bab ii tinjauan pustaka 2.1 teori pemungutan pajak 2.1.1
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Pemungutan Pajak
2.1.1 Teori Bakti
Terdapat beberapa teori pajak yang dikemukanan oleh Siti Resmi (2009:6)
yang dapat digunakan sebagai dasar pemungutan pajak, diantaranya teori asuransi,
teori kepentingan, teori daya pikul, teori daya beli, dan teori bakti. Dari teori-teori
tersebut, teori yang paling mendukung variabel penelitian adalah teori bakti yang
penjelasannya sebagai berikut:
”Teori ini mengutamakan kepentingan negara yang merupakan suatukesatuan dari individu-individu dimana setiap warga negara terikat kepadapemerintahnya, sehingga negara mempunyai hak atas warganya danmemungkinkan secara mutlak untuk memungut pajak dari rakyatnya.Sebaliknya rakyat secara sadar membayar pajak karena menyadarinyasebagai kewajiban asli untuk membuktikan tanda baktinya kepada negara.”
2.2 Pajak
2.2.1 Pengertian Pajak
Pengertian pajak menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 1 :
“Pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada negara yang terutang olehorang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dandigunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuranrakyat”.
8
Sedangkan pengertian pajak yang dikemukakan oleh para pakar antara
lain, menurut Prof. Dr. PJ.A. Adriani (dikutip dari Sari, 2013:34) :
“Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan)yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturanumum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yanglangsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayaipengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untukmenyelenggarakan pemerintahan”.
Menurut S. I. Djajadiningrat (dikutip dari Resmi, 2009:1) :
“Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan kekas negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yangmemberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurutperaturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidakada jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk memeliharakesejahteraan secara umum”.
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH (dikutip dari Mardiasmo,
2006:1) :
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum”.
Dari pengertian-pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah.
9
2. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang serta peraturan
pelaksanaannya.
3. Pemungutan pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi
kewajiban perpajakan.
4. Dalam pembayarannya pajak tidak dapat ditunjukan secara langsung
adanya imbalan (kontraprestasi) individual oleh pemerintah terhadap
pembayaran pajak yang dilakukan oleh para wajib pajak.
5. Pemungutan pajak diperuntukan bagi keperluan pembiayaan umum
pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan.
6. Pajak dipungut disebabkan seuatu keadaan, kejadian, atau perbuatan yang
memberikan kedudukan tertentu pada seseorang.
2.2.2 Fungsi Pajak
Berdasarkan pada pengertian pajak yang telah dijelaskan, dapat
disimpulkan bahwa fungsi dari pajak adalah sebagai sumber pendapatan negara
yang dipergunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara yang
bertujuan untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyat secara umum.
Terdapat dua fungsi pajak yang dikemukakan oleh Siti Resmi (2009:3)
adalah sebagai berikut :
1. Fungsi Budgetair (Sumber Keungan Negara)
Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah
satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran
10
baik rutin maupun pembangunan dengan berupaya memasukkan uang
sebanyak-banyaknya untuk kas negara.
2. Fungsi Regularend (mengatur)
Pajak mempunyai fungsi mengatur, artinya pajak sebagai alat
mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang
sosial dan ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar
bidang keuangan.
2.2.3 Asas-Asas Pemungutan Pajak
Agar tujuan dari pemungutan pajak dapat tercapai, maka dalam memilih
alternatif pemungutan pajak harus berpegang teguh terhadap asas-asas
pemungutan pajak itu sendiri. Sehingga terdapat keserasian antara pemungutan
pajak dengan tujuan dan asas-asas yang ada. Asas-asas pemungutan pajak yang
ditulisakan oleh Adam Smith dalam bukunya yang kemudian dikenal dengan
nama The Four Cannons atau The Four Maxims (Suandy, 2005:27) adalah
sebagai berikut :
1. Equality
Pembebanan pajak di antara subjek pajak hendaknya seimbang dengan
kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya di
bawah perlindungan pemerintah. Dalam hal equity ini tidak diperbolehkan
suatu negara mengadakan diskriminasi di antar sesama Wajib Pajak.
Dalam keadaan yang sma Wajib Pajak harus diperlakukan sama dan dalam
keadaan berbeda Wajib Pajak harus diperlakukan berbeda.
