bab ii tinjauan pustaka 2.1 definisi - sinta.unud.ac.id ii.pdf · case rate aids di bali ... anak...

29
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Tuberkulosis adalah penyakit menular yang sudah lama diketahui dan merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia. Penyebab dari TB adalah Mycobacterium tuberculosis complex. Sebagian kuman TB akan menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya (Smith, 2003). Berdasarkan letak anatomi, TB diklasifikasikan menjadi 1). TB paru yaitu kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau trakeobronkial. TB miliar diklasifikasikan sebagai TB paru karena terdapat lesi di paru. 2). TB ekstraparu adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim paru, seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran genitourinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. TB limfadenopati intrathorakal atau TB efusi pleura tanpa adanya kelainan pada paru termasuk dalam kasus TB ekstraparu (WHO, 2013c). HIV adalah virus RNA yang termasuk family Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus Lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh pejamu. HIV akan menginfeksi tubuh dan memiliki masa inkubasi yang lama dan pada akhirnya menimbulkan tanda dan gejala Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) (Xhilaga & Oelrichs, 2007). 2.2 Epidemiologi TB merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia karena menyebabkan anacaman kematian yang serius, sehingga pada tahun 1992 WHO mencanangkan TB sebagai Global Emergency. Pada tahun 2012 diperkirakan 8,6 juta penduduk menderita TB dan 1,3 juta meninggal akibat TB (1 juta pada

Upload: vandang

Post on 18-Aug-2018

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang sudah lama diketahui dan

merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia. Penyebab dari TB adalah

Mycobacterium tuberculosis complex. Sebagian kuman TB akan menyerang

paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya (Smith, 2003).

Berdasarkan letak anatomi, TB diklasifikasikan menjadi 1). TB paru yaitu

kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau trakeobronkial. TB miliar

diklasifikasikan sebagai TB paru karena terdapat lesi di paru. 2). TB ekstraparu

adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim paru, seperti pleura,

kelenjar getah bening, abdomen, saluran genitourinaria, kulit, sendi dan tulang,

selaput otak. TB limfadenopati intrathorakal atau TB efusi pleura tanpa adanya

kelainan pada paru termasuk dalam kasus TB ekstraparu (WHO, 2013c).

HIV adalah virus RNA yang termasuk family Retroviridae, subfamili

Lentiviridae, genus Lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh

pejamu. HIV akan menginfeksi tubuh dan memiliki masa inkubasi yang lama dan

pada akhirnya menimbulkan tanda dan gejala Acquired Immune Deficiency

Syndrome (AIDS) (Xhilaga & Oelrichs, 2007).

2.2 Epidemiologi

TB merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia karena

menyebabkan anacaman kematian yang serius, sehingga pada tahun 1992 WHO

mencanangkan TB sebagai Global Emergency. Pada tahun 2012 diperkirakan 8,6

juta penduduk menderita TB dan 1,3 juta meninggal akibat TB (1 juta pada

2

penderita dengan HIV negatif dan 0,3 juta pada penderita HIV). Kebanyakan

kasus TB terjadi pada laki-laki, tetapi merupakan penyebab kematian ketiga pada

wanita di seluruh dunia. Kasus terbanyak koinfeksi TB-HIV adalah di wilayah

Afrika, yaitu sebesar 75%. (WHO, 2013a).

Gambar 2.1

Perkiraan insiden TB rata-rata tahun 2012 (WHO, 2013a)

Berdasarkan data dari WHO, Indonesia menduduki peringkat keempat

insiden TB di dunia pada tahun 2012 ( 0,4 - 0,5 juta) setelah India, Cina, dan

Afrika Selatan. Pada tahun 2012, WHO membuat suatu estimasi prevalensi

koinfeksi TB-HIV, yaitu sebesar 0,3%. (WHO, 2013a).

Gambar 2.2.

3

Insiden TB 10 negara terbesar (WHO, 2013a)

Indonesia termasuk daerah epidemi HIV. Menurut data dari Kementerian

Kesehatan RI, hingga akhir Desember 2013 dilaporkan jumlah kasus HIV

sebanyak 29.037 dan AIDS sebanyak 5.608 dengan infeksi penyerta terbanyak

adalah kandidiasis, yaitu sebesar 1052 kasus dan TB merupakan infeksi penyerta

terbanyak kedua, yaitu sebesar 989 kasus di tahun 2013. Bali sendiri, kasus

HIV/AIDS pada Desember 2013 didapatkan 8.059 kasus. Case Rate AIDS di Bali

secara nasional pada tahun 2013 termasuk tertinggi kedua setelah Papua yaitu

93,4 per 100.000 penduduk. Hingga saat ini belum ada angka nasional yang

menunjukkan gambaran koinfeksi TB-HIV. Survei prevalensi HIV diantara

pasien TB baru di beberapa propinsi menunjukkan 2% di Yogyakarta (2006) dan

0,8% di Jawa Timur, 2,8% di Bali (2008) dan 14% di Papua (2008). Pravalensi

koinfeksi TB-HIV di VCT RSUP Sanglah pada tahun 2014 sebesar

22% (Kemenkes, 2013; VCT Sanglah, 2014).

2.3 Patogenesis

2.3.1 Patogenesis HIV

Human Immunodeficiency Virus merupakan virus sitopatik yang

diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus

Lentivirus. HIV menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat

menimbulkan AIDS. HIV cenderung menyerang Iimfosit T yang memiliki

reseptor CD4 pada permukaannya. Transmisi HIV masuk ke dalam tubuh

manusia melalui tiga cara, yaitu: (1) Vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke

anak (selama mengandung, persalinan, dan menyusui), (2) Transeksual

4

(homoseksual maupun heteroseksual), (3) Horizontal yaitu kontak antar darah

atau produk darah yang terinfeksi (Xhilaga, 2007; Calles, 2010).

