bab ii tinjauan pustaka 2.1. 2.1.1. -...
TRANSCRIPT
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Sanitasi
2.1.1. Hygiene
Hygiene adalah suatu ilmu kesehatan yang mencakup seluruh faktor yang
membantu atau mendorong adanya kehidupan yang sehat baik perorangan maupun
melalui masyarakat (Mukono, 2000). Sedangkan menurut Azwar (2000) Hygiene
adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan
terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh
kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan.
1. Hygiene Petugas Kesehatan
Hygiene petugas kesehatan dilakukan dengan upaya selalu memakai masker
ketika bertugas, memakai sarung tangan, mencuci tangan dengan sabun sebelum dan
sesudah menangani pasien, makanan/minuman petugas di ruangan dalam keadaan
tertutup, tidak makan/minum sambil menangani pasien, memakai peralatan
makan/minum yang bersih, dan sampai di rumah langsung mandi.
Dalam Tietjen (2004), Boyce dan Pittet (2002), menyebutkan bahwa kegagalan
untuk melakukan kebersihan dan kesehatan tangan yang tepat dianggap sebagai
sebab utama infeksi nosokomial yang menular di pelayanan kesehatan dan
penyebaran mikroorganisme multiresisten dan telah diakui sebagai kontributor yang
penting terhadap timbulnya wabah.
2.1.2. Sanitasi
Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi
kebersihan lingkungan dari subjeknya, misalnya menyediakan air bersih untuk
Universitas Sumatera Utara
keperluan mencuci tangan, menyediakan tempat sampah agar tidak dibuang
sembarangan (Depkes RI, 2004). Sanitasi sering juga disebut dengan sanitasi
lingkungan dan kesehatan lingkungan, sebagai suatu usaha pengendalian semua
faktor yang ada pada lingkungan fisik manusia yang diperkirakan dapat
menimbulkan hal-hal yang mengganggu perkembangan fisik, kesehatannya ataupun
kelangsungan hidupnya (Adisasmito, 2006).
Menurut UU RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyebutkan bahwa
kesehatan lingkungan meliputi penyehatan air, dan udara, penanganan limbah padat,
limbah cair, limbah gas, radiasi, dan kebisingan, pengendalian faktor penyakit, dan
penyehatan atau pengamanan lainnya. Melihat luasnya ruang lingkup kesehatan
lingkungan, sangatlah diperlukan adanya multi disiplin kerja agar kegiatannya dapat
berjalan dengan baik. Misalnya diperlukan tenaga ahli di bidang air bersih, ahli
kimia, ahli biologi, ahli teknik dan sebagainya (Mukono, 2006).
Hygiene dan sanitasi lingkungan adalah pengawasan lingkungan fisik,
biologis, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana
lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan yang merugikan
diperbaiki atau dihilangkan (Entjang, 2000). Kesehatan masyarakat adalah ilmu dan
seni mencegah penyakit, memperpanjang hidup, dan meningkatkan kesehatan
melalui usaha-usaha pengorganisasian masyarakat untuk perbaikan sanitasi
lingkungan, pemberantasan penyakit menular, pendidikan kesehatan dan sebagainya
(Notoatmodjo, 2007).
Hygiene dan sanitasi tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena erat
kaitannya dalam kehidupan sehari-hari untuk mendukung perilaku hidup sehat dan
Universitas Sumatera Utara
bersih. Misalnya hygiene sudah baik karena petugas mau mencuci tangan dengan
bersih memakai sabun sebelum dan sesudah menangani pasien, tetapi jika keadaan
sanitasi lingkungan buruk misalnya karena tidak tersedianya air bersih yang cukup
maka mencuci tangan tidak dapat dilakukan dengan baik dan sempurna.
2.2. Rumah Sakit
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1204/MENKES/SK/X/2004 Tentang Persayaratan Kesehatan Lingkungan bahwa
rumah sakit adalah sarana pelayanan kesehatan, tempat berkumpulnya orang sakit
maupun orang sehat, atau dapat menjadi tempat penularan penyakit serta
memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 340/Menkes/SK/III/ 2010
Tentang Rumah Sakit, menyebutkan bahwa rumah sakit adalah institusi yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan, perorangan secara paripurna, yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.
2.2.1. Tugas Rumah Sakit
Pada umumnya tugas rumah sakit ialah menyediakan keperluan untuk
pemeliharaan dan pemulihan kesehatan. Menurut keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor: 983/Menkes/SK/XI/1992, tugas rumah sakit umum
adalah melaksanakan upaya kesehatan secara daya guna dan berhasil guna dengan
mengutamakan upaya penyembuhan dan pemeliharaan yang dilaksanakan secara
serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan
rujukan.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Fungsi Rumah Sakit
Dalam Siregar (2004) disebutkan bahwa rumah sakit memiliki berbagai
fungsi, yaitu:
1. Pelayanan Penderita
Pelayanan penderita yang langsung di rumah sakit terdiri atas pelayanan medis,
pelayanan farmasi, dan pelayanan keperawatan. Disamping itu, untuk
mendukung pelayanan medis, rumah sakit juga mengadakan pelayanan berbagai
jenis laboratorium.
2. Pendidikan dan Pelatihan
Pendidikan dan pelatihan profesi kesehatan, yang mencakup dokter, apoteker,
perawat, pekerja sosial pelayanan medik, personal rekam medik, teknisi sinar X,
dan laboratorium, teknologi medik, terapis pernafasan, terapis fisik,
okupasional, dan administrator rumah sakit.
3. Pendidikan dan/ atau pelatihan penderita, merupakan suatu fungsi rumah sakit
yang penting dalam suatu lingkup yang jarang disadari oleh masyarakat. Hal ini
mencakup pendidikan umum bagi anak-anak yang terikat pada hospitalisasi
jangka panjang; pendidikan khusus dalam bidang rehabilitasi-psikiatri, sosial,
fisik, dan okupasional; pendidikan khusus dalam perawatan kesehatan, misalnya
mendidik penderita diabetes atau penderita kelainan jantung untuk merawat
penyakitnya. Pendidikan tentang obat sangat penting diberikan kepada
penderita, untuk peningkatan kepatuhan, mencegah penyalahgunaan obat, dan
Universitas Sumatera Utara
untuk meningkatkan hasil terapi yang optimal dengan penggunan obat yang
sesuai dan tepat.
4. Penelitian
Rumah sakit melakukan suatu fungsi vital untuk dua maksud utama, yaitu
memajukan pengetahuan medik tentang penyakit dan peningkatan atau
perbaikan pelayanan rumah sakit. Kedua maksud tersebut ditujukan pada tujuan
dasar dari pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi penderita.
5. Kesehatan masyarakat
Tujuan utama dari fungsi rumah sakit keempat yang relatif baru ini ialah
membantu komunitas dalam mengurangi timbulnya kesakitan (illness) dan
meningkatkan kesehatan umum penduduk. Contoh kegiatan kesehatan
masyarakat adalah hubungan kerja yang erat dari rumah sakit yang mempunyai
bagian kesehatan masyarakat untuk penyakit menular, partisipasi dalam program
deteksi penyakit seperti tuberkolosis, diabetes, hipertensi, dan kanker; partisipasi
dalam program inokulasi masyarakat, seperti terhadap influenza dan
poliomyelitis, dan lain-lain.
6. Pelayanan Rujukan Upaya Kesehatan
Adalah suatu upaya pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan
tanggung jawab timbal balik atau kasus atau masalah yang timbul, baik secara
vertikal maupun secara horizontal kepada pihak yang mempunyai fasilitas yang
lebih lengkap dan mempunyai kemampuan yang lebih tinggi.
2.2.3. Klasifikasi Rumah Sakit Umum Pemerintah
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 983 / Menkes / SK /
XI / 1992 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum dalam Siregar (2004)
disebutkan bahwa Rumah Sakit Umum Pemerintah Pusat dan Daerah
diklasifikasikan menjadi Rumah Sakit Umum kelas A, B, C, dan kelas D. Klasifikasi
tersebut didasarkan pada unsur pelayanan, ketenagaan, fisik, dan peralatan.
1. Rumah Sakit Umum Kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dan subspesialistik luas.
2. Rumah Sakit Umum Kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dan subspesialistik
terbatas.
3. Rumah Sakit Umum Kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dasar.
4. Rumah Sakit Umum Kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dasar.
2.2.4. Jenis Perawatan di Rumah Sakit
Dalam Siregar (2004) disebutkan bahwa jenis perawatan di rumah sakit
terdiri atas:
1. Perawatan Penderita Rawat Tinggal
Dalam perawatan penderita di rumah sakit ada lima unsur tahap pelayanan,
yaitu:
a. Perawatan intensif, adalah perawatan bagi penderita kesakitan hebat yang
memerlukan pelayanan khusus selama waktu kritis kesakitan atau lukanya,
Universitas Sumatera Utara
suatu kondisi apabila ia tidak mampu melakukan kebutuhannya sendiri. Ia
dirawat dalam ruang perawatan intensif oleh staf medik dan perawat khusus.
b. Perawatan Intermediet, adalah perawatan bagi bagi penderita setelah kondisi
fisik membaik, yang dipindahkan dari ruang perawatan biasa. Perawatan
intermediet merupakan bagian terbesar dari jenis perawatan dikebanyakan
rumah sakit.
c. Perawatan Swarawat, adalah perawatan yang dilakukan penderita yang dapat
merawat diri sendiri, yang datang ke rumah sakit untuk maksud diagnostik saja
atau penderita yang kesehatannya sudah cukup pulih dari kesakitan
intermediet, dapat tinggal dalam suatu unit perawatan sendiri (self-care unit).
d. Perawatan Kronis, adalah perawatan penderita dengan kesakitan atau
ketidakmampuan jasmani jangka panjang. Mereka dapat tinggal dalam bagian
rumah sakit atau dalam fasilitas perawatan tambahan atau rumah perawatan
yang juga dapat dioperasikan rumah sakit.
e. Perawatan Rumah, adalah perawatan penderita di rumah yang dapat menerima
layanan seperti biasa tersedia di rumah sakit, dibawah suatu program yang di
sponsori oleh rumah sakit.