11
2. Certainty
Pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak harus jelas dan tidak mengenal
kompromi (not arbitrary). Dalam asas ini kepastian hukum yang
diutamakan adalah mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan
ketentuan mengenai pembayarannya.
3. Convenience of Payment
Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi Wajib Pajak,
yaitu pada saat sedekat-dekatnya dengan saat diterimannya
penghasilan/keuntungan yang dikenakan pajak.
4. Economic of Collections
Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat (seefisien) mungkin,
jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak
itu sendiri. Karena tidak ada artinya pemungutan pajak kalau biaya yang
dikeluarkan lebih besar dari penerimaan pajak yang akan diperoleh.
Sedangkan asas pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Mardiasmo
(2006:7) adalah sebagai berikut :
1. Asas Domisili (asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak
yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari
dalam maupun luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam
negeri.
12
2. Asas Sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
3. Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya
pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan
berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini
berlaku bagi Wajib Pajak Luar Negeri.
2.2.4 Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2006:7) adalah sebagai
berikut:
a. Official Assesment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada
pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh
Wajib Pajak.
Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk menenkutan besarnya pajak terutang ada pada
fiskus.
2) Wajib Pajak bersifat pasif.
3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh
fiskus.
13
b. Self Assesment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk menetukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib
Pajak sendiri.
2) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang.
3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c. With Holding Tax
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan)
untuk menetukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya:
Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak
ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
2.2.5 Pembagian Pajak
Sebagaimana yang dipaparkan oleh Siti Resmi (2009:7) pajak dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu pembagian pajak menurut
golongan, pembagian pajak menurut sifat, dan pembagian pajak menurut
pemungutan dan pengelolaanya. Dari pembagian pajak tersebut, pembagian pajak
14
yang sesuai dengan variabel penelitian adalah pembagian pajak menurut
pemungutan dan pengelolaanya yang penjelasannya sebagai berikut:
Pembagian pajak menurut pemungutan dan pengelolanya dibagi menjadi
dua, yaitu sebagai berikut:
a. Pajak pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga. Pajak negara yang berlaku
di Indonesia sampai saat ini adalah: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), dan Bea Materai.
b. Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Contohnya: Pajak Reklame, Pajak Hiburan, dll.
2.3 Pajak Daerah
2.3.1 Pengertian Pajak Daerah
Pengertian pajak daerah menurut Undang-Undang Republik indonesia
Nomor 28 tahun 2009 pasal 1 angka 10 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah adalah sebagai berikut:
“Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajibkepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifatmemaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkanimbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagisebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Sedangkan pengertian pajak daerah menurut Suandy (2002:41) adalah
sebagai berikut:
15
“Pajak daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada
Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan
Daerah”.
2.3.2 Dasar Hukum Pemungutan Pajak Daerah
Dasar hukum pemungutan pajak daerah adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 yang
merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997
tentang pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah.
2.3.3 Ciri-ciri Pajak Daerah
Ciri-ciri pajak daerah yang dikemukanan Mariastuti (2012:23) adalah
sebagai berikut:
a. Pajak daerah berasal dari pajak negara yang diserahkan kepada baerah
sebagai pajak daerah.
b. Penyerahan dilakukan berdasarkan Undang-Undang.
c. Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan Undang-Undang
atau peraturan hukum lainnya.
d. Hasil pemungutan pajak daerah digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah atau untuk membiayai
pengeluaran daerah sebagai badan hukum publik.
16
2.3.4 Jenis-Jenis Pajak Daerah
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009
jenis pajak daerah dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Jenis Pajak provinsi terdiri atas:
1) Pajak Kendaraan bermotor;
2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
4) Pajak Air Permukaan; dan
5) Pajak Rokok.
b. Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas:
1) Pajak Hotel;
2) Pajak Restoran;
3) Pajak Hiburan;
4) Pajak Reklame;
5) Pajak Penerangan Jalan;
6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
7) Pajak Parkir;
8) Pajak Air Tanah;
9) Pajak Sarang Burung Walet;
10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
17
2.3.5 Tarif Pajak Daerah
Tarif pajak daerah yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 yang ditetapkan dengan
pembatasan tarif paling tinggi, yang berbeda untuk setiap jenis pajak daerah,
yaitu:
a. Tarif Pajak provinsi:
1) tarif Pajak Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi 10%;
2) tarif Bea Balik Nama kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi
20%;
3) tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetatpkan paling tinggi
10%;
4) tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi 10%; dan
5) tarif Pajak Rokok ditetapkan paling tinggi 10%.
