bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan umum ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/bab ii.pdf · masyarakat...

31
21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihad 1. Pengertian Ijtihad Kata ijtihad asal katanya adalah jahada, secara bahasa artinya “pencurahan segala kemampuan untuk memperoleh suatu dari berbagai urusan”. Perkataan tersebut menunjukkan pekerjaan yang cukup sulit dilakukan atau lebih dari seperti biasanya. Ringkasnya, ijtihad berarti bersungguhsungguh atau kerja keras untuk mencapai sesuatu. 28 Ijtihad memiliki makna khusus di dalam Islam, yaitu pencurahan semua kemampuan secara maksimal agar memperoleh suatu hukum syara’ yang amali melalui penggunaan sumber syara’ yang diakui dalam Islam. 29 Sedangkan dalam definisi yang lain disebutkan, menurut Muhammad Khudari Bik, “ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fikih atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukumhukum syara’”. 30 Seorang filosof yakni Fazlur Rahman berpendapat bahwa, ijtihad mengacu pada seluruh kemampuan para ahli hukum sampai pada titik akhir untuk memperoleh prinsip dan aturan hukum dari sumber hukum Islam”. 31 28 Muhammad Musa Towana. al-Ijtihad: Madha Hajatina Ilaihi fi Hadha al-‘Asr. Dar alKutub alHadithah. Kairo. 1972. Hal. 97. 29 AlAmidi. alIhkam fi Usul alAhkam. Muassasah alHalabi. Kairo. 1967. Hal. 204, juz 3. 30 Muhammad Khudari Bik. Usul alFiqh. Dar alFikr. Beirut. 1981. Hal. 367. 31 Fazlur Rahman. Post Formative Developments in Islam. Islamic Studies. Karachi. 1963. Hal. 12.

Upload: others

Post on 03-Sep-2019

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Ijtihad

1. Pengertian Ijtihad

Kata ijtihad asal katanya adalah jahada, secara bahasa artinya

“pencurahan segala kemampuan untuk memperoleh suatu dari berbagai

urusan”. Perkataan tersebut menunjukkan pekerjaan yang cukup sulit

dilakukan atau lebih dari seperti biasanya. Ringkasnya, ijtihad berarti

bersungguh‐sungguh atau kerja keras untuk mencapai sesuatu.28

Ijtihad memiliki makna khusus di dalam Islam, yaitu pencurahan semua

kemampuan secara maksimal agar memperoleh suatu hukum syara’ yang

amali melalui penggunaan sumber syara’ yang diakui dalam Islam.29

Sedangkan dalam definisi yang lain disebutkan, menurut Muhammad

Khudari Bik, “ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang

ahli fikih atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum‐

hukum syara’”.30 Seorang filosof yakni Fazlur Rahman berpendapat bahwa,

“ijtihad mengacu pada seluruh kemampuan para ahli hukum sampai pada

titik akhir untuk memperoleh prinsip dan aturan hukum dari sumber hukum

Islam”.31

28 Muhammad Musa Towana. al-Ijtihad: Madha Hajatina Ilaihi fi Hadha al-‘Asr. Dar al‐Kutub al‐Hadithah. Kairo. 1972. Hal. 97. 29 Al‐Amidi. al‐Ihkam fi Usul al‐Ahkam. Muassasah al‐Halabi. Kairo. 1967. Hal. 204, juz 3. 30 Muhammad Khudari Bik. Usul al‐Fiqh. Dar al‐Fikr. Beirut. 1981. Hal. 367. 31 Fazlur Rahman. Post Formative Developments in Islam. Islamic Studies. Karachi. 1963. Hal. 12.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

22

Salah satu tujuan fundamental hukum Islam yakni mencapai dan

terwujudnya maslahah untuk seluruh insan. Hukum Islam yang berasal dari

al-Qur’an ajaran Allah subhana wa ta’ala menghendaki suatu keadilan dan

kebaikan umat manusia, oleh karena itu menuntut pemeliharaan hingga

kapanpun. Hal tersebut menjadi konsekuensi yang masuk akal dari prinsip

Islam yang umum, lalu dimengerti sebagai nilai ajaran yang meliputi

seluruh aspek kehidupan.32

Dalam berkembangnya Islam, pun juga hukum Islam turut serta

mengalami sanggahan-sanggahan seperti peralihan dan keanekaragaman

kemasyarakatan. Sehingga melindungi kebaikan dan terlindunginya tujuan

hukum Islam pada pelaksanaan kedepannya dilakukan para pakar hukum

dengan jalan berijtihad yang dapat menanggapi dinamika dan peralihan

kemasyarakatan tersebut. Oleh karena itu peralihan kemasyarakatan

tersebut yang mengakibatkan hukum Islam yang bersifat responsif (peka),

adaptis (fleksibel), dan dinamis (bergerak).33

Menganalisa suatu fatwa mengarah pada pembahasan tentang ijtihad

pada seluruh perangkatnya, karena fatwa yang dihasilkan terhadap

masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan.

Dalam menganalisa suatu permasalahan agar memutuskan suatu fatwa, ada

beberapa cara ijtihad yang bisa digunakan yakni ijma’, qiyas, istihsan,

maslahah mursalah, istislab, ‘urf, sad az-zari’ah dan lain-lain. Sebagai

32 Muhammad Muslehuddin. Philoshopy of Islamic Law and The Orientalist: A Comparative Study

of Islamic Legal Syistem. Tiara Wacana. Yogyakarta. 1991. Hal. 97. 33 Fathurahman Jamil. Filsafat Hukum Islam. Logos Wacana Ilmu. Jakarta. 1999. Hal. 49-50.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

23

metodologi istinbath hukum dengan tetap berpegang teguh ajaran bahwa

target yang ingin dicapai dalam hukum Islam yakni menghasilkan kebaikan

(maslahat) dan menghilangkan keburukan (mafsadat).34

Teori kebaikan (maslahat) salah satu cara istinbath hukum Islam yang

sering digunakan untuk menanggapi problematika kontemporer ketika tidak

didapatkan jawabannya di dalam nash. Cara istinbath hukum Islam yang

menegaskan kebaikan (maslahat) yang dibagi menjadi 3 poin yaitu:

1) Maslahat Mu’tabarah adalah kebaikan yang dibantu oleh dalil untuk

menjaganya. Kebaikan macam ini memiliki tiga kedudukan yakni

masālaih daruriyyah, hajjiyah dan tahsiniyah.

2) Maslahat Mulghat adalah kebaikan yang dilepaskan dengan target

adanya kebaikan yang diakui lebih kuat daripada kebaikan sebelumnya

yang diakui lebih lemah, oleh karena itu kebaikan tersebut dilepaskan.

