesaian
perselisihan ke pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri
setempat.17
Selain itu, di dalam UU Ketenagakerjaan sebetulnya telah mengamanatkan
agar pengusaha dan pekerja harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK.
Namun tidak dapat dipungkiri, PHK hingga kini masih marak terjadi
berdasarkan alasan atau suatu keadaan tertentu. Namun, pengusaha tidak
diperbolehkan melakukan PHK dengan beberapa alasan, antara lain seperti
yang tertulis di dalam Pasal 153 ayat (1):
a. pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan
dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara
terus menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena
memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau
menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan
17 Lalu Husni, 2007, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Rajawali Pers, Jakarta, hlm.40
23
dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian
kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib
mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana
kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,
golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan
kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat
keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat
dipastikan.
3. Akibat Hukum Pemutusan Hubungan Kerja
Sebagaimana diatur di dalam pasal 1 angka 25 UU Ketenagakerjaan, PHK
adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha. Sehingga, segala hubungan atau hal terkait pekerjaan telah
berakhir diantara pekerja dan pengusaha. Di dalam UU Ketenagakerjaan dan
UU PPHI telah diamanatkan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat
pekerja/serikat buruh, dan pemerintah untuk mengupayakan agar tidak
terjadinya PHK namun terkadang hal tersebut tidak dapat dihindari lagi,
sehingga PHK adalah sah apabila dengan syarat telah mendapatkan ketetapan
dari pengadilan hubungan industrial, dengan kata lain PHK yang tidak
memiliki penetapan dari pengadilan hubungan industrial batal demi hukum
atau tidak sah.
24
Seperti yang telah diamanatkan di dalam Pasal 156 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan bahwa pengusaha wajib untuk membayarkan uang pesangon,
dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang
seharusnya diterima oleh pekerja yang di PHK. Sehingga berdasarkan hal
tersebut, diketahui bahwa pemberian hak kepada pekerja/buruh karena PHK
yang dilakukan adalah sah. Tiga jenis hak yang seharusnya diterima oleh
pekerja yang di PHK, antara lain:
a. Uang pesangon;
Di dalam UU Ketenagakerjaan tidak memberikan pengertian
mengenai uang pesangon. Namun berdasarkan yang tertuang di dalam
Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, dapat disimpulkan bahwa uang
pesangon adalah sejumlah pembayaran oleh pengusaha kepada
pekerja/buruh karena adanya PHK. Perhitungan uang pesangon
sebagaimana dimaksud, diatur di dalam Pasal 156 ayat (2) UU
Ketenagakerjaan yaitu:
1) Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
2) Masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua)
tahun, 2 (dua) bulan upah;
3) Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga)
tahun, 3 (tiga) bulan upah, masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
4) Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5
(lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
5) Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6
(enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
6) Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7
(tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
7) Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8
(delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
8) Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan
upah.
25
b. Uang pengganti hak yang seharusnya diterima;
Selain itu, masih terdapat uang penggantian hak yang seharusnya
diterima sebagaimana diatur dalam pasal 156 ayat (4) UU
Ketenagakerjaan, yaitu:
1) Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
2) Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya
ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
3) Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan
ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon
dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi
syarat;
4) Hal-hal lain yang ditetapkan di dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Tidak hanya itu, pekerja/buruh berhak melakukan pengunduran
diri yaitu mengajukan permohonan untuk berhenti bekerja. Namun di
dalam pasal 162 ayat (3) UU Ketenagakerjaan terdapat beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi oleh pekerja yang ingin melakukan
pengunduran diri, antara lain18:
a) Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai
pengunduran diri;
b) Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c) Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai
pengunduran diri.
4. Perjanjian Kerja
Pengertian Perjanjian kerja adalah membentuk suatu hubungan yang timbul
antara dua pihak atau lebih, diperlukan adanya suatu ikatan atau perjanjian
guna menciptakan ikatan untuk suatu tujuan tertentu. Hal ini diatur di dalam
pasal 1313 KUHPerdata, suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana
18 Letezia Tobing, 2015, “Adakah Pesangon Bagi Karyawan Kontrak?”,: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt560b6b4ee463f/adakah-pesangon-bagi-karyawankontrak.httm diakses tanggal 4 Juli 2019 Pukul 00.42 WIB.
26
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa kedudukan antara
para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang, karena
kedua belah pihak memiliki hak untuk menentukan isi perjanjian yang
tertuang. Hal ini pun diatur berdasarkan asas kebebasan berkontrak, yang
berbunyi semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang adalah
alasan timbulnya suatu perjanjian, dan akan berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Begitu pula dengan hubungan kerja, diantara
pengusaha dan pekerja diperlukan adanya perjanjian kerja untuk mengatur
segala hal terkait pekerjaan.
