bab ii tinjauan pustaka a. hukum acara perdata 1. …eprints.umm.ac.id/66591/3/bab ii.pdf · 2020....
TRANSCRIPT
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Acara Perdata
1. Pengertian Hukum Acara Perdata
Menurut Sudiko Mertokusumo, Hukum Acara Perdata adalah
peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara untuk menjamin
ditaatinya suatu hukum perdata materiil dengan perantara hakim.
Dengan kata lain hukum acara perdata adalah suatu peraturan hukum
yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum
perdata materiil. Dapat dikatakan pula bahwasanya hukum acara
perdata adalah aturan yang mengatur bagaimana caranya mengajukan
tuntutan hak, memeriksa serta memutus, dan pelaksanaan daripada
putusannya.10
Salah satu dari ahli hukum acara perdata yaitu, Abdulkadir
Muhammad juga memberikan definisi tentang Hukum Acara Perdata
bahwa: “Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang berfungsi
untuk mempertahankan berlakunya hukum perdata sebagaimana
mestinya. Karena penyelesaian perkara dimintakan melalui peradilan
(hakim). Hukum acara perdata dirumuskan sebagai peraturan hukum
yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui
10 Muhammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Acara Perdata Indonesia, Op.cit,
hlm 3
15
pengadilan, sejak diajukannya gugatan sampai dengan pelaksanaan
putusan hakim”.11
2. Asas-Asas Hukum Acara perdata
Terdapat beberapa asas yang dikenal dalam hukum acara
perdata yang menjadi dasar atau pedoman terlaksanakannya sebuah
norma-norma hukum, asas-asas tersebut yaitu:
a. Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan
Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan
disebutkan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan
bahwa “peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya
ringan”.
Asas peradilan sederhana mengandung arti bahwa suatu
tahapan proses yang dijalankan melalui mekanisme yang simple
dan tidak berbelit-belit, mudah dimengerti dan juga mudah untuk
dijalani oleh masyarakat dari latar belakang golongan manapun.
Sedangkan untuk konsep dari peradilan sederhana mengandung
makna bahwasanya tahapan untuk memperjuangkan hak
dipengadilan bisa dilakukan oleh siapa saja dan tidak harus selalu
diwakilkan oleh seorang pengacara atau orang yang cakap untuk
beracara dipengadilan.12
11 Muhammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum acara Perdata Indonesia, Op.cit,
hlm. 4 12Ridwan Mansyur dan D.Y.Witanto, Gugatan Sederhana Teori, Praktik dan Permasalahannya,
hlm. 47
16
Asas peradilan yang cepat, berhubungan dengan tempi dan
lamanya waktu yang akan diperjuangkan untuk menyelesaikan
sebuah perkara, semakin cepat waktu penyelesaian suatu perkara
maka akan semakin baik karena cepatnya waktu untuk
penyelesaian sebuah perkara secara tidak langsung akan
memperkecil biaya yang dibutuhkan. Prinsip dari cepat itu ialah
bahwa antara proses persidangan yang akan dijalani dengan waktu
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perkara tersebut harus
rasional dan efektif.
Asas peradilan murah tidak dapat terlepas dari keterbukaan
dan akuntabilitas pengadilan dalam menentukan biaya bagi proses
penyelesaian perkara, yang artinya bahwasanya biaya yang akan
dibebankan sesuai dengan rincian yang dikeluarkan oleh pihak
pengadilan. Akan tetapi diluar biaya yang ditentukan oleh
pengadilan beban yang juga akan dipikul oleh para pihak yang
berperkara adalah biaya nonperkara misalnya ongkos yang juga
harus dikeluarkan untuk hari dipersidangan, dan jika diwakilkan
oleh kuasa hukum, maka biaya untuk jasa penasihat hukum juga
akan menjadi tanggung jawab yang harus dipikul oleh pihak-pihak
yang berperkara, sehingga besar kecilnya biaya yang di perlukan
17
akan sangat berhubungan dengan lambat dan cepatnya suatu
perkara itu dapat diselesaikan.13
b. Asas Mencari Kebenaran Formil Dalam Perkara Perdata
Asas kebenaran formil dalam hukum acara perdata
memiliki arti bahwa proses dan tahapan pembuktian di tunjukan
untuk mencari kebenaran yang bersifar formil, hal ini pula berbeda
dengan asas yang berlaku dalam hukum acara pidana di mana
upaya pembuktian yang akan di lakukan semata-mata untuk
mencari dan menggali kebenaran yang bersifat materiil. Dalam
mencari kebenaran yang bersifat formil, hakim harus mencari dan
meminta pembuktian lain jika bukti yang di ajukan tersebut diakui
oleh Undang-Undang sebagai bukti yang akan menentukan.
