bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan umum tentang...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Penyidikan dan Penyidik
1. Pengertian Penyidikan
Dalam suatu kasus yang berhubungan dengan tindak pidana tentu
saja membutuhkan informasi atau data yang dianggap valid untuk
menemukan fakta yang dilakukan oleh pihak berwajib. Di dalam kasus-
kasus kejahatan yang ada saat ini banyak pelaku atau tersangka yang
telah melakukan kejahatan melawan hukum atau tindak pidana,
disinilah peran pihak berwajib atau yang terkait untuk menemukan
siapa pelaku atau tersangka dalam satu kasus yaitu seperti penyidik
kepolisian, PPNS, dll. Penyidikan harus dilakukan oleh para penyidik
guna mencari atau mengumpulkan barang bukti agar tercipta keadilan
yang seadil-adilnya
Pengertian penyidikan tercantum dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP
yaitu:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”
Berdasarkan rumusan Pasal 1 butir 2 KUHAP, unsur-unsur yang
terkandung dalam pengertian penyidikan adalah:
a. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung
tindakan- tindakan yang antara satu dengan yang lain saling
berhubungan;
b. Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik;
12
c. Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
d. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang
dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan
menemukan tersangkanya.
Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah
penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau
tidaknya tindak pidana dalam suatu peristiwa. Ketika diketahui ada tindak
pidana terjadi, maka saat itulah penyidikan dapat dilakukan berdasarkan
hasil penyelidikan. Pada tindakan penyelidikan, penekanannya diletakkan
pada tindakan “mencari dan menemukan” suatu “peristiwa” yang dianggap
atau diduga sebagai tindakan pidana. Sedangkan pada penyidikan titik berat
penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan
bukti”. Penyidikan bertujuan membuat terang tindak pidana yang
ditemukan dan juga menentukan pelakunya.
2. Pengertian Penyidik
Dalam Pasal 1 butir ke-1 KUHAP disebutkan Penyidik adalah
“Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri
sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan. KUHAP lebih jauh lagi mengatur tentang
penyidik dalam pasal 6, yang memberikan batasan pejabat penyidik
dalam proses pidana. Adapun batasan pejabat dalam tahap penyidikan
tersebut adalah pejabat penyidik POLRI dan Pejabat penyidik negeri
sipil.”
Untuk menjadi seorang penyidik harus memenuhi beberapa syarat
yang sudah ditentukan oleh undang-undang, karena penyidik harus sudah
mengerti hukum untuk melakukan proses penyidikan maka dari itu
diperlukan penyidik yang mempunyai integritas yang baik agar penyidikan
13
berjalan sesuai dengan prosedur yang ada. Apabila pejabat penyidik Polri
berpangkat rendah tidak bisa ditunjuk atau dijadikan penyidik karena
mereka masih dianggap belum memenuhi sarat sebagai seorang penyidik
dan ilmu yang mereka dapatkan mengenai hukum masih kurang.
a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b
KUHAP yaitu
“Pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai
penyidik. Pada dasarnya, wewenang yang mereka miliki bersumber
pada undang-undang pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri
pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal.1
Wewenang penyidikan yang dimiliki oleh pejabat pegawai negeri sipil
hanya terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang
diatur dalam undang-undang pidana khusus itu. Hal ini sesuai dengan
pembatasan wewenang yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP
yang berbunyi:
“Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1)
huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang
menjadi landasan hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan
tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri”
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 PP No. 43 Tahun 2012, yang
dimaksud dengan PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku
Penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan
1 M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan
dan Penuntutan, jet VII, Jakarta, Sinar Grafika, Hal. 113
14
tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing.
Jadi penulis menyimpulkan bahwa, Penyidik PPNS merupakan
penyidik dari pegawai negeri sipil yang dalam hal ini mempunyai tugas
yang berbeda dengan penyidik kepolisian negara republik Indonesia.
Penyidikan yang dilakukan adalah penyidikan tindak pidana tertentu,
biasanya pidana tersebut bukan tindak pidana umum yang biasa
ditangani oleh penyidik kepolisian. PPNS merupakan pejabat PNS yang
ditunjuk dan diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam
tindak pidana tertentu yang menjadi lingkup peraturan undang-undang
yang menjadi dasar hukumnya. Oleh karena itu, instansi/lembaga atau
badan pemerintah tertentu memiliki PPNS masing-masing. Dalam
melaksanakan tugasnya PPNS diawasi serta harus berkoordinasi
dengan penyidik Kepolisian.
3. Tugas dan Kewenangan Penyidikan yang Ditentukan Dalam
KUHAP
a. Tugas Penyidik
Yang berwenang melakukan penyidikan dicantumkan dalam Pasal
6 KUHAP, namun pada prakteknya, sekarang ini terhadap beberapa
tindak pidana tertentu ada penyidik-penyidik yang tidak disebutkan
di dalam KUHAP. Untuk itu pada subbab ini akan dipaparkan siapa
sajakah penyidik yang disebutkan di dalam KUHAP dan siapa saja
yang juga yang merupakan penyidik namun tidak tercantum di
dalam KUHAP. Adapun tugas penyidik itu sendiri antara lain
adalah:
Pertama, membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 KUHAP. (pasal 8 ayat (1)
KUHAP).
