bab ii tinjauan pustaka 2.1 teori birokrasi weberianeprints.umm.ac.id/55786/3/bab ii.pdf30 dalam...

28
25 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Birokrasi Weberian Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat yang kehadirannya tidak bisa dihindari dalam konsep negara modern. Hadirnya birokrasi sebagai konsekuensi logis dari tugas utama negara (pemerintahan) untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Negara dituntut untuk terlibat secara langsung dalam memproduksi barang dan jasa yang diperlukan oleh rakyatnya (public goods and services), baik dalam keadaan tertentu negara memutuskan apa yang yang terbaik bagi rakyatnya. Untuk itu negara membangun sistem administrasi yang bertujuan untuk melayani kepentingan rakyat yang disebut sebagai birokrasi. 38 Perkembangan dan pertumbuhan masyarakat yang secara dinamis disertai dengan peningkatan taraf hidup dan pendidikan masyarakat ditambah dengan berkembangnya kemajuan di bidang teknologi dan informasi menjadikan peningkatan proses pemberdayaan lingkungan masyarakat menjadi penting. Oleh karena itu pelayanan bagian dari sektor publik juga diharpakan mengikuti perubahan yang terjadi secara cepat dan dinamis sebagaimana di masyarakat. 39 Keberhasilan pembangunan ekonomi, sosial dan politik di negara manapun tergantung pada kualitas dan efektifitas aparatur birokrasi. Oleh sebab itu, karena merekalah yang mejadi pelaksana kebijakan dari suatu negara atau 38 . Eko Prasojo, Dkk. “Mengurai Benang Kusut Birokrasi” Upaya Memperbaiki Centang- Perenang Rekrutmen PNS. (Depok, PIRAMEDIA. Cetakan pertama 1 Agustus 2006). Halm 76 39 . Habibuddin Siregar, “Analisi Kinerja Aparatur Biorkrasi”. Vol, 1. No, 1. Juni 2011. Halm 51

Upload: others

Post on 20-Oct-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 25

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Teori Birokrasi Weberian

    Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat yang

    kehadirannya tidak bisa dihindari dalam konsep negara modern. Hadirnya

    birokrasi sebagai konsekuensi logis dari tugas utama negara (pemerintahan) untuk

    menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Negara dituntut

    untuk terlibat secara langsung dalam memproduksi barang dan jasa yang

    diperlukan oleh rakyatnya (public goods and services), baik dalam keadaan

    tertentu negara memutuskan apa yang yang terbaik bagi rakyatnya. Untuk itu

    negara membangun sistem administrasi yang bertujuan untuk melayani

    kepentingan rakyat yang disebut sebagai birokrasi.38

    Perkembangan dan pertumbuhan masyarakat yang secara dinamis disertai

    dengan peningkatan taraf hidup dan pendidikan masyarakat ditambah dengan

    berkembangnya kemajuan di bidang teknologi dan informasi menjadikan

    peningkatan proses pemberdayaan lingkungan masyarakat menjadi penting. Oleh

    karena itu pelayanan bagian dari sektor publik juga diharpakan mengikuti

    perubahan yang terjadi secara cepat dan dinamis sebagaimana di masyarakat.39

    Keberhasilan pembangunan ekonomi, sosial dan politik di negara

    manapun tergantung pada kualitas dan efektifitas aparatur birokrasi. Oleh sebab

    itu, karena merekalah yang mejadi pelaksana kebijakan dari suatu negara atau

    38. Eko Prasojo, Dkk. “Mengurai Benang Kusut Birokrasi” Upaya Memperbaiki Centang-

    Perenang Rekrutmen PNS. (Depok, PIRAMEDIA. Cetakan pertama 1 Agustus 2006). Halm 76 39. Habibuddin Siregar, “Analisi Kinerja Aparatur Biorkrasi”. Vol, 1. No, 1. Juni 2011. Halm 51

  • 26

    pemerintah.40 Tuntutan masyarakat terhadap pelayan publik terus meningkat

    seiring dengan meningkatnya dinamika masyarakat dan perkembangan jaman,

    kondisi ini perlu di imbangin dengan kualitas aparatur birokrasi yang baik, peka

    dan tanggap dalam menangkap aspirasi masyarakat. Untuk mendukung,

    mempercepat dari pembangunan negara dan daerah dibutuhkanlah posisi birokrasi

    dan aparatur sipil negara yang netral dan profesional dalam menjalankannya. 41

    Posisi birokrasi dan aparatur sipil negara sebagai pelayan sektor publik

    haruslah menciptakan suatu sistem pelayanan yang lebih efektif dan efisien dan

    melahirkan kebijakan publik yang rasional dan demokratis secara profesional.

    Profesionalisme birokrasi dan netralnya aparatur sipil negara tersebut

    menggambarkan bahwa tugas utama dari birokrasi adalah mengabdi atau

    memberikan pelayan kepada masyarakat dalam menjalankan tugas dan fungsi

    demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan dari negara.

    Secara konsep, menurut Weber birokrasi adalah organisasi yang ditunjukan untuk

    memaksimumkan efisien dalam organisasi yang memiliki spesialisasi tugas-tugas,

    hierarki otoritas badan perudang-undangan, sistem pelaporan yang baik untuk

    memudahkan dalam tanggung jawab serta anggota memiliki keahlian khusus

    dalam menjalankan tugasnya.42

    Dalam terminologi ilmu politik model birokrasi Weber tersebut

    menganggap sebuah birokrasi sebagai sebuah organisasi kolektif terdiri dari

    40 Rudi Kinandung, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Birokrasi Pemerintah”. Vol,

    1. No, 1. Juni 2012. Halm 35 41. Marzuki, M. Ag. Dkk. Artikel, “Model Birokrasi Pemerintahan Era Otonomi Daerah”. Halm 4.

    http://staffnew.uny.ac.id/upload/132001803/penelitian/28.+Model+Birokrasi+Pemerintah+Era+Ot

    onomi+Daerah.pdf. Di akses pada tgl 1 juni 2018

    42. Data Wardana & Geovani Meiwanda, “Reformasi Birokrasi Menuju Indonesia Baru, Bersih

    dan Bermartabat”. Vol, III. No, 1. April 2017. Halm 331.

    http://staffnew.uny.ac.id/upload/132001803/penelitian/28.+Model+Birokrasi+Pemerintah+Era+Otonomi+Daerah.pdfhttp://staffnew.uny.ac.id/upload/132001803/penelitian/28.+Model+Birokrasi+Pemerintah+Era+Otonomi+Daerah.pdf

  • 27

    pejabat-pejabat yang secara jelas dan pasti dalam menjalankan tugas dan fungsi

    berdasarkan kewenangan serta penggaruh dari pejabat tersebut dapat dirasakan

    oleh seluruh anggota organisasi. Karena pada pada hakekatnya birokrasi

    mengadung implikasi pengorganisasian yang tertib, tertata dan teratur dalam

    hubungan kerja yang secara berjenjang serta aturan prosedur dalam garis tatanan

    organisasi.43 Weber mengutarakan bahwa ada tiga otoritas kewenangan yang

    dimiliki oleh seseorang dalam organisasi birokrasi. Pertama, otoritas rasional.

    Kedua, otoritas tradisonal, dan ketiga otoritas kharismatik.

