bab ii tinjauan pustaka 2.1 keterampilan sosial 2.1.1 pengertian keterampilan sosial · 2015. 3....
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keterampilan Sosial
2.1.1 Pengertian Keterampilan Sosial
Penyesuaian sosial merupakan salah satu aspek psikologis yang sangat
perlu dikembangkan dalam kehidupan individu, mencakup penyesuain diri
dengan individu lain, baik di dalam maupun di luar kelompok yang
bersangkutan.Penyesuaian sosial dapat dicapai individu dengan mempelajari
pola tingkah laku yang diperlukan untuk kebiasaan- kebiasaan sedemikian,
sehingga tingkah laku tersebut cocok bagi kelompok di suatu lingkungan
sosial.
Sebagai alat untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya,
individu memerlukan keterampilan sosial. Secara umum pengertian
keterampilan sosial adalah tingkah laku yang di pelajari dan dapat di terima
oleh masyarakat yang memungkinkan individu memperolah respon positif
dalam berinteraksi dengan orang lain dan menghindari terhadap respon negatif
dari lingkungan individu (Cartledge dan Milburn dalam Victoria, 2001).
Keterampilan sosial sangat penting di dalam penyesuain sosial, individu
yang memiliki keterampilan sosial yang baik akan memiliki penyesuaian diri
12
yang baik pula, sebaliknya individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik
akan memiliki keterampilan sosial yang baik pula. Schloss dan Smith (1994).
memfokuskan keterampilan sosial dalam 2 hal yaitu: respon
keterampilan sosial yang menghasilkan, meningkatkan dan memelihara hasil
yang positif dari siswadan keterampilan sosial yang meningkatkan interaksi
positif antara siswa dengan orang lain.
Mappiare (dalam Tulak, 2010) mengartikan keterampilan sosial sebagai
kemampuan individu dalam berinteraksi sosial dengan masyarakat di
lingkungannyadalam rangka memenuhi kebutuhannya untuk dapat di terima
oleh teman sebayanya baik sejenis kelamin atau lawan jenis agar ia
memperoleh rasa di butuhkan dan rasa beharga. Adapun pendapat Michelson
dkk (dalam Tulak, 2010) menyebutkan bahwa keterampilan sosial merupakan
suatu keterampilan yang di peroleh individu melalui proses belajar, mengenai
cara-cara mengatasi atau melakukan hubungan sosial dengan tepat dan baik.
Definisi lain di kemukakan oleh Libet dan Lewinsohn (dalam Fajar,2007) yang
menjelaskan bahwa keterampilan sosial merupakan suatu kemampuan yang
kompleks untuk melakukan perbuatan yang akan di terima dan menghindari
perilaku yang akan di tolak oleh lingkungan.
Combs dan Slaby (dalam Victoria, 2001) mendefinisikan bahwa
keterampilan sosial adalah kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam
konteks sosial dengan cara yang spisifik, yang dapat di terima oleh masyarakat,
bermanfaat secara pribadi, saling menguntungkan dan terutama bermanfaat
13
bagi orang lain. Sebaliknya menurut Eisler, Miller dan Hersen
(1973)menunjukkan bahwa individu yang memiliki keterampilan sosial akan
bersuara lebih keras, lebih cepat merespon orang lain, memberikan jawapan
yang lebih rinci, lebih peka dan memahami, lebih banyak bertukar respon,
lebih terbuka dalam mengekspresikan diri di bandingkan dengan individu yang
kurang memilikiketerampilan sosial. Bellack dan Hersen (1977)
menghubungkan keterampilan sosial sebagai alat kemampuan individu
mengekspresikan perasaan positif dan negatif dalam hubungan interpersonal
tanpa harus kehilangan konsikuen dan reinforcement sosial dalam konteks
interpersonal yang lebih luas termasuk mengatur pengiriman respon verbal
maupun nonverbal secara tepat.
Philips (1978) mengemukakan suatu definisi keterampilan sosial yang
menekankan pada elemen makro dalam hubungan sosial di tinjau dari sudut
interaksi antar individu. Dia menyimpulkan bahwa seorang dianggap memiliki
keterampilan sosial apabilaseseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain
dalam cara yang memenuhi hak, kebutuhan, kepuasan dan keperluan-keperluan
untuk hal-hal yang dapat di terima tanpa menggangu hak-hak orang lain,
kebutuhan, kepuasan dan keperluan orang lain dan diharapkan terdapat suasana
bebas dan terbuka dalam berelasi dengan orang lain. Definisi ini mengacu pada
konsep yang lebih luas dan komplek, sebab menyangkut situasi sosial yang
bermacam-macam dan luas serta sulit diprediksi oleh individu.
