bab ii tinjauan pustaka a. pengertian perjanjian.repository.unigoro.ac.id/34/2/bab ii.pdf · 2019....
TRANSCRIPT
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Perjanjian.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu terlibat dalam pergaulan
dengan sesamanya, sehingga terjadi hubungan antar manusia yang disebut
juga dengan hubungan antar individu. Hubungan antar individu menimbulkan
perhubungan yang dapat bersifat perhubungan biasa dan perhubungan
hukum. Suatu perhubungan disebut perhubungan hukum, apabila hubungan
antara dua orang atau dua pihak tersebut diatur oleh hukum, yaitu hubungan
antara sesama manusia yang dilindungi oleh hukum atau akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh pergaulan itu dilindungi oleh hukum. “Hubungan hukum
antara dua orang atau dua pihak atau lebih didahului oleh perbincangan-
perbincangan di antara para pihak dan adakalanya mewujudkan suatu
perjanjian atau perikatan”.11
Hubungan hukum yang timbul karena perjanjian itu mengikat kedua
belah pihak yang membuat perjanjian, sebagaimana daya mengikat di dalam
sebuah Undang-Undang. Hal ini sesuai dengan ketentuan pada pasal 1338
KUH Perdata yang berbunyi: semua persetujuan yang dibuat secara sah
berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. “Ikatan
yang lahir dari
11 Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, 1986, Alumni, Bandung, hal. 17
11
perjanjian dinamakan perikatan. Jadi dapat dikatakan bahwa perjanjian itu
menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya”.12
Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dijelaskan bahwa
Perjanjian menurut Pasal 1313 berbunyi : Suatu Perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih. Perjanjian merupakan sendi yang penting dari
Hukum Perdata, karena hukum perdata banyak mengandung peraturan-
peraturan hukum yang berdasarkan atas janji seseorang. “Perjanjian
menerbitkan suatu perikatan antara para pihak yang membuatnya, dengan
demikian hubungan hukum antara peikatan dan perjanjian adalah bahwa
perjanjian menerbitkan perikatan”.13
Perjanjian adalah sumber perikatan di samping sumber lain, yaitu
Undang-Undang, hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan pasal 1233 KUH
Perdata yang menyatakan bahwa: Tiap-tiap perjanjian dilahirkan baik karena
persetujuan, baik karena Undang-Undang. Perikatan menunjukkan adanya
suatu hubungan hukum antara para pihak yang berisi hak dan kewajiban
masing-masing. Perjanjian menunjukkan suatu janji atau perbuatan hukum
yang saling mengikat antara para pihak.
Beberapa sarjana memberikan definisi tentang perjanjian dan
perikatan diantaranya adalah :
1. Menurut Rutten
12Prof. Subekti, S.H, Hukum Perjanjian, 2008, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 1 13
Ibid.
12
Perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan formalitas-
formalitas dari peraturan hukum yang ada, tergantung dari persesuaian
pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk
timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban
pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak
secara timbal balik.
2. Hukum adat
Perjanjian menurut adat disini adalah “perjanjian dimana pemilik rumah
memberikan ijin kepada orang lain untuk mempergunakan rumahnya
sebagai tempat kediaman dengan pembayaran sewa dibelakang (atau juga
dapat terjadi pembayaran dimuka)”.14
3. Prof. Subekti
“Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, berdasar mana
pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain
berkewajiban memenuhi itu”.15
4. Pitlo
“Perikatan adalah hubungan hukum yang bersifat kekayaan antara dua
orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan
pihak yang lain berkewajiban (debitur)”.16
Dari definisi yang dikemukakan oleh Prof. Subekti, dapat disimpulkan
bahwa perikatan memiliki unsur-unsur sebagai berikut :17
14https://audiiayu.wordpress.com/2013/04/14/makalah-hukum-perjanjian/ diakses pada tanggal 20
Mei 2016 15 Prof. Subekti, Hukum Perdata, 2008, Intermasa, Jakarta, hal. 58 16 Setiawan, R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, 2009, Bina Cipta, Bandung, hal. 10
13
1. Adanya hubungan hukum, yaitu hubungan yang akibatnya diatur oleh
hukum.
2. Adanya pihak kreditur dan debitur, yaitu pihak yang aktif berpiutang
(kreditur) dan berhak atas prestasi tertentu, sedangkan debitur adalah pihak
yang diwajibkan memberikan prestasi tertentu.
3. Adanya prestasi, yaitu hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan baik oleh
kreditur maupun oleh debitur sebagaimana diatur dalam pasal 1234 KUH
Perdata yang menyatakan bahwa: Tiap perikatan adalah untuk berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
Perikatan untuk memberikan sesuatu berupa menyerahkan sesuatu
barang atau memberikan kenikmatan atas suatu barang, misalnya pihak yang
menyewakan berkewajiban memberikan barang atau kenikmatan dari obyek
sewa menyewa kepada pembeli. Perikatan untuk berbuat sesuatu berupa
perjanjian.
