bab ii tinjauan pustaka 2.1 proyek konstruksi wisuda .pdf · dan/atau air, yang berfungsi sebagai...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Proyek Konstruksi
Membicarakan tentang suatu proyek, maka sangatlah diperlukan pengetahuan
yang cukup mengenainya. Pengertian mengenai proyek banyak terdapat dalam
berbagai buku yang dikemukakan oleh beberapa ahli, di bawah ini dikutipkan
pendapat-pendapat tersebut, antara lain:
1. Proyek adalah unit yang paling baik untuk pelaksanaan perencanaan operasional
dari aktivitas investasi dengan kegiatan yang sating berkaitan untuk mencapai
suatu hasil tujuan tertentu, dalam jangka waktu tertentu (Tjokroamijojo, 1971).
2. Proyek adalah satu usaha dalam jangka waktu yang ditentukan dengan sasaran
yang jelas yaitu mencapai hasil yang telah dirumuskan pada waktu awal
pembangunan proyek akan dimulai (Nugraha dan Nathan, 1985).
3. Proyek (konstruksi atau lainnya) adalah sebuah perbuatan atau pekerjaan unik
yang pada dasarnya mempunyai satu tujuan yang telah ditetapkan oleh bidang atau
lapangan, mutu atau kualitas, waktu dan harga yang diinginkan (Ahujaetal, 1994).
Pada mulanya sebuah proyek bertitik tolak dari gagasan dasar atau kebutuhan akan
sesuatu yang muncul pada benak seseorang atau sekelompok orang. Sebuah proyek
adalah sebuah proses pengadaan dari yang tidak ada menjadi ada dalam jangka waktu
tertentu (Nugraha dan Nathan., 1985). Perkembangan penduduk merupakan faktor
utama yang menghidupkan industri konstruksi dengan didukung pertumbuhan faktor
ekonominya. Proyek dapat berarti pembangunan sesuatu hal baru misalnya pendirian
pabrik dan bangunan-bangunan industri, pembangunan perumahan untuk tempat
tinggal, apartemen, gedung-gedung perkantoran berlantai banyak, jembatan, jalan raya
yang termasuk didalamnya jalan layang, jalan kereta api, dan lain-lain. Semua ini
diciptakan dan dibangun untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Jadwal waktu proyek merupakan alat yang dapat mewujudkan kapan
berlangsungnya setiap kegiatan, sehingga dapat digerakkan pada waktu merencanakan
kegiatan-kegiatan maupun pengendalian proyek secara keseluruhan. Jadi
keterlambatan proyek dalam bidang konstruksi berarti, waktu pelaksanaan proyek
berlangsung melebihi waktu kontrak, atau melebihi waktu yang disetujui kedua belah
pihak untuk penyerahan proyek.
Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 36 Tahun 2005, definisi bangunan
gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat
kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah
dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik
untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial,
budaya, maupun kegiatan khusus. Defmisi bangunan gedung umum adalah bangunan
gedung yang fungsinya untuk kepentingan publik, baik berupa fungsi keagamaan,
fungsi usaha, maupun fungsi sosial dan budaya. Bangunan gedung tertentu adalah
bangunan gedung yang digunakan untuk kepentingan umum dan bangunan gedung
fungsi khusus, yang dalam pembanguan dan/atau pemanfaatannya membutuhkan
pengelolaan khusus dan/atau memiliki kompleksitas tertentu yang dapat menimbulkan
dampak penting terhadap masyarakat dan lingkungannya.
2.2 Permasalahan Proses Konstruksi
Menurut Dipohusodo (1996), setiap penyelenggaraan konstruksi selalu ditujukan
untuk menghasilkan suatu bangunan yang bermutu dengan pembiayaan yang efisien,
dan kesemuanya harus dapat diwujudkan dalam rentang waktu yang terbatas. Dalam
penyelenggaraan konstruksi, faktor biaya merupakan bahan pertimbangan utama
karena biasanya menyangkut jumlah investasi besar yang harus ditanamkan pemberi
tugas yang rentan terhadap resiko kegagalan. Pada faktor waktu pelaksanaan, sering
terjadi masalah-masalah yang lebih banyak disebabkan oleh mekanisme
penyelenggaraan. Sedangkan masalah yang mempengaruhi faktor kualitas hasil
pekerjaan didominasi oleh kualitas sumber daya manusia yang berkaitan dengan
kemampuan dan ketrampilan teknis. Apabila tidak ditangani dengan benar, berbagai
masalah tersebut akan mengakibatkan dampak berupa keterlambatan penyelesaian
proyek, penyimpangan mutu hasil, pembiayaan membengkak, pemborosan sumber
daya, persaingan tak sehat di antara para pelaksana, serta kegagalan untuk mencapai
tujuan dan sasaran yang diinginkan.
