bab ii tinjauan pustaka 2.1 stroke 2.1.1 pengertian...
TRANSCRIPT
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stroke
2.1.1 Pengertian Stroke
Stroke adalah gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan
atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak (Price & Wilson,
2006). Stroke juga didefinisikan sebagai kelainan fungsi otak yang timbul
mendadak, disebabkan karena terjadi gangguan peredaran darah otak dan bisa
terjadi pada siapa saja dan kapan saja (Muttaqin, 2008). Lebih lanjut Irfan (2010)
menyebutkan stroke atau cerebrovascular accident merupakan gangguan sistem
saraf pusat dan merupakan penyebab utama gangguan aktivitas fungsional pada
orang dewasa.
2.1.2 Etiologi Stroke
Stroke biasanya diakibatkan oleh salah satu dari empat kejadian : (1) trombosis
(bekuan darah dalam pembuluh darah otak atau leher), (2) embolisme serebral
(bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari bagian tubuh lain), (3)
iskemia (penurunan aliran darah ke area otak), (4) hemoragi serebral (pecahnya
pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke jaringan otak atau ruang sekitar
otak). Akibatnya adalah penghentian suplai darah ke otak, yang menyebabkan
kehilangan sementara atau permanen gerakan, berfikir, memori, bicara atau
sensasi.
10
11
2.1.3 Faktor Resiko Stroke
National Stroke Association (2009) dalam Pudiastuti (2011) menjelaskan bahwa
setiap orang dapat menderita stroke tanpa mengenal usia, ras dan jenis kelamin.
Namun kemungkinan terserang stroke dapat diminimalisir jika seseorang
mengetahui faktor resikonya. Terdapat 2 tipe dari faktor resiko stroke yakni faktor
yang tidak dapat dikendalikan, yaitu: (a) usia, (b) jenis kelamin, (c) ras, (d)
riwayat keluarga, (e) kejadian stroke sebelumnya atau TIA (transient ischemic
attack), dan (f) fibromuscular dysplasia.
Sementara itu faktor yang dapat dikendalikan secara umum dapat dibagi menjadi
2 kategori yakni gaya hidup dan segi medis. Gaya hidup, meliputi: (a) merokok,
(b) konsumsi alkohol, (c) obesitas, (d) kurang berolahraga. Sementara dari segi
medis, meliputi: (a) tekanan darah tinggi atau hipertensi, (b) fifrilasi atrium, (c)
kolestrol tinggi, (d) diabetes, dan (e) aterosklerosis.
2.1.4 Klasifikasi Stroke
Menurut Pudiastuti (2011) stroke terbagi menjadi 2 kategori yaitu stroke
hemoragik dan stroke non hemoragik atau stroke iskemik.
a. Stroke hemoragik adalah stroke karena pecahnya pembuluh darah sehingga
menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu
daerah otak dan merusaknya. Hampir 70% kasus stroke hemoragik diderita oleh
penderita hipertensi.
Stroke hemoragik digolongkan menjadi 2 jenis yaitu : (1) hemoragik intraserebral
(perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak), (2) hemoragik subaraknoid
12
(perdarahan yang terjadi pada ruang subaraknoid atau ruang sempit antara
permukaan otak dan lapisan yang menutupi otak.
b. Stroke non hemoragik atau stroke iskemik terjadi karena tersumbatnya
pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau
keseluruhan terhenti. Hal ini disebabkan oleh aterosklerosis yaitu penumpukan
kolesterol pada dinding pembuluh darah atau bekuan darah yang telah menyumbat
suatu pembuluh darah ke otak.
Stroke iskemik ini dibagi 3 jenis yaitu: (1) stroke trombotik (proses terbentuknya
thrombus hingga menjadi gumpalan), (2) stroke embolik (tertutupnya pembuluh
arteri oleh bekuan darah), (3) hipoperfusion sistemik (aliran darah ke seluruh
bagian tubuh berkurang karena adanya gangguan denyut jantung).