Essensi pada proses mencari suatu kebenaran formil dalam
perkara perdata ialah apabila hakim tidak mampu menemukan
kebenaran materiilnya maka hakim cukup memutuskan dengan
kebenaran formilnya saja, artinya hakim perdata tidak wajib
memutuskan suatu perkara berdasarkan kebenaran materill, dan
sudah dapat mengambil kesimpulan cukup hanya dengan
menggunakan kebenaran formilnya saja, sedangkan dalam proses
perkara pidana kebenaran materiil bersifat wajib, apabila tidak
13 Ridwan Mansyur dan D.Y.Witanto, Gugatan Sederhana Teori, Praktik dan Permasalahannya,
hlm 51
18
diperoleh kebenaran materiil maka hakim tidak dapat menjatuhkan
putusan bersalah kepada terdakwa.14
c. Asas Imparsialitas
Asas imparsialitas memiliki arti bahwa hakim perdata harus
memperlakukan para pihak secara seimbang, apabila salah satu
pihak di berikan kesempatan, maka kesempatan yang sama harus
diberikan kepada pihak lainnya. Sehingga terdapat sebuah
keseimbangan hak dan kewajiban bagi para pihak untuk saling
mengajukan kepentingannya, baik kaitannya dengan pembuktian
atau dalam hal mengemukakan suatu dalil. Asas imparsialitas ini
mengandung arti yang luas, yaitu meliputi:
Tidak memihak
Bersikap adil dan jujur
Tidak bersikap diskriminatif atau menempatkan para pihak
pada posisi atau kedudukan yang sama dimata hukum (equal
before the law)15
Asas imparsialitas tidak dapat dilepaskan oleh makna
kesimbangan dalam proses berperkara, dan keseimbangan hanya
dapat diperoleh apabila para pihak sadar dan memahami tentang
hak dan kewajiban dalam proses berperkara, apabila salah satu
pihak tidak memahami mengenai hak dan kewajibannya maka
14 Ridwan Mansyur dan D.Y.Witanto, Gugatan Sederhana Teori, Praktik dan Permasalahannya,
hlm 54 15 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian
dan Putusan Pengadilan, PT Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.128
19
hakim memiliki kewajiban untuk memberikan penjelasan tentang
itu sampai para pihak mengerti, dan apabila saat para pihak telah
memahami dan mengerti maka disitulah hakim harus menerapkan
suatu aturan dan tata cara persidangan secara adil sesuai dengan
kesamaan hak dan kewajiban.
Hakim tidak diperbolehkan untuk memihak memiliki
pengertian bahwa hakim tidak diperkenankan untuk memberikan
kemudahan atau keuntungan yang mana keuntungan dan
kemudahan itu tidak di berikan kepada pihak yang lain dalam
perkara.
d. Asas Audi Et Alteram Partern (mendengarkan kedua belah pihak
yang berperkara)
Asas Audi Et Alteram Partern ialah asas yang berlaku pada
proses mencari sebuah kebenaran, yang artinya hakim dalam upaya
mencari suatu kebenaran baik kebenaran formil ataupun kebenaran
materiil haruslah mendengarkan dalil-dalik dari para pihak yang
berperkara, hakim memanglah tidak mungkin untuk
mengakomodir dua dalil sekaligus yang mana keduanya saling
berlawanan, pasti hakum akan mengambil suatu dalil yang mampu
untuk dibuktikan oleh pihak-pihak yang berperkara. Sedangkan
untuk dalik yang tidak dapat di buktikan oleh para pihak atau yang
20
nilai pembuktiannya lebih rendah dari kualitas pembuktian lawan
maka dalil tersebut akan dikesampingkan.16
Memutuskan suatu perkara ialah suatu tindakan menggali,
mengumpulkan, membandingkan, mencari, menganalisis lalu yang
yang pada akhirnya mengambil kesimpulan berdasarkan bukti-
bukti yang dihadirkan oleh pihak-pihak, apabila yang satu
memiliki bukti dan yang lain tidak ataupun masing-masing
memiliki bukti, namum bukti salah satu pihak lebih kuat dari bukti
yang dimiliki oleh pihak lainnya maka pada setiap kesimpulan
yang di putuskan haruslah melalui tahapan mendengarkan dan
meniliti segala sesuatu hal yang di sampaikan oleh para pihak
secara berimbang.17
e. Asas Hakim Bersifat Pasif
Salah satu asas pada hukum acara perdata yaitu, hakim
bersifat pasif. Yang mengandung pengertian bahwasanya hakim
dalam memeriksa suatu perkara perdata hanyalah memeriksa
perkara yang di ajukan oleh pihak yang berperkara saja, dan dalam
pokok sengketa dan ruang lingkup yang di tentukan sendiri oleh
pihak yang berperkara.18 Mohammad saleh dan Lilik memberiksan
kesimpulan mengenai arti “hakim bersifat pasif” yang ditinjau dari
16 Ridwan Mansyur dan D.Y.Witanto, Gugatan Sederhana Teori, Praktik dan Permasalahannya,
hlm 59 17 Ridwan Mansyur dan D.Y.Witanto, Gugatan Sederhana Teori, Praktik dan Permasalahannya,
hlm 59 18 Wahyu Muljono, Teori & Praktik Peradilan Perdata di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta,
2012 hlm 37
21
dua dimensi, yaitu dari datangnya perkara dan sisi luas sengketa.