3) Maslahat Mursalah adalah suatu yang tidak didasarkan pada ayat nash

tertentu, baik yang berprinsip umum ataupun khusus.35

Semua hukum yang diraih melalui ijtihad ulama bersifat dinamais

(bergerak) dan fleksibel, karena beralih sesuai dengan peralihan tempat dan

waktu. Selain itu, karena kebaikan seluruh insan itu merupakan suatu target

yang ingin dicapai oleh hukum Islam, maka sudah sepatutnya jika terjadi

peralihan hukum dikarenakan oleh beralihnya periode dan kondisi serta

konsekuensi dari fenomena-fenomena kemasyarakatan pada suatu tempat,

34 Ibid. 35 Ibid.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

24

oleh karena itu pada implementasi hukum Islam terhadap kondisi yang

berbagai macam dibutuhkan kelenturan hukum Islam itu sendiri. Ibnul

Qoyyim pada teorinya mengemukakan bahwa ada lima faktor yang merubah

hukum Islam yakni: (1) waktu; (2) lokasi; (3) kondisi; (4) sasaran; dan (5)

budaya.36

Sehingga bisa dimengerti bahwa hasil hukum Islam yang dihasilkan

dari ijtihad itu bisa berbeda dan beralih mengikuti perkembangan strata

kemajuan yang akan selalu menghadapi peralihan, serta akan selalu

dinamisnya waktu, periode juga beralihnya keadaan.37

2. Dasar Hukum Ijtihad

2.1.Al-Qur-an

An-Nahl [16]:43

كر إن كنتم ال تعلمون إليهم فاسألووما أرسلنا من قبلك إال رجاال نوحي ا أهل الذ

Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad),

kecuali orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka

bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu

tidak mengetahui.”38

Al-Anbiya [21]:7

كر إن كنتم ال تعلمون اوما أرسلنا قبلك إالا رجاالا نوحي إليهم فاسألوا أهل لذ

Artinya: “Kami tidak mengutus (rasul-rasul) sebelum enagkau

(Muhammad), kecuali beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu

36 Ibnul Qoyyim al-Jauziyah. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin. Dar al- Jail. Beirut. 1991.

Hal. 3. 37 Amiur Nuruddin. Ijtihad Umar ibn al-Khattab. Rajawali Press. Jakarta. 1991. Hal. 168. 38 Q.S. An-Nahl [16]:43.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

25

kepada mereka, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu,

jika kamu tiada mengetahui.”39

3. Pengertian dan Syarat Mujtahid

Mujtahid (bahasa Arab: المجتهد) adalah orang yang mampu berijtihad

dengan ilmunya yang tinggi dan lengkap mampu mendalami dan

menyimpulkan hukum-hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan as-

Sunnah.40

Adapun yang menjadi syarat-syarat mujtahid adalah sebagai berikut:

1. Mampu berbahasa Arab dengan baik dan benar;

2. Mengetahui isi dan sistem hukum pada al-Qur’an berserta semua ilmu

untuk memahaminya;

3. Mengetahui hadist-hadist hukum dan ilmu hadist yang berkaitan dengan

pembentukan hukum;

4. Menguasai semua sumber hukum Islam dan metode untuk menarik garis-

garis hukum yang berasal dari sumber hukum Islam;

5. Mengetahui dan menguasai qawa’id al fiqhiyyah;

6. Mengetahui dan memahami rahasia dan semua tujuan hukum Islam;

7. Jujur dan ikhlas semata-mata untuk Allah;

8. Menguasai ilmu-ilmu sosial;

9. Dilakukan dengan kolektif bersama para ahli disiplin ilmu lainnya.41

Syarat nomor 1 sampai dengan 7 dibutuhkan untuk seorang mujtahid

mutlak di masa yang akan datang, akan tetapi sekarang untuk melakukan

ijtihad yang tingkatannya lebih rendah dari mujtahid mutlak syarat-syarat

yang disebutkan di atas bisa diringankan. Selain syarat nomor 1 sampai

dengan 7, seorang mujtahid sudah sewajarnya menguasai dan memenuhi

syarat pada nomor 8 dan 9.42

39 Q.S. Al-Anbiya [21]:7. 40 Alhassanain. Definisi Mujtahid. www.alhassanain.com. Akses 18 Nopember 2018. 41 Muhammad Daud Ali. Hukum Islam. Rajawali Press. Jakarta. 2015. Hal. 118. 42 Ibid.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

26

B. Tinjauan Umum Fatwa

1. Pengertian Fatwa

Fatwa dalam arti menurut bahasa adalah jawaban atas suatu

peristiwa. Sedangkan berdasarkan syara’ yakni menjelaskan hukum syara’

pada permasalahan sebagai tanggapan dari suatu pertanyaan, meskipun

penanya itu jelas data dirinya ataupun tidak diketahui, baik sendiri ataupun

bersama-sama.43

Imam Zamahsyari pada bukunya “al-kasyaf” definisi fatwa yakni

“suatu jalan yang lapang/lurus”. Adapun secara lughawi (bahasa) فتوى, al-

fatwa; mufrodnya fatâwa artinya “petuah, nasehat, jawaban atas pertanyaan

yang bertalian dengan hukum Islam”. Berdasarkan ilmu Ushul Fiqh, fatwa

yakni opini yang dicurahkan oleh mujtahid atau mufti menjadi tanggapan

atas permintaan yang diajukan oleh orang yang memohon fatwa (mustafti)

pada problematika yang sifatnya tidak mengikat, artinya ialah mustafti

tersebut bisa individu atau lembaga atau kelompok atau masyarakat, tidak

harus mengamalkan fatwa tersebut, karena fatwa tersebut tidak memiliki

kekuatan hukum yang mengikat.44

Akan halnya definisi fatwa berdasarkan hukum Islam yakni

interpretasi hukum syar’iyah dalam menanggapi suatu problematika yang

ditanyakan oleh individu yang bertanya, baik interpretasi itu jelas atau tidak

43 Yusuf Qardhawi. Fatwa antara Ketelitian dan Kecerobohan. Jakarta. Gema Insani Press. 1997.

Hal. 5. 44 M. Erfan Riadi. Op.cit.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

27

jelas (ragu-ragu) dan interpretasi itu menargetkan pada dua keperluan yakni

keperluan pribadi dan keperluan masyarakat luas.45

Menurut Drs. Rohadi Abdul Fatah, fatwa adalah “kumpulan nasehat

atau wejangan yang berharga untuk kemaslahatan umat”. Sedangkan

menurut Amir Syarifudin fatwa adalah “usaha memberikan penjelasan

tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum

mengetahuinya”.46

Pembelajaran fatwa-fatwa ulama di Indonesia dapat dilakukan

terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, Muhammadiyah, NU, fatwa