2. Perawatan Penderita Rawat Jalan.
Perawatan ini diberikan kepada penderita melalui klinik, yang menggunakan
fasilitas rumah sakit tanpa terikat secara fisik di rumah sakit. Mereka datang ke
rumah sakit untuk pengobatan atau untuk diagnosis, atau datang sebagai kasus.
2.3. Infeksi Nosokomial
2.3.1. Defenisi Infeksi Nosokomial
Universitas Sumatera Utara
Istilah Infeksi nosokomial berasal dari kata Greek nosos (penyakit) dan
komeion (merawat). Nosocomion (atau menurut Latin, nosocomium) merupakan arti
rumah sakit. Secara umum defenisi infeksi nosokomial yang telah disepakati yaitu
setiap infeksi yang didapat selama perawatan di rumah sakit, tetapi bukan timbul
ataupun pada stadium inkubasi pada saat masuk dirawat di rumah sakit, atau
merupakan infeksi yang berhubungan dengan perawatan di rumah sakit sebelumnya
(Soedarmo, dkk, 2008).
Infeksi nosokomial adalah suatu kondisi lokal atau sistemik sebagai reaksi
lanjut dari agen infeksi yang ada toksinnya, yang tidak tampak atau dalam masa
inkubasinya pada saat masuk rumah sakit (Dirjen PPM dan PL Depkes RI, 2010).
Menurut Djojosugito (2004) bahwa Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat
penderita ketika penderita tersebut dirawat di rumah sakit, atau pernah dirawat di
rumah sakit dan baru menampakkan gejala setelah pulang dari rumah sakit.
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit, atau infeksi
yang disebabkan oleh kuman yang di dapat selama berada di rumah sakit dengan
ketentuan:
1. Pada saat masuk RS tidak didapat tanda-tanda klinis dan tidak sedang dalam
masa inkubasi penyakit tersebut.
2. Infeksi timbul sekurang-kurangnya 3 x 24 jam sejak dirawat di RS.
3. Infeksi terjadi pada pasien dengan masa rawat lebih lama dari masa inkubasi
penyakit tersebut. (Dirjend Pelayanan Medik, 2002).
Menurut Centre for Disease Control and Prevention (1998) dalam Soedarmo,
dkk (2008), suatu infeksi didapatkan di rumah sakit apabila:
Universitas Sumatera Utara
1. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-
tanda klinis infeksi tersebut.
2. Tanda-tanda klinis infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya setelah
3x24 jam sejak mulai perawatan.
3. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya.
4. Bila saat mulai dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi dan
terbukti infeksi didapat penderita ketika di rumah sakit yang sama pada
waktu yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial.
2.3.2. Klasifikasi Infeksi Nosokomial
Menurut (David, 2003) ada beberapa klasifikasi infeksi nosokomial
berdasarkan tempatnya, adalah sebagai berikut:
a. Community Aquired Infection
Umumnya tiap-tiap rumah sakit telah mempunyai policy untuk menempatkan
dan perawatan dari penderita dengan penyakit menular. Problema timbul bila
diagnosa tidak segera dapat ditegakkan sesaat si penderita masuk ke rumah
sakit, sehingga penderita bisa menularkan penyakitnya pada penderita lain.
b. Cross infection (infeksi silang)
Kebanyakan orang menganggap bahwa infeksi silang inilah yang dimaksud
dengan infeksi nosokomial. Infeksi ditularkan dari penderita atau anggota staf
rumah sakit ke penderita lainnya.
c. Infection Acquired form the Environment
Keadaan lingkungan ini selalu dituduh sebagai penyebab infeksi nosokomial.
Seperti lingkungan yang kotor dalam rumah sakit, alat-alat untuk pemeriksaan
Universitas Sumatera Utara
atau pengobatan. Infeksi atau keracunan dari makanan yang disediakan di
rumah sakit.
d. Self Infection (Infeksi diri sendiri)
Ini adalah penyebab infeksi nosokomial yang tersering. Disini kuman-kuman
jaringan tubuhnya dan menimbulkan penyakit. Misalnya pada pemberian
antibiotik flora usus. Flora usus yang tadinya tidak, oleh karena terjadinya
empat komponen yang terlihat dibawah ini merupakan gambaran dari hospital
infection. Faktor-faktor yang menentukan terjadinya infeksi.
2.3.3. Mikroorganisme Penyebab Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial dapat disebabkan oleh mikroorganisme patogen (bakteri,
virus, fungi dan protozoa). Sering disebabkan oleh bakteri yang berasal dari flora
endogen pasien sendiri. Faktor-faktor seperti pengobatan dengan antibiotik, uji
diagnostik dan pengobatan yang invasif, penyakit dasar, bersama-sama mengubah
flora endogen pasien selama dirawat. Beberapa mikroorganisme seperti basil Gram-
negatif, E. coli, spesies enterobacter, klebsiela, pseudomonas aeruginosa,
staphilococcus merupakan pathogen nosokomial yang paling sering (Soedarmo, dkk,
2008).
Dalam Soedarmo, dkk, (2008) disebutkan beberapa jenis infeksi nosokomial
yang paling sering terjadi dan mikroorganisme penyebabnya, antara lain yaitu:
1. Infeksi Saluran Kemih
Universitas Sumatera Utara
Dari laporan penelitian, tercatat infeksi saluran kemih (ISK) merupakan
infeksi nosokomial yang paling sering terjadi, lebih kurang 40% dari seluruh
infeksi nosokomial. Saluran kemih merupakan tempat utama masuknya
bakteri Gram-negatif kedalam darah. Sepsis pada infeksi saluran kemih pada
orang dewasa menyebabkan mortalitas yang tinggi.
2. Infeksi Luka Operasi
Infeksi pada luka operasi menduduki peringkat ke dua dari seluruh kejadian
infeksi nosokomial di rumah sakit umum. Infeksi luka operasi sering kali
disebabkan oleh streptococcus, staphylococcus, enterobacteria,
pseudomonas.
3. Infeksi Saluran Nafas
Infeksi saluran nafas menempati urutan ke tiga dari seluruh kejadian infeksi
nosokomial. Kebanyakan infeksi saluran nafas disebabkan oleh basil Gram-
negatif usus (klebsiela, enterobakter, seratia, E. Coli, dan proteus) dan
pseudomonas. Basil Gram-negatif lain yang berhubungan dengan air seperti
asinetobakter, flavobakterium, dan alkaligenes juga dapat terlibat.
4. Bakteremia dan Infeksi Nosokomial, pada kateter intravena
Bakteri yang paling berperan dalam terjadinya infeksi intravena ialah
stafilokokus (S. aureus dan S. epidermis), spesies klebsiela (klebsiela,
enterobakter, dan seratia), enterokokus dan pseudomonas aeuroginosa.
Dalam Soedarmo, dkk, (2008) dapat disimpulkan bahwa gejala infeksi
nosokomial yang spesifik hanya dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan
Universitas Sumatera Utara
khusus seperti pemeriksaan laboratorium. Secara umum gejala non-spesifik yang
dapat dilihat dari seorang yang menderita infeksi nosokomial antara lain, yaitu:
a. Perubahan temperatur atau suhu tubuh (demam)
b. Diare atau mencret
c. Mual dan muntah
d. Pneumonia (flu, batuk, dan sebagainya)
2.3.4. Cara Penularan Mikroorganisme
Transmisi mikroorganisme di rumah sakit dapat terjadi dengan berbagai cara,
bisa lebih dari satu cara. Menurut (Slack, 2003) ada lima cara terjadinya transmisi
mikroorganisme yaitu:
1. Contact Transmision
Kontak transmisi adalah yang paling sering pada infeksi nosokomial, dibagi
menjadi dua bagian yaitu secara langsung dan tidak langsung, kontak langsung
(direc contac); transmisi mikroorganisme langsung permukaan tubuh seperti
saat memandikan, membalikkan pasien, pada saat melakukan kegiatan asuhan
keperawatan, menyentuh permukaan tubuh pasien. Kontak tidak langsung
(indirect contac) kontak dengan kondisi orang yang lemah melalui peralatan
yang terkontaminasi seperti peralatan instrument yang terkontaminasi, jarum,
tangan yang terkontaminasi tidak dicuci dan sarung tangan tidak diganti
diantara pasien.
2. Droplet Transmision ( Percikan)
Universitas Sumatera Utara
Secara teoritikal merupakan bentuk kontak transmisi, namun mekanisme
transfer mikroorganisme. Patogen ke penjamu ada jarak dari transmisi kontak.
Droplet transmisi dapat terjadi ketika batuk, bersin, berbicara dan saat
melakukan tindakan khusus.
3. Airborne Transmisi (melalui udara)
Transmisi melalui udara yang terkontaminasi dengan mikroorganisme patogen,
memiliki partikel kurang yang sama dengan mikron. Transmisi terjadi ketika
menghirup udara yang mengandung mikroorganisme patogen.
Mikroorganisme dapat tinggal di udara beberapa waktu sehingga penanganan
khusus udara dan ventilasi perlu dilakukan. Mikroorganisme yang transmisi
melalui udara adalah mycobacterium tubercolosis, rubella, dan varicella verus.
4. Food Borne (melalui makanan)
Transmisi mikroorganisme melalui makanan alat kesehatan dan peralatan yang
terkontaminasi dengan mikroorganisme patogen.
5. Blood Borne (melalui darah)
Terjadinya infeksi dapat berasal dari penyakit HIV, Hepatitis B dan C melalui
jarum suntik yang telah terkontaminasi.
2.3.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial
Secara umum faktor yang mempengaruhi infeksi nosokomial terdiari atas 2
bagian besar, yang dikemukakan oleh (Parhusip, 2005) yaitu:
1. Faktor Endogen
Merupakan faktor yang berasal dari dalam diri penderita, seperti:
a. Umur bayi dan orang tua lebih beresiko terhadap infeksi nosokomial.