Perjanjian kerja menurut Iman Soepomo, adalah suatu perjanjian, dimana
pihak satu (buruh) mengikatkan diri untuk bekerja dan menerima upah pada
pihak lain (majikan) yang mengikatkan dirinya untuk mempekerjakan buruh
itu dengan membayar upah. Selain itu pengertian perjanjian kerja dapat
ditemui dalam pasal 1 huruf 14 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:
“Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha
atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para
pihak.” Pengaturan mengenai perjanjian kerja atau arbeidsoverenkoms juga
diatur dalam Bab 7A Buku III KUHPerdata yang terdiri dari tiga pasal yaitu
pasal 1601, 1602, dan 1603. Mengenai perjanjian kerja pada Bab 7A Buku III
KUHPerdata mempunyai sifat privat, namun seiring perkembangannya
banyak ketentuan yang sudah tidak berlaku dan diganti dengan peraturan baru
yang bersifat publik. Perjanjian kerja ini mengenal adanya sistem umum,
artinya tidak membedakan lapangan perusahaan maupun orang-orang yang
melakukan perjanjian kerja.
Pada pasal 1601a KUHPerdata, disebutkan bahwa suatu perjanjian dimana
pihak yang satu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak yang lain,
majikan, selama suatu waktu tertentu dengan menerima upah. Menurut
Subekti dalam buku Aneka Perjanjian, dituliskan bahwa perjanjian kerja
adalah perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan”, yang
mana perjanjian tersebut dapat ditentukan dari beberapa ciri-ciri yaitu:
27
Pertama, melakukan pekerjaan tertentu, dalam perjanjian kerja suatu pekerjaan
sebelumnya telah disepakati terlebih dahulu antara pekerja dan pengusaha.19
Sehingga sifat pekerjaan yang dilakukan ini bersifat pribadi karena hanya
menyangkut antara dua belah pihak yang bersangkutan. Kedua, adanya
perintah atau dibawah perintah orang lain (vertikal) atau hubungan atas bawah
(dietsverhouding), majikan diberikan hak untuk memberi perintah yang harus
ditaati oleh pihak lainnya. Ketiga, adanya upah, pengertian upah sendiri dapat
ditemui dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan
Upah yaitu suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh
untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Menurut
Haribuan Nurimansyah, “Upah adalah segala macam bentuk penghasilan,
yang diterima pekerja/buruh baik berupa uang ataupun barang dalam jangka
waktu tertentu pada suatu kegiatan ekonomi.”20 Berdasarkan pengertian
tersebut, adanya upah yang diterima oleh pekerja membuat peranan yang
penting dalam suatu hubungan kerja.
Bagi para pihak yang terlibat dalam perjanjian kerja tidak dapat membuat
perjanjian kerja yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan bersifat memaksa, sehingga tidak
dapat dikesampingkan oleh para pihak dalam membuat perjanjian kerja karena
perjanjian kerja merupakan bagian dari hukum ketenagakerjaan, bukan bagian
dari hukum perjanjian. Di dalam hukum perjanjian mengatur mengenai
ketentuan umum, sepanjang tidak diatur oleh hukum ketenagakerjaan berlaku
dalam perjanjian kerja, tetapi bila undang-undang ketenagakerjaan telah
mengaturnya maka ketentuan tersebut bersifat memaksa, artinya tidak dapat
dikesampingkan.21
19 Adrian Sutedi, 2009, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, h.46 20 Hasibuan Nurimansya, 1981, Upah Tenaga Kerja dan Konsentrasi pada Sektor
Industri, Prisma, Jakarta, H.3. 21 Hardijan Rusli, 2003, Hukum Ketenagakerjaan, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.70
28
D. Tinjauan Umum Tentang Sanksi
1. Pengertian Sanksi
Menurut Black’s Law Dictionary, sanction (sanksi) adalah “a penalty or
coercive measure that results from failure to comply with a law, rule, or order
(a sanction for discovery abuse)” atau sebuah hukuman atau tindakan
memaksa yang dihasilkan dari kegagalan untuk mematuhi undang-undang.22
Sedangkan pengertian sanksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
merupakan tanggungan (tindakan atau hukuman) untuk memaksa orang
menepati perjanjian atau menaati ketentuan undang-undang (anggaran dasar,
perkumpulan, dan sebagainya); tindakan (mengenai perekonomian) sebagai