2.1.5 Manifestasi Klinis Stroke
Tanda dan gejala stroke yang dialami oleh setiap orang berbeda dan bervariasi,
tergantung pada daerah otak mana yang terganggu. Beberapa tanda dan gejala
stroke akut berupa:
a. Terasa semutan/seperti terbakar
b. Lumpuh/kelemahan separuh badan kanan/kiri (Hemiparesis)
c. Kesulitan menelan, sering tersedak
d. Mulut mencong dan sulit untuk bicara
e. Suara pelo, cadel (Disartia)
f. Bicara tidak lancar, kurang ucapan atau kesulitan memahami (Afasia)
g. Kepala pusing atau sakit kepala secara mendadak tanpa diketahui sebabnya
h. Gangguan penglihatan
13
i. Gerakan tidak terkontrol
j. Bingung/konfulsi, delirium, letargi, stupor atau koma
2.1.6 Komplikasi Stroke
Menurut Pudiastuti (2011) pada pasien stroke yang berbaring lama dapat terjadi
masalah fisik dan emosional diantaranya:
a. Bekuan darah (Trombosis)
Mudah terbentuk pada kaki yang lumpuh menyebabkan penimbunan cairan,
pembengkakan (edema) selain itu juga dapat menyebabkan embolisme paru yaitu
sebuah bekuan yang terbentuk dalam satu arteri yang mengalirkan darah ke paru.
b. Dekubitus
Bagian tubuh yang sering mengalami memar adalah pinggul, pantat, sendi kaki
dan tumit. Bila memar ini tidak dirawat dengan baik maka akan terjadi ulkus
dekubitus dan infeksi.
c. Pneumonia
Pasien stroke tidak bisa batuk dan menelan dengan sempurna, hal ini
menyebabkan cairan terkumpul di paru-paru dan selanjutnya menimbulkan
pneumoni.
d. Atrofi dan kekakuan sendi (Kontraktur)
Hal ini disebabkan karena kurang gerak dan immobilisasi.
e. Depresi dan kecemasan
Gangguan perasaan sering terjadi pada stroke dan menyebabkan reaksi emosional
dan fisik yang tidak diinginkan karena terjadi perubahan dan kehilangan fungsi
tubuh.
14
2.1.7 Penatalaksanaan Stroke
Penatalaksanaan stroke secara umum yaitu:
a. Stabilisasi jalan nafas dan pernafasan
b. Stabilisasi hemodinamik dengan pemberian cairan kristaloid atau koloid
intravena.
c. Reperfusi dan neuroproteksi, yaitu membuka sumbatan dengan pemberian obat
trombolitik dan pemberian neuroprotektor untuk melindungi bagian otak.
d. Pengendalian peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
e. Pemberian nutrisi yang adekuat baik enteral maupun parenteral.
f. Pencegahan dan penanganan komplikasi
2.2 Kecemasan
2.2.1 Pengertian Kecemasan
Kecemasan adalah suatu keadaan patologis yang ditandai oleh perasaan ketakutan
disertai tanda somatik pertanda sistem saraf otonom yang hiperaktif (Kaplan dan
Saddock, 2005). Kecemasan juga didefinisikan sebagai kekhawatiran yang tidak
jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya
(Stuart, 2006). Kecemasan dan ketakutan memiliki komponen fisiologis yang
sama tetapi kecemasan tidak sama dengan ketakutan.
Penyebab kecemasan berasal dari dalam dan sumbernya sebagian besar tidak
diketahui sedangkan ketakutan merupakan respon emosional terhadap ancaman
atau bahaya yang sumbernya biasanya dari luar yang dihadapi secara sadar.
Kecemasan dianggap patologis bilamana mengganggu fungsi sehari-hari,
pencapaian tujuan, dan kepuasan atau kesenangan yang wajar (Maramis, 2005)
15
dalam Widosari (2010). Jadi kecemasan merupakan pengalaman subyektif dari
individu, yang merupakan suatu keadaan emosi tanpa subyek dimanifestasikan
dalam bentuk perilaku dan dapat mempengaruhi status kesehatan individu.
2.2.2 Etiologi
Ada beberapa teori mengenai penyebab kecemasan :
a. Teori Psikologis
Dalam teori psikologis terdapat 3 bidang utama yaitu :
1) Teori Psikoanalitik
Freud menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu sinyal kepada ego yang
memberitahukan adanya suatu dorongan yang tidak dapat diterima dan
menyadarkan ego untuk mengambil tindakan defensif terhadap tekanan dari dalam
tersebut. Idealnya penggunaan supresi sudah cukup untuk memulihkan
keseimbangan psikologis tanpa menyebabkan gejala, karena represi yang efektif
dapat menahan dorongan di bawah sadar. Namun jika represi tidak berhasil
sebagai pertahanan, mekanisme pertahanan lain (seperti konversi, pengalihan, dan
regresi) mungkin dapat menyebabkan pembentukan gejala dan menghasilkan
gambaran gangguan neurotik yang klasik (seperti histeria, fobia, neurosis obsesif-
kompulsif).
