bab ii tinjauan pustaka 2.1 komunikasi antarbudayaeprints.umm.ac.id/48136/3/bab ii.pdf · berbentuk...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi Antarbudaya
Budaya dan komunikasi mempunyai hubungan yang sangat erat. Orang
berkomunikasi sesuai dengan budaya yang dimilikinya. Kapan, dengan siapa,
berapa banyak hal yang dikomunikasikan sangat bergantung pada budaya dari
orang-orang yang berinteraksi. Melalui pengaruh budayalah orang-orang belajar
berkomunikasi. Perilaku mereka dapat mengandung makna, sebab perilaku
tersebut dipelajari dan diketahui, dan perilaku itu terikat oleh budaya. Orang-
orang memandang dunia mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep dan
label-label yang dihasilkan budaya mereka.
Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang
mirip pula terhadap suatu objek sosial atau suatu peristiwa. Cara-cara kita
berkomunikasi, keadaan-keadaan komunikasi kita, bahasa dan gaya bahasa yang
kita gunakan dan perilaku-perilaku nonverbal kita, semua itu terutama merupakan
respons terhadap dan fungsi budaya kita. Komunikasi itu terikat oleh budaya.
Sebagaimana budaya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, maka praktik
dan perilaku komunikasi individu-individu yang diasuh dalam budaya-budaya
tersebut akan berbeda pula (Mulyana dan Rakhmat, 2006: 24-25).
Adapun beberapa definisi komunikasi antarbudaya yang dikutip dari
Liliweri (2004: 10-11), antara lain:
1. Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan
Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader-komunikasi
7
antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda
kebudayaan, misalnya antarsuku bangsa, antaretnik dan ras, antarkelas
sosial.
2. Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya
terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang
kebudayaannya berbeda.
3. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi
komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi,
antarpribadi dan kelompok dengan tekanan pada perbedaan latar belakang
kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.
4. Guo-Ming Chen dan William J. Stratosta mengatakan bahwa komunikasi
antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang
membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan
fungsinya sebagai kelompok.
Young Yun Kim (dalam Rahardjo 2005:52-53) mengatakan, tidak seperti
studi-studi komunikasi lain, maka hal yang terpenting dari komunikasi
antarbudaya yang membedakannya dari kajian keilmuan lainnya adalah tingkat
perbedaan yang relatif tinggi pada latar belakang pengalaman pihak-pihak yang
berkomunikasi karena adanya perbedaan kultural. Selanjutnya menurut Kim,
asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi antarbudaya adalah bahwa
individu-individu yang memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi
kesamaan-kesamaan (homogenitas) dalam keseluruhan latar belakang pengalaman
mereka daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda.
8
Komunikasi antarbudaya menelaah elemen-elemen kebudayaan yang
sangat mempengaruhi interaksi ketika anggota dari dua kebudayaan yang berbeda
berkomunikasi. Komunikasi antarbudaya terjadi ketika pesan yang harus
ditangkap dan dipahami, diproduksi oleh anggota dari suatu budaya tertentu
diproses dan dikonsumsi oleh anggota dari budaya yang lain. Jadi, komunikasi
antarbudaya dapat didefinisikan sebagai komunikasi antarpribadi yang dilakukan
oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan.
Dari pernyataan tersebut, Liliweri (2004: 9) menjelaskan komunikasi
antarbudaya sebagai berikut:
1. Komunikasi antarbudaya adalah pernyataan diri antarpribadi yang paling
efektif antara dua orang yang saling berbeda latar belakang budaya.
2. Komunikasi antarbudaya merupakan pertukaran pesan-pesan yang
disampaikan secara lisan, tertulis, bahkan secara imajiner antara dua orang
yang berbeda latar belakang budaya.
3. Komunikasi antar budaya merupakan pembagian pesan yang berbentuk
informasi atau hiburan yang disampaikan secara lisan atau tertulis atau
metode lainnya yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda latar
belakang budayanya.
4. Komunikasi antarbudaya adalah pengalihan informasi dari seorang yang
berkebudayaan tertentu kepada seorang yang berkebudayaan lain.
5. Komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna yang berbentuk simbol
yang dilakukan dua orang yang berbeda latar belakang budayanya.
9
6. Komunikasi antarbudaya adalah proses pengalihan pesan yang dilakukan
seorang melalui saluran tertentu kepada orang lain yang keduanya berasal
dari latar belakang budaya yang berbeda dan menghasilkan efek tertentu.
7. Komunikasi antarbudaya adalah setiap proses pembagian informasi,
gagasan atau perasaan di antara mereka yang berbeda latar belakang
budayanya. Proses pembagian informasi itu dilakukan secara lisan dan
tertulis, juga melalui bahasa tubuh, gaya atau tampilan pribadi, atau
bantuan hal lain di sekitarnya yang memperjelas pesan.
Komunikasi antarbudaya tidak dapat terlepas dari faktor-faktor budaya
yang melekat pada diri individu. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh.
Budaya bersifat kompleks, abstrak dan luas. Dalam bahasa Sansekerta kata
budaya berasal dari kata buddhayah yang berarti akal budi. Dalam filsafat Hindu,
akal budi melibatkan seluruh unsur panca indera, baik dalam kegitan pikiran
(kognitif), perasaan (afektif), maupun perilaku (psikomotorik). Sedangkan kata lain
yang juga memiliki makna yang sama dengan budaya adalah ‟kultur‟ yang berasal
dari Romawi, cultural, biasanya digunakan untuk menyebut kegiatan manusia
mengolah tanah atau bercocok tanam. Kultur adalah hasil penciptaan, perasaan
dan prakarsa manusia berupa karya yang bersifat fisik maupun nonfisik
(Purwasito, 2003: 95).
