bab ii tinjauan pustaka 2.1 kajian pustaka 2.1.1...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian penulis, yang
pertama yaitu jurnal Fakultas Hukum Universitas Mulawarman volume 3 nomor 4
yang dibuat oleh Agustina dengan judul ”Peranan Satuan Polisi Pamong Praja
Terhadap Pengawasan Hewan Ternak di Tempat Umum atau Fasilitas Umum
(Ditinjau Berdarsarkan Pasal 4 Peraturan Daerah Kabupaten Malinau Nomor 10
Tahun 2002 Tentang Ketertiban)”. Dalam penelitiannya penulis menggunakan
metode penelitian kualitatif dengan lokasi penelitian di kantor Satpol PP
Kabupaten Malinau. Permasalahan yang terjadi dari penelitian ini adalah
banyaknya hewan ternak yang berada di fasilitas atau tempat umum akibat
kurangnya pengawasan dari pemilik hewan ternak, maka dibutuhkannya peran
Satpol PP dalam menertibkan serta mengawasi hewan ternak yang menuju ke
tempat umum. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa peran Satpol PP dalam
mengawasi hewan ternak tersebut adalah dengan melakukan tindakan preventif
(pembinaan) terhadap masyarakat yang memiliki hewan ternak dan melakukan
tindakan represif (penertiban) terhadap hewan ternak yang meresahkan
masyarakat lainnya. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian penulis
adalah terletak pada penjelasan bagaimana peran maupun tugas Satpol PP dalam
menertibkan ketertiban umum, yaitu melakukan tindakan pengawasan dan
9
penertiban, sedangkan perbedaannya terletak pada objek yang akan ditertibkan
tersebut, dimana pada penelitian sebelumnya Satpol PP melakukan penertiban
terhadap hewan ternak di Kabupaten Malinau sedangkan penelitian penulis Satpol
PP melakukan penertiban terhadap Pedagang Kaki Lima di Kota Denpasar.
Penelitian terdahulu yang kedua ialah Jurnal Kementrian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia volume 3 nomor 2 yang dibuat oleh Oki
Wahju Budijanto dengan judul “Evaluasi Terhadap Peran Satuan Polisi Pamong
Praja Dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Masyarakat”. Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif dengan
lokasi penelitian meliputi empat provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Tenggara (Kota
Kendari), Provinsi Nusa Tenggara Barat (Kota Mataram), Provinsi Kalimantan
Selatan (Kota Banjarmasin) dan Provinsi Jawa Timur (Kota Surabaya).
Permasalahan dari penelitian ini adalah peneliti ingin mengevaluasi bagaimana
pemahaman Satpol PP tentang hak asasi manusia. Hasil dari penelitian ini adalah
pemahaman Satpol PP tentang HAM masih kurang sehingga masih sering
terjadinya kasus bentrok dan kekerasan dalam menjalankan tugas Satpol PP.
Kesamaan penelitian tersebut dengan penelitian penulis adalah sama-sama
menjelaskan peran dari Satpol PP, sedangkan yang menjadi perbedaan adalah
terletak pada objek penelitian dimana pada penelitian sebelumnya meneliti tentang
evaluasi peran Satpol PP terhadap pemahaman Hak Asasi Manusia sedangkan
penelitian penulis meneliti tentang peran Satpol PP dalam menertibkan Pedagang
Kaki Lima.
10
Penelitian terdahulu yang ketiga ialah skripsi dari Mitha Miftahul Hikmiyah
mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang pada tahun 2012 dengan
judul “Peran Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Dalam Implementasi
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003 Tentan Perizinan Penyelenggaraan
Hiburan di Kota Cilegon” Dalam penelitiannya peneliti menggunakan metode
penelitian kualitatif dengan lokasi penelitian dikantor Satuan polisi pamong praja
kota Cilegon. Masalah dari penelitian ini adalah bagaimana peran Satpol PP
dalam implementasi peraturan daerah nomor 2 tahun 2003 tentang perizinan
penyelenggaraan hiburan di kota Cilegon. Hasil dari penelitian ini menjelaskan
bahwa peran dari Satpol PP dalam mengimplementasikan peraturan daerah
tersebut belum optimal. Hal ini dikarenakan sumberdaya yang dimiliki Satpol PP
belum optimal, komunikasi pemerintah yang belum berjalan lancar, dan lemahnya
pengawasan Satpol PP mengenai perda hiburan serta dilakukannya revisi atas
perda nomor 2 tahun 2003. Kesamaan penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan penulis adalah terletak pada penjelasan tentang bagaimana peran dari
Satuan Polisi Pamong Praja. Sedangkan perbedaannya terletak pada objek
penelitiannya, dimana pada penelitian ini meneliti peran Satpol PP dalam
implementasi peraturan daerah nomor 2 tahun 2003 di Kota Cilegon sedangkan
penelitian penulis meneliti peran dari Satpol PP dalam menertibkan pedagang kaki
lima di Kota Denpasar.