Universitas Sumatera Utara
b. Penyakit penyerta dan kondisi-kondisi lokal seperti adanya luka terbuka.
c. Seorang dengan daya tahan tubuh yang rendah beresiko mendapatkan infeksi
nosokomial.
2. Faktor Eksogen
Merupakan faktor yang berasal dari luar diri penderita, seperti:
a. Lama penderita dirawat
Semakin lama penderita dirawat, resiko atau kecenderungan untuk terkena
infeksi nosokomial akan semakin besar.
b. Kelompok yang merawat
Tenaga kesehatan yang merawat selama dirumah sakit merupakan salah satu
faktor yang dapat menyebabkan seseorang terkena infeksi nosokomial.
c. Alat medis serta lingkungan
Alat-alat yang digunakan dan dilingkungan dapat menjadi media trasmisi
masuknya kuman patogen penyebab infeksi nosokomial kedalam tubuh
penderita.
2.3.6. Kelompok yang Beresiko
Menurut Zulkarnain (1996) dalam Sjaifoellah, dkk, (1996) adapun kelompok
yang beresiko mendapatkan infeksi nosokomial yaitu :
1. Pasien
Seseorang yang mendapatkan perawatan di rumah sakit.
2. Petugas kesehatan
Dokter, perawat, maupun tenaga kesehatan lainnya yang berada di rumah sakit
yang kontak dengan pasien dan lingkungan rumah sakit.
Universitas Sumatera Utara
3. Pengunjung atau penunggu pasien
Seseorang atau sekelompok orang yang datang ke rumah sakit dengan tujuan
untuk melihat atau menjaga kerabat yang sedang menjalani perawatan di
rumah sakit.
2.4. Kewaspadaan Universal
2.4.1. Defenisi Kewaspadaan Universal
Defenisi kewaspadaan universal yang direkomendasikan oleh CDC Atlanta
(1988) dalam Zuidah (2007) adalah upaya pencegahan infeksi yang menitik beratkan
penyebaran melalui cairan tubuh, darah dan jaringan tubuh lainnya secara universal
tanpa memandang status infeksi pasien. CDC (1994) mendefenisikan kewaspadaan
universal sebagai upaya pencegahan infeksi di sarana kesehatan yang merupakan
kewaspadaan yang bersikap umum dan diterapkan pada semua pasien tanpa
memandang status diagnosisnya.
Depkes RI (2000) dalam Zuidah (2007) menyebutkan bahwa kewaspadaan
universal adalah merupakan salah satu upaya pengendalian infeksi di rumah sakit,
yang artinya kewaspadaan universal adalah pedoman untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan petugas kesehatan dalam memenuhi standard
pencegahan infeksi guna meminimalkan resiko penularan penyakit kepada pasien
dan diri mereka sendiri. Rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan merupakan
ujung tombak pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan preventif dan
kuratif bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Semua petugas kesehatan mulai
dari dokter hingga petugas kebersihan beresiko menularkan penyakit kepada pasien
atau tertular penyakit dari pasien. Ketaatan mematuhi prosedur pelaksanaan
Universitas Sumatera Utara
kewaspadaan universal bisa mengurangi resiko penularan penyakit kepada petugas
kesehatan dan mencegah penyebaran penyakit melalui pelayanan kesehatan kepada
masyarakat luas.
2.4.2. Alasan Dasar Penerapan Kewaspadaan Universal
Bagi masyarakat umum, sarana kesehatan merupakan tempat pemeliharaan
kesehatan. Pasien mempercayakan sepenuhnya kesehatan dirinya atau keluarganya
kepada petugas kesehatan. Maka kewajiban petugas kesehatan adalah menjaga
sarana kesehatan sebagai tempat penyembuhan, bukan menjadi sumber penyakit
infeksi (Zuidah, 2007).
Bahroen (2000) dalam (Zuidah, 2007) menyebutkan bahwa berdasarkan hasil
survey tentang upaya pencegahan infeksi di puskesmas, masih ditemukannya
beberapa tindakan petugas yang potensial meningkatkan penularan penyakit kepada
diri mereka, pasien yang dilayani masyarakat luas, yakni cuci tangan yang tidak
benar, penggunaan sarung tangan yang tidak tepat, penutupan kembali jarum suntik
secara tidak aman, pembuangan peralatan tajam secara tidak aman, teknik
dekontaminasi dan sterilisasi yang tidak tepat, serta praktek kebersihan ruangan yang
belum memadai. Hal tersebut dapat saja meningkatkan resiko petugas kesehatan
tertular karena tertusuk jarum atau terpajan darah/ cairan tubuh terinfeksi. Sementara
pasien dapat tertular melalui peralatan yang terkontaminasi atau menerima darah
atau prosuk darah yang mengandung virus.
2.4.3. Kegiatan Pokok Kewaspadaan Universal
Universitas Sumatera Utara
Sejak AIDS dikenal, kebijakan baru yang bernama kewaspadaan universal
dikembangkan. Dalam sarana kesehatan (rumah sakit, puskesmas, praktik dokter,
dan sebagainya), penerapan kewaspadaan universal harus diterapkan secara penuh
oleh petugas pelayanan kesehatan.CDC Atlanta (1987) dalam Zuidah (2007)
menyebutkan bahwa prinsip utama pencegahan infeksi pada pelayanan kesehatan
adalah menjaga hygiene individu, hygiene ruangan, dan sterilisasi instrument.
Larson & Lusk (1985) dan Leonard (1986) dalam Zuidah (2007) juga
mengemukakan kesalahan teknik mencuci tangan yang tidak tepat. Semua laporan
tersebut menekankan kurangnya pelajaran teknik mencuci tangan yang adekuat.
Larutan pencuci tangan kloreksidin terbukti merupakan bukti kuat bahwa tangan
berperan sebagai jalur utama transmisi infeksi nosokomial.
Zuidah (2007) menyebutkan bahwa ada beberapa hal penting yang perlu
diperhatikan dalam pelaksanaan kewaspadaan universal, yaitu:
1. Mencuci tangan
Cuci tangan harus selalu dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah
melakukan tindakan perawatan walaupun memakai sarung tangan atau alat
pelindung lain untuk menghilangkan/mengurangi mikroorganisme yang ada ditangan
sehingga penyebaran penyakit dapat dikurangi dan lingkungan terjaga dari infeksi.
Tangan harus dicuci sebelum dan sesudah memakai sarung tangan. Cuci tangan tidak
dapat digantikan dengan memakai sarung tangan.
Ada tiga cara cuci tangan yang dilaksanakan sesuai kebutuhan, yaitu:
a. Cuci tangan higienetik atau rutin, mengurangi kotoran dan flora yang ada di
tangan dengan menggunakan sabun atau detergen.
Universitas Sumatera Utara
b. Cuci tangan aseptik, sebelum tindakan aseptik pada pasien dengan
menggunakan antiseptik.
c. Cuci tangan bedah (surgical hand scrub), sebelum melakukan tindakan bedah
secara aseptik dan sikat steril.
2. Sarana Cuci Tangan
Air mengalir adalah sarana utama untuk cuci tangan dengan saluran
pembuangan atau bak penampung yang memadai. Dengan guyuran air mengalir
tersebut atau bak yang memadai, maka mikroorganisme yang terlepas karena
gesekan mikroorganisme atau kimiawi saat cuci tangan akan terhalau dan tidak
menempel lagi di permukaan kulit.
Sabun dan detergen, bahan tersebut tidak membunuh mikroorganisme tetapi
menghambat dan mengurangi jumlah mikroorganisme dengan jalan mengurangi
tegangan permukaan sehingga mikroorganisme terlepas dari permukaan kulit dan
mudah terbawa oleh air. Jumlah mikroorganisme semakin berkurang dengan
meningkatnya frekuensi cuci tangan, namun dilain pihak dengan seringnya
menggunakan sabun atau detergen maka lapisan lemak kulit akan menghilang dan
membuat kulit menjadi kering dan pecah-pecah. Hilangnya lapisan lemak akan
memberi peluang untuk timbulnya kembali mikroorganisme.
Larutan antiseptik atau disebut juga antimikroba topikal, dipakai kulit atau
jaringan hidup lainnya untuk menghambat aktivitas atau membunuh mikroorganisme
pada kulit. Antiseptik memiliki bahan kimia yang memungkinkan untuk digunakan
pada kulit dan selaput mukosa. Antiseptik memiliki keragaman dalam hal efektivitas.
Universitas Sumatera Utara
Kulit manusia tidak dapat disterilkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah
penurunan jumlah mikroorganisme pada kulit secara maksimal terutama kuman
transier.
Asepwandi (2008) dalam Latifah (2010), menyebutkan bahwa beberapa jenis
sabun ataupun larutan desinfektan yang sering digunakan di rumah sakit antara lain
yaitu:
a. Chlorhexidine Glukonat
Merupakan jenis desinfektan yang paling sering digunakan. Larutan pencuci
tangan jenis ini sangat praktis dan mudah digunakan karena tidak
memerlukan air sebagai pembilas.
b. Phenolic/ Fenol
Fenol merupakan zat kristal tak berwarna yang memiliki bau khas. Fenol
bersifat asam dan merupakan komponen utama pada antiseptik dagang.
c. Chloroxylenol
Merupakan komponen utama pada sabun anti bakteri seperti dettol.
d. Thymol
Thymol merupakan desinfektan yang berasal dari tanaman. Thymol sedikit
larut dalam air pada pH netral, tetapi sangat larut dalam alkohol. Thymol juga
memiliki toksisitas yang minimal pada manusia.
e. Ethanol/ Alkohol
Alkohol bukan merupakan jenis sabun desinfektan. Akan tetapi alkohol
sering digunakan sebagai pelarut dari bahan-bahan desinfektan. Sekarang ini
Universitas Sumatera Utara
juga sering dijumpai jenis handsanitiser yang salah satu kandungan
utamanya adalah alkohol.