15
Kedua, menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. (Pasal
8 ayat (2) KUHAP).
Ketiga, penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau
pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga
merupakan tindak pidana korupsi wajib segera melakukan
penyidikan yang diperlukan (Pasal 106 KUHAP). Keempat, menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang
bukti kepada penuntut umum (Pasal 8 ayat (3) KUHAP),.
Kelima, dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu
peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal
tersebut kepada penuntut umum. (Pasal 109 ayat (1) KUHAP).
Keenam, wajib segera menyerahkan berkas perkara penyidikan kepada
penuntut umum, jika penyidikan dianggap telah selesai. (Pasal 110 ayat
(1) KUHAP).
Ketujuh, dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan
untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan
tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum (Pasal 110 ayat
(3) KUHAP).
Kedelapan, setelah menerima penyerahan tersangka, penyidik wajib
melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan
(Pasal 112 ayat (2) KUHAP).
Kesembilan, Sebelum dimulainya pemeriksaan, penyidik wajib
memberitahukan kepada orang yang disangka melakukan suatu tindak
pidana korupsi, tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum
atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat
hukum (Pasal 114 KUHAP).
Kesepuluh, wajib memanggil dan memeriksa saksi yang
menguntungkan bagi tersangka (Pasal 116 ayat (4) KUHAP).
Kesebelas, wajib mencatat dalam berita acara sesuai dengan kata yang
dipergunakan oleh tersangka (Pasal 117 ayat (2) KUHAP).
Keduabelas, wajib menandatangani berita acara pemeriksaan
tersangka dan atau saksi, setelah mereka menyetujui isinya (Pasal 118
ayat (2) KUHAP).
Ketigabelas, dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah
perintah penahanan dijalankan, penyidik harus mulai melakukan
pemeriksaan (Pasal 122 KUHAP).
Keempatbelas, dalam rangka melakukan penggeledahan rumah, wajib
terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenalnya kepada tersangka atau
keluarganya (Pasal 125 KUHAP).
Kelimabelas, membuat berita acara tentang jalannya dan hasil
penggeledahan rumah (Pasal 126 ayat (1) KUHAP).
Keenambelan, membacakan terlebih dahulu berita acara tentang
penggeledahan rumah kepada yang bersangkutan, kemudian diberi
tanggal dan ditandatanganinya, tersangka atau keluarganya dan atau
kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi (Pasal 126
ayat (2) KUHAP).
Ketujuhbelas, wajib menunjukkan tanda pengenalnya terlebih dahulu
dalam hal melakukan penyitaan (Pasal 128 KUHAP).
16
Kedelapanbelas, memperlihatkan benda yang akan disita kepada
keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita
itu dengan disaksikan oleh Kepala Desa atau ketua lingkungan dengan
dua orang saksi (Pasal 129 ayat (1) KUHAP).
Kesembilanbelas, Penyidik membuat berita acara penyitaan (Pasal
129 ayat (2) KUHAP).
Keduapuluh, menyampaikan turunan berita acara penyitaan kepada
atasannya, keluarganya dan Kepala Desa (Pasal 129 ayat (4) KUHAP).
Keduapuluh satu, menandatangani benda sitaan sesaat setelah
dibungkus (Pasal 130 ayat (1) KUHAP). 2
Tugas dari penyidik sudah sangat jelas disebutkan dalam
KUHAP seperti yang disebutkan penulis diatas seperti membuat berita
acara tentang pelaksanaan tindakan, menyerahkan berkas perkara,
kepada penuntut umum, menerima laporan atau pengaduan tentang
terjadinya peristiwa dan lain-lain. Menurut penulis kutipan yang telah
dikutip ini memberikan penjelasan yang sangat jelas karena
berdasarkan undang-undang juga dan sangat jelas memberikan
penjelasan mengenai tugas dari penyidik itu sendiri karena dimana
tugas akhir penulis membahas mengenai penyidikan jadi harus
mengetahui siapa itu penyidik dan apa tugasnya. Kutipan ini dirasa
penulis jelas sehingga penulis mengutip tugas dari penyidik ini dari
internet.