Menurut Greesham dan Elliot (1987), keterampilan sosial dikaitkan
dengan penerimaan teman sebaya.Individu yang di terima dan populer di antara
14
teman sebaya di katakan memiliki keterampilan sosial yang baik.Keterampilan
sosial juga dikaitkan pada tingkah laku khusus yang bersifat situasional yang
memaksimalkan pemeliharaan atau mengurangi hukuman/menghentikan
reinforcement tertentu pada perilaku sosial. Disamping itu Gresham juga
mengatakan bahwa keterampilan seseorang adalah perilaku dalam situasi
tertentu, memprediksikan suatu hasil interaksi sosial yang penting bagi
individuyaitu penerimaan teman sebaya, popularitas, penilaian orang lain
(misalnya guru, dosen) tentang keterampilan sosial, prestasi akademik dan
tingkah laku sosial yang berkorelasi secara konsisten.
Pada hakekatnya keterampilan sosial adalah tingkah laku kompleks
yang terdiri atas berbagai perilaku sosial tunggal.Philips (1978)
mengemukakan keterampilan sosial pada elemen makro dalam hubungan sosial
di tinjau dari sudut interaksi antar individu. Dia menyimpulkan seseorang yang
mempunyai keterampilan sosial adalah individu yang dapat berkomunikasi
dengan orang lain dengan cara yang memenuhi hak, kebutuhan, kepuasan dan
kepeluan-keperluan untuk hal-hal yang dapat di terima tanpa menggangu hak-
hak, kebutuhan, kepuasan dan keperluan-keperluan orang lain dan diharapkan
terdapat suasana bebas dan terbuka dalam berelasi dengan orang lain. Definisi
ini mengacu pada konsep keterampilan sosial yang sangat luas dan komplek,
sebab menyangkut situasi sosial yang bermacam- macam dan luas yang sulit di
prediksi oleh individu.
Berdasarkan berbagai pendapat dan definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa keterampilan sosial keterampilan yang berinteraksi dengan orang lain
15
dalam konteks sosial baik secara spisifik maupun nonspisifik, yang dapat
diterima oleh masyarakat, individu, dan lingkungan yang bermanfaat bagi
sesama.
2.1.2 Konstruk Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial adalah konstruk psikologis yang bersifat
multidimensional. Menurut Gresham (dalam Victoria, 2001) merupakan
serangkaian tingkah laku interpersonal yang bersifat kompleks karena terdiri
dari tingkah laku interpersonal (keterampilan berbicara/percakapan,
bekerjasama, menolong orang lain), tingkah laku yang berhubungan dengan
diri sendiri (mengekspresikan perasaan, perilaku, moral, bersikap positif
terhadap diri sendiri)serta tingkah laku yang berkaitan dengan tugas (mengikuti
instruksi atau petunjuk, kerja mandiri dan sebagainya).
Shepherd (1983) mengatakan keterampilan sosial terdiri dari 2 komponen
yaitu komponen pengetahuan dan komponen perilaku. Komponen pengetahuan
mengacu pada keterampilan berfikir yang menentukan arah tindakan yang
masuk akal dalam berbagai situasi sosial. Komponen perilaku dapat di amati
dan dapat diukur. Komponen pengetahuan merupakan komponen kognitif,
bersifat covert dan merupakan mediator bagi munculnya keterampilan
sosial.Komponen kognitif meliputi keterampilan mempersepsi dan
mengiterpretasi situasi sosial yang dihadapi, serta menentukan perilaku atau
tindakan yang harus dimunculkan dalam situasi sosial yang sedang di
hadapi.Komponen ini mengacu pada perilaku atau respon-respon sosial yang
16
terdiri dari respon verbal dan nonverbal yang dapat diamati.Philip dalam
(L’Abate dan Milan, 1985), mengatakan bahwa konsep keterampilan sosial
sangat luas dan kompleks, karena menekankan elemen makro dalam hubungan
sosial di tinjau dari sudut interaksi antar individu serta menyangkut situasi
sosial yang bermacam- macam dan luas yang sulit dipredikisi oleh individu.