Industri konstruksi telah mengembangkan secara luas penerapan metode
penjadwalan jaringan kerja atau lazim disebut metode jaringan (Dipohusodo, 1996).
Metode Jalur Kritis atau Critical Path Method (CPM) merupakan suatu metode
penjadwalan proyek yang sudah dikenal dan sering digunakan sebagai sarana
manajemen dalam pelaksanaan proyek. CPM merupakan suatu model grafis yang
menunjukan waktu pelaksanaan suatu sistem operasi proyek. Sebuah jadwal CPM
terdiri dari serangkaian aktivitas kritis dan non-kritis yang saling berkaitan antara satu
dengan yang lain (Alifen, 2000).
Aktivitas Kritis adalah aktivitas yang tidak dapat diganggu gugat waktu
pelaksanaannya, sehingga bila terjadi keterlambatan pada aktivitas-aktivitas ini, durasi
proyek secara keseluruhan akan terlambat. Aktivitas non-kritis adalah aktivitas yang
memiliki tenggang waktu (float) dimana tenggang waktu tersebut sangat berperan di
dalam usaha percepatan durasi proyek (Alifen, 2000).
Menurut Alifen (2000), keterlambatan proyek seharusnya dapat diantisipasi sejak
awal proyek dilaksanakan, yaitu dengan memonitor setiap aktivitas di dalam jadwal
CPM, jika keterlambatan terjadi pada satu aktivitas maka harus dilakukan percepatan
durasi pada aktivitas berikutnya. Melalui pengalaman dalam menggunakan metode
penjadwalan jaringan kerja selama ini, metode tersebut terbukti sangat bermanfaat dan
memberikan banyak keuntungan bagi para manajer proyek yang terlibat dalam
pengendalian konstruksi dan berbagai pekerjaan yang sejenis (Dipohusodo, 1996).
Menurut Proboyo (1999), kunci utama keberhasilan melaksanakan proyek tepat
waktu adalah perencanaan dan penjadwalan proyek yang lengkap dan tepat.
Keterlambatan dapat dianggap sebagai akibat tidak dipenuhinya rencana jadwal
yang telah dibuat karena koodisi kenyataan tidak sama atau tidak sesuai dengan kondisi
saat jadwal tersebut dibuat. Dengan demikian pada proses perencanaan dan
penjadwalan proyek, perlu dipahami semua faktor yang melatarbelakangi pembuatan
jadwal proyek. Pemahaman faktor-faktor tersebut dilakukan dengan mengkaji 6
tahapan yang ada dalam proses menjadwal tersebut, yakni:
1) Identifikasi aktivitas-aktivitas proyek
2) Estimasi durasi aktivitas
3) Penyusunan rencana kerja proyek
4) Penjadwalan aktivitas-aktivitas proyek
5) Peninjauan kembali dan analisa terhadap jadwal yang telah dibuat
6) Penerapan jadwal
2.2.1 Keterlambatan Proyek dan Dampaknya
Menurut Proboyo (1999), keterlambatan pelaksanaan proyek umumnya selalu
menimbulkan akibat yang merugikan baik bagi pemilik maupun kontraktor, karena
dampak keterlambatan adalah konflik dan perdebatan tentang apa dan siapa yang
menjadi penyebab, juga tuntutan waktu dan biaya tambah.
Menurut Alifen dan Nathan (2000), keterlambatan proyek sering kali menjadi
sumber perselisihan dan tuntutan antara pemilik dan kontraktor, sehingga akan menjadi
sangat mahal nilainya baik ditinjau dari sisi kontraktor maupun pemilik. Kontraktor
akan terkena denda penalti sesuai dengan kontrak, disamping itu kontraktor juga akan
mengalami tambahan biaya overhead selama proyek masih berlangsung. Dari sisi
pemilik, keterlambatan proyek akan membawa dampak pengurangan pemasukan
karena penundaan pengoperasian fasilitasnya.
