bab ii. tinjauan pustaka 2.1 tanaman apel (malus sylvestris …eprints.umm.ac.id/38793/3/bab...
TRANSCRIPT
5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Apel (Malus sylvestris Mill)
Apel (Mallus sylvestris Mill) merupakan tanaman buah tahunan yang
berasal dari daerah Asia barat dengan iklim subtropics. Awal tanaman Apel
introduksi ke Indonesia oleh Belanda masih banyak yang menyasingkan
kemungkinan keberhasilan pertumbuhan buah secara maksimal.
Perkenalan wilayah Malang Raya dengan tanaman Apel dimulai pada
tahun 1956 saat seorang peniliti Bapak Widodo membawa bibit Apel ke Jawa
Timur dari Cipanas. Setelah melalui beberapa penelitian di daerah Malang Raya
akhirnya tanaman Apel menghasilkan buah pada tahun 1962 (Baskara, 2010).
Menurut Warintek (2011), klasifikasi tanaman Apel adalah.
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Klas : Dicotyledonae
Ordo : Rosales
Famili : Rosaceae
Genus : Malus
Spesies : Malus sylvestris Mill
Tanaman Apel dapat tumbuh dikondisi sub tropis yang memiliki iklim 4
musim, tetapi juga bisa tumbuh di Negara Indonesia. Menurut Baskara (2010)
Tanaman Apel dapat tumbuh dan berbuah baik pada ketinggian 800-1200 mdpl
yang telah dilakukan penelitian di daerah Malang Raya menunjukkan hasil buah
yang tinggi. Curah hujan yang ideal adalah 1000-2600 mm/tahun yang memiliki
bulan basah 6-7 bulan dan bulan kering 3-4 bulan.
6
Tanaman apel memiliki akar tunggang yaitu akar bawah tegak luru ke
dalam tanah berfungsi untuk menyokong tanaman, meyerap unsur hara tanah.
Tanaman apel memiliki batang berkayu keras dan kuat. Tanaman ini memiliki
kulit yang tebal, berwarna mudah, kecoklatan hingga kuning dan keabu-abuan.
Daun tanaman apel memiliki bentuk loong dan oval, memiliki ujung yang
runcing. Dan memiliki daun tumpul dan tepi daunnya bergerigi. Tanaman apel
memiliki bunga bertangkai pendek, menghadap ketas, berdandan dan pada tiap
tandan bunga memiliki 6-7 bunga. Bunga pada tanaman ini tumbuh di ketiak
daun, mahkota bunga berwarna putih dan kemarahan. Tanaman apel memiliki
buah yang sangat bervariasi yaitu hijau, merah, dan juga kemerahan dengan
bentuk oval atau bulat. Buah pada apel memiliki kulit tipis dan kasar serta
memiliki pori-pori yang besar. Namun, setelah matang sempurna akan menjadi
mengkilat dan juga halus permukaan buah (Baskara, 2010).
Gambar 1. Varietas Apel (a) Fuji, (b) Red Del (Washington), (c) Manalagi
(a)
(c)
(b)
7
Varietas Fuji (Gambar 1.a) merupakan hasil persilangan antara Ralls janet
(Kakko) dengan Red Delicious yang dikembangkan oleh The Fruit Tree Research
Station (sekarang National Institute of Fruit Tree Science) MAFF, Jepang.
Varietas ini diberi nama Fuji pada tahun 1962 dan diregister dalam Register
Pertanian dan Kehutanan sebagai Apel no. 1 Norin. Varietas ini sekarang selain
disukai di tempat asalnya Jepang juga telah populer di banyak negara di dunia
(Yomusa, 2015).
Apel Fuji memiliki karakter morfologi dari segi perawakan, apel fuji
merupakan hibitus jenis pohon dengan kepadatan daun jarang dan tinggi pohon ±
350 – 400 cm. Dari segi batang, apel fuji memiliki warna batang hijau cokelat
dengan permukaan batang kasar, arah pertumbuhan batang tegak dan arah
pertumbuhan cabangnya condong. Dari segi daun, apel fuji memiliki duduk daun
tersebar dengan posisi daun pada ranting 70o. Daun apel fuji terdapat rambut daun
yang banyak dan warna permukaan atas hijau medium sedangkan warna
permukaan daun bawah hijau muda serta memiliki keadaan permukaan daun yang
berkerut kasar. Daun apel fuji mempunyari bentuk bangun daun bulat telur dengan
tepi daun bergerigi, ujung daun meruncing dan pangkal daun runcing. Ukuran
daun apel fuji yaitu memiliki panjang daun ± 8,6 cm, lebar daun ± 4,8, tebal daun
± 0,7 cm, tangkai daun ± 4 cm dan jarak antar nodus ± 1 cm. Tipe venasi daun fuji
yaitu menyirip dengan keadaan tulang daun menonjol dan daging daun yang tipis
kertas.