Komunikasi antarbudaya dalam konteks ini menunjuk kepada komunikasi
antaretnis, dengan sub-sub budayanya. Pihak-pihak yang terlibat dalam
komunikasi berasal dari kelompok-kelompok etnis yang berbeda. Sub-sub budaya
ini menunjuk kepada kelompok masyarakat atau komunitas sosial, etnis, regional,
ekonomis, yang menunjukkan pola-pola tingkah laku dengan ciri khas tertentu dan
10
memadai untuk dapat dibedakan dari kelompok-kelompok masyarakat yang lain
dalam satu kesatuan budaya atau masyarakat.
Sebagai salah satu bidang studi dari ilmu komunikasi, komunikasi
antarbudaya mempunyai objek formal, yakni mempelajari komunikasi
antarpribadi yang dilakukan oleh seseorang komunikator sebagai produsen pesan
dari satu kebudayaan dengan konsumen pesan atau komunikan dari kebudayaan
lain. Komunikasi antarbudaya berkaitan dengan hubungan timbal balik antara
sifat-sifat yang terkandung dalam komunikasi, kebudayaan pada gilirannya
menghasilkan sifat-sifat komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2001: 26-28).
2.1.1 Asumsi-Asumsi Komunikasi Antarbudaya
Dalam konteks ini merujuk pada perilaku komunikasi yang terjadi pada
organisasi Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa/Pelajar Indonesia Sulawesi Selatan
Cabang Malang yang mana proses komunikasi terjadi dalam ruang lingkup
komunikasi antarbudaya, dikarenakan peserta komunikasi yang terlibat berasal
dari latar belakang budaya yang berbeda. Dalam rangka memahami komunikasi
antarbudaya maka kita harus mengenal beberapa asumsi komunikasi antarbudaya
yang telah dirangkum Alo Liliweri dalam bukunya (2003: 15-16), yaitu:
1. Perbedaan Persepsi Antara Komunikator Dengan Komunikan
Apapun konteks dan bentuk komunikasi selalu terkandung di dalamnya
perbedaan iklim antara komunikator dengan komunikan. Ini adalah prinsip utama
dalam komunikasi antarbudaya. Karena ada perbedaan iklim budaya tersebut
maka pada umumnya perhatian teoritis atau praktis dari komunikasi selalu
difokuskan pada pesan-pesan yang menghubungkan individu atau kelompok dari
dua situasi budaya yang berbeda (Liliweri, 2003: 16). Perbedaan-perbedaan sudut
11
pandang atau persepsi antara komunikator dengan komunikan tidak jarang
berbentuk perbedaan persepsi terhadap norma-norma budaya, pola-pola pikir,
struktur budaya, dan sistem budaya.
2. Komunikasi Antarbudaya Mengandung Isi dan Relasi Antarpribadi
Watzlawick, Beavin, dan Jackson (dalam Liliweri, 2003:17) menekankan
bahwa isi (content of communication) komunikasi tidak berada dalam sebuah
ruang yang terisolasi. Isi (content) dan makna (meaning) adalah dua hal yang
tidak dapat dipisahkan, dua hal yang esensial dalm membentuk relasi (relations).
Sederhananya relasi antara manusia mempengaruhi bagaimana isi dan makna
pesan diinterpretasi. Misalnya, kita memilki teman yang meminta tolong kita agar
membuatkan segelas kopi akan beda halnya dengan seorang atasan yang meminta
tolong kita agar membuatkan segelas kopi. Kita akan menangkap pesan dari
teman kita sebagai sebuah permintaan sehingga kita dengan mudah mengiyakan
atau menolak permintaannya. Berbeda dengan makna yang kita tangkap jika
atasan yang memita hal tersebut, kita akan beranggapan bahwa itu adalah sebuah
perintah sehingga kita tidak bisa menolak dan harus melaksanakannya.
3. Gaya Personal Mempengaruhi Komunikasi Antarpribadi
Komunikasi antarbudaya bermula dari komunikasi antarpribadi di antara
peserta komunikasinya. Setiap orang memiliki gaya komunikasinya sendiri,
beberapa memilki gaya komunikasi yang menunjukkan dominasi da nada
beberapa orang yang memakai gaya komunikasi yang submisif. Dalam
menerangkan pengaruh gaya personal tersebut Candia Elliot dalam (Liliweri,
2003:18) mengatakan “secara normatif komunikasi antarpribadi itu mengandalkan
gaya berkomunikasi yang dihubungkan dengan nilai-nilai yang dianut orang.
12
Dalam berkomunikasi kita pasti pernah bertemu orang-orang yang berbeda
gaya komunikasinya, ada yang bersikap terbuka, tertutup, otoriter, berbicara tanpa
henti atau sebaliknya hanya mendengarkan. Pengalaman sosial dan berkomunikasi
dengan macam-macam orang yang berasal dari budaya yang berbeda membuat
kita semakin berpengalaman, berpendapat, dan mungkin memberikan suatu
evaluasi secara kognitif tentang gaya personal maupun gaya kelompok tertentu.
4. Tujuan Komunikasi Antarbudaya: mengurangi tingkat ketidakpastian
Pada saat pertemuan antarpribadi, kita sering bertemu dengan beberapa
ambiguitas tentang relasi, seperti bagaimana perasaan dia terhadap saya? Apa
yang saya saya peroleh jika saya berkomunikasi dengan dia? Kebingungan ini
memaksa kita untuk berkomunikasi sehingga merasa diri kita dalam suasana
hubungan yang lebih pasti. Komunikasi antarbudaya menekankan tujuan
komunikasi antarbudaya untuk mengurangi tingkat ketidakpastian orang lain.
