bab ii tinjauan pustaka 2.1 state of the art. bab 2.pdfpenelitian pipa kalor sebagai salah satu dari...

24
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State Of The Art Penelitian pipa kalor sebagai salah satu dari sistem pendingin prosesor (CPU) dimulai pada tahun 2003 sampai 2014 yaitu menurut (Kim et.al., 2003) melakukan penelitian bahwa kinerja sistem pendingin PC CPU Pentiun IV yang menggunakan heatsink aluminium dengan bantuan kipas sangat buruk yaitu memiliki kelemahan diantaranya bentuknya besar, suara yang ditimbulkan dari kipas menimbulkan kebisingan dan perpindahan panasnya tidak efektif, sehingga dirancang sistem pendinginan dengan pipa kalor ( heat pipe ) yang bentuknya lebih kecil dari heatsink dan tidak menggunakan kipas sebagai alat bantu pendinginan serta perpindahan panasnya lebih bagus. Menurut (Vladimir et.al., 2006) melakukan penelitian tentang sistem pendinginan prosesor (CPU) dengan pipa kalor melingkar yang heatsink -nya adalah radiator eksternal yang didinginkan oleh udara lingkungan secara konveksi. Dari penelitian ini menyatakan hasil pengembangan dan pengujian dengan beberapa variasi dari sistem tersebut, mampu mempertahankan temperatur operasi dari 72ºC - 78ºC pada permukaan sumber panas yang menghilang 100 W dengan temperatur udara lingkungan 22ºC. Hal ini juga menunjukkan penggunaan alat tambahan pendingin aktif dari pipa kalor melingkar memungkinkan untuk meningkatkan perpindahan panas sampai 180 W dan menurukan hambatan thermal sampai 0,29ºC/W. Menurut (Wang et.al., 2010) melakukan penelitian tentang desain, model dan pengujian pipa kalor berbentuk L yang dikombinasi/tertanam didalam heatsink . Kombinasi ini sangat cocok untuk pendinginan komponen electronik sepeerti mikroprosesor, yang proses pendinginan secara paksa atau dibantu oleh kipas. Erlangga, 2013 juga melakukan penilitian tentang efek dari struktur wick dan karakteristik fluida kerja dari pipa kalor berbentuk-U, yaitu menganalisa perubahan temperatur dan tekanan yang terjadi didalam pipa kalor. Sumbu kapiler yang digunakan adalah copper powder wick dan screen mesh wick serta fluida kerjanya air murni dan methanol . Dari hasil penelitian

Upload: lykhuong

Post on 13-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 State Of The Art

Penelitian pipa kalor sebagai salah satu dari sistem pendingin prosesor

(CPU) dimulai pada tahun 2003 sampai 2014 yaitu menurut (Kim et.al.,

2003) melakukan penelitian bahwa kinerja sistem pendingin PC CPU Pentiun

IV yang menggunakan heatsink aluminium dengan bantuan kipas sangat

buruk yaitu memiliki kelemahan diantaranya bentuknya besar, suara yang

ditimbulkan dari kipas menimbulkan kebisingan dan perpindahan panasnya

tidak efektif, sehingga dirancang sistem pendinginan dengan pipa kalor (heat

pipe) yang bentuknya lebih kecil dari heatsink dan tidak menggunakan kipas

sebagai alat bantu pendinginan serta perpindahan panasnya lebih bagus.

Menurut (Vladimir et.al., 2006) melakukan penelitian tentang sistem

pendinginan prosesor (CPU) dengan pipa kalor melingkar yang heatsink-nya

adalah radiator eksternal yang didinginkan oleh udara lingkungan secara

konveksi. Dari penelitian ini menyatakan hasil pengembangan dan pengujian

dengan beberapa variasi dari sistem tersebut, mampu mempertahankan

temperatur operasi dari 72ºC - 78ºC pada permukaan sumber panas yang

menghilang 100 W dengan temperatur udara lingkungan 22ºC. Hal ini juga

menunjukkan penggunaan alat tambahan pendingin aktif dari pipa kalor

melingkar memungkinkan untuk meningkatkan perpindahan panas sampai

180 W dan menurukan hambatan thermal sampai 0,29ºC/W. Menurut (Wang

et.al., 2010) melakukan penelitian tentang desain, model dan pengujian pipa

kalor berbentuk L yang dikombinasi/tertanam didalam heatsink. Kombinasi

ini sangat cocok untuk pendinginan komponen electronik sepeerti

mikroprosesor, yang proses pendinginan secara paksa atau dibantu oleh

kipas. Erlangga, 2013 juga melakukan penilitian tentang efek dari struktur

wick dan karakteristik fluida kerja dari pipa kalor berbentuk-U, yaitu

menganalisa perubahan temperatur dan tekanan yang terjadi didalam pipa

kalor. Sumbu kapiler yang digunakan adalah copper powder wick dan screen

mesh wick serta fluida kerjanya air murni dan methanol. Dari hasil penelitian

6

didapatkan kesimpulan bahwa penggunaan copper powder wick

mengakibatkan perbedaan temperatur yang kecil antara evaporator dan

kondensor, terjadi tekanan tinggi yang tidak menguntungkan karena

mengakibatkan perpindahan panas yang rendah pada liquid wick-region.