Dalam perkembangannya, Marlowe (1986) mengatakan bahwa
keterampilan sosial merupakan subkonstruk dari kecerdasan sosial. Ada 4
subkonstruk dari kecerdasan sosial yaitu minat sosial (social interest), kemauan
individu untuk berperilaku sosial (social self-efficacy), empati dan
keterampilan sosial (social skill). Social interest berhubungan dengan minat
atau kemauan individu untuk menaruh perhatian (concern) pada orang lain.
Social self-efficacy berkaitan dengan kemauan individu untuk berperilaku
sosial sebagaimana diharapkan.Empathy skill berkaitan dengan kemampuan
individu untuk memahami perasaan dan pikiran orang lain. Social skillmengacu
pada kemampuan individu untuk menunjukkan perilaku-perilaku sosialnya
dalam bentuk perilaku yang dapat diamati. Menurut Marlowe, konstruk
keterampilan sosial merupakan bagian dari kecerdasan sosial (berakar dari
pendapat Thorndike tentang kecerdasan sosial, 1920), lebih mengacu pada
perilaku tampak/over dalam berelasi dengan orang lain, serupa dengan
pendapat Shepherd.
Riggio (1986) berpendapat lain mengenai konstruk keterampilan sosial
yang terdiri dari sejumlah subkonstruk. Keterampilan sosial terdiri atas 2
domain yaitu domain emosi dan domain sosial.Domain emosi terdiri dari 3
17
kategori yaitu ekspresi emosi, kepekaan emosi dan kontrol emosi.Domain
sosial terdiri dari 3 kategori yang akhirnya berkemang menjadi 4 kategori yaitu
ekspresi sosial, kepekaan sosial, kontrol sosial dan manipulasi sosial.Emotional
expressive (ekspresi emosi) adalah kemampuan untuk berkomunikasi secara
non verbal, khusus dalam mengirimkan pesan-pesan emosional termasuk
mengekspresikan kondisi perasaan, sikap dan orientasi personalnya. Emotional
sensitivy (kepekaan emosi) mengacu pada keterampilan untuk menerima dan
menginterpretasikan komunikasi non verbal, termasuk sikap dan keyakinan
orang lain. Individu yang mempunyai kepekaan emosi dikatakan sebagai
individu yang memiliki kemampuan untuk mengempati kondisi orang lain.
Keterampilan ini di tandai dengan adanya keterampilan memperhatikan dan
keterampilan dengan menginterpretasikan sinyal-sinyal emosional orang lain.
Emotional control (kontrol emosi) adalah kemampuan untuk mengontrol dan
mengatur penampakan emosi (emotional display),termasuk kemampuan untuk
menunjukkan dan menyembunyikan perasaan tertentu dalam bentuk “topeng”.
Social expressivity (ekspresi sosial) mengacu pada kemampuan verbal
seseorang dalam mengekspresikan dirinya, misalnya hal-hal yang dirasakan
dan dipikirkan.
Orang yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam ekspresi sosial
biasanya terampil dalam memulai, mengarahkan dan mengakhiri suatu
pembicaraan dalam berbagai topik.Social sensitivity (kepekaan sosial) adalah
kemampuan untuk menerima dan menginterpretasikan komunikasi verbal
orang lain serta sensitif dan memahami norma-norma yang berkenaan dengan
18
perilaku sosial yang tepat. Social control (kontrol sosial) juga ditunjukan
dengan kemampuan mengarahkan dan memimpin komunikasi dalam suatu
interaksi sosial.Kontrol sosial meliputi juga kemampuan bermain peran,
kemampuan mengatur dan mengontrol perilaku verbal.Sosial manipulation(
manipulasi sosial) menunjukkan kemampuan individu untuk memanipulasi
orang lain atau mengubah situasi untuk mendapatkan suatu hasil dari kontak
sosial. Sebagai contoh, seseorang memikul kesalahan atau tanggung jawap
untuk melindungi orang lain (sikap berkorban untukorang lain).
Dalam penelitian ini, pengukuran keterampilan sosial mengacu pada
konstruk keterampialn sosial menurut Riggio (1986) yang terdiri atas 2 domain
yaitu domain emosi dan domain sosial.Domain emosi terdiri dari 3 kategori
yaitu ekspresi emosi, kepekaan sosial dan kontrol emosi.Domain sosial terdiri
dari 3 kategori yang akhirnya berkembang menjadi 4 kategori yaitu ekspresi
sosial, kepekaan sosial, kontrol sosial dan manipulasi sosial.