    Netralitas dari fungsi birokrasi pemerintanhan dalam konsepnya weber

    dikenal dengan konservatif, menurut weber birokrasi dibentuk atas dasar netral

    dan tanpa adanya gangguan dari yang dapat merusak birokrasi dari kekuatan

    politik, artinya birokrasi pemerintah diposisikan sebagai kekuatan yang netral

    dalam sebuah negara yang berkerja sesuai dengan aturan yang berlaku dalam

    bidangnya. Netralitas birokrasi secara esensial menjadi menjadi penting dalam

    memenuhi hajat hidup orang banyak tanpa memihak terhadap kelompok terentu.

    Artinya siapapun yang memerintah dalam sebuah negara birokrasi tetap

    memberikan pelayan pada sektor publik secara efektif dan efisien.44

    Birokrasi weberian menekankan aparatur birokrasi untuk menjalankan

    prosedur yang telah ditetapkan, dengan begitu akan tercipnya kesinambungan

    secara kelembagaan yang mengarah pada birokrasi ideal. Pandangan dari

    pendapat Weber tersebut melahirkan pegawai birokrasi bekerja atas dasar aturan

    43. Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu politik”. (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan

    keempat, Oktober 2010). Halm 64 44. M. Adian Firnas, “Politik dan Birokrasi: Masalah Netralitas Birokrasi di Indonesia Era Reformasi”. Vol, 06. No, 01. Juni 2016. Halm 165

  • 28

    yang berlaku, juga melahirkan pegawai birokrasi yang bekerja tanpa adanya

    intervensi dari pengaruh kekuasaan. Untuk itulah proses pengisian jabatan

    pegawai birokrasi dilakukan atas dasar kemampuan yang dimilikinya, bukan atas

    dasar kekeluargaan maupun pilihan politik.

    Konsep netralitas birokrasi selain dari pandangan Weber ialah merujuk

    pada huruf f pasal 2 UU No. 5 tahun 2014 secara eksplisit menyatakan bahwa

    tidak berpihak kepada segala bentuk pengaruh manapun dan tidak kepada

    kepentingan siapapun yang nantinya dapat mengganggung proses pelayan publik

    yang diakibatkan konflik kepentingan ASN. Netralitas birokrasi berdasarkan apa

    yang ada pada undang-undang tersebut dapat diartikan bahwa aparatur sipil

    negara tidak boleh berperan secara langsung maupun secara tidak langsung dalam

    kegiatan partai politik ataupun pada hal-hal yang berkaitan dengan politik praktis,

    penekankan terhadap ASN ini menjadikan ASN fokus pada tanggung jawab yang

    berkaitan dengan pelayanan publik secara luas dan merata. Secara umum dapat

    digambarkan bahwa ciri model utama netralitas politik birokrasi ialah aparatur

    sipil negara independen, non ideologi partai politik ataupun berafilisasi dengan

    kepentingan politik, serta bebas dari intevensi dari berbagai kelompok.45

    Untuk dapat melihat birokrasi secara netral, ada beberapa standar yang

    sudah ditentukan dan disepakati secara umum dengan mengacu kepada kerangka

    teorinya Weberian maupun undang-undang yang membahas tentang birokrasi.

    Birokrasi yang netral: Pertama, birokrasi tidak menjadi alat bagi kelompok

    kekuatan politik serta pengaruh apapun yang dapat merusak sakralnya birokrasi.

    45. Firman Bagus Budiono, “Netralitas Aparatur Sipil Negara pada Pilkada Kabupaten Lamongan Tahun 2015”.

  • 29

    Dengan begitu usaha untuk menciptakan tatakelola birokrasi yang ideal dapat

    dicapai dan diwujudkan. Kedua, tidak ada usaha dari pemerintah untuk

    memasukan orang-orang partai politik dalam jajaran stuktural birokrasi. Selain itu

    juga anggota birokrat tidak terikat secara politik dengan kelompok politik

    manapun. Ini dimaksudkan sebagai solusi dalam menciptkan sumber saya

    manusia yang profesional dalam bekerja tanpa pengaruh dan tekanan dari

    kepentingan kelompok tertentu yang dapat menghambat proses bekerjanya

    birokrasi. Ketiga, sistem kenaikan jabatan tidak dapat di intervensi oleh

    kepentingan politik, ini menunjukan bahwa merit sistem diterapkan secara efektif

    dengan mengacu kepada kualitas serta kompentensi aparatur birokrasi. Dimana

    hal tersebut menjadi efektik ketika seluruh elemen dalam birokrasi melakukan

    standar prosedur dengan azas-azas pemerintahan yang baik sehingga dapat

    terwujudnya tatakelola pemerintahan yang baik good governance. Keempat,

    birokrasi merupakan alat negara untuk memberikan pelayan kepada sektor publik,

    dengan itu kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Salah satu cara yang untuk

    mewujudkan hal tersebut ialah dengan proses pertanggung jawaban seluruh

    perangkat birokrasi dalam menggunakan anggaran ataupun menggunakan sumber

    daya yang lain. Dengan begitu akan lahir satu kesatuan yang baik dari hilir sampai

    ke hulur tentang sistem pengelolaan dan sistem kerja birokrasi, hal mana maksud

    dari ini semua adalah proses untuk mewujudkan tata kelola birokrasi ideal.46

    Dalam hubungan hukum antara negara dengan aparatur sipil negara, telah

    ditegaskan ketentuan pembatas antara perilaku aparatur sipil negara yang berkerja

    46. Liane Irma Veronsia Leleng, dkk “Netralitas Aparatur Sipil Negara Pada Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah Tahun 2015”. (Studi di Kecamatan Tatapan Kabupaten

    Minahasa Selatan). Vol, 1. No, 1. Tahun 2018.

  • 30

    dalam instansi pemerintah. Hubungan ini disebut dengan hubungan dinas publik.

    Inti dari hubungan dinas publik tersebut adalah kewajiban bagi aparatur sipil

    negara yang bersangkutan untuk tunduk dan patuh terhadap perintah maupun

    larangan. Patuh dan tuntuk atas segala perintah dan larangan ini sebagai wujud

    nyata dari jabatan yang diemban sebagai aparatur birokrasi. Dengan begitu akan

    menciptakan kondisi yang positif dalam tataran birokrasi.

    Dalam penerapan hubungan publik ini berkaitan langsung dengan

    pengangkatan aparatur sipil negara (pemerintah) yang dikenal dengan teori

    contract sui generis, dalam teori ini menekankan apsek khusus bagi aparatur sipil

    negara untuk mengedepankan aspek kualifikasi kompetensi dalam proses

    pengangkatan dan netral dalam melaksanakan fungsi dan tanggung jawab sebagai

    pelayan publik. Artinya konsep merit sistem dalam pengangkatan aparatur

    birokrasi merupakan poin utama, dengan begitu upaya menciptakan SDM yang

    baik dapat berjalan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan jaman. 47

    Secara konseptual, merit sistem berpijak pada human capital management

    yang didasarkan pada kombinasi aspek pengetahuan, keterampilan dan

    kemampuan aparatur sipil negara untuk menghasilkan pelayanan publik yang

    efektif dan efisien. Lebih lanjut dalam konsideran UU ASN sebagaimana

    ditegaskan pada pasal 51 menyatakan manajemen ASN diselenggarakan

    berdasarkan merit sistem, yaitu kebijakan yang berdasarkan pada kualifikasi,

    kompetensi dan kinerja secara adil dan wajar tanpa menbedakan latar belakang,

    47. Sri Hartini, Setiajeng Kandarsih & Tedi Sudrajat, “Kebijakan Netralitas Politik Pegawai Negeri Sipil dalam Pemilukada” (Studi di Jawa Tengah). Vol, 1. No, 3. Tahun 2014. Halm 540

  • 31

    ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau

    kondisi kecacatan.