Dewan Fatwa Perhimpunan al-Irsyad atau lembaga lain. Pembelajaran

terhadap fatwa ulama yang ada di Indonesia lebih banyak mengarah

terhadap fikih yang terjadi di Indonesia sesuai dengan problematika yang

ada karena fatwa adalah putusan hukum yang menanggapi problematika

secara praktis dan aktual.47

Aktivitas manusia akan terus tumbuh sejalan dengan

berkembangnya pola pikir dan tradisi manusia. Fatwa ialah penetapan

hukum atas problematika yang dilaksanakan oleh individu atau sekelompok

ulama yang mumpuni dalam aspek ilmu atau kehati-hatiannya. Fatwa sangat

dibutuhkan sejalan dengan polemik masyarakat yang semakin hari semakin

bertambah dan kompleks daripada problematika yang terjadi pada masa

45 Ibid. 46 Rohadi Abdul Fatah. Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqh Islam. Jakarta. Bumi Aksara. 1991.

Hal. 39. 47 Muhammad Atho’ Mudzhar. Fatwa-Fatwa MUI (Sebuah Studi Pemikiran Hukum Islam di

Indonesia 1975-1988). Jakarta. INIS. 1993. Hal. 6.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

28

Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص serta shahabat radhiallahu ‘anhuma ‘ajmain pada era itu.

Permasalahan yang dialami Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص dan para shahabat nabi tidak

sesulit yang dihadapi sekarang, disisi lain Allah subhana wa ta’ala telah

mencukupkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang disampaikan Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص

untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada.48

Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص sebagai rasul yang paling akhir membawa dampak

bahwa semua hukum dan hadits yang telah dicukupkan sewaktu Rasulullah

wafat bisa dipakai untuk mengatasi problematika kontemporer. Dampak ملسو هيلع هللا ىلص

ini menjadi beban tanggung jawab yang cukup berat diemban oleh

masyarakat Islam, terkhususkan kepada para Alim Ulama. Mujtahid atau

mufti mempunyai pekerjaan untuk merinci ayat-ayat yang ada pada al-

Qur’an dan hadits tidak hanya secara latar belakang ataupun asbab al wurud

ataupun juga asbab al nuzul, akan tetapi mereka wajib bisa melatar

belakangi al-Qur’an dan hadits tersebut dengan keadaan kontemporer

sebagai pengejawantahan hadits al-islam shalih li kulli zaman wa makan

yang artinya al-Qur’an dan hadits sebagai kitab suci masyarakat yang

beragama Islam yang dipercayai akan selalu sesuai pada setiap zaman dan

waktu.49

Orang yang berilmu (Ulama) mempunyai beban tugas untuk

menginterpretasikan tanggapan atas problematika yang terjadi pada

masyarakat yang dahulunya tugas ini dipikul oleh Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص, namun

48 Ridwan Nudin. Kedudukan Fatwa MUI Dalam Pengembangan Ekonomi Syariah di Indonesia.

Makalah. Tim Penelitian. 2011. 49 Ibid.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

29

ketika Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص telah wafat, tugas tersebut berpindah kepada para

orang-orang yang berilmu, mereka dapat disebut juga sebagai pewaris

Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص, dalam menyampaikan tanggapan atas problematika yang

diberikan oleh seluruh masyarakat terkait problematika yang mereka sedang

alami. Ulama yakni insan yang memiliki ilmu dan sikap sebagaimana sifat

yang melekat pada Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص. Fungsi ulama berada pada bermacam-

macam profesi seperti peradilan, maka hakim di peradilan tersebut adalah

ulama yang berprofesi sebagai Qadhi (hakim) atau ulama yang

menyampaikan fatwa dapat disebut sebagai Mufti.50

Berkenaan dengan fatwa, ada tiga hal yang menonjol, yaitu:

a. Para pihak yang memiliki kepentingan seperti individu, umat,

pemerintah dan yang lain atas fatwa;

b. Problematika yang memerlukan istinbath hukum;

c. Orang-orang berilmu yang memahami hukum Islam, memiliki yuridiksi

menghasilkan fatwa.51

2. Dasar Hukum Fatwa

Fatwa menjadi suatu usaha ulama untuk menanggapi problematika

yang dialami umat yang membutuhkan penetapan hukum. Kecondongan

intelek yang dilakukan oleh ulama-ulama untuk bisa menanggapi suatu

problematika bersangkutan kuat terhadap ijtihad.

50 Ibid. 51 Ibid.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

30

Seperti firman Allah subhana wa ta’ala dalam al-Quran surat An-

Nahl [16]:43

كر إن كنتم ال تعلمون ا أهل وما أرسلنا من قبلك إال رجاال نوحي إليهم فاسألو الذ

Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad),

kecuali orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka

bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu

tidak mengetahui.”52

Ayat tersebut di atas adalah dasar hukum berkaitan terhadap

bagaimana seorang diinstruksikan untuk bertanya apabila tidak mengetahui

atau membutuhkan kepastian hukum kepada orang yang berilmu.53

3. Para Pihak Pemberi Fatwa

Terdapat syarat-syarat yang wajib dipenuhi agar dapat ditetapkan

sebagai mufti (pemberi fatwa). Imam an-Nawawi mengemukakan bahwa

syarat-syarat tersebut yakni sebagai berikut:

a. Mukallaf;

b. Beragama Islam;

c. Memiliki pribadi yang kuat;

d. Dipercayai;

e. Bersih dari sifat yang tercela;

f. Memiliki jiwa yang kuat;

g. Otaknya cerdas;

52 Q.S. Al-Nahl [16]:43. 53 Ahyar A. Gahyo. Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang Kedudukan Fatwa MUI Dalam

Upaya Mendorong Pelaksanaan Ekonomi Syariah. Jakarta. Laporan Penelitian. Badan Pembinaan

Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI. 2011. Hal. 24.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