2.2. Bermain Peran (Role Play)
2.2.1. Pengertian Bermain Peran (Role Play)
Peran (role) bisa diartikan sebagai cara seseorang berperilaku dalam
posisi dan situasi tertentu. Gangel (1986) mengatakan bahwa Metode role play
adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan
imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan
dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati.
Pandangan senada dikemukakan oleh Blatner (2002) menurutnya role play
19
adalah sebuah metode untuk mengekspresikan hal-hal yang menyangkut situasi
sosial kompleks.
Role Play (bermain peran) merupakan suatu teknik pembelajaran untuk
menghadapi proses pemikiran dan perasaan yang majemuk secara efektif (Reni
Akbar- Hawadi dkk, 2001). Sedangkan pengertian metode Role Playmenurut
kiranawati (2007) adalah “suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran
melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa”.
Role play adalah suatu cara penguasaan bahan pelajaran melalui
pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan
penghayatan itu dilakukan siswa dengan memerankanya sebagai tokoh hidup
atau tokoh mati.Permainan ini pada umumnya di lakukan oleh lebih dari satu
orang. Hal ini tergantung kepada apa yang diperankan (Depdikbud, 1987 : 34).
Menurut Djahiri, Kosasih : 1980 pembelajaran bermain peran adalah
salah satu bentuk permainan pendidikan (Edu cational Game) yang di pakai
untuk menjelaskan perasaan, sudut pandang dan cara berfikir orang lain
(membayangkan diri sendiri dalam keadaan orang lain).
Menurut Yamin Martinis,(2005; 152) menyebutkan bahwa metode
bermain peran adalah metode yang melibatkan interaksi antara dua siswa atau
lebih tentang topik atau situasi. Siswa menerangkan masing-masing tokoh
sesuai tokoh yang ia lakoni, siswa berinteraksi dengan mereka yang melakukan
peran terbuka.
20
Menurut Bennet (Romlah,2001) bermain peran adalah suatu alat belajar
yang menggambarkan keterampilan-keterampilan dan pengertian-pengertian
mengenai hubungan antar mannusia dengan jalan memerankan situasi-situasi
yang pararel dengan yang terjadi dalam kehidupan yang sebenarnya.
Bannet menyebutkan ada dua macam permainan peranan, yaitu
sosiodrama dan psikodrama:
1. Sosiodrama
Sosiodrama adalah permainan peranan yang di tujukan untuk
memecahkan masalah sosial yang timbul dalam hubungan antar manusia.
Langkah-langkah pelaksanaan sosiodrama adalah sebagai berikut :
a) persiapan, pemimpin kelompok mengemukakan masalah dan
tema yang akan disosiodramakan, dan tujuan permainan.
b) membuat skenario sosiodrama
c) menenukan kelompok penonton dan menjelaskan tugasnya.
Kelompok penonton adalah anggota kelompok lain yang ikut
menjadi pemain, tugasnya adalah untuk mengobservasi
pelaksanaan permainan.
d) melaksanakan sosiodrama. Dalam permainan ini diharapkan
terjadi identifikasi antara pemain dan penonton dengan peran-
peran yang dimainkannya.
e) evaluasi dan diskusi. Setelah selesai permainan diadakan diskusi
mengenai pelaksanaan permainan berdasarkan hasil observasi dan
tanggapan-tanggapan penonton.
21
f) ulangan permainan. Dari hasil diskusi dapat ditentukan apakah
perlu diadakan permainan ulang atau tidak.
2. Psikodrama
Menurut Corey (Romlah,2001) psikodrama merupakan permainan
yang dimaksudkan agar individu yang bersangkutan dapat memperoleh
pengertian yang lebih baik tentang dirinya, dapat menemukan konsep
dirinya,menyatakan kebutuhan-kebutuhannya, dan menyatakan reaksi
terhadap tekanan-tekanan terhadap dirinya.
Langkah-langkah pelaksanaan psikodrama terdiri dari tiga tahap
yaitu persiapan, pelaksanaan dan diskusi atau tahap berbagi pendapat dan
perasaan. Tahap persiapan dilakukan untuk memotivasi anggota
kelompok agar mereka siap berpartisipasi secara aktif dalam permainan,
dan menciptakan perasaan sama dan saling percaya antar kelompok.