Penelitian terdahulu lainnya adalah jurnal Ilmu Komunikasi volume 3 nomor 1
Universitas Mulawarman yang dibuat oleh Lidya Monalisa Francisca dengan
judul “Peran Satpol PP dalam melakukan komunikasi interpersonal untuk
11
penertiban pedagang kaki lima (studi kasus PKL di Jalan Gajah Mada Kota
Samarinda)”. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
studi kasus adalah PKL di Jalan Gajah Mada Kota Samarinda. Permasalahan pada
penelitian ini adalah bagaimana komunikasi interpersonal dari Satpol PP Kota
Samarinda dalam menertibkan PKL di Kota Samarinda. Hasil dari penelitian ini
adalah dalam melakukan komunikasi interpersonal terhadap PKL di Jalan Gaja
Mada Kota Samarinda satpol PP masih kurang baik. Hal ini ditunjukan oleh
pernyataan sebagian PKL yang menyatakan sikap Satpol PP masih cenderung
kasar dalam melakukan penertiban. Kesamaan penelitian ini terhadap penelitian
penulis adalah terletak ada objek penelitian yaitu pedagang kaki lima, sedangkan
perbendaanya ialah dimana pada penelitian ini lebih menekankan pada
komunikasi interpersonal sedangkan penelitian penulis lebih menekankan pada
peran dari Satpol PP dalam menertibkan PKL di Kota Denpasar.
Penelitian yang dilakukan penulis tidak jauh berbeda dengan beberapa
penelitian sebelumnya, penulis akan meneliti tentang Peran Satuan Polisi Pamong
Praja Dalam Menertibkan Pedagang Kaki Lima di Kota Denpasar Tahun 2014
dengan menggunakan metode penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif.
2.2 Kerangka Konseptual
2.2.1 Peran
Perilaku individu dalam kesehariannya hidup bermasyarakat berhubungan erat
dengan peran. Sebuah peran harus dijalankan sesuai dengan norma-norma yang
12
berlaku juga di masyarakat. Seorang individu akan terlihat status sosialnya hanya
dari peran yang dijalankan dalam kesehariannya.
Istilah peran dalam Kamus Bahasa Indonesia Millenium penerbit Karina
Surabaya (KBI 2002: 434) mempunyai arti pemain sandiwara (film), tukang
lawak pada permainan ma’yung, perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh
orang yang berkedudukan di masyarakat, sedangkan Friedman, M (1998 : 286)
mengemukakan peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada
seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun
secara informal.
Adapun menurut Soerjono Soekanto (2002:243), peran merupakan aspek
dinamis kedudukan (status), apabila seseorang melaksanakan hak dan
kewajibannya sesuai dengan kedudukannya. Peran yang ideal, dapat
diterjemahkan sebagai peran yang diharapkan dilakukan oleh pemegang peranan
tersebut. Hakekatnya peran juga dapat dirumuskan sebagai suatu rangkaian
perilaku tertentu yang ditimbulkan oleh suatu jabatan tertentu.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka disimpulkan peran merupakan
perilaku dari seseorang atau individu yang menjalankan hak dan kewajibannya
sesuai dengan kedudukan social atau posisi social yang diberikan baik secara
formal maupun informal agar memenuhi harapan orang itu sendiri maupun
harapan orang lain.
13
2.2.2 Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)
1. Defenisi Satuan Polisi Pamong Praja
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010
tentang Satuan Polisi Pamong Praja, dalam Bab I (1) tentang ketentuan umum
disebutkan Satuan Polisi Pamong Praja, yang selanjutnya disingkat Satpol PP,
adalah bagian perangkat daerah dalam penegakan Peraturan daerah (Perda) dan
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Polisi Pamong
Praja adalah anggota Satpol PP sebagai aparat pemerintah daerah dalam
penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat, dimana ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat adalah suatu
keadaan dinamis yang memungkinkan Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan tenteram, tertib, dan teratur.
Defenisi ini juga disebutkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia nomor 40 tahun 2011 tentang pedoman organisasi dan tata kerja Satuan
Polisi Pamong Praja.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 6 tahun 2010,
Satpol PP dibentuk untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan perda dan
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, di setiap
provinsi dan kabupaten atau kota dibentuk Satpol PP. Pembentukan organisasi
Satpol PP berpedoman pada Peraturan Pemerintah tersebut.