Menurut Lewis dan Atherley (1996), keterlambatan akan berdampak pada
perencanaan semula serta pada masalah keuangan.Keterlambatan dalam suatu proyek
konstruksi akan memperpanjang durasi proyek atau meningkatkan biaya maupun
kedua-duanya. Adapun dampak keterlambatan pada owner adalah hilangnya potensial
income dari fasilitas yang dibangun tidak sesuai waktu yang ditetapkan, sedangkan
pada kontraktor adalah hilangnya kesempatan untuk menempatkan sumber dayanya ke
proyek lain, meningkatnya biaya tidak langsung (indirect cost) karena bertambahnya
pengeluaran untuk gaji karyawan, sewa peralatan serta mengurangi keuntungan,
menyimpulkan bahwa dampak keterlambatan menimbulkan kerugian:
1. Bagi pemilik, keterlambatan menyebabkan kehilangan penghasilan dari
bangunan yang seharusnya sudah bisa digunakan atau disewakan.
2 Bagi kontraktor, keterlambatan penyelesaian proyek berarti menyebabkan
meningkatnya biaya overhead (upah buruh, harga barang, dll).
3. Bagi konsultan, dengan adanya keterlambatan tersebut konsultan yang
bersangkutan akan terhambat dalam mengagendakan proyek lainnya
2.2.2 Penyebab Keterlambatan Proyek
Menurut Alifen dan Nathan. (2000), Keterlambatan proyek dapat disebabkan oleh
pihak kontraktor, pemilik atau disebabkan oleh keadaan alam dan lingkungan diluar
kemampuan manusia atau disebut dengan force majeur. Standard dokumen kontrak
yang diterbitkan oleh AIA (American Institute of Architects) membedakan
keterlambatan proyek menjadi tiga (3) kelompok yaitu:
a. Excusable/compensable adalah keterlambatan yang beralasan dan dapat
dikompensasi. Kasus keterlambatan yang beralasan dan dapat dikompensasi
adalah keterlambatan yang disebabkan oleh pihak pemilik dalam kaitannya karena
tidak dapat menyediakan jalan tempuh ke proyek, perubahan gambar rencana,
perubahan lingkup pekerjaan kontraktor, keterlambatan dalam menyetujui
gambar kerja, jadwal, dan material, kurangnya koordinasi dan supervisi lapangan,
pembayaran tertunda, campur tangan pemilik yang bukan wewenangnya. Dalam
kasus ini kontraktor berhak atas dispensasi waktu dan biaya ekstra.
b. Excusable/noncompensable adalah keterlambatan yang beralasan, tetapi tidak
dapat dikompensasi. Kasus keterlambatan yang beralasan, tetapi tidak dapat
dikompensasi adalah keterlambatan yang diluar kemampuan baik kontraktor
maupun pemilik. Sebagai contoh, cuaca buruk, kebakaran, banjir, pemogokan
buruh, peperangan, perusakan oleh pihak lain, larangan kerja, wabah penyakit,
inflasi/eskalasi harga dan lain sebagainya. Kasus ini biasanya disebut dengan force
majeur.
c. Non-excusable adalah keterlambatan yang tidak beralasan. Kasus keterlambatan
yang tidak beralasan adalah keterlambatan yang disebabkan karena kegagalan
kontraktor memenuhi tanggung jawabnya dalam pelaksanaan proyek. Sebagai
contoh, kekurangan dalam penyediaan sumber daya proyek (manusia, alat,
material, sub-kontraktor, uang), kegagalan koordinasi lapangan, kegagalan
perencanaan jadwal, produktivitas yang rendah, dan sebagainya. Dalam kasus ini
kontraktor akan terkena denda penalti sesuai dengan kontrak. Menurut Kraiem dan
Dickmann (dalam Proboyo, 1999), penyebab-penyebab keterlambatan waktu
pelaksanaan proyek dapat dikategorikan dalam tiga (3) kelompok besar, yakni:
1. Keterlambatan yang layak mendapatkan ganti rugi (Compensable
Delay), yakni keterlambatan yang disebabkan oleh tindakan, kelalaian
atau kesalahan pemilik proyek.
2. Keterlambatan yang tidak dapat dimaafkan (Non-Excusable Delay),
yakni keterlambatan yang disebabkan oleh tindakan, kelalaian atau
kesalahan kontraktor.