Berdasarkan perjalanan infeksi HIV, jumlah Iimfosit T-CD4, jumlah virus dan

gejala klinis dibagi menjadi 4 stadium: (Calles, 2010; Bartlett, 2013)

1. Asimptomatik (Stadium 1)

Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang

menghasilkan virus-virus baru (virion) yang jumlahnya berjuta-juta. Viremia

dari virion-virion ini akan memicu munculnya sindroma infeksi akut dengan

gejala seperti flu. Sebanyak 50 - 70% orang yang terinfeksi HiV mengalami

sindroma infeksi akut ini selama 3 - 6 minggu dengan gejala umum seperti

demam, faringitis, limfadenopati, artralgia, mialgia, letargi, malaise, nyeri

kepala, mual-muntah, diare, anoreksia, penurunan berat badan. Pada fase akut

terjadi penurunan Iimfosit T dan kemudian terjadi kenaikan kembali karena

terjadi respon imun. Jumlah Iimfosit T pada fase ini masih diatas 500 sel/µL.

Fase ini dapat berlangsung 8 - 10 tahun. Pada pemeriksaan Western blot atau

immunofluorescence memberikan hasil positif

2. Gejala dan tanda ringan pada HIV (Stadium 2)

Mulai timbul gejala dan tanda ringan akibat infeksi HIV. Gejala yang dapat

muncul berupa kandidiasis, limfadenopati, moluskum kontagiosum, herpes

zooster. Kadar viral load meningkat, kadar CD4 turun antara 350 - 499 sel/µL. 3.

Gejala dan tanda lanjut pada HIV (stadium 3)

Sistem imun pada penderita HIV semakin menurun dan muncul berbagai

infeksi sekunder seperti kandidiasis persisten, pneumonia berulang, demam

5

yang berkepanjangan, penurunan berat badan. Kadar CD4 antara 200 - 349

sel/µL

4. Stadium 4

Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam

sirkulasi sistemik. Respon imun tidak mampu meredam jumlah virion yang

berlebihan. Limfosit semakin tertekan karena intervensi HIV yang semakin

banyak. Terjadi penurunan jumlah limfosit T hingga di bawah 200 sel/µL.

Penurunan ini menyebabkan sistem imun rentan terhadap infeksi sekunder,

seperti pneumocytis carinii, tuberkulosis, sepsis, toksoplasmosis, ensefalitis,

diare akibat kriptosporidiasis, infeksi virus sitomegalo, kandidiasis esofagus

maupun trakea.

Gambar 2.3

Jumlah CD4, beban virus, dan perjalanan infeksi HIV (Pantaleo G, 1993)

2.3.2 Patogenesis TB

Mtb merupakan basil tahan asam yang tidak bergerak, tidak memiliki

spora, termasuk dalam gram positif Iemah. Panjangnya 1 - 4 µm dan lebarnya 0,3

6

- 0,6 µm. Setengah dari beratnya terdiri dan lipid. Mtb membelah diri setiap 12 -

24 jam pada keadaan optimal. Pertumbuhannya yang lambat disebabkan karena

impermeabilitas dinding sel terhadap asupan nutrien. Hal ini yang membedakan

Mtb dengan Mycobacterium lainnya. Pertumbuhannya dikatakan cepat apabila

terjadi dalam 7 hari atau kurang, dan dikatakan lambat bila tumbuh lebih dari itu

(Harshey dkk, 1977; Kemenkes, 2012; Sakamoto, 2012).

Infeksi primer terjadi setelah seseorang menghirup Mtb. Partikel atau

droplet yang berukuran 1 - 5 µm akan berperilaku seperti gas dan lolos dari barier

mukosilier. Setelah melalui barier mukosiliser saluran nafas, basil Mtb akan

masuk ke alveoli dan mengalami multiplikasi yang disebut dengan focus ghon.

Makrofag alveolar merupakan pertahanan pertama melawan Mtb, jika efektif akan

menyebabkan elimninasi dari Mtb melalui proses fagositosis. Tumour Necrotizing

Factor α (TNF-α) dan kemokin inflamasi akan menarik leukosit yang kemudian

memfagosit basil dan kembali ke peredaran darah. Proses ini akan menyebabkan

penyebaran hematogen. Mtb dapat menyebar melalui sistem limfatik ke kelenjar

getah bening (KGB) regional dan membentuk kompleks primer. Melalui KGB

hilus menyebar ke KGB trakea dan vertebral, dan menyebar melalui darah ke

apeks paru dan organ luar patu melalui duktus torasikus. Pada kebanyakan kasus

respon imun tubuh dapat menghentikan multiplikasi Mtb dan sebagian kecil

menjadi tidak aktif. Bila makrofag yang teraktifasi tidak berespon, seperti pada

imunokompromais lesi tuberkel akan semakin membesar dan membentuk suatu

kavitas. Dalam kavitas tersebut Mtb dengan mudah bermultiplikasi dan menyebar

melalui saluran udara (Hoffman., 2012; Ahmad., 2011).