Berat buah sekitar 300 gram, Bentuknya bulat sampai lonjong, berwarna
merah sampai coklat kemerahan gelap. Belang jelas dengan warna dasar kuning.
Keadaan fusarium layu dan bentuk buah tidak bagus sering terjadi pada beberapa
8
tahun. Buahnya sangat manis dengan rasa asam sedang, mengandung banyak sari
buah dan rasanya enak. Daging buah berwarna putih kekuningan, keras dan agak
kasar. Cenderung mengandung banyak air. Kandungan gula sekitar 15%,
keasaman 0,4 – 0,5% dan kekerasan daging buah sekitar 15 pounds. Varietas apel
ini dapat disimpan lama, sekitar 90 hari pada suhu normal dan sekitar 150 hari
pada cold storage (Pudjiatmoko, 2008).
Apel Red Delicious (Washington) (Gambar 1.b) Berasal dari Amerika,
kulit agak tebal, warna kulit merah hati bergaris-garis, daging buah lunak, berair,
rasa manis sedikit asam. Enak dimakan dalam keadaan segar. Kelebihan dari
varietas ini adalah tanaman lebih pendek dan dapat tumbuh dan berbuah dengan
cepat (Yomusa, 2015). Varietas ini merupakan varietas unggul yang
dikembangkan di Amerika. Hal tersebut terbukti dari data U.S Apple Association
(2008), yang menyatakan bahwa data produksi nomor satu adalah varietas Red
Delicious dengan nilai rata-rata 61,820 (100 42-lb units).
Apel Red Delicious memiliki karakter morfologi dari segi perawakan, apel
Red Delicious merupakan hibitus jenis pohon dengan kepadatan daun sedang dan
tinggi pohon ± 450 - 500 cm. Dari segi batang, apel Red Delicious memiliki
warna batang cokelat kemerahan dengan permukaan batang kasar, arah
pertumbuhan batang tegak dan arah pertumbuhan cabangnya condong. Dari segi
daun, apel Red Delicious memiliki duduk daun tersebar dengan posisi daun pada
ranting 90o. Daun apel Red Delicious terdapat rambut daun yang jarang dan warna
permukaan atas hijau tua sedangkan warna permukaan daun bawah hijau muda
serta memiliki keadaan permukaan daun yang berkerut halus. Daun apel Red
Delicious mempunyari bentuk bangun daun bulat telur dengan tepi daun bergerigi,
9
ujung daun meruncing dan pangkal daun runcing. Ukuran daun apel Red
Delicious yaitu memiliki panjang daun ± 8,7 cm, lebar daun ± 4,7, tebal daun ±
0,6 cm, tangkai daun ± 4 cm dan jarak antar nodus ± 1 cm. Tipe venasi daun Red
Delicious yaitu menyirip dengan keadaan tulang daun menonjol dan daging daun
yang tipis kertas.
Apel manalagi (Gambar 1.c) paling sering dijumpai berwarna hijau. Rasa
daging buahnya manis walaupun belum matang, aromanya kuat, kandungan
airnya kurang. Daging buah berwarna putih kekuningan. Bentuk buah agak bulat
dengan ujung dan pangkal berlekuk dangkal. Apel ini memiliki produktivitas yang
cukup tinggi yaitu antara 10,9 – 58,6 kg/pohon (Dinas Pertanian Kota Batu,
2010). Angka konsumsi apel ini cukup tinggi di kalangan masyarakat dengan
nilai mencapai 875 g/orang/bulan (Sumarwan, 2016).
Apel manalagi memiliki karakter morfologi dari segi perawakan, apel
manalagi merupakan hibitus jenis pohon dengan kepadatan daun sedang dan
tinggi pohon ± 470 – 500 cm. Dari segi batang, apel manalagi memiliki warna
batang hijau kuning dengan permukaan batang kasar, arah pertumbuhan batang
tegak dan arah pertumbuhan cabangnya condong. Dari segi daun, apel manalagi
memiliki duduk daun tersebar dengan posisi daun pada ranting 30o. Daun apel
manalagi terdapat rambut daun yang jarang dan warna permukaan atas hijau tua
sedangkan warna permukaan daun bawah hijau muda serta memiliki keadaan
permukaan daun yang berkerut kasar. Daun apel manalagi mempunyari bentuk
bangun daun bulat telur dengan tepi daun bergerigi, ujung daun meruncing dan
pangkal daun runcing. Ukuran daun apel manalagi yaitu memiliki panjang daun ±
8,8 cm, lebar daun ± 3,4, tebal daun ± 0,5 cm, tangkai daun ± 3,3 cm dan jarak
10
antar nodus ± 2 cm. Tipe venasi daun manalagi yaitu menyirip dengan keadaan
tulang daun menonjol dan daging daun yang tipis kertas.
Apel Manalagi adalah salah satu dari 2 jenis apel andalan kota Malang.
Apel ini memiliki warna buah tetap hijau kekuningan, berbentuk jorong, pangkal
dan pucuk berlekuk dalam. Rasa apel ini segar dan mempunyai aroma yang kuat.