    Konsep ini sebagai jawaban bagaimana aparatur sipil negara mempunyai

    kompetensi sesuai dengan jabatan yang di emban dalam posisi kerjanya pada

    instansi pemerintahan. Dengan adanya konsep merit sistem sesuai dengan

    pembentukan asas-asas dari netralitas. Dengan melihat secara objektif dalam

    proses pengangkatan aparatur sipil negara dan tidak terpengaruh pada

    kepentingan kelompok dalam rangka mewujudkan profesionalisme kerja aparatur

    sipil negara, adanya aspek tersebut dapat meminimalisir terjadinya intervensi

    dalam proses pengangkatan dan penempatan aparatur sipil negara dalam

    menduduki jabatan publik.48

    Dari deskripsi tentang birokrasi serta pentingnya netralitas birokrasi yang

    dikemukakan tersebut, baik dari perspektif teori dan undang-undang khususnya

    terkait dengan eksistensi anggota/birokratnya dalam kehidupan organisasi.49

    Sangat jelas bahwa peranannya merupakan sesuatu yang tidak mungkin

    dilepaskan dari tujuan-tujuan akhir suatu negara, yaitu terwujudnya kesejahteraan

    masyarakat. Secara umum, birokrasi merupakan keseluruhan organisasi

    pemerintah yang menjalankan tugas-tugas negara dalam berbagai unit organisasi

    pemerintah untuk mewujudkan pelayanan yang efektif dan efisien.

    Birokrasi pemerintah dapat dibedakan dalam tiga ketegori, yaitu: (1)

    Birokrasi pemerintahan umum, yaitu rangkaian organisasi pemerintahan yang

    48. Tedi Sudrajat & Sri Hartini, “Rekonstruksi Hukum Atas Pola Penanganan Pelanggaran Asas Nertalitas Pegawai Negeri Sipil”. Vol, 29. No, 3. Oktober 2017. Halm 447 49. Tatang Sudrajat, “Netralitas PNS Dan Masa Depan Demokrasi Dalam Pilkada Serentak

    2015”.Vol, XII. No, 3. Desember 2015. Halm 353

  • 32

    menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban

    dan keamanan. (2) Birokrasi pembangunan, yaitu organisasi pemerintahan yang

    menjalankan salah satu bidang di sektor yang khusus guna mencapai tujuan

    pembangunan. (3) Birokrasi pelayanan, yaitu unit organisasi pemerintahan yang

    pada hakikatnya berhubungan langsung dengan masyarakat, yang dimana fungsi

    utamanya adalan pelayanan sektor publik.50

    Bila dilihat dari konsepsi dasar tentang birokrasi sebagaimana yang

    dikemukanan oleh penggagas awal dari terbentuknya birokrasi, baik dalam

    pengertian yang rasional, patologi birokrasi maupun birokrasi yang bersifat netral,

    maka sebernanya dari awal perdebatan tentang birokrasi merupakan konsensus

    untuk bagaimana menempatkan birokrasi sebagai penghubung antara negara

    dengan masyarakat, agar dapat terjalin jalinan yang kondusif dalam pelaksanaan

    dan perwujudan cita-cita negara dan amanat kostitusi, yaitu memajukan

    kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

    Dalam domain masyarakat terdapat berbagai kepentingan khusus yang

    membawa kepentingan para profesi dari berbagai latar belakang, sedangkan

    negara mewakili kepentingan umum. Sebagai konsekuensi logis tersebut,

    birokrasi sebagai sarana perwujudan yang menghubungkan antara negara dan

    masyarakat dalam tatanan kehidupan sosial, sehingga akan terbentuknya satu

    kesatuan yang utuh dalam sistem pemerintahan yang baik.

    Intisari dari teori maupun naskah akademik dari undang-undang birokrasi

    yang menekankan pentingnya netralitas dari birokrasi, karena dengan netralnya

    50. Syamsul Ma’arif, “Posisi Strategis Birokrasi Dalam Transformasi Government ke

    Governance”. Vol, 4. No, 2. Juli-Desember 2013. Halm 112

  • 33

    birokrasi dapat menjadi jembatan dari berbagai kepentingan, sehingga dengan itu

    tidak terjadi ketimpangan dan diskriminasi diantara berbagai tujuan tersebut

    dalam mencapai kepentingan serta kemajuan negara.

    Perjalanan antara birokrasi dan demokrasi merupakan dua sisi yang

    berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan, karena dalam upaya mencapai sebuah tujuan

    demokrasi yang ideal dibutuhkan birokrasi didalamnya yang dapat menciptakan

    pelayan sektor publik yang baik untuk dapat mensingkronasi berbagai

    kepentingan dalam penyelenggaraan pemerintah, hal ini juga seringkali birokrasi

    dapat pula menjadi penghambat dalam menciptakan birokrasi karena menurunnya

    kualitas dari birokrasi yang nantinya berpengaruh secara luas pada pelayanan

    sektor publik.

    Terdapat beberapa karakter utama dalam melihat dan memahami proses

    perjalanan sebuah birokrasi. Diantaranya, Pertama, domain dalam wilayah

    kemandirian birokrasi yang masih berada pada kategori rendah namun pada

    wilayah yang lain adalah demokrasi yang dijalani masih ada pada wilayah yang

    lebih rendah, maka birokrasi diletakkan sebagai instrumen dari penguasan serta

    keberpihkan dalam politik serta memobilisasi masa dalam mendapatkan

    keuntungan secara pribadi maupun kelompok dalam kegiatan politik. Dalam

    sejarah birokrasi di Indonesia diawal kemerdekaan sempai pada awal reformasi,

    kondisi birokrasi Indonesia mengalami posisi yang buruk karena birokrasi tidak

    sepenuhnya menjalankan fungsi secara semestinya, tetapi birokrasi dijalankan

    dengan orientasi untuk kelompok-kelompok tertentu.

  • 34

    Kedua, dalam wilayah kemandirian birokrasi untuk mengelola sumber

    daya masih berada pada kategori menengah, hal ini menunjukan belum adanya

    perubahan pengelolaan birokrasi secara signifikan, pada wilayah yang lain

    demokrasi juga masih belum mapan untuk menciptakan sebuah sistem yang ideal.

    Perjalanan birokrasi sebagai penghubung kepentingan publik masih jauh dari

    kenyataan, justru sebaliknya birokrasi bekerja untuk rezim, akhirnya melahirkan

    sistem sentralistik.