31

h. Memiliki pikiran yang tajam;

i. Dapat melakukan penetapan hukum (istinbath hukum);

j. Jasmani dan rohani yang sehat.54

Imam an-Nawawi membubuhkan bahwa agar dapat ditetapkan

menjadi mufti tidak cukup didominasi oleh orang-orang yang jenis

kelaminya pria saja, tetapi wanita pun juga bisa menjadi seorang mufti,

begitu juga orang yang memiliki kekurangan fisik, tetapi orang-orang

tersebut mengerti tulisan atau isyarat yang diberikan kepadanya dalam

tatanannya sebagai mufti.55

Jalaluddin al-Mahalli mengemukakan bahwa menjadi syarat seorang

mufti yakni mengerti semua pendapat dan semua kaidah dalam ushul fiqh

dan fiqh, memiliki kesempurnaan untuk melakukan ijtihad, mengerti ilmu-

ilmu yang diperlukan untuk mengatur suatu hukum (istinbath al-hukm),

seperti ilmu tentang Nahwu, bahasa, mushthalah al-hadits, tafsir al-Qur’an

dan hadistyang berkaitan dengan hukum. Adapun As-Syaukani

mengemukakan tiga syarat yakni mampu berijtihad, al-adl dan terhindar

dari bermudah-mudahan dalam hukum.56

Mufti bisa menghasilkan sebuah fatwa jika memenuhi empat syarat

wajib, yakni (1) mufti tersebut wajib menguasai bahasa arab dengan

keseluruhan dari segala aspeknya; (2) Mufti tersebut memahami ilmu al-

Qur`an dengan keseluruhan dari segala aspeknya yang bersangkutan tentang

54 Ibid. 55 Ibid. 56 Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta. Elsas. 2008. Hal. 36.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

32

hukum-hukum yang disebutkan di dalam al-Qur`an dan mengusai secara

akurat berbagai cara istinbath al-hukm dari ayat-ayat tersebut.57

Fatwa menjadi hasil ijtihad dari mujtahid dan mufti yang dapat

dihasilkan dengan bentuk ucapan ataupun tulisan. Oleh sebab itu, korelasi

antara ijtihad dengan fatwa sangat kuat, karena ijtihad itu menjadi satu

usaha yang maksimum oleh mujtahid untuk menetapkan hukum-hukum

tertentu, sedangkan fatwa berasal dari ijtihad tersebut. Jika tertutup pintu

ijtihad maka tidak ada fatwa.58

Fatwa mampu mengangkat problematika dampak dari orang yang

butuh dasar jawaban menjadi landasan hukum satu amalan yang sifatnya

berkaitan dengan keagamaan atau yang bukan dari keagamaan.59

Dengan terbukanya pintu fatwa dan ijtihad maka secara nyata

ajaran-ajaran Islam akan tumbuh dengan cepat ke seluruh daerah, serta

Islam akan menjadi kuat dan memasyarakat di bumi ini.60

Pada hukum Islam, metode istinbath hukum diformulasikan dalam

satu pembahasan keilmuan khusus. Seperti yang diketahui ilmu hukum

Islam yang sering dikatakan ilmu Ushul Fiqh. Menurut pengertian yang

global adalah penjelasan terkait kaidah-kaidah yang digunakan menjadi

media untuk mengkaji hukum-hukum fiqh, atau dapat didefinisikan juga

57 Ibid. 58 Ibid. 59 Ibid. 60 Ridwan Nudin. Op.cit. Hal. 26.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

33

dengan kaidah-kaidah yang memahamkan terkait metode pengkajian

hukum-hukum yang bersangkutan dengan amalan insan dari nash.61

Objek pengkajian Ushul Fiqh yakni semua yang memiiki hubungan

dengan cara yang dipraktikkan oleh ahli fikih di dalam kajian hukum syara`

sampai-sampai ia tetap pada jalur yang tepat, serta kajian tentang: ihtihsan,

hukum-hukum syara` beserta targtetnya, pembagiannya, keringanan,

`azimah dan lain sebagainya.62

Ilmu Ushul Fiqh kerap merujuk dalil-dalil hukum syara` kepada

Allah subhana wa ta’ala meskipun dalil-dalil yang ada sekedar berfungsi

sebagai media guna memafhumi hukum-hukum Allah. Al-Qur`an-lah yang

menunjukan hukum-hukum Allah atas insan, adapun hadits berperan untuk

merinci al-Qur`an, sebab Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص tidak mengatakan suat hal menurut

keinginan hawa nafsunya. Adapun dalil lainnya adalah mewujudkan cabang

yang merujuk pada al-Qur’an dn as-Sunnah.63

Pada prinsip dasar hukum yang digunakan pada ilmu Ushul Fiqh

berdasarkan urutannya yakni sebagai berikut:

1. al-Qur`an;

2. al-Sunnah;

3. Ijma’ yakni suatu dalil syara` yang mempunyai kedudukan kekuatan

berhujjah satu tingkatan yang ada di bawah al-Qur`an dan as-Sunnah;

4. Qiyas (analogi) yakni menjelasakan hukum yang tidak ada dalam al-Qur`an

dan as-Sunnah dengan metode komparasi pada sesuatu yang ditetapkan

hukumnya berdasarkan nash dengan adanya persamaan sebab (‘illat);

5. Istihsan yakni penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap satu

problematika yang tidak searah dari ketetapan hukum yang diaplikasikan

pada problematika-problematika yang sama, hal ini dikarenkan ada sebab

yang berkekuatan lebih untuk menuntut melakukan penyimpangan itu;

61 Ibid. Hal. 27. 62 Ibid. 63 Ibid.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

34

6. `Urf yakni pola-pola mu`amalah yang sudah mewujudkan budaya dan

sudah dilakukan terus-menerus dalam lingkup masyarakat;

7. Maslahah Mursalah yakni peninjauan kepentingan hukum yang tabiatnya

mencakup lima jaminan dasar, yakni: (a) keamanan aqidah; (b) keamanan

jiwa; (c) keselamatan al-aql; (d) keselamatan kerabat serta keturunan; (e)

keselamatan harta benda;

8. Istihsab yakni hukum sebelumnya akan tetap berlaku, selama tidak ada

dalil yang menggantikan;

9. Syari`at salaful ummah adalah penggunaan hukum syari`at salaful ummah

selama belum ada dalil yang menghapuskan hukum tersebut, punjuga

syari`at itu tidak bisa digunakan menjadi sumber hukum yang

fundamental.64

4. Bentuk-Bentuk Fatwa

Profesi untuk menetapkan fatwa (al-ifta) yakni serupa dengan

ijtihad. Sepakatnya ahli ilmu (ulama) bahwa al-ifta bisa diwujudkan oleh

perindividu (ijtihad fadiy) atau kolektif (ijtihad jama’i). Ijtihad fadiy adalah

individu yang mewujudkan ijtihad terhadap problematika tertentu yang

globalnya bersangkutan dengan kepentingan antar manusia. Adapun ijtihad

jama’i yakni sekelompok para pakar yang melakukan ijtihad terhadap

problematika tertentu yang globalnya bersangkutan dengan kepentingan

umum.65

Cara ijtihad yang dilakukan dengan kolektif ini mendapatkan

justifikasi dari al-Quran, selain itu pernah dilakukan sunnah Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص

serta generasi emas pada 3 abad pertama Hijriah. Sewaktu zaman Rasulullah

dan dimintai pandangannya ملسو هيلع هللا ىلص kerapkali dikumpulkan oleh Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص

terkait suatu masalah. Budaya dalam ijtihad kolektif ini juga dilanggengkan

oleh generasi emas setelah Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص wafat. Di era kontemporer, ijtihad