b. Tarif Pajak kota/kabupaten:
1) tarif Pajak Hotel ditetapkan palinh tinggi 10%;
2) tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi 10%;
3) tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi 35%;
4) tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi 25%;
5) tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi 10%;
6) tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan paling tinggi
25%;
7) tarif Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi 30%;
8) tarif Pajak Air Tanah ditetapkan paling tinggi 20%;
18
9) tarif Pajak Sarang Burung walet ditetapkan paling tinggi 10%;
10) tarif Pajak Buni dan Bangunan ditetapkan paling tinggi 0,3%; dan
11) tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling
tinggi 5%.
2.4 Model Leviathan
Penggalian sumber-sumber keuangan daerah khususnya yang berasal dari
pajak daerah pada dasarnya perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu : (i) dasar
pengenaan pajak dan (ii) tarif pajak. pemerintah daerah cenderung untuk
menggunakan tarif yang tinggi agar memperoleh total penerimaan pajak daerah
yang maksimal. Pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi, secara teoritis tidak selalu
menghasilkan total penerimaan maksimum. Hal ini tergantung pada respons wajib
pajak terhadap permintaan dan penawaran barang yang dikenakan tarif pajak lebih
tinggi. Formulasi model ini dikenal sebagai Model Leviathan yang dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1Model Leviathan
t*
T*
Tarif Pajak Daerah
Total penerimaan Daerah
Kurva Laffer
19
Gambar 2.1 menunjukan hubungan antara tarif pajak proporsional atas basis
pajak tertentu. Bentuk kurva (“Laffer”) yang berbentuk parabola menghadap sumbu
Y (tarif pajak), menghasilkan total penerimaan pajak maksimum yang ditentukan
oleh kemampuan wajib pajak untuk menghindari beban pajak baik legal maupun
ilegal dengan mengubah “economoc behavior” dari wajib pajak. Gambar ini juga
mengasumsikan bahwa penyesuaian wajib pajak terhadap pengenaan tarif pajak
tertentu adalah independent terhadap jenis pajak dan tarif pajak lainnya. Model
Leviathan akan mencapai total penerimaan pajak maksimum (T*) pada tarif t*.
Pada tarif t*, menunjukkan bukanlah tarif tertinggi, tetapi dapat dicapai total
penerimaan pajak maksimum. Pada kondisi ini dikenal sebagai Revenue
Maximizing Tax Rate.
Model Leviathan ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa
peningkatan penerimaan pajak daerah tidak harus dicapai dengan mengenakan
tarif pajak yang terlalu tinggi, tetapi dengan pengenaan tarif pajak yang lebih
rendah dikombinasikan dengan struktur pajak yang meminimalkan penghindaran
pajak dan respon harga dan kuantitas barang terhadap pengenaan pajak
sedemikian rupa, maka akan dicapai Total Penerimaan Maksimum.
2.5 Pajak Restoran
2.5.1 Pengertian Pajak Restoran
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pasal 1 angka 22 dan 23,
pajak restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
Sedangkan yang dimaksud dengan restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan
20
atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan,
kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.
Pemungutan pajak restoran di indonesia saat ini didasarkan pada Undang-
Undang Nomor 34 tahun 2000 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan
Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Semula menurut
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 pajak atas restoran disamakan dengan
nama Pajak Hotel dan Restoran, akan tetapi berdasarkan Undang-Undang Nomor
34 Tahun 2000 jenis pajak tersebut dipisahkan menjadi dua jenis pajak, yaitu
pajak hotel dan restoran.
Menurut Siahaan (2010: 328) dalam pemungutan pajak restoran terdapat
beberapa terminologi yang perlu diketahui. Terminologi tersebut dapat dilihat
berikut ini:
1. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan atau minuman dengan
dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin,
warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.
2. Pengusaha restoran adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun,
yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan usaha di
bidang rumah makan.
3. Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima sebagai
imbalan atas penyerahan barang atau pelayanan, sebagai pembayaran
kepda pemilik rumah makan.
21
4. Bon penjualan (bill) adalah bukti pembayaran, yang sekaligus sebagai
bukti pungutan pajak, yang dibuat oleh wajib pajak pada saat mengajukan
pembayaran atas pembelian makanan dan atau minuman kepada subjek
pajak.