7

TB merupakan IO yang sering terdapat pada penderita dengan HIV dan

dapat terjadi pada stadium berapa pun dari HIV. Terdapat hubungan antara HIV

dan Mtb. Makrofag dan limfosit alveolar yang terdapat di permukaan epitel

alveoli adalah sel pertahanan utama parenkim paru. Terinfeksinya makrofag dan

limfosit ini merupakan proses utama patogenesis penyakit paru pada HIV. lnfeksi

TB paru berat akan menurunkan kadar CD4 sehingga infeksi TB yang terjadi

pada penderita HIV akan meningkatkan angka kematian dua kali lipat dalam

setahun dan akan meningkatkan angka kematian tiga kali lipat pada kadar CD4

dibawah

200 sel/µL (Lee dkk, 2000; Jeong, 2008).

2.4 Gambaran Klinis

2.4.1 Gambaran Klinis HIV

Gambaran klinis HIV beragam, mulai dari asimptomatis yang

berkepanjangan hingga manifestasi AIDS berat. Manifestasi gejala dan tanda HIV

dibagi menjadi empat tahap: (Bartle, 2013)

1. Infeksi akut, muncul pada 6 minggu pertama setelah paparan HIV. Gejala

yang muncul berupa demam, letih, nyeri otot dan sendi, nyeri menelan,

pembesran

KGB

2. Tahap asimptomatis, gejala dan keluhan menghilang. Tahap ini berlangsung

6 minggu hingga beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah infeksi.

3. Tahap simptomatis. Berat badan turun tetapi tidak sampai 10%, pada selaput

mulut terjadi sariawan berulang, peradangan sudut mulut, infeksi bakteri

pada saluran nafas atas namun penderita dapat melakukan aktifitas

8

4. Merupakan tahap lanjut dari AIDS. Pada tahap ini terjadi penurunan berat

badan lebih dari 10%, diare lebih dari satu bulan, demam yang tidak

diketahui sebabnya, kandidiasi oral. Muncul berbagai infeksi sekunder, dapat

juga ditemukan beberapa jenis malignansi termasuk keganasan KGB dan

sarkoma kaposi.

Tabel 2.1. Stadium

Klinis HIV (Kemenkes, 2011)

Stadium I

• Tidak ada gejala • Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium II

• Penurunan berat badan bersifat sedang yang tak diketahui penyebabnya (< 10% dari

perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)

• Infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media, faringitis) • Herpes zoster • Keilitis angularis • Ulkus mulut yang berulang • Ruam kulit berupa papel yang gatal (Papular pruritic eruption) • Dermatisis seboroik • Infeksi jamur pada kuku

Stadium III

• Penurunan berat badan bersifat berat yang tak diketahui penyebabnya (lebih dari 10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)

• Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan • Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya • Kandidiasis pada mulut yang menetap • Oral hairy leukoplakia • Tuberkulosis paru • Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema, meningitis, piomiositis,

Infeksi tulang atau sendi, bakteraemia, penyakit inflamasi panggui yang berat)

• Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis • Anemia yang tak diketahui penyebabnya (< 8 g/dL), netropenia (< 0.5 x 10 g/dL)

dan/atau trombositopenia kronis (< 50 x 10 g/dL)

Stadium IV

9

• Sindrom wasting HIV • Pneumonia Pneumocystis jiroveci • Pneumonia bacteri berat yang

berulang

• Infeksi herpes simplex kronis

(orolabial, genital, atau norektal

selama lebih dari 1 bulan atau

visceral di bagian manapun)

• Kandidiasis esofageal (atau

kandidiasis trakea, bronkus atau

paru)

• Tuberkulosis ekstra paru • Sarkoma Kaposi • Penyakit Cytomegalovirus

(retinitis atau infeksi organ lain,

tidak termasuk hati, limpa dan kelenjar getah bening)

• Toksoplasmosis di sistem saraf

pusat

• Ensefelopati HIV

• Pneumonia Kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk meningitis

• Infeksi mycobacteria non uberkulosis yang

menyebar

• Leukoencefalopati multifokal progresif • Kriptosporidiosis kronis • Isosporiasis kronis • Mikosis diseminata (histoplasmosis, • coccidiomycosis) • Septikemi yang berulang (termasuk

Salmonella non-tifoid)

• Limfoma (serebral atau Sel B non-

Hodgkin) • Karsinoma serviks invasif • Leishmaniasis diseminata atipikal • Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV

yang simtomatis

2.4.2 Gambaran Klinis TB

Derajat imunosupresi dari HIV akan mempengaruhi gejala klinis dari TB.

Gambaran klinis TB pada HIV stadium awal mirip dengan TB tanpa HIV. Batuk

lama, demam, keringat malam atau penurunan berat badan merupakan gambaran

klinis yang khas pada TB, dengan sensitivitas 79%, tetapi spesifisitasnya hanya

50%. Gambaran klinis TB pada kadar CD4 di bawah 200 sel/µL menjadi tidak

khas, 50% merupakan TB ekstraparu. Pada CD4 di bawah 75 sel/µL gejala infeksi

paru hampir tidak ditemukan, TB diseminata dengan manifestasi tidak spesifik

seperti demam lama dengan penyebaran ke organ lain lebih sering ditemukan

dengan tingkat mortalitas yang tinggi (Sterling dkk, 2010). Asimptomatik TB

dengan hasil pemeriksaan foto thorax dan sputum BTA negatif sering ditemukan

pada TB-HIV dan 10% kasus ditemukan di negara-negara endemik TB. Hampir

25% penderita HIV tidak terdiagnosis adanya TB aktif, sehingga skrining TB

direkomendasikan pada seluruh penderita HIV (Lee dkk, 2000; Zumla, 2013).