2) Teori Perilaku
Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan disebabkan oleh stimuli lingkungan
spesifik. Pola berfikir yang salah, terdistorsi, atau tidak produktif dapat
mendahului atau menyertai perilaku maladaftif dan gangguan emosianal.
16
Penderita gangguan cemas cenderung menilai lebih terhadap derajat bahaya dalam
situasi tertentu dan menilai rendah kemampuan dirinya untuk mengatasi ancaman.
3) Teori eksistensial
Teori ini memberikan model gangguan kecemasan umum dimana tidak terdapat
stimulus yang dapat diidentifikasikan secara spesifik untuk suatu perasaan
kecemasan yang kronis.
b. Teori Biologis
Peristiwa biologis dapat mendahului konflik psikologis namun dapat juga sebagai
akibat dari suatu konflik psikologis. Teori biologis meliputi :
a) Sistem Saraf Otonom
Stesor dapat menyebabkan pelepasan epinefrin dari adrenal melalui mekanisme
sebagai berikut: ancaman dipersepsi oleh panca indera, diteruskan ke korteks
serebri, kemudian ke sistem limbik dan RAS (Reticular Activating System), lalu
ke hipotalamus dan hipopfisis. Kemudian kelenjar adrenal mensekresikan
katekolamin dan terjadilah stimulasi saraf otonom (Mudjaddid, 2006), dalam
Widosari (2010).
Hiperaktivitas sistem saraf otonom akan mempengaruhi berbagai sistem organ
yang menyebabkan gejala tertentu, misalnya: kardiovaskuler (contohnya:
takikardi), muskuler (contohnya: nyeri kepala), gastrointestinal (contohnya:
diare), pernafasan (contohnya: nafas cepat).
b) Neurotransmiter
Tiga neurotransmiter utama yang berhubungan dengan kecemasan adalah
norepinefrin, serotonin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA). Terkait dengan
17
norepinefrin, pasien yang menderita gangguan kecemasan mungkin memiliki
sistem noradrenergik yang teregulasi secara buruk. Badan sel sistem
noradrenergik terutama berlokasi di lokus sereleus di pons rostral dan aksonnya
keluar ke korteks serebral, sistem limbik, batang otak dan medula spinalis.
Selanjutnya terkait dengan serotonin, badan sel pada sebagian neuron
serotonergik berlokasi di nukleus raphe di batang otak rostral dan berjalan ke
korteks serebral, sistem limbik, dan hipotalamus. Beberapa laporan menyatakan
obat-obatan yang menyebabkan pelepasaan serotonin, menyebabkan peningkatan
kecemasan pada pasien dengan gangguan kecemasan.
Selanjutnya terkait dengan gamma-aminobutyric acid (GABA), peranan GABA
dalam gangguan kecemasan telah dibuktikan oleh manfaat benzodiazepine sebagai
salah satu obat dari beberapa jenis gangguan kecemasan. Benzodiazepine yang
bekerja meningkatkan aktivitas GABA terbukti dapat mengatasi gejala gangguan
kecemasan umum bahkan gangguan panik. Beberapa pasien gangguan kecemasan
diduga memiliki fungsi reseptor GABA yang abnormal (Kaplan dan Saddock,
2005).
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kecemasan dapat berasal dari
sumber internal atau eksternal. Faktor internal meliputi ancaman terhadap
integritas fisik, disabilitas fisiologis yang akan terjadi atau penurunan kemampuan
untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari yang diakibatkan oleh penyakit,
trauma fisik dan pembedahan, adanya ancaman terhadap sistem diri dapat
membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi sosial yang terintegrasi pada
18
individu (Stuart, 2006). Faktor internal meliputi usia, jenis kelamin, keadaan fisik,
sosial budaya, pendidikan dan ekonomi serta tipe kepribadian seseorang.