3. Keterlambatan yang dapat dimaafkan (Excusable Delay), yakni
keterlambatan yang disebabkan oleh kejadian-kejadian diluar kendali
baik pemilik maupun kontraktor
Tinjauan dan studi pustaka yang telah dilakukan oleh Proboyo (1999) untuk
mendapatkan penyebab-penyebab keterlambatan, menghasilkan rangkuman sebanyak
45 jenis penyebab keterlambatan dengan demikian perlu juga diklasiflkasikan
keberadaannya dalam aspek manajemen yang akan ditinjau. Pada penelitian yang telah
dilakukan oleh Proboyo (1999), diambil 6 aspek kajian, yakni:
A. Aspek Perencanaan dan Penjadwalan Pekerjaan = 6 jenis penyebab.
B. Aspek Lingkup dan Dokumen Pekerjaan = 8 jenis penyebab.
C. Aspek Sistem Organisasi, Koordinasi dan Komunikasi = 9 jenis penyebab.
D. Aspek Kesiapan/Penyiapan Sumber Daya = 8 jenis penyebab.
E. Aspek Sistem Inspeksi, Kontrol dan Evaluasi Pekerjaan = 7 jenis penyebab.
F. Aspek Lain-lain = 7 jenis penyebab.
NO Tinjauan Aspek dan Sebab Keterlambatan Menurut Para Ahli
P1 P2 P3 P4 P5
A Aspek Perencanaan dan Penjadwalan
1 Penetapan jadwal proyek yang amat ketat oleh
pemilik
2 Tidak lengkapnya identifikasi jenis pekerjaan yang
harus ada
3 Rencana urutan kerja yang tidak tersusun dengan
baik/terpadu
4 Penentuan diirasi waktu kerja yang tidak seksama
5 Rencana kerja pemilik yang sering berubah-ubah
6 Metode konstruksi/pelaksanaan kerja yang salah
atau tidak tepat
B Aspek Lingkup dan Dokumen Pekerjaan (Kontrak)
1 Perencanaan (gambar/spesifikasi) yang salah/tidak
lengkap
2 Perubahan disain/detail pekerjaan pada waktu
pelaksanaan
3 Perubahan lingkup pekerjaan pada waktu
pelaksanaan
4 Proses pembuatan gambar kerja oleh kontraktor
5 Proses permintaan dan persetujuan gambar kerja
oleh pemilik
6 Ketidaksepahaman aturan pembuatan gambar kerja
7 Adanya sering pekerjaan tambahan
8 Adanya permintaan perubahan atas pekerjaan yang
telah selesai
C Aspek Sistem Organisasi, Koordinasi dan
Komunikasi
1 Keterbatasan wewenang personil pemilik dalam
pengambilan keputusan
2 Kualifikasi personil/pemilik yang tidak profesional
di bidangnya
3 Cara inspeksi dan kontrol pekerjaan yang birokratis
oleh pemilik
4 Kegagalan pemilik mengkoordinasi pekerjaan dari
banyak kontraktor/sub kontraktor
5 Kegagalan pemilik mengkoordinasi penyerahan/
penggunaan lahan
Tabel 2.1 Aspek Penyebab Keterlambatan Menurut Praboyo (1999), Levis dan Artherley (1996) , Assaf
(1995) , Park (1979) , dan Abedi da Haseeb (2011).
6 Kelambatan penyediaan alat/bahan,dll yang
disediakan pemilik
7 Kualifikasi teknis dan manajerial yang buruk dari
personil-personil dalam organisasi kerja kontraktor
8 Koordinasi dan komunikasi yang buruk antar
bagian-bagian dalam organisasi kerja kontraktor
9 Terjadinya kecelakaan kerja
D Aspek Kesiapan/Penyiapan Sumber Daya
1 Mobilisasi Sumber Daya (bahan, alat, tenaga kerja)
yang lambat
2 Kurangnya keahlian dan ketrampilan serta motivasi
kerja para pekerja-pekerja
3 Jumlah pekerja yang kurang memadai/sesuai dengan
aktivitas pekerjaan yang ada
4 Tidak tersedianya bahan secara cukup pasti/layak
sesuai kebutuhan
5 Tidak tersedianya alat/peralatan kerja yang cukup
memadai/sesuai kebutuhan
6 Kelalaian/Keterlambatan oleh sub kontraktor
pekerjaan
7 Pendanaan kegiatan proyek yang tidak terencana
dengan baik (kesulitan pendanaan di kontraktor)
8 Tidak terbayarnya kontraktor tepat waktu (kesulitan
pembayaran oleh pemilik)
E Aspek Sistem Inspeksi, Kontrol dan Evaluasi
Pekerjaan
1 Pengajuan contoh bahan oleh kontraktor yang tidak
terjadwal
2 Proses permintaan dan persetujuan contoh bahan
oleh pemilik yang lama
3 Proses pengujian dan evaluasi uji bahan dari pemilik
yang tidak relevan
4 Proses persetujuan ijin kerja yang bertele-tele