2. Tugas dan Fungsi Satuan Polisi Pamong Praja
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2010 tentang Satuan Polisi
Pamong Praja, pada bab II (2) disebutkan Satpol PP mempunyai tugas
14
menegakkan Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat serta perlindungan masyarakat. Dalam menjalankan tugas tersebut
Satpol PP juga mempunyai beberapa fungsi, diantaranya :
a) Program dan pelaksanaan penegakan Perda, penyelenggaraan ketertiban
umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat
b) Pelaksanaan kebijakan penegakan Perda dan peraturan kepala daerah
c) Pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat di daerah
d) Pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat
e) Pelaksanaan koordinasi penegakan Perda dan peraturan kepala daerah,
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dengan
Kepolisian
f) Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah, dan/atau
aparatur lainnya
g) Pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi
dan menaati Perda dan peraturan kepala daerah
h) Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah.
3. Wewenang, Hak dan Kewajiban Satpol PP
Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong
Praja, dalam Bab III (3) menjelaskan tentang wewenang, hak dan kewajiban
Satpol PP yang diatur dalam tiga pasal. Pasal 6 menjelaskan wewenang dari
Satpol PP, diantaranya :
15
a) Melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat,
aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan atau
peraturan kepala daerah
b) Menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu
ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat
c) Fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan
masyarakat
d) Melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau
badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan atau
peraturan kepala daerah
e) Melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat,
aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda atau
peraturan kepala daerah.
Selanjutnya hak dari Satpol PP yang diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 6
tahun 2010, pada bab III (3) pasal 7, yaitu :
a) Polisi Pamong Praja mempunyai hak sarana dan prasarana serta fasilitas lain
sesuai dengan tugas dan fungsinya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
b) Polisi Pamong Praja dapat diberikan tunjangan khusus sesuai dengan
kemampuan keuangan daerah.
Selain hak Satpol PP juga memiliki kewajiban yang harus ditaati, kewajiban dari
Satpol PP diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2010, pada bab III
(3) pasal 8, yaitu :
16
a) Menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia, dan
norma sosial lainnya yang hidup dan berkembang di masyarakat
b) Menaati disiplin pegawai negeri sipil dan kode etik Polisi Pamong Praja
c) Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat
d) Melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia atas ditemukannya
atau patut diduga adanya tindak pidana
e) Menyerahkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah atas
ditemukannya atau patut diduga adanya pelanggaran terhadap Perda dan/atau
peraturan kepala daerah.
4. Susunan Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no.6 tahun 2010
tentang Satuan Polisi Pamong Praja dan berdarsarkan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia no.40 tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan
Tata Kerja Satpol PP, susunan organisasi Satpol PP dibedakan menjadi Satpol PP
provinsi dan Satpol PP kabupaten atau kota. Susunan organisasi Satpol PP
provinsi terdiri atas :
a. Kepala Satuan
b. Sekretariat, terdiri atas :
Subbagian Program
Subbagian Keuangan
Subbagian Umum dan Kepegawaian
17
c. Bidang Penegakan Perundang-undangan Daerah, terdiri atas :
Seksi Pembinaan, Pengawasan dan Penyuluhan
Seksi Penyelidikan dan Penyidikan
d. Bidang Ketertiban Umum dan Ketenteraman masyarakat, terdiri atas :
Seksi Operasi dan Pengendalian
Seksi Kerjasama
e. Bidang Sumber Daya Aparatur, terdiri atas :
Seksi Pelatihan Dasar
Seksi Teknis Fungsional
f. Bidang Perlindungan Masyarakat, terdiri atas :
Seksi Satuan Linmas
Seksi Bina Potensi Masyarakat
g. Kelompok Jabatan Fungsional
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah no.6 Tahun 2010 pada bab IV
(4) tentang organisasi, menjelaskan susunan organisasi Satpol PP kabupaten atau
kota dibagi atas tipe A dan tipe B. Besaran organisasi Satpol PP kabupaten ata
kota tipe A dan tipe B ditetapkan berdasarkan klasifikasi besaran organisasi
perangkat daerah. Satpol PP kabupaten atau kota tipe A apabila variabel besaran
organisasi perangkat daerah mencapai nilai lebih dari atau sama dengan 60
(enampuluh), sedangkan Satpol PP kabupaten atau kota Tipe B apabila variabel
besaran organisasi perangkat daerah mencapai nilai kurang dari 60 (enampuluh).