Tabel 2.4 Presentasi Klinis Pasien TB-HIV (Sharma dkk, 2005)

10

Karakteristik Infeksi HIV lanjut* Infeksi HIV awal

Pulmonal dan ektrapulmonal 50:50 80:20

Gejala klinis Menyerupai TB

primer

Menyerupai post-TB

primer

Gambaran radiologis

Limfadenopati intratorakal

Lobus bawah

Sering

Sering

Jarang

Jarang

Cavitas Jarang Sering

Tes tuberkulin Sering Jarang

Sputum BTA Jarang positif Sering positif

Reaksi adversi obat Sering Jarang

Relaps setelah terapi Sering Jarang

*CD4 di bawah 200 sel/µL

Selain TB, terdapat pula Mycocabterium Other Than Tuberculosis

(MOTT) yang umumnya muncul pada kadar CD4 kurang dari 100 sel/µL. MOTT

dapat terdokumentasi dengan baik pada negara dengan angka TB yang rendah,

tetapi negara dengan angka koinfeksi TB-HIV tinggi persentase MOTT tergolong

rendah, hal ini disebabkan karena sulitnya penegakkan diagnosis (McCarthy dkk,

2011).

Gejala dan tanda infeksi MOTT mirip dengan gejala klinis TB, yaitu batuk

lama, keringat malam, dan penurunan berat badan. Berdasarkan rekomendasi

American Thoracic Society (ATS)/ Infectious Disease Society of America (IDSA),

penegakkan MOTT berdasarkan (1) gejala klinis atau kelainan pada foto thoraks,

meliputi nodul atau kavitas, atau multifokal bronkiektasis yang disertai multiple

noduk kecil pada pemeriksaan CT scan, (2) mengeksklusi diagnosis lainnya, (3)

hasil kultur positif MOTT melalui dua kali pemeriksaan sputum atau melalui satu

kali pemeriksaan bilasan bronkus. Beberapa penelitian yang dilakukan di

Vietnam, Thailand, dan Kamboja menyebutkan kriteria yang diterapkan

ATS/IDSA sering menghadap kendala terutama pada pemeriksaan kultur yang

11

sering kali memberikan hasil negatif. Hal ini menyebabkan prevalensi MOTT

paru pada pasien HIV di daerah Asia Tenggara masih tergolong rendah. Kultur

yang memiliki sensitif yang tinggi untuk MOTT menurut penelitian tersebut

adalah melalui kulur media cair. Sebuah penelitian di Nigeria juga

mengungkapkan pernyataan yang sama, bahkan pemeriksaan Xpert/MTB-Rif

yang merupakan pemeriksaan rekomendasi WHO dikatakan memiliki sensitivitas

yang rendah untuk mendiagnosis MOTT di negara dengan prevalensi TB yang

tinggi. Penegakkan diagnosis MOTT yang sulit inilah yang menyebabkan MOTT

jarang dijumpai sebagai IO pada infeksi HIV (Restiawati dkk, 2011; McCarthy

dkk, 2011).

2.5 Diagnosis

Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan bakteriologi, radiologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya

(Kemenkes, 2013a).

2.5.1 Pemeriksaan Bakteriologi

Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan adanya kuman TB dapat

berasal dari sputum, cairan pleura, cairan cerebrospinal, bilasan bronkus, urin,

maupun jaringan biopsi. Semua pasien suspek TB dilakukan pemeriksaan

spesimen sputum selama dua hari berturut-turut, yaitu sewaktu – pagi - sewaktu

(SPS). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak

mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan mikroskopis memiliki

keuntungan yaitu tidak membutuhkan biaya yang mahal dan hasilnya dapat

diperoleh dengan cepat

(World Health Organization, 2007; Kemenkes, 2011).

12

Gambar 2.4

Alur Diagnosis TB Paru pada penderita HIV Rawat Jalan (Kemenkes, 2013a)

Pemeriksaan sputum BTA memerlukan bahan spesimen Mtb sekitar 105

per mililiter untuk memberikan hasil yang positif. Pasien dengan infeksi HIV

positif jarang memberikan hasil positif pada pemeriksaan BTA. Sulitnya

mengeluarkan dahak merupakan alasan yang paling sering dijumpai. Semakin

rendah sistem imun maka pemeriksaan sputum BTA akan memberikan hasil

negatif akibat sulitnya pembentukan granuloma atau bahkan tidak terbentuk sama

sekali (Swaminathan, 2002; Padmapriyadarsini dkk, 2011; Singhal, 2011).

13

Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan sputum BTA pada penderita dengan

koinfeksi TB-HIV adalah 38,1% dan 74,5%. (Swai dkk, 2011).

Gambar 2.5.

Alur Diagnosis TB Paru pada Penderita HIV Sakit Berat (Kemenkes, 2013a)

Kultur sputum Mtb merupakan pemeriksaan standar baku untuk

menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan kultur sputum selain digunakan untuk

identifikasi jenis Mycobacterium, juga dapat mengetahui resistensi OAT. WHO

merekomendasikan pemeriksaan kultur sputum Mtb pada pasien dengan BTA

negatif, dan lebih dianjurkan untuk pemeriksaan kultur sputum dengan media cair

karena sensitivitas dan hasil yang diperoleh lebih cepat dibandingkan dengan

kultur media padat. Permasalahan yang sering dihadapi dari pemeriksaan kultur

sputum Mtb adalah tidak semua fasilitas kesehatan menyediakan pemeriksaan ini

14

sehingga harus dikirim ke tempat yang memiliki fasilitias pemeriksaan kultur

sputum.