2.2.3 Tanda dan Gejala Kecemasan
Kecemasan dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan fisiologis,
perilaku dan secara tidak langsung melalui timbulnya gejala atau mekanisme
koping sebagai upaya untuk melawan timbulnya kecemasan. Pada orang yang
cemas akan muncul beberapa respon (Stuart, 2006), yaitu:
a. Respon Fisiologis
1) Kardiovaskuler : palpitasi, tekanan darah meningkat, tekanan darah menurun,
denyut nadi menurun/meningkat.
2) Pernafasan : Nafas cepat dan pendek, nafas dangkal dan terengah-engah.
3) Gastrointestinal : nafsu makan menurun, tidak nyaman pada perut, mual dan
diare.
4) Neuromuskular : tremor, gugup, gelisah, insomnia dan pusing.
5) Traktus urinarius : sering berkemih.
6) Kulit : keringat dingin, gatal dan wajah kemerahan.
b. Respon Perilaku
Respon perilaku yang muncul adalah gelisah, tremor, ketegangan fisik, reaksi
terkejut, gugup, bicara cepat, menghindar, kurang koordinasi, menarik diri dari
hubungan interpersonal, melarikan diri dari masalah, dan sangat waspada.
c. Respon kognitif
Respon kognitif yang muncul adalah perhatian terganggu, pelupa, salah dalam
memberikan penilaian, hambatan berfikir, kesadaran diri meningkat, tidak mampu
19
berkonsentrasi, tidak mampu mengambil keputusan, menurunnya lapangan
persepsi dan kreatifitas, bingung, takut, kehilangan kontrol, takut pada gambaran
visual dan takut cedera atau kematian.
d. Respon afektif
Respon afektif yang sering muncul adalah mudah terganggu, tidak sabar, gelisah,
tegang, ketakutan, waspada gugup, mati rasa, rasa bersalah dan malu.
2.2.4 Tingkat Kecemasan
Stuart (2006), mengidentifikasi kecemasan dalam empat tingkatan dan
menggambarkan efek dari tiap tingkatan, yaitu :
a. Cemas Ringan
Cemas ringan merupakan cemas yang normal yang berhubungan dengan
ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan orang menjadi
waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Seperti melihat, mendengar dan
gerakan menggenggam lebih kuat. Kecemasan tingkat ini dapat memotivasi
belajar dan menumbuhkan kreatifitas.
b. Cemas Sedang
Cemas sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang
penting dan mengesampingkan hal yang lain, sehingga seseorang mengalami
perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.
Kecemsan ini mempersempit lapang persepsi individu, seperti penglihatan,
pendengaran dan gerakan menggenggam berkurang.
20
c. Cemas Berat
Kecemasan dalam tingkat ini sangat mengurangi lahan persepsi seseorang dan
cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci, spesifik serta tidak dapat
berfikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan.
Individu tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada
suatu area lain.
d. Panik
Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror. Individu yang
mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan.
Hal ini terjadi karena individu tersebut kehilangan kendali, terjadi peningkatan
aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang
lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional. Individu
yang mengalami panik tidak mampu berkomunikasi secara efektif. Tingkat
kecemasan ini jika berlangsung secara terus menerus dan dalam jangka waktu
yang lama, dapat menyebabkan kelelahan yang sangat dan bahkan kematian.
2.2.5 Penatalaksanaan Kecemasan
Penatalaksanaan kecemasan dibedakan menjadi dua yaitu dengan pendekatan
farmakologi dan non farmakologi.
a. Farmakologi yaitu pengobatan untuk cemas dengan memakai obat-obatan
seperti benzodiazepine, bromazepam dan alprazolam yang berkhasiat untuk
memulihkan fungsi gangguan neurotrasmiter (saraf penghantar sinyal) di susunan
saraf pusat di otak (lymbic system) (Hawari, 2008).
21
b. Non farmakologi :
1) Komunikasi teraupetik, yaitu komunikasi yang disampaikan perawat pada
pasien dengan cara memberi informasi yang lengkap mulai pertama kali pasien
masuk dengan menetapkan kontrak untuk hubungan profesional, mulai dari fase
orientasi sampai dengan terminasi.
2) Psikoterapi, merupakan terapi kejiwaan degan cara memberi motivasi,
semangat dan dorongan agar pasien yang bersangkutan tidak merasa putus asa dan
diberi keyakinan serta kepercayaan diri (Hawari, 2008).