Penggunaan screen mesh wick dan air murni sebagai fluida kerja,

mengakibatkan mengurangi penurunan tekanan pada liquid wick-region

sedangkan penggunaan methanol sebagai fluida kerja mengakibatkan

meningkatkan penurun tekanan dan perbedaan temperatur pada liquid wick-

rigion. Menurut (Putra dan Septiadi, 2014) melakukan penelitian terhadap

penggunaan nano fluida sebagai fluida kerja serta pengintegrasian terumbu

karang untuk material wick atau sumbu kapiler pada desain pipa kalor lurus.

Disampaikan bahwa pengintegrasian fluida nano dan terumbu karang mampu

meningkatkan kinerja pipa kalor dengan menurunkan hambatan termal pipa

kalor sampai dengan 0.09 ºC/Watt pada pemakaian fluida nano CuO dengan

temperatur bagian kondensor mencapai ± 53ºC.

Adapun beberapa tahapan yang dilakukan oleh Putra dan Septiadi

didalam penelitian pipa kalor lurus adalah sebagai berikut :

1. Pengukuran temperatur permukaan CPU

Pengukuran temperatur prosesor (CPU) bertujuan untuk menentukan

temperatur pelat yang akan digunakan mensimulasikan prosesor sehingga

temperatur pada prosesor bisa dianalogikan. Hal ini juga bertujuan untuk

mendapatkan dasar acuan dari batasan pembebanan yang akan dilakukan .

Pada pengukuran temperatur prosesor dilakukan dengan menjalankan atau

mengoperasionalkan prosesor tanpa alat pendingin. Hal ini untuk

mendapatkan temperatur yang maksimal yang dihasilkan oleh prosesor pada

permukaan bagian atas. Pengujian dilakukan pada prosesor Intel pentium 4

2.4 GHz, Intel Dual Core 925 3.0 GHz, Intel Core i5 3.30 GHz dan Intel

Core i7 3.40 GHz. Temperatur permukaan diukur dengan menggunakan satu

termokopel tipe K yang dihubungkan dengan C-DAQ – NI 9213.

7

Tabel 2.1 Pengukuran temperatur permukaan prosesor/CPU (Sumber : Putra dan

Septiadi, 2014)

Prosesor

(CPU)

Kondisi idle Kondisi Maksimal

Fluks

kalor

pada

kondisi

idle

Fluks

kalor pada

kondisi

idle

Beban

(Watt)

Temperatur

(oC)

Beban

(Watt)

Temperatur

(oC) W/m2 W/m2

Pentium 4

2.4 GHz 13,80 75,00 48,80 93,80 8625,00 30500,00

Dual Core

925 3.0

GHz

13,80 77,53 57,40 99,98 8625,00 35875,00

Core i5

3.30 GHz 13,80 78,27 60,00 110,39 8625,00 37500,00

Core i7

3.40 GHz 13,90 78,40 67,00 113,86 8687,50 41875,00

2. Karakterisasi pelat pemanas

Karakterisasi pelat pemanas bertujuan untuk mengkarakterisasi pelat

pemanas yang akan digunakan sebagai sumber kalor bagi pelat simulator.

Temperatur pelat pemanas diharapkan mampu memenuhi kebutuhan

temperatur pada permukaan pelat simulator bagian atas, sehingga dapat

mewakili batas temperatur prosesor.

Tabel 2.2 Karakterisasi pelat pemanas (Sumber : Putra dan Septiadi, 2014)

No Voltage (Volt) Arus (Ampere) Daya (Watt) Temperatur (oC)

1 5 0,143 0,72 36,12

2 10 0,244 2,44 45,20

3 15 0,345 5,18 60,60

4 20 0,462 9,24 85,20

5 25 0,588 14,70 105,32

6 30 0,716 21,48 131,33

7 35 0,811 28,39 145,00

8 40 0,922 36,88 176,21

8

Tabel 2.2 Lanjutan

No Voltage (Volt) Arus (Ampere) Daya (Watt) Temperatur (oC)

9 45 1,027 46,22 232,42

10 50 1,233 61,65 299,10

3. Karakterisasi pelat simulator

Pelat simulator dibuat dari besi dengan ukuran 40 mm x 40 mm dengan

variasi ketebalan 20 mm. 30 mm dan 40 mm. Tiga pelat simulator yang

dikarakterisasikan nanti akan dipilih yang memberikan temperatur

permukaan dan Q yang paling mendekati dengan kondisi temperatur

permukaan dan Q prosesor. Pembebanan diberikan pada pelat pemanas

dengan pengaturan tegangan listrik (voltage regulator). Data temperatur di

proses dengan mengggunakan data akusisi NI 9213 dan software labview 8.5.