Desentralisasi kultur sputum merupakan pengiriman sputum yang dianjurkan

(WHO, 2006). Pada saat ini kementerian kesehatan menetapkan penggunaan

media Lowenstein-Jensen (LJ) sebagai pemeriksaan dengan mempertimbangkan

ketersediaan sumber daya. Tidak satu pun uji tunggal yang dapat membedakan

Mtb dan Mycobacterium lannya, sehingga identifikasi Mtb didasarkan pada hasil

pemeriksaan, kecepatan tumbuh, morfologi koloni, uji Para Nitro Benzoic Acid

(PNB), dan uji niasin (Kemenkes, 2012).

Beberapa uji identifikasi yang dapat digunakan adalah: (Swapna dkk, 2011;

Kemenkes 2012)

1. Uji Niasin. Semua Mycobacterium dapat menghasilkan asam nikotinal.

Mtb dan beberapa spesies seperti M. simiae dan M. chelonae tidak dapat

menghasilkan asam nikotinal tersebut. Jumlah asam nikotinak yang

dibentuk terbanyak terbanyak ada pada media LJ, karena itu pemeriksaan

ini membutuhkan media LJ. Uji niasin dengan paper strip merupakan

pemeriksaan yang direkomendasikan oleh WHO dengan hasil meta

analisisnya paling sensitif.

2. Uji PNB. Uji ini juga menggunakan media LJ. Pemeriksaan ini

membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu 28 - 42 hari.

3. Uji mycobacterium tuberculosis protein 64 (MPT-64). MPT merupakan

antigen spesifik yang disekresikan oleh Mtb saat pertumbuhan bakeri.

Antigen MPT-64 tidak ditemukan pada M. bovis, M. leprae, dan

Mycobacterium Other Than Tuberculosis (MOTT). Keunggulan dari

15

pemeriksaan ini adalah hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk

mendeteksi Mtb atau MOTT, dengan sensitivitas 96,5 - 100% dan

spesifisitas 100%.

Pemeriksaan diagnostik lainnya adalah Xpert MTB/Rif. Xpert MTB/Rif

merupakan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) otomatis dengan

menggunakan platform GeneXpert (Cepheid, Sunnyvale, CA, United States).

Xpert MTB/Rif dapat mengindentifikasi Mtb serta resistensi rifampisin secara

bersamaan dalam waktu dua jam. Pada Xpert MTB/Rif amplifikasi dan deteksi

dari PCR tergabung dalam suatu unit yang disebut dengan Xpert Mtb/Rif

cartridge. Sample pemeriksan Xpert Mtb/Rif dapat menggunakan bahan sputum

yang berupa sampel sputum segar atau sedimen sputum atau bahan cairan pleura,

cairan serebrospinal, atau fine needle aspiration biopsy (FNAB) dari KGB. Xpert

Mtb/Rif dengan sampel sputum dapat mendeteksi Mtb 103 dan memiliki

sensitifitas dan spesivisitas yang cukup tinggi yaitu 88% dan 99% dalam

mendiagnosis TB-HIV khususnya yang berasal dari sputum (Kemenkes, 2013a;

WHO, 2014a, O'Grady dkk, 2012).

WHO merekomendasikan pemeriksaan Xpert Mtb/Rif untuk mendiagnosis

TB disamping pemeriksaan sputum BTA dan kultur untuk mendiagnosis MDR-

TB atau koinfeksi TB-HIV. Pada daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi,

WHO menganjurkan untuk dilakukan pemeriksaan molekuler seperti Xpert

MTB/Rif bila fasilitasnya memungkinkan. Pemeriksaan ini dianjurkan sebagai

pemeriksaan diagnostik primer pada pasien TB-HIV. Selain direkomendasikan

untuk mendiagnosis TB paru, Xpert MTB/Rif direkomendasikan oleh WHO

untuk mendiagnosis dengan cepat TB ekstraparu. Rekomendasi tersebut terutama

pada meningitis TB yang membutuhkan diagnosis cepat dan pemeriksaan KGB

16

atau jaringan lain, tetapi masih dengan bukti kualitas yang rendah, tetapi tidak

semua daerah di Indonesia memiliki fasilitas pemeriksaan Xpert MTB/Rif.

(WHO, 2014;

WHO, 2014a; Kemenkes, 2013a).

2.5.2. Pemeriksaan Radiologi

Pada pemeriksaan foto thorax, TB-HIV memiliki gambaran yang beragam,

tergantung dari stadium HIV. Gambaran radiologis stadium awal HIV sama

dengan penderita non HIV, berupa kavitas pada lobus atas, infiltrat, dan nodul.

Pada stadium lanjut 80% gambarannya mirip infeksi primer TB. Ada pula yang

memberikan gambaran ekstraparu seperti efusi pleura, limfadenopati hilus bahkan

normal. Penelitian yang dilakukan oleh Ong dkk (2008), gambaran radiologi pada

penderita HIV dengan kadar CD < 200 sel/µL berupa gambaran infiltrat di daerah

basal, tuberukulosa pneumonia, limfadenopati mediastinum dan hilus, dan miliar.

Beberapa studi di Kenya menemukan 13% penderita dengan kultur BTA positif

memiliki foto thorax normal (Lee dkk, 2000; Zumla, 2013; Hoffman,2014).

Gambar 2.6

Diagnosis TB-HIV Berat (WHO, 2013d)

24

19

2.5.3 Pemeriksaan Lipoarabinomannan

Mendeteksi antigen Mycobacterium merupakan salah satu pilihan untuk

mendiagnosis TB. LAM merupakan salah satu pemeriksaan antigen yang dapat

mendiagnosis TB paru (Achkar, 2011).