B. Asas-Asas Perjanjian.
Dalam hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting yang
merupakan dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa
asas-asas tersebut adalah :
1. Asas Kontrak sebagai Hukum Mengatur
Hukum mengatur (aanvullen recht) adalah peraturan-peraturan hukum
hukum yang berlaku bagi subjek hukum, misalnya para pihak dalam
17 Sunaryati Hartono, Capita Selecta Perbandingan Hukum, 1989, Bina Cipta, Bandung, hal. 7
14
suatu kontrak. Akan tetapi, ketentuan hukum seperti ini tidak mutlak
berlakunya, karena jika para pihak mengatur sebaliknya, maka yang
berlaku adalah apa yang diatur oleh para pihak tersebut. Jadi, peraturan
yang bersifat umum mengatur dapat disimpangi oleh para pihak. Pada
prinsipnya hukum kontrak termasuk kategori hukum mengatur, yakni
sebagian besar (meskipun tidak menyeluruh) dari hukum kontrak tersebut
dapat disimpangi oleh para pihak dengan mengaturnya sendiri. Oleh
karena itu, hukum kontrak ini disebut hukum yang mempunyai sistem
terbuka (open system). Sebagai lawan dari hukum mengatur adalah
hukum yang memaksa (dwingend recht, mandatory). Dalam hal ini yang
dimaksud dengan hukum memaksa adalah “aturan hukum yang berlaku
secara memaksa atau mutlak, dalam arti tidak dapat disimpangi oleh para
pihak yang terlibat dalam suatu perbuatan hukum, termasuk oleh para
pihak dalam suatu kontrak”.18
2. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas ini merupakan konsekuensi dari berlakunya asas kontrak sebagai
hukum mengatur. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan asas
kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang mengajarkan bahwa dalam
suatu kontrak para pihak pada prinsipnya bebas untuk membuat atau
tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasanya untuk mengatur
sendiri isi kontrak tersebut. Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh
rambu-rambu hukum sebagai berikut :
18 http://www.legalakses.com/xmlrpc.php diakses pada tanggal 21 Mei 2016
15
a. harus memenuhi syarat sebagai suatu kontrak.
b. tidak dilarang oleh undang-undang.
c. tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku.
d. harus dilaksanakan dengan itikad baik.
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Istilah pacta sunt servanda mempunyai arti bahwa janji itu mengikat,
yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak ini ialah bahwa
kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak tersebut secara penuh
sesuai isi kontrak tersebut. Istilah lain dari asas ini adalah my word is my
bonds, yang artinya dalam bahasa Indonesia bahwa jika sapi dipegang
talinya, jika manusia dipegang mulutnya, mengikat secara penuh atas
kontrak-kontrak yang dibuat oleh para tersebut oleh hukum kekuatanya
dian’ggap sama saja dengan kekuatan mengikat dari suatu undang-
undang. “Oleh karena itu, apabila suatu pihak dalam kontrak yang telah
dibuatnya oleh hukum disediakan ganti rugi atau bahkan pelaksaan
kontrak secara paksa”.19
b. Asas Konsensual
Yang dimaksud dengan asas konsensual dari suatu kontrak adalah bahwa
jika suatu kontrak telah dibuat, maka dia telah sah dan mengikat secara
penuh, bahkan pada prinsipnya persyaratan tertulis pun tidak disyaratkan
oleh hukum, kecuali untuk beberapa jenis kontrak tertentu, yang memang
dipersyaratkan syarat tertulis.
19
Ibid.
16
c. Asas Obligatoir
Asas obligatori adalah suatu asas yang menetukan bahwa jika suatu
kontrak telah dibuat, maka para pihak telah terikat, tetapi keterikatan itu
hanya sebatas timbulnya hak dan kewajiban semata-mata, sedangkan
prestasi belum dapat dipaksakan karena kontrak kebendaan (zakelijke
overeenkomst) belum terjadi. Jadi, jika terhadap kontrak jual beli
misalnya, maka dengan kontrak saja, hak milik belum berpindah, jadi
baru terjadi kontrak obligatoir saja. Hak milik tersebut baru dapat
berpindah setelah adanya kontrak kebendaan atau sering disebut serah
terima (levering). Hukum kontrak di Indonesia memberlakukan asas
obligatoir ini karena berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kalaupun hukum adat tentang kontrak tidak mengakui asas obligatoir
karena hukum adat memberlakukan asas kontrak riil, artinya suatu
kontrak haruslah dibuat secara riil, dalah hal ini harus dibuat secara
terang dan tunai. Kontrak harus dilakukan di depan pejabat tertentu,
misalnya di depan penghulu adat atau ketua adat, yang sekaligus juga
dilakukan levering-nya. “Jika hanya sekedar janji saja, seperti dalam
sistem obligatoir, dalam hukum adat kontrak semacam ini tidak
mempunyai kekuatan sama sekali”.20
20
Ibid.