    Ketiga, tingkat kemandirian birokrasi yang tinggi dan orientasi sudah

    berubah, yakni tingkat kerja yang efektif dan efisien serta kualitas pelayanan

    sektor publik yang baik. Sedangkan karakter birokrasi ini dapat dilihat sejak masa

    transisi demokrasi pada tahun 1998 sampai saat ini.51 Untuk mendukung

    terciptanya penyelenggaran pemerintah maupun untuk merubah sistem kerja

    birokrasi yang kaku dan pasif perlu dilakukan reformasi birokrasi yang

    berorientasi untuk membentuk aparatur sipil negara yang kompoten dan

    profesional menuju tata pemerintahan yang baik. Upaya secara serius ini agar

    dapat dilihat dan rasakan oleh seluruh masyarakat tentang eksitensi birokrasi

    sebagai pelayan masyarakat.

    Perkembangan birokrasi modern di berbagai negara telah menjadikan satu

    diskusrsus yang menyedot perhatian masyarakat dunia, dimana fungsi birokrasi

    sebagai pelayan publik menjadi satu indikator dari kemajuan suatu negara.

    Indonesia maupun negara-negara di dunia menitikberatkan birokrasi sebagai pilar

    penting dalam pelaksanaan program pembangunan pemerintah.

    51. Firman Bagus Budiono, “Netralitas Aparatur Sipil Negara pada Pilkada Kabupaten Lamongan Tahun 2015”.

  • 35

    Seiring berjalannya waktu, proses pelaksanaan birokrasi pemerintahan,

    baik pemerintahan pusat dan pemerintah daerah di Indonesia melahirkan jenis

    model birokrasi yang cenderung kaku dan bersifat sentralistik, sehingga

    membentuk budaya patologi birokrasi. Keadaan ini di perparah dengan kondisi

    birokrat yang cenderung mengedepankan nilai-nilai primordial dalam proses

    pelayanan sektor publik, dan akibatnya pelayanan publik tidak sesuai dengan

    filosofi birokrasi dan asas dari good governance.52

    Menurut Mustopadidjaja,53 pengalaman dalam pelayanan birokrasi di

    Indonesia masih berjalan stagnan, bahwa birokrasi tidak senantiasa dapat

    menyelenggarakan tugas fungsinya secara otomatis dan independen serta

    manghasilkan kinerjan yang signifikan, sehingga berimplikasi pada pelayan yang

    efektif dan efisien. Kondisi itu terlihat dari hasil kajian Bapennas yang

    menujunkan bahwa diantara permasalahan birokrasi di Indonesia adalah tingkat

    penyalahguaan wewenang dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme.

    Untuk itu perlu permbenahan secara serius yang mengarah pada reformasi

    birokrasi. Dalam meningkatkan kualitas pelayan publik yang sesuai dengan

    kebutuhan dan harapan masyarakat, instansi pemerinatahan sebagai

    penyelenggaran pelayanan harus berpedoman pada Undang-undang No. 25 Tahun

    2009 tentang pelayanan publik. Dalam pasal 2 UU tersebut pelayanan publik

    52. Jaelan Usman, “Manajemen Birokrasi Profesional Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik”.

    Vol, 1. No, 2. Oktober 2011. Halm 104 53 Adam Idris, ( Jurnal Paradigma) “Bingkai Reformasi Birokrasi Indonesia”. Vol, 2. No, 3.

    Desember 2013. Halm 355

  • 36

    dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara

    masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik.54

    Reformasi bermakna perubahan tampa merusak. Dengan demikian proses

    reformasi bukan proses yang radikal dalam merubah tata kelembagaan birokrasi

    mupun budaya birokrasi. Reformasi birokrasi berdasarkan teori weberian adalah

    upaya strategis dalam menata kembali birokrasi yang sesuai dengan prinsip-

    prinsip good governance.

    Reformasi birokrasi bertujuan menciptakan birokrasi dan pemerintah yang

    profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas dan bersih dari korupsi,

    kolusi dan nepotisme serta mampu melayani publik secara netral, sejahtera

    maupun memegang teguh nilai dasar dan kode etik aparatur negara, dengan hasil

    akhir, yakni terwujudnya pemerintah yang bersih dan bebas KKN, meningkatnya

    kualitas pelayanan kepada masyarakat dan meningkatnya kapasitas dan

    akuntabilitas kinerja birokrasi.55

    2.2 Birokrasi dan Politik

    Birokrasi merupakan alat pemerintah yang dapat mempermudah pelayanan

    pada sektor publik, dengan adanya birokrasi pelayanan dapat dilakukan lebih

    mudah sekaligus memberikan jaminan kesejahteraan pada masyarakat. Secara

    singkatnya birokrasi sebuah lembaga yang menjadi kepenjangan tangan dari

    negara dalam melaksanakan kebijakan publik yang dapat menampung seluruh

    54 Henny Juliani, “Perubahan Perilaku Aparatur Sebagai Model Dalam Mewujudkan Reformasi

    Birokrasi yang Berkualitas”. Vol, 2. No, 1. Maret 2019. Halm 124 55 Muhtar, ( Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial) “Efek Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Terhadap Kepuasan Penerima Layanan pada PSPA Satria, PSMP

    Antasena dan BBRSBD Prof Dr Soeharso”. Jurnal PKS Vol, 13. No, 4 desember 214. Halm 377.

    https://ejournal.kemsos.go.id/index.php/jpks/article/view/1299/708

  • 37

    aspirasi dan kebutuhan masyarakat secara luas. Untuk itu, dengan adanya

    birokrasi harus mampu melayani publik secara proposional dan profesional.

    Birokrasi harus terus memacu kemapuan diri dan tetap bersikap profesional,

    mengenyampingkan hal itu membuat birokrasi akan jatuh dalam praktek patologi

    sehingga akan terjemurus dalam korupsi, kolusi dan nepotisme.56

    Dalam konsep paradigma politik dan birokrasi menurut padangan Graham

    Allison yang di ulas oleh Frederickson dalam bukunya The Public Administration

    Theory Primer57 menegaskan bahwa peran ganda birokrasi dan politik, dimana

    kedua sistem ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, proses dari

    pembuatan kebijakan bersifat politik, sedangkan pelaksanaan kebijkan

    dilaksanakan oleh birokrasi, inilah yang menyebabkan bahwa birokrasi dan politik

    tidak dapat dipisahkan namun berjalan secara beriringan satu dengan yang lain.

    Paradigma politik birokrasi menjelaskan bahwa tindakan-tindakan

    pemerintah merupakan hasil bergaining dari hasil tawar-menawar diantara

    elemen-elemen organisasi dalam pemerintah. Pandangan yang menjelaskan posisi

    antara politik birokrasi merupakan kedua hal dihasilkan dari proses tawar-

    menawar yang dilakukan oleh pemerintah, karena hal ini dapat diartikan sebagai

    kesatuan dari kerjasama dua sistem untuk dapat melahirkan sebuah kebijakan

    yang nantinya dapat di implementasikan dalam kehidupan sosial. Birokrasi

    sebagai jembatan penghubung diantara masyarakat, swasta dengan pemerintah.

    Menurut Guys Peters sumber kekuasaan penting yang dimiliki oleh birokrasi;

    personifikasi negara, penguasaan informasi dan keahlian, decesion making,

    56. Dida Daniarsyah, (Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi) “Bureaucratic Political And Neutrality

    Of Bureaucracy In Indonesia”. Vol, 2. No, 2. Desember 2015. Halm 86 57 Ibid, 87

  • 38

    dukugan politik, status sosial yang tinggi dan kelembagaan yang bersifat

    permanen. Inilah alasan utama mengapa birokrasi dijadikan sebagai sistem yang

    menghubungkan masyarakat dan pemerintah.