Dinding sel Mycobacterium merupakan struktur yang kompleks yang

terdiri dari beberapa komponen penting untuk imunogenitias. Komponen tersebut

terdiri dari peptidoglycan, arabinogalactan, myocolic acid lipid, yang merupakan

ciri khas dari sel Mycobacterium, dan lapisan glikolipid yang merupakan lapisan

teratas dari plasma membran. LAM, lipomannan (LM), dan phosphatidylinositol

(PI) mannoside (PIMs) merupakan mannose dari glikolipid yang penting pada

pembungkus sel. Peptidoglycan secara umum dapat ditemukan pada bakteri,

sedangkan mycolic acid hanya ditemukan pada Mycobacterium dan merupakan

asam lemak yang merupakan bagian unik dari Mycobacterium. (Fukuda dkk,

2013; Cheepsattayakorn, 2005; Stronhmeier, 1999). Pembungkus dari Mtb

berguna untuk pertahanan dalam tubuh pejamu yang terinfeksi dan terhadap

beberapa obat anti Mycobacterium yang menghambat biosintesis dan komponen

dinding sel. LAM, merupakan melokul non-peptida yang mengatur respon imun

pejamu, sedangkan mannose-capped LAM (ManLAM) merupakan molekul anti

inflamasi yang kuat (Nigou, 2003).

LAM berukuran 17.500 dalton, dilepaskan dari metabolik aktif atau sel

bakteri selama infeksi TB (Peter dkk, 2010). Molekul-molekul LAM membentuk

suatu ikatan non kovalen dengan plasma Mycobacterium melalui glikofosfolipid

dan permukaan dinding sel. Molekul LAM memiliki tiga struktur utama yaitu

glikofosfolipid, mannan, dan arabinan. Glikofosfolipid umumnya terdapat pada

semua spesies Mycobacterium. Masing-masing molekul LAM memiliki capping

20

yang berbeda-beda tergantung jenis spesiesnya. Molekul LAM dengn cap

mannosylated (ManLAM) terdapat pada spesies Mtb, Mycobacterium lepra,

Mycobacterium bovis. Molekul LAM dengan cap fosfoinositol (PILAM) terdapat

pada Mycobacterium smegmatis. Sedangkan Mycobacterium chelonae tidak

memiliki cap mannose atau fosfoinositol, tetapi memiliki bentuk cap molekul Ara

LAM. (Lawn, 2012).

Gambar 2.7.

Dinding sel mikobakterium (Mistry., 2008)

LAM dapat menginduksi sitokin imunosupresif termasuk mengugah

TGFB, menginduksi nitric oxide (NO), TNF-A, dan melepaskan interleukin-12

(IL-12) ke dalam pembuluh darah perifer pada tuberkulosis yang baru didiagnosis

(Cheepsattayakorn, 2005). Pada saat terjadi infeksi, pejamu akan mengeluarkan

antibodi untuk melawan antigen mikobakterium. Antigen humoral nonprotein

tersebut adalah LAM. Sirkulasi antibodi LAM dapat ditemukan pada penderita

tuberkulosis aktif (Stronheimerer., 1997).

LAM tidak hanya terdapat pada Mtb tetapi juga ditemukan pada

21

Mycobacterium leprae, Mycobacterium bovis, Mycobacterium avium,

Mycobacterium kansasii, Mycobacterium fortuitum, Mycobacterium smegmatis,

dan Mycobacterium chelonae (Mishra., 2011).

Gambar 2.8.

Lipoarabinomannan pada dinding sel M tuberkulosis, M smegmatis, dan C

glutamicum (Mishra., 2011)

Selain terdapat dalam Mycobacterium, LAM juga terdapat pada genus

Rhadococcus. Rhadococcus adalah bagian dari Actinomycetes yang termasuk

dalam genus Mycobacterium. Pada Rhadococcus berat LAM lebih ringan

dibanding Mtb dan M bovis, serta tidak memiliki bagian arabinan (Nigou dkk,

2003; Mishra dkk,

2011). Selain itu dinding sel yang kaya akan lipid dapat juga dijumpai pada

Corynebacterium dan Nocardia (Mishra dkk, 2011; Peter dkk, 2010). Antibodi

poliklonal anti-LAM memiliki reaksi silang dengan beberapa varian dari

Actinobacteria termasuk di dalamnya Nocardia, Streptomuces, dan Candida.

Kontaminan spesimen urin yang mengandung spesies Candida dan adanya

MOTT memberikan nilai prediktif yang rendah pada hasil LAM yang positif.

(Peter dkk,

22

2010; Minion dkk, 2011).

Infeksi HIV merupakan salah satu faktor predisposisi munculnya infeksi

Rhodococcus equi. Secara umum infeksi Rhodococcus equi termasuk jarang sekali

terjadi. Gejala klinisnya mirip dengan pneumonia, dengan gejala tersering adalah

demam, batuk yang disertai dahak. Penelitan yang dilakukan oleh Da Silva dkk

(2011) menyebutkan jarang menemukan infeksi Rhodococcus equi pada penderita

HIV. Pada penelitian tersebut, dari 546 penderita HIV ditemukan 17% dengan

infeksi Rhodococcus equi melalui pemeriksaan sputum (Da Silva dkk, 2011;

Tortosa dkk., 2003).

Boeme dkk (2005) melakukan kultur terhadap beberapa bakteri gram

positif dan negatif, seperti Klebsiella pneumoniae, Streptococcus agalactiae,

Stetococcus pnuemoniae, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus,

Proteus vulgaris, Escherichia coli, Neisseria meningitidis, dan Haemophilus

influenza. Tes dilakukan dengan menggunakan LAM ELISA. Pemeriksaan juga

dilakukan pada beberapa Mycobacterium dengan melihat reaksinya terhadap

LAM ELISA. Hasil yang diperoleh adalah LAM ELISA tidak memiliki reaksi

terhadap bakteri gram positif dan negatif sedangkan pada spesies Mycobacterium,

Mtb dan M. bovis memiliki sensitivitas tertinggi terhadap LAM ELISA (Beohme

dkk, 2005).