17
C. Syarat-Syarat Perjanjian.
Lahirnya suatu perjanjian terjadi apabila ada kata sepakat dan
pernyataan sebelah menyebelah. Kata sepakat dalam hal ini adalah mengenai
hal-hal yang pokok baik berbenuk lisan ataupun tulisan “Sedangkan
pernyataan sebelah menyebelah terjadi apabila satu pihak yang menawarkan
menyatakan tentang perjanjian dan pihak lawan setuju tentang apa yang
dinyatakan sebelumnya”.21
Dalam pasal 1320 KUH Perdata disebutkan bahwa untuk sahnya
persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Dalam rumusan pasal di atas disebutkan bahwa untuk sahnya
perjanjian diperlukan empat syarat. Kedua syarat pertama dinamakan syarat
subyektif, karena kedua syarat tersebut mengangkut subyek perjanjian,
sedangkan kedua syarat terakhir disebut syarat obyektif, karena mengangkut
obyek perjanjian. Terdapatnya cacat kehendak (yang disebabkan adanya
keliru, paksaan ataupun penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan
megakibatkan dapat dibatalkannya perjanjian. “Jika obyeknya tidak tertentu
21 https://legalbanking.wordpress.com///materi-hukum//-dasar-dasar-hukum-perjanjian diakses
tanggal 7 Juni 2016
18
atau dapat ditentukan atau kausanya tidak halal maka perjanjian tersebut batal
demi hukum”.22
D. Jenis-Jenis Perjanjian.
a. Berdasarkan Hak dan Kewajiban
Penggolongan ini dilihat dari Hak dan Kewajiban para pihak. “Adapun
perjanjian-perjanjian yang dilakukan para pihak menimbulkan hak dan
kewajiban-kewajiban pokok seperti pada jual beli dan sewa-menyewa”.23
1. Perjanjian Sepihak
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang hanya ada kewajiban pada
satu pihak, dan hanya ada hak pada hak lain. Perjanjian yang selalu
menimbulkan kewajiban-kewajiban hanya bagi satu pihak.Misalnya
perjanjian pinjam pakai.
2. Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian dimana hak dan kewajiban ada
pada kedua belah pihak. Jadi pihak yang berkewajiban melakukan suatu
prestasi juga berhak menuntut suatu kontra prestasi.Misalnya perjanjian
jual-beli dan Perjanjian sewa-menyewa. Perjanijian timbal balik dibagi
dua, yaitu :
a. Perjanjian timbal balik sempurna
b. Perjanjian timbal balik tidak sempurna
22
Ibid. 23 http://juraganmakalah.blogspot.com/2013/06/jenis-jenis-perjanjian.html. Op.Cit.
19
Perjanjian timbal balik tidak sempurna senantiasa menimbulkan suatu
kewajiban pokok bagi satu pihak, sedangkan pihak lainnya wajib
melakukan sesuatu. Di sini tampak adanya prestasi yang seimbang satu
sama lain. Misalnya, si penerima pesan senantiasa wajib untuk
melaksanakan pesan yang dikenakan atas pundak orang yangmemberi
pesan. Penerima pesan melaksanakan kewajiban tersebut, apabila si
penerima pesan telah mengeluarkan biaya-biaya atau olehnya telah
diperjanjikan upah, maka pemberi pesan harus menggantikannya.
b. Berdasarkan keuntungan yang diperoleh
Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya
prestasi dari pihak lainnya.
1. Perjanjian Cuma-Cuma
Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan
bagi salah satu pihak saja.Misalnya perjanjian hibah, perjanjian pinjam
pakai.
2. Perjanjian Asas Beban
Perjanjian asas beban adalah perjanjian atas prestasi dari pihak yang
satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain dan antara kedua
prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. Misalnya saja A
menjanjikan kepada B suatu jumlah tertentu, jika B menyerahkan
sebuah benda tertentu pula kepada A.
c. Berdasarkan nama dan pengaturan
20
Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di
dalam Pasal 1319 KUH Perdata. Di dalam pasal 1319 KUH Perdata hanya
disebutkan dua macam perjanjian menurut namanya, yaitu perjanjian
nominaat (bernama) dan perjanjian innominaat (tidak bernama).
1. Perjanjian Bernama (nominaat)
Isilah kontrak nominaat merupakan terjemahan dari nominaat contract.
Kontrak nominaat sama artinya dengan perjanjian bernama atau
benoemde dalam bahasa Belanda. Kontrak nominaat merupakan
perjanjian yang dikenal dan terdapat dalam pasal 1319 KUH Perdata.
Pasal 1319 KUH Perdata berbunyi:Semua perjanjian, baik yang
mempunyai nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan suatu
nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini
dan bab yang lalu.Misalnya Perjanjian jual beli, sewa menyewa,
penitipan barang, pinjam pakai, asuransi, perjanjian pengangkutan.