Daging buahnya berwarna putih halus dan berair. Apel hijau, terutama jenis yang
asam banyak diolah lagi dalam industri besar untuk dibuat menjadi produk awetan
seperti selai (Hana Fruits, 2013).
Apel manalagi mempunyai rasa manis walaupun masih muda dan
aromanya harum. Bentuk buahnya bulat dan kulit buahnya berpori putih. Jika
dibungkus kulit buahnya berwarna hijau muda kekuningan, sedangkan jika
dibiarkan warnanya akan tetap hijau. Diameter buah berkisar antara 5-7 cm dan
berat 75-100 gram/buah (Hapsari, 2015).
Beberapa varietas apel yang digunakan sebagai bahan eksplan yaitu apel
fuji, Gala, Red Delicicous, dan Manalagi.
Perbanyakan tanaman berkayu terdapat beberapa cara perbanyakan secara
vegetative, generative, dan kultur in vitro. Perbanyakan secara vegetative seperti
okulasi, grafting, dan top working. Okulasi adalah cara penyambungan satu mata
tunas sebagai entres (batang atas) dengan batang bawah pada tanaman sejenis
(sefamili), bibit okulasi dapat berbuah mulai umur 3 tahun (Nalia, 2010). Grafting
(sambung pucuk) adalah suatu seni menyambung bagian dari satu tanaman entres
(batang atas) ke bagian tanaman lain batang bawah sedemikian rupa sehingga
tercapai persenyawaan dan kombinasi ini terus tumbuh membentuk tanaman baru.
11
Top working adalah system perbanyakan dengan cara penyambungan
pucuk/temple pada bibit muda yang biasa dilakukan, yang membedakan adalah
pada kondisi bawahnya sudah berwujud pohon yang besar dengan diameter 25 –
30 cm. Sedangkan pada penyambungan bibit muda atasnya berdiameter 0,5-1 cm
(Rebin, 2013).
2.2 Kultur in vitro
Kultur in vitro tanaman merupakan teknik menumbuh-kembangkan bagian
tanaman, baik berupa sel, jaringan atau organ dalam kondisi aseptic secara in
vitro. Teknik ini dicirikan oleh kondisi aseptic, penggunaan media kultur buatan
dengan kandungan nutrisi lengkap dan ZPT (Zat Pengatur Tumbuh), serta kondisi
ruang kultur yang suhu dan pencahayannya terkontrol (Yusnita, 2003).
Kelebihan dari perbanyakan vegetative adalah membuat bibit dalam
jumlah yang banyak dan dalam waktu yang relatif singkat, pertumbuhan tanaman
yang seragam, menghasilkan gabungan tanaman baru yang mempunyai
keunggulan dari segi perakaran dan produksinya, memanfaatkan pohon yang
minim produksi diubah menjadi pohon yang lebih produksi (Junior, 2013).
Kekurangan dari perbanyakan secara vegetative menggunakan tenaga ahli,
memerlukan entres yang lebih banyak, memerlukan perawatan yang intensif,
membutuhkan lahan yang luas untuk perbanyakannya (Barnes, 2002).
Kelebihan dari kultur in vitro adalah rata-rata multplikasi tinggi,
lingkungan dapat dikontrol atau diubah untuk memenuhi kebutuhan spesifik dari
tanaman, produksi metabolit skunder, terhindar dari jamur, bakteri, dan virus,
karena ditumbuhkan di media yang steril, konservasi spesies tanaman yang
terancam, dan membutuhkan lahan yang tidak terlalu luas (Sidhu, 2010).
12
Kekurangannya adalah membutuhkan biaya yang mahal karena menggunakan
teknologi, peralatan dan bahan yang mahal, membutuhkan tenaga ahli, pekerjaan
yang sangat banyak, dan membutuhkan listrik tanpa henti.
Teknik kultur jaringan memiliki dua keutamaan utama yaitu untuk
perbanyakan cepat dalam jumlah yang banyak dan seragam sesuai induknya, dan
untuk menghasilkan bibit yang baru unggul dalam perbaikan tanaman (Matjik,
2005).
Keberhasilan dalam penggunaan metode in vitro terutama disebabkan
pengetahuan yang lebih baik tentang kebutuhan hara sel dan jaringan yang
dikulturkan. Hara terdiri dari komponen utama dan komponen tambahan.
Komponen utama meliputi garam mineral, sumber karbon (gula), vitamin dan
pengatur tumbuh. Komponen lain seperti senyawa nitrogen organik, berbagai
asam organik, metabolit dan ekstrak tambahan tidak mutlak, tetapi dapat
menguntungkan ketahanan sel dan perbanyakannya (Wetter dan Constabel, 2001).