Tabel 2.3 Karakterisasi pelat simulator tebal 20 mm (Sumber : Putra dan Septiadi,

2014)

Volt Arus

(A)

Daya

(W)

T. permukaan

heater

(oC)

T. pelat

bawah

(oC)

T. pelat

atas

(oC)

Delta T.

(oC)

20 0,46 9,24 97,21 93,40 91,34 2,06

25 0,58 14,70 102,41 97,50 95,87 1,63

30 0,72 21,48 152,42 141,13 128,13 13,00

35 0,81 28,38 160,23 156,50 142,43 14,07

40 0,92 36,88 199,11 183,43 158,31 25,12

45 1,03 46,22 239,02 208,53 166,11 42,42

Tabel 2.4 Karakterisasi pelat simulator tebal 30 mm

Volt Arus

(A)

Daya

(W)

T. permukaan

heater

(oC)

T. pelat

bawah

(oC)

T. pelat

atas

(oC)

Delta T.

(oC)

20 0,46 9,24 99,12 86,11 66,20 19,91

25 0,58 14,70 122,00 111,94 77,00 34,94

9

Tabel 2.4 Lanjutan

Volt Arus

(A)

Daya

(W)

T. permukaan

heater

(oC)

T. pelat

bawah

(oC)

T. pelat

atas

(oC)

Delta T.

(oC)

30 0,72 21,48 154,20 146,26 96,70 49,56

35 0,81 28,38 172,31 167,23 101,50 65,73

40 0,92 36,88 191,32 186,83 116,13 70,70

45 1,03 46,22 234,40 228,56 153,34 75,22

Tabel 2.5 Karakterisasi pelat simulator tebal 40 mm (Sumber : Putra dan Septiadi,

2014)

Volt Arus

(A)

Daya

(W)

T. permukaan

heater

(oC)

T. pelat

bawah

(oC)

T. pelat

atas

(oC)

Delta T.

(oC)

20 0,46 9,24 105,26 92,73 60,12 32,61

25 0,58 14,70 145,20 106,18 66,48 39,70

30 0,72 21,48 153,21 135,17 93,11 42,06

35 0,81 28,38 190,03 169,40 98,28 71,12

40 0,92 36,88 245,35 212,40 101,20 111,20

45 1,03 46,22 253,35 244,08 129,14 114,94

Tabel 2.6 Beban kalor yang mengalir ke arah permukaan pelat simulator (Sumber :

Putra dan Septiadi, 2014)

Q (Watt)

Heater Pelat simulator 20 mm Pelat simulator 30 mm Pelat simulator 40 mm

9,24 1,30 8,35 12,14

14,70 1,02 12,72 15,63

21,48 8,17 19,52 17,31

28,38 8,85 25,46 25,19

36,88 15,80 29,64 39,05

46,22 26,67 31,53 40,22

10

Dilihat dari rentang temperatur operasional prosesor yaitu 77oC dan

116oC maka pelat simulator 30 mm dan 40 mm yang memenuhi untuk

digunakan sebagai pelat simulator, akan tetapi yang paling mendekati adalah

pelat simulator tebal 30 mm.

Tabel 2.7 Beban dan fluks kalor prosesor dan pelat simulator pada kondisi idle dan

maksimal (Sumber : Putra dan Septiadi, 2014)

Prosesor

(CPU)

Beban pada

kondisi idle

(Watt)

Beban pada

kondisi

maksimal

(Watt)

Fluks kalor

kondosi idle

(Watt/m2)

Fluks kalor

kondosi

maksimal

(Watt/m2)

Pentium 4 2.4

GHz 13,80 48,80 8625,00 30500,00

Dual core 925

3.0 GHz 13,80 57,40 8625,00 35875,00

Core i5 3.30

GHz 13,80 60,00 8625,00 37500,00

Core i7 3.40

GHz 13,90 67,00 8687,50 41875,00

Pelat simulator

30 mm 14,70 36,88 9187,50 23050,00

4. Distribusi temperatur permukaan pelat simulator

Fluks kalor yang dihasilkan oleh CPU semakin meningkat sehingga

pendingin konvensional kurang optimal untuk mengatasi permasalahan fluks

kalor yang dihasilkan oleh CPU. Temperatur operasional kurang dari 85oC

merupakan hal yang dianjurkan supaya kinerja CPU lebih optimal.