Tahap pelaksanaan terdiri dari kegiatan dimana pemain utama dan
pemain pembantu memperagakan permainannya. Dengan bantuan
pemimpin kelompok dan anggota kelompok lain. Tahap diskusi atau
tahap bertukar pendapat dan kesan, para anggota kelompok diminta
untuk memberikan tanggapan dan sumbangan pikiran terhadap
permainan yang dilakukan pemain utama. Tahap diskusi ini penting
karena merupakan rangkaian proses perubahan perilaku pemeran utama
kearah keseimbangan pribadi.
Bermain peran (Role Play) merupakan salah satu model
pembelajaran yang diarahkan pada upaya pemecahan masalah-masalah
22
yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia (interpersonal
relationship), terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik.
Pengalaman belajar yang diperoleh dari metode ini meliputi, kemampuan
kerjasama, komunikatif, dan menginterprestasikan suatu kejadian. Melalui
bermain peran, peserta didik mencoba mengeksplorasi hubungan-
hubungan antar manusia dengan cara memperagakan dan
mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama para peserta didik dapat
mengeksplorasi perasaan-perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai,dan berbagai
strategi pemecah masalah.
Dengan mengutip dari Shaftel dan Shaftel, E. Mulyasa (2003)
mengemukakantahapan pembelajaran bermain peran meliputi :
a. menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik;
b. memilih peran;
c. menyusun tahap-tahap peran;
d. menyiapkan pengamat;
e. menyiapkan format pengamat;
f. tahap pemeranan;
g. diskusi dan evaluasi tahap diskusi dan evaluasi tahap I;
h. pemeranan ulang; dan
i. diskusi dan evaluasi tahap II;
j. membagi pengalaman dan pengambilan keputusan
pada metode ini, siswa memainkan peran sehingga dapat
menghayati sesuatu. Role Playmemang di maksutkan untuk melakukan
23
analisis kompetensi berdasarkan pengamatan dan penilaian terhadap
sejumlah orang yang melakukan peran tertentu.Melalui kegiatan ini di
harapkan di peroleh sejumlah peran tertentu yang ada di dalam
masyarakat, sebagai bahan untuk mengidentifikasi kompetensi yang perlu
di kembangkan dan dimiliki oleh siswa. Moedjiono dan Dimyati (1991)
menyatakan bahwa : bermain peran (Role Play), yakni memainkan
peranan dari peran-peran yang sudah pasti berdasarkan kejadian terdahulu,
yang dimaksudkan untuk menciptakan kemungkinan-kemungkinan
kejadian masa yang akan datang, menciptakan peristiwa mutakhir yang
dapat di percaya, atau mengkhayalkan situasi pada suatu tempat dan atau
waktu tertentu.
Role Play juga perlu di terapkan dalam pembelajaran, Slameto
(1991) juga berpendapat sebagai berikut: Gunakan Role play : jika peserta
perlu mengatahui lebih banyak tentang pandangan yang berlawanan, jika
peserta mempunyai kemampuan untuk memakainya, pada waktu
membantu peserta “memahami” sesuatu masalah, jika ingin mencoba
mengubah sikap, jika pengaruh emosi dapat membantu dalam penyajian
masalah.
Role play tidak di rancang dengan niat menjadi suatu pertunjukkan
publik. Meskipun demikian, siswa sulit untuk menghilangkan kecemasan
tersebut.Di samping itu, guru perlu mengemukakan tujuan pembelajaran
dari role play supaya dapat mengugah motivasi siswa untuk kreatif dalam
mengambangkan perannya. Pola organisasi role play di sesuaikan dengan
24
tujuan-tujuan yang menuntut bentuk partisipasi tertentu. Seperti yang di
ungkapkan oleh hamalik (1990) menyatakan “ ada 3 pola organisasi Role
Play yaitu tunggal, jamak dan ulangan”. Penjelasannya dapat diuraikan
sebagai berikut :
1. bermain peran tunggal (single role play). Dalam hal ini mengantar siswa
bertindak sebagai pengamat terhadap permainan yang sedang
dipertunjukkan.