Macam-macam dari kultur in vitro seperti kultur tunas, kultur kalus, kultur
suspensi, kultur protoplas, dan kultur embrio. Kultur tunas adalah kultur jaringan
yang menggunakan eksplan yang berasal dari organ tumbuhan yang berupa pucuk
bagian mata tunas. Penggunaan mata tunas karena bagian ini termasuk bagian
juvenile dan sel-selnya masih aktif membelah sehingga diharpakan eksplan lebih
mudah diinduksi (Gunawan, 2004).
Kultur tunas ini merupakan salah satu teknik in vitro yang digunakan
untuk perbanyakan tanaman dengan merangsang muncunlnya tunas-tunas aksilar
dari mata tunas yang dikulturkan. Eksplan yang digunakan dalam kultur tunas
13
dapat berasal dari tunas lateral, tunas samping atau bagian dari batang yang
mengandung satu atau lebih mata tunas (Herawan, 2015).
Kultur tunas adalah jaringan yang muncul pada eksplan dalam beberapa
minggu pemindahan ke media pertumbuhan dengan hormone yang cocok.
Pembentukan tunas terjadi dari proses diferensiasi sel, yang dikenal sebagai
dediferensasi dan redeferensiasi sel. Hormon pertumbuhan yang berbeda
digunakan untuk mreangsang induksi dan perkembangan. Dalam Cephaelis
ipecacuanha 2,4-D dan NAA bersama dengan kinetin merangsang induksi tunas
dan pertumbuhan. Tanaman baru berhasil diregenerasikan dari tunas melalui
organogenesis (Sidhu, 2010).
Kultur suspensi terbentuk secara in vitro ketika tunas gembur ditanam
pada media cair dalam wadah yang sesuai dan terus-menerus diganggu untuk
memberikan suspensi sel gratis. Kultur suspense terdiri dari dua jenis batch dan
continue. Dalam kultur batch sebagian dari suspense sel awal diambil dan di
subkultur pada media segar secara berkala. Dalam kultur continue media segar
ditambahkan kedalam kultur dan sel yang berlebihan suspense yang ada
dikeluarkan pada interval regular. Kultur suspensi secara luas digunakan dalam
produksi skala besar dari metabolit sekunder (Sidhu, 2010).
Kultur protoplas adalah sel-sel tanaman di mana dinding sel telah
dihampus oleh enzim pencernaan atau proses mekanis. Protoplas diisolasi dengan
mencelupkan jaringan tanaman ke dalam larutan hipertonik, menyebabkan
membrane plasma menyusut dari dinding sel. Regenerasi tanaman berhasil dicapai
oleh kultur protoplas di A. Judaica dan E spinosissimus (Sidhu, 2010).
14
Kultur embrio adalah memisahkan embrio yang belum dewasa dan
menumbuhkanya secara kultur jaringan untuk mendapatkan tanaman yang viable
(Daisy dan Ari, 2004). Memilih embrio sebagai eksplan dikarenakan tersedianya
buah, memiliki keseragaman fisiologis tinggi dan dapat dibawa dalam waktu,
jarak yang cukup panjang (Teixira, Sondahl dan Kirby, 2004).
Kultur tunas ini merupakan salah satu teknik in vitro yang digunakan
untuk perbanyakan tanaman dengan merangsang munculnya tunas aksilar dari
mata tunas aksilar dari mata tunas yang dikulturkan. Eksplan yang digunakan
dalam kultur mata tunas yang digunakan dalam kultur tunas berasal dari tunas
lateral, tunas samping atau bagian batang yang mengandung satu atau lebih mata
tunas (Herawan, 2015).
Eksplan mata tunas yang telah tumbuh dengan kisaran panjang 2,5 cm-3,5
cm dalam kultur tunas tanaman Cendana (Herawan, 2015). Bahan tanam yang
digunakan pada pengaruh komposisi media terhadap inisiasi tanaman Apel Malus
sylvestris Mill) yaitu, tunas tanaman apel steril yang berasal dari kecambah apel
varietas Fuji (Samudin, 2009). Menurut Ghanbari (2014) Eksplan yang digunakan
adalah stek tunggal dipilih sebagai eksplan dari 3 apel batang bawah termasuk
Azayesh-Esfahan and Morabbaeei-Mashhad (Iranian native cultivars) and M9
sebagai batang bawah kecil. Menurut Medza dkk (2013) Eksplan nodal diambil
dari setidaknya bibit berusia dua bulan yang telah membentuk jumlah minimal
empat node. Semua eksplan khusus dikumpulkan dari luas mulai dari 10 cm dari
pangkal batang dan berakhir pada 5 cm dibawah kuncup apikal.
Metode yang digunakan dalam multiplikasi tunas dari hasil penelitian
Herawan (2015) dengan menggunakan mata tunas yang telah tumbuh dan
15
berkembang didalam media induksi. Mata tunas ditumbuhkan selama 4 minggu
kemudian disubkultur ke media yang baru. Samudin (2009) dalam inisiasi
tanaman apel menggunakan tunas apel yang berasal dari kecambah apel varietas
Fuji. Ghanbari (2014) pertumbuhan tanaman pada propagasi batang bawah 3
varietas apel secara in vitro, dengan menggunakan eksplan yang tumbuh selama 3
kali sub kultur dan memindahkan seluruh eksplan kultur ke dalam media baru.