Selain dibedakan berdarsarkan variable besaran dari organisasi tersebut, Satpol PP
18
di tingkat kabupaten atau kota yang berkedudukan sebagai ibu kota provinsi atau
penyangga ibu kota provinsi dapat ditetapkan sebagai Satpol PP Tipe A.
Susunan organisasi Satpol PP kabupaten atau kota tipe A terdiri atas :
a. Kepala Satuan
b. Sekretariat, terdiri atas :
Subbagian Program
Subbagian Keuangan
Subbagian Keuangan dan Kepegawaian
c. Bidang Penegakan Perundang-undangan Daerah, terdiri atas :
Seksi Pembinaan, Pengawasan dan Penyuluhan
Seksi Penyelidikan dan Penyidikan
d. Bidang Ketertiban Umum dan Ketenteraman masyarakat, terdiri atas :
Seksi Operasi dan Pengendalian
Seksi Kerjasama
e. Bidang Sumber Daya Aparatur, terdiri atas:
Seksi Pelatihan Dasar
Seksi Teknis Fungsional
f. Bidang Perlindungan Masyarakat, terdiri atas:
Seksi Satuan Linmas
Seksi Bina Potensi Masyarakat
g. Kelompok Jabatan Fungsional
Susunan organisasi Satpol PP kabupaten atau kota tipe B terdiri atas :
a. Kepala Bagian
19
b. Subbagian Tata Usaha
c. Seksi Penegakan Perundang-Undangan Daerah
d. Seksi Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
e. Seksi Pengembangan Kapasitas
f. Seksi Sarana dan Prasarana
g. Seksi Perlindungan Masyarakat
h. Kelompok Jabatan Fungsional
5. Pengangkatan dan Pemberhentian Satpol PP
Persyaratan untuk diangkat menjadi anggota Polisi Pamong Praja diatur dalam
peraturan pemerintah no.6 tahun 2010 pada bab VI (6) tentang pengangkatan dan
pemberhentian. Syarat untuk menjadi anggota Polisi Pamong Praja, yaitu :
1. Pegawai negeri sipil
2. Berijazah sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau yang
setingkat
3. Tinggi badan sekurang-kurangnya 160 cm (seratus enam puluh sentimeter)
untuk laki-laki dan 155 cm (seratus lima puluh lima sentimeter) untuk
perempuan
4. Berusia sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun
5. Sehat jesmani dan rohani
6. Lulus pendidikan dan pelatihan dasar Polisi Pamong Praja
Anggota Polisi Pamong Praja dapat diberhentikan dari tugasnya dengan ketentuan
sebagai berikut :
a) Alih tugas
20
b) Melaggar disiplin Pamong Praja
c) Dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap
d) Tidak dapat melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Polisi Pamong Praja
Selanjutnya dalam peraturan menteri dalam negeri no.40 tahun 2011 tentang
pedoman organisasi dan tata kerja satuan polisi pamong praja disebutkan bahwa :
a. Kepala Satpol PP provinsi diangkat dan diberhentikan oleh gubernur sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
b. Kepala Satpol PP kabupaten atau kota diangkat dan diberhentikan oleh bupati
atau walikota setelah berkonsultasi kepada gubernur dengan pertimbangan
kepala Satpol PP provinsi.
c. Sekretaris, kepala bidang, kepala subbagian dan kepala seksi Satpol PP
provinsi, diangkat dan diberhentikan oleh gubernur atas usul sekretaris daerah.
d. Sekretaris, kepala bidang, kepala subbagian dan kepala seksi Satpol PP
kabupaten/kota, diangkat dan diberhentikan oleh bupati atau walikota atas usul
sekretaris daerah.
e. Pejabat struktural di lingkungan Satpol PP diprioritaskan diangkat dari pejabat
fungsional dan/atau pejabat di lingkungan Satpol PP.
2.2.3 Pedagang Kaki Lima (PKL)
1. Pengertian Pedagang Kaki Lima
Istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda, dimana
peraturan pemerintah menetapkan setiap jalan raya yang dibangun hendaknya
menyediakan sarana untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah
21
lima kaki atau sekitar satu setengah meter. Setelah Indonesia merdeka ruas jalan
untuk pejalan kaki dimanfaatkan pedagang untuk berjualan. Sebutan untuk
pedagang tersebut adalah “pedagang emperan jalan” akan tetapi sekarang menjadi
“pedagang kaki lima”.
Banyak defenisi tentang pedagang kaki lima, menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia Kontemporer (1991), adalah pedagang yang menjual barang
dagangannya di pinggir jalan atau di dalam usahanya menggunakan sarana dan
perlengkapan yang mudah dibongkar pasang atau dipindahkan serta
memempergunakan bagian jalan atau trotoar, tempat-tempat yang tidak
diperuntukkan bagi tempat untuk berusaha atau tempat lain yang bukan miliknya.