64 Ibid. Hal. 27-28. 65 Ma’ruf Amin. Op.cit. Hal. 36.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

35

kolektif diwujudkan dengan majelis yang khusus dilangsungkan oleh

organisasi masyarakat di bidang keagamaan, baik tingkat dunia maupun

lokal Indonesia. Pada tingkat dunia diketahui majma’ al-buhuts al-

Islamiyah, majma’ al-fiqh al-Islami, dan lainnya. Adapun pada tingkat lokal

Indonesia dikenal komisi fatwa MUI, bahtsul matsail Nahdlatul Ulama,

majelis tarjih Muhammadiyah, lembaga hisbah Persis, dan Dewan Fatwa

Perhimpunan al-Irsyad. Yang menjadi sebab lebih memilih dilakukannya

ijtihad jama’i daripada ijtihad fadiy antara lain:

a. Terus berkembangnya pembaharuan dalam segala aspek kehidupan.

Problematika kontemporer ini tidak mumpuni apabila diatasi dengan

ijtihad fadiy, oleh sebab itu dibutuhkan adanya satu majelis yang saling

bertukar pendapat dan musyawarah antara ahli ilmu yang memiliki latar

belakang disiplin ilmu beda-beda;

b. Terus berkembangnya pengkhususan ilmu pengetahuan. Dalam

bermacam-macam latar belakang disiplin ilmu khususnya

mengakibatkan ahli ilmu tidak bisa menanggulangi ilmu pengetahuan

yang kompleks seperti apa yang dilakukan ulama salaf. Untuk

mengatasi satu problematika, kerapkali dibutuhkan banyak masukan

dari banyak ahli ilmu yang latar belakangnya bersangkutan dengan

problematika itu.66

5. Kaidah-Kaidah Fatwa Kontemporer

66 Ibid.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

36

Ada beberapa kaidah-kaidah penting untuk berfatwa pada masa

kontemporer ini, yakni sebagai berikut:

1. Kewajiban berfatwa dengan bersandarkan pada ilmu syar’i

Kewajiban berfatwa dengan bersandarkan pada ilmu syar’i termasuk

kaidah yang telah ditetapkan (oleh para ulama). Diharamkan berfatwa

tanpa ilmu syar’i. Adapun yang menjadi dalil-dalil dalam kaidah ini

adalah sebagai berikut:

Al-Isra’ [17]:36

ئك كان عنه مسئوالا وال تقف ما ليس لك به علم إنا السامع والبصر و الفؤاد كل أول

“Dan janganlah engkau mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai

pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan

hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”67

Q.S. Al-A’raf [7]:33

م رب ي الفواحش ما ظهر منها وما بط ن قل إناما حرا ثم والبغي ب وأن تشركوا وال غير الحق

ل به سلطاناا وأن تقولوا على للاا ما لم ينز ما ال تعلمون باللا

“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik

yang nampak ataupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak

manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan

sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan berkata

tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui".”68

67 Q.S. Al-Isra’ [17]:36. 68 Q.S. Al-A’raf [7]:33.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

37

Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

“Aku mendengar Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص bersabda:

د، ولكن يقبض العلم بقبض العلماء إنا هللا ال يقبض العلم انتزاعاا ينتزعه من العبا ى إذا لم حتـا

ا اتاخذ النااس رءوساا جها وا بغير علم فضلوا وأضلوااالا فسئلوا، فأفت يبق عالما .

‘Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari para hamba,

akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama,

sehingga ketika tidak tersisa lagi seorang alim, maka manusia akan

menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin, lalu mereka ditanya,

kemudian mereka akan memberikan fatwa tanpa ilmu, maka mereka

sesat lagi menyesatkan orang lain.”69

Ilmu yang dimaksud pada kaidah ini ada dua macam:

Pertama, ilmu syar’i yang dibangun atas al-Qur’an dan as-Sunnah

yang shahih sesuai pemahaman yang selamat yang berdasarkan cara

berdalil dan macam-macam bentuknya yang telah disebutkan oleh para

ulama ushulul-fqh dan berdasarkan pemahaman salafush-shalih (kaum

yang terdahulu yang shalih).70

Kedua, gambaran yang benar atas permasalahan yang terjadi dan hal

yang ditanyakan. Gambaran yang melingkupi semua sisi-sisinya dan

menyikap hal-hal yang mengelabuinya serta paham benar dengan zhahir

dan batinnya. Oleh karena itu, para ulama mengemukakan,

69 Husain bin Abdul Aziz Alu Syaikh. Kaidah-Kaidah Fatwa Kontemporer. Jakarta. Darus Sunnah

Press. 2010. Hal. 13. 70 Ibid. Hal. 21-23.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

38

“menghukumi suatu hal tertentu merupakan bagian dari (bagaimana

memahami) gambarannya”.71

Ibnul Qoyyim berpendapat, “seorang mufti dan hakim tidak akan

bisa berfatwa dengan benar kecuali mempunyai dua jenis pemahaman.

Salah satunya adalah pemahaman tentang perkara yang terjadi (waqi’)

dan fikih pada hal tersebut, dan pemahaman tentang hakekat (peristiwa)