2.5.2 Dasar Hukum Pemungutan Pajak Restoran
Menurut Siahaan (2010:329) pemungutan pajak restoran di indonesia saat
ini didasarkan pada dasar hukum yang jelas dan kuat, sehingga harus dipatuhi
oleh masyarakat dan pihak yang terkait. Dasar hukum pemungutan pajak restoran
pada suatu kabupaten atau kota adalah sebagaimana di bawah ini:
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.
2. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas
Undang-Undang 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
4. Peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur tentang Pajak Restoran.
5. Keputusan bupati/walikota yang mengatur tentang Pajak Restoran sebagai
aturan pelaksanaan Peraturan Daerah tentang Pajak Restoran pada
kabupaten/kota dimaksud.
22
2.5.3 Objek Pajak Restoran
2.5.3.1 Objek Pajak restoran
Menurut Perda Nomor 3 Tahun 2003 pasal 2 ayat 1 yang dimaksud dengan
objek pajak restoran adalah “Pelayanan yang disediakan oleh restoran dengan
pembayaran”. Termasuk dalam objek pajak restoran dalam ayat 1 tersebut adalah:
a. Restoran, rumah makan, cafe, bar, dan sejenisnya.
b. Pelayanan di restoran/rumah makan meliputi penjualan makanan dan atau
minuman di restoran/rumah makan, termasuk penyediaan penjualan
makan/minuman yang diantar/dibawa pulang.
2.5.3.2 Bukan Objek Pajak Restoran
Pada pajak restoran, tidak semua pelayanan yang diberikan oleh
restoran/rumah makan dikenakan pajak. Ada beberapa pengecualian yang tidak
termasuk objek pajak, menurut Perda Nomor 28 tahun 2009 pasal 2 ayat 2,
pengecualian tersebut yaitu:
a. Pelayanan usaha jasa boga atau catering;
b. Pelayanan yang disediakan oleh restoran/rumah makan yang peredaran
usahanya tidak melebihi Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah) per bulan.
2.5.4 Subjek Pajak Restoran
Menurut Perda Nomor 28 Tahun 2009 pasal 3, yang menjadi subjek pajak
restoran adalah “Orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran kepada
restoran/rumah makan, cafe, bar dan sejenisnya”. Secara sederhana, yang menjadi
23
subjek pajak adalah konsumen yang menikmati dan membayar pelayanan yang
diberikan oleh pengusaha restoran. Sementara itu, yang menjadi Wajib Pajak
menurut Perda Nomor 28 Tahun 2009 pasal 4 adalah “ Wajib pajak adalah orang
pribadi atau badan yang mengusahakan restoran/rumah makan, cafe, bar dan
sejenisnya.”.
Dalam menjalankan kewajiban perpajakan, wajib pajak dapat diwakili oleh
pihak tertentu yang diperkenankan oleh Undang-undang dan peraturan daerah
tentang pajak restoran. Wakil wajib pajak bertanggung jawab secara pribadi dan
atau secara tanggung rentang atas pembayaran pajak terutang. Selain itu, wajib
pajak da[at menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan.
2.5.5 Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak Restoran
2.5.5.1 Dasar Pengenaan Pajak Restoran
Menurut Perda Nomor 28 Tahun 2009 pasal 5, “Dasar pengenaan pajak
restoran adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada restoran”. Jika
pembayaran dipengaruhi oleh hubungan istimewa, harga jual atau penggantian
dihitung atas dasar harga pasar yang wajar pada saat pemebelian makanan dan
minuman. Pembayaran adalah jumlah uang yang harus dibayar oleh subjek pajak
kepada wajib pajak untuk harga jual baik jumlah uang yang dibayarkan maupun
penggantian yang seharusnya diminta wajib pajak sebagai penukar atas pembelian
makanan dan atau minuman, termasuk pula semua tambahan dengan nama apa
pun juga dilakukan berkaitan dengan usaha restoran (Siahaan, 2010: 331).