b. Kewenangan Penyidik
Pengertian kewenangan menurut kamus besar bahasa Indonesia
(KBBI) adalah kekuasaan membuat keputusan memerintah dan
melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Berbicara
kewenangan memang menarik, karena secara alamiah manusia
sebagai makhluk sosial memiliki keinginan untuk diakui ekstensinya
sekecil apapun dalam suatu komunitasnya,dan salah satu faktor yang
mendukung keberadaan ekstensi tersebut adalah memiliki
kewenangan. Secara pengertian bebas kewenangan adalah hak
2 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21768/3/Chapter%20II.pdf
17
seorang individu untuk melakukan sesuatu tindakan dengan batas-
batas tertentu dan diakui oleh individu lain dalam suatu kelompok
tertentu.3
Kewenangan dapat dimiliki oleh semua orang khususnya
seseorang yang memiliki jabatan, mereka biasanya mempergunakan
kewenangannya sesuai keinginan. Seperti dijelaskan diatas menurut
kamus besar bahasa Indonesia, kewenangan bisa dilimpahkan
kepada orang lain. Penulis mengutip pengertian kewenangan
menurut kamus besar bahasa Indonesia karena sangat jelas
pengertian dari kewenangan itu sendiri dan di dalam tugas akhir ini
penulis membutuhkan pengertian kewenangan secara umum agar
pembaca tugas akhir ini bisa mengerti apa itu kewenangan. Dalam
pembahasan selanjutnya penulis menjelaskan tentang kewenangan
dari seorang penyidik maka dari itu penulis mengutip pengertian
kewenangan dari kamus besar bahasa Indonesia, agar pembaca lebih
jelas dan mengerti mengenai kewenangan.
Kemudian kewenangan dari penyidik adalah:
1. Sesuai dengan pasal 7 ayat (1) KUHAP, penyidik berwenang untuk
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
3 Pengertian Kewenangan. http://www.negarahukum.com/hukum/pengertian-
kewenangan.html. Diakses Tanggal 5 Februari 2015
18
g. Memanggil orang untuk diperiksa sebagai tersangka atau saksi
(Pasal 7 ayat (1) jo Pasal 112 ayat (1) KUHAP);
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab;
2. Dalam hal dianggap perlu dapat meminta pendapat seorang ahli
atau orang yang memiliki keahlian khusus (Pasal 120 KUHAP
jo Pasal 133 ayat (1) KUHAP).
3. Penyidik dapat mengabulkan permintaan tersangka, keluarga,
atau penasihat hukum tersangka atas penahanan tersangka
(Pasal 123 ayat (2) KUHAP).
4. Penyidik dapat mengadakan penjagaan atau penutupan tempat
atau rumah yang digeledah demi keamanan dan ketertiban
(Pasal 127 ayat (1) KUHAP).
5. Penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap
perlu tidaknya meninggalkan tempat terrsebut selama
penggeledahan berlangsung (Pasal 127 ayat (2) KUHAP).
6. Dalam hal timbul dugaan kuat ada surat palsu atau yang
dipalsukan, penyidik dengan izin ketua pengadilan negeri
setempat dapat datang atau dapat minta kepada pejabat
penyimpan umum yang wajib dipenuhi, supaya ia mengirimkan
surat asli yang disimpannya itu kepadanya untuk dipakai
sebagai bahan perbandingan (Pasal 132 ayat (2) KUHAP)4
Menurut pendapat penulis seorang penyidik memang tetap
mempunyai kewenangan karena dalam undang-undangpun
kewenangan dari seorang penyidik sudah jelas disebutkan diatas.
Penyidik juga tidak sembarangan menerima laporan dari seorang
pelapor apabila laporan tersebut tidak disertai bukti yang kuat,
karena penyidik di sini harus mengetahui secara jelas bukti dari
laporan seorang pelapor agar proses penyidikan bisa berjalan sesuai
prosedur dan berjalan dengan baik. Maka dari itu diperlukan seorang
penyidik yang mengerti akan hukum yang berlaku agar mereka bisa
4 Ibid
19
mengetahui apa kewenangan dari pelapor maupun kewenangan
penyidik itu sendiri. Penulis mengutip kutipan diatas karena penulis
merasa bahwa hal yang dijelaskan mengenai penyidik sangat
lengkap sehingga itu menjadi bahan bersendiri dan tambahan ilmu
bagi penulis.
Dalam melaksanakan tugasnya tersebut Penyidik wajib
menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Untuk itu Penyidik
membuat berita acara pelaksanaan tindakan (Pasal 75 KUHAP)
tentang:5
1. Pemeriksaan tersangka;
2. Penangkapan;
3. Penahanan;
4. Penggeledahan;
5. Pemasukan rumah;
6. Penyitaan benda;
7. Pemeriksaan surat;
8. Pemeriksaan saksi;
9. Pemeriksaan tempat kejadian;
10. Pelaksanaan Penetapan dan Putusan Pengadilan
11. Pelaksanaan tindakan lain sesuai KUHAP.
Dengan penjelasan diatas peneliti menyimpulkan bahwa, di dalam
menangani sebuah kasus kita harus tahu terlebih dahulu siapa pihak yang
berwenang untuk melakukan penyidikan, karena sudah jelas dalam KUHAP
siapa saja penyidik yang boleh melakukan penyidikan dalam sebuah kasus.
Penyidik sangat penting dalam proses penyidikan karena untuk
mengungkap kasus apa yang telah terjadi dan juga penyidik juga harus
berkompeten dalam menjalankan tugasnya, tanpa ada penyidik seperti
penyidik kepolisian republik Indonesia, PPNS, penyidik pembantu dan lain-
5 Darwan Prinst, 1989, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta, Djambatan, Hal. 92-
93
20
lain maka tidak akan berjalan dengan baik sebuah kasus atau tidak akan
terungkap, di sinilah pentingnya penyidik dalam proses penyidikan seperti
kasus yang sekarang diteliti oleh penulis.
B. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana
1. Istilah Tindak Pidana
Banyak pengertian atau istilah tentang tindak pidana, para ahli juga
mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai tindak pidana. Istilah
tindak pidana hakikatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan
kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Kata strafbaarfeit kemudian
diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia.
Beberapa kata yang digunakan untuk menterjemahkan kata strafbaarfeit
oleh sarjana-sarjana Indonesia antara lain : tandak pidana, delict, perbuatan
pidana. Sementara dalam berbagai perundang-undangan sendiri digunakan
berbagai istilah untuk menunjuk pada pengertian strafbaarfeit. Beberapa
istilah yang digunakan dalam undang-undang tersebut antara lain :6
1. Peristiwa pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam undang-
undang dasar sementara tahun 1950 khususnya dalam pasal 14.
2. Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam undang-undang nomor
1 tahun 1951 tentang tindak pidana sementara untuk
menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan, dan acara
pengadilan-pengadilan sipil.
3. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam
undang-undang darurat nomor 2 tahun 1951 tentang perubahan
Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingan.
4. Hal yang diancam dengan hukum, istilah ini digunakan dalam
undang-undang darurat nomor 16 tahun 1951 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan.
6 Tongat, 2009, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,
Malang, UMM Press, Hal. 101
21
5. Tindak pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang,
misalnya :
a. Undang-undang darurat nomor 7 tahun 1953 tentang pemilihan
umum
b. Undang-undang darurat nomor 7 tahun 1953 tentang pengusutan,
penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi.
c. Penetapan presiden nomor 4 tahun 1964 tentang kewajiban kerja
bakti dalam rangka pemasyarakatan bagi terpidana karena
melakukan tindak pidana merupakan kejahatan.
Penggunaan berbagai istilah tersebut pada hakikatnya tidak menjadi
persoalan, sepanjang penggunaannya disesuaikan dengan konteksnya
dan dipahami maknanya, karena itu berbagai istilah tersebut digunakan
secara bergantian, bahkan dalam konteks yang lain juga digunakan
istilah kejahatan untuk menunjukkan maksud yang sama.7
Menurut penulis, tindak pidana adalah satu perbuatan dimana
perbuatan yang dilakukan tersebut dilarang dalam satu peraturan dan
apabila ada yang melanggar satu aturan tersebut maka akan mendapat
sanksi sesuai dengan ketentuan yang ada. Banyak pendapat mengenai
tindak pidana itu sendiri tetapi intinya sama yaitu melakukan
pelanggaran atau hal yang dilarang oleh undang-undang.
2. Pengertian Tindak Pidana Menurut Doktrin Hukum Pidana
Sebagai salah satu essential dalam hukum pidana, masalah tindak
pidana perlu diberikan penjelasan yang memadai. Penjelasan ini dirasa
sangat urgen oleh karena penjelasan tentang masalah ini akan
memberikan pemahaman kapan satu perbuatan dapat diskualifikasi
sebagai perbuatan/tindak pidana dan kapan tidak. Dengan demikian
7 Ibid, Hal. 102
22
dapat diketahui dimana batas-batas satu perbuatan dapat disebut
perbuatan /tindak pidana.8
Secara doktrinal dalam hukum pidana dikenal adanya pandangan
tentang perbuatan pidana, yaitu pandangan monistis dan pandangan
dualistis. Untuk mengetahui bagaimana dua pandangan tersebut
memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud perbuatan/tindak
pidana, berikut uraian tentang kedua pandangan tersebut :
a. Pandangan Monistis
Pandangan monistis adalah satu pandangan yang melihat yang
melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya
merupakan sifat dari perbuatan. Pandangan ini memberikan
prinsip-prinsip pemahaman, bahwa di dalam pengertian
perbuatan/tindak pidana sudah tercakup di dalamnya perbuatan
yang dilarang (Criminal act) dan pertanggungjawaban
pidana/kesalahan (Criminal responsibility). Berikut disajikan
beberapa batasan/pengertian tindak pidana dari para sarjana yang
menganut pandangan monistis :
Menurut Simon, tindak pidana adalah tindakan melanggar
hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan
sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas
tindakannya dan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai satu
tindakan yang dapat dihukum. Dengan batasan seperti ini, maka
8 Ibid, Hal 104-105
23
menurut Simon, untuk adanya satu tindak pidana harus dipenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:9
1. Perbuatan manusia, baik dalam arti perubahan positif (berbuat)
maupun perbuatan negatif (tidak berbuat).
2. Diancam dengan pidana
3. Melawan hukum
4. Dilakukan dengan kesalahan
5. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab
Dengan penjelasan seperti ini maka tersimpul, bahwa
keseluruhan syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan
pidana. Simons tidak memisahkan antara Criminal act dan
Criminal responsibility. Apabila diikuti pendapat ini, maka apabila
ada seseorang yang melakukan pembunuhan eks pasal 338 KUHP,
tetapi kemudian ternyata orang yang melakukan pembunuhan itu
adalah orang yang tidak mampu bertanggungjawab, misalnya oleh
karena orang gila, maka dalam hal ini tidak dapat dikatakan telah
melakukan tindak pidana. Secara gampang bisa dijelaskan
mengapa peristiwa itu tidak dapat disebut tindak pidana, sebab
unsur-unsur tindak pidanannya tidak dipenuhi, yaitu unsur orang
yang mampu bertanggungjawab. Oleh karena tidak ada tindak
pidana, maka juga tidak ada pidana.