23

Gambar 2.9

Reaksi LAM (Boehme dkk., 2005)

A. Membandingkan antibodi LAM dengan bakteri gram positif dan gram negatif

B. Reaksi LAM ELISA terhadap berbagai spesies Mycobacterium

LAM dapat dideteksi pada sputum, cairan serebrospinal, urin dan cairan

pleura sehingga LAM dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi

Mycobacterium paru maupun ekstraparu (Boehme dkk, 205; Peter, 2010).

24

Pemeriksaan sputum LAM menunjukkan sensitivitas yang tinggi (86%;

95% CI 81, 90%) tetapi spesifisitas yang rendah (15%; 95% CI 10, 21%) bila

dibandingkan dengan LAM urin (Dheda dkk, 2010). Menurut Patel dkk (2009)

pada cairan serebrospinal sensitivitasnya 64% dan spesifisitasnya 69% bila

dibandingkan dengan PCR. Permeabilitas LAM dalan sawar otak masih

membutuhkan penelitian lebih lanjut. Beberapa studi menunjukkan pemeriksaan

LAM merupakan pemeriksaan yang menjanjikan dalam mendiagnosis meningitis

TB. Pada pemeriksaan cairan pleura, antigen LAM tidak lebih baik dibanding

ADA dalam mendiagnosis TB, bahkan oleh peneliti penelitian LAM dihentikan

karena tidak memberikan hasil positif terdapat dua puluh empat pertama pasien.

Hal ini disebabkan karena cairan pleura memiliki kadar protein yang tinggi

sehingga mengikat LAM bebas. Rendahnya deteksi antigen LAM kemungkinan

disebabkan rendahnya kadar basil pada penyakit pleura (Dheda dkk, 2009a)

Pada tahun 1960 telah diketahui bahwa Mtb dapat dijumpai pada urin

seroang penderita TB aktif, tetapi urin bukan pemeriksaan rutin karena hasilnya

tidak memuaskan, yaitu sekitar 2%. Pada pasien yang terinfeksi HIV pemeriksaan

melalui urin justru memberikan hasil yang lebih memuaskan, yaitu 70% (Peter

dkk, 2010). Mekanisme LAM dapat terdeteksi melalui urin hingga saat ini masih

belum dapat dijelaskan. LAM memiliki ukuran yang mirip dengan mioglobin

(16.700 dalton), melalui aliran darah dapat keluar melalui urin melalui rusaknya

otot pada seseorang yang tidak memiliki gangguan pada fungsi glomerulus

(Lawn, 2012; Wood dkk, 2012). Hal ini yang membuat molekul LAM diyakini

dapat keluar melalui urin. Secara sistematis pelepasan LAM melalui sirkulasi

imun komples tidak dapat melewati glomerulus ginjal normal, tetapi pada

25

kenyataannya LAM antibodi kompleks yang dilepaskan Mycobacterium melalui

traktus urinarius dapat melalui urin (Wood dkk, 2012). Adanya gangguan pada

fungsi ginjal, seperti nefropati HIV akan mempengaruhi kemampuan LAM yang

berasal dari aliran darah keluar melalui urin.

Terdapat tiga model yang mungkin terjadi pada LAM yang dilepaskan

oleh Mycobacterium tubuh.(Wood, 2012)

A. LAM dilepaskan oleh organisme dari sirkulasi sistemik (nonrenal) ke dalam

sirkulasi dimana antibodi anti-LAM akan berikatan dengan imun kompleks

dan keluar ke urin pada ginjal normal. Pada model ini seseorang yang

memiliki fungsi ginjal normal akan memberikan hasil LAM yang negatif bila

tidak dijumpai mikobakteriuria.

B. Molekul LAM bebas dilepaskan oleh organisme Mtb ke kompartemen

sistemik melalui sirkulasi tetapi tidak terikat oleh antibodi dan akan

dikeluarkan melalui urin pada ginjal yang normal. Pada model ini akan

memberikan hasil LAM urin positif pada meskipun tidak dijumpai adanya

Mycobacterium.

C. Urin LAM dilepaskan langsung oleh organisme Mtb ke dalam urin.

Mikobakteriuria dapat dijumpai pada kejadian TB ekstraparu. Pada model ini

akan memberikan hasil positif pada pemeriksaan uji LAM bila ditemukan

adanya Mtb di urin.

26

Gambar 2.9.

Tiga model pelepasan LAM (Wood R, 2012)

A. LAM yang terikat dengan antibodi dari kompleks imun dilepaskan secara

sistemik ke sirkulasi dan melalui filtrasi ginjal LAM dapat melewati

membran glomerulus. Pada model ini memberikan tes LAM akan negatif bila

tidak dijumpai adanya Mtb. B. LAM tidak terikat dengan antibodi anti LAM,

LAM bebas terfiltrasi keluar melalui urin. Pada model ini pemeriksaan LAM

akan memberikan hasil positif meskipun tidak ada Mtb. C. Mtb keluar

langsung melalui traktur urinarius dan melepaskan LAM ke urin. Pada model

ini tes LAM positif bila dijumpai Mtb.

Sebuah studi besar di Tanzania melaporkan proteinuria memiliki

hubungan dengan kadar positif dari LAM (Reither dkk, 2009). Pendapat

sebaliknya diungkapkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Dheda dkk (2010),

yang menyatakan tidak adanya hubungan antara LAM urin dengan proteinuria.