3) Psikoreligius, yaitu dengan doa. Doa adalah mengosongkan batin dan
memohan kepada Tuhan untuk mengisinya dengan segala hal yang kita butuhkan.
Dalam doa umat mencari kekuatan yang dapat melipatgandakan energi yang
hanya terbatas dalam diri sendiri. Dan melalui doa tercipta hubungan yang dalam
antara manusia dan tuhan (Prasetyo,2007).
4) Terapi perilaku kognitif/Cognitive Behavioral Therapy(CBT) adalah suatu
pendekatan psikoterapi dengan bicara. CBT bertujuan untuk memecahkan
masalah tentang disfungsional emosi, perilaku dan kognisi melalui prosedur yang
berorientasi dan sistematis di masa sekarang, membantu pasien mengenali pikiran
yang berkontribusi pada kecemasan.
5) Terapi musik adalah sebuah aktivitas terapeutik yang menggunakan musik
sebagai media untuk memperbaiki, memelihara, mengembangkan mental, fisik
dan kesehatan emosi.
6) Terapi relaksasi nafas dalam dapat menurunkan kacemasan dengan
meminimalkan aktifitas simpatik dalam sistem saraf otonom dan meningkatkan
22
aktifitas komponen saraf parasimpatik vegetatif secara stimulan sehingga dapat
mengurangi sensasi nyeri dan stres/cemas (Cristine H, 2005) dalam Ghofur
(2007). Smeltzer & Bare (2002) dalam Ghofur A (2007) menyatakan bahwa
tujuan teknik relaksasi nafas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli,
memelihara pertukaran gas, mengurangi stres fisik maupun emosional yaitu
menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan.
2.2.6 Alat Ukur Kecemasan
Tingkat kecemasan dapat diukur dengan menggunakan alat ukur kecemasan yang
disebut dengan HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale). Skala HARS pertama
kali digunakan pada tahun 1959, yang diperkenalkan oleh Max Hamilton dan
sekarang telah menjadi standar dalam pengukuran kecemasan terutama pada
penelitian trial clinic. Skala HARS telah dibuktikan memiliki validitas dan
realibilitas yang cukup tinggi untuk melakukan pengukuran kecemasan yaitu 0,93
dan 0,97. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengukuran kecemasan dengan
menggunakan skala HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale) akan diperoleh hasil
yang valid dan reliabel. Skala HARS merupakan skala pengukuran kecemasan
yang didasarkan pada munculnya gejala / symptom pada individu yang mengalami
kecemasan. Terdapat 14 symptom yang nampak pada individu yang mengalami
kecemasan, setiap item yang diobservasi diberi skor 5 tingkatan, skor antara 0
(tidak ada gejala sama sekali) sampai dengan 4 (gejala sangat berat) (Nursalam,
2008), yang artinya adalah :
Nilai 0 = tidak ada gejala / keluhan
23
Nilai 1 = gejala ringan / satu dari gejala yang ada
Nilai 2 = gejala sedang / separuh dari gejala yang ada
Nilai 3 = gejala berat / lebih dari separuh gejala yang ada
Nilai 4 = gejala sangat berat / semua dari gejala yang ada
Masing-masing nilai angka (skor) dari 14 kelompok gejala tersebut dijumlahkan
dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang.
Total nilai (skor):
< 14 = tidak ada kecemasan
14-20 = kecemasan ringan
21-27 = kecemasan sedang
28-41 = kecemasan berat
42-56 = kecemasan sangat berat/panik
Adapun hal-hal yang dinilai dalam alat ukur HARS adalah sebagai berikut :
a. Perasaan cemas, meliputi cemas, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri dan
mudah tersinggung.
b. Ketegangan, meliputi merasa tegang, lesu, tidak bisa istirahat dengan tenang,
mudah terkejut, mudah menangis, gemetar dan gelisah.
c. Ketakutan, meliputi ketakutan pada gelap,pada orang asing, takut ditinggal
sendiri, takut pada binatang besar, pada keramaian lalu lintas dan pada kerumunan
banyak orang.
d. Gangguan tidur, sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak
nyenyak, badan lesu, banyak mimpi-mimpi, mimpi buruk dan menakutkan.