yang terjadi dengan dalil-dalil, ciri-ciri, dan tanda-tandanya sampai

memiliki ilmu (yang pasti tentangnya).72

Yang merupakan jaminan terkuat yang menunjukkan benarnya

fatwa dan juga kesesuaiannya dengan syari’at Islam adalah dua hal yang

telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Karena dengan dua

hal tersebut, seorang ulama dapat membedakan yang benar dan yang

salah, yang hak dan yang bathil, yang sesuai dengan petunjuk dan yang

sesat. Tidak ada yang bisa menjadi seperti itu kecuali orang yang baik

niatnya, yang mencari kebenaran dan yang bertakwa kepada Allah di

saat sendiri maupun bersama orang lain.73

2. Kewajiban memastikan kebenaran, tidak tergesa-gesa, dan

bermusyawarah

Ketika mengeluarkan fatwa terhadap permasalahan-permasalahan

baru dan terkini diwajibkan untuk memastikan kebenaran (tatsabbut),

71 Ibid. 72 Ibid. 73 Ibid.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

39

tidak tergesa-gesa, bermusyawarah dan memperhatikan beberapa sisi

pandang serta tidak terburu-buru dalam berfatwa.74

Syaikh Muhammad Habibullah bin Maaya’ba Asy-Syinqithi berkata

di dalam syairnya yang diberi nama Dalil As-Salik ‘Ala Muwaththa’ Al-

Imam Malik, “Sebagian orang mengira bahwa cepat adalah bagus dan

mahir di dalam syari’at dan yang lambat ketika ditanya tentang

jawabannya, (dianggap) bodoh terhadap ilmu, karena lambat untuk

kebenaran lebih baik dari cepat ketika menjawab. Terkadang dia sesat

dan menyesatkan sang penanya. Itulah akibat dari orang yang bodoh,

begitu pula dengan mufti yang tidak meninjau ulang, yang tidak

memeriksa dengan teliti dan tidak banyak membaca”.75

3. Bersemangat dalam menjaga kewaraan dalam berfatwa sebisa mungkin

Yang termasuk kaidah-kaidah penting di dalam berfatwa adalah

bersemangat dalam menjaga kewaraan sebisa mungkin. Karena

berfatwa adalah perkara yang sangat agung dan bahayanya sangat

besar.76

C. Tinjauan Umum Riba

1. Pengertian Riba

Ibrahim Anis berpendapat pada buku yang judulnya al- Mu’jam al-

Wasith, Riba secara bahasa berasal dari kata “raba” yang disamakan

dengan “nama wa zadda” artinya tumbuh dan tambah.77

74 Ibid. Hal. 25. 75 Ibid. Hal. 35. 76 Ibid. Hal. 37. 77 Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalah. Jakarta. Amzah. 2010. Hal. 257.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

40

Menurut Syafi’i dalam kitab Nihâyah Al-Muhtâj seperti yang dikutip

oleh Ahmad Wardi Muslich, bahwa Berdasarkan syara’ Riba yakni

perjanjian atas pertukaran tertentu yang tidak diketahui serupanya dalam

patokan syara’ sewaktu akad (perjanjian) atau dengan mengakhirkan kedua

pertukaran tersebut atau salah satunya.78

Berdasarkan lughawi riba berarti ziyâdah atau bertambah, sebab

salah satu praktik Riba yakni meminta tambahan dari hal yang dihutangkan.

Sedangkan berdasarkan istilah adalah “Akad yang terjadi menurut

penukaran barang tertentu yang tidak diketahui pertimbangannya menurut

ukuran syara‟, pada waktu melakukan akad atau dengan menunda tukaran

kedua pihak atau salah satu dari keduanya”.79

Sebagaimana penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya maka

bisa dimengerti sesungguhnya Riba yakni satu bentuk tukar menukar jual

beli barang yang serupa ataupun tidak serupa yang di mana bersama dengan

tambahan yang tercantum dalam akad. Apabila tambahan tersebut tidak di

cantumkan pada akad maka tidak termasuk Riba, bisa dianggap suatu hadiah

semata atau bentuk pemberian saja.

2. Bentuk Riba

Adapun riba ada tiga macam:

1. Riba fadhl, yakni riba yang dilakukan pada barang yang serupa karena

adanya tambahan. Contoh: Barter emas 25 karat dengan emas 19 karat

78 Ibid. Hal. 258. 79 Hendi Suhendi. Fiqih Muamalah. Jakarta. Rajawali Pers. 2010. Hal. 58.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

41

dengan salah satu ditambahkan dalam hal timbangan. Atau barter uang

Rp 11.000,- dengan uang seribu rupiah tetapi hanya 10 lembar;

2. Riba nasi-ah, yakni riba yang dilakukan pada barang yang serupa atau

tidak serupa tetapi masih dalam satu sebab (‘illat) dan ada tambahan

dalam timbangan disebabkan waktu pemberian yang diakhirkan.

Contoh: Membeli emas yakni barter uang dengan emas, tetapi uangnya

diakhirkan atau diketahui membeli dengan cara kredit;

3. Riba qordh, yakni riba pada hutang-piutang dan dengan syarat adanya

profit atau timbal balik berupa pemanfaatan. Seperti, berhutang tetapi

dengan syarat pemanfaatan rumah dari muqtaridh. Contoh: Si B

memberikan pinjaman uang sebesar Rp 1 juta pada si A, lalu Si B

meminta pengembalian uangnya sejumlah Rp 1,2 juta rupiah, atau Si B

mensyaratkan selama hutang masih berjalan, rumah si A dimanfaatkan

oleh si B (muqridh). Praktik tersebut terkena riba qordh sebab ‘ijma

ulama, “Setiap hutang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba”.80

3. Dasar Hukum Riba

Riba telah diharamkan dengan dasar al-Qur`an dan Sunnah, bahkan

ia termasuk dosa besar yang membinasakan.

a. Allâh Azza wa Jalla mengumandangkan perang dan mengizinkan

perang atas seorang dari pelaku pemakan riba dalam firman-Nya Al-

Baqarah [2]:275-279:

80 Muhammad Abduh Tuasikal. Bentuk Jual Beli yang Terlarang (2). www.rumaysho.com. Akses

13 Nopember 2018.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

42

الا لك بأبا ال يقومون إالا كما يقوم الاذي يتخباطه الشايطان من المس ذ ناهم قالوا إناما ذين يأكلون الر

با فمن جاءه موعظة م م الر البيع وحرا با وأحلا للاا ن رب ه فانتهى فله ما البيع مثل الر

ئك أصحاب الناار هم فيها خالدون﴿ ومن عاد فأول با ٢٧٥سلف وأمره إلى للاا الر ﴾يمحق للاا

ال يحب كلا كفاار أثيم﴿ دقات وللاا الحات وأقاموا ﴾إنا الاذين ٢٧٦ويربي الصا آمنوا وعملوا الصا

كاة لهم أجرهم عند رب هم وال خوف عليهم وال هم يحزنون﴿ لة وآتوا الزا ﴾يا أيها ٢٧٧الصا

با إن كنت وذروا ما بقي من الر ﴾فإن لم تفعلوا فأذنوا بحرب ٢٧٨م مؤمنين﴿الاذين آمنوا اتاقوا للاا