24
2.5.5.2 Tarif Pajak Restoran
Menurut Perda Nomor 28 Tahun 2009 pasal 6, tarif pajak restoran
ditetapkan paling tinggi sebesar sepuluh persen dan ditetapkan dengan peraturan
daerah kabupaten/kota untuk menetapkan tarif pajak yang dipandang sesuai
dengan kondisi masing-masing daerah kabupaten/kota. Dengan demikian, setiap
daerah kabupaten/kota diberi wewenang untuk menetapkan besarnya tarif pajak
yang mungkin berbeda dengan kabupaten/kota lainnya, asalkan tidak lebih dari
sepuluh persen.
2.5.5.3 Perhitungan Pajak Restoran
Besarnya pokok pajak restoran yang terutang dihitung dengan cara
mengalihkan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Secara umum perhitungan
pajak restoran adalah sesuai dengan rumus berikut (Siahaan, 2010:332)
Pajak terutang = Tarif Pajak X Dasar Pengenaan Pajak
= Tarif Pajak X Jumlah Pembayaran yang dilakukan kepada
restoran
2.6 Ekstensifikasi Pajak
Pengertian ekstensifikasi pajak menurut Surat Edaran Direktorat Jendral
Pajak No. SE - 06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Pajak dan
Intensifikasi Pajak adalah sebagai berikut:
25
“Ekstensifikasi pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambah
jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi
Direktorat Jendral Pajak (DJP)”.
Ekstensifikasi pajak memfokuskan pada peningkatan kesadaran wajib
pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dan memfokuskan pada
penambahan jumlah wajib pajak terdaftar dan perluasan objek pajak. Hal ini
sesuai dengan strategi ekstensifikasi yang dilakukan oleh Dinas Pelayanan Pajak
Kota Bandung guna mengoptimalisasi pajak daerah, antara lain:
1. Penyesuaian tarif pajak daerah disesuaikan peraturan perundang-undangan
yang berlaku serta dengan mempertimbangkan perkembangan kondisi
sosial ekonomi masyarakat.
2. Menggali potensi pajak daerah baru, melalui persiapan perlimpahan pajak
pusat dan pajak propinsi.
Agar kegiatan ekstensifikasi berhasil sesuai yang diharapkan maka
menurut Drs. B. Boediono, M. Si. (dikutip Yusuf, 2010:51), terdapat tiga fungsi
utama aparatur perpajakan untuk menjamin suksesnya sistem perpajakan
(termasuk pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi), yaitu
penyuluhan, pelayanan, dan pengawasan. Ketiga hal tersebut tidak boleh
dipisahkan dan harus berjalan bersamaan untuk mewujudkan sistem perpajakan
yang baik yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor
pajak. Selain itu kesadaraan wajib pajak sangat dibutuhkan karena dengan
26
meningkatkan kesadaran dan jumlah wajib pajak maka akan meningkatkan jumlah
pendapatan negara melalui pajak.
2.7 Intensifikasi Pajak
Pengertian Intensifikasi pajak menurut Surat Edaran Direktorat Jendral
Pajak No. SE - 06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Pajak dan
Intensifikasi Pajak adalah sebagai berikut:
“Intensifikasi pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan
pajak terhadap objek serta subjek yang telah tercatat atau terdaftar dalam
administrasi DJP, dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak”.
Intensifikasi pajak merupakan cara meningkatkan pendapatan daerah
dengan memfokus pada kegiatan optimalisasi penggalian pendapatan atau
penerimaan pajak terhadap objek serat subjek pajak yang telah tercatat. Hal ini
sesuai dengan strategi intensifikasi yang dilakukan oleh Dinas Pelayanan Pajak
Kota Bandung guna mengoptimalisasi pajak daerah, antara lain:
1. Penyederhanaan proses administrasi pemungutan dan penyempurnaan
sistem pelayanan pajak daerah.
2. Optimalisasi pelaksanaan landasan hukum yang berkaitan dengan pajak
daerah.
3. Sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai ketentuan pajak
daerah.
27
4. Peningkatan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pemungutan
penerimaan pajak daerah.
5. Peningkatan koordinasi dan kerja sama antar unit satuan kerja terkait agar
penerimaan yang bersumber dari pajak daerah dapat tercapai secara
optimal.
6. Pengembangan sistem informasi online pajak daerah.
2.8 Kota Bandung
Secara geografis Kota Bandung terletak di wilayah Jawa Barat dan
merupakan Ibu Kota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak di antara 107°-
43° Bujur Timur dan 6°00-6°20 Lintang Selatan. Secara topologis Kota Bandung
terletak pada ketinggian 768 Meter di atas permukaan laut, titik tertinggi di daerah
Utara dengan ketinggian 1.050 Meter dan terendah di sebelah Selatan adalah 675
Meter di atas permukaan laut.