Penulis setuju dengan pandangan monistis yang mengatakan
bahwa satu tindak pidana terdapat dua unsur yaitu perbuatan yang
dilarang dan pertanggungjawaban, artinya satu perbuatan yang
9 Dalam Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,
Malang, UMM Press, Hal. 105-106
24
dilarang dan ada yang melanggarnya maka harus ada
pertanggungjawaban dari seseorang yang melakukan pelanggaran
agar sanksi dapat dijalankan, apabila yang melakukan pelanggaran
atau tindak pidana tidak bisa mempertanggungjawabkan
perbuatannya maka orang tersebut tidak bisa di hukum karena
mengalami gangguan jiwa (gila). Pendapat Simon lebih jelas
menyebutkan unsur apa saja yang disebut dengan tindak pidana,
sehingga penulis lebih jelas mengerti dan memaknai maksud dari
Simon.
b. Pandangan Dualistik
Berbeda dengan pandangan monistis yang melihat
keseluruhan syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan
pidana, pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana
dan pertanggungjawaban pidana. Apabila menurut pandangan
monistis dalam pengertian tindak pidana sudah tercakup di
dalamnya baik Criminal act maupun Criminal responsibility,
menurut pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya dicakup
Criminal act, dan Criminal responsibility tidak menjadi unsur
tindak pidana. Menurut pandangan dualistis, untuk adanya pidana
tidak cukup hanya apabila telah terjadi tindak pidana, tetapi
dipersyaratkan juga adanya kesalahan/pertanggungjawaban
pidana.10
10 Ibid, Hal. 106-107
25
Untuk memberikan gambaran tentang bagaimana pandangan
dualistis mendefinisikan apa yang dimaksud perbuatan/tindak
pidana., dibawah ini dikemukakan batasan tentang tindak pidana
yang diberikan oleh para sarjana yang menganut pandangan
dualistis.
Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang
diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut.
Dengan penjelasan seperti tersebut, maka untuk terjadinya
perbuatan/tindak pidana harus dipenuhi unsur :
a. Adanya perbuatan (manusia)
b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (hal ini
merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya pasal 1
ayat 1 KUHP)
c. Bersifat melawan hukum (hal ini merupakan syarat materiil,
terkait dengan diikutinya ajaran sifat melawan hukum materiil
dalam fungsinya yang negatif). Dari definisi/pengertian
perbuatan/tindak pidana yang diberikan moeljatno di atas
tersimpul, bahwa dalam pengertian tentang tindak pidana tidak
tercakup pertanggungjawaban pidana (Criminal
responsibility). Namun demikian, moeljatno juga menegaskan,
bahwa untuk adanya pidana tidak cukup hanya dengan telah
terjadinya tindak pidana, tanpa mempersoalkan apakah orang
yang melakukan perbuatan itu mampu bertanggungjawab atau
tidak. Jadi peristiwanya adalah tindak pidana, tetapi apakah
orang yang telah melakukan perbuatan itu benar-benar
dipidana atau tidak, akan dilihat bagaimana keadaan batin
orang itu dan bagaimana hubungan batin antara perbuatan
yang terjadi dengan orang itu. Apabila perbuatan yang terjadi
itu dapat dicelakan kepada orang itu yang berarti dalam hal ini
ada kesalahan dalam diri orang itu maka orang itu dapat
dijatuhi pidana, demikian sebaliknya.
Sebenarnya tidak ada perbedaan yang mencolok mengenai
kedua pandangan ini, hanya saja memisahkan antara perbuatan
pidana dengan pertanggungjawaban pidana yang intinya tetap
26
sama bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang tetapi
dilakukan dan harus ada pertanggungjawaban dari pelaku atau
orang yang melakukan perbuatan tersebut.
Setelah diketahui dua pandangan tentang perbuatan pidana
yaitu pandangan Monistis dan pandangan Dualistis, berikut ini
akan dijelaskan seberapa jauh urgensi perbedaan itu dalam hukum
pidana.