ورسوله وإن تبتم فلكم رءوس أموالكم ال تظلمون وال تظلمون من للاا

Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri

melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran

(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah

disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu

sama dengan riba, Padahal Allâh telah menghalalkan jual beli dan

mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya

larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka

baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);

dan urusannya (terserah) kepada Allâh. Orang yang kembali

(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;

mereka kekal di dalamnya. Allâh memusnahkan riba dan menyuburkan

sedekah. dan Allâh tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam

kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang

beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan menunaikan

zakat, mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. tidak ada kekhawatiran

terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

43

yang beriman, bertakwalah kepada Allâh dan tinggalkan sisa riba (yang

belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu

tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa

Allâh dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari

pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak

Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”81

b. Q.S. Ali-‘Imran [3]:130

با أضعافاا مضاع فةا يا أيها الاذين آمنوا ال تأكلوا الر

لعلاكم تفلحون واتاقوا للاا

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan

riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya

kamu mendapat keberuntungan.”82

c. Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص bersabda,

ة والبر بالبر والشا ة بالفضا ح مثلا بالشاعير والتامر بالتامر والملح بالمل عير الذاهب بالذاهب والفضا

لمعطى فيه سواءبمثل يداا بيد فمن زاد أو استزاد فقد أربى اآلخذ وا

“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum

dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan

sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam,

maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan

(tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah

81 Al-Baqarah [2]:275-279. 82 Q.S. Ali-‘Imran [3]:130.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

44

berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang

memberinya sama-sama berada dalam dosa” (HR. Muslim No. 1584).

d. Dari Abu Hurairah, Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص bersabda,

بع الموبقات » ، وما هنا قال » . اجتنبوا السا حر ، وقتل » قالوا يا رسول للاا ، والس رك باللا الش

با ، وأكل مال اليتيم ، والتاول ى يوم ال ، وأكل الر إالا بالحق م للاا حف ، وقذف النافس الاتى حرا زا

المحصنات المؤمنات الغافلت

“Jauhilah tujuh dosa besar yang akan menjerumuskan pelakunya dalam

neraka.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa saja dosa-dosa

tersebut?” Beliau mengatakan, “(1) Menyekutukan Allah, (2) sihir, (3)

membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan

yang dibenarkan, (4) memakan harta anak yatim, (5) memakan riba, (6)

melarikan diri dari medan peperangan, (7) menuduh wanita yang

menjaga kehormatannya (bahwa ia dituduh berzina)” (HR. Bukhari No.

2766 dan Muslim No. 89).

e. Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,

با وموكله وكاتبه وشاهديه وقال هم سواء -صلى هللا عليه وسلم-لعن رسول للاا آكل الر

“Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang

menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang

saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama (dalam

melakukan yang haram)” (HR. Muslim No. 1598).

f. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu,

ار قال: حداثنا إسماعيل بن عيااش قال: حداثني عتبة ب ، عن حداثنا هشام بن عما ب ي ن حميد الضا

جل مناا يقرض أخاه المال ، قال: سألت أنس بن مالك: الرا يحيى بن أبي إسحاق الهنائي

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

45

صلاى هللا عليه وسلام: ا، فأهدى له، أو إذا أقرض أحدك »فيهدي له؟ قال: قال رسول للاا م قرضا

»حمله على الدااباة، فل يركبها وال يقبله، إالا أن يكون جرى بينه وبينه قبل ذلك

“Hisyam bin Ammar menuturkan kepada kami, Ismail bin Ayyasy

menuturkan kepada kami, Utbah bin Humaid Adh Dhibbi menuturkan

kepada kami, dari Yahya bin Abi Ishaq Al Huna-i, ia berkata: Aku

bertanya kepada Anas bin Malik: Bolehkah seseorang di antara kami

yang berhutang kepada saudaranya lalu ia memberikan hadiah

kepadanya? Maka Anas bin Malik mengatakan: Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص bersabda:

“Jika seseorang di antara kalian memberikan hutang, lalu si penghutang

memberikan hadiah kepadanya, atau memboncengnya dengan hewan

tunggangan, maka jangan mau dibonceng dan jangan terima hadiahnya.

Kecuali jika hal itu memang sudah biasa terjadi di antara mereka”.” (HR.

Ibnu Majah No. 2432)

D. Tinjauan Umum Perjanjian

1. Pengertian dan Syarat-Syarat Perjanjian Menurut Hukum Positif

Terminologi perjanjian asalnya dari bahasa Belanda overeenkomst

dan verbintenis. Perjanjian merupakan suatu terjemahan dari Toestemming

yang dapat disebut juga sebagai wilsovereenstemming (persesuaian

kehendak/kata sepakat). Definisi perjanjian ini termaktub unsur perbuatan,

satu orang atau juga lebih terhadap satu orang lain atau lebih dan

mengikatkan dirinya.83

83 Abdul Hakim Siagian. Hukum Perjanjian. Medan. Jabal Rahmat. 2006. Hal. 1

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

46

Pengertian Perjanjian termaktub di dalam Pasal 1313 KUH Perdata.

Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa "suatu perjanjian adalah

suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lain atau lebih". Definisi perjanjian yang terkandung di

dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut dirasa belum lengkap, oleh karena

itu beberapa pakar hukum merumuskan definisi perjanjian yang lebih

sempurna, sebagai berikut:

Menurut Subekti, perjanjian yakni satu perbuatan hukum antara dua

insan atau dua pihak yang lain, dan pihak yang lain memiliki kewajiban

untuk melaksanakan kewajiban itu. Selain itu merupakan suatu peristiwa

hukum di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua

orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.84

Menurut R. Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum di

mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih.85

Perjanjian ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia

usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang, seperti jual

beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan barang,

pembentukan organisasi usaha dan sebegitu jauh menyangkut juga tenaga

kerja.86

84 Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta. Intermasa. 1987. Hal. 29. 85 R. Setiawan. Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya. Bandung. Bina Cipta. 1987. Hal. 49. 86 Abdulkadir Muhammad. Hukum Perjanjian. Jakarta. Citra Aditya Bakti. 1986. Hal. 93.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

47

Syarat-syarat sah perjanjian menurut hukum positif di Indonesia

termaktub dalam Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian adalah sah

jikalau memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Kesepakatan

Kesepakatan adalah sepakatnya kedua pihak yang mengikatkan diri,

artinya kedua belah pihak pada suatu perjanjian harus memiliki

kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri, dan kemauan itu wajib

dinyatakan dengan tegas atau secara diam. Oleh karena itu, suatu

perjanjian itu tidak sah jikalau dibuat atau berdasarkan kepada

paksaan, penipuan atau kekhilafan.87

b. Kecakapan

Kecakapan ialah memiliki kecakapan untuk melakukan suatu

perjanjian. Berdasarkan hukum, kecakapan menjadi bagian

kewenangan untuk melakukan suatu perbuatan hukum pada umumnya,

dan berdasarkan hukum setiap orang ialah cakap untuk melakukan

perjanjian kecuali orang-orang yang berdasarkan UU dikatakan tidak

cakap. Adapun semua orang yang tidak cakap melakukan perjanjian

yakni semua orang yang belum dewasa dan orang yang dalam

pengampuan.88

87 R. Soeroso. Perjanjian di Bawah Tangan (Pedoman Pembuatan dan Aplikasi Hukum). Bandung.

Alumni Bandung. 1999. Hal. 12. 88 Ibid.