Pertama dari sisi visi inisiatif datangnya suatu perkara atau
tidaknya, gugatan bergantung kepada pihak yang memiliki
kepentingan yang merasa ataupun dirasa bahwasanya haknya telah
dilanggar oleh orang lain. Jika tidak diajukannya gugatan oleh
pihak yang berperkara maka tidak ada hakim yang mengadili
perkara tersebut (Nemo judex sine actore). Kedua, dari sisi visi
luas pokok sengketa, hanya para pihak yang berhak menentukan
sehingga hakim hanya bertitik tolak pada peristiwa yang diajukan
oleh para pihak yang bersangkutan (secundum allegat iudicare).19
Pada perkara gugatan sederhana sebagaimana disebutkan
secara tegas dalam Pasal 14 Perma Nomer 4 Tahun 2019 bahwa
hakim bersifat aktif untuk:20
a) Memberikan penjelasan mengenai acara gugatan sederhana
secara berimbang kepada para pihak;
b) Mengupayakan penyelesaian perkara secara damai
termasuk menyarankan kepada para pihak untuk melakukan
perdamaian diluar persidangan;
c) Menuntut para pihak dalam pembuktian; dan
d) Menjelaskan upaya hukum yang dapat ditempuh para
pihak.
f. Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum
19 lihat : Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Loc.cit hlm 18 20 Pasal 14 Perma Nomor 4 Tahun 2019
22
Tujuan dari persidangan dilakukan secara terbuka untuk
umum ialah supaya dalam mengungkapkan suatu kebenaran dan
mencapai keadilan itu prosesnya dapat diikuti dan dilihat oleh
masyarakat, sehingga masyarakat dapat menyaksikan bagaimana
proses mencari suatu kebenaran itu apakah telah adil (fair) dan
impartial, atau hakim menerapkan standar yang sepihak dalam
menggali kebenaran, hal tersebut dapat diketahui dan disaksikan
langsung oleh masyarakat secara luas.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman pada pasal 13 ayat (1) menjelaskan bahwa “semua
sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum
kecuali undang-undang menentukan lain.”
Terdapat pengecualian dari asas persidangan terbuka untuk
umum ialah apabila terdapat suatu kepentingan untuk menjaga
keselamatan dan kehormatan dari seseorang di pandang lebih
penting daripada keterbukaan proses dalam penyelenggaraan
persidangan, misalnya pada perkara kesusilaan, kehormatan dari
korban yang terhina lebih penting untuk di jaga daripada proses
penyelenggaraan proses persidangan yang harus terbuka untuk
umum.21
g. Gugatan Sederhana Berada dalam Lingkup Peradilan Umum dan
Peradilan Agama
21 Ridwan Mansyur dan D.Y.Witanto, Gugatan Sederhana Teori, Praktik dan Permasalahannya,
hlm 63
23
Pasal 2 Perma Nomer 4 Tahun 2019 menyebutkan “gugatan
sederhana diperiksa dan diputus oleh pengadilan dalam lingkup
kewenangan peradilan umum” ketentuan tersebut juga sejalan
dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 yang menyebutkan bahwa
penyelesaian gugatan sederhana adalah tata cara pemeriksaan di
persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan
materiil paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana
B. Pengertian Gugatan Sederhana
Gugatan sederhana (small claim court) adalah sebuah mekanisme
penyelesaian perkara secara cepat sehingga yang dicperiksa dalam gugatan
sederhana adalah suatu perkara yang sederhana. Pasal 1 angka (1)
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2019 menyebutkan bahwa
“Penyelesaian gugatan sederhana adalah tata cara pemeriksaan di
persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materiil paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), yang di selesaikan
dengan pembuktian dan tata cara sederhana.”22
Dapat pula di simpulkan bahwa Gugatan Sederhana adalah sebuah
mekanisme penyelesaian sengketa perdata dipengadilan dimana pihak
penggugat dan pihak tergugat berada dalam yuridiksi hukum yang sama
dan dengan nilai materiil yang disengketakan tidak boleh lebih dari
22 Pasal 1 Perma Nomor 4 Tahun 2019
24
Rp500.000.000,- yang akan diselesaikan dengan pembuktian dan tata cara
yang sederhana.
C. Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana
Dalam proses penyelesaian gugatan sederhana memiliki beberapa
proses yang harus dan wajib untuk dilalui selama proses persidangan. Tata
cara dan prosedur dari pelaksanaan hukum acara tersebut diatur secara
rinci dalam PERMA No 4 tahun 2019. Tahapan penyelesaian Gugatan
Sederhana meliputi :
1) Pendaftaran.
2) Pemeriksaan kelengkapan gugatan sederhana.
3) Penetapan hakim dan penujukkan panitera pengganti.
4) Pemeriksaan pendahuluan
5) Penetapan hari sidang, dan pemanggilan para pihak.
6) Pemeriksaan sidang dan perdamaian.
7) Pemuktian.
8) Putusan.
Point yang harus diberikan perhatian tersendiri dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 ini ialah proses penyelesaian
gugatan sederhana paling lama 25 hari sejak hari sidang pertama.23
Dikarenakan hal tersebut sehingga tidak adanya proses acara Replik dan
Duplik, Provisi ataupun surat kesimpulan yang hal tersebut membutuhkan
23 Pasal 5 Perma Nomor 4 Tahun 2019
25
waktu yang lama. Dikarenakan tidak adanya proses Duplik dan Replik
tersebut letak ciri khas dari proses pemeriksaan gugatan sederhana.