Selanjutnya tahap pengakaran, menggunakan 2 media yang berbeda yaitu media
MS dan ½ MS untuk menumbuhkan akar dari multplikasi tunas.
Kultur jaringan akan lebih besar presntase keberhasilannya bila
menggunakan jaringan meristem. Jaringan meristem adalah jaringan muda, yaitu
jaringan yang terdiri dari sel-sel yang selalu membelah (Hendrayono dan
Wijayanti, 2004). Salah satu bagian jaringan meristem pada tanaman terdapat
pada bagian tunas. Eksplan berupa tunas pucuk merupakan eksplan yang paling
tinggi presentasenya menghasilkan planlet, terutama jika ditumbuhkan pada
media tanpa auksin (Irawati, 2000).
Perbanyakan tanaman menurut Widyastuti (2002) dengan teknik in vitro
memiliki banyak kelebihan yaitu tanaman dapat diperbanyak setiap saat tanpa
tergantung musim karean dilakukan diruang tertutup, daya multiplikasi tinggi dari
bahan tanaman yang kecil, tanaman yang dihasilkan seragam dan bebas penyakit
terutama bakteri dan cendawan.
Kelemahan dari teknik kultur jaringan seperti membutuhkan biaya awal
yang relative tinggi untuk laboratorium dan bahan kimia dan dibutuhkan keahlian
khusus untuk melaksanakannya (Yusnita, 2003). Menurut Rahardja dan Wahyu
16
(2003) kendala kultur in vitro dalam bahan tanam (eksplan), karena masih adanya
cendawan dan bakteri yang masih ada pada jaringan tanaman.
Kultur jaringan Apel dilakukan melalui multiplikasi tunas, organogenesis
dan embryogenesis somatic. Prosedur multiplikasi tunas lebih sederhana dan
kemungkinan terjadinya keragaman somaklonal lebih rendah dibandingkan
dengan organogeneisis dan embryogenesis somatic karena digunakan eksplan
yang terdeferensiasi. Sebagai bahan eksplan bagi multiplikasi tunas adalah tunas
pucuk dan tunas samping (Sumaryono, 2011).
2.3 Multiplikasi Tunas
Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan
menanam eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk
menghindari adanya kontaminasi yang menyebabkan gagalnya pertumbuhan
eksplan. Tabung reaksi yang telah ditanami ekplan diletakkan pada rak-rak dan
ditempatkan di tempat yang steril dengan suhu kamar. Setelah 1 minggu eksplan
dipindahkan dalam media multiplikasi. Eksplan jarak yang telah tumbuh panjang
dapat dilakukan pemotongan pada setiap nodusnya, hal ini dilakukan untuk
memperanyak jumlah planlet. Media yang diberikan biasanya ditambahkan
sitokinin untuk merangsang multiplikasi pucuk (Kristina, 2001).
Proses penggandaan tanaman dimana tanaman dipotong-potong pada
bagian tertentu menjadi ukuran yang lebih kecil kemudian ditanam kembali
kemedia agar yang telah disiapkan. Proses ini dilakukan secara berulang setiap
tanggal waktu tertentu. Pada setiap siklusnya tanaman dipotong dan menghasilkan
perbanyakan dengan tingkat RM (Rate Of Multiplication) tertentu yang berbeda-
beda untuk setiap tanaman (Kristina, 2001).
17
Kemampuan multiplikasi akan meningkat apabila biakan disubkultur
berulang kali. Namun perlu diperhatikan, walaupun subkultur dapat meningkatkan
faktor multiplikasi dapat juga meningkatkan terjadinya mutasi. Untuk itu, biakan
perlu diistirahatkan pada media MS0, yaitu tanpa zat pengatur tumbuh. Biasanya
pada jarak sebelum dilakukan induksi akar planlet di pindahkan dalam media MS
O guna penetralan dari zpt yang sebelumnya diberikan (Kristina, 2001).
Laju multiplikasi tunas apel dapat ditingkatkan menggunakan zat pengatur
tumbuh sitokinin atau kombinasi sitokinin dan auksin sebagai hormone eksogen
dalam memacu pembentukan tunas, daun dan ruas tanaman (Samudin, 2009).
Multiplikasi tunas atau penggandaan tunas adalah perbanyakan eksplan yang
berasal dari inisiasi kultur mata tunas dimana eksplan dapat ditanam pada media
yang sama tanpa melalui pemindahan media yang baru. Tahap multiplikasi tunas
ini juga merupakan tahap pembentukan tunas adventif dan tunas aksilar yang
tumbuh dari mata tunas adventif secara bersama-sama (Armini et al, 2002). Tunas
adventif adalah tunas yang tumbuh tidak hanya di ujung batang dan ketiak daun.
Tunas ini tumbuh pada bagian yang biasanya tidak bertunas yaitu pada akar dan
daun (Cafependidikan, 2016).