hukuman kepada suatu negara;Hukum, a. imbalan negatif, berupa
pembebanan atau penderitaan yg ditentukan dalam hukum; b. imbalan positif,
yg berupa hadiah atau anugerah yg ditentukan dalam hukum.23
2. Sanksi Perdata
Hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara
sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian,
kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha, dan tindakan-tindakan yang
bersifat perdata lainnya. Bentuk sanksi hukum perdata dapat berupa kewajiban
untuk memenuhi prestasi (kewajiban) dan atau hilangnya suatu keadaan
hukum, diikuti dengan terciptanya suatu keadaan hukum baru. Bentuk putusan
yang dijatuhkan hakim dapat berupa :
a. Putusan Constitutif yakni putusan yang menghilangkan suatu keadaan
hukum dan menciptakan hukum baru,contohnya adalah putusan
perceraian suatu ikatan perkawinan;
b. Putusan Condemnatoir yakni putusan yang bersifat menghukum
pihak yang dikalahkan untuk memenuhi kewajibannya, contohnya
adalah putusan hukum untuk wajib membayar kerugian pihak
tertentu;
c. Putusan Declaratoir yakni putusan yang amarnya menciptakan suatu
22 Samsul Ramli dan Fahrurrazi, 2014, Bacaan Wajib Swakelola Pengadaan Barang/Jasa, Visimedia Pustaka, Jakarta, h. 191.
23 Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995, Balai Fustaka, Jakarta, h. 1265.
29
keadaan yang sah menurut hukum, menerangkan dan menegaskan
suatu keadaan hukum semata-mata, contohnya adalah putusan
sengketa tanah atas penggugat atas kepemilikan yang sah.24
3. Sanksi Administratif
Pada hakikatnya, hukum administrasi negara memungkinkan pelaku
administrasi negara untuk menjalankan fungsinya dan melindungi warga
terhadap sikap administrasi negara, serta melindungi administrasi negara itu
sendiri. Peran pemerintah yang dilakukan oleh perlengkapan negara atau
administrasi negara harus diberi landasan hukum yang mengatur dan
melandasi administrasi negara dalam melaksanakan fungsinya. Hukum yang
memberikan landasan tersebut dinamakan hukum administrasi negara.
Sanksi dalam Hukum Administrasi yaitu “alat kekekuasaan yang bersifat
hukum publik yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atas
ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam norma Hukum
Administrasi Negara.” Berdasarkan definisi ini tampak ada empat unsur sanksi
dalam hukum administrasi Negara, yaitu alat kekuasaan (machtmiddelen),
bersifat hukum publik (publiekrechtlijke), digunakan oleh pemerintah
(overheid), sebagai reaksi atas ketidakpatuhan (reactive op niet-naleving).25
Jenis Sanksi Administrasi dapat dilihat dari segi sasarannya yaitu:
a. Sanksi reparatoir, artinya sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas
pelanggaran norma, yang ditujukan untuk mengembalikan pada
kondisi semula sebelum terjadinya pelanggaran, misalnya
bestuursdwang, dwangsom;
b. Sanksi punitif, artinya sanksi yang ditujukan untuk memberikan
hukuman pada seseorang, misalnya adalah berupa denda
administratif;
c. Sanksi regresif, adalah sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas
ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang terdapat pada ketetapan yang
24 Samsul Ramli dan Fahrurrazi, op. cit., h. 193. 25 Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo, Jakarta, hlm. 315.
30
diterbitkan.26
Perbedaan antara sanksi administrasi dan sanksi pidana dapat dilihat dari
tujuan pengenaan sanksi itu sendiri. Sanksi administrasi ditujukan kepada
perbuatan pelanggarannya, sedangkan sanksi pidana ditujukan kepada si
pelanggar dengan memberi hukuman berupa nestapa. Sanksi administrasi
dimaksudkan agar perbuatan pelanggaran itu dihentikan. Sifat sanksi adalah
reparatoir artinya memulihkan pada keadaan semula. Di samping itu
perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi administrasi ialah tindakan
penegakan hukumnya.
Sanksi adminitrasi diterapkan oleh pejabat tata usaha negara tanpa harus
melalui prosedur peradilan, sedangkan sanksi pidana hanya dapat dijatuhkan
oleh hakim pidana melalui proses pengadilan.27
26 ibid, hlm. 319 27 Philipus M. Hadjon dkk, 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,ke-X, Gadjah
Mada University, Yogyakarta, hlm. 247.