D. Upaya Hukum dalam Perkara Gugatan Sederhana
Upaya hukum terhadap putusan Gugatan Sederhana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 adalah dengan mengajukan keberatan.
Keberatan diajukan kepada Ketua Pengadilan dengan menandatangani akta
pernyataan keberatan dihadapan panitera disertai alasan-alasannya.24
Permohonan keberatan diajukan paling lambat 7 hari setelah putusan
diucapkan atau setelah pemberitahuaan putusan. Permohonan keberatan
diajukan kepada ketua pengadilan dengan mengisi blanko permohonan
keberatan yang telah di sediakan di kepaniteraan. Pengajuan permohonan
keberatan yang melampaui batas waktu pengajuan sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 di nyatakan tidak dapat di terima dengan adanya penetapan
ketua pengadilan berdasarkan surat keterangan panitera.25
Kepaniteraan memeriksa dan menerima kelengkapan berkas
permohonan keberatan yang di sertai dengan memori keberatan. Kontra
memori keberatan sendiri dapat di ajukan kepada ketua pengadilan dengan
proses mengisi blanko yang telah disediakan dikepaniteraan.26 Proses
pemberitahuan keberatan dan beserta memori keberatan di sampaikan pada
pihak termohon keberatan dalam jangka waktu 3 hari sejak permohonan di
terima oleh pengadilan. Kontra memori keberatan tersebut di sampaikan
24 Pasal 19 Perma Nomor 4 Tahun 2019 25 Pasal 22 Perma Nomor 4 Tahun 2019 26 Pasal 23 Perma Nomor 4 Tahun 2019
26
kepada pengadilan paling lambat 3 (tiga) hari setelah pemberitahuan
keberatan.27
Terhadap proses pemeriksaan keberatan ketua pengadilan
menetapkan majelis hakim untuk memutus dan memeriksa permohonan
keberatan paling lambar 1 (satu) hari setelah permohonan dinyatakan
lengkap. Proses pemeriksaan keberatan di lakukan oleh hakim senior yang
di tunjuk oleh ketua pengadilan.28 Setelah di tetapkan majelis hakim maka
sesegera dilakukannya pemeriksaan keberatan. Pemeriksaan keberatan
hanya akan dilakukan atas dasar:
a. Putusan dan berkas gugatan sederhana
b. Permohonan keberatan dan memori keberatan, dan
c. Kontra memori keberatan
Dalam pemeriksaan keberatan tidak dilakukan pemeriksaan tambahan.29
Putusan terhadap permohonan keberatan diucapkan paling lambat
7 hari setelah tanggal penetapan Majelis Hakim.30 Ketentuan mengenai isi
putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) berlaku secara
mutatis mutandis terhadap isi putusan keberatan.31 Pemberitahuan putusan
keberatan disampaikan kepada para pihak paling lambat 3 hari sejak
diucapkan. Putusan keberatan berkekuatan hukum tetap terhitung sejak
27 Pasal 24 Perma Nomor 4 Tahun 2019 28 Pasal 25 Perma Nomor 4 Tahun 2019 29 Pasal 26 Perma Nomor 4 Tahun 2019 30 Pasal 27 Perma Nomor 4 Tahun 2019 31 Pasal 28 Perma Nomor 4 Tahun 2019
27
disampaikannya pemberitahuan.32 Putusan keberatan merupakan putusan
akhir yang tidak tersedia upaya hukum banding, kasasi atau peninjauan
kembali.33
Terhadap putusan yang dimaksud dalam pasal 20 yang tidak di
ajukannya keberatan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 22 ayat (1)
maka putusan tersebut berkekuatan hukum tetap. Terhadap putusan yang
telah berkekuatan hukum tetap di laksanakan secara sukarela.
Ketua pengadilan akan mengeluarkan penetapan aanmaning paling
lambat dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima surat
permohonan eksekusi. Ketua pengadilan akan menetapkan tanggal
pelaksanaan aanmaning paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah
penetapan aanmaning. Dalam hal kondisi geografis tertentu pada
pelaksanaan proses aanmaning tidak dapat di laksanakan dalam jangka
waktu 7 (tujuh) hari ketua pengadilan dapat menyimpangi ketentuan batas
waktu yang sudah disebutkan pada ayat (2b). Berdasarkan ketentuan
tersebut diatas tidak dipatuhi maka putusan akan dilaksanakan berdasarlan
ketentuan hukum acara perdata yang berlaku.34
E. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara.
Dasar hakim dalam menjatuhkan suatu putusan pengadilan
didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan
32 Pasal 29 Perma Nomor 4 Tahun 2019 33 Pasal 30 Perma Nomor 4 Tahun 2019 34 Pasal 31 Perma Nomor 4 Tahun 2019
28
sehingga didapatkan hasil yang maksimal dan seimbang dalam tataran
teori dan praktek. Hakim merupakan aparat penegak hukum melalui
putusannya dapat menjadi tolak ukur tercapainya suatu kepastian hukum.
Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang Dasar
1945 serta dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Hal ini tegas
dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009,
yaitu “kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia”.35 Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman
bebas dari segala campur tangan pihak kekasaan ekstra yudisial, kecuali
sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Kewenangan yang diberikan kepada Hakim untuk mengambil
suatu kebijaksanaan dalam memutus suatu perkara, telah diatur dalam
Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan : “Hakim dan Hakim konstitusi
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat”.36
Mengenai kebebasan Hakim, perlu pula dipaparkan posisi Hakim
yang tidak memihak (impartial jugde) pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
35 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 36 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
29
Nomor 48 Tahun 2009, yang dalam isinya menyatakan “Pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.37
Hakim-hakim diwajibkan untuk menegakkan keadilan dan hukum dengan
tidak boleh memihak. Dalam memberikan suatu keadilan hakim harus
terlebih dahulu menelaah mengenai suatu kebenaran peristiwa yang telah
di ajukan kepadanya, selanjutnya memberikan penilaian terhadap peristiwa
tersebut dan menghubungkannya dengan aturan hukum yang berlaku.
Selanjutnya hakim dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut.
Hakim-hakim dianggap mengetahui terhadap hukumnya sehingga tidak
diperbolehkan untuk menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa
yang akan di ajukan kepadanya. Sebagaimana hal tersebut telah di atur
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 Pasal 10 ayat (1), yaitu “Pengadilan dilarang menolak
untuk memeriksa, dan mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.38
F. Putusan Pengadilan
1. Pengertian Putusan
Sesuai dengan ketentuan pasal 178 HIR, pasal 189 RBG,
apabila pemeriksaan perkara selesai, majelis hakim karena jabatannya
melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan
37 Pasal 4 UU RI No. 48 Th. 2009 38 Pasal 10 UU RI No. 48 Th. 2009
30
dijatuhkan.39 Yang dimaksud dengan putusan hakim ialah putusan
akhir dari suatu pemeriksaan persidangan di pengadilan dalam suatu
perkara.40
2. Asas Putusan
Asas tersebut dijelaskan dalam pasal 178 HIR, pasal 189 RBG,
dan pasal 19 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 (dulu dalam pasal
18 UU No 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman).41
a. Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci.
b. Wajib mengadili seluruh bagian dari gugatan.
c. Tidak diperbolehkan mengabulkan melebihi gugatan.
d. Diucapkan di muka umum.
3. Formulasi Putusan
Formulasi putusan ialah sistematika atau susunan yang harus
dirumuskan pada putusan supaya memenuhi syarat dari perundang-
undangan. Putusan sendiri secara garis besar telah diatur pada pasal
184 ayat (1) HIR atau pada pasal 195 RBG. Jika putusan yang di
jatuhkan tidak sesuai susunan perumusan yang di gariskan pasal
tersebut maka putusan dianggap tidak sah dan diharuskan untuk
dibatalkan. Formula dari putusan juga diatur dalam pasal 23 Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana di ubah menjadi
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 yang sekarang terdapat pada
pasal 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Bertitik tolak pada 39 M. Yahya Harahap SH, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm.797 40 Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm 211 41 M.Yahya Harahap SH, Hukum Acara Perdata, Jakarta:Sinar Grafika, 2010, hlm.797
31
pasal-pasal tersebut diatas, maka terdapat beberapa unsur dari formula
yang harus dicantumkan dalam putusan.42
1) Memuat secara jelas dan ringkas pokok perkara, pertimbangan,
jawaban, dan amar putusan.
a. Dalil gugatan
Dalil gugatan (fundamentum petendi) di jelaskan dengan
singkat dasar hukum dan hubungan hukum serta fakta yang
menjadi dasar gugatan. Penerapan uraian dalil gugatan dalam
putusan, dibawah penyebutan identitas para pihak. Dalil gugatan
adalah landasan titik tolak pemeriksaan perkara, apabila putusan
yang tidak mencantumkan dalil gugatan dianggap tidak
mempunyai dasar titik tolak.43
b. Mencantumkan jawaban tergugat
Keharusan mencantumkan jawaban tergugat menurut
pasal 184 ayat 1 HIR cukup dengan ringkas. Tidak harus
keseluruhan. Cukup diambil yang pokok dan relevan dengan
syarat tidak boleh menghilangkan makna hakiki jawaban
tersebut. Agar ringkasan tersebut tidak menyimpang dari
jawaban yang sebenarnya, hakim dapat menanyakan tergugat
tentang hal-hal yang kurang jelas dan meragukan dalam
jawaban.44
c. Uraian singkat ringkasan dan lingkup pembuktian
42 M.Yahya Harahap SH, Hukum Acara Perdata, Jakarta:Sinar Grafika, 2010, hlm 807 43 Ibid 808 44 Ibid 808
32
Uraian selanjutnya deskripsi fakta dan alat bukti atau
pembuktian yang ringkas dan lengkap. Dimulai dengan alat
bukti atau pembuktian yang diajukan penggugat, dan dilanjutkan
dengan pembuktian tergugat:
a. Alat bukti apa saja yang di ajukan masing-masing pihak.
b. Terpenuhi atau tidaknya syarat materiil dan syarat formil
masing-masing alat bukti yang di ajukan.45
d. Pertimbangan hukum
Pertimbangan hukum pada putusan merupakan intisari
dan jiwa dalam sebuah putusan. Pertimbangan haruslah berisi
mengenai analisis, pendapat, argumentasi, atau kesimpulan
hukum dari hakim yang menangani perkara. Pada pertimbangan
akan di kemukakan analisis yang jelas berdasarkan Undang-
Undang pembuktian:46
a. Apakah alat bukti yang di ajukan oleh para pihak
memenuhi syarat materiil dan syarat formil.
b. Alat bukti pihak manakah yang mencapai batas
minimal pembuktian.
c. Dalil gugatan apa dan dalil bantahan apakah yang
terbukti.
d. Sejauh mana nilai kekuatan pembuktian yang di
miliki oleh para pihak.