Gudykunstt dan Kim dalam (Liliweri, 2003:19) menunjukkan bahwa
orang-orang yang kita tidak kenal selalu berusaha mengurangi tingkat
ketidakpastian melalui peramalan yang tepat atas relasi antarpribadi. usaha untuk
mengurangi tingkat ketidakpastian itu dapat dilakuka melalui tiga tahap interaksi,
yakni:
a. Pra-kontra atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun
non verbal (apakah komunikan suka berkomunikasi atau menghindari
komunikasi).
b. Initial contact and impression, yaitu tanggapan lanjutan atas kesan yang
muncul dari kontak awal tersebut.
13
c. Closure, mulai membuka diri dari yang semula tertutup melalui atribusi
dan pengembangan kepribadian implisit. Teori atribusi menganjurkan agar
kita harus lebih mengerti perilaku orang lain dengan menyelidiki motivasi
atas suatu perilaku atau tindakan dia.
5. Komunikasi Berpusat pada Kebudayaan
Dalam buku Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya karya Liliweri
(2003:20-21). Gatewood berpendapat bahwa kebudayaan meliputi seluruh
kemanusiaan itu sangat banyak, dan hal tersebut meliputi seluruh periode waktu
dan tempat. Jadi artinya jika komunikasi itu adalah sebuah bentuk, metode, teknik,
proses sosial dari kehidupan manusia yang membudaya maka komunikasi ialah
sebuah sarana bagi transmisi kebudayaan, oleh karena itu kebudayaan itu sendiri
merupakan komunikasi. Diperjelas dengan pendapat Smith masih pada buku yang
sama bahwa “Komunikasi dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan” Dan Eward T.
Hall mengatakan “Komunikasi adalah kebudayaan dan kebudayaan adalah
komunikasi”. Dalam tema tentang kebudayaan dan komunikasi. Sekurang-
kurangnya ada dua penjelasan yang lebih terperinci; pertama, dalam kebudayaan
ada sistem yang berubah-ubah yang mengatur tata cara pertukaran simbol-simbol
komunikasi. Kedua, hanya dengan proses komunikasi maka pertukaran simbol-
simbol dapat dilakukan, sehingga kebudayaan hanya akan tercipta jika ada
komunikasi.
6. Tujuan Komunikasi Antarbudaya adalah Efektivitas Antarbudaya
Dapat dikatakan dalam bersosial tidak akan terjadi dan tidak efektif jika
tidak berkomunikasi, demikian juga dalam berinteraksi antarbudaya yang efektif
sangat bergantung pada komunikasi antarbudaya. Hal tersebut menjelaskan bahwa
14
tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai (komunikasi yang sukses) bila
bentuk-bentuk hubungan antarbudaya mencerminkan upaya yang sadar dari
peserta komunikasi untuk memperbaharui relasi antara komunikator dengan
komunikan, menciptakan serta memperbaharui sebuah manajemen komunikasi
yang efektif, seperti terciptanya persahabatan, semangat kesetiakawanan sehingga
mengurangi potensi konflik.
2.1.2 Fungsi Komunikasi Antarbudaya
Menurut (Darmastuti, 2013: 78), Fungsi pribadi dari komunikasi
antarbudaya adalah fungsi yang didapatkan seseorang dan dapat digunakan dalam
kehidupan mereka ketika mereka belajar tentang komunikasi dan tentang budaya.
Fungsi pribadi tersebut meliputi dari fungsi-fungsi untuk:
a. Menyatakan identitas sosial
Perilaku ini dinyatakan melalui tindakan bahasa baik secara verbal
maupun nonverbal. Dari perilaku berbahasa itulah orang akan tahu
identitas diri atau sosial dari seseorang individu.
b. Menyatakan integritas sosial
Menerima kesatuan dan persatuan antarpribadi, antarkelompok, namun
tetap mengakui perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur.
c. Menambah pengetahuan
Latar belakang budaya yang berbeda yang menjadi perbedaan diantara dua
orang partisipan dalam komunikasi merupaka sumber pembelajaran
diantara mereka. Akibatnya komunikasi antarbudaya menambah
pengetahuan bersama, saling mempelajari budaya lain.
15
d. Melepaskan diri/jalan keluar
Sebagai makhluk sosial, sering kali seorang individu ketika berkomunikasi
dengan individu lainnya mempunyai tujuan untuk melepaskan diri atau
mencari jalan keluar atas masalah yang dihadapinya.
2.2 Komunikasi Sebagai Proses Budaya
Asumsi dasarnya (Nurudin, 2011) adalah komunikasi merupakan suatu
proses budaya. Artinya, komunikasi yang ditujukan pada orang atau kelompok
lain tak lain adalah sebuah pertukaran kebudayaan. Misalnya, anda berkomunikasi
dengan suku Aborigin Australia, secara tidak langsung anda sedang
berkomunikasi berdasarkan kebudayaan tertentu milik anda untuk menjalin kerja
sama atau mempengaruhi kebudayaan lain. Dalam proses tersebut terkandung
unsur-unsur kebudayaan, salah satunya adalah bahasa. Sedangkan bahasa adalah
alat komunikasi. Dengan demikian, komunikasi juga disebut sebagai proses
budaya. Maka komunikasi nyata menjadi sebuah wujud dari kebudayaan, dengan
kata lain, komunikasi bisa disebut sebagai proses kebudayaan yang ada dalam
masyarakat. Ditinjau secara lebih konkrit hubungan antara komunikasi dengan
kebudayaan akan semakin jelas yaitu:
1. Dalam mempraktikan komunikasi manusia membutuhkan peralatan-
peralatan tertentu. Secara minimal komunikasi membutuhkan sarana
berbicara, seperti mulut, bibir dan hal-hal yang berkaitan dengan bunyi.