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

48

c. Suatu Hal Tertentu

Menurut KUH Perdata hal tertentu adalah:89

1. Suatu hal tertentu yang diperjanjikan pada suatu perjanjian ialah

harus suatu hal atau barang yang cukup jelas atau tertentu yakni

mnimal ditentukan jenisnya (Pasal 1333 KUH Perdata);

2. Hanya semua barang yang bisa diperdagangkan saja yang bisa

menjadi pokok suatu perjanjian (Pasal 1332 KUH Perdata);

Contohnya seorang pedagang mangga, pedagang alat bangunan

harus jelas barang tersebut ada di dalam gudang, jual beli tanah

harus jelas ukuran luas tanah dan letak di mana tempatnya.

d. Suatu Sebab yang Halal

Meskipun semua orang dapat melakukan perjanjian apa saja, akan

tetapi ada pengecualiannya yakni suatu perjanjian itu tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketentuan

umum, moral dan kesusilaan (Pasal 1335 KUH Perdata).90

Syarat-syarat tersebut di atas harus dipenuhi semuanya sehingga

dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah.

2. Pengertian dan Syarat-Syarat Perjanjian Menurut Hukum Islam

Perjanjian dipandang secara etimologis dalam bahasa Arab disebut

dengan المعاهدة (Janji), االت فاق (Kesepakatan) dan العقد (Ikatan). Secara

terminologi dalam Islam, perjanjian adalah suatu kesepakatan yang dibuat

89 Ibid. 90 Ibid. Hal. 16.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

49

antara seseorang atau beberapa orang dengan seseorang atau beberapa

orang lainnya, untuk melakukan suatu perbuatan tertentu yang tidak

melanggar syari’at.91

Menurut Abdul Aziz Muhammad kata “akad” di dalam istilah

bahasa bermakna ikatan dan tali pengikat. Dari hal tersebut kemudian

makna akad diartikan secara lughawi bahwa “menghubungkan antara dua

perkataan, masuk juga di dalamnya janji dan sumpah, karena sumpah

menguatkan niat berjanji untuk melaksanakannya isi sumpah atau

meninggalkannya. Demikan juga dengan janji halnya merupakan sebagai

pengikat hubungan antara kedua belah pihak yang berjanji dan

menguatkannya”.92

Dengan demikian jika melihat dari definisi hukum positif dan

hukum Islam ada persamaan di mana titik temunya adalah kesepakatan

untuk mengikatkan diri dengan seorang lainnya.

Syarat-syarat perjanjian termasuk juga di dalamnya rukun-rukun

perjanjian dalam Islam memiliki tiga unsur, yaitu:

1. Dua Pihak atau Lebih yang Melakukan Akad

Dua orang atau lebih yang melakukan akad ini ialah dua orang atau

lebih yang secara langsung mengikat dalam akad. Kedua belah pihak

dipersyaratkan harus mempunyai kelayakan untuk melakukan akad

sehingga perjanjian atau akad tersebut dianggap sah. Kelayakan

91 Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta. Sinar

Grafika. 2004. Hal. 1. 92 Abdul Aziz Muhammad Azzam. Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam. Jakarta.

Amzah. 2010. Hal. 15.

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

50

terwujud dengan beberapa hal berikut pertama, kemampuan

membedakan yang baik dan yang buruk. Apabila para pihak tersebut

sudah berakal lagi baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang

yang tercekal disebabkan dianggap idiot atau bangkrut total, tidak sah

melakukan akad. Kedua, bebas memilih. Tidak sah akad yang

dilakukan orang di bawah pada paksaan, apabila paksaan itu terbukti.

Ketiga, akad itu dapat dianggap berlaku (jadi total) bila tidak

mempunyai pengandaian yang disebut khiyar (hak pilih). Seperti

sebagai berikut khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan),

khiyar ar-ru’yah (hak pilih dalam melihat) dan sejenisnya.93

2. Objek Akad

Objek akad adalah barang yang dijual dalam akad jual beli, atau

sesuatu yang disewakan dalam akad sewa dan sejenisnya. Dalam hal

itu juga ada beberapa persyaratan sehingga akad tersebut dianggap sah,

yakni pertama, barang tersebut harus suci atau meskipun terkena najis,

bisa dibersihkan. Oleh karena itu, akad usaha ini tidak bisa

diberlakukan pada benda najis secara dzati, seperti bangkai atau benda

yang terkena najis namun tidak mungkin dihilangkan najisnya, seperti

cuka, susu dan benda cair sejenis yang terkena najis. Namun kalau

mungkin dibersihkan boleh-boleh saja. Kedua, barang tersebut harus

bisa digunakan dengan cara yang disyari’atkan. Sebab fungsi legal dari

93 Shalah ash-Shawi dan Abdullah al-Mushlih. Fikih Ekonomi Islam. Jakarta. Darul Haq. 2001. Hal.

27.

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ijtihadeprints.umm.ac.id/44273/3/BAB II.pdf · masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan. Dalam menganalisa suatu

51

satu komoditi menjadi landasan nilai dan harga komoditi tersebut.

Ketiga, komoditi harus bisa diserahterimakan. Tidak sah menjual

barang yang tidak ada, atau ada tetapi tidak bisa diserahterimakan.

Karena yang demikian itu termasuk gharar, dan itu dilarang. Keempat,

barang tersebut merupakan milik sempurna dari orang yang melakukan

penjualan. Kelima, harus diketahui wujudnya oleh orang yang

melakukan akad jual beli bila merupakan barang-barang yang dijual

langsung. Dan harus diketahui ukuran, jenis, dan kriterianya apabila

barang-barang itu berada dalam kepemilikan namun tidak berada

dilokasi transaksi.94

3. Lafazh (Shigat) Akad

Yang dimaksudkan dengan pengucapan akad itu adalah ungkapan

yang dilontarkan oleh orang yang melakukan akad untuk menunjukkan

keinginannya yang mengesankan bahwa akad itu sudah berlangsung.

Tentu saja ucapan itu wajib mengandung serah terima (ijab-qabul).95

94 Ibid. Hal. 27-28. 95 Ibid. Hal. 29.