5 Kegagalan kontraktor melaksanakan pekerjaan
6 Banyak hasil pekerjaan yang harus
diperbaiki/diulang karena cacat/ tidak benar
7 Proses dan tata cara evaluasi kemajuan pekerjaan
yang lama dan lewat jadwal yang disepakati
F Aspek Lain-lain (Aspek diluar kemampuan Pemilik
dan Kontraktor)
1 Kondisi dan lingkungan tampak ternyata tidak
sesuai dengan dugaan
2 Transportasi ke lokasi proyek yang sulit
3 Terjadinya hal-hal tak terduga seperti kebakaran,
banjir, badai/angin ribut, gempa bumi, tanah
longsor, cuaca amat buruk
Keterangan
P1 : Praboyo (1999)
P2 : Levis dan Artherley (1996)
P3 : Assaf (1995)
P4 : Park (1979)
P5 : Abedi dan Haseeb (2011)
Dari rangkuman para peneliti diatas hanya Praboyo (1999) yang mencakup
berbagai hal dalam studi pustakanya mengenai penyebab keterlambatan penyelesaian
proyek konstruksi. Praboyo (1999) menjelaskan berbagai aspek faktor penyebab
keterlambatan beserta subfaktornya.
2.2.3 Mengatasi Keterlambatan Proyek
Menurut Dipohusodo (1996), selama proses konstruksi selalu saja muncul
gejala kelangkaan periodik atas material-material yang diperlakukan, berupa material
dasar atau barang jadi baik yang local maupun import. Cara penanganannya sangat
bervariasi tergantung pada kondisi proyek, sejak yang ditangani langsung oleh staf
khusus dalam organisasi sampai bentuk pembagian porsi tanggung jawab diantara
pemberi tugas, kontraktor dan sub-kontraktor, sehingga penawaran material suatu
proyek dapat datang dari sub-kontraktor, pemasok atau agen, importer, produsen atau
industri, yang kesemuanya mengacu pada dokumen perencanaan dan spesifikasi teknis
yang telah ditetapkan.
4 Adanya pemogokan buruh
5 Adanya huru-hara/kerusuhan, perang
6 Terjadinya kerusakan/pengrusakan akibat kelalaian
atau perbuatan pihak ketiga
7 Perubahan situasi atau kebijaksanaan
politik/ekonomi pemerintah
2.2.4 Pengaruh Aspek Keterlambatan Proyek Terhadap Kinerja (waktu
pelaksanaan proyek)
Kinerja merupakan suatu kondisi yang harus diketahui dan dikonfirmasi
terhadap pihak tertentu unuk mengetahui tingkat pencapaian suatu instansi. Kinerja
juga di artikan sebagai jawaban dari berhasil atau tidaknya suatu proyek konstruksi.
Para atasan atau manajer sering tidak memperhatikan kecuali sudah amat buruk atau
segala sesuatu jadi serba salah. Secara garis besar kinerja dapat diartikan sebagai
keluaran (output), kinerja dinilai dari apa yang telah dicapai dan dihasilkan oleh
individu dalam melaksanakan tugas dan kinerjanya yang dalam hal ini adalah
kontraktor. Kinerja ini sendiri dikatakan berhasil jika memenuhi syarat atau waktu
yang telah di sepakati antara kontraktor dan pemilik mengenai waktu pelaksanaan
proyek.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah catatan dari
proses, pelaksanaan, pencapaian dan apa yang dihasilkan oleh suatu pekerjaan selama
periode atau kurun waktu tertentu.
2.3. Data dan Pengukuran
Menurut Webster (1983) dalam Redana (2003), research (penelitian) adalah
penyelidikan atau pemeriksaan pada beberapa bidang ilmu pengetahuan secara hati-
hati dan sistematis. Secara ringkas penelitian harus memenuhi:
1. Ada hal yang ingin diselidiki
2. Ada metode penelitian
3. Ada hasil penelitian berupa fakta/hukum/rumusan.
Pengertian research (penelitian) yang paling sederhana adalah penelitian dimulai
apabila seseorang peneliti mempunyai suatu persoalan (pertanyaan) dimana untuk
menjawab persoalan tersebut peneliti bersangkutan tidak memiliki cukup informasi
(Redana, 2003).
2.3.1 Jenis Penelitian
Penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi
hanya menggambarkan "apa adanya" tentang sesuatu variabel, gejala atau keadaan.