24
e. Gangguan kecerdasan meliputi, sukar konsentraasi, daya ingat menurun dan
daya ingat buruk, sering bingung.
f. Perasaan depresi (murung) meliputi hilangnya minat, berkurangnya
kesenangan pada hobi, sedih dan perasaan berubah-ubah sepanjang hari.
g. Gejala somatik atau fisik (otot), meliputi nyeri pada otot kaki, kedutan otot,
gigi gemerutuk dan suara tidak stabil.
h. Gejala somatik atau fisik (sensorik), meliputi tinitus/telinga mendenging,
penglihatan kabur, merasa lemas dan sensasi ditusuk-tusuk.
i. Gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah), meliputi takikardi,
berdebar-debar, nyeri di dada, denyut nadi terasa kuat dan keras, lemas seperti
mau pingsan dan detak jantung berhenti sebentar.
j. Gejala respiratori, meliputi rasa tertekan /sempit di dada, rasa tercekik, sering
menarik nafas, nafas pendek atau sesak.
k. Gejala gastrointestinal, meliputi sulit menelan, mual muntah, berat badan
menurun, konstipasi/sulit BAB, gangguan pencernaan, nyeri lambung sebelum
dan sesudah makan, perasaan panas di perut, rasa penuh/kembung.
l. Gejala urogenital, meliputi sering buang air kecil, tidak dapat menahan
kencing, tidak datang bulan /haid, darah haid berlebihan/terlalu sedikit, masa haid
berkepanjangan/sangat pendek, frigid, ejakulasi dini, ereksi melemah dan
impotensi.
m. Gejala autonum, meliputi mulut kering, muka kering, mudah berkeringat,
kepala pusing/ kepala terasa berat, dan bulu roma berdiri.
25
n. Tingkah laku/sikap pada saat wawancara, meliputi gelisah, tidak tenang, jari
gemetar, kening berkerut, muka tegang, otot tegang/mengeras, nafas pendek dan
cepat, dan muka merah.
2.3 Terapi Musik
2.3.1 Pengertian Terapi Musik
Terapi musik adalah menggunakan musik yang sederhana, menenangkan dan
mempunyai tempo yang teratur sebagai salah satu cara untuk mengatasi stres dan
menimbulkan kondisi rileks pada seseorang (Mucci, 2004). Lebih lanjut Djohan
(2006) mendefinisikan terapi musik adalah penggunaan musik dan atau elemen
musik (suara,irama, melodi dan harmoni) yang bertujuan untuk membangun
komunikasi, meningkatkan relasi interpersonal, belajar, meningkatkan mobilitas,
mengungkapkan ekspresi dan untuk mencapai tujuan terapi lainnya.
Musik adalah bunyi dalam suatu rangkaian yang teratur, memiliki kekuatan dan
dapat merubah perilaku, membuat tubuh rileks dan berenergi, membangkitkan
semangat, mempengaruhi perkembangan kognitif dan meningkatkan mekanisme
penyembuhan diri sendiri serta membuat janin belajar dan mengingat (Peretz,
2003), yang dikutip oleh Pusat pemeliharaan peningkatan dan penanggulangan
intelegensia kesehatan Depkes RI (2009).
2.3.2 Jenis – Jenis Musik Untuk Terapi
Menurut Mucci (2004), pemilihan jenis musik sangat penting untuk memberikan
efek terapi. Musik yang dipilih hendaknya yang sederhana, menenangkan dan
mempunyai tempo yang teratur. Jenis musik yang tidak disarankan adalah musik
26
pop, disko, rock and roll dan musik yang berirama keras. Adapun jenis musik
yang sering digunakan sebagai terapi antara lain :
a. Musik Klasik, merupakan perpaduan instrumen yang menggunakan violin,
biola, piano dan cello sebagai musiknya. Musik klasik memiliki dampak
psikofisik yang menimbulkan kesan rileks, santai, cenderung membuat detak
jantung bersifat konstan, memberi dampak menenangkan dan menurunkan stres.
Tetapi pemakaian jenis musik ini perlu mempertimbangkan tentang waktu
tampilan musik, taraf usia perkembangan dan latar belakang budaya (Fausi, 2006).
b. Musik Relaksasi, merupakan musik bernuansa lembut, monoton dan datar.