2.4 Kombinasi ZPT
2.4.1 Perbandingan Kombinasi ZPT Auksin dan Sitokinin
Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organic bukan nutrisi yang
dalam konsentrasi rendah mampu mendorong, menghambat atau secara kualitatif
mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Santoso dan Fatimah,
2003). Hal serupa dikemukakan oleh Hendaryono dan Wijayanti (2004) zat
pengatur tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam
18
jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat dan dapat merubah proses
fisiologis tumbuhan. Pengaruh auksin terhadap perkembangan sel menunjukkan
adanya indikasi bahwa auksin dapat menaikkan tekanan osmotik, meningkatkan
sintesa protein, meningkatkan permeabilitas sel terhadap air dan melunakkan
dinding sel yang diikuti menurunnya tekanan dinding sel sehingga air dapat
masuk ke dalam sel yang disertai kenaikan volume sel (Hendaryono dan
Wijayanti, 2004)
Zat pengatur tumbuh auksin menurut Kusumo (1984) zat yang memiliki
sifat khas, yaitu mendorong perpanjangan sel pucuk. Meskipun dapat
mempengaruhi proses lain namun pengaruh utamanya adalah memperpanjang sel
pucuk. Menurut Hartman dan Kester (2004) auksin berperan dalam mendorong
pemanjangan kuncup yang sedang berkemabang. Selain itu auksin juga berperan
dalam pemanjangan batang, pertumbuhan, diferensiasi, dan percabangan akar.
Jenis auksin yang sering digunakan adalah IBA (Indolebutyric Acid) yang
dihasilkan secara alami oleh tanaman.
Beberapa peranan ZPT dalam kultur in vitro menurut Widyastuti dan
Donowati (2001) sebagai berikut :
1. Senyawa sintetik yang disintesa diluar jaringan tanaman dan mempunyai
sifat fisiologis dan biokimia yang serupa dengan hormone tanaman adalah
ZPT. Hormon tanaman dan ZPT pada umumnya mendorong terjadi
sesuatu pertumbuhan dan perkembangan.
2. Peranan auksin dalam kultur in vitro terutama untuk pertumbuhan tunas,
suspensi sel, dan pertumbuhan akar. Bersama-sama sitokinin dapat
mengatur tipe morfogenesis yang dikehendaki.
19
3. Pengaruh sitokinin di dalam kultur in vitro antara lain berhubungan
dengan proses pembelahan sel, proliferasi tunas ketiak, penghambatan
pertumbuhan akar tanaman.
Sitokinin dan auksin memberikan pengaruh interaksi terhadap diferensiasi
jaringan (Hendaryono dan Wijayanti, 2004). Metode Mohr banyak digunakan
pada penelitian terhadap berbagai macam jenis tanaman baik tanaman hias,
tanaman buah-buahan, tanaman sayuran maupun tanaman perkebunan. Metode
ini bertujuan untuk mengetahui berapa dosis kombinasi terbaik antara zat pengatur
tumbuh sitokini dan auksin. Berikut ini disajikan kombinasi kedua macam
golongan zat pengatur tumbuh tersebut di dalam metode Mohr.
Tabel 1. Kombinasi Zat Pengatur Tumbuh Golongan Auksin dan Sitokinin dalam
Metode Mohr
No Zat Pengatur Dosis Kombinasi Perbandingan
01 Sitokinin 0 1 2 3 4 5
02 Auksin 5 4 3 2 1 0
Hasil Pertumbuhan Akar saja Akar dan Tunas Tunas Saja
Sumber : Mohr dan Schopfer (2004)
Gambar 2. Pengaruh Perimbangan Auksin dan Sitokinin terhadap Arah
Pertumbuhan Jaringan Tanaman pada Kultur Jaringan (Santoso dan
20
Nursandi, 2003)
Menurut Harahap dan Nusyirwan (2014) hasil penelitian tentang induksi
tunas nanas in vitro dengan pemberian dosis auksin dan sitokinin yang berbeda,
perlakuan yang memperlihatkan kombinasi sitokinin TDZ 4 ppm dan auksin IBA
0,5 ppm, menghasilkan jumlah tunas tertinggi 11,2 tunas pada pengamatan 14
MST.
2.4.2 Thidiazuron (TDZ) dan indolebutyric acid (IBA)
Sitokinin berpengaruh terutama pada pembelahan sel dalam pertumbuhan
jaringan (Hendaryono dan Wijayanti, 2004). Zat ini mempergiat pembelahan sel.
Jelas juga pengaruhnya terhadap pertumbuhan tunas-tunas serta akar-akar.
Thidiazuron (TDZ) diklasifikan sebagai salah satu dari sitokinin yang
menstimulasi banyak respon yang mirip dengan sttimulasi dari sitokinin alami.