Memang ada kalanya dalam penelitian ingin juga membuktikan dugaan tetapi tidak
terlalu lazim. Yang umum adalah bahwa penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk
menguji hipotesis (Arikunto, 2000).
Beberapa jenis penelitian yang dapat dikategorikan sebagai penelitian deskriptif
adalah penelitian survei (survey studies), studi kasus (case studies), penelitian
perkembangan (developmental studies), penelitian tindak lanjut (follow-up studies),
analisis dokumen (documentary analyses) dan penelitian korelasional (correlation
studies) (Arikunto, 2000). Penelitian kasus (studi kasus) biasanya meliputi subyek yang
jumlahnya terbatas (kadang-kadang hanya seorang subyek atau sebuah unit),
dimaksudkan untuk mengetahui secara mendalam tentang sesuatu gejala. Dalam
melakukan studi kasus, peneliti berusaha menggali latar belakang yang dimiliki oleh
subyek mengenai "masa lalunya" (Arikunto, 2000).
2.3.2 Pengumpulan Data
Pada umumnya, pengumpulan data pada penelitian dilakukan dengan cara
pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapat
dari sumber pertama, baik individu atau perseorangan seperti hasil wawancara atau
hasil pengisian kuesioner yang dilakukan oleh peneliti kepada responden. Sedangkan
data sekunder merupakan data primer yang diperoleh pihak lain atau data primer yang
telah diolah lebih lanjut dan disajikan baik oleh pengumpul data primer atau oleh pihak
lain yang pada umumnya disajikan dalam bentuk tabel-tabel atau diagram-diagram
(Sugiarto, 2003).
Pengambilan atau pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara penyebaran
kuesioner untuk diisi oleh responden atau dengan cara interview/wawancara dengan
responden oleh peneliti. Untuk data yang hasilnya diperoleh melalui kuesioner, maka
aspek yang penting adalah mendesain kuesioner sebelum melakukan penelitian.
Sebelum mendesain kuesioner hai yang perlu dilakukan adalah menentukan berapa
jumlah proyek konstruksi yang akan diteliti. Mengingat keterbatasan tenaga dan waktu,
penulis menggunakan sampel dalam pelaksanaan penelitian. Menurut Sugiarto (2003),
sampel adalah sebagian anggota dari populasi yang dipilih dengan menggunakan
prosedur tertentu sehingga dapat mewakili populasinya, dimana populasi adalah
keseluruhan unit atau individu dalam ruang lingkup yang ingin diteliti. Penelitian
lapangan bertujuan untuk memperoleh jawaban penegasan setuju atau tidak setuju
responden terhadap pernyataan dalam kuesioner yang dibagikan (Proboyo, 1999).
Data yang didapatkan dapat berupa data kualitatif maupun data kuantitatif. Data
kualitatif adalah data yang bukan berupa angka atau secara praktis bermakna tidak
dapat dijadikan operand dalam operasi matematika seperti penambahan, pengurangan
maupun perkalian dan pembagian. Termasuk dalam klasifikasi data kualitatif adalah
data yang berskala ukur nominal dan ordinal. Sedangkan data kuantitatif adalah data
yang berbentuk angka. Termasuk dalam klasifikasi data kuantitatif adalah data yang
berskala ukur interval dan rasio. Yang dimaksud dengan data nominal adalah data yang
hanya menghasilkan satu dan hanya satu-satunya kategori. Data nominal disebut juga
dengan data kategori. Data nominal dalam praktek statistik biasanya akan dijadikan
'angka', yaitu proses yang disebut kategori. Misal dalam pengisian data, jenis Kelamin
Lelaki dikategorikan sebagai '1' dan perempuan sebagai '2'. Kategori ini hanya sebagai
tanda saja, jadi tidak dapat dilakukan operasi matematika, seperti 1 + 2 atau 1-2 dan
lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan data ordinal adalah data yang mempunyai
tingkatan data (Santoso, 2001).
2.3.3 Desain Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi.
Dengan meneliti secara sampel diharapkan hasil yang telah diperoleh akan
memberikan kesimpulan dan gambaran yang sesuai dengan karakteristik populasi.
Karena tidak semua data dan informasi akan diproses dan tidak semua orang atau benda
akan diteliti melainkan cukup dengan menggunakan sampel yang mewakilinya
(Riduwan, 2008).
2.3.4 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek atau subyek yang
menjadi kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Riduwan, 2008).