Kota Bandung dikelilingi oleh pegunungan, sehingga Bandung merupakan
suatu cekungan (Bandung Basin), dibagian Selatan permukaan tanah relatif datar,
sedangkan di wilayah Kota Bandung bagian Utara permukaan tanahnya berbukit-
bukit, sehingga merupakan panorama yang indah.
Batas-batas administratif Kota Bandung adalah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Lembang Kabupaten
Bandung Barat.
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Cileunyi Kabupaten
Bandung.
28
3. Sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Terusan Pasteur Kecamatan
Cimahi Utara, Cimahi Selatan dan Kota Cimahi.
4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Dayeuh Kolot,
Bojongsoang, Kabupaten Bandung.
Iklim Kota Bandung dipengaruhi oleh iklim pegunungan yang lembab dan
sejuk. Pada tahun 1998 temperatur rata-rata 23,5°C, dengan curah hujan rata-rata
200,4 mm dan jumlah hari hujan rata-rata 21,3 hari perbulan.
2.9 Sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung
Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dikelola oleh Kota
Bandung adalah sebagai berikut:
1. Hasil Pajak Daerah;
2. Hasil Retribusi Daerah;
3. Bagian Laba Usaha Daerah; dan
4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah
2.10 Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai peningkatan Pendapatan Asli Daerah telah dilakukan
oleh peneliti-peneliti sebelumnya yang digunakan oleh penulis sebagai rujukan
yaitu:
29
1. Nurul Aziza Yusuf (2010)
Melakukan Penelitian dengan judul “Pengaruh Ekstensifikasi Dan
Intensifikasi Pajak Hotel dan Restoran Terhadap Pendapatan Asli Daerah
Pada Pemerintahan Kota Bandung (2003-2009)”, menyimpulkan bahwa
signifikansi pengaruh pengaruh ekstensifikasi dan intensifikasi pajak
terhadap PAD secara parsial, ekstensifikasi pajak berpengaruh signifikan
terhadap pendapatan asli daerah, dan intensifikasi pajak tidak berpengaruh
signifikan terhadap pendapatan asli daerah. Sedangkan secara simultan,
ekstensifikasi dan intensifikasi berpengaruh signifikan terhadap PAD.
2. Dwi Yulianti Mariantuti (2012)
Melakukan Penelitian dengan judul “Pengaruh Ekstensifikasi Dan
Intensifikasi Pajak Daerah Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
Pada Pemerintahan Kota Bandung”, menyimpulkan bahwa signifikansi
pengaruh pengaruh ekstensifikasi dan intensifikasi pajak terhadap PAD
secara parsial, ekstensifikasi pajak berpengaruh signifikan terhadap
pendapatan asli daerah, dan intensifikasi pajak tidak berpengaruh
signifikan terhadap pendapatan asli daerah. Sedangkan secara simultan,
ekstensifikasi dan intensifikasi berpengaruh signifikan terhadap PAD.