    Didalam bukunya Politics and Administration, Goodnow berpendapat

    bahwa ada dua fungsi pokok pemerintahan yang berbeda satu dengan yang

    lainnya. Dua fungsi pokok tersebut ialah politik dan administrasi politik menurut

    Goodnow harus melakukan kebijakan-kebijakan atau melahirkan keinginan, serta

    kepentingan negara.58 Sementara administrasi diartikan sebagai suatu yang harus

    berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan. Adanya pemisahan kekuasaan

    tersebut memberikkan dasar perbedaan bahkan perdebatan mengenai divisi kerja

    dalam proses kebijakan antara pihak politik dan administratif selalu terjadi setelah

    terbentuknya manejemen publik Pemisahan politik dan administrasi ini bertujuan

    untuk sebagai pemisahan tugas struktural yang berkaitan dengan rekomendasi

    kebijakan, regulasi dan kontrol, kepemilikan,dan distribusi dan sebagainya.59

    Munculnya respon terhadap pemisahan antara birokrasi lama yang

    menggabungkan pekerjaan kebijakan dari implementasinnya di sebuah sistem

    administrasi dalam ruang lingkup yang besar merupakan antitesis yang baru

    dalam pengeloalaan birokrasi pemerintahan modern. Sehingga diyakini bahwa

    pihak administrasi yang saling berjauhan harus fokus pada implementasi

    kebijakan dari pada terlibat dalam proses pengambilan keputusan, maupun pada

    proses perluasan kekuasaan. Birokrasi memiliki peranan yang pokok menjalakan

    58 Wayu Eko Yudiatmaja, ( Jurnal Ilmu Administrasi Negara FISIP UMRAH). “Politisasi

    Briokrasi: Pola Hubungan Politik dan Birokrasi di Indonesia”. Halm 11 59. Mashur Hasan Bisri, “Kontrol Politik Birokrasi Dalam Kebijakan Publik”. Vol, 2. No, 2.

    Oktober 2017. Halm 122

  • 39

    seluruh kebutuhan masyarakat, yang nantinya akan berpengaruh pada kondisi

    sebuah Negara ataupun daerah.

    Menurut Miftah Thoha, lembaga birokrasi di Indonesia dalam ini

    pemerintah sering kali melahirkan kerajaan terhadap pejabat, nantinya akan

    mengara kepada akumulasi ekonomi dan akumulasi kekuasaan60, nantinya pejabat

    tersebut akan memamerkan kekuasaan yang disusun secara susunan dari atas ke

    bawah berdasarkan tugas dan fungsi dari masing-masing pejabat. Politik dan

    birokrasi pemerintah keduanya berbeda akan tetapi tidak bisa dipisahkan,

    kehadiran politik dalam birokrasi tidak bisa bisa dihindari (karena hidup dalam

    satu atap yang sama). Oleh karena itu perlu ada korelasi secara kelembagaan

    politik dalam birokrasi, maupun sebaliknya.61

    Praktek pemerintah dijelaskan Toha, hampir semua negara dimanapun

    melihat bahwa perbuatan yang selalu dilakukan oleh pemerintah dijalankan secara

    langsung dengan menggunakan tenaga birokrasi adalah upaya terbaik dalam

    menciptakan fungsi tertentu dan menetapkan peraturan yang diikuti oleh seluruh

    pihak, birokrasi pemerintah menjadi bagian dalam menbawa perubahan

    pembangunan.

    Dalam teori politik dan birokrasi bahwa dalam keadaan dan kondisi

    apapun birokrasi akan selalu berjalan beriringan dengan politik bahkan pada

    kategori yang lebih rendah. Karena birokrasi menjadi bagian utama pemerintah

    dalam mewujudkn proses kebijakan dari hasil produk politik. Pada sisi yang lain

    60 Miftah Thoha, “Birokrasi Pemerintahan dan Kekuasaan di Indonesia”. (Yogyakarta, Matapena

    Institute. Cetakan ke 1 September 2012) Halm 55 61. Mifta Thoha, “Birokrasi Politik di Indonesia” (Jakarta, Rajawali Pers, Cetakan ke 7 Februari

    2010). Halm 27

  • 40

    pejabat birokrasi memiliki hasrat untuk mendapatkan dan mempertahankan posisi

    kekuasaan dalam jabatan publik. Perjalanan panjang birokrasi pemerintah tidak

    bisa lepas dari proses dan kegiatan politik, jika telusuri secara mendalam bahwa

    pada setiap gugusan masyarakat yang membentuk suatu tatanan pemerintah tidak

    bisa lepas dari aspek politik. Tidak akan mungkin memisahkan birokrasi dari

    pengaruh politik atau sistem politik di suatu negara, termasuk Indonesia.62

    2.3 Netralitas Birokrasi di Indonesia

    Netralitas dalam administrasi negara atau pemerintahan sangat sulit

    diwujudkan. Netralitas yang baik memang tidak boleh memihak di antara pro dan

    kontra. Akan tetapi, sebenarnya ialah netralitas adalah memihak yang sesuai

    kebenaran dengan pertimbangan yang ilmiah dan suara hati nurani serta tanggung

    jawab yang sesuai dengan azas netralitas dan profesionalime. Dalam sistem

    pemerintahan yang demokratis seperti saat ini, kehadiran partai politik tidak bisa

    dihindari, termasuk dalam tatanan sistem birokrasi pemerintahan. Birokrasi suatu

    sistem yang menekankan pada aspek kompetensi serta profesionaslime dalam

    mengemban tugas dan fungsi sebagai pelayan publik secara optimal.63

    Seiring dengan berbagai perubahan yang terjadi didalam sistem politik

    Indonesia, politik Indonesia berubah secara drastis dengan munculnya berbagai

    partai politik dengan idiologi yang berbeda-beda. Dalam kaitannya dengan

    netralitas birokrasi, Indonesia menganut sistem netralitas birokrasi weberian. Oleh

    karena itu partai politik sebagai alat untuk mencapai kekuasaan politik harus

    62. Dida Daniarsyah, (Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi) “Bureaucratic Political And Neutrality

    Of Bureaucracy In Indonesia”. Vol, 2. No, 2. Desember 2015. Halm 93 63. Mifta Thoha, Artikel “Netralitas Administrasi Negara”.

    https://media.neliti.com/media/publications/52338-ID-kultur-birokrasi-patrimonialisme-dalam-

    p.pdf. Di akses pada tgl 9 Juli 2018

    https://media.neliti.com/media/publications/52338-ID-kultur-birokrasi-patrimonialisme-dalam-p.pdfhttps://media.neliti.com/media/publications/52338-ID-kultur-birokrasi-patrimonialisme-dalam-p.pdf

  • 41

    bebas dari birokrasi. Untuk itu dikeluarkan peraturan yang menegaskan bahwa

    PNS/ASN tidak boleh terlibat menjadi anggota partai politik maupun terlibat

    dalam politik praktis. Hal ini dapat di lihat dari UU No, 5 Tahun 2014 Tentang

    ASN. Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri

    Sipil, Surat Edaran MENPAN No. B/71/M.SM.00.00/2017, Surat Edaran Komisi

    Aparatur Sipil Negara No. B-2900/KASN/11/2017 dan UU No. 10 Tahun 2016

    Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

    Beberapa standar aturan yang telah ditetapkan untuk menjaga aparatur

    sipil negara (birokrasi) untuk tetap mengedepakan aspek netralitas dan

    profesionalisme dalam jabatan publik belum sepenuhnya berimplikasi positif

    terhadap prakter politik yang dilakukan oleh aparatur birokrasi. Tentu ini menjadi

    paradoks dengan cita-cita luhur untuk membentuk aparatur birokrasi yang ideal

    dan bertintegritas.