Sebelumnya, potensi TDZ sebagai morfo-regulator telah diamati pada aplikasi
kultur jaringan tanaman untuk perkembangan sistem morfogenetik yang dapat
dilakukan dengan mudah. Menurut Mok et al. (1982) TDZ dapat mematahkan
dormansi pada biji. Thidiazuron walaupun dalam konsentrasi kecil dapat
menginduksi perkecambahan dengan cepat pada biji. Penelitian Soliman (2013),
menyatakan bahwa pada eksplan buah peach, dengan medium yang mengandung
3 mg/l TDZ menghasilkan persentase regenerasi tunas yang paling tinggi, yaitu
64.8 % dengan panjang tunas 1,28 cm. Pemberian TDZ sebesar 5 mg/l
menurunkan persentase regenerasi tunas hingga 50.3% pada buah peach (Soliman,
2013). Rumus bangun perbandingan dari ZPT TDZ dan BAP disajikan dalam
gambar berikut ini.
21
(a) (b)
Gambar 3. Rumus Bangun (a) TDZ (Glentham, 2015) dan (b) BAP (Wattimena, 1998)
BAP biasanya digunakan untuk induksi kalus tapi yang terpenting adalah
BAP dapat menginduksi pembentukan tunas, pucuk atau kecambah. Selain itu,
BAP juga efisien dalam mendorong inisiasi tunas bunga tapi tidak mempengaruhi
perkembangan tanaman selanjutnya. TDZ juga memiliki peran sebagai inhibitor
sitokinin oksidase yang merupakan enzim menghilangkan keaktifan sitokinin tipe
adenin bebas. Thidiazuron merupakan salah satu sitokinin tipe phenylurea sintetik
yang memiliki kemampuan lebih baik dalam menginduksi tunas, di antara
sitokinin lain seperti zeatin, benzylaminopurin dan kinetin (Mok dan Mok 2001;
Kou et al. dalam Kusmianto, 2008).
Thidiazuron adalah senyawa yang mirip dengan sitokinin yang dapat
menginduksi perbanyakan tunas lebih cepat daripada sitokinin jenis lain (Khawar
et al., 2003) dan mempunyai pengaruh yang sangat kuat pada pertumbuhan
tanaman, biasanya digunakan secara bersama-sama dengan Benzil Amino Purin
(BAP). TDZ sering digunakan untuk memberikan sebuah ‘pemicu awal’ pada
kultur baru, terutama tanaman berkayu. Penggunaan TDZ berpengaruh besar pada
tanaman berkayu seperti Azaelea, Prunus maupun Acer, dan pada spesies
berbatang lunak seperti Asteraceae dan Liliaceae (Pelletier et al., 2004). Pada
penelitian sebelumnya (Ardiansyah,2016) mengatakan bahwa penambahan 3 mg/l
22
TDZ dapat meransang tumbuhnya eksplan apel lebih cepat dan menghasilkan
tunas yang bayak dan memiliki bobot berat basah yang tinggi.
Sitokinin dan auksin memberikan pengaruh interaksi terhadap diferensiasi
jaringan (Hendaryono dan Wijayanti, 2004). Kombinasi zat pengatur tumbuh
antara grup auksin dan sitokinin dengan metode Mohr merupakan kunci
keberhasilan dalam kultur jaringan. Metode Mohr banyak digunakan pada
penelitian terhadap berbagai macam jenis tanaman baik tanaman hias, tanaman
buah-buahan, tanaman sayuran maupun tanaman perkebunan. Metode ini
bertujuan untuk mengetahui berapa dosis kombinasi terbaik antara zat pengatur
tumbuh sitokini dan auksin. Berikut ini disajikan kombinasi kedua macam
golongan zat pengatur tumbuh tersebut di dalam metode Mohr.
Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan untuk merangsang
pertumbuhan adalah indolebutyric acid (IBA), indoleacetic acid (IAA) dan
napthaleneacetic acid (NAA). IBA dan NAA lebih efektif daripada IAA, sebab
keduanya lebih stabil digunakan dalam penyetekan. IBA dan NAA lebih stabil
terhadap oksidase dan cahaya (Zaerr dan Mapes, 1982). Menurut Salisbury dan
Ross (2002), NAA lebih efektif dari IAA karena NAA tidak dapat dirusak oleh
IAA oksidase atau enzim lainnya, sehingga bertahan lebih lama. Sedangkan IBA
lazim digunakan untuk memacu perakaran dibandingkan dengan NAA atau auksin
lainnya. Menurut Ponganan (2004) menjelaskan bahwa NAA dan IBA
mempunyai sifat translokasi yang lambat dan persistensi tinggi serta aktivitas
yang rendah sehingga selang perakaran cukup besar. Selain itu dalam penelitian
ini juga digunakan IAA untuk pengujian. Menurut Wattimena (2001) menjelaskan
bahwa IAA merupakan salah satu hormon tumbuh yang berperan untuk memacu
23
pertumbuhan sepanjang sumbu longitudinal. Hal spesifik yang terlihat berupa
peningkatan pembesaran sel yang berlangsung ke segala arah secara isodiametric
Gambar 4. Struktur Kimia Indole Butyric Acid (IBA) (Sumber : George et al.,
2008)
IBA merupakan salah satu hormon yang berperan untuk memacu
pertumbuhan sepanjang sumbu longitudinal Hal spesifik yang terlihat berupa
peningkatan pembesaran sel yang berlangsung ke segala arah secara isodiametrik.