2. Komunikasi menghasilkan mata pencarian hidup manusia.
3. Sistem kemasyarakatan menjadi bagian tak terpisahkan dari komunikasi.
4. Komunikasi akan menemukan bentuknya secara lebih baik manakala
menggunakan bahasa sebagai alat penyampaian pesan kepada orang lain.
16
5. Sistem pengetahuan atau ilmu pengetahuan merupakan substansi yang tak
lepas dari komunikasi. (Nurudin, 2011:49)
2.3 Budaya dan Komunikasi
Hubungan antar budaya dan komunikasi penting dipahami untuk
memahami komunikasi antarbudaya, oleh karena melalui pengaruh budayalah
orang-orang belajar berkomunikasi. Perilaku mereka dapat mengandung makna,
sebab perilaku tersebut dipelajari dan diketahui, dan perilaku itu terikat oleh
budaya. Orang-orang memandang dunia mereka maelalui kategori-kategori,
konsep-konsep, dan label-label yang dihasilkan budaya mereka.
Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang
mirip pula terhadap suatu objek sosial atau peristiwa. Cara-cara kita
berkomunikasi, keadaan-keadaan komunikasi kita, bahasa dan gaya bahasa yang
kita gunakan, dan perilaku-perilaku nonverbal kita, semua itu terutama merupakan
respons terhadap dan fungsi budaya kita. Komunikasi itu terikat oleh budaya.
Sebagaimana budaya diantara yang satu dengan yang lainnya, maka praktik dan
perilaku komunikasi individu-individu yang diasuh dalam budaya-budaya tersebut
pun akan berbeda pula (Mulyana, 2004: 24).
2.4 Sifat-Sifat Pesan Dalam Komunikasi
2.4.1 Komunikasi Verbal
Suatu sistem kode verbal disebut bahasa. Bahasa dapat didefinisikan
sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-
simbol tersebut, digunakan dan dipahami suatu komunitas. Bahasa verbal adalah
sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita. Bahasa
verbal menggunakan kata-kata yang mempresentasikan berbagai aspek realitas
17
individual kita. Kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang tidak mampu
menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili
kata-kata itu. Bila kita menyertakan budaya sebagai variabel dalam proses abstrak
itu, problemnya menjadi semakin rumit. Ketika kita berkomunikasi dengan
seseorang dari budaya kita sendiri, proses abstraksi untuk merepresentasikan
pengalaman kita jauh lebih mudah, karena dalam suatu budaya orang-orang
berbagai sejumlah pengalaman serupa. Namun bila komunikasi melibatkan orang-
orang berbeda budaya, banyak pengalaman berbeda, dan konsekuensinya, proses
abstraksi juga menyulitkan. Bahasa terikat oleh konteks budaya. Dengan
ungkapan lain, bahasa dapat dipandang sebagai perluasan budaya. Menurut
Hipotesis Sapir Whorf, sering juga disebut teori Relativitas Linguistik, sebenarnya
setiap bahasa menunjukan suatu dunia simbolik yang khas, yang melukiskan
realitas pikiran, pengalaman batin, dan kebutuhan pemakaiannya. Jadi bahasa
yang berbeda sebenarnya mempengaruhi pemakaiannya untuk berpikir, melihat
lingkungan, dan alam semesta di sekitarnya dengan cara yang berbeda, dan
karenanya berperilaku secara berbeda pula (Mulyana, 2004: 260).
2.4.2 Komunikasi Nonverbal
Secara sederhana, pesan nonverbal adalah isyarat yang bukan kata-kata.
Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi nonverbal
mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting
komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh
individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima, jadi
definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian
dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan, kita mengirim banyak pesan
18
nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain.
Sebagaimana subkultur pun sering memiliki bahasa nonverbal, misalnya bahasa
tubuh, bergantung pada jenis kelamin, agama, usia, pekerjaan, pendidikan, kelas
sosial, tingkat ekonomi, lokasi geografis, dan sebagainya.
Sebagaimana kata-kata, kebanyakan isyarat nonverbal juga tidak universal,
melainkan terikat oleh budaya, jadi dipelajari, bukan bawaan. Sedikit saja isyarat
nonverbal yang merupakan bawaan. Sebagaimana budaya, subkultur pun sering
memiliki bahasa nonverbal yang khas. Dalam suatu budaya boleh jadi terdapat
variasi budaya nonverbal, misalnya, bahasa tubuh, bergantung pada jenis kelamin,
agama, usia, pekerjaan, pendidikan, kelas sosial, tingkat ekonomi, lokasi
geografis, dan sebagainya (Mulyana, 2004: 343).
2.5 Dominasi Budaya
Budaya dominan adalah sebuah kebudayaan yang menonjol dalam suatu
masyarakat yang mengacu pada bahasa yang didirikan, budaya, agama, perilaku,
nilai-nilai, ritual, dan kebiasaan sosial. Dalam konteks ini merujuk pada individu-
individu yang terdapat pada organisasi Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa/Pelajar
Indonesia Sulawesi Selatan Cabang Malang, di mana individu-individu tersebut
merasakan bagaimana budaya dominan seolah “mem-format” mereka sesuai
dengan nilai-nilai budaya dominan, pemaksaan sudut pandang dan pembauran
simbol-simbol yang seakan menyulitkan mereka untuk mempertahankan nilai
identitas budayanya dalam memaknai setiap realitas.