    Banyaknya perangkat peraturan yang mengarah kepada terwujudnya

    aparatur birokrasi yang profesional dan untuk mewujudkan good governace

    merupakan wajah baru terhadap proses perjalan birokrasi di Indonesia. Namun,

    produk hukum tersebut bukanlah jaminan bahwa proses perubahan untuk

    mengikat aparatur birokrasi tetap independen. Persoalan lain adalah lemahnya

    peneggakkan hukum bagi yang melanggar menjadi salah satu tantangan dalam

    mewujudkan netralitas birokrasi di Indonesia. Hal ini juga menjadi salah satu

    tantangan dalam mewujudkan sistem peradilan yang sehat di Indonesia.

    Birokrasi sesuai dengan kedudukannya dalam penyelenggaraan kegiatan

    pemerintahan dan pembangunan, menguasai informasi serta dukungan sumber

  • 42

    daya yang tidak di miliki oleh pihak lain. Birokrasi memegang peran penting

    dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagi kebijakan publik, serta

    dalam evaluasinya. Dalam posisi yang strategis tersebut, adalah logis apabila ada

    setiap perkembangan politik selalu terdapat kemungkinan dan upaya untuk

    mengintervensi birokrasi dalam politik praktis serta menarik birokrasi untuk

    masuk dalam partai politik tertentu.

    Perilaku birokrasi berkembang dalam pengaruh politik seperti itu dan

    menjadi tidak netral, maka birokrasi seharusnya mengemban misi menegakkan

    “kuaslitas, efisiensi, dan efektivitas pelayanan secara netral dan optimal kepada

    masyarakat” besar kemungkinan akan berorientasi pada kepentingan partai atau

    kelompok tertentu yang mempunyai kesamaan pandangan politik. Sehingga

    terjadi pergeseran keberpihakan dari “kepentingan publik” ke pengabdian pada

    pihak penguasa atau partai yang berkuasa.64

    Reformasi birokrasi merupakan langkah dalam mewujudkan pembaharuan

    disegala bidang kehidupan masyarakat, dengan tujuan terbangunnya pemerintahan

    yang demokratis serta dihormati dalam sistem penegakkan hukum dalam rangkat

    tertibnya kehidupan sosial. Reformasi tersebut merupakan titik awal dari sebuah

    proses demokratisasi yang tumbuh dan berkembang kepada: peningkatan

    keterlibatan masyarakat dalam segala bidang, mulai dari sistem penegakkan

    supremasi hukum, pemberatasan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme,

    penghormatan atas hak-hak orang lain (tidak diskriminasi). Proses pembaharuan

    64. Eko Prasojo, Dkk. “Mengurai Benang Kusut Birokrasi” Upaya Memperbaiki Centang-

    Perenang Rekrutmen PNS. (Depok, PIRAMEDIA. Cetakan pertama 1 Agustus 2006). Halm 70

    dan 71

  • 43

    tersebut searah dengan perubahan dari pekembangan paradigma pemerintahan dan

    pembagungan global dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis.65

    2.3.1 Netralitas Pasif

    Dalam perkembangan awal konsep birokrasi, netralitas dan

    profesionalisme birokrasi sudah sering dibicarakan para pakar. Polemik

    dalam pembicaraan tersebut adalah netralitas dan profesionalisme

    birokrasi dalam tataran konsep, tetapi fakta yang terjadi dilapangan ialah

    banyaknya aparatur sipil negara (birokrasi) yang tidak menerapkan asas-

    asas netralitas, apalagi dalam konteks penyelenggaraan rezim pemilu dan

    rezim pilkada. Bertitik tolak dari persoalan tersebut menjadikan birokrasi

    sebagai magnet rebutan oleh berbagai pihak khusunya aktor politik

    maupun partai politik untuk memperluas serta mempertahankan

    kekuasaan.66

    Dalam perjalanan kelembagaan sistem birokrasi serta posisi

    aparatur birokrasi paskah reformasi yang diharapkan membawa perubahan

    yang positif, nyatanya tidak demikian. Dimana posisi birokrasi dalam

    berpolitik semakin “menjadi-jadi” ditengah tuntutan untuk mereformasi

    birokrasi dalam sistem kelembagaan maupun reformasi budaya aparatur

    birokrasi. Dalam penyelenggaran pilkada serentak pertama tahun 2015

    sampai dengan pilkada serentak jilid ketiga tahun 2018 ini budaya

    politisasi birokrasi belumlah berkurang. Berkaitan dengan hal tersebut,

    65. M. Adian Firnas, “Politik dan Birokrasi: Masalah Netralitas Birokrasi di Indonesia Era

    Reformasi”. Vol, 06. No, 01. Juni 2016. Halm 170 66. I Wayan Wesna Astara, (Jurnal Administrasi Publik) “Dinamika Birokrasi dan Perlunya

    Reformasi Birokrasi Lingkungan”. Halm 25

  • 44

    tidak berlebihan dikatakan bahwa kegagalan upaya untuk mewujudkan

    birokrasi yang netral dan profesional akan sulit serta berimplikasi terhadap

    pelayanan sektor publik demi kemajuan setra kesejahteraan rakyat maupun

    terhadap proses penyelenggaraan demokrasi di tingkat lokal.67

    Dalam posisi diametral yang lebih luas, politisasi birokrasi ini

    nyatanya berpengaruh negatif secara signifikan dalam tatalaksana

    kelembagaan yang menuju konsep good governance.

    Birokrasi yang kaku serta pasif dalam agenda penyelenggaraan

    politik memberikan diskursus yang menarik. Yaitu sulitnya aparatur

    birokrasi mengembangkan serta merespos perkembangan jaman dalam

    segala aspek kehidupan masyarakat. Perlu dijelaskan ialah, pasif dalam

    pengertian disini adalah aturan yang diberikan oleh negara terhadap

    aparatur birokrasi sehingga memberikan dampak yang nyata dalam kinerja

    birokrasi ataupun dalam peoses perkembangan birokrasi dalam berpolitik.