2. Perjanjian Tidak Bernama (innominaat)
Perjanjian tidak bernama merupakan perjanjian yang timbul, tumbuh,
hidup dan berkembang dalam masyarakat. Jenis perjanjian tidak
Bernama ini diatur di dalam Buku III KUH Perdata, hanya ada satu
pasal yang mengatur tentang perjanjian innominaat, yaitu Pasal 1319
KUH Perdata yang berbunyi:Semua perjanjian, baik yang mempunyai
nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu
tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang
lalu.Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa perjanjian, baik yang
21
mempunyai nama dalam KUH Perdata maupun yang tidak dikenal
dengan suatu nama tertentu (tidak bernama) tunduk pada Buku III KUH
Perdata. Dengan demikian, para pihak yang mengadakan perjanjian
“innominaat tidak hanya tunduk pada berbagai peraturan yang
mengaturnya, tetapi para pihak juga tunduk pada ketentuan-ketentuan
yang tercantum dalam KUH Perdata. Misalnya sewa beli, sewa guna
usaha/leasing”.24
d. Berdasarkan tujuan perjanjian
Penggolongan ini didasarkan pada unsur-unsur perjanjian yang terdapat di
dalam perjanjian tersebut :
1. Perjanjian Kebendaan
Perjanjian kebendaan adalah Perjanjian hak atas benda dialihkan atau
diserahkan kepada pihak lain. Misalnya perjanjian pembebanan jaminan
dan penyerahan hak milik.
2. Perjanjian Obligatoir
Perjanjian obligatoir adalah Perjanjian yang menimbulkan kewajiban
dari para pihak.
3. Perjanjian Liberatoir
Perjanjian Liberatoir adalah Perjanjian para pihak yang membebaskan
diri dari kewajiban yang ada. Misalnya pembebasan utang (pasal 1438
KUH Perdata).
e. Berdasarkan cara terbentuknya atau lahirnya perjanjian
24
Ibid.
22
Penggolongan perjanjian ini didasarkan pada terbentuknya perjanjian itu.
Perjanjian itu sendiri terbentuk karena adanya kesepakatan kedua belah
pihak pada saat melakukan perjanjian, yaitu :
1. Perjanjian Konsensuil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang mengikat sejak adanya
kesepakatan (consensus) dari kedua belah pihak. Jadi perjanjian lahir
sejak detik tercapainya kata sepakat dari kedua belah pihak. Misalnya
jual beli, sewa menyewa.
2. Perjanjian Riil
Perjanjian riil adalah perjanjian yang mengikat jika disertai dengan
perbuatan/ tindakan nyata. Jadi dengan adanya kata sepakat saja,
perjanjian tersebut belum mengikat kedua belah pihak. Misalnya
Perjanjian penitipan barang, perjanjian pinjam pakai.
3. Perjanjian Formal
Perjanjian formal adalah Perjanjian yang terikat pada bentuk tertentu,
jadi bentuknya harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Jika bentuk perjanjian tersebut tidak sesuai dengan ketentuan, maka
perjanjian tersebut tidak sah. Misalnya jual beli tanah harus dengan akta
PPAT, pendirian Perseroan Terbatas harus dengan akta Notaris.
23
E. Prestasi dan Wanprestasi.
1. Prestasi
Prestasi adalah seseorang yang memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Pasal 1235 KUHPerdata
menyebutkan: “Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu
adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan
yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah
yang baik, sampai pada saat penyerahan”.25
Dari pasal tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam
suatu perikatan, pengertian memberi sesuatu mencakup pula kewajiban
untuk menyerahkan barangnya dan untuk memeliharanya hingga waktu
penyerahannya. Istilah memberikan sesuatu sebagaimana disebutkan di
dalam Pasal 1235 KUH Perdata tersebut dapat mempunyai dua
pengertian, yaitu:
1. Penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang menjadi obyek
perjanjian.
2. Penyerahan hak milik atas barang yang menjadi obyek perjanjian,
yang dinamakan penyerahan yuridis.
Wujud prestasi yang lainnya adalah berbuat sesuatu dan tidak
berbuat sesuatu. Berbuat sesuatu adalah melakukan suatu perbuatan yang
telah ditetapkan dalam perjanjian. Sedangkan tidak berbuat sesuatu
adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana juga yang telah
25Audia Novrita, Hukum Perjanjian, https://audiiayu.wordpress.com/2013 /04/14/makalah-
hukum-perjanjian/ diakses tanggal 27 Juni 2016
24
ditetapkan dalam perjanjian, manakala para pihak telah menunaikan
prestasinya maka perjanjian tersebut akan berjalan sebagaimana mestinya
tanpa menimbulkan persoalan. “Namun kadangkala ditemui bahwa
debitur tidak bersedia melakukan atau menolak memenuhi prestasi
sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian”.26
Salah satu unsur dari suatu perikatan adalah adanya suatu isi atau
tujuan perikatan, yakni suatu prestasi yang terdiri dari 3 (tiga) macam :
1. Memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan
barang.
2. Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak,
membangun rumah, melukis suatu lukisan untuk pemesan.
3. Tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian tindak akan mendirikan
suatu bangunan, perjanjian tidak akan menggunakan merk dagang
tertentu.
Prestasi dalam suatu perikatan tersebut harus memenuhi syarat-
syarat:
1. Suatu prestasi harus merupakan suatu prestasi yang tertentu, atau
sedikitnya dapat ditentukan jenisnya, tanpa adaya ketentuan sulit
untuk menentukan apakah debetur telah memenuhi prestasi atau
belum.
2. Prestasi harus dihubungkan dengan suatu kepentingan. Tanpa suatu
kepentingan orang tidak dapat mengadakan tuntutan.
26
Ibid. hal. 3
25
3. Prestasi harus diperbolehkan oleh Undang-Undang, kesusilaan dan
ketertiban umum.
4. Prestasi harus mungkin dilaksanakan.
2. Wanprestasi
Wanprestasi adalah keadaan di mana seorang telah lalai untuk
memenuhi kewajiban yang diharuskan oleh Undang-Undang.
Wanprestasi berarti debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya atau
ingkar janji, melanggar perjanjian serta melakukan sesuatu yang tidak
boleh dilakukannya. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda
yang berarti prestasi buruk. Debitur dianggap wanprestasi bila ia
memenuhi syarat-syarat di atas dalam keadaan lalai maupun dalam
keadaan sengaja.Jadi wanprestasi merupakan akibat dari pada tidak
dipenuhinya perikatan hukum.27
Pada umumnya debitur dikatakan wanprestasi manakala ia karena
kesalahannya sendiri tidak melaksanakan prestasi, atau melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak diperbolehkan untuk dilakukan.
Menurut R.Subekti, melakukan prestasi tetapi tidak sebagaimana
mestinya juga dinamakan wanprestasi. Yang menjadi persoalan adalah
sejak kapan debitur dapat dikatakan wanprestasi. “Mengenai hal tersebut
perlu dibedakan wujud atau bentuk prestasinya. Sebab bentuk prestasi ini
27 Ibid. hal. 4
26
sangat menentukan sejak kapan seorang debitur dapat dikatakan telah
wanprestasi”.28
Dalam hal wujud prestasinya memberikan sesuatu, maka perlu pula
dipertanyakan apakah di dalam perjanjian telah ditentukan atau belum
mengenai tenggang waktu pemenuhan prestasinya. Apabila tenggang
waktu pemenuhan prestasi sudah ditentukan dalam perjanjian, maka
menurut Pasal 1238 KUHPerdata, debitur sudah dianggap wanprestasi
dengan lewatnya waktu pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan bila
tenggang waktunya tidak dicantumkan dalam perjanjian, maka dipandang
perlu untuk terlebih dahulu memperingatkan debitur guna memenuhi
kewajibannya, dan jika tidak dipenuhi, maka ia telah dinyatakan
wanprestasi.
Surat peringatan kepada debitur tersebut dinamakan somasi, dan
somasi inilah yang digunakan sebagai alat bukti bahwa debitur telah
wanprestasi. Untuk perikatan yang wujud prestasinya tidak berbuat
sesuatu, kiranya tidak menjadi persoalan untuk menentukan sejak kapan
seorang debitur dinyatakan wanprestasi, sebab bila debitur melakukan
sesuatu perbuatan yang dilarang dalam perjanjian maka ia dinyatakan
telah wanprestasi.
Wanprestasi yang dilakukan debitur dapat berupa 4 (empat)
macam:
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
28
Ibid.
27
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Ada pendapat lain mengenai syarat-syarat terjadinya wanprestasi,
yaitu sebagai berikut :
1. Debitur sama sekali tidak berprestasi, dalam hal ini kreditur tidak
perlu menyatakan peringatan atau teguran karena hal ini percuma
sebab debitur memang tidak mampu berprestasi;
2. Debitur berprestasi tidak sebagaimana mestinya, dalam hal ini debitur
sudah beritikad baik untuk melakukan prestasi, tetapi ia salah dalam
melakukan pemenuhannya;
3. Debitur terlambat berprestasi, dalam hal ini debitur masih mampu
memenuhi prestasi namun terlambat dalam memenuhi prestasi
tersebut.