45 Ibid 809 46 Ibid 809
33
Selanjutnya akan di ikuti dengan analisis hukum apa
yang akan di terapkan untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut. Bertumpu kepada analisis tersebut pertimbangan
melakukan rasional dan analisis, pihak manakah yang mampu
membuktikan dalil gugatannya atau dalil bantahan sesuai
dengan ketentuan hukum yang di terapkan. Berdasarkan hasil
argumentasi tersebut, hakim menjelaskan pendapatnya tentang
apa sajakah yang terbukti dan tidak terbukti, selanjutnya
dirumuskan menjadi kesimpulan hukum sebagai dasar landasan
penyelesaian perkara yang akan di tuangkan kedalam diktum
putusan.47
Pertimbangan hukum merupakan pertanggungjawaban
yuridis seorang hakim atas suatu konsep penalaran yang
digunakan, sehingga materi yang terkandung dalam
pertimbangan hukum harus dapat menjelaskan secara gamblang
dan terang mengenai duduk persoalan dari suatu perkara
berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh dan logika
penalaran yang menjadi arah dari kerangkat berfikir yang
digunakan dalam mengambil kesimpulan oleh hakim pada saat
menjatuhkan putusan. Pertimbangan hukum harus dapat
membawa pencari keadilan kepada alam pikiran secara yuridis
47 Ibid 809
34
bukan justru menimbulkan kebingungan karena konsep logika
dan penalaran yang digunakan tidak jelas dan berbelit-belit.48
Apabila putusan tidak lengkap mempertimbangkan bukti
dan nilai kekuatan setiap pembuktian, dapat mengakibatkan
putusan di anggap tidak cukup pertimbangan hukumnya
(onvoldoende gemotiveerd) dan putusan tersebut bertentangan
dengan pasal 189 RBG, pasal 178 ayat (1) HIR dan pasal 18
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah di
ubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 yang
sekarang terdapat dalam pasal 19 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 yang paling sering di jadikan dasar dalam
menyatakan putusan mengandung cacat atau tidak cukup
pertimbangan, terutama apabila disebabkan putusan tidak
mempertimbangkan fakta dan pembuktian dengan seksama.49
e. Ketentuan perundang-undangan
Keharusan dalam menyebut pasal-pasal tertentu pada
peraturan perundang-undangan yang di terapkan dalam suatu
putusan, telah di gariskan dalam pasal 184 ayat (2) HIR yang
menegaskan bahwasanya apabila putusan di dasarkan pada
aturan undang-undang yang pasti maka aturan tersebut haruslah
disebutkan. Dan juga telah di atur dalam pasal 23 ayat (1)
48 Ridwan Mansyur dan D.Y.Witanto, Gugatan Sederhana Teori, Praktik Dan Permasalahannya,
Jakarta: Pustaka Dunia, 2017, hlm 161
49 M. Yahya Harahap SH, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm.810
35
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah
dengan UU No 35 Tahun 1999 (sekarang pasal 25 ayat 1 UU No
4 Tahun 2004). Segala putusan pengadilan selain harus memuat
alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, harus juga memuat pasal-
pasal tertentu dan peraturan perundangan yang menjadi landasan
putusan, atau juga menyebut dengan jelas sumber hukum tidak
tertulis yang menjadi dasar pertimbangan dan putusan.50
f. Amar Putusan
Amar putusan atau yang biasa disebut dengan diktum
putusan merupakan suatu pernyataan yang berkenaan dengan
status dan hubungan hukum antara pihak yang bersengketa
dengan badan objek yang di sengketakan. Juga berisi tentang
perintah atau condemnatoir atau penghukuman yang di timpakan
kepada pihak-pihak yang berperkara.51
2) Mencantumkan biaya perkara.
Suatu hal yang juga harus dicantumkan dalam formulasi
putusan ialah mengenai biaya dari suatu perkara. Hal ini telah
diatur dalam pasal 184 ayat (1) HIR dan pasal 187 ayat (1)
RBG. Bahwa, selain suatu putusan mencantumkan tentang
pokok-pokok perkara sebagaimana yang telah di uraikan di atas,
harus juga mencantumkan mengenai banyaknya biaya perkara.