Kegunaan hipotesis kebudayaan dominan yang dibuat sebagai model
analisis. Hipotesis kebudayaan dominan adalah sebuah model substantif yang
merefleksikan kenyataan hubungan antar sukubangsa dalam sebuah konteks
19
struktur kekuatan setempat. Produk dari hubungan antarsuku tersebut ditentukan
oleh corak hubungan di antara suku-suku bangsa yang ada, dan oleh corak
hubungan antara masing-masing suku bangsa tersebut dengan struktur kekuatan
setempat yang ada (Bruner, 1974).
Dalam hipotesis kebudayaan dominan tercakup tiga unsur yang masing-
masing berdiri sendiri, tetapi satu sama lainnya saling berhubungan, dan
menentukan corak kesukubangsaan atau produk dan hubungan antar sukubangsa
yang terjadi. Unsur-unsur tersebut adalah:
1. Demografi sosial yang mencakup rasio populasi dan corak heterogenitas
serta tingkat percampuran hubungan di antara suku-suku bangsa yang ada
dalam sebuah konteks latar tertentu;
2. Kemantapan atau dominasi kebudayaan suku bangsa setempat, bila ada,
dan cara-cara yang biasanya dilakukan oleh anggota-anggota kelompok-
kelompok suku bangsa pendatang dalam berhubungan dengan suku-suku
bangsa setempat dan penggunaan kebudayaan masing-masing serta
pengartikulasiannya.
3. Keberadaan dan kekuatan sosial dan pendistribusiannya di antara berbagai
kelompok suku bangsa yang hidup dalam konteks latar tersebut.
2.6 Teori Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan
kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu itu bukanlah
sesorang yang bersifat pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan atau struktur-struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan
bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit
20
diramalkan. Oleh karena individu akan terus berubah maka masyarakat pun akan
berubah melalui interaksi itu. Struktur itu tercipta dan berubah karena interaksi
manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil
terhadap seperangkat objek yang sama (Mulyana, 2001: 59). Jadi, pada intinya,
bukan struktur masyarakat melainkan interaksi lah yang dianggap sebagai variabel
penting dalam menentukan perilaku manusia.
Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan
interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas
yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang
diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia
dari sudut pandang subjek. Perspektf ini menyarankan bahwa perilaku manusia
harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan
mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang
menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain,
situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia.
Sebagaimana ditegaskan Blumer, dalam pandangan interaksi simbolik, proses
sosial dalam kehidupan kelompok yang menciptakan dan menegakkan
aturanaturan, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam
proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang
memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru
merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial
(Mulyana, 2001: 68-69).
Teori ini berpandangan bahwa kenyataan sosial didasarkan kepada definisi
dan penilaian subjektif individu. Struktur sosial merupakan definisi bersama yang
21
dimiliki individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok, yang
menghubungkannya satu sama lain. Tindakan-tindakan individu dan juga pola
interaksinya dibimbing oleh definisi bersama yang sedemikian itu dan
dikonstruksikan melalui proses interaksi.
2.7 Kajian Tentang Budaya
2.7.1 Pengertian Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa,
sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia
sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.
Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda
budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya
itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks,
abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial
manusia (Mulyana dan Rahmat, 2006:25).
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J.
Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang
terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana
22
hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Kebudayaan juga bisa diartikan sebagai
keseluruhan simbol, pemaknaan, penggambaran, struktur aturan, kebiasaan, nilai,
pemrosesan informasi, dan pengalihan pola-pola konvensi pikiran, perkataan, dan
perbuatan atau tindakan yang dibagikan diantara para anggota suatu system social
dan kelompok social dalam suatu masyarakat (Liliweri, 2001:4).
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan
oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda
yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup,
organisasi sosial, religi, seni, dan lainlain, yang kesemuanya ditujukan untuk
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
2.7.2 Ciri-Ciri Budaya
Kebudayaan mencakup 7 unsur universal sesuai urutan dari yang lebih
sukar berubah, yaitu: (1) Sistem religi & upacara keagamaan; (2) Sistem dan
organisasi kemasyarakatan; (3) Sistem pengetahuan; (4) sistem bahasa; (5) Sistem
kesenian; (6) Sistem matapencarian hidup; dan (7) Sistem teknologi dan peralatan.
Kebudayaan adalah khas hasil manusia, karena di dalamnya, manusia menyatakan
dirinya sebagai manusia, mengembangkan keadaannya sebagai manusia, dan
memperkenalkan dirinya sebagai manusia. Dalam kebudayaan, bertindaklah
manusia sebagai manusia dihadapan alam, namun ia membedakan dirinya dari
alam dan menundukkan alam bagi dirinya (Koentjaraningrat, 2004:45).
Liliweri (2001:64) menjelaskan ciri-ciri khas kebudayaan adalah sebagai
berikut :
1. Bersifat historis. Manusia membuat sejarah yang bergerak dinamis dan
selalu maju yang diwariskan secara turun temurun.