Akibat hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi
adalah hukuman atau sanksi sebagai berikut:
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat
dinamakan ganti-rugi;
2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
3. Peralihan risiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat
tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
28
Disamping debitur harus menanggung hal tesebut diatas, maka
yang dapat dilakukan oleh kreditur dalam menghadapi debitur yang
wanprestasi ada lima kemungkinan sebagai berikut:
1. Dapat menuntut pemenuhan perjanjian, walaupun pelaksanaannya
terlambat;
2. Dapat menuntut penggantian kerugian, berdasarkan Pasal 1243
KUHPerdata, ganti rugi tersebut dapat berupa biaya, rugi atau bunga;
3. Dapat menuntut pemenuhan dan penggantian kerugian;
4. Dapat menuntut pembatalan atau pemutusan perjanjian; dan
5. Dapat menuntut pembatalan dan penggantian kerugian.
F. Perjanjian Kredit.
Menurut pasal 1 ayat (11) UU No.10 tahun 1998 tentang Perubahan
atas UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, kredit adalah “Penyediaan
uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak
lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.29
Unsur-unsur di dalam sebuah perjanjian kredit diantaranya adalah
sebagai berikut :
1. Kepercayaan, keyakinan pemberi kredit bahwa kredit tersebut akan
terbayar kembali.
29https://legalbanking.wordpress.com, materi-hukum/dasar-dasar-hukum-perjanjian, Op.Cit.
29
2. Waktu, pemberian kredit dan pembayaran kembali memiliki jangka waktu
tertentu.
3. Resiko, bahwa setiap pemberian kredit selalu memiliki resiko, semakin
lama jangka waktu yang diberikan, semakin tinggi resiko kredit tersebut.
4. Prestasi, prestasi dalam perjanjian kredit adalah pemberian obyek kredit
(bisa berupa uang ataupun barang dan jasa, tapi yang paling sering
dijumpai adalah uang).
Sedangkan mengenai jenis-jenis kredit dapat dibedakan sebagai
berikut :
a. Dari segi tujuan penggunaannya, kredit dibagi menjadi:
1. Kredit produktif, yaitu kredit yang diberikan kepada bentuk usaha
yang menghasilkan barang dan/atau jasa. Kredit Produktif dapat
berupa KMK (kredit modal kerja) yaitu kredit diberikan untuk
membiayai kebutuhan usaha, atau KI (kredit investasi) yaitu kredit
diberikan untuk membiayai pengadaan barang modal/jasa.
2. Kredit komsumtif, yaitu kredit diberikan untuk membiayai kebutuhan
konsumtif masyarakan pada umumnya.
b. Dari segi jangka waktunya, kredit dibagi menjadi:
1. Kredit jangka pendek, tidak melebihi 1 tahun.
2. Kredit jangka menengah, lebih dari 1 tahun tapi tidak lebih dari 3
tahun.
3. Kredit jangka panjang, lebih dari 3 tahun.
30
Setiap kredit yang telah disepakati antara pemberi dan penerima
kredit, harus dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit. Akar dari perjanjian
kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam. Syarat sah perjanjian kredit
adalah sama dengan syarat sah perjanjian pada umumnya, yaitu yang
tercantum pada pasal 1320 BW: kesepakatan, cakap hukum, suatu hal tertentu
dan suatu sebab yang halal. Fungsi dari dibuatnya perjanjian kredit adalah
sebagai:
a. Perjanjian pokok, yang biasanya diikuti dengan perjanjian penjaminan.
b. Sebagai alat bukti, mengenai hak dan kewajiban para pihak.
c. Sebagai alat pemantauan kredit.
Bentuk perjanjian kredit dapat berupa akta bawah tangan ataupun akta
otentik.Pasal 1874 KUHPerdata: Akta di bawah tangan adalah surat atau
tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui perantaraan pejabat yang
berwenang untuk dijadikan alat bukti. Pasal 1868 KUHPerdata: Akta otentik
adalah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh UU yang dibuat oleh
atau dihadapan pegawai yang berkuasa (pegawai umum) untuk itu, ditempat
dimana akta dibuatnya. Yang dimaksud dengan pegawai umum antara lain
notaries, PPAT, pegawai KUA, dll.
Pihak-pihak dalam perjanjian kredit :
2. Kreditur (pemberi kredit) dalam perjanjian kredit adalah bank atau
lembaga pembiayaan selain bank, sedangkan dalam perjanjian pinjam-
meminjam, pemberi pinjaman bisa saja individu biasa.
31
3. Debitur, debitur (penerima kredit) adalah pihak yang dapat bertindak
sebagai subyek hukum, baik individu (person) atau badan hukum (recht
person).
Perjanjian kredit dapat berakhir oleh hal-hal sebagai berikut:
2. Pembayaran/pelunasan, tindakan sukarela dari debitor untuk memenuhi
perjanjian.
3. Subrogasi, penggantian hak-hak kreditur oleh pihak ketiga (pasal 1400
KUHper).
4. Pembaruan Utang (novasi), ada tiga bentuk novasi yaitu:
b. Mengganti kreditur.
c. Mengganti debitur.
d. Merubah obyek/isi perjanjian.