Apabila dikaitkan dengan syarat adanya pidana atau syarat
penjatuhan pidana, kedua pandangan diatas sebenarnya tidak
mempunyai perbedaan yang mendasar. Dua pandangan itu, baik
pandangan Monistis maupun pandangan Dualistis, sama-sama
mempersyaratkan, bahwa untuk adanya pidana harus ada
perbuatan/tindak pidana (Criminal act) dan pertanggungjawaban
pidana (Criminal responsibility/Criminal liability). Yang
membedakan dua pandangan diatas adalah, bahwa dalam
pandangan Monistis keseluruhan syarat untuk adanya pidana
dianggap melekat pada perbuatan pidana oleh karena dalam
pengertian tindak pidana tercakup baik Criminal act maupun
criminal responsibility, sementara dalam pandangan Dualistis
keseluruhan syarat untuk adanya pidana tidak melekat pada
perbuatan pidana oleh karena dalam pengertian tindak pidana
hanya mencakup Criminal act tidak mencakup Criminal
27
responsibility. Ada pemisahan antara perbuatan (pidana) dengan
orang yang melakukan perbuatan (pidana) itu.11
Dengan penjelasan diatas peneliti menyimpulkan bahwa
dalam melakukan tindak pidana adalah melakukan perbuatan yang
dilarang dimana harus ada pertanggung jawaban oleh seseorang
yang melakukan perbuatan yang dilarang yaitu tindak pidana. dua
unsur tersebut saling ada keterkaitan dimana seseorang yang
melakukan tindak pidana harus bisa mempertanggungjawabkan
perbuatan yang dilakukannya didepan hukum. Jadi apabila ada
seseorang yang melakukan tindak pidana atau perbuatan yang
dilarang tetapi orang tersebut tidak bisa mempertanggungjawabkan
perbuatannya maka tidak bisa dihukum atau ditindak berarti orang
ini mengalami gangguan jiwa atau psikisnya terganggu.
3. Pengertian Tindak Pidana Menurut Hukum Adat
Menurut hukum adat, tindak pidana atau delik adat adalah setiap
gangguan segi satu terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari
segi satu pada barang-barang kehidupan materiil dan immateriil orang-
orang, atau daripada orang-orang banyak yang merupakan satu kesatuan
(segerombolan). Tindakan sedemikian itu menimbulkan satu reaksi
yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat ialah
11 Ibid, Hal. 108-109
28
reaksi adat karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus
dipulihkan kembali.12
Dalam pandangan hukum adat juga mempermasalahkan mengenai
benturan dalam satu perbuatan yang maksudnya adalah perbuatan yang
dimana perbuatan tersebut saling bertolak belakang yang menimbulkan
reaksi sosial dalam masyarakat, intinya perbuatan yang dilarang apabila
dilakukan tanpa mempunyai rasa bersalah sama sekali atau tanpa ada
pertanggungjawaban maka akan ada reaksi yang tidak diinginkan.
Sementara itu Bashar Muhammad, merumuskan bahwa delik adat
adalah satu perbuatan sepihak dari seorang atau kumpulan perorangan,
mengancam atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan dalam
kehidupan persekutuan, bersifat materiil atau immateriil, terhadap orang
seorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan, tindakan atau
perbuatan yang demikian mengakibatkan satu reaksi adat yang
dipercayainya dapat memulihkan keseimbangan yang telah terganggu,
antara lain dengan berbagai jalan dan cara, dengan pembayaran adat
berupa barang, uang, mengadakan selamatan, memotong hewan
besar/kecil dan lain-lain. Berdasarkan batasan-batasan tersebut diatas,
maka tersimpul, bahwa delik adat memuat unsur-unsur sebagai berikut:
1. Perbuatan sepihak dari seorang ataupun kumpulan perorangan
2. Perbuatan tersebut mengganggu keseimbangan
persekutuan/masyarakat
3. Perbuatan tersebut bersifat materiil dan immateriil
12 Tongat, 2009, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,
Malang, UMM Press, Hal. 110
29
4. Perbuatan tersebut ditujukan terhadap orang seorang atau
masyarakat
5. Mengakibatkan reaksi adat
Dengan unsur-unsur seperti tersebut diatas terlihat, bahwa delik adat
merupakan setiap perbuatan dari seseorang atau kumpulan orang
(badan hukum) baik bersifat materiil atau immateriil yang ditujukan
terhadap orang atau perkumpulan orang yang menimbulkan gangguan
keseimbangan masyarakat dan menimbulkan reaksi adat.13
Menurut pendapat bashar muhammad satu perbuatan pidana yaitu
perbuatan sepihak dari seseorang atau kumpulan perorangan,
mengancam atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan orang
lain akan mengakibatkan reaksi, jadi sebenarnya tidak jauh beda
pendapat bashar muhammad dengan menurut hukum adat yaitu
perbuatan yang dilakukan tersebut adalah perbuatan yang dilarang dan
mengakibatkan reaksi sosial, hanya saja bashar menambahkan lebih
lengkap yaitu mengancam atau menyinggung. Inti dari semua ini
hanya satu yaitu perbuatan yang dilarang apabila dilakukan akan
menimbulkan reaksi yang berbeda.
4. Pengertian Tindak Pidana Menurut Hukum Islam
Dalam konteks hukum pidana islam istilah tindak pidana sering juga
disebut dengan istilah jariah. Menurut hukum pidana islam tindak
pidana (jarimah) adalah perbuatan-perbuatan yang terlarang menurut
syara’ yang pelakunya diancam dengan pidana huud atau ta’ziir.