Menurut McGee dan Yeung (1977: 25), pedagang kaki lima merupakan orang-
orang yang menjajakan barang dan jasa untuk dijual di tempat yang merupakan
ruang untuk kepentingan umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar.
Adapun Menurut Breman (1988), pedagang kaki lima merupakan usaha kecil
yang dilakukan oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah (gaji harian) dan
mempunyai modal yang terbatas. Dalam bidang ekonomi, pedagang kecil ini
termasuk dalam sektor informal, di mana merupakan pekerjaan yang tidak tetap
dan tidak terampil serta golongan-golongan yang tidak terikat pada aturan hukum,
hidup serba susah dan semi kriminil pada batas-batas tertentu.
Dari beberapa defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa pedagang kaki lima
merupakan suatu pekerjaan atau usaha kecil oleh masyarakat yang berpenghasilan
rendah atau mempunyai modal kecil dengan menjual barang atau jasa di tempat
umum yang bukan miliknya.
22
2. Ciri-Ciri Pedagang Kaki Lima
Ciri-ciri umum dari pedagang kaki lima yang dikemukakan oleh Kartono dkk.
(1980: 3-7), yaitu:
1. Merupakan pedagang yang kadang- kadang juga sekaligus sebagai produsen
2. Ada yang menetap pada lokasi tertentu, ada yang bergerak dari tempat satu
ketempat yang lain
3. Menjajakan bahan makanan, minuman, barang-barang konsumsi lainnya yang
tahan lama secara eceran
4. Umumnya bermodal kecil, kadang hanya merupakan alat bagi pemilik modal
dengan mendapatakan sekedar komisi sebagai imbalan atas jerih payahnya
5. Kualitas barang- barang yang diperdagangkan relatif rendah dan biasanya
tidak berstandar
6. Volume peredaran uang tidak seberapa besar, para pembeli merupakan
pembeli yang berdaya beli rendah
7. Tawar menawar antar penjual dan pembeli merupakan relasi ciri yang khas
pada usaha pedagang kaki lima
3. Jenis Dagangan dan Lokasi Pedagang Kaki Lima
Jenis dagangan dari PKL sangat dipengaruhi oleh sifat pelayanan PKL itu
sendiri. Barang yang didagangkan biasanya bergantung pada lokasi dimana PKL
berdagang. Jenis dagangan yang biasa didagangkan oleh PKL, diantaranya
(McGee dan Yeung; 1977:69) :
a. Makanan dan minuman, terdiri dari pedagang yang berjualan makanan dan
minuman yang telah dimasak dan langsung disajikan ditempat maupun dibawa
23
pulang. Lokasi dagangan untuk barang dagangan seperti ini biasanya berlokasi
di perkantoran, tempat rekreasi, sekolah, ruang terbuka atau taman, dan
persimpangan jalan utama menuju keramaian.
b. Pakaian atau tekstil dan mainan anak. Untuk barang dagangan seperti ini
biasanya pola pengelompokan lebih berbaur dengan komoditas lain. Lokasi
dagangan cenderung sama dengan para pedagang makanan dan minuman.
c. Buah-buahan, dimana jenis buah yang diperdagangkan berupa buah-buah
segar. Komoditas perdagangkan cenderung berubah-ubah sesuai dengan
musim musim buah. Lokasi PKL yang menjual buah-buahn berada di pusat-
pusat keramaian serta cenderung berbaur dengan jenis komoditas lainnya.
d. Rokok dan obat-obatan, biasanya pedagang yang menjual rokok juga
berjualan makanan ringan, obat, dan permen. Lokasi dagangan jenis ini
cenderun berada di pusat-pusat keramaian, atau dengan kegiatan-kegiatan
sektor formal.
e. Barang cetakan seperti majalah, koran dan buku bacaan. Jenis dagangan
seperti ini cenderung berlokasi di pusat-pusat keramaian dan berbaur dengan
pedagang jenis komoditas lainnya.
f. Jasa perorangan, terdiri dari tukang kunci, reparasi jam, tukang stempel hingga
tukang pembuat figuran. Pedagang jenis ini berlokasi didaerah pertokoan dan
berbaur dengan jenis komoditas lain
4. Bentuk Sarana Perdagangan Yang digunakan Pedagang Kaki Lima
Berdarsarkan hasil penelitian oleh Waworoentoe (1973:24) bentuk sarana
perdagangan yang digunakan pedagang kaki lima dikelompokan sebagai berikut :
24
1. Pikulan atau Keranjang, bentuk sarana ini digunakan oleh pedagang keliling
atau sering berpindah-pindah. Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan
mudah untuk dibawah berpindah-pindah tempat.