23
2. Bersifat geografis. Kebudayaan manusia tidak selalu berjalan
seragam,ada yang berkembang pesat dan ada yang lamban, dan ada pula
yang mandeg (stagnan) yang nyaris berhenti kemajuannya. Dalam
interaksidengan lingkungan, kebudayaan kemudian berkembang pada
komunitas tertentu, dan lalu meluas dalam kesukuan dan kebangsaan/ras.
Kemudian kebudayaan itu meluas dan mencakup wilayah/regional, dan
makin meluas dengan belahan-bumi. Puncaknya adalah kebudayaan
kosmo (duniawi) dalam era informasi dimana terjadi saling melebur dan
berinteraksinya kebudayaan-kebudayaan.
Bersifat perwujudan nilai-nilai tertentu. Dalam perjalanan kebudayaan,
manusia selalu berusaha melampaui (batas) keterbatasannya. Di sinilah manusia
terbentur pada nilai, nilai yang mana, dan seberapa jauh nilai itu bisa
dikembangkan dan sampai batas mana keanekaragaman adat istiadat, agama, seni,
budaya, dan bahasa yangberkembang di Indonesia melahirkan adanya kebudayaan
nasional dan kebudayaan daerah. Kebudayaan daerah memiliki ciri khas
tersendiri.
2.8 Pemahaman Tentang Identitas Budaya
2.8.1 Identitas Budaya
Dalam praktik komunikasi identitas tidak hanya memberikan makna
tentang pribadi seseorang, tetapi lebih jauh dari itu menjadi ciri khassebuah
kebudayaan yang melatarbelakanginya. Dan dari ciri khas tersebut seseorang
dapat menemukan dari mana orang yang dia kenal (Liliweri, 2001:68).
Secara etimologis, kata identitas berasal dari kata identity yang berarti (1)
Kondisi atau kenyataan tentang sesuatu yang sama, suatu keadaan yang mirip satu
24
sama lain; (2) Kondisi atau fakta tentang sesuatu yang sama diantara dua orang
atau dua benda; (3) Kondisi atau fakta yang menggambarkan sesuatu yang sama
diantara dua orang individu atau dua kelompok atau benda.
Bagan 2.1 Terbentuknya Identitas Budaya
Identitas budaya adalah rincian karakteristik atau ciri-ciri sebuah
kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang diketahui batas-batasnya
tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan orang lain.
Juga berarti jika seseorang ingin mengetahui dan menetapkan identitas budaya,
maka tidak hanya menentukan karakteristik atau ciri-ciri fisik atau biologis
semata, tetapi mengkaji identitas kebudayaan sekelompok manusia melalui
tatanan berfikir (cara berpikir, orientasi berpikir), perasaan (cara merasa dan
orientasi perasaan), dan cara bertindak (motivasi tindakan atau orientasi tindakan).
Kenneth Burke menjelaskan, bahwa untuk menentukan identitas budaya
itu sangat tergantung pada „bahasa‟ (sebagai unsur nonmaterial), bagaimana
representasi bahasa menjelaskan sebuah kenyataan atas semua identitas yang
dirinci kemudian dibandingkan. Menurutnya, persamaan identitas seseorang atau
sesuatu itu selalu mengikuti konsep penggunaaan bahasa, terutama untuk mengerti
suatu kata secara denotatif atau konotatif (Liliweri, 2001:72).
Identitas budaya dapat diartikan sebagai suatu ciri berupa budaya yang
membedakan suatu bangsa atau kelompok masyarakat dengan kelompok yang
lainnya. Setiap kelompok masyarakat atau bangsa pasti memiliki budaya sendiri
yang berbeda dengan bangsa lainnya. Dalam hal ini, Indonesia yang memiliki
Struktur Budaya
Pola Persepsi,
Berpikir,
Perasaan
Identitas Budaya
25
berbagai macam etnis dan suku bangsa yang juga memiliki berbagai macam
budaya yang berbeda-beda. Budaya yang dimiliki oleh masing-masing kelompok
tersebut tentunya memiliki ciri atau keunikan tersendiri dibandingkan dengan
kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Dan hal tersebutlah yang membedakan
budaya antar suku atau kelompok masyarakat di Indonesia.
Liliweri (2004:14) mengatakan bahwa etnisitas adalah konsep yang
menjelaskan suatu kelompok orang berdasarkan kebudayaan yang dia warisi dari
generasi sebelumnya. Nilai budaya dan norma yang membedakan anggota suatu
kelompok etnik umumnya mempunyai kesadaran atas nilai dan norma budaya
yang sama, bahkan menjadikannya sebagai identitas budaya untuk membedakan
atau memisahkan diri dengan kelompok lain di sekeliling mereka. Pun
penggolongan etnik didasarkan pada hubungan, artinya atas dasar apa sekelompok
orang berhubungan satu sama lain. Bahkan, itu dijadikan sebagai identitas
sekaligus identifikasi dari individu bahwa mereka merupakan bagian dari
kelompok etnik mana.
Mary Jane Collier (1994:36) menawarkan sebuah perspektif alternatif yang
dapat meraih dua tujuan sekaligus. Tujuan pertama: memahami mengapa kita dan
orang lain berperilaku dengan cara tertentu. Tujuan kedua: mempelajari apa yang
bisa kita lakukan untuk meningkatkan kelayakan dan efektivitas komunikasi kita.
Kedua tujuan ini bisa diraih dengan memandang komunikasi dari perspektif
penentuan peran (enactment) identitas budaya.