13 Dalam Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,
Malang, UMM Press, Hal. 111
30
Menurut para ahli filsafat hukum islam, setidaknya ada 5 (lima)
kepentingan pokok yang menjadi pusat perhatian dan titik tolak setiap
pengaturan hukum. Artinya, hukum islam mengenai apapun yang telah
ditetapkan dalam Nash Al-Qur’an, al hadist, al qonun (perundang-
undangan) maupun yang masih akan ditetapkan sebagai respon yuridis
terhadap problem-problem baru yang muncul, harus bersifat
mendukung terhadap terwujudnya lima kepentingan tersebut.
Kelima kepentingan tersebut adalah :
1. Terpeliharanya masalah eksistensi agama
2. Terjaminnya hak hidup (jiwa) manusia
3. Terjaganya masalah hak milik (harta)
4. Terjaganya kesucian akal
5. Terjaganya kesucian keturunan dan harga diri (martabat)
manusia
Melihat kelima kepentingan pokok yang menjadi titik tolak
pengaturan hukum islam diatas tersimpul, bahwa maksud disyari’atkan
hukum islam adalah demi terwujudnya kemaslahatan atau kebaikan
dalam hidup manusia dan sekaligus untuk mencegah timbulnya
mafsadah atau kerusakan dalam hidup manusia itu sendiri. Dengan
demikian secara argumentatif a contrario dapat disimpulkan, bahwa
perbuatan apapun yang dapat menghambat/mencegah terwujudnya
maksud di syari’atkannya hukum islam tersebut harus dilihat atau
dinyatakan sebagai tindak pidana (jatimah), dalam arti sebagai
perbuatan yang tercela/terlarang.14
14 Ibid, Hal. 111-112
31
Menurut penulis pendapat tindak pidana dalam hukum islam lebih
baik dan lembut mengartikan arti atau makna tindak pidana, lebih logis
karena sesuai dengan syariat yang ada dalam islam khususnya al-
Qur’an. Ininya sama yaitu perbuatan yang dilarang tidak boleh
dilakukan karena dalam syariat islam hal tersebut dilarang.
C. Tinjauan Umum Tentang Penambangan Mineral dan Batubara
1. Pengertian Penambangan
Menurut Undang-undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, penambangan adalah bagian
kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau
batubara dan mineral ikutannya. Pertambangan dilakukan berdasarkan
prosedur dan persyaratan yang telah ditetapkan dalam beberapa
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pertambangan.
Peraturan perundang-undangan itu disebut hukum pertambangan.
Sistem pengelolaan pertambangan di Indonesia bersifat pluralistik, hal
ini disebabkan beraneka ragam kontrak izin pertambangan yang berlaku
saat ini. Ada kontrak atau izin pertambangan yang berlaku yang
didasarkan pada undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
ketentuan-ketentuan pokok pertambangan dan ada izin yang
diberlakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Ada dua hal yang diatur dalam undang-undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yaitu bahan tambang
32
mineral dan batubara. Apabila dikaji ketentuan atau pasal dalam
undang-undang ini, tidak ditemukan pengertian hukum pertambangan
mineral dan batubara. Namun, untuk memahami pengertian hukum
pertambangan, khususnya hukum pertambangan mineral dan batubara,
maka perlu dikemukakan pengertian hukum pertambangan pada
umumnya. Hukum pertambangan merupakan seperangkat aturan yang
bertujuan untuk melindungi kepentingan yang berkaitan dengan
industri pertambangan dan untuk meminimalkan konflik antara
perusahaan tambang dan memberikan penjelasan yang bersifat umum
kepada siapa saja yang mempunyai hak-hak untuk melakukan kegiatan
pertambangan. Mereka tidak pernah bermaksud buntu mengendalikan
kegiatan pertambangan atau dampaknya terhadap tanah atau orang.
Kita harus melihat hukum untuk melindungi kepentingan-kepentingan
yang berkaitan dengan pertambangan.
Dalam undang-undang dan buku yang penulis buat referensi sangat
jelas disebutkan apa pengertian dan jenis-jenis mineral dan batubara
sesuai dengan apa yang dibahas oleh penulis sehingga alasan penulis
membuat referensi buku ini dan undang-undang karena penulis merasa
bahwa buku dan undang-undang ini sangat bermanfaat dan membantu
penulis dalam mengerjakan tugas akhir ini.
2. Jenis-Jenis Mineral Dan Batubara
Agar dapat diklasifikasikan sebagai mineral sejati, senyawa tersebut
haruslah berupa padatan dan memiliki struktur kristal. Senyawa ini juga
33
harus terbentuk secara alami dan memiliki komposisi kimia yang
tertentu. Definisi sebelumnya tidak memasukkan senyawa seperti
mineral yang berasal dari turunan senyawa organik. Bagaimanapun
juga, The International Mineralogical Association tahun 1995 telah
mengajukan definisi baru tentang definisi material:
Mineral adalah suatu unsur atau senyawa yang dalam keadaan
normalnya memiliki unsur kristal dan terbentuk dari hasil proses
geologi.15 Klasifikasi modern telah mengikutsertakan kelas organik
kedalam daftar mineral, seperti skema klasifikasi yang diajukan oleh
Dana dan Strunz
Dalam sistem hukum Kanada, bahan tambang dibedakan tiga jenis,
yaitu:
1. Metal (logam)
2. Non-metal (bukan logam), dan
3. Energy-releated (energi tambang).16
Logam, meliputi:
1. Logam
2. Logam dasar
3. Uranium
4. Bijih besi, dan
5. Emas.
Bahan tambang non logam, meliputi:
1. Garam
15 Definisi Mineral. Ernest H. Nickel, 1995, The definition of a mineral, The Canadian
Mineralogist, vol. 33, pp. 689 - 690
16 Dalam Salim, 2012, Hukum Pertambangan Mineral Dan Batubara, Jakarta, Sinar Grafika,
Hal. 48
34
2. Kuarsit, dan
3. Mineral industri terkait.
Energi tambang, meliputi:
1. Batubara, dan
2. Permukaan tanah.
Dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara telah
ditentukan lima golongan komuditas tambang dan masing-masing
komuditas itu dibagi dalam beberapa golongan. Kelima golongan itu,
meliputi:
1. Mineral radioaktif
2. Mineral logam
3. Mineral bukan logam
4. Batuan, dan
5. Batubara.
Komoditas dan penggolongan tambang diatas, dapat berubah yang
disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pejabat yang diberikan kewenangan untuk mengubah komuditas
tambang itu adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.17
Mengapa penulis mengutip beberapa ilmu atau pendapat para ahli
dari buku ini ini sebagai referensi, karena materi dalam buku ini dirasa
penulis bisa membantu dan memberikan banyak sekali tambahan
referensi agar penulis bisa menyelesaikan tugas akhir dengan baik,
seperti pengertian atau penjelasan penambangan dan jenis-jenis
17 Salim, 2012, Hukum Pertambangan Mineral Dan Batubara, Jakarta, Sinar Grafika, Hal. 55
35
tambang dan juga kegiatan usaha pertambangan dimana ini semua
berhubungan dengan tugas akhir pennulis yang saat ini sedang
dikerjakan oleh penulis
3. Tujuan Pengelolaan Pertambangan Mineral Dan Batubara
Pengelolaan mineral dan batubara merupakan upaya untuk
mengurus, mengendalikan dan merumuskan kebijakan dalam
pelaksanaan kegiatan pertambangan mineral dan batubara. Sementara
itu, tujuan pengelolaan mineral dan batubara telah ditegaskan dalam
Pasal 3 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara. Tujuannya adalah:
1. Menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan
usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan
berdaya saing;
2. Menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;
3. Menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku
dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri;
4. Mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional
agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan
internasional;
5. Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara,
serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar
kesejahteraan rakyat; dan
6. Menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan
usaha pertambangan mineral dan batubara.
Keberhasilan dalam pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan
mineral dan batubara tergantung kepada kepastian hukum. Kepastian
hukum ini berkaitan dengan kepastian tentang hak dan kewajiban,
terutama dari pemegang IUP dan IUPK. Pemegang IUP dan IUPK
menginginkan adanya kepastian dalam berusaha, terutama dengan
36
kaitannya dengan letak wilayah izin usaha pertambangan (WIUP). Hal
ini, sering menjadi masalah di dalam implementasinya.18
Di dalam sistem hukum China telah ditemukan tujuan pengelolaan
dan pemanfaatan mineral. Tujuannya adalah meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sosialis yang modern.19 Begitu juga dalam
sistem hukum Jepang. Tujuannya, yaitu meningkatkan kesejahteraan
umum (Public wellfare).20
Dari penjelasan diatas peneliti menyimpulkan bahwa,
penambangan tidak boleh dilakukan sembarangan, karena sudah ada
prosedur dan sudah ada aturan didalam Undang-undang Nomor 4
Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, seperti soal
izin melakukan penambangan, wilayah tambang, dampak
pertambangan hingga ketentuan pidana sudah jelas diatur dalam
undang-undang tersebut. Kurangnya sosialisasi dari pihak terkait
kepada masyarakat tentang pertambangan ini yang membuat hal-hal
yang tidak diinginkan masih saja terjadi, padahal sudah sangat jelas
diatur dalam undang-undang.
Dampak dari penambangan liar yang dilakukan oleh pihak yang
tidak bertanggungjawab ini yang menjadi masalah, masyarakat yang
tidak mengerti merasakan dampaknya seperti, longsor, banjir dll.
Penegak hukum harus bertindak tegas atas permasalahan ini karena
18 Ibid, Hal. 56
19 Dalam Salim, 2012, Hukum Pertambangan Mineral Dan Batubara, Jakarta, Sinar Grafika,
Hal. 56-57
20 Ibid
37
sangat meresahkan dan berdampak luar biasa bagi masyarakat.
Merusak lingkungan juga satu perbuatan yang seharusnya mendapatkan
hukuman, karena disini kami tinggal bersama jadi mari kita rawat
lingkungan di sekitar kita jangan malah di rusak. Saran dari penulis
untuk penyidik di Polres Mojokerto agar menindak penambang-
penambang liar yang tidak mengantongi izin ini.