2. Gelaran atau alas, pedagang menjual barang dagangannya diatas kain atau
tikar. Bentuk sarana ini digunakan oleh pedagang semi menetap.
3. Meja, bentuk sarana berdagang yang menggunakan meja dan beratap maupun
tidak beratap. Sarana ini digunakan oleh PKL yang menetap.
4. Gerobak atau kereta dorong. Jenis sarana ini dibagi atas dua jenis, yaitu yang
beratap dan tidak beratap. Sarana ini dikategorikan untuk PKL yang menetap
maupun tidak menetap.
5. Warung semi permanen, terdiri dari beberapa gerobak yang dilengkapi dengan
meja dan bangku-bangku panjang. Bentuk sarana ini beratap dari bahan terpal
atau plastik yang tidak tembus air. PKL yang menggunakan sarana ini
merupakan jenis PKL yang menetap.
6. Kios, pedagang yang menggunakan jenis sarana ini merupakan pedagang yang
menetap, karena secara fisik jenis ini tidak dapat dipindahkan. Biasanya
merupakan bangunan semi permanen yang dibuat dari papan.
Selain kerangka konsep yang telah dibahas diatas, adapun teori yang dipakai
dalam penelitian ini, hal ini dikarenakan peneliti tidak dapat mengembangkan
masalah yang ditemui di tempat penelitian jika tidak memiliki acuan dari sebuah
landasan teori yang mendukungnya. Peneliti juga tidak bias membuat pengukuran
atau tidak memiliki standar ukur jika tidak memiliki landasan ukur. Landasan
25
teori perlu ditegakkan agar penelitian itu memiliki landasan yang kokoh, dan
bukan sekedar perbuatan coba-coba (Sugiyono 2012:52).
Melihat pentingnya sebuah teori dalam suatu peneltian, maka penulis
mengambil beberapa teori sebagai landasan serta pendukung dalam penelitian
tersebut, yaitu :
2.2.4 Administrasi Publik
Istilah Administrasi secara etimologi berasal dari Bahasa Latin (Yunani) yang
terdiri atas dua kata yaitu “ad” dan “ministrate” yang berarti “to serve” yang
dalam Bahasa Indonesia berarti melayani atau memenuhi. Selanjutnya menurut
pendapat A. Dunsire yang dikutip ulang oleh Keban (2008:2) administrasi
diartikan sebagai arahan, menyeimbangkan dan mempresentasikan keputusan,
pertimbangan kebijakan sebagai pekerjaan individual dan kelompok dalam
menghasilkan barang dan jasa public dan sebagai arena bidang kerja akademik
dan teoritik.
Administrasi public menurut Chandler dan Plano dalam Keban (2008:4)
adalah proses dimana sumber daya dan personil public diorganisir dan
dikoordinasikan untuk memformulasikan, mengimplementasikan, dan mengelola
keputusan-keputusan dalam kebijakan public, sedangkan menurut Keban sendiri
menyatakan bahwa istilah Administrasi public menunjukan bahwa bagaimana
berperan sebagai agen tunggal yang berkuasa atau sebagai regulator yang aktif
dalam mengambil sebuah langkah.
26
Teori administrasi menurut William L. Morrow dibagi atas :
1. Teori Deskriptif adalah teori yang menggambarkan apa yang nyata dalam
sesuatu organisasi dan memberikan factor-faktor yang mendorong orang
berperikalu.
2. Teori Perseptif adalah teori yang menggambarkan perubahan-perubahan
didalam arah kebijakan public dengan mengeksploitasi keahlian birokrasi.
3. Teori Normatif adalah teori yang mempersoalkan peranan birokrasi dalam
pengembangan kebijakan dan pembangunan politik.
4. Teori Asumtif adalah teori yang memusatkan perhatian pada usaha untuk
memperbaiki praktik administrasi dengan memahami hakikat manusiawi
yang terjadi dilingkungan birokratis.
5. Teori Instrumental adalah teori yang bermaksud untuk melakukan
konseptualisasi mengenai cara-cara untuk memperbaiki teknik manajemen
sehingga dapat dibuat sasaran kebijakan lebih realistis.
Selanjutnya terdapat empat prinsip administrasi menurut Herbert Simon dalam
Pasolong (2011:14), yaitu :
1. Efisiensi administrasi dapat ditingkatkan melalui spesialisasi tugas di
kalangan kelompok.