2.3.5 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel adalah suatu cara mengambil sampel yang
representatif dari populasi. Pengambilan sampel harus dilakukan sedemikian rupa
sehingga diperoleh sampel yang benar-benar dapat mewakili dan dapat
menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya.
Ada dua macam teknik pengambilan sampling dalam penelitian yang umum
dilakukan yaitu (Riduwan, 2008):
- Probability Sampling
Probability sampling adalah teknik sampling untuk memberikan peluang yang
sama pada setiap anggota populasi yang dipilih menjadi anggota sampel, yang
tergolong teknik probability sampling. Cara demikian sering disebut dengan
random sampling, atau cara pengambilan sampel secara acak.
- Non-Probability Sampling
Non-probability sampling adalah teknik sampling yang tidak memberikan
kesempatan (peluang) pada setiap anggota populasi untuk dijadikan anggota
sampel.
2.3.6 Penentuan Jumlah Sampel
Sampel (contoh) adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi dengan menggunakan teknik tertentu yang disebut dengan teknik
sampling. Ada beberapa keuntungan menggunakan sampel, antara lain (Riduwan,
2008):
1. Memudahkan peneliti karena jumlah sampel lebih sedikit dibandingkan dengan
menggunakan populasi, selain itu bila populasinya terlalu besar dikhawatirkan
akan terlewati.
2. Penelitian lebih efisien (dalam arti penghematan uang, waktu, dan tenaga).
3. Lebih teliti dan cermat dalam pengumpulan data, artinya jika subyeknya banyak
dikhawatirkan adanya bahaya biasanya dari orang yang mengumpulkan data,
karena sering dialami oleh staf bagian pengumpulan data mengalami kelelahan
sehingga pencatatan data tidak akurat.
Perhitungan jumlah sampel yang akan digunakan menggunakan rumus Al-
Rasyid (1994) sebagai berikut (Riduwan, 2013):
Rumus Al-Rasyid : no = (𝑍α
2.𝐵𝐸)
2 (2.1)
Dimana:
α = taraf kesalahan yang besarnya ditetapkan 0,05
N = jumlah total kontraktor (Kota Denpasar)
BE = Bound of Error diambil 15 %
Zα = nilai dalam tabel Z = 1,99
Jika no ≤ 0,05 N, maka n = no (2.2)
Jika no > 0,05 N, maka n = 𝑛𝑜
1+𝑛𝑜−1
𝑁
(2.3)
Perhitungan alokasi sampel secara proporsional, untuk masing-masing strata
menggunakan rumus sebagai berikut:
n1= Ni
Nx n (2.4)
dimana:
N =jumlah populasi
n = jumlah sampel = 30
Ni = jumlah subpopulasi dalam strata ke-i
2.4 Pengolahan Data
Pengolahan data merupakan kegiatan terpenting dalam proses dan kegiatan
penelitian. Data populasi atau data sampel yang sudah terkumpul, jika digunakan untuk
keperluan informasi, baik berupa laporan dalam penelitian hendaknya diatur, disusun,
disajikan dalam bentuk yang jelas. Langkah-langkah dalam pengolahan data dapat
dilakukan seperti penyusunan data, klarifikasi data, pengolahan data, dan interprestasi
hasil pengolahan data (Riduwan, 2008). Dapat dijelaskan beberapa jenis pengolahan
data yang dipergunakan dalam penelitian ini seperti tabel data dan skala pengukuran.
2.4.1 Tabel Data
Tabel biasa digunakan untuk bermacam-macam keperluan baik bidang
ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain untuk menginformasikan data dari hasil
penelitian atau hasil penyelidikan yang diolah dalam bentuk tabel (Riduwan, 2008).
Pengolahan data hasil penelitian dengan menggunakan tabel merupakan penyajian
yang banyak digunakan, karena lebih efisien dan cukup komunikatif (Sugiyono, 2009).