11

Gambar 2.1 Distribusi temperatur pelat simulator pada beban 15,63 Watt dan 39,05

Watt dengan pendingin heatsink, heatsink-fan dan pipa kalor (Sumber : Putra dan

Septiadi, 2014)

Gambar 2.2 Hambatan termal heatsink, heatsink-fan dan pipa kalor (Sumber : Putra

dan Septiadi, 2014)

12

2.2 Sistem Pendingin Komputer

Sistem pendingin komputer merupakan suatu sistem pendingin yang

berfungsi untuk menurunkan dan menjaga temperatur prosesor (CPU) pada

temperatur kerja, sehingga kinerja dan umur pakai dari prosesor (CPU) dapat

maksimal. Berikut beberapa sistem pendingin yang umum digunakan adalah

sebagai berikut :

1. Sistem Kipas

Sistem kipas merupakan sistem pendingin komputer dengan hembusan

angin yang dihasilkan oleh kipas, untuk mendingikan prosesor komputer

dan mensirkulasikan udara di CPU komputer. Pada umumnya sistem kipas

ini terpasang di chasing CPU, prosesor atau VGA. Kelemahan dari sistem

ini adalah suara yang ditimbulkan oleh kipasnya berisik dan proses

pendingin yang terjadi kurang maksimal.

Gambar 2.3 Pendingin komputer sistem kipas (Sumber : Moss et.al., 1996)

2. Sistem Heatsink

Sistem heatsink merupakan sistem pendingin komputer yang terbuat

dari lempengan logam, umumnya dari aluminium, tembaga atau

campuran aluminium dengan tembaga. Lempengan logam tersebut

berfungsi menyerap panas dan mendinginkan prosesor komputer,

dimana proses pendingin terjadi sangat tergantung dari aliran dan

temperatur udara di sekitar heatsink itu sendiri, sehingga proses

pendingin yang terjadi kurang maksimal. Kelemahan dari sistem ini

adalah disamping proses pedingin yang terjadi kurang maksimal,

13

dimensi heatsink yang sangat besar sehingga membutuhkan tempat

yang luas untuk memasangnya. Untuk memaksimalkan sistem

pendingin ini biasanya ditambahkan kipas di heatsink-nya, gunanya

untuk mempercepat panas disekitar heatsink.

Gambar 2.4 Pendingin komputer sistem heatsink (Sumber : Charles et. al.,

1997)

3. Sistem Liquid Cooler

Gambar 2.5 Pendingin komputer sistem liquid cooler (Sumber :

www.jalantikus.com. 26/09/2014)

Sistem liquid cooler merupakan sistem pendingin komputer yang

mengunakan fluida atau air sebagai penyerap panas heatsink, dengan

bantuan mini pompa, prinsip kerjanya mirip sistem pendingin (radiator)

14

pada mobil. Pada prosesor dipasang blok air yang berisi banyak bilah

tembaga/aluminium yang berfungsi seperti heatsink yaitu menyerap panas

prosesor. Penyerapan panas sistem ini sangat baik, tetapi kelemahannya

menggunakan tambahan pompa mini dan sangat berbahaya kalau terjadi

kebocoran di konektor antara blok air dengan selangnya, yang

mengakibatkan kerusakan perangkat komputer itu sendiri.

4. Sistem Dry Ice & Nitrogen Cair

Sistem dry ice & nitrogen cair merupakan sistem pendingin komputer

dengan menggunakan tabung tembaga/aluminium yang diisikan dry ice (es

kering) dengan nitrogen cair. Untuk menghindari pengembunan dari hasil

pendinginan maka seluruh komponen harus dilapisi pasta dan sekeliling

tabung diberikan isolator panas. Pendinginan sistem ini sangat baik, tetapi

kalau terjadi kebocoran dari lapisan pasta atau isolator panasnya

bermasalah, akan terjadi pengembunan sehingga akan merusak perangkat

komputer.

Gambar 2.6 Pendingin komputer sistem dry ice cooler dan nitrogen cair

(Sumber : www.jalantikus.com. 26/09/2014)

5. Sistem Thermoelectric Cooler

Sistem thermoelectric cooler merupakan sistem pendingin komputer dengan

mengalirkan arus listrik ke salah satu sisi logam sehingga akan dihasilkan

sisi yang dingin dan panas. Proses pendinginan dari sistem ini sangat baik,

tetapi resikonya sangat berbahaya, kalau kipas heatsink-nya tidak beroperasi

15

mengakibatkan kebakaran yang terjadi di prosesor dan harus mengguanakan

tamabahan daya listrik (80 sampai 130 watt) yang besar untuk

mengoperasikan sistem ini.

Gambar 2.7 Pendingin komputer sistem TEC (Thermoelectric cooler) (Sumber:

www.jalantikus.com. 26/09/2014)

6. Sistem Pipa Kalor

Gambar 2.8 Pendingin komputer sistem pipa kalor (Sumber:

www.kipasprosesor.blogspot.com, 01/11/2014)

Sistem pipa kalor merupakan salah satu sistem pendingin komputer dengan

menggunakan pipa aluminium, tembaga, nikel dan sebagainya yang

berukuran tertentu, berisi cairan khusus sebagai penghantar kalor dari ujung

panas atau disebut sebagai evaporator ke ujung lain sebagai pendingin atau

16

disebut sebagai kondensor (Vasiliev, 2005). Proses pendingin ini terjadi

dengan pasif sehingga tidak alat tambahan yang digunakan, deminsinya

sangat kecil dibandingkan dengan sistem pedinggin komputer yang alainnya

dan hampir tidak ada suara pada sangat sistem ini bekerja.