Pendekatan terhadap budaya ini terfokus pada bagaimana individu-
individu memainkan peranan pada satu atau lebih identitas budaya. Persoalan
yang dijawab di sini antara lain: (1) Apa itu identitas budaya?; (2) Bagaimana
26
identitas budaya yang majemuk dicipta bersama dan dinegosiasikan dengan yang
lainnya?; (3) Bagaimana pengetahuan mengenai pendekatan identitas budaya
membantu kita menjadi lebih kompeten saat berurusan dengan orang-orang yang
mengambil identitas yang berbeda dengan identitas kita?; dan (4) Apa keuntungan
pendekatan demikian pada riset komunikasi antar-budaya, pelatihan dan
penerapannya?
2.8.2 Jenis-Jenis Identitas Budaya
Mengenai jenis-jenis budaya, Collier menggunakan tipologi berdasarkan
kesamaan yang diakui bersama oleh anggotanya. Sekali kelompok terumuskan
sebagai suatu unit, suatu kategori budaya akan dikembangkan. Kategori ini
disusun mulai dari yang paling umum hingga yang paling spesifik. Perbedaan
dengan Hofstede adalah kategori budaya menurut generasi (Hofstede) dan
kategori budaya menurut geografi (Collier). Porter dan Samovar menggunakan
kategori budaya berdasarkan konteks (high-dan low-context culture).
Sementara (Kim, 1994:17-18) memberikan perbedaan atas konsep kategori
budaya adalah kategori region/subregion dunia dan individu. Pengelompokkan
Hofstede berdasarkan kategori dan kelompok atas level budaya jelas mendukung
kategori budaya nasional oleh Collier yang prediksinya melalui generalisasi.
Melalui perspektif komunikasi, identitas budaya seseorang merupakan
sesuatu yang muncul ketika terjadi pertukaran pesan, yang dinegosiasikan,
dicipta-bersama dan diperteguh atau ditantang saat berkomunikasi. Dengan kata
lain, identitas budaya lebih bersifat sosiologis ketimbang psikologis. Identitas
budaya meliputi tujuh karakteristik (property) (Javidi & Javidi 1994: 92).
27
1. Persepsi-diri : baik berupa penggambaran diri sendiri (avowal) maupun
penggambaran diri oleh orang lain (ascription), misalnya melalui
stereotype dan penamaan (attribution). Porter & Samovar tidak
menjelaskan hal demikian, kecuali mengenai persepsi terhadap objek
sosial. Mengenai hal ini, Collier memberi contoh identitas wanita Zulu
yang sangat ditentukan oleh pihak lain. Sementara di Jepang, persepsi-diri
(identitas budaya) memiliki makna subjektif dan makna yang diberikan
(disebut amae). Amae menandai (signifies) orientasi pada pihak
lain/orientasi-kelompok dan rasa tanggung jawab terhadap kelompok.
Amae merepsentasikan saling ketergantungan makna subjektif dan yang
diberikan dalam suatu hubungan yang merupakan sistem fungsional dan
menjunjung hubungan yang terjaga. Hal ini tak berlaku di Amerika.
Dengan demikian, karakteristik ini bagi tiap budaya bisa bersifat unik.
2. Acara ekspresi melalui simbol-simbol inti yang berisi definisi, premis, dan
proposisi tentang manusia dan alam. Mereka mengekspresikan keyakinan
budaya; menunjukan ide dan konsep sentral dan perilaku sehari-hari,
misalnya cara berpakaian atau label atau norma yang dibentuk berdasarkan
simbol. Ini mengarahkan apa yang diharapkan dan kriteria untuk
memutuskan atau menilai. Contoh tentang Amerika (dengan ekspresi-diri
sebagai simbol inti) dan Amerika keturunan Afrika (keaslian,
ketakberdayaan dan daya ekspresifnya sebagai simbol inti)
memperlihatkan keunikan masing-masing.
3. Bentuk identitas bisa dilihat dari sudut pandang individu tentang
maknanya menjadi warga Amerika atau Indonesia. Jika kita ingin tahu
28
mengapa ia berperilaku demikian, kita minta ia menjelaskan identitas
budaya itu serta pengalamannya sebagai anggota kelompok. Kita
memandangnya dari sudut hubungan, ketika kita mengamati interaksinya
dengan orang lain, teman, sejawat, atau keluarga. Di sini kita bicara soal
kepercayaan dan kekuasaan. Persahabatan orang Amerika keturunan
Meksiko ditekankan pada pentingnya dukungan, kepercayaan, keakraban,
dan komitmen terhadap hubungan. Ini berbeda dengan yang diungkap
bahwa budaya Barat melihat persahabatan dengan activity-orientation
yang tidak mapan. Dari sudut pandang kebersamaan (communal) kita
melihat kontek komunikasi publik dan aktivitas-aktivitas dalam
komunikasi melalui ritual, upacara dan perayaan hari besar. Dalam istilah
Javidi & Javidi kita melihat nilai-nilai formalitas dan informalitas. Ketiga
bentuk identitas tersebut memperlihatkan kemungkinan adanya perbedaan
penafsiran individual pada kelompok yang berbeda-beda dan komunitas
yang berbeda-beda pula
4. Kualitas identitas meliputi kelestarian dan perubahannya. Perubahan bisa
terjadi karena faktor-faktor ekonomi, politik, sosial, psikologis, dan
konteks. Misalnya, mengumumkan diri sebagai anggota kelompok "anti-
aborsi" akan berbeda ketika kita berhadapan dengan pendukung aborsi dan
ketika berhadapan dengan pendukung anti aborsi.