Bahkan juga dalam pasal 183 ayat (1) HIR dan pasal 194 RBG,
50 Ibid 810 51 Ibid 811
36
hal itupun telah ditegaskan bahwa banyaknya biaya perkara
yang dijatuhkan kepada salah satu pihak harus disebut dalam
putusan.52
4. Jenis Putusan
1) Putusan Declatoir (Pernyataan)
Putusan Declatoir adalah putusan yang hanya menegaskan atau
menyatakan suatu keadaan hukum semata-mata.53
2) Putusan Constitutief (Pengaturan)
Putusan constitutief ialah putusan yang dapat meniadakan suatu
keadaan hukum, atau dapat menimbukan suatu keadaan hukum
baru.54
3) Putusan Condemnatoir (Menghukum)
Putusan condemnatoir ialah putusan yang memiliki sifat
menghukum pihak yang di kalahkan dalam suatu persidangan
untuk memenuhi suatu prestasi. Pada umumnya putusan ini
terjadi disebabkan karena dalam hubungan perikatan antara pihak
penggugat dan pihak tergugat yang bersumber dari perjanjian atau
undang-undang telah terjadi wanprestasi dan perkaranya
diselesaikan didalam pengadilan.55
4) Putusan Preparatoir
52 Ibid 816 53 Sarwono, Hukum Acara Perdata dan Praktik, Jakarta:Sinar Grafika. 2011, hlm 212 54 Ibid 212 55 Ibid 212
37
Putusan Preparatoir adalah putusan sela yang digunakan untuk
mempersiapkan putusan akhir. Putusan ini tidak mempunyai
pengaruh terhadap pokok perkara atau putusan akhir karena
putusan ini dimaksudkan untuk mempersiapkan putusan akhir.56
5) Putusan Interlocutoir
Putusan interlocutoir ialah suatu putusan sela yang dalam isinya
menyatakan perintah untuk mengadakan pemeriksaan terlebih
dahulu terhadap bukti-bukti yang terdapat para pihak yang sedang
berperkara dan para saksi yang di pergunakan untuk menentukan
putusan akhir.57
6) Putusan Insidentil
Putusan insidentil ialah suatu putusan sela yang berhubungan
dengan peristiwa yang dapat memberhentikan suatu proses
peradilan biasa untuk sementara.58
7) Putusan Provisionil
Putusan provisionil ialah suatu putusan sela yang di jatuhkan
sebelum putusan akhir yang berhubungan dengan pokok perkara
agar untuk sementara dan menunggu putusan akhir yang
dilaksanakan terlebih dahulu dengan suatu alasan yang sangat
mendesak demi kepentingan dari salah satu pihak.59
8) Putusan Contradictoir
56 Ibid 213 57 Ibid 213 58 Ibid 214 59 Ibis 214
38
Putusan contradictoir ialah putusan yang menyatakan bahwasanya
pihak tergugat atau para tergugat pernah hadir salam persidangan,
akan tetapi dalam persidangan selanjutnya pihak tergugat atau
para tergugat tidak pernah hadir dalam persidangan, walaupun
tergugat atau para tergugat telah di panggil secara patut.60
9) Putusan Verstek Atau In Absensia
putusan Verstek atau In Absensia ialah suatu putusan yang
disebabkan karena tidak hadirnya tergugat dalam suatu perkara
setelah di panggil oleh pengadilan secara patut tetapi tidak pernah
hadir dalam persidangan dan tidak meminta wakilnya atau kuasa
hukumnya untuk mewakili untuk menghadiri dalam
persidangan.61
10) Putusan Akhir
Putusan akhir dalam suatu sengketa atau perkara berdasarkan
hukum acara perdata pada umumnya dapat berupa:
a. Gugatan di kabulkan
b. Gugatan ditolak
c. Gugatan tidak dapat diterima
d. Tidak berwenang mengadili
G. Jenis-Jenis Putusan Dalam Gugatan Sederhana.
Adapun jenis-jenis putusan dalam gugatan sederhana sebagai
berikut :
60 Ibid 215 61 Ibid 216
39
a. Putusan Gugatan Gugur
Putusan gugatan gugur ialah putusan yang menyatakan
bahwa gugatan gugur karena penggugat atau pemohon tidak hadir.