Auksin juga berperan dalam pembelahan dan pembentangan sel (Wattimena,
2001). Kajian dengan menggunakan hormon tumbuh IBA untuk memacu
pertumbuhan dan perkembangan sel sekretori pada kunyit belum dilakukan.
Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Azhar (2001) pada tanaman tembakau.
Perlakuan pemberian IBA akan berpengaruh terhadap fisiologi sel daun meliputi
perubahan jumlah trakea, jumlah stomata, kadar air, kadar nikotin, dan tinggi
tanaman.
Menurut Harahap dan Nusyirwan (2014) semakin tinggi konsentrasi
sitokinin TDZ yang diberikan akan semakin menurunkan jumlah akar yang
terbentuk. Perlakuan TDZ 0 ppm dikombinasikan dengan IBA 1 ppm dengan rata-
rata jumlah akar terbentuk 2,4 akar setelah diamati 14 MST.
Eksplan adalah potongan/bagian jaringan yang diisolasi dari tanaman yang
digunakan untuk inisiasi suatu kultur in vitro (Gitonga dkk, 2010). Eksplan yang
digunakan pada teknik mikropropagasi harus bebas dari kontaminan, seperti fungi
24
dan bakteri. Teknik sterilisasi permukaan banyak yang digunakan untuk
menghilangkan kontaminan yang terdapat pada permukaan eksplan (Ardiansyah
dkk, 2014).
Pengaruh subultur berulang kali pada multiplikasi tunas dan pertumbuhan
kurang mendapat perhatian. Menurut Naik dkk (2013) Melakukan subkultur pada
eksplan Bacopa monnieri hingga 10 kali subkultur dapat menurunkan
pertumbuhan tunas, berat segar, dan berat kering. Subkultur yang optimal
dilakukan sebanyak 6 kali, dapat meningkatkan pertumbuhan tunas yaitu
sebanyak 79 tunas per eksplan, berat segar yang optimal 2.800 g dan berat kering
0.190 (Naik dkk, 2013).
Zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam kultur tunas pada tanaman
Cendana dari hasil penelitian Herawan (2015) pada tahap perakaran menggunakan
media MS + 20 mg/l IBA + 1 mg/l IBA dan 0,01 mg/l NAA menunjukkan bahwa
rerata tingkat keberhasilan tertinggi mencapai 40% terhadap klon WS6.
Penggunaan larutan garam makro dengan konsentrasi rendah lebih baik dari
larutan dengan konsentrasi tinggi dalam menginduksi perakaran. Fatmawati dkk
(2016) peningkatan multiplikasi jumlah tunas tembakau memiliki hasil yang baik
dengan memberikan kombinasi hormon 0,5 ppm IBA dan 2 ppm TDZ dengan
menghasilkan jumlah 34 tunas. Sitokinin sangat penting dalam menginduksi tunas
tembakau, tetapi keseimbangan antara TDZ dan IBA sangat penting dalam
menginduksi tunas. Melalui subkultur tunas apel, dengan memperbanyak dan
merangsang pertumbuhan tunas yang berasal dari organ berupa pucuk bagian
mata tunas.
25
Penggunaan TDZ pada tanaman cengkeh dapat meningkatkan inisiasi
tunas cengkeh secara in vitro. Menurut Haris (2013) penggunaan konsentrasi TDZ
yang tepat untuk inisiasi tunas adalah 6 ppm, karena dapat mempercepat
pembentukan tunas selama 12 hari. Yatim (2016) dengan menggunakan
perbedaan konsentrasi TDZ pada tanaman pisang raja bulu untuk meningkatkan
multiplikasi tunas, menunjukkan konsentrasi 3 ppm TDZ memiliki rata-rata
jumlah tunas tertinggi yaitu 6,33 tunas dibandingkan konsentrasi yang lain. IBA
sebanyak 0,2 ppm pada tanaman tembakau berpengaruh terhadap panjang akar
dengan rata-rata 36,02 (Ningsih,2015).
Ghanbari (2014) menunjukkan bahwa media jenis dan batang bawah yang
sesuai 1,5 mg L-1 BA menunjukkan tingkat multiplikasi tunas yang maksimum
dengan rata 5,45 tunas per eksplan. Keresa dkk (2012) pengaruh jenis dan
konsentrasi zat pengatur tumbuh yang berpengaruh dalam proliferasi tunas apel
yaitu pada perlakuan B2 (BPM+1mg/L TDZ). Penggunaan perlakuan B2
menunjukkan hasil yang paling baik dengan jumlah tunas per eksplan sebesar 3,6
tunas.