2.3 Pipa Kalor

Pipa kalor (heat pipe) merupakan sebuah teknologi penghantar kalor

dengan menggunakan pipa berukuran tertentu, biasanya terbuat dari bahan

aluminium, tembaga, atau tembaga terlapis nikel dan didalamnya berisi

cairan khusus sebagai penghantar ujung sisi panas atau disebut sebagai

evaporator ke ujung sisi lain sebagai pendingin atau disebut sebagai

kondensor (Vasiliev, 2005). Pada dinding pipa kalor biasanya diisi sumbu

kapiler (wick) yang berfungsi sebagai lintasan dan pompa kapiler dari cairan

kondesat untuk kembali dari kondesor ke bagian evaporator. Cairan

kondensat bergerak atas prinsip kerja kapiler. Setelah Fluida menguap di

bagian evaporator, lalu uap tersebut mengalir menuju bagian kondensor dan

setelah mengalami kondensasi di bagian kondensor maka uap akan mencair,

cairan atau kondensat tersebut akan mengalir kembali ke sisi panas

(evaporator) dari pipa kalor dan begitu seterusnya.

Gambar 2.9 Pipa kalor (Sumber : Putra dan Septiadi, 2014)

17

Pada gambar 2.9 dapat dilihat komponen utama pipa kalor. Cara kerja

pendinginan pipa kalor adalah dengan mengalirkan panas dari bagian

evaporator ke bagian kondensor dengan metode penguapan dan

pengembunan fluida kerja. Pipa kalor ini bergantung pada selisih temperatur

antara kedua ujung pipa (Putra dan Septiadi, 2014). Jika salah satu ujung

kalor pipa menyerap kalor dan apabila temperatur tersebut mencapai

temperatur penguapan, maka fluida kerja yang terdapat pada bagian

evaporator akan menguap, akibatnya tekanan didalam rongga tersebut naik

yang menyebabkan uap mengalir ke sisi kondensor dan kemudian pada sisi

kondensor kalor yang di bawa oleh fluida kerja dilepaskan hingga mencapai

temperatur pengembunan sehingga fluida mengalami kondensasi berubah dari

fasa uap menjadi fasa cair atau kondensat.

Selanjutnya kondensat akan berubah menjadi cair kembali dan mengalir

menuju sumber panas untuk mendinginkan sisi tersebut (evaporator). Proses

ini secara terus menerus dan berulang–ulang sebagai asas kerja pipa kalor

dalam mendinginkan sumber kalor tersebut. Jika cairan pendingin yang

digunakan oleh pipa kalor adalah air, maka air tersebut akan mulai bekerja

saat temperatur pada sisi evaporator mencapai 100°C dimana air akan

mendidih dan berubah menjadi uap pada tekanan atmosfer. Titik didih air

tergantung pada tekanan kerja di dalam pipa kalor, dan hal terpenting adalah

pemilihan fluida kerja dan proses vakum untuk menurukan suhu didih dari

fluida kerja.

Adanya sumbu kapiler pada dinding bagian dalam pipa kalor juga

memberikan lintasan tersendiri antara uap yang mengalir dari bagian

evaporator menuju bagian kondensor dengan kondensat yang mengalir dari

bagian kondensor menuju bagian evaporator. Hal ini dapat menghindarikan

terjadinya hambatan terhadap kondensat oleh aliran uap yang dapat

mengakibatkan kondensat tidak mampu mencapai bagaian evaporator

sehingga evaporator akan mengalami kekeringan. Keberadaan sumbu kapiler

juga mampu mengatasi permasalahan saat terjadi banjir cairan di bagian

kondensor atau yang dikenal dengan isitilah floading condensastion.

Penggunaan pipa kalor telah banyak digunakan, antara lain pada industri dan

18

teknologi elektronik, pemanfaat panas buang, pemanas udara, sistem tata

udara, dan pemanfaat panas buang pada boiler (Vasiliev, 2005).

2.3.1 Tipe Pipa Kalor

Terdapat beberapa tipe pipa kalor yang umum digunakan sebagai alat

pemindah kalor khususnya pendingin, baik untuk temperatur tinggi maupun

rendah. Secara umum pipa kalor digolongkan menjadi 3 tipe yaitu :

1. Pipa Kalor Konvensional

Pipa kalor konvensional atau pipa kalor lurus terdiri dari komponen

utama dinding berupa pipa, sumbu kapiler berupa sintered powder, screen

mesh atau groove dan fluida kerja (Putra, dan Septiadi, 2014).