Kelembutan musiknya bisa menenangkan seseorang. Musik ini digunakan sebagai
salah satu cara untuk mengatasi stres, cemas dan menimbulkan kondisi rileks pada
seseorang. Menurut Wigram et al (2001) dalam Windari (2011) menyebutkan
elemen-elemen musik yang dapat mempengaruhi relaksasi diantaranya : 1) tempo
yang stabil, 2) stabilitas atau perubahan secara bertahap pada ,volume, irama,
timbre, pitch dan harmoni, 3) testur yang konsisten, 4) garis melodi yang
terprediksi, 5) pengulangan materi, 6) struktur dan bentuk yang tetap dan 7)
timbre yang mantap. Musik relaksasi yang terbaik adalah musik instrumental,
musik alam sekitar dan musik mediatif (Mucci, 2004).
Salah satu jenis musik instrumental yang bisa digunakan untuk terapi adalah
musik rindik. Rindik adalah salah satu alat musik tradisional yang berasal dari
Bali, terbuat dari bahan dasar bambu yang dibentuk dengan panjang dan ukuran
yang berbeda-beda, sehingga dapat menghasilkan nada-nada yang harmonis.
Rindik disusun oleh dua jenis tipe nada yaitu “lanang” (rhytm dari suatu lagu),
27
dan “wadon” (melodi dari suatu lagu). Nada yang dihasilkan rindik disusun
berdasarkan sistem nada selendro yaitu sistem nada yang dikenal di daerah Bali
dengan sebutan “salih lima”, dimana hanya terdiri dari lima garis nada: nding,
ndong, ndeng, ndung, dan nding tinggi. Rindik biasa dimainkan oleh dua orang
pemain dimana satu orang sebagai “penyangsih” yang memainkan tempo yang
berbeda dengan pemain lainnya, sehingga menghasilkan suara yang bersahut-
sahutan. Suara yang dihasilkan rindik bersifat alami daan relaksasi.
2.3.3 Manfaat Terapi Musik
Sebenarnya ada banyak sekali manfaat dari terapi musik. Menurut Pusat Riset
Terapi Musik dan Gelombang Otak beberapa manfaat utama dari terapi musik
antara lain :
a. Memicu tubuh untuk menyembuhkan diri sendiri secara alami. Setiap orang
memiliki kemampuan untuk menyembuhkan diri berbeda-beda, dengan terapi
musik penyembuhan diri dapat ditingkatkan.
b. Meningkatkan kekebalan tubuh, menurut penelitian apabila jenis musik yang
kita dengar sesuai dan dapat diterima oleh tubuh manusia, maka tubuh akan
bereaksi dengan mengeluarkan hormon serotonin yang dapat menimbulkan rasa
nikmat dan senang sehingga tubuh akan menjadi lebih kuat (dengan meningkatkan
sistem kekebalan tubuh) dan membuat kita menjadi lebih sehat.
c. Relaksasi, mengistirahatkan tubuh dan pikiran sehingga memberikan perasaan
relaks, tubuh lebih bertenaga dan fikiran menjadi fresh.
28
d. Meningkatkan kecerdasan. Penelitian membuktikan bahwa masa dalam
kandungan dan bayi adalah adalah waktu yang paling tepat untuk menstimulasi
otak anak agar menjadi cerdas.
e. Meningkatkan motivasi, hal ini bisa dilahirkan dengan perasaan dan mood
tertentu.
f. Pengembangan diri, musik sangat berpengaruh terhadap pengembangan diri
seseorang dan musik juga bisa menentukan kualitas pribadi kita.
g. Meningkatkan kemampuan mengingat dan mencegah kepikunan. Hal ini bisa
terjadi karena bagian otak yang memproses musik berdekatan dengan sistem
memori.
h. Kesehatan jiwa, karena musik membuat rasa tenang, sebagai pendidikan moral,
mengendalikan emosi, pengembangan spiritual dan menyembuhkan gangguan
psikologis.
i. Mengurangi rasa sakit, ini terjadi karena musik bekerja pada sistem saraf
otonom yaitu bagian saraf yang bertanggung jawab mengontrol tekanan darah,
denyut jantung dan fungsi otak, serta mengontrol perasaan dan emosi.
j. Menyeimbangkan tubuh, dengan stimulasi musik membantu menyeimbangkan
organ keseimbangan yang terdapat di telinga dan otak.