3. Menggunakan Alat Pelindung
Alat pelindung tubuh digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir
petugas dari resiko pajanan urin dan semua jenis cairan tubuh, serta kulit yang luka,
yang akan mudah terpajan dan potensial terinfeksi. Indikasi pemakaian alat
pelindung disesuaikan dengan jenis pelindung tubuh yang dipakai dan tergantung
pada jenis tindakan atau kegiatan yang akan dikerjakan.
4. Pengelolaan Alat Kesehatan
Kejadian infeksi yang sering di sarana kesehatan salah satu faktor resikonya
adalah pengelolaan alat kesehatan atau cara dekontaminasi dan desinfeksi yang
kurang tepat. Meskipun tidak semua alat kesehatan yang digunakan dalam pelayanan
medis kepada pasien harus disterilkan, tetapi pengelolaannya harus dengan cara yang
benar dan tepat. Dalam hal ini harus di identifikasi apakah alat perlu dicuci saja atau
didesinfeksi atau perlu disterilkan.
5. Desinfeksi Lokasi tindakan
Desinfeksi adalah suatu proses untuk menghilangkan sebagian atau semua
mikroorganisme dari alat kesehatan dan lokasi tindakan kecuali indesfora bakteri.
2.5. Pencegahan Infeksi Nosokomial
Dalam Tietjen (2004) menyatakan bahwa sebagian besar infeksi ini dapat
dicegah dengan strategi yang telah tersedia, secara relatif murah yaitu:
1. Mentaati praktek pencegahan infeksi yang dianjurkan, terutama kesehatan
dan kebersihan tangan serta pemakaian sarung tangan.
Universitas Sumatera Utara
2. Memperhatikan dengan seksama proses yang telah terbukti bermanfaat untuk
dekontaminasi dan pencucian peralatan dan benda lain yang kotor, diikuti
dengan sterilisasi atau desinfeksi tingkat tinggi
3. Meningkatkan keamanan dalam ruang operasi dan area beresiko tinggi
lainnya dimana kecelakaan diperlukan yang sangat serius dan paparan pada
agen penyebab infeksi sering terjadi.
4. Pencegahan standar merupakan suatu bentuk tindakan pencegahan terhadap
infeksi yang umum dilakukan oleh perawat dalam setiap melakukan tindakan
keperawatan kepada pasien. Pencegahan ini merupakan teknik mencuci
tangan, menggunakan masker, sarung tangan (hansdscun), pakaian khusus
dan penggunaan benda tajam sekali pakai (disposable).
Selain itu infeksi nosokomial dapat dicegah dengan memutuskan mata rantai
terjadinya infeksi nosokomial, yaitu dengan cara:
a. Meningkatkan pengetahuan personil rumah sakit tentang infeksi nosokomial.
b. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang resiko infeksi nosokomial
bagi pasien yang dirawatnya.
c. Melakukan semua standar prosedur kerja dengan benar dan sempurna.
d. Identifikasi penyebab infeksi nosokomial.
e. Pemberian pengobatan yang tepat dan rasional.
f. Mengikutsertakan penderita dan keluarga dengan memberikan pengetahuan
praktis tentang infeksi nosokomial serta penyakit yang diderita oleh
penderita.
Universitas Sumatera Utara
g. Memberikan petunjuk praktis pada pengunjung tentang hal-hal yang perlu
dijaga/dilakukan/dihindarkan pada waktu pengunjungan melalui papan
pengumuman, kertas petunjuk dipintu dan petugas informasi diruangan.
Panjaitan (2006) dalam isolation precaution menulis tentang standar
precaution yang harus dilaksanakan untuk semua pasien yang masuk kerumah sakit
yaitu:
1. Cuci Tangan
a. Melakukan cuci tangan dengan menggunakan antiseptik pada cuci tangan
prosedur. Melakukan cuci tangan dengan menggunakan sabun biasa pada
cuci tangan rutin /sosial. Pada kondisi tertentu cuci tangan dapat dilakukan
dengan menggunakan “handrubs” (menggosok tangan).
b. Cuci tangan dilakukan setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekresi
dan peralatan yang terkontaminasi, walaupun menggunakan sarung tangan
segera setelah melepas sarung tangan, jika kontak diantara satu pasien dengan
pasien lainnya, diantara prosedur berbeda pada pasien yang sama sebelum
dan sesudah kontak dengan pasien, sebelum dan sesudah melakukan
tindakan, setelah tiba dirumah sakit dan sebelum meninggalkan rumah sakit.
2. Sarung Tangan
a. Memakai sarung tangan bersih pada saat menyentuh darah, cairan tubuh dan
peralatan yang terkontaminasi dan saat menangani peralatan yang habis
dipakai.
b. Ganti sarung tangan diantara prosedur pada pasien yang sama.
Universitas Sumatera Utara
c. Melepaskan sarung tangan segera setelah dipakai, sebelum menyentuh
peralatan atau permukaan lingkungan yang tidak terkontaminasi dan sebelum
kepasien berikutnya.
3. Masker, Pelindung Mata dan Wajah
a. Memakai masker selama melakukan tindakan atau perawatan pasien yang
memungkinkan terkena percikan darah atau cairan tubuh pasien.
b. Melepaskan masker setelah dipakai dan segera mencuci tangan.
4. Gaun/ Apron
a. Memakai gaun selama melakukan tindakan atau perawatan pasien yang
memungkinkan terkena percikan darah atau cairan tubuh pasien.
b. Segera melepaskan gaun dan mencuci tangan untuk mencegah berpindahnya
mikroorganisme ke pasien dan lingkungan.
5. Peralatan Perawatan Pasien
a. Segera melakukan dekontaminasi peralatan yang dipakai setelah dibersihkan
dahulu dari noda darah atau cairan tubuh pasien.
b. Membersihkan dan memperoses kembali peralatan yang dipakai ulang sesuai
prosedur pembuangan limbah.
6. Pengendalian Lingkungan
a. Tidak melakukan “pogging” untuk tujuan menurunkan rate infeksi
nosokomial pengendalian lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
b. Melakukan pembersihan dengan cairan desinfektan setiap hari atau bila perlu
pada semua permukaan lingkungan seperti meja pasien, meja petugas, tempat
tidur, tempat tidur pasien, standar infus, pegangan pintu.
c. Membersihkan dan mengepel dengan cairan desinfektan dua kali sehari bila
perlu.
d. Membatasi jumlah pengunjung pada waktu bersamaan.
e. Membatasi jumlah personil pada waktu yang sama di ruang perawatan.
7. Linen
a. Memisahkan linen ternoda darah atau cairan tubuh dengan linen kotoran
tanpa noda.
b. Memisahkan linen kotoran pasien terinfeksi dengan pasien non infeksi.
c. Tidak meletakkan linen dilantai dengan mengibas-ngibaskan linen.
8. Penanganan Limbah
Pemisahan limbah sesuai jenisnya diawali sejak limbah tersebut dihasilkan.
a. Limbah padat terkontaminasi dengan darah, cairan tubuh dibuang ketempat
sampah kantong plastik kuning.
b. Limbah padat tidak terkontaminasi dengan darah, cairan tubuh dibuang
ketempat sampah kantong plastik hitam.
c. Limbah benda tajam atau jarum dibuang ke kontainer yang berwarna kuning
tahan tusuk dan tahan air (save cup).
9. Kesehatan Karyawan dan Darah Yang Terinfeksi Pathogen
Untuk mencegah luka tusuk benda tajam:
Universitas Sumatera Utara
a. Berhati-hati saat menangani jarum, scapel, instrument yang tajam atau alat
kesehatan lainnya dengan permukaan tajam.
b. Jangan pernah menutup kembali jarum bekas pakai atau memanipulasikannya
dengan dua tangan.
c. Jangan pernah membengkokkan atau mematahkan jarum.
d. Buanglah benda tajam atau jarum bekas pakei kedalam wadah yang tahan
tusuk dan air, dan tempatkan pada area yang mudah dijangkau dari area
tindakan.
e. Gunakan mouthpleces, resussitasi bags atau peralatan ventilasi lain sebagai
alternatif mulut ke mulut.
2.6. Fasilitas Sanitasi Rumah Sakit Berdasarkan Permenkes RI Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004
2.6.1. Penyediaan Air Minum dan Air Bersih
Harus tersedia air minum sesuai dengan kebutuhan, tersedia air bersih
minimum 500 liter/tempat tidur/hari, air minum dan air bersih tersedia pada setiap
kegiatan yang membutuhkan secara berkesinambungan. Distribusi air minum dan air
bersih di setiap ruangan harus menggunakan jaringan perpipaan yang mengalir
dengan tekanan positif. Air bersih merupakan kebutuhan pokok yang sangat penting
bagi kehidupan mahluk hidup di bumi ini. Fungsi air bagi kehidupan tidak dapat
digantikan oleh senyawa lain. Kebutuhan air bersih diperkirakan 50–60 liter / orang /
hari penggunaan air yang utama dan sangat vital bagi kehidupan adalah sebagai air
minum. Hal ini terutama untuk mencukupi kebutuhan air didalam tubuh manusia
Universitas Sumatera Utara
sekitar 55 – 60% berat badan orang dewasa terdiri dari air, untuk anak-anak sekitar
65%, dan untuk bayi sekitar 80%. (Notoatmodjo, 2003).
Dalam setiap kegiatan air harus memenuhi syarat kesehatan secara kuantitas
dan kualitas agar tidak mengakibatkan sumber penyebaran penyakit bagi manusia.
Distribusi air bersih harus tersedia disetiap ruangan dengan menggunakan jaringan
perpipaan yang mengalir lancar dan tidak ada gangguan yang mengakibatkan
gangguan kesehatan.