Gambar 2.10 Skema pipa kalor konvensional (Sumber : Putra dan Septiadi, 2014)

Dari gambar 2.10 merupakan skema pipa kalor konvensional dimana

kalor diserap pada bagian evaporator sehingga fluida kerja yang terdapat

pada bagian evaporator terpanaskan dan mengalami perubahan fasa menjadi

uap. Uap mengalir kembali melalui lintasan uap pipa kalor menuju bagian

kondensor dan mengalami kondensasi. Fluida kondensat mengalir ke bagian

evaporator melalui struktur sumbu kapiler yang cukup untuk proses ini akan

berlanjut selama ada tekanan kapiler yang cukup untuk membawa cairan

19

kembali ke daerah evaporator (Udell, 1985). Pipa kalor konvensional

merupakan tipe pipa kalor yang paling banyak diaplikasikan pada piranti

elektronika khususnya sebagai pendingin pada notebook (Putra dan Septiadi,

2014), bahkan saat ini notebook banyak diproduksi dengan menggunakan

pendingin pipa kalor.

2. Pipa Kalor Melingkar

Pipa kalor melingkar merupakan suatu perangkat pipa kalor yang terdiri

dari bagian evaporator sebagai penyerap kalor dan bagian kondensor sebagai

pelepas kalor, dimana anatara bagian evaporator dengan bagian kondensor

dihubungkan dengan suatu saluran fluida kerja yang terpisah antara f luida

uap dan fluida cair (Vasiliev, 2005). Pada gambar 2.11 dapat dilihat skema

aliran fluida kerja pada pipa kalor melingkar.

Gambar 2.11 Skema aliran kerja pipa kalor melingkar (Sumber : Putra dan Septiadi,

2014)

Sumbu kapiler pada pipa kalor melingkar biasa terdapat pada bagian

evaporator, pada bagian lintasan cairan dan pada bagian antara evaporator

dengan ruang kompensasi. Bagian evaporator menyerap kalor sehingga

20

fluida kerja menguap dan menuju ruang uap untuk dialirkan ke saluran atau

lintasan uap menuju ke kondensor. Di bagian kondensor, uap mengalami

kondensasi dan kembali ke bentuk cairan karena tekanan kapilaritas dari

sumbu berpori sehinggga cairan mengalir ke bagian ruang konvensasi

melalui lintasan cairan. Pipa kalor melingkar dengan mempunyai dua bagian

lintasan fluida uap dan cair yang memberikan suatu kinerja yang lebih besar

dan pengaruh gaya gravitasi pada aliran relatif kecil, dimana dengan lintasan

fluida kerja yang sangat kecil menjadi pipa kalor lebih fleksibel (Putra dan

Septiadi, 2014).

3. Pipa Kalor Datar

Vapor chamber adalah pipa kalor pelat datar dengan kemampuan

disipasi panas yang baik terkait keseragaman distribusi temperatur dan area

kondensasi yang besar. Penggunaannya dengan heatsink fan menghasilkan

keseragaman temperatur fin yang lebih baik, dan berujung pada pendingin

yang lebih efektif. Bentuk vapor chamber yang datar juga membuat alat ini

siap digunakan langsung pada pendingin CPU (Putra dan Septiadi, 2014).

Gambar 2.12 Skema kerja vapor chamber (Sumber : www.qats.com, 03/11/2014)

2.3.2 Prinsip Kerja Pipa Kalor

Pada umumnya prinsip dari pipa kalor semua tipe adalah sama, yaitu

proses penyerapan kalor terjadi di sisi evaporator dan pelepasan kalor terjadi

21

sisi kondensor, tetapi yang membedakan prinsip kerja pipa kalor dari masing-

masing tipe adalah bentuk pipa kalor, proses penyerapan dan pelepasan kalor

yang terjadi di pipa kalor tersebut. Dibawah ini beberapa prinsip pipa kalor

sesuai tipenya.

1. Prinsip Kerja Kipa Kalor Konvensional

Prinsip fisika tekanan, termodinamika dan fluida menjadi dasar pipa

kalor dimana pada tekanan tertentu, cairan akan menguap sementara uap

akan mencair pada temperatur tertentu (temperatur jenuh), sehingga akan

terjadi pengaturan tekanan di dalam pipa kalor yang akan mengatur

temperatur kerja dan terjadi perubahan fase dari cair ke uap dan uap ke cair.

Gambar 2.13 Prinsip pipa kalor konvensional (Sumber: Putra dan Septiadi, 2014)

Pada gambar 2.13 merupakan gambar prinsip pipa kalor konvensional,

dimana perpindahan kalor yang berlangsung dari bagian evaporator menuju

ke bagian kondensor. Panas diserap pada sisi evaporator dan panas dilepas

keluar sistem pada sisi kondensor. Setelah kalor maka uap yang tadinya

membawa kalor dari bagian evaporator ke bagian kondensor tersebut akan

berubah fase menjadi cairan. Cairan hasil kondensasi ini akan mengalir lagi

ke bagian evaporator melalui sumbu kapiler (wick) yang terdapat pada

dinding bagian dalam (Putra dan Septiadi, 2014).