2.3.4 Durasi Terapi Musik
Pemberian terapi musik untuk menghasilkan efek yang diinginkan belum
memiliki pedoman waktu yang baku. Menurut Kate Mucci & Ricard Mucci
(2002) dalam Dewi M.S (2013) pemberian terapi musik dengan jenis musik yang
tepat meskipun dalam waktu agak lama tidak akan membahayakan bahkan terapi
29
musik yang diberikan dalam waktu yang singkat sudah dapat menghasilkan efek
terapeutik atau efek positif bagi klien. Sedangkan menurut Bellavia Ariestia Dofi
(2010) terapi musik bagi tiap klien idealnya dilakukan tidak kurang dari 30 menit
sampai dengan satu jam setiap harinya. Penelitian di Massachusetts General
Hospital menunjukkan bahwa terapi musik dengan durasi selama 30 menit
mampu menurunkan tekanan darah, frekuensi jantung, dan stres pada klien
(Asyrofi, 2012).
2.3.5 Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Stroke.
Saat terjadi cemas respon sistem saraf adalah dengan mengaktifkan sistem saraf
simpatis menimbulkan efek peningkatan tanda-tanda vital, serta kelenjar adrenal
akan mengeluarkan epinephrine dan nor epinephrine yang menyebabkan tubuh
mengambil lebih banyak oksigen dan dapat menimbulkan efek peningkatan
kecepatan pernafasan (Videbeck, 2008) dalam Windari (2012). Musik dapat
menghasilkan efek menenangkan pada aktifitas sistem saraf yang berlebihan
akibat stres dengan cara menutup stimulus pada saat terjadinya cemas (Djohan,
2006).
Saat mendengarkan musik gelombang suara diterima dan dikumpulkan oleh daun
telinga masuk ke dalam meatus akustikus eksternus hingga membrana timpani.
Oleh membrana timpani bersama rantai osikule dengan aksi hidrolik dan
mengungkit, energi bunyi diperbesar hingga 20-30 kali (rata-rata 27 kali) untuk
menggerakkan medium cair perilimf dan endolimf. Setelah itu getaran diteruskan
hingga organ korti dalam kokhlea dimana getaran akan diubah dari sistem
konduksi ke sistem saraf melalui nervus auditorius (N VIII) sebagai impuls
30
elektris. Impuls elektris musik masuk melalui serabut saraf dari ganglion spiralis
korti menuju ke nukleus koklearis dorsalis dan ventralis yang terletak pada bagian
atas medulla. Pada titik ini semua sinap serabut dan neuron tingkat dua diteruskan
terutama ke sisi yang berlawanan dari batang otak dan berakhir di nukleus
olivarius superior. Setelah melalui nukleusolivarius superior, penjalaran impuls
pendengaran berlanjut ke atas melalui lemniskus lateralis kemudian berlanjut ke
kolikulus inferior. Selanjutnya impuls berjalan ke nukleus genikulata medial,
tempat semua serabut bersinap, dan akhirnya berlanjut melalui radiasio auditorius
ke korteks auditorius, yang terutama terletak pada girus superior lobus
temporalis. Dari korteks auditorius jaras berlanjut ke sistem limbik, melalui
cincin korteks serebral yang disebut korteks limbik. Dari korteks limbik, jaras
pendengaran dilanjutkan ke hipokampus, tempat salah satu ujung hipokampus
berbatasan dengan nuklei amigdaloid (Ganong, 2005).
Amigdala merupakan area perilaku kesadaran yang bekerja pada tingkat bawah
sadar, menerima sinyal dari korteks limbik lalu menjalarkannya ke hipotalamus.
Hipotalamus merupakan pengaturan sebagian fungsi vegetatif dan fungsi endokrin
tubuh seperti halnya banyak aspek perilaku emosional. Dari hipotalamus jaras
pendengaran diteruskan ke formatio retikularis sebagai penyalur impuls menuju
serat saraf otonom. Serat saraf tersebut mempunyai dua sistem saraf yaitu saraf
simpatis dan saraf parasimpatis. Kedua saraf ini mempengaruhi kontraksi dan
relaksasi organ-organ. Relaksasi dapat merangsang pusat rasa ganjaran sehingga
timbul ketenangan. Sebagai ejektor rasa relaks dan ketenangan yang timbul,
midbrain akan mengeluarkan gamma amino butyric acid (GABA), enkephalin dan