    Sebagai konsekuensinya dari konsep netralitas pasif adalah adalah

    perubahan sikap serta perilaku apartur birokrasi dalam menghadapi

    dinamika politik yang terjadi, dimana aparatur birokrasi terlibat secara

    dalam praktek politik. Hal mana netralitas pasif bagi aparatur birokrasi

    telah menghilangkan hak warna negara dalam konteks sosial untuk

    mengekpresikan pilihan politik di muka umum. Adanya konsep netral

    pasif mereduksi nilai-nilai dari birokrasi dalam dalam praktek demokrasi,

    67 Rosmala Dewi, (Jurnal Ilmu Sosial) “Membangun Birokrasi Yang Profesional”. Vol 5. No, 1. April 2012. Halm 45. http://ojs.uma.ac.id/index.php/perspektif/article/view/106

  • 45

    baik secara lokal maupun nasional. yang berorientasi tehadap kekuasaan

    bukan lagi sebagai pelayanan sektor publik.68

    Demokrasi dan Pilkada tidak seharusnya mereduksi atau

    menghilangkan makna keterlibatan aparatur birokrasi dalam agenda

    tersebut, tetapi lebih memberikan ruang serta menjamin keterlibatan

    aparatur birokrasi sebagai alat negara untuk mengotrol, serta memberikan

    pendidikan politik ala negara terhadap masyarakat dalam kondolidasi

    demokrasi lokal maupun secara nasional. Dengan hal tersebut birokrasi

    yang bersifat kaku dan pasit dapat menjadi birokrasi yang netral aktif

    sebagai alat negara dalam mewujudkan demokrasi yang sehat dan damai.

    2.3.2 Netralitas Aktif

    Pilkada merupakan konsolidasi demokrasi di tingkal lokal, yang

    dimana dalam proses penyelenggaraanya selalu melahirkan konflik, tidak

    terkecuali proses keterlibatan aparatur sipil negara. Dalam teori birokrasi

    Weberian menempatkan aparatur sipil negara (birokrasi) sebagai

    personifikasi yang harus bebas dari kepentingan kelompok maupun

    golongan, dalam Undang-undang yang mengatur tentang aparatur sipil

    negara juga membahas antara relasi biorkrasi dengan politik, yang secara

    umum menenkankan aparatur birokrasi harus netral, serta bebas dari

    intervensi politik.69

    Dalam dimensi sebagai penyelenggaran publik aparatur birokrasi

    menempatkan diri sebagai penyelenggara publik dan sebagai

    68. Bambang Utoyo Sutiyoso, “Birokrasi dan Pembangunan Perkotaan”. Vol, 4. No, 1. Januari-Juni

    2013. Halm 4. 69. Asep Sumaryana, “Birokrasi dan Pelayanan Publik”. Vol, 7. No, 2. Juli 2005. Halm 135.

  • 46

    penyelenggara politik. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa aparatur sipil

    negara (birokrasi) harus diberikan ruang oleh negara untuk terlibat secara

    netral aktif dalam kegiatan politik, sebagai konseskuensinya adalah

    aparatur birokrasi mampu menjadi garda terdepan dalam merumuskan

    kebijakan, pelaksanakan kebijakan serta pengotralan kembali dari

    kebijakan politik tersebut.70

    Dalam konteks yang lebih umum, ketatnya aturan yang

    diberlakukan oleh negara terhadap sikap politik dari aparatur birokrasi

    yang bersifat pasif memberikan dampak yang begitu nyata dalam prospek

    kelembagaan. Sejauh dalam penyelenggaran demokrasi lokal poit utama

    yang menjadi pokok persoalan adalah sikap politik dari aparatur birokrasi,

    maka dari itu perlu konsep yang visioner tentang arah birokrasi serta

    aparatur birokrasi dalam urusan sosial politik. Sebagai jawaban umum

    ialah negara memberikan ruang terhadap aparatur birokrasi untuk terlibat

    secara netral aktif dalam politik.

    Salah satu masalah utama dalam pelaksanaan Pilkada adalah netral

    dan pasifnya birokasi, kalau dicermati secara mendalam adalah birokrasi

    menjadi poros vital dalam pelaksaan Pilkada sebagai pengadministrasian

    hak dan kewajiban rakyat, tetapi disisi yang lain birokrasi direduksi dalam

    Pilkada.71 Pangkal titik tolak tersebut menjadikan kesimpulan bahwa

    netralitas aktif bagi aparatur birokrasi dalam pelaksanaan Pilkada maupun

    70 Purwo Santoso, “Politik Netral Aktif” Reformulasi Peran Birokrasi Dalam Seleksi Kepala

    Daerah dan Kepala Pemerintahan. https://www.academia.edu/3748620/POLITIK_NETRAL-

    AKTIF_Reformulasi_Peran_Birokrasi_dalam_Seleksi_Kepala_Daerah_dan_Kepala_Pemerintaha

    n 71 Ibdi, 4

  • 47

    agenda politik yang lain. Dampak dari terlibat netral aktif tersebut ialah

    lahirnya masyarakat yang cerdas secara politik untuk memilih kepala

    daerah, baik dalam skala provinsi maupun kabupaten kota.

    2.4 Desain Tata Kelola Birokrasi dan Netralitas Birokrasi

    Bergulirnya era reformasi dimulai pada tahun 1998 telah memicu

    munculnya tuntutan perbaikan terhadap kualitas pelayanan publik yang

    dilakukan oleh birokrasi pemerintah. Tuntuntan ini tidaklah mengherangkan

    mengingat terjadinya sentralisasi kekuasaan oleh rezim orde baru pada saat

    itu. Era reformasi tidak lepas dari semangat untuk mewujudkan

    penyelenggaraan pemerintahan yang berdasarkan prinsip-prinsip good

    governance. Wujudnya adalah memastikan masyarakat memperoleh

    pelayanan dari penyelenggaran negara, baik itu yang menyangkut hak

    ekonomi, sosial-politik maupun budaya sebagaimana diamanatkan oleh UUD

    1945.

    Implementasi untuk mewujudkan prinsip dari good governance

    ditunjang melalui penerapan atas otonomi daerah dimana disebutkan bahwa

    dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah

    mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi

    dan tugas pembantuan yang diarahakan untuk mempercepat terwujudnya

    kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan

    peran serta masyarakat.72

    72. Meita Istianda & Darmanto, “Pelayanan Birokrasi di Era Reformasi , Bagaimana

    Seharusnya?”. Vol 9. No, 2. Juli 2009. Halm 124.

  • 48

    Eko Prasojo dan Teguh Kurniawan dalam papernya yang berjudul

    Reformasi Birokrasi dan Good Governance: Best Practiced Dari Sejumlah

    Daerah,73 melihat bagaimana pengaruh reformasi birokrasi dalam

    pembagunan sebuah negara ataupun daerah adalah dari sisi politik yang kuat

    dimana birokrasi bermain didalamnya untuk memainkan fungsinya secara baik

    dan sesuai perintah. Melihat kesuksesan yang diterapkan di beberapa daerah

    dengan sistem good governance menunjukan daerah tersebut bisa bergerak

    lebih baik sejarah jauh dalam pembangunan, sehingga terjadi penggerakan

    secara simultan dengan yang diperoleh daerah tersebut. Ini menunjukan bahwa

    reformasi birokrasi sangat nyata dan dibutuhkan dalam negara maupun daerah.

    Karena laju kendali dari sistem penyelenggaraan publik tergantung bagaimana

    individu terbaik duduk dan mengelolanya.74

    Good governance berkaitan langsung dengan manajemen strategis

    untuk mengukur dan menilai suatu keberhasilan dari tatakelola pemerintahan.

    Keberhasilan dari pemerintah pusat dan daerah dapat diukur dari

    kebijakannya, di dalamnya termasuk gaya kepemimpinan dan kemampuan

    dalam mempercepat dan mendorong peran serta msyarakat, swasta dan

    lembaga-lembaga non pemerintahan sebagai salah satu unsur dari good

    governance.