2. Efisiensi administrasi ditingkatkan dengan anggota kelompok dalam suatu
hirarki yang pasti
3. Efisiensi administrasi dapat ditingkatkan dengan membatasi jarak
pengawasan pada setiap sector di dalam organisasi sehingga jumlahnya
menjadi kecil
27
4. Efisiensi administrasi ditingkatkan dengan mengelompokan pekerjaan,
untuk maksud-maksud pengawasan berdarsarkan tujuan, proses, langganan
dan tempat.
2.2.5 Kinerja
1. Pengertian Kinerja
Kinerja sering diartikan sebagai hasil kerja atau prestasi kerja. Kinerja
memiliki makna yang lebih luas, bukan hanya menyatakan sebagai hasil kerja,
tetapi juga proses kerja berlangsung (Wibowo, 2007 : 2).
Menurut Armstrong dan Baron (dalam Wibowo, 2007) kinerja merupakan
hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis
organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi.
Bernardin dan Russel (dalam Ruky, 2002:15) memberikan pengertian atau
kinerja sebagai berikut “performance is defined as the record of outcomes
produced on a specified job function or activity during time period.” Prestasi atau
kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-
fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan selama kurun waktu tertentu.
Menurut Gibson, dkk (2003: 355), job performance adalah hasil dari
pekerjaan yang terkait dengan tujuan organisasi, efisiensi dan kinerja kefektifan
kinerja lainnya.
Berdarsarkan beberapa pendapat tentang kinerja, dapat disimpulkan bahwa
kinerja merupakan catatan hasil pekerjaan suatu organisasi dalam kurun waktu
tertentu, yang berhubungan dengan kuat dengan tujuan strategis organisasi.
28
2. Indikator Pengukuran Kinerja
Penilaian kinerja merupakan suatu kegiatan yang sangat penting karena dapat
digunakan sebagai ukuran keberhasialn suatu organisasi dalam mencapai misinya.
Untuk organisasi pelayanan public, informasi mengenai kinerja tentu sangat
berguna untuk menilai seberapa jauh pelayanan yang diberikan oleh organisasi itu
memenuhi harapan dan memuaskan jasa (Dwiyanto, 2006:50).
Indikator kinerja organisasi merupakan ukuran kuantitatif maupun kualitatif
untuk menggambarkan tingkat pencapaian sasaran dan tujuan organisasi, baik
dalam tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, maupun tahap setelah kegiatan
selesai. Indikator kinerja juga berguna untuk meyakinkan komponen organisasi
bahwa komponen kinerja organisasi menunjukan kemajuan dalam rangka menuju
pencapaian sasaran maupun tujuan organisasi yang bersangkutan (Muljadi, 2006).
Berikut ini beberapa klasifikasi pengukuran kinerja, diantaranya menurut
Arief Muljadi (2006:112) :
1. Input adalah indikator sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan
dapat menghasilkan output yang ditentukan.
2. Output adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan,
yang dapat berupa fisik maupun non fisik
3. Outcome/Hasil adalah sesuatu yang mencerminkan keluaran (output)
berfungsi dalam kegiatan jangka menengah (efek langsung)
4. Benefit/Manfaat adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari
pelaksanaan kegiatan
29
5. Impact/Dampak adalah ukuran yang ditimbulkan suatu kegiatan, baik positif
maupun negative pada setiap tingkatan indikator, berdarsarkan asumsi yang
telah ditetapkan
Menurut Kumorotomo (dalam Dwiyanto,2006:52), beberapa indikator dalam
menilai kinerja organisasi pelayanan public, antara lain :
1. Efisiensi menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi pelayanan
public mendapatkan laba, memanfaatkan factor-faktor produksi serta
pertimbangan yang berasalah dari rasionalitas ekonomis.
2. Efektivitas, yaitu apakah tujuan dari didirikannya organisasi pelayanan public
tersebut tercapai atau tidak, yang berkaitan dengan rasionalitas teknis, nilai,
misi, tujuan organiasasi, serta fungsi agen pembangunan.
3. Keadilan, yaitu mempertanyakan distribusi dan alokasi layanan yang
diselenggarakan oleh organisasi pelayanan public.
4. Daya Tanggap, yaitu kriteria organisasi secara keseluruhan harus dapat
dipertanggungjawabkan secara transparan dalam memenuhi kebutuhan vital
masyarakat.