Disebutkan dalam pasal 13 ayat (1), dalam hal penggugat tidak
hadir pada hari sidang pertama dengan tanpa alasan yang sah maka
gugatan akan dinyatakan gugur.62
b. Putusan Contradictoir
Putusan contradictoir ialah suatu putusan yang menyatakan
bahwasanya tergugat atau para tergugat pernah hadir dalam
persidangan akan tetapi pada persidangan yang selanjutnya tidak
pernah hadir walaupun sudah dipanggil secara patut. Secara yuridis
hakim yang menangani perkara ini dapat menjatuhkan putusan
contradictoir.63
Pasal 13 ayat (4) Perma Nomor 4 Tahun 2019 menyatakan
bahwa “dalam hal tergugat pada hari sidang pertama hadir dan
pada hari sidang berikutnya tidak hadir tanpa alasan yang sah,
maka gugatan diperiksa dan diputus secara contradictoir.”64
c. Putusan Verstek
Putusan verstek adalah putusan tidak hadirnya tergugat
dalam suatu perkara setelah dipanggil oleh pengadilan dengan
patut tidak pernah hadir dalam persidangan dan tidak menyuruh
62 Pasal 13 Perma Nomor 4 Tahun 2019 63 Sarwono, Hukum Acara Perdata, hlm.215 64 pasal 13 Perma Nomor 4 Tahun 2019
40
wakilnya atau kuasa hukumnya untuk menghadiri dalam
persidangan.65 Disebutkan dalam pasal 13 ayat (3) yang
menyatakan bahwa “dalam hal tergugat tidak hadir pada hari
sidang kedua setelah dipanggil secara patut maka hakim memutus
perkara tersebut secara verstek.” Terhadap putusan verstek tersebut
tergugat dapat mengajukan perlawanan atau yang dikenal dengan
verzet dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah pemberitahuan
dari putusan.66
d. Putusan Akta Perdamaian
Pada saat hari sidang pertama dalam gugatan sederhana,
hakim diwajib mengupayakan suatu perdamaian. Upaya
perdamaian dalam Perma Nomor 4 Tahun 2019 mengecualikan
ketentuan yang diatur dalam ketentuan Mahkamah Agung
mengenai prosedur mediasi. Dalam hal tercapainya suatu
perdamaian, hakim membuat putusan akta perdamaian yang
mengikat para pihak. Terhadap putusan akta perdamaian ini tidak
dapat diajukan upaya hukum apapun. Dalam hal tercapainya
perdamaian di luar persidangan dan perdamaian tersebut tidak
dilaporkan kepada hakim, maka hakim tidak terikat dengan
perdamaian tersebut.67
e. Putusan Dismissal
65 Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori Dan Praktik, Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hlm. 216 66 Pasal 13 Perma Nomor 4 Tahun 2019 67 Pasal 15 Perma Nomor 4 Tahun 2019
41
Sistem gugatan sederhana mengenal istilah dismissal
process, dimana saat sidang pendahuluan hakim berwenang
menilai dan menentukan apakah perkara tersebut masuk kriteria
gugatan sederhana. Apabila pada saat pemeriksaan pendahuluan
hakim berpendapat perkara tersebut tidak termasuk kedalam
perkara gugatan sederhana, maka dikeluarkan penetapan perkara
tidak berlanjut.
Pasal 11 ayat (3) menyatakan “apabila dalam pemeriksaan,
Hakim berpendapat bahwa gugatan tidak termasuk dalam gugatan
sederhana, maka Hakim mengeluarkan penetapan yang
menyatakan bahwa gugatan bukan gugatan sederhana, mencoret
dari register perkara dan memerintahkan pengembalian sisa biaya
perkara kepada penggugat.” Terhadap penetapan sebagaimana
dimaksud tersebut tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun.68
f. Putusan Akhir
Putusan akhir merupakan tindakan atau perbuatan hakim
sebagai penguasa atau pelaksana kekuasaan kehakiman untuk
menyelesaikan dan mengakhiri sengketa yang terjadi siantara pihak
yang berperkara.69 Dalam gugatan sederhana setelah
dikeluarkannya putusan maka dapat dilakukan upaya keberatan.
68 Pasal 11 Perma Nomor 4 Tahun 2019 69 M.Yahya, Hukum Acara Perdata, hlm 887
42
Terhadap putusan yang tidak diajukan keberatan maka putusan
berkekuatan hukum tetap.70
g. Putusan Atas Keberatan
Dalam penyelesaian perkara gugatan sederhana, putusan
keberatan merupakan putusan akhir yang tidak tersedia upaya
hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali.71
B. Peradilan Umum dan Peradilan Khusus.
Peradilan umum mengenai perkara perdata dan perkara pidana
secara umum badan yang menjalankannya terdiri dari pengadilan negeri
sebagai pengadilan tingkat pertama, dan pengadilan tinggi sebagai
pengadilan tingkat banding. Letak dari pengadilan negeri berada di ibukota
kabupaten atau juga kota yang telah menjadi wilayah dari kewenangannya,
sedangkan untuk letak dari pengadilan tinggi berkedudukan atau berada di
ibukota provinsi dengan kewengan meliputi provinsi tersebut.
Peradilan ini telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun
1986 tentang Peradilan Umum jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004
jo Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009 jo Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 37/PUU-X/2012.
Sampai dengan sekarang telah tercatat terdapat 6 (enam)
pengadilan khusus yang terdapat dalam lingkungan peradilan umum,
yaitu:
70 Pasal 31 Perma Nomor 4 Tahun 2019 71 Pasal 30 Perma Nomor 4 Tahun 2019
43
1. Pengadilan Anak (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak)
2. Pengadilan Tipikor (pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi)
3. Pengadilan Perikanan (pasal 71 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perikanan)
4. Pengadilan HAM (pasal 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia)
5. Pengadilan Niaga (pasal 306 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004
tentang Kepailitan dan PKPU, pasal 95 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2014 tentang Hak Cipta, pasal 30 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, pasal 12 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, pasal 50 dan 52
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan)
6. Pengadilan Hubungan Industrial (pasal 1 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial)72
72 https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b4f09b41a4e1/bingung-mau-berperkara-mari-
kenali-jenis-jenis-pengadilan-di-indonesia?page=all diakses pada tanggal 27 Juli 2020 pukul 19.50