5. Komponen afektif, kognitif, dan behavioral identitas. Komponen afektif
(emosi dan rasa) mempengaruhi identitas budaya karena tergantung
situasinya. Terkadang pengakuan diri yang kuat bisa dianggap sebagai
ancaman, Komponen kognitif (world view dalam istilah Porter &
29
Samovar) yaitu keyakinan tentang identitas tersebut yang dimanifestasikan
ke dalam simbol inti, misalnya menjadi nama organisasi atau nama
kelompok. Komponen perilaku terfokus pada tindakan verbal dan
nonverbal anggota kelompok ini dipelajari. Collier menempatkan dimensi
budaya Hofstede di sini. Ini mengisyaratkan suatu keunikan yang mungkin
dimiliki suatu bangsa.
6. Isi dan hubungan. Artinya, pesan yang dikomunikasikan selain
mengandung informasi juga implikasi tetang siapa yang mengendalikan,
seberapa dekat/jauh percakapan itu, seberapa jauh rasa saling percaya
mereka dan tingkat keterlingkupan (inclusion) dan ketak-terlingkupan
(exclusion). Orang Meksiko-Amerika akan berbahasa Spanyol ketika
berkomunikasi di lingkungannya, tapi berbahasa Inggris ketika
berkomunikasi di sekolah atau tempat kerja karena pimpinannya
menghendaki demikian.
7. Perbedaan kemenonjolan dan intensitas tergantung pada konteks dan
waktunya. Ketika Collier menyadari dirinya seorang profesor wanita
Amerika kulit putih di Afrika Selatan, ia adalah minoritas dengan
stereotype negatif. Namun, ketika mengetahui rendahnya perlakuan
terhadap wanita, identitas kewanitaannya menonjol dan menuntut
kesamaan upah untuk pekerjaan yang sama.
Indonesia sebagai sebuah bangsa, dalam kategori (Javidi & Javidi 1994:
114) merupakan bangsa Timur atau high-context culture menurut istilah Poter &
Samovar. Karena itu, ikatan-ikatan antar-pribadinya akan memperlihatkan
karakteristik berikut:
30
1. Konsep-diri: Diri dipersepsi sebagai homogen dengan individu lain,
bagian dari kelompok (kolektivistik), memiliki sifat hubungan yang
vertikal. Dengan demikian, konsep-diri dipandang kurang penting. Orang
harus memelihara kelompok daripada diri. Kelompok merupakan identitas
sosial seseorang. Individu wajib menyesuaikan diri dengan norma dan
nilai, dan kesepakatan hubungan sosial berdasarkan hubungan antar orang.
2. Budaya Being: Konsep kelahiran, usia, latar belakang keluarga, jenjang
dipandang lebih penting daripada pencapaian. Dengan kata lain, siapa dia
lebih penting daripada apayang dilakukannya. Karena itu, diperlukan
cukup waktu untuk mendalami latar belakang seseorang sebelum
mempererat hubungan.
3. Hubungan bersifat komplementer, tidak setara: Orang dibagi-bagi ke
dalam sejumlah pengelompokan yang distruktur dengan tingkatan hirarkis.
Dalam interaksinya, individu di puncak hirarki cenderung memperbesar
perbedaan usia, seks, peran status dan fungsinya dibanding individu di
hirarki bawah.
4. Formalitas: Dalam budaya vertikal, komunikatornya formal karena
hubungan antar orangnya simetris. Formalitas dalam hubungan antar-
pribadi (misal; Jepang) merupakan hal esensial. Nilai formalitas dalam
gaya verbal dan nonverbalnya memungkinkan interaksi yang khas dan
terduga. Tanpa tahu status, mereka tidak bisa berkomunikasi karena gaya
komunikasi verbal dan nonverbal tergantung pada status. Hal ini
menandakan suatu budaya konteks tinggi (high-context culture).
31
5. Reduksi Ketidakpastian: Karena bersifat high-context, pesan banyak
terkandung dengan konteks fisik atau terinternalisasi dalam diri seseorang;
dan sedikit yang terkandung dalam tanda-tanda; yang ditransmisikan dan
terlihat dalam pesan. Dengan komunikasi yang bersifat high-context,
strateginya lebih banyak non-oral daripada yang oral. Norma dan nilainya
homogen pada banyak aspek yang diklasifikasi sebagai budaya
kolektivistik, menciptakan koridor budaya yang bersifat ketat, norma-
norma yang menekan, toleransi terhadap penyimpang sangat kecil, serta
sanksi yang diterapkan pada tiap penyimpang
6. Penerimaan secara umum: Budaya yang homogen dan kurang teknologis
membentuk hubungan yang sesuai dengan kelahiran, sekolah, kerja dan
tempat tinggal. Hubungan akrab cenderung berkembang sebagai
konsekuensi perpanjangan afiliasi ketimbang melalui pencarian hubungan
secara aktif. Banyak komunikasi antar-pribadi yang tidak tergantung
padaaktivitas khusus. Tekanan mereka adalah pada penerimaan yang lebih
digeneralisasikan pada keseluruhan orang, berorientasi pada orang. Sekali
suatu hubungan terbangun dalam keakraban, maka hubungan itu
diharapkan seumur hidup.
Karakteristik demikian, seperti dinyatakan Collier, bersifat general atau
merupakan abstraksi bagi sebuah budaya nasional. Sementara itu, bangsa
Indonesia tidaklah berasal dari satu nenek moyang. Sebaliknya, bangsa ini berasal
dari berbagai suku bangsa (etnis). Ini berarti di Indonesia sendiri sering terjadi
interethnic communication (komunikasi antar budaya etnis). Mengacu pada
Hofstede, kita masih bisa membandingkan dimensi-dimensi budaya antar etnis.