Jumlah kebutuhan air bersih ditetapkan berdasarkan jumlah pasien, hal ini
dipakai sebagai perencanaan dan pengembangan pelayanan kesehatan yaitu harus
tersedia air bersih sesuai kebutuhan dan memenuhi syarat sesuai dengan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 416/Menkes/PER/IX/1990 tentang
syarat-syarat dan pengawasan kualitas air bersih. Jumlah/ kuantitas air bersih
tergantung pada kelas dan berbagai pelayanan yang ada di rumah sakit makin banyak
pelayanan yang ada di rumah sakit, semakin besar jumlah kebutuhan atau jumlah
yang umum dipakai untuk kebutuhan di rumah sakit.
Adapun syarat kualitas air bersih berdasarkan Permenkes Nomor
416/Menkes/PER/IX/1990 mencakup :
1. Syarat fisik yaitu air untuk minum tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa
dan suhu sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
2. Syarat kimia yaitu air tidak tercemar oleh zat-zat kimia atau mineral yang
melebihi nilai ambang batas sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
3. Syarat biologi yaitu air yang digunakan bebas dari kontaminasi bakteri
pathogen sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
Universitas Sumatera Utara
2.6.2. Fasilitas Toilet dan Kamar Mandi
Harus selalu terpelihara, dalam keadaan bersih, lantai terbuat dari bahan yang
kuat, kedap air, tidak licin, berwarna terang dan mudah dibersihkan. Pada setiap unit
ruangan harus tersedia toilet (jamban, peturasan dan tempat cuci tangan) tersendiri.
Pembuangan air limbah dari toilet dan kamar mandi dilengkapi dengan penahan bau
(water seal). Letak toilet dan kamar mandi tidak berhubungan langsung dengan
dapur dan ruang perawatan, harus terpisah toilet antara pria dan wanita, harus
terpisah toilet antara pengunjung dan petugas.
Bagi pasien dan pengunjung harus terletak ditempat yang mudah dijangkau
dan ada petunjuk arah serta toilet untuk pengunjung dan pasien harus dengan
perbandingan 1 toilet untuk 1 – 20 pengunjung wanita, dan 1 toilet untuk 1 – 30
pengunjung pria, dilengkapi dengan slogan atau peringatan untuk memelihara
kebersihan toilet serta tidak terdapat tempat penampungan dan genangan air yang
dapat menjadi tempat perindukan serangga dan binatang pengganggu.
2.6.3. Pengelolaan Limbah Padat
1. Jenis Limbah Padat
Limbah padat adalah semua limbah yang berbentuk padat sebagai akibat
kegiatan yang terdiri dari limbah medis padat dan non medis. Limbah medis padat
terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi,
limbah sitotoksis, limbah kimiawi dan limbah radioaktif (Dirjen PPM & PL,2002).
Universitas Sumatera Utara
Limbah padat non medis adalah limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan
diluar medis yang berasal dari dapur, perkantoran, taman dan halaman yang dapat
dimanfaatkan kembali apabila ada teknologinya.
Tabel 2.1. Jenis Wadah dan Label Limbah Medis Padat Sesuai Kategorinya
a. Limbah Klinis
Rumah sakit merupakan penghasil limbah klinis paling besar. Berbagai jenis
limbah yang dihasilkan di rumah sakit dan unit-unit pelayanan medis bisa
membahayakan dan menimbulkan gangguan kesehatan bagi pengunjung dan
terutama petugas yang menangani limbah tersebut. Limbah klinis adalah limbah
Universitas Sumatera Utara
yang berasal dari pelayanan medis, perawatan, gigi dan farmasi serta limbah yang
dihasilkan di rumah sakit pada saat dilakukan perawatan/pengobatan atau penelitian.
b. Limbah Benda Tajam
Limbah benda tajam adalah obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi,
ujung atau bagian yang dapat memotong atau menusuk kulit, perlengkapan
intravena, pecahan gelas dan pisau bedah. Semua benda tajam ini memiliki potensi
bahaya atau tusukan. Benda-benda tajam yang terbuang terkontaminasi oleh darah,
cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan beracun, dan bahan sitotoksis atau
radioaktif. Limbah ini dapat menyebabkan infeksi atau cidera karena mengandung
bahan beracun . Potensi untuk menularkan penyakit akan sangat besar bila benda
tajam tadi digunakan kembali untuk perawatan dan pengobatan pasien.
Limbah benda tajam hendaknya ditempatkan dalam kontainer benda tajam
yang dirancang cukup kuat, tahan tusukan dan diberi label dengan benar. Desain dan
konstruksi kontainer hendaknya sedemikian untuk mengurangi kemungkinan cidera
bagi orang yang menangani pada saat pengumpulan dan pengangkutan limbah benda
tajam. Incenerator merupakan metode terbaik untuk pembuangan limbah benda
tajam. (Adisasmito, 2008).
c. Limbah Infeksius
Limbah infeksius mencakup limbah yang berkaitan dengan penggunaan alat
dan bahan bagi pasien yang memerlukan isolasi seperti penyakit menular (perawatan
intensif) dan limbah laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi.
Pembuangan/pemusnahan dengan incenerator adalah pilihan utama, pilihan lain
Universitas Sumatera Utara
adalah menggunakan autoclave yang membuatnya menjadi tidak infeksius sehingga
bisa dibuang ke sanitary landfill, masalahnya adalah volume limbah yang harus di
autoclave cukup besar.
d. Limbah Jaringan Tubuh
Jaringan tubuh meliputi jaringan tubuh, organ, anggota badan, plasenta,
darah, dan cairan tubuh lain yang dibuang pada saat pembedahan atau aotopsi.
Jaringan tubuh yang tampak nyata seperti anggota badan dan plasenta yang tidak
memerlukan pengesahan penguburan hendaknya dikemas secara khusus, diberi label,
dan dimusnahkan ke incenerator di bawah pengawas petugas berwenang.
e. Limbah Sitotoksis
Limbah sitotoksis adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin
terkontaminasi dengan obat sitotoksis selama peracikan, pengangkutan atau tindakan
terapi sitotoksis. Untuk menghapus tumpahan yang tidak sengaja, perlu disediakan
absorben yang tepat. Bahan pembersih hendaknya selalu tersedia dalam ruang
racikan terapi sitotoksis. Bahan-bahan yang cocok untuk itu, antara lain: sawdust,
granula absorbsi yang tersedia di pasar, detergent, atau perlengkapan pembersih
lainnya. Semua limbah pembersih harus diperlakukan sebagai limbah sitotoksis.
Pemusnahan limbah sitotoksis hendaknya menggunakan incenerator karena
sifat racunnya yang tinggi. Limbah dengan kandungan obat sitotoksis rendah, seperti
urin, tinja, dan muntahan, bisa dibuang secara aman di saluran air kotor. Namun
harus hati-hati dalam menangani limbah tersebut dan harus diencerkan dengan benar.
f. Limbah Farmasi
Universitas Sumatera Utara
Limbah farmasi berasal dari obat-obatan yang kadaluarsa, obat yang terbuang
karena batch yang tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi,
obat yang tidak lagi diperlukan oleh institusi yang bersangkutan. Metoda
pembuangan dengan pertimbangan prinsip-prinsip bahwa limbah farmasi hendaknya
diwadahi dalam kontainer khusus non reaktif, dibakar dengan incinerator.
g. Limbah kimia
Limbah yang dihasilkan dari penggunaan kimia dalam tindakan medis,
laboratorium, proses sterilisasi dan riset. Pembuangan limbah ke saluran air kotor
dapat menimbulkan korosi pada saluran. Limbah bahan kimia yang tidak bisa didaur
ulang seperti gula, asam amino, garam tertentu dapat dibuang ke saluran air kotor
namun harus memenuhi syarat yang ditetapkan melalui pengelolaan pada IPAL.
Limbah bahan kimia dalam jumlah kecil seperti residu yang dalam kemasan
sebaiknya ditimbun (landfill). Limbah bahan kimia dalam jumlah besar dibakar
dalam incinerator yang dilengkapi dengan alat pembersih gas. Limbah bahan kimia
dapat dikembalikan kepada distributornya yang dapat menanganinya dengan aman
untuk diolah. Pembuangannya harus dikonsultasikan kepada instansi yang
berwenang.
h. Limbah Radioaktif
Limbah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan bahan yang
berasal dari penggunaaan medis atau riset. Limbah dapat berbentuk padat, cair dan
gas yang berasal dari tindakan kedokteran nuklir, radiologi, dan bakteriologis. Untuk
Universitas Sumatera Utara
penanganan limbah radioaktif harus dengan aturan kebijakan dan strategi nasional
yang menyangkut peraturan, infrastruktur, organisasi pelaksana dan tenaga terlatih.
Bagian radioaktif harus mempunyai tenaga yang terlatih khusus di bidang
radiasi. Harus tersedia instrument kalibrasi yang tepat untuk monitoring dosis dan
kontaminasi. Limbah radioaktif harus dikategorikan dan dipilah berdasarkan cara
pengolahan, penyimpanan dan pembuangan. Kontainer tempat penyimpanan secara
jelas diidentifikasi, ada simbol radioaktif, dapat diisi dan dikosongkan dengan aman,
kuat dan saniter. Ada informasi yang harus dicatat pada setiap kontainer seperti :
nomor identifikasi, asal limbah, angka dosis dan tanggal pengukuran dan orang
yang bertanggung jawab. Kontainer harus dibungkus dengan kantong plastik
transparan yang dapat ditutup dengan isolasi plastik. Pembuangan berdasarkan
persyaratan teknis menurut PP No. 27 tahun 2002 kemudian diserahkan ke BATAN
atau dikembalikan kepada distributor. Semua jenis limbah medis dan radioaktif tidak
boleh dibuang ke TPA domestik.
2. Proses Pengelolaan Limbah Padat
Pengelolaan limbah padat dapat dilakukan dengan berbagai cara dibawah ini :
a. Minimisasi Limbah
Setiap kegiatan rumah sakit yang menghasilkan limbah harus melakukan
reduksi limbah dimulai dari sumber dan juga perlu mengelola dan mengawasi
penggunaan bahan kimia yang berbahaya dan beracun. Minimalisasi harus dilakukan
pengelolaan stok bahan kimia dan farmasi dan setiap peralatan yang digunakan
dalam pengelolaan limbah medis mulai dari pengumpulan, pengangkutan, dan
pemusnahan harus melalui sertifikasi dari pihak yang berwenang.