    73. Eko Prasojo & Teguh Kurniawan, “Reformasi_Birokrasi_dan_Good_governance” . www.academia.edu/download/30485229/reformasibirokrasi_dan_goodgovernance_ep_tk_reviseed

    .pdf 74. Yulizar D Sanrego & Reza Muhammad, “Analisa Perbandingan Model Birokrasi Indonesia:

    Model Modern David Osborne, Tad Gaebler dan Pendekatan Konsep Islam Perspektif Umer

    Chapra”. Vol 1. No, 1. 2013.

  • 49

    Kinerja pemerintah dalam reformasi birokrasi dari hasil sejumlah

    penelitian menunjukan kesimpulan yang hampir sama: sebagian kecil berhasil

    dan sisanya tidak berjalan sama sekali. Satu catatan penting dari hasil hasil

    penelitian tersebur adalah bahwa sebagian besar dari daerah yang di pimpin

    oleh individu yang reformis mampun menunjukan perubahan birokrasi yang

    lebih baik. Ini artinya seorang pemimpin mampu membuat kemajuan dari

    daerah yang di pimpinnya, karena keberhasilan tesebut bukan hanya pada

    kinerja birokrasi tetapi juga pada pemimpin yang berani dan tegas dalam

    melakukan kebijakan serta mampu memamfaatkan sumberdaya secara

    maksimal.

    Efektivitas merupakan kondisi dalam memilih tujuan yang tepat dan

    melakukanya secara cepat. Inilah peran pemimpin dalam mengatur dan

    mengola negara maupun daerah untuk kemajuan. Adapun tujuan penting

    untuk menilai efektivitas adalah akuntabilitas serta profesionalisme birokrasi

    dalam memberikan pelayan atau melaksanakan pembangunan.75

    Sebuah rancangan besar terkait dengan desain mengenai program

    pembangunan aparatur dan reformasi birokrasi yang diakomodir dan Rencana

    Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) 2005-2025.76 Dalam dokumen tersebut

    menyebutkan bahwa arah kebijakan dan strategi nasional dilakukan melalui

    reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan

    mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Tujuan utama dari dari desain tersebut

    secara eksplisit menyatakan akan menciptakan aparatur yang bersih, profesional

    75. Bilal Dewansyah, “Kampanye Deliberatif Dalam Desain Pilkada Serentak: Sebuah Gagasan

    Perubahan”. Vol, 4. No, 1. April 2015. Halm 25 76Bappenas, https://www.bappenas.go.id/files/1814/2057/0437/RPJP_2005-2025.pdf. Halm 18

    https://www.bappenas.go.id/files/1814/2057/0437/RPJP_2005-2025.pdf

  • 50

    dan beritengritas serta hal-hal yang besifat positif. Dengan begitu konsep good

    governace dapat diwujudkan secara cepat dan tepat dengan kompetensi dari

    aparatur birokrasi.

    Pelayanan secara cepat dan tepat terhadap masyarakat, kelembagaan dan

    birokrasi merupakan satu paket penting yang berkaitan langsung dengan isue

    penting yang berhubungan langsung dengan efisiensi dan efektivitas. Konsep

    governance secara sederhana merujuk pada proses pembuatan keputusan dan

    proses pengimplementasian keputusan tersebut. Dalam bahasa UNDP, “good

    governance is the manner in which power is exercised by the society in the

    management of various levels of government, of the country’s social, cultural,

    political and economic resources”. Lebih lanjut, menurut Pierre dan Petters good

    governance “should have devise means of accomodating more continous forms of

    participation while still being able to supply the needed direction to society”.

    Good governance ini menurut Asian Development Bank juga berkaitan dengan

    langsung terhadap upaya realisasi akuntabilitas dan transparansi pemerintahan.77

    Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Bertelseman Transformation

    Index (BTI) tahun 2005 yang meneliti tentang indeks ekonomi politik

    (political and economic transformation index-PETI) serta kinerja manajemen

    pemerintahn (manajement perfomance index-MPI) yang dilakukan di 119

    negara, Indonesia menempati peringkat ke-60 dalam MPI dan urutan ke-53

    dalam PETI bahkan beberapa negara-negara Afrika menempati rangking yang

    lebih baik dari Indonesia.

    77. Siti Zuhro, (Jurnal Penelitian Politik) “Good Governance dan Reformasi Birokrasi di

    Indonesia”. Vol, 7. No, 1. 2010. Hal 6.

    ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/issue/download/65/61

  • 51

    Hasil dari penelitian tersebut memberikan kesimpulan bahwa adanya

    demokrasi konstitusional di suatu negara tidak menjamin adanya suatu

    kebijakan yang sesuai dengan harapan maupun kebutuhan masyarakat.

    Bahkan di beberapa negara kebijakan yang baik (good policies) dibuat dalam

    koridor demokrasi yang akuntabel. Ini menandakan bahwa dengan

    menerapkan tata pemerintahan yang baik, tidak bisa dengan mudah

    memberikan kualitas pelayanan yang baik sesuai dengan harapan maupun

    kebutuhan masyarakat.78

    Maka dari itu reformasi birokrasi difokuskan untuk menghasilkan

    kelembagaan yang efektif, ketatalaksanaan yang ringkas dan sumber daya

    yang manusia bermutu serta profesional. Secara bersamaan, pelaksanaan

    reformasi birokrasi harus diperkuat dengan landasan kebijakan yang sesuai

    dengan kebutuhan masyarakat dan diperluas pelaksanaannya pada instansi

    pemerintahan pusat maupun daerah. Sehingga adanya partisipasi masyarakat

    sipil berjalan dengan semestinya untuk dapat terlibat dalam penyelenggaraan

    publik.

    Reformasi birokrasi bukan proses yang berlangsung di dalam ruang

    hampa, keberhasilan implementasinya bergantung kepada reformasi dalam

    sektor-sektor yang berkaitan dengan pelayanan publik, terutama pada sektor

    hukum, ekonomi, dan administrasi publik. Pembenahan dalam sektor politik

    diperlukan untuk menjamin konsistensi dan keberlanjutan politik dari

    pengambilan kebijakan. Sedangkan pembenahan disektor hukum adalah untuk

    78. Novy Setia Yunus & Mi’rojul Huda, (jurnal the Politics) “Membangun Karakter Kepemimpinan

    dan Optimisme Daerah Dalam Reformasi Birokrasi di Indonesia”. Vol, 2. No, 2. Juli 2016. Halm

    297.

  • 52

    menyediakan perangkat hukum yang diperlukan dalam rangka reformasi

    birokrasi, terutama yang berkaitan pemberantasan korupsi, kolusi dan

    nepotisme. Reformasi birokrasi akan dapat menjadi syarat pemberatasan

    korupsi bila terwujud badan peradilan dan sistem peradilan independen,

    didukung dengan keterbukaan dan sistem yang efektif .79

    79. Dian Arlupi Utami, (Makalah Seminar Nasional. Sub Tema: Birokrasi dan Road Map MDGs

    2015 di Indonesia). “Reformasi Birokrasi Dalam Rangka Pencapaian MDGs di Indonesia”.

    http://repository.ut.ac.id/2433/1/fisip201207.pdf. Di akses pada tgl 9 Juli 2018

    http://repository.ut.ac.id/2433/1/fisip201207.pdf