“Perjumpaan utang (kompensasi), kedua pihak memperjumpakan atau
memperhitungkan utang-piutang di antara keduanya sehingga perjanjian
kredit menjadi hapus (1425 KUHPer)”.30
G. Hapusnya Perjanjian.
Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di dalam
hukum positif Indonesia, khususnya mengenai aturan perjanjian dapat
dijelaskan mengenai hapusnya suatu perjanjian, karena pada dasarnya suatu
perjanjian juga dapat terhapuskan karena berbagai hal di antaranya yaitu
dengan cara-cara sebagai berikut :
30
Ibid.
32
a. Pembayaran
Adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian
secara sukarela. Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan
menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang. Menggantikan hak-
hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai
subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata.
Subrogatie dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena
Undang-undang (Pasal 1402 KUH Perdata).
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan
uang atau barang pada Panitera Pengadilan Negeri
Adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang
(kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur
menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri
untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan
penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur
kepada Panitera Pengadilan Negeri. “Setelah penawaran pembayaran itu
disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang yang akan
dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan
Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu”.31
c. Pembaharuan utang atau novasi
Adalah suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan suatu
perjanjian lama. Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam cara
31http://kuliahhukumperikatan12.blogspot.com/2012/03/hapusnya-perjanjian.html diakses tanggal
17 Mei 2016
33
melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu yang diganti
debitur, krediturnya (subyeknya) atau obyek dari perjanjian itu.
d. Perjumpaan utang atau Kompensasi
Adalah suatu cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan
memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-
balik antara kreditur dan debitur. Jika debitur mempunyai suatu piutang
pada kreditur, sehingga antara debitur dan kreditur itu sama-sama berhak
untuk menagih piutang satu dengan lainnya. Menurut pasal 1429 KUH
Perdata, perjumpaan utang ini dapat terjadi dengan tidak membedakan
darimana sumber utang-piutang antara kedua belah pihak itu telah terjadi,
kecuali :
1. Apabila penghapusan/pelunasan itu dilakukan dengan cara yang
berlawanan dengan hukum.
2. Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau
dipinjamkan.
3. Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang
telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi).
e. Percampuran utang
Adalah apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang
berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi
hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu
dihapuskan, misalnya: debitur menikah dengan krediturnya, atau debitur
ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya.
34
f. Pembebasan utang
Menurut pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu
perjanjian yang berisi kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari
segala kewajibannya.
g. Musnahnya barang yang terutang
Adalah jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak
lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui
apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang tadi
musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai
menyerahkannya.
h. Batal/Pembatalan
Menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang
telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat
dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang
melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum
pada syarat sahnya perjanjian.Menurut Prof. Subekti permintaan
pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan hakim;
2. Secara pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat di
depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan
kekurangan dari perjanjian itu.
i. Lewat waktu
35
Menurut pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu
upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian
dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan
oleh undang-undang.Dalam pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa
segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat
perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh
tahun. Dengan lewatnya waktu tersebut, maka perjanjian yang telah dibuat
tersebut menjadi hapus.
H. Unsur-Unsur Kredit.
Dalam pemberian kredit oleh suatu lembaga perkreditan didasarkan
atas kepercayaan, sehingga dengan demikian kredit merupakan suatu
pemberian kepercayaan oleh lembaga perkreditan kepada pihak lain (debitur).
Hal ini menunjukkan bahwa lembaga kredit baru akan memberikan kredit
kalau benar-benar yakin bahwa penerima kredit (debitur) akan
mengembalikan pinjaman yang diterimanya sesuai dengan jangka waktu dan
syarat-syarat yang telah disetujui oleh kedua belah pihak. Tanpa adanya
keyakinan dan kepercayaan tersebut, lembaga perkreditan tidak akan
menyalurkan dana simpanan masyarakat yang telah diterimanya. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan kredit mengandung unsur-unsur
sebagai berikut:
1. Kepercayaan
36
Hal ini merupakan suatu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa kredit
yang akan diberikan baik berupa barang, uang atau jasa kepada si
penerima kredit akan benar-benar akan diterima kembali sesuai dengan
jangka waktu yang telah disepakati di masa yang akan datang.
2. Jangka Waktu
Setiap pemberian kredit mempunyai jangka waktu tertentu, dimana jangka
waktu tersebut merupakan masa pengembalian sesuai dengan kesepakatan
yang ada. Jangka waktu yang diberikan dibagi menjadi tiga pilihan, yaitu
jangka pendek (di bawah 1 tahun), jangka menengah (1 tahun sampai 3
tahun), dan jangka panjang (di atas 3 tahun). Jangka waktu tersebut
merupakan batas pengembalian kredit yang diberikan sesuai dengan yang
telah disepakati. “Dalam unsur jangka waktu ini, mengandung pengertian
nilai agio dari uang yaitu besar uang yang diberikan sekarang lebih tinggi
dibandingkan besar uang yang akan diterima di masa mendatang”.32
3. Kesepakatan
Kesepakatan merupakan suatu perjanjian yang dilakukan antara kedua
belah pihak dengan cara masing-masing pihak menandatangani hak dan
kewajiban sesuai yang tercantum dalam perjanjian tersebut. Kemudian
kesepakatan tersebut dituangkan dalam suatu akad kredit sebelum dana
kredit diberikan.