2. Bermain peran jamak (multiple role play). Para siswa dibagi menjadi
beberapa kelompok dengan banyak anggota yang sama dan
penentuanya di sesuaikan dengan banyaknya peran yang dibutuhkan..
3. Peranan ulangan (role play repetition).Peranan utama suatu drama atau
simulasi dapat dilakukan oleh setiap siswa secara bergiliran.
2.2.2. Kelebihan dan Kelemahan Metode Role Play
Sebagaimana dengan metode-metode pembelajaran yang lain, metode
role play memiliki kelebihan dan kelemahan. Penggunaannya di dalam proses
pembelajaran dapat dikolaborasikan, bergantung dari karakteristik materi
pokok pelajaran yang diajarkan kepada siswa. Kelebihan metode role play
sebagaimana dijelaskan Sudjana (2009) dan kelemahan dijelaskan Wahab
(2007) adalah sebagai berikut :
2.2.2.1 Kelebihan Metode Role Play
Menurut Sudjana (2009) kelebihan metode role play antara lain :
25
1) Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa dan
merupakan pengalaman yang menyenangkan yang sayang untuk
dilupakan.
2) Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi
dinamis dan penuh antusias.
3) Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta
menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang
tinggi.
4) Dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan mudah, dan
dapat memetik butir-butir hikmah yang terkandung di dalam cerita yang
dimainkan dengan penghayatan siswa sendiri.
5) Dimungkinkan dapat meningkatkan kemampuan profesional siswa, dan
dapat menumbuhkan/membuka kesempatan bagi lapangan pekerjaan.
2.2.2.2. Kelemahan Metode Role Play
Menurut Wahab (2007) kelemahan metode role play antara lain :
1) Apabila siswa tidak dipersiapkan secara baik ada kemungkinan siswa
tidak melakukan role play secara sungguh-sungguh.
2) Role play mungkin tidak akan berjalan dengan baik jika suasana kelas
tidak mendukung.
26
3) Role play tidak selamanya menuju arah yang diharapkan seseorang
yang memainkannya. Bahkan juga mungkin akan berlawanan dengan
apa yang diharapkan.
4) Siswa sering mengalami kesulitan untuk memerankan peran secara
baik, khususnya jika mereka tidak diarahkan atau tidak ditugasi dengan
baiksiswa perlu mengenal dengan baik apa yang di perankannya.
2.2.3. HasilPenelitian Yang terkait dengan Teknik Bermain Peran (role
play)
Hasil penelitian Sulistiana yang berjudul “Meningkatkan Keterampilan
Sosial Siswa Melalui Layanan Bimbingan Kelompok Pada Siswa Kelas VIII
SMP Negeri 3 Juwana Tahun Pelajaran 2009/2010 menunjukkan bahwa tingkat
keterampilan sosial siswa sebelum mendapatkan layanan bimbingan kelompok
tergolong dalam kategori rendah dengan persentase 61,2%, setelah
mendapatkan layanan bimbingan kelompok meningkat menjadi 75,9% dalam
kategori tinggi. Dengan demikian mengalami peningkatan sebesar 24%. Hasil
uji t, menunjukan t hitung = 5,485 & t tabel = 2,262 jadi nilai t hitung > t tabel
dengan demikian, keterampilan sosial siswa dapat ditingkatkan melalui layanan
bimbingan kelompok.
Hasil penelitian Eni Kurniati yang berjudul “Efektifitas Layanan
Bimbingan Kelompok Dalam Meningkatkan Ketrampilan Sosial Siswa Kelas
VII G SMP Negeri 9 Salatiga Tahun Ajaran 2011/2012” menunjukkan bahwa
ada peningkatan keterampilan sosial yang signifikan dari 15 orang siswa yang
27
menjadi kelompok eksperimen atau yang menjadi subjek penelitian siswa kelas
VII G SMP Negeri 9 Salatiga. hasil menunjukkan sebesar 0,049 < 0,050 yang
artinya ada perbedaan yang signifikan antara skor kelompok kontrol dan
kelompok eksperimen. Hasil penelitian menunjukkan ada peningkatan yang
signifikan dalam keterampilan sosial siswa kelas VII G SMP Negeri 9 Salatiga
setelah mengikuti layanan bimbingan kelompok.
2.3. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
“ Teknik bermain peran (role play) dapat digunakan untuk meningkatkan
keterampilan sosial siswa kelas X C SMA Negeri 1 Suruh tahun ajaran 2013/2014
“