2.4.2 Skala Pengukuran
Pengukuran adalah penetapan atau pemberian angka terhadap obyek menurut
aturan tertentu. Maksud dari pengukuran ini untuk mengklasifikasikan variabel yang
akan diukur supaya tidak terjadi kesalahan dalam menentukan analisis data dan langkah
penelitian selanjutnya (Riduwan, 2008). Jawaban didalam kuesioner merupakan data
kualitatif karena dinyatakan dalam bentuk bukan angka. Kemudian data kualitatif ini
harus dikuantifikasi atau diubah terlebih dulu menjadi data kuantitas dengan cara
member skor atau member rangking tertentu agar bisa diproses secara statistik dengan
analisis regresi dengan bantuan program SPSS versi 22.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan Skala Likert yang digunakan untuk
mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok tentang kejadian
atau gejala sosial. Dengan menggunakan Skala Likert, maka variabel yang akan diukur
dijabarkan menjadi dimensi, dimensi dijabarkan menjadi sub variabel kemudian sub
variabel dijabarkan lagi menjadi indikator-indikator yang dapat diukur. Akhirnya
indikator-indikator yang terukur ini dapat dijadikan titik tolak untuk membuat item
instrument yang berupa pertanyaan atau pernyataan yang perlu dijawab oleh
responden.
Sedangkan untuk pengaruh sub-aspek penyebab keterlambatan pada proyek
konstruksi didapat dengan menggunakan data hasil kuesioner. Data tersebut
diklarifikasikan menjadi lima tingkatan dan diberi skor sebagai berikut:
1. Sangat Tidak Pengaruh = 1
2. Tidak Pengaruh = 2
3. Ragu – Ragu = 3
4. Pengaruh = 4
5. Sangat Pengaruh = 5
Dalam hal teknik pengumpulan data, kuesioner disebarkan kepada perusahaan
kontraktor dan kemudian direkapitulasi data-data yang telah diperoleh.
Sedangkan untuk perhitungan “Kategori Jenis Keterlambatan Proyek “
Perhitungan skor = X/n x 100%
Dimana ;
X = jumlah pemilih kategori CD, NED, ED
n = jumlah responden x jumlah pernyataan.
2.5 Uji Validitas
Uji validitas digunakan untuk mengukur valid tidaknya suatu kuesioner. Suatu
kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu untuk
mengungkapkan sesuatu yang diukur dalam kuesioner tersebut. Jika r hitung lebih dari
r tabel maka item yang dianalisis dinyatakan valid dan sebaliknya (Brown, 1910). Pada
penelitian ini, pengujian validitas hasil kuesioner menggunakan bantuan aplikasi SPSS
versi 22. Pengujian validitas dengan menggunakan menu analyze kemudian pilih
correlate kemudian pilih bivariate, masukan data yang ingin dihitung ke dalam tabel
variables kemudian OK.
2.6 Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui adanya konsistensi alat ukur dalam
penggunaannya, atau dengan kata lain alat ukur tersebut mempunyai hasil yang
konsisten apabila digunakan berkali-kali pada waktu yang berbeda. Jika tingkat
reliabilitas instrumen lebih besar 0,6 maka instrumen tersebut dikatakan reliabel dan
sebaliknya (Nunnally, 1987). Pengujian reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan
bantuan aplikasi SPSS versi 22. Pengujian reliabilitas dengan menggunakan menu
analyze kemudian pilih scale kemudian pilih reliability analisys, masukan data yang
ingin dihitung dalam items kemudian OK.
2.7 Teknik Analisis Data
Teknik statistik yang digunakan yaitu analisis regresi dengan bantuan program
SPSS (Statistical Product and Service Solutions) versi 22. Penjelasan proses statistik
dengan SPSS (Santoso, 2000):
a Data yang akan dimasukkan lewat menu data editor yang otomatis muncul
di layar saat SPSS dijalankan.
b Data yang telah diinput kemudian diproses, juga lewat data editor.
c Hasil pengolahan data muncul di layar (windows) yang lain dari SPSS yaitu
output navigator.
Setelah proses input dilakukan, maka akan didapatkan hasil perhitungan sesuai
dengan program SPSS berupa:
a. Tabel Variables Entered/Removed
Tabel ini memberikan informasi tentang variabel-variabel independen yang
kurang berpengaruh terhadap variabel dependen sehingga akan dikeluarkan
dari persamaan.
b. Tabel Model Summary
Tabel ini menerangkan mengenai besarnya nilai korelasi (R), nilai koefisien
determinasi (R2), nilai koefisien determinasi yang disesuaikan (adjusted
R2), dan standard error.
c. Tabel ANOVAb
Tabel ANOVAb (Analysis of Variance) menerangkan bahwa dari uji
ANOVA atau F test, berfungsi membandingkan F hitung dengan F tabel.
Jika F hitung > F tabel, maka model ini dapat diterima dan begitu juga
sebaliknya.
d. Tabel Coefficient
Tabel ini menerangkan persamaa
n regresi yang dihasilkan.
Y = a + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 + b4 X4 (2.5)