30
Tabel 2.1Penelitian Terdahulu
No NamaPeneliti
JudulPenelitian
Hasil Penelitian Kesamaan(=)
Ketidaksamaan(≠)
1. NurulAzizaYusuf(2010)
PengaruhEkstensifikasiDanIntensifikasiPajak HotelDan RestoranTerhadapPendapatanAsli DaerahPadaPemerintahanKota Bandung(2003-2009)
Secara parsialekstensifikasi pajakberpengaruhsignifikan terhadappendapatan aslidaerah, danintensifikasi pajaktidak berpengaruhsignifikan terhadappendapatan aslidaerah. Secarasimultanekstensifikasi danintensifikasi pajakberpengaruhsignifikan terhadappendapatan aslidaerah
Ekstensifikasidanintensifikasipajak restoranpadaPemerintahanKota Bandung
Variabeldependen, dantahun penelitian
2. DwiYuliantiMariastuti(2012)
PengaruhEkstensifikasiDanIntensifikasiPajak DaerahDalamMeningkatkanPendapatanAsli DaerahPadaPemerintahanKota Bandung
Secara parsialekstensifikasi pajaktidak berpengaruhsignifikan terhadappendapatan aslidaerah, sedangkanintensifikasi pajakberpengaruhsignifikan terhadappendapatan aslidaerah. Secarasimultanekstensifikasi danintensifikasi pajakberpengaruhsignifikan terhadappendapatan aslidaerah
EkstensifikasidanintensifikasipadaPemerintahanKota Bandung
Variabeldependen, dantahun penelitian
31
2.11 Kerangka Pemikiran
Dari sumber-sumber Pendapatan Asli daerah (PAD), pajak daerah
merupakan sumber pendapatan yang dapat diandalkan untuk menunjang
pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di daerah, akan tetapi tiap daerah menghadapi masalah yang berbeda-
beda dalam melakukan pemungutan pajak, demikian pula pada tingkat
keberhasilannya. Seperti yang dialami oleh Dinas Pelayan Pajak Kota Bandung
yang mengalami penurunan pada jumlah wajib pajak restoran dan jumlah pajak
restoran yang tidak selalu meningkat (naik-turun). Hal inilah yang perlu menjadi
pertimbangan agar Pemerintah Daerah Kota Bandung dapat melakukan
pendekatan-pendekatan berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE - 06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Pajak dan Intensifikasi
Pajak guna meningkatkan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan mengoptimalkan
penerimaan pajak, sehingga dapat meningkatkan pajak daerah yang merupakan
sumber penerimaan daerah yang dapat diandalkan.
Pengertian ekstensifikasi pajak dan intensifikasi pajak menurut Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE -06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan
Ekstensifikasi Pajak dan Intensifikasi Pajak adalah sebagai berikut:
“Ekstensifikasi pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan
jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi
Direktorat Jenderal Pajak (DJP)”.
32
“Intensifikasi pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan
pajak terhadap objek serta subjek pajak yang telah tercatat atau terdaftar
dalam administrasi DJP, dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi Wajib
Pajak”.
Tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Soemitro (1974) untuk
memperbesar penerimaan negara, diantaranya:
a. Perluasan wajib pajak;
b. Perluasan jenis dan besarnya penghasilan yang dikenakan pajak,
baik pajak atas pendapatan, pajak atas konsumsi maupun pajak
kekayaan;
c. Penyempurnaan tarif pajak; dan
d. Penyempurnaan administrasi pungutan pajak.
Berdasarkan penjelasan di atas, kegiatan-kegiatan tersebut termasuk dalam
kegiatan ekstensifikasi pajak dalam meningkatkan jumlah wajib pajak sehingga
penerimaan pajak dapat meningkatkan.
Lain halnya untuk meningkatkan pembangunan yang berkaitan dengan
pajak, menurut Soemitro (1974) untuk meningkatkan pembangunan perlu adanya
penyempurnaan aparatur perpajakan. Penyempurnaan menurut Soemitro (1974)
adalah sebagai berikut:
a. Penyempurnaan administrasi pajak seperti sarana dan prasarana
yang diperlukan;
33
b. Bidang kepegawaian yang meliputi perluasan jumlah pegawai,
peningkatan mutu pegawai, peningkatan disiplin dikalangan
pegawai, dan peningkatan kesejahteraan pegawai;
c. Penyempurnaan Undang-Undang pajak.
Berdasarkan penjelasan di atas, kegiatan-kegiatan tersebut termasuk dalam
kegiatan intensifikasi pajak yang bertujuan untuk mengoptimalisasi besarnya
pajak yang secara langsung dapat meningkatkan penerimaan pajak.
Dari kerangka pemikiran yang telah diuraikan oleh penulis di atas,
kemudian digambarkan dalam kerangka teoritis yang disusun sebagai berikut:
Gambar 2.2Kerangka Pemikiran
Jumlah Pajak Restoran Fluktuatif Jumlah Wajib Pajak Restoran Menurun
Ekstensifikasi Pajak Intensifikasi Pajak
Pajak Daerah
34
Dari kerangka pemikiran yang sudah dijelaskan, maka dapat digambarkan
paradigma penelitian yang disusun sebagai berikut:
Gambar 2.3Paradigma Penelitian
2.12 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian yang sudah dijelaskan, penulis menggunakan hipotesis
sebagai berikut:
“Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak Restoran Berpengaruh Secara Simultan
dan Parsial dalam Meningkatkan Pajak Daerah”.
EkstensifikasiPajak
IntensifikasiPajak
Pajak Daerah