Universitas Sumatera Utara
b. Pemilahan dan Pewadahan
Pemilahan limbah harus dilakukan mulai dari sumber yang menghasilkan
limbah, pisahkan limbah yang akan dimanfaatkan kembali dari limbah yang tidak
dimanfaatkan. Limbah benda tajam harus dikumpulkan dalam satu wadah tanpa
memperhatikan terkontaminasi atau tidaknya. Wadah tersebut harus anti bocor, anti
tusuk dan tidak mudah untuk dibuka sehingga orang yang tidak berkepentingan tidak
dapat membukanya. Adapun limbah medis padat yang akan dimanfaatkan kembali
harus melalui proses sterilisasi. Limbah jarum hipodermik tidak dianjurkan untuk
dimanfaatkan kembali, apabila tidak mempunyai jarum yang sekali pakai
(disposable). Pewadahan masing-masing limbah harus memenuhi persyaratan
dengan penggunaan wadah dan label.
c. Pengumpulan dan Penyimpanan
Pengumpulan limbah medis padat dari setiap ruangan penghasil limbah
menggunakan troli khusus yang tertutup dan penyimpanannya harus sesuai jenis dan
kategori limbah.
d. Pengangkutan
Pengangkutan limbah ke luar gedung pengelola harus menyediakan tempat
khusus dan mengemas pada tempat yang kuat dan pengangkutan menggunakan
kendaraan khusus. Demikian pula dengan limbah non medis dikumpulkan ke tempat
yang ditetapkan kemudian dibuang ke TPS sebelum diangkut petugas Dinas
Kebersihan.
e. Pengolahan dan Pemusnahan
Universitas Sumatera Utara
Limbah medis padat tidak boleh dibuang langsung ke tempat pembuangan
akhir limbah domestik. Cara dan teknologi pengolahan atau pemusnahan limbah
medis padat disesuaikan dengan kemampuan pengelola dan jenis limbah medis padat
yang ada misalnya dengan incinerator.
Limbah padat non medis pengelolaan dapat dilakukan dengan cara:
a) Pemilahan dan Pewadahan harus dipisahkan dari limbah medis padat
Tempat pewadahan limbah padat harus dilapisi kantong plastik warna hitam
sebagai pembungkus dengan lambang “domestik” warna putih. Limbah
domestik akan berhubungan dengan adanya lalat karena adanya sampah
basah yang dihasilkan. Apabila kepadatan lalat disekitar tempat limbah padat
melebihi 2 (dua) ekor per-block grill, perlu dilakukan pengendalian lalat.
b) Pengumpulan, Penyimpanan, dan Pengangkutan
Bila di tempat pengumpulan sementara tingkat kepadatan lalat lebih dari 20
ekor per-block grill atau tikus terlihat pada siang hari, harus dilakukan
pengendalian. Dalam keadaan normal harus dilakukan pengendalian serangga
dan binatang pengganggu yang lain minimal satu bulan sekali.
c) Pengolahan dan Pemusnahan dilakukan sesuai persyaratan kesehatan.
f. Syarat Pengelolaan Sampah yang Baik
Mengelola sampah secara aman, sehingga tidak membahayakan kesehatan
petugas, pasien, pengunjung, masyarakat dan lingkungan disekitarnya. Misalnya
sampah medis harus dimusnahkan dalam incinerator dan sampah domestik harus
diangkut oleh petugas Dinas kebersihan setiap hari.
Universitas Sumatera Utara
Jenis sampah yang dihasilkan rumah sakit sesuai sifatnya :
a. Limbah Infeksius
b. Limbah patologi
c. Limbah sitotoksis
d. Limbah kimia
e. Limbah Farmasi
Pengelolaan sampah yang aman harus diselenggarakan dengan cara
menyediakan wadah sebagai berikut :
a. Wadah harus kuat dan tidak mudah rusak
b. Tersedia lokasi/tempat pengumpulan sampah sementara.
c. Sampah harus dipisahkan sesuai dengan jenisnya kedalam kantong plastik
dengan lambang dan warna yang telah ditetapkan.
d. Tempat sampah harus tersedia 1 (satu) buah di setiap ruangan dan setiap
radius 10 meter serta setiap jarak 20 meter pada ruang tunggu dan ruang
terbuka.
e. Lokasi/tempat sampah sementara harus mudah dikosongkan, tidak terbuat
dari beton permanen, terletak di lokasi yang mudah dijangkau kenderaan
pengangkut sampah dan harus dikosongkan minimal satu kali 24 jam.
f. Sampah infeksius harus dimusnahkan dengan incinerator dalam suhu 10000C.
Sampah farmasi/obat-obatan yang kadaluarsa atau rusak harus dikembalikan
kepada distributor.
Universitas Sumatera Utara
g. Tempat sampah medis dan non medis harus mememenuhi syarat : tidak
mudah berkarat, kedap air, bertutup, mudah dibersihkan dan mudah
dikosongkan.
h. Pengangkutan sampah dimulai dari mengambil sampah dari tempat
penampungan yang ada di setiap ruangan kemudian dibawa dan
dikumpulkan di TPS. Alat yang digunakan harus terpisah antara sampah
medis dan non medis.
i. Alat untuk mengangkut sampah dapat berupa gerobak/trolly dengan syarat
permukaan bagian dalam harus rata dan kedap air, mudah dibersihkan,
mudah diisi dan dikosongkan. Sampah yang akan diangkut oleh Dinas
Kebersihan dikumpulkan pada tempat penampungan sampah sementara
dengan ketentuan mudah dijangkau oleh kendaraan pengangkut sampah,
tidak menjadi tempat bersarangnya tikus dan serangga, jauh dari ruang
perawatan dan dapur, dan bebas dari kemungkinan adanya banjir.
g. Proses Pengelolaan Sampah
Pengelolaan sampah merupakan suatu kegiatan yang berhubungan dengan
pengaturan terhadap penimbulan, penyimpanan (sementara), pengumpulan,
pemindahan, pengangkutan, pemrosesan dan pembuangan sampah ke tempat akhir
dengan suatu cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip terbaik kesehatan masyarakat
(Dirjen PPM & PL, 2002)
Sampah berdasarkan penggolongan komposisi kimianya dibagi menjadi
sampah organik misalnya sisa makanan dan anorganik misalnya kaleng bekas.
Sampah yang secara alami mudah terurai misalnya sampah basah dan ada juga yang
Universitas Sumatera Utara
sukar terurai misalnya plastik adalah didasarkan menurut sifat mengurai.
Berdasarkan mudah tidaknya terbakar dibagi menjadi sampah yang mudah terbakar
misalnya kertas dan sulit tebakar misalnya kaca.
Sistematika Pengelolaan Limbah Padat
a. Proses dari Pemilahan dan pengemasan sampah
Limbah harus dipilah dan dikemas berdasarkan jenisnya misalnya limbah
padat medis non tajam meliputi kapas, perban dimasukkan ke dalam wadah yang
dilapisi kantong plastik warna kuning di dalamnya, hanya limbah padat yang
dimasukkan ke dalam wadah limbah padat medis. Wadah harus selalu dalam
keadaan tertutup.Setelah dua pertiga penuh, kantong plastik diikat dan dipindahkan
ke dalam troli/kontainer beroda khusus limbah medis. Gunakan selalu alat pelindung
diri (sarung tangan, masker, pakaian pelindung dan sepatu khusus). Pemilihan dan
pengemasan sampah sesuai kategori dan dibuat warna kontainer dengan kantong
plastik sesuai lambang sampah serta ada keterangannya.
Untuk limbah padat medis tajam meliputi jarum suntik, botol ampul
dimasukkan ke dalam wadah khusus limbah tajam, khusus jarum suntik dapat
dihancurkan dengan needle burner dimasukkan ke dalam safety box. Setelah dua per
PEMILAHAN DAN PENGEMASAN
PENGUMPULAN DAN PENGANGKUTAN
PENAMPUNGAN DAN PENYIMPANAN
PENGOLAHAN DAN PEMUSNAHAN
PENGAWASAN,
PENCATATAN &
PELAPORAN
PEMBUANGAN
Universitas Sumatera Utara
tiga, wadah dipindahkan ke dalam troli/kontainer beroda khusus limbah medis.
Gunakan selalu alat pelindung diri (sarung tangan, masker, pakaian pelindung dan
sepatu khusus).
b. Pengumpulan dan Pengangkutan
Kantong plastik warna kuning yang telah diikat, dimasukkan ke dalam troli
khusus limbah padat medis. Troli dibawa melaui jalur yang telah ditentukan menuju
tempat penyimpanan sementara. Pastikan troli tertutup dengan baik selama
perjalanan dan gunakan APD.
c. Penampungan dan Penyimpanan Sementara
Prosedur penyimpanan sementara untuk limbah padat medis yaitu dimulai
dari dengan memasukkan kantong plastik warna kuning yang berisi limbah padat
medis ke dalam kontainer penyimpanan sementara. Kontainer selalu dalam keadaan
tertutup selama-lamanya 2 x 24 jam harus sudah dipindahkan ke alat pengolah
limbah dan selalu gunakan APD.
d. Pengolahan dan Pemusnahan
Limbah yang sangat infeksius harus disterilisasi dengan pengolahan panas
dan basah seperti autoclave sedini mungkin. Benda tajam harus diolah dengan
incenerator. Setelah incenerasi residu dapat dibuang ke tempat sampah pembuangan
B3.