22

Secara umum tahapan perpindahan kalor papa pipa kalor konvensional

adalah antara lain :

1. Konduksi dari sumber panas ke bagian dinding evaporator dan sumbu

kapiler (wick). Pada bagian ini konduktivitas termal dari dinding memegang

peran penting dimana kebanyakan pipa kalor terbuat dari bahan tembaga

yang mememiliki konduktivitas termal cukup tinggi adalah 394 W/mK.

(Incopera, 1996)

(Watt) ........................................... (2.1)

Dimana :

k = Konduktivitas thermal (W/mK)

A = Luas perpindahan massa konduksi (m²)

= Perbedaan temperatur (ºC) atau (K)

= Jarak perpindahan massa (m)

2. Konveksi alami dari dinding dan permukaan sumbu kapiler pipa kalor ke

fluida kerja. Konveksi alami terjadi pada kondisi awal dimana suhu dan

tekanan belum mencapai kondisi terjadinya nuklesiasi dan pendidihan.

(Holman, 1984)

(Watt) jika ...................... (2.2)

(Watt) jika ...................... (2.3)

Dimana :

h = Koefisien perpindahan panas konveksi (W/m²K)

A = Luas permukaan perpindahan panas (m²)

= Temperatur permukaan material (ºC) atau (K)

= Temperatur fluida yang mengalir (ºC) atau (K)

3. Proses pendidihan yang terjadi adalah dimana gelembung – gelembung

mulai terbentuk pada permukaan sumbu kapiler. Dengan meningkatnya

temperatur dan tekanan pada bagian evaporator, gelembung – gelembung

yang terbentuk terlepas ke permukaan bagian atas fluida kerja.

Sumbu kapiler pada pipa kalor berfungsi untuk meningkatkan pertumbuhan

gelembung dapat terjadi secara lebih cepat. Dimana pada delta temperatur

antara dinding atau permukaan sumbu kapiler dengan temperatur saturasi

23

fluida yang tidak terlalu tinggi dapat menghasilkan fluks kalor yang lebih

besar. Terjadinya proses perpindahan kalor melalui pendidihan dapat

memepercepat terjadinya perpindahan kalor dari permukaan evaporator

ke bagian permukaan cairan yang kemudian disalurkan ke bagian

kondensor melalui penguapan.

4. Perpindahan kalor secara evaporasi pada kondisi saturasi di bagian

permukaan fluida kerja dari pipa kalor. Laju perpindahan kalor dari bagian

evaporator ke bagian kondensor sangat dipengaruhi oleh panas laten dari

fluida kerja.

............................................................................... (2.4)

Adanya keterlibatan panas laten pada perpindahan kalor di dalam pipa

kalor memungkinkan pipa kalor mengangkut lebih banyak kalor dengan

dimensi yang cukup kecil dan ini merupakan sustu keunggulan pipa kalor

dari logam pejal.

5. Konveksi dari fluida uap pada bagian kondensor ke bagian permukaan

dinding pipa kalor, dimana terjadi penyerapan kalor dari uap sehingga uap

mengalami perubahan fase (kondensasi). Hasil kondensasi (kondensat)

akan dialirkan ke bagian evaporator melalui gaya kapilaritas sumbu

kapiler. Kondensat akan mengalir pada celah-celah atau pori-pori dari

sumbu kapiler.

2. Prinsip Kerja Pipa Kalor Melingkar

Pada dasarnya pipa kalor melingkar memiliki prinsip kerja yang sama

dengan pipa konvensional, yaitu proses perpindahan kalor dari bagian

evaporator menuju bagian kondensor. Tetapi yang menjadikan perbedaannya

adalah aliran antara uap dengan fluida kondesat tidak terjadi secara bolak

balik namum secara melingkar atau melingkari. Prinsip perpindahan kalor

melalui konsep tekanan, perubahan fase serta adanya kondensasi juga berlaku

pada pipa kalor tipe melingkar. Pada pipa kalor melingkar, ada dua bagian

yang disebut dengan lintsan uap dan lintsan cairan. Pada lintsan uap tidak

terdapat sumbu kapiler, sedangkan pada lintasan cairan di dalam pipa

tersebut terisi penuh oleh sumbu kapiler. Hal ini bertujuan untuk memberikan

pengaruh perbedaan tekanan, sehingga uap yang telah terkondensasi pada

24

bagian kondensor dapat mengalir ke bagian lintasan cairan akibat adanya

pengaruh tekanan kapilaritas dari sumbu kapiler (Putra dan Septiadi, 2014).