Sensitivitas yang berbeda-beda dari tiap penelitian disebabkan oleh berbagai

faktor seperti beratnya derajat HIV dari tiap pasien, tipe strain virus, populasi

genetika dan malnutrisi. Suatu analisis dengan menggunakan pemeriksaan

27

kuantifikasi ekskresi proteinuria dilaporkan oleh Wood dkk (2012). Proteinuria

yang terdeteksi pada penderita dengan LAM positif tidak berhubungan dengan

dengan derajat disfungsi glomerulus Hal yang terpenting dari penelitian ini

adalah Mtb ditemukan pada lebih dari setengah pasien dengan LAM positif dan

tidak ditemukan pada kontrol dengan LAM negatif.

LAM urin merupakan suatu pemeriksaan imunokromatografi. Sampel urin

ditambahkan pada pad sampel dimana koloid antibodi akan mengikat LAM yang

terdapat pada sampel. Sampel urin pada pad akan bergerak sepanjang strip tes

melalui membran nitroselulosa. Partikel koloid memberikan garis berwarna ungu

bila ditemukan adanya LAM dalam sampel. Garis kontrol terdapat pada strip tes

dimana cut off yang digunakan adalah pada +2 (Lawn, 2012).

2.6 Hubungan LAM Urin dan Tuberkulosis

Pemeriksaan LAM Urin merupakan pemeriksaan antigen lateral flow yang

relatif murah, memiliki hasil yang cepat, sensitvitas dan spesifisitas yang tinggi

pada pasien HIV. Menurut Lawn dkk (2012) yang melakukan studi di Afrika

Selatan, 235 pasien ART naive dengan kadar rata-rata CD4 125 sel/µL,

menunjukkan sensitivitas LAM urin sebesar 95%. Pada studi yang dilakukan oleh

Shah dkk (2010) yang dilakukan di Afrika Selatan terhadap 499 penderita suspek

TB (85% terinfeksi HIV) menunjukkan sensitifitas LAM 71% pada kadar CD4 50

- 100 sel/uL dan 85% pada CD4 di bawah 50 sel/µL. Pemberian terapi obat anti

tuberkulosis (OAT) akan menurukan sensitivitas hingga 33% (Shah dkk, 2010).

Wood (2012) juga memaparkan hubungan LAM dengan pemberian OAT. Pada

minggu pertama kadar setelah pemberian OAT kadar LAM masih stabil, tetapi

28

setelah minggu kedua kadar LAM mulai menurun dengan drastis dan semakin

turun hingga tidak terdeteksi setelah minggu kedua puluh empat.

Studi yang dilakukan oleh Dheda dkk (2010) membandingkan

pemeriksaan LAM urin, sputum BTA dan kombinasi LAM urin dan sputum BTA.

Pada pemeriksaan sputum BTA tunggal sensitivitasnya 65% pada pasien TB, 49%

pada pasien dengan koinfeksi HIV, dan 37% pada pasien HIV dengan kadar CD4

< 200 sel/µL, sebaliknya pemeriksaan LAM urin sensitivitasnya justru terbalik

yaitu 13%, 21%, dan 37% pada kelompok yang sama. Pemeriksaan LAM urin

yang dikombinsi dengan sputum BTA pada pasien dengan kadar CD4 kurang dari

200 sel/µL memiliki sensitivitas 53%. Menurut Gaunder dkk (2011) sensitivitas

LAM urin tidak lebih baik dibanding pemeriksaan sputum BTA. Sensitivitas

LAM urin hanya 32%, tidak lebih baik dibanding pemeriksaan sputum BTA yang

sama-sama memberikan hasil pemeriksaan yang cepat.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bjerrum S dkk (2015) pada 469

sampel di Ghana memiliki sensitivitas 44%, spesifisitas 95%, dengan RKP 8,6

dan RKN 0,6 pada sampel dengan kadar CD4 ≤ 100 sel/µL. Dari penelitian

tersebut, kesimpulan yang dapat ditarik adalah pemeriksaam LAM urin dapat

digunakan untuk mendiagnosis penderita HIV dengan keadaan umum yang buruk.

Sebuah metaanalisis dilakkukan oleh Minion dkk (2010) menyimpulkan

penggunaan LAM urin memiliki sensitivitas yang lebih baik dibanding sputum

BTA terutama pada penderita TB-HIV dengan imunodefisiensi lanjut. Kendala

dari pemeriksaan LAM Urin adalah adanya reaksi silang antara Mtb dengan

MOTT yang memberikan positif palsu. Kontaminasi bahan urin dengan flora

normal seperti kandida juga menurunkan nilai prediktif positif pada pemeriksaan

29

LAM. Ada beberapa alasan mengapa pemeriksaan LAM lebih sensitif pada pasien

dengan imunosupresi yaitu: (Minion, 2011)

1. Suatu teori menyebutkan adanya korelasi antara sensitifitas yang tinggi

dengaan banyaknya jumlah bakteri. Pada pasien imunosupresi Mtb akan

berreplikasi lebih banyak di jaringan, hal ini yang menyebabkan sirkulasi

LAM menjadi lebih banyak pula.

2. Kompleks antigen-antidbodi akan terbentuk lebih banyak pada pasien TB

tanpa imunosupresi sehingga ekskresi LAM tidak keluar melalui urin.

3. HIV berhubungan dengan disfungsi podosit yang lebih banyak terjadi pada

penderita HIV stadium lanjut, akan meningkatkan permeabilitas glomerulus

sehingga kadar LAM akan terdeteksi pada urin.