Limbah sitotoksik tidak boleh dibuang dengan penimbunan(landfill) atau ke
saluran limbah umum. Pembuangan yang dianjurkan yaitu dikembalikan ke
perusahaan panghasil atau distributornya, incenerasi pada suhu tinggi, dan degradasi
kimia. Bahan yang belum dipakai dan kemasannya masih utuh karena kadaluarsa
Universitas Sumatera Utara
harus dikembalikan ke distributor apabila tidak ada incenerator dan diberi
keterangan bahwa obat tersebut sudah kadaluarsa atau tidak lagi dipakai.
e. Pembuangan Sampah
Pembuangan ke TPA khusus untuk sampah domestik. Alat untuk
mengangkut sampah dapat berupa gerobak/truk kontainer dengan syarat permukaan
bagian dalam harus rata dan kedap air, mudah dibersihkan, mudah diisi dan
dikosongkan. Sampah yang akan diangkut oleh Dinas Kebersihan dikumpulkan
pada tempat penampungan sampah sementara dengan persyaratan sebagai berikut:
mudah dijangkau oleh kenderaan pengangkut sampah, tidak menjadi tempat
bersarangnya tikus dan serangga, jauh dari ruang perawatan dan dapur dan bebas
dari kemungkinan adanya banjir.
2.6.4. Pengelolaan Limbah Cair
a. Kolam Stabilisasi Air Limbah
Menurut Dirjen PPM & PL dan Dirjen Pelayanan Medik tahun 2002 dalam
buku pedoman sanitasi rumah sakit di Indonesia dijelaskan bahwa pengelolaan
limbah cair rumah sakit adalah semua limbah cair yang berasal dari rumah sakit yang
kemungkinan mengandung mikro-organisme, bahan kimia beracun, dan radio aktif
diolah sesuai dengan kemampuan rumah sakit (Dirjen Pelayanan Medik, 2002).
Sistem pengolahan air limbah “kolam stabilisasi” adalah memenuhi semua
kriteria di atas kecuali masalah lahan yang diperlukan, sebab untuk kolam stabilisasi
memerlukan lahan yang cukup luas, maka biasanya sistem ini dianjurkan untuk
rumah sakit di pedalaman atau di luar kota yang biasanya masih tersisa lahan yang
cukup.
Universitas Sumatera Utara
Sistem ini hanya terdiri dari bagian-bagian yang cukup sederhana, yaitu:
Pump Sump (Pompa air kotor), Stabilization Pond (kolam stabilisasi) biasanya 2
buah, bak klorinasi, control room (ruangan untuk kontrol), inlet, interconnection
anrara 2 kolam stabilisasi, out let dari klam stabilisasi menuju ke sistem clorinasi
(bak clorinasi).
a) Kolam Oksidasi Air Limbah
Sistim kolam oksidasi ini telah dipilih untuk pengolahan air limbah rumah
sakit yang terletak di tengah-tengah kota. Karena tidak memerlukan lahan yang luas,
kolam oksidasinya sendiri dibuat bulat atau elip dan air limbah dialirkan secara
berputar agar ada kesempatan lebih lama berkontak dengan oksigen dari udara
(aerasi).
Kemudian air limbah dialirkan ke dalam sedimentation tank untuk
mengendapkan benda-benda padat dan lumpur lainnya. Selanjutnya air yang sudah
nampak jernih dialirkan ke Bak clorinasi sebelum dibuang ke dalam sungai atau
badan air lainnya. Sedangkan lumpur yang mengendap diambil dan dikeringkan pada
Sludge Drying Bed.
Sistim Oxidation Ditch ini terdiri dari komponen-komponen antara lain:
Pump Sump (pompa air kotor), Oxidation Ditch (kolam oksidasi), sedimentation tank
(bak pengendapan), Chlorination Tank (Bak Chlorinasi), Sludge Drying Bed (tempat
mengeringkan lumpur biasanya 1-2 petak) dan Control Room (ruang kontrol).
b) Anaerobic Filter Treatment System
Universitas Sumatera Utara
Sistem pengolahan air limbah melalui proses pembusukan anarobik melalui
suatu filter/saringan, dimana air limbah tersebut sebelumnya telah mengalami pre-
treatment dengan septik tank (Inhoff Tank).
Dari proses Anarobic Filter treatment biasanya akan menghasilkan effluent
yang mengandung zat-zat asam organik dan senyawa anorganik yang memerlukan
chlor lebih banyak untuk proses oksidasinya, oleh sebab itu sebelum effluent
dialirkan ke bak chlorinasi ditampung dulu ke dalam bak/ kolam stabilisasi untuk
memberikan kesempatan oksidasi zat-zat tersebut diatas, sehingga akan menurunkan
jumlah chlorine yang dibutuhkan pada proses chlorinasi nanti.
Sistim anaerobik treatment terdiri dari komponen-komponen antara lain
sebagai berikut: Pump Sump (Pompa Air Kotor), Septik Tank (Inhoff Tank),
anaerobic filter, bak stabilisasi, bak chlorinasi, tempat pengeringan lumpur, dan
ruang kontrol.
c) Septik-Tank
Septik-tank dipergunakan untuk mengolah air kotor pada rumah tangga,
termasuk limbah cair rumah sakit. Dengan mengalirnya semua limbah air ke dalam
septik-tank bahaya ini dapat diperkecil. juga dapat diharapkan bahwa dengan lebih
banyaknya kotoran yang dapat larut ke dalam air sehingga lumpur yang harus
ditampung di dalam septik-tank dapat diperkecil.
Frekuensi pembuangan lumpur antara 1 dan 4 tahun. Pada perencanaan akan
dibuat dua macam septik-tank yaitu septik-tank yang lumpurnya harus dibuang
setiap setahun sekali dan septik-tank yang lumpurnya dibuang setiap 4 tahun sekali.
Universitas Sumatera Utara
Dasar septik-tank dibuat miring sehingga lumpur dapat berkumpul
menyebelah dan kemudian mengalir dengan sendirinya ke dalam ruang lumpur ke
dua yang letaknya berdampingan dengan septik-tank. Dengan adanya ruang lumpur
kedua ini dapat terjamin bahwa yang dikeluarkan hanyalah lumpur yang betul-betul
sudah menjadi busuk dan stabil serta tidak terdapat lagi bakteri pathogen dan dapat
diharapkan juga tidak dapat mengandung telur-telur cacing.
Pengelolaan air limbah bertujuan untuk :
1. Perlindungan kesehatan masyarakat dari bahaya terjangkitnya penyakit,
karena air limbah merupakan tempat yang baik untuk berkembang biak
bermacam-macam bibit penyakit.
2. Melindungi timbulnya kerusakan tanaman, terutama jika air limbah
mengandung zat-zat yang membahayakan kelangsungan hidup tanaman.
3. Menjamin apabila air limbah dibuang kelingkungan atau ke badan air tidak
merusak badan air.
4. Tidak mengotori sumber air minum seperti sumur penduduk di sekitarnya
5. Tidak mencemarkan alam sekitarnya, misalnya tempat rekreasi, kolam
renang, pemandangan dan tidak menimbulkan bau.
d) Sifat Limbah Cair
Sifat limbah rumah sakit yang dibuang ke saluran meliputi ukuran, fungsi dan
kegiatan rumah sakit mempengaruhi kondisi air limbah yang dihasilkan. secara
umum air limbah mengandung buangan pasien, bahan otopsi jaringan hewan yang
digunakan di laboratorium, sisa makanan dari dapur, limbah laundry, limbah
Universitas Sumatera Utara
laboratorium berbagai macam bahan kimia baik toksik maupun non toksik, dan lain-
lain.
Karakteristik kimia, fisik dan biologi limbah rumah sakit bisa mengandung
bermacam-macam mikroorganisme tergantung pada jenis rumah sakit, tingkat
pengolahan yang dilakukan sebelum dibuang, dan jenis sarana yang ada.
e) Langkah-langkah pengolahan limbah cair
Menurut Sugiharto (2000) langkah-langkah pengolahan air limbah rumah
sakit.
1. Pengolahan Pendahuluan
Proses ini dilakukan dengan cara pembersihan agar mempercepat dan
memperlancar proses selanjutnya. kegiatan berupa pengambilan benda
terapung dan pengambilan benda yang mengendap seperti pasir. Tahap ini
bertujuan menghilangkan zat padat yang kasar dengan jalan melewatkan air
limbah melalui saringan kasar sehingga benda-benda besar bisa diambil.
2. Pengolahan Pertama
Pengolahan ini bertujuan untuk memisahkan lemak dan minyak yang timbul
dipermukaan kemudian dipisahkan untuk diambil. Kemudian air yang telah
dipisahkan dari benda-benda yang terapung dan minyak seperti di atas
dialirkan ke bak pengolahan kedua.
3. Pengolahan Kedua
Pengolahan ini dirancang untuk dmenguraikan bahan organik seperti yang
terkandung dalam ekskreta, limbah dapur, sabun dan deterjen melalui
Universitas Sumatera Utara
mikroorganisme. Umumnya pengolahan ini bersifat aerob karena bakteri
membutuhka oksigen untuk dapat menguraikan limbah.
4. Pengolahan Ketiga
Pengolahan ini digunakan apabila pada pengolahan petama dan kedua masih
banyak terdapat zat yang berbahaya untuk itu diperlukan pengolahan secara
khusus sesuai dengan kandungan zat yang ada di air limbah.
5. Pembunuhan Bakteri
Pengolahan ini bertujuan untuk mengurangi atau membunuh bakteri
mikroorganisme patogen yang ada di air limbah contoh yang sering
digunakan adalah klorin yang dapat mematikan bakteri dengan cara merusak
atau menginaktifkan enzim utama sehingga terjadi kerusakan dinding sel
mikroorganisme.
6. Pengolahan Lanjut
Dari tahap pengolahan yang sudah dilakukan di atas maka hasilnya adalah
berup lumpur yang perlu dilakukan pengolahan secara khusus agar dapat
dimanfaatkan untuk keperluan lain.
2.6.5. Pengelolaan Tempat Pencucian Linen (Laundry)
Laundry adalah tempat pencucian linen yang dilengkapi dengan sarana
penunjangnya berupa mesin cuci, alat dan desinfektan, mesin uap (steam boiler),
pengering, meja dan mesin setrika.