3. Prinsip Kerja Pipa Kalor Datar

Prinsip kerja pipa kalor datar menggunakan prinsip perubahan fase

fluida serta kapilaritas. Prinsip kerja vapor chamber adalah proses

penyerapan kalor terjadi pada bagian evaporator, mengevaporasikan fluida

kerja pada ruang dalam vapor chamber. Fluida kerja dalam fase uap ini

kemudian bergerak menuju kondensor, akibat terjadinya perbedaan tekanan

yang kecil. Kemudian, uap fluida kerja melepaskan kalor dan mengembun

pada bagian kondensor. Fluida kerja akan berubah fase menjadi fase cair,

kemudian cairan ini akan kembali ke bagian evaporator melalui struktur

kapiler pada sumbu kapiler. Proses ini kemudian kembali terulang dari awal

(Putra dan Septiadi, 2014).

2.3.3 Hambatan Termal Pipa Kalor

Hambatan termal pipa kalor adalah rasio antara selisih temperatur pada

bagian evaporator dan bagian kondensor dengan besar beban kalor yang

diserap oleh pipa kalor tersebut. Dapat dilihat pada gambar 2.14 Jaringan

thermal dari blok pemanas sampai dengan bagian evaporator.

Gambar 2.14 Jaringan hambatan thermal evaporator pipa kalor (Sumber : Putra dan

Septiadi, 2014)

25

Sebuah pelat logam ditaruh diatas pelat pemanas (heater), sehingga

hambatan thermal pada bagian evaporator pipa kalor merupakan total

hambatan thermal dari pelat pemanas (heater) sampai dengan permukaan

bagian dalam dari evaporator. Dimana secara matematis dapat ditulis dengan

persamaan.

....................................................... (2.5)

Dimana masing-masing merupakan hambatan thermal

pada kontak anatara pelat pemanas dengan pelat logam bagian bawah,

hambatan thermal spreading, hambatan thermal konduksi, dan hambatan

thermal antara permukaan luar dan bagian dalam evaporator (°C/W). Dengan

masing-masing dapat ditulis secara matematis seperti persamaan

............................................................................ (2.6)

............................................................................ (2.7)

Jika dilihat dari bagian antara permukaan atas pelat logam dan sisi luar

evaporator maka jaringan hambatan thermal pipa kalor ditunjukkan pada

gambar 2.15

Gambar 2.15 Jaringan hambatan thermal pipa kalor (Sumber : Putra dan Septiadi,

2014)

26

Sehingga hambatan thermal total pipa kalor dapat dirumuskan seperti pada

persamaan

................................................................................. (2.8)

2.3.4 Batasan Kerja Pipa Kalor

Batasan kerja pipa kalor adalah batasan dimana pipa kalor dapat

beroperasi atau dapat berfungsi dalam mengangkut atau memindahkan kalor.

Agar pipa kalor dapat beroperasi dengan kapilaritas yang maksimal, maka

harus lebih besar daripada penurunan tekanan total di dalam pipa

kalor tersebut. Batasan operasional dari sumbu kapiler pada pipa kalo r dapat

dilihat pada gambar 2.16 Grafik batas operasional untuk setipa sumbu kapiler

yang berbeda tentunya akan memiliki nilai batasan operasional yang berbeda.

Hal ini perlu diperhatikan agar pipa kalor tidak mengalami kekeringan atau

tidak berfungsi dengan baik (Putra dan Septiadi, 2014).

Gambar 2.16 Batasan operasional pipa kalor (Sumber : Putra dan Septiadi, 2014)

27

2.4 Air

Air mineral merupakan pelarut universal dan paling dekat dengan

kehidupan kehidupan kita. Oleh karena itu air dengan mudah meyerap atau

melarutkan berbagai partikel yang ditemuinya dan dengan mudah menjadi

tercemar. Dalam siklusnya didalam tanah, air terus bertemu dan melarutkan

berbagai mineral anorganik, logam berat dan mikro organisme. Jadi air

mineral bukan air suling karena mengandung banyak mineral. Air

suling adalah air hasil destilasi/penyulingan atau disebut air murni ,

karena air murni hampir tidak mengandung mineral.

Tabel 2.8 Tekanan dan titik didih air murni (Sumber : www.engineeringtoolbox.com,

2014)

Tekanan Titik Didih

psi kPa bar ºF ºC

0,5 3,45 0,034 79,6 26,4

1 6,90 0,069 102 38,7

2 13,79 0,138 126 52,2

3 20,69 0,207 141 60,8

4 27,58 0,276 153 67,2

5 34,48 0,345 162 72,3

6 41,37 0,414 170 76,7

7 48,27 0,483 177 80,4

8 55,16 0,552 183 83,8

9 62,06 0,621 188 86,8

10 68,95 0,689 193 89,6

11 75,85 0,758 198 92,1

12 82,74 0,827 202 94,4

13 89,64 0,896 206 96,6

14 96,53 0,965 210 98,7

14,69 101,3 1,01 212 100

15 103,4 1,03 213 101

16 110,3 1,10 216 102

28

Gambar 2.17 Kurva tekanan dan titik didih air murni (Sumber :

www.engineeringtoolbox.com, 2014)