Menurut Agus Dwiyanto (2006:50-51), indikator kinerja dalam mengukur
kinerja birokrasi public, yaitu :
a) Produktivitas
Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga
efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio
antara input dengan output. Konsep produktivitas mencoba mengembangkan
satu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukan seberapa besar
30
pelayanan public memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator
kinerja yang penting
b) Kualitas Layanan
Isu mengenai kualitas layanan cenderung semakin menjadi penting dalam
menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif
yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan
masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi publik.
Ketepatan waktu juga menjadi klasifikasi pengukuran kinerja seseorang atau
kelompok. Kinerja seseorang atau kelompok dapat dikatakan baik, jika dapat
menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu atau sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan.
c) Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan
masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, mengembangkan
program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat. Secara singkat responsivitas disini menunjuk pada keselarasan
antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat. Responsivitas dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja
karena responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan organisasi
publik dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat
31
d) Responsibilitas
Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik
itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar, baik yang
eksplisit maupun implisit. Oleh sebab itu, responsibilitas bisa saja pada suatu
ketika berbenturan dengan responsivitas.
e) Akuntabilitas
Akuntabilitas Publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan
organisasi publik tunduk pada para pejabat public yang dipilih oleh rakyat.
Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh
rakyat, dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat.
Dalam konteks ini, konsep dasar akuntabilitas publik dapat digunakan untuk
melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten
dengan kehendak masyarakat banyak. Kinerja organisasi publik tidak hanya
bisa dilihat dari ukuran internal yang dikembangkan oleh organisasi publik
atau pemerintah, seperti pencapaian target. Kinerja sebaiknya harus dinilai
dari ukuran eksternal, seperti nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam
masyarakat. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang
tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma
yang berkembang dalam masyarakat.
2.2.6 Kerangka Berpikir
Menurut Uma Sekaran dalam Sugiyono (2011 : 60) mengemukakan bahwa
kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori
berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai hal yang
32
penting jadi dengan demikian maka kerangka berpikir adalah sebuah pemahaman
yang melandasi pemahaman-pemahaman yang lainnya, sebuah pemahaman yang
paling mendasar dan menjadi pondasi bagi setiap pemikiran atau suatu bentuk
proses dari keseluruhan dari penelitian yang akan dilakukan.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan indikator kinerja menurut Agus
Dwiyanto karena dianggap cocok dalam meneliti peran dari Satuan Polisi Pamong
Praja Kota Denpasar sebagai salah satu organisasi public, dimana dalam melihat
berperan atau tidaknya Satpol PP Kota Denpasar, penulis mengukur kerja dari
Satpol PP Kota Denpasar dengan menggunakan indikator yang sudah dijelaskan
Berikut adalah bentuk kerangka pemikiran yang dibuat penulis untuk
melandasi pemahaman tentang penelitian penulis :
33
Kerangka Berpikir
Gambar 2.1
Peran Satuan Polisi Pamong Praja
Dalam Menertibkan Pedagang Kaki
Lima di Kota Denpasar Tahun 2014
Penertiban Pedagang Kaki Lima :
a. Persuasif
b. Preventif
c. Represif
Peran Satuan Polisi Pamong Praja
Dalam Menertibkan Pedagang
Kaki lima di Kota Denpasar Tahun
2014 Berjalan Dengan Baik
Klasifikasi
Pengukuran Kinerja
(Dwiyanto, 2006 : 50)
:
Produktivitas
Kualitas Layanan
Responsivitas
Responsibilitas
Akuntabilitas
Tugas Pokok dan
Fungsi Satuan Polisi
Pamong Praja
Peraturan Daerah No.13
Tahun 2001
34
Berdarsarkan kerangka pemikiran diatas dapat dijelaskan peran Satuan Polisi
Pamong Praja dalam menertibkan Pedagang Kaki Lima dilakukan berdarsarkan
tugas pokok dan fungsi dari Satpol PP yang diatur dalam Peraturan Daerah no.13
Tahun 2001 adalah menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat serta perlindungan masyarakat. Berdarsarkan tugas pokok dan fungsi
tersebut maka Satpol PP memiliki tugas untuk menertibkan pedagang kaki lima
yang menganggu ketertiban umum. Dalam menertibkan pedagang kaki lima
Satpol PP menggunakan tiga pendekatan yaitu persuasive, preventif dan represif.
Ketiga pendekatan tersebut dilakukan berlandaskan teori klasifikasi pengukuran
kinerja dimana terdapat indikator-indikator yang dipakai untuk mengukur kinerja
dari peran Satpol PP.
Dengan menjalankan peran yang berlandaskan teori tersebut, diharapkan
Satpol PP dapat menertibkan pedagang kaki lima dapat berjalan dengan baik
sehingga terciptanya ketertiban dan ketentraman umum.