4. Resiko
32Dhian Ari Pramudya, Proses Pemberian Kredit Umum Pada Pd. Bpr Bank Pasar Kabupaten
Boyolali,Tugas Akhir,Program Studi Diploma III Keuangan Dan Perbankan Fakultas
EkonomiUniversitas Sebelas MaretSurakartaTahun 2010, hal. 12
37
Merupakan suatu akibat yang muncul karena adanya jangka waktu dalam
pengembalian yang memungkinkan terjadinya keterlambatan atau macet
proses pengembalian kredit, sehingga dapat menimbulkan resiko yang
harus ditanggung oleh si pemberi kredit. Semakin lama jangka waktu
kredit yang diberikan akan semakin tinggi pula tingkat resikonya.
5. Balas Jasa
Balas jasa merupakan keuntungan atau pendapatan yang diterima atas
pemberian suatu kredit. Dalam bank jenis konvensional balas jasa disebut
dengan nama bunga. Selain itu balas jasa yang diterima berasal dari biaya
administrasi kredit yang mana akan menjadi keuntungan bank. Bagi bank
yang berdasarkan prinsip syariah balas jasanya ditentukan dengan bagi
hasil.
I. Fungsi dan Tujuan Kredit.
Pemberian fasilitas kredit oleh suatu bank mempunyai tujuan-tujuan
tertentu. Tujuan kredit tersebut merupakan kegiatan untuk menunjang misi
bank itu sendiri. Tujuan pemberian kredit antara lain :
1. Memperoleh keutungan
Tujuan utama pemberian kredit adalah untuk memperoleh keuntungan.
Hasil keuntungan yang diperoleh berupa bunga yang akan diterima oleh
bank sebagai balas jasa dan biaya administrasi kredit yang dibebankan
kepada nasabah. Keuntungan ini penting untuk kelangsungan hidup bank.
2. Membantu usaha nasabah
38
Tujuan selanjutnya adalah untuk membantu usaha nasabah yang
memerlukan dana, baik dana untuk investasi maupun untuk modal kerja.
Dengan dana tersebut debitur dapat mengembangkan dan memperluas
usahanya.
3. Membantu pemerintah
Semakin banyak kredit yang disalurkan berupa dana kepada masyarakat
bertujuan untuk membantu masyarakat dalam rangka peningkatan
pembangunan khususnya di sektor riil. Keuntungan bagi pemerintah yaitu
penerimaan pajak yang diperoleh dari nasabah bank, membuka
kesempatan kerja, meningkatkan jumlah barang dan jasa, menghemat
devisa negara, meningkatkan devisa negara apabila produk dari kredit
dibiayai untuk ekspor.
“Dalam kehidupan perekonomian yang modern, bank memegang
peranan yang sangat penting. Hal ini disebabkan karena usaha pokok bank
adalah memberikan fasilitas kredit yang mempunyai pengaruh besar dalam
kehidupan khususnya bidang perekonomian”.33
Menurut Muchadarsyah
Sinungan fungsi kredit adalah :
1. Kredit dapat meningkatkan daya guna uang
Dengan diberikannya kredit uang tersebut menjadi berguna untuk
menghasilkan barang atau jasa oleh si penerima kredit.
2. Kredit dapat meningkatkan daya guna barang
33
Ibid. hal. 14
39
Kredit yang diberikan oleh bank akan dapat digunakanoleh si debitur
untuk mengolah barang yang tidak beguna menjadi berguna atau
bermanfaat.
3. Kredit meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang
Dalam hal ini uang yang disalurkan akan berdar dari wilayah ke wilayah
lainnya, sehingga suatu daerah yang kekurangan uang dengan memperoleh
kredit maka daerah tersebut akan memperoleh tambahan uang dari daerah
lainnya.
4. Kredit adalah salah satu alat stabilisasi ekonomi
Dengan adanya kredit yang diberikan akan menambah jumlah barang yang
diperlukan oleh masyarakat. Dapat pula kredit membantu dalam
mengekspor barang dari dalam negeri ke luar negeri, sehingga
meningkatkan devisa negara.
5. Kredit menimbulkan kegairahan berusaha masyarakat
Bagi penerima kredit tentu akan dapat meningkatkan kegairahan berusaha,
apalagi bagi nasabah yang memang modalnya pas-pasan.
6. Kredit adalah jembatan untuk meningkatkan pendapatan nasional
Semakin banyak kredit yang disalurkan maka akan semakin baik, terutama
dalam meningkatkan pendapatan.
7. Kredit sebagai alat hubungan ekonomi internasional
Dalam hal pinjaman internasional akan dapat meningkatkan saling
membutuhkan antara si penerima kredit dengan si pemberi kredit.