1. Suhu pencucian 700C dalam waktu 25 menit atau 950C dalam 10 menit.
2. Ditempat laundry tersedia air bersih dengan air yang memadai, air panas
untuk desinfeksi dan desinfektan.
Universitas Sumatera Utara
3. Peralatan cuci diletakkan dekat dengan saluran pembuangan air limbah.
4. Tersedia ruangan dan mesin cuci yang terpisah untuk linen infeksius dan non
infeksius.
5. Dilengkapi saluran air limbah tertutup dilengkapi dengan pengolahan awal
sebelum dialirkan ke IPAL.
6. Tersedia ruang terpisah sesuai kegunannya misalnya ruang linen kotor, ruang
linen bersih, ruang perlengkapan kebersihan, ruang perlengkapan cuci, ruang
kereta linen, kamar mandi dan ruang pengering.
7. Perlakuan yang ada: Pemilahan antara bahan infeksius dan non infeksius,
menghitung dan mencatat linen di ruangan, mmenimbang berat linen sesuai
kapasitas mesin cuci, deterjen dan desinfektan. Membersihkan linen kotor
dari tinja, urin, darah, muntahan dan merendam dengan desinfektan.
Kemudian mencuci berdasarkan tingkat kekotorannya. Dilanjutkan
pengeringan, penyetrikaan dan penyimpanan sesuai jenisnya dan pintu lemari
tertutup. Petugas harus memakai pakaian kerja khusus, APD dan dilakukan
pemeriksaan kesehatan secara berkala dan immunisasi Hepatitis B.
2.6.6. Pengendalian Serangga, Tikus dan Binatang Pengganggu Lainnya
Pengendalian serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya adalah upaya
untuk mengurangi populasi serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya
sehingga keberadannya tidak menjadi vektor penularan penyakit, termasuk
didalamnya adalah nyamuk, kecoa, tikus, lalat, kucing dan anjing. Pencegahan
dengan pemberantasan sarang nyamuk dengan 3M (mengubur, menguras, menutup),
pembuangan air limbah dalam saluran tertutup, pembersihan tanaman sekitar agar
Universitas Sumatera Utara
tidak menjadi tempat perindukan nyamuk, pemasangan kawat kasa di seluruh
ruangan. Menyimpan bahan makanan dan minuman secara tertutup, pengelolaan
sampah yang baik, menutup lubang atau celah agar kecoa tidak masuk ke ruangan.
Melakukan penutupan saluran terbuka, lubang di dinding, plafon, pintu dan jendela
agar tikus tidak masuk. Agar binatang pengganggu lain tidak masuk perlu
melakukan pengelolaan makanan dan pengelolaan sampah dengan baik.
Dalam hal ini keadaan hygiene sanitasi yang tidak baik dapat dikurangi dan
dihilangkan sesuai dengan Permenkes Nomor 1204 / Menkes / X / 2004 tentang
persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit. Sebagai tempat umum merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sistem pelayanan kesehatan yang
memerlukan perhatian dan penanganan yang serius dari aspek hygiene sanitasinya.
Untuk menangani hal tersebut diperlukan penelitian yang mendasar bagi manusia
dan sanitasi dasar yang ada di lingkungan dengan cara mengamati penerapan
persyaratan hygiene sanitasi dasar sebagai tujuan penelitian.
2.6.7. Dekontaminasi dengan Disinfeksi dan Sterilisasi
Desinfeksi adalah proses menurunkan jumlah mikroorganisme penyebab
penyakit atau yang berpotensi patogen dengan cara fisika atau kimiawi. Proses
disnfeksi harus didahului dengan proses dekontaminasi atau pencucuian yang
memadai dengan menghilangkan sebagian besar kuman yang terdapat pada
permukaan benda. Sedangkan sterilisasi adalah suatu proses perlakuan terhadap
bahan atau barang dimana pada akhir proses tidak dapat ditunjukkan adanya
mikroorganisme pada bahan/barang tersebut.(Dirjen PM dan PL,2002).
Universitas Sumatera Utara
2.7. Konsep Perilaku
2.7.1. Batasan Perilaku
Menurut Notoadmodjo (2003) dari segi biologis, perilaku adalah suatu
kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Dengan kata
lain kata lain perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia baik
yang dapat diamati langsung seperti berbicara, berjalan, tertawa, dan sebagainya.
Skinner dalam Notoadmomodjo (2003) merumuskan bahwa perilaku merupakan
respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (ransangan dari luar).
2.7.2. Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organism) terhadap
stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, system pelayanan
kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan.
Seorang ahli bernama Becker dalam Notoadmodjo (2003) membuat klasifikasi
perilaku kesehatan menjadi tiga yaitu: perilaku hidup sehat, perilaku sakit, dan
perilaku peran sakit.
1. Perilaku Hidup Sehat
Perilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya
atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya,
antar lain:
a. Makan dengan menu seimbang
b. Olah raga teratur
c. Tidak merokok
d. Tidak minum minuman keras dan narkoba
Universitas Sumatera Utara
e. Istirahat cukup
f. Mengendalikan stress
g. Perilaku atau gaya hidup yang positif bagi kesehatan.
2. Perilaku Sakit
Perilaku sakit mencakup respon seseorang terhadap sakit, pengetahuan
tentang penyebab dan gejala penyakit, pengobatan penyakit, dan sebagainya
(Notoadmodjo, 2003).
3. Perilaku Peran Sakit
Dari segi sosiologis, orang sakit (pasien) mempunyai peran, yang mencakup
hak-hak orang sakit (right) dan kewajiban sebagai orang sakit (obligation). Hak dan
kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit sendiri maupun orang lain (terutama
keluarganya), yang selanjutnya disebut perilaku peran orang sakit (the sick role).
Perilaku ini meliputi:
a. Tindakan untuk mendapat kesembuhan.
b. Mengenal/mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan/penyembuhan penyakit
yang layak. Mengetahui hak (hak memperoleh perawatan, memperoleh
pelayanan kesehatan dan sebagainya) serta kewajiban orang sakit
(memberitahukan penyakitnya kepada orang lain terutama kepada dokter dan
petugas kesehatan.
2.7.3. Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Perilaku
Menurut Green yang dikutip oleh Notoadmodjo (2003), faktor-faktor yang
merupakan penyebab perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor presdiposisi seperti
pengetahuan, sikap keyakinan, dan nilai, berkenaan dengan motivasi seseorang
Universitas Sumatera Utara
bertindak. Faktor pemungkin atau faktor pendukung (enabling) perilaku adalah
fasilitas, sarana, atau prasarana yang mendukung atau memfasilitasi terjadinya
perilaku seseorang atau masyarakat. Terakhir faktor penguat seperti keluarga,
petugas kesehatan dan lain-lain.
2.7.4. Domain Perilaku
Menurut Notoadmodjo (2003) meskipun perilaku adalah bentuk respon atau
reaksi terhadap stimulus atau ransangan dari luar organism (orang), namun dalam
memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari
orang yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun simulusnya sama bagi
beberapa orang, namun respon tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang
membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku.
Didalam Notoadmodjo (2003) dijelaskan bahwa Benyamin bloom seorang
ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia kedalam 3 (tiga) domain yaitu:
kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam perkembangannya, teori Bloom ini
dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan yaitu: pengetahuan
(knowledge), sikap (attitude), tindakan (practice).
1. Pengetahuan (Knowledge)
Defenisi pengetahuan menurut Notoadmodjo (2003) adalah hasil dari tahu
yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Pengetahuan yang ada pada diri manusia bertujuan untuk dapat menjawab
masalah kehidupan yang dihadapinya sehari-hari dan digunakan untuk menawarkan
Universitas Sumatera Utara
berbagai kemudahan bagi manusia. Dalam hal ini pengetahuan dapat diibaratkan
sebagai suatu alat yang dipakai manusia dalam menyelesaikan persoalan yang
dihadapi (Notoadmodjo, 2003).
2. Sikap (Attitude)
Menurut Zimbardo dan Ebbesen dalam Ahmadi (2007) sikap adalah suatu
presdiposisi (keadaan mudah terpengaruh) terhadap seseorang, ide atau objek yang
berisi komponen-komponen cognitive, affective, dan behavior. Secara umum dalam
Ahmadi (2007) dapat disimpulkan bahwa sikap adalah kesiapan merespon yang
sifatnya positif atau negatif terhadap objek atau situasi secara konsisten.
Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sikap dalam Ahmadi (2007) ada
dua hal, yaitu:
a. Faktor intern
Yaitu faktor yang terdapat dalam pribadi manusia itu sendiri. Faktor ini
berupa selectivity atau daya pulih seseorang untuk menerima dan mengolah
pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Pilihan terhadap pengaruh dari luar
itu biasanya disesuaikan dengan motif dan sikap didalam diri manusia,
terutama yang menjadi minat perhatiannya. Misalnya orang yang sangat haus
akan memperhatikan peransang yang dapat menghilangkan hausnya itu dari
peransang-peransang yang lain.
b. Faktor ekstern
Yaitu faktor yang terdapat diluar pribadi manusia. Faktor ini berupa interaksi
sosial diluar kelompok.
Universitas Sumatera Utara
Pembentukan dan perubahan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Sikap
terbentuk dalam hubungannya dengan suatu objek, orang, kelompok, lembaga, nilai,
melalui hubungan antara individu, hubungan didalam kelompok, komunikasi surat
kabar, buku, poster, radio, televisi dan sebagainya, terdapat banyak kemungkinan
yang mempengaruhi timbulnya sikap. Lingkungan yang terdekat dengan kehidupan
sehari-hari banyak memiliki peranan. Keluarga yang terdiri dari orang tua, dan
saudara-saudara dirumah, memiliki peranan yang penting (Ahmadi, 2007).
Fungsi Sikap:
a. Sikap berfungsi sebagai alat untuk menyesuaikan diri
b. Sikap berfungsi sebagai alat pengukur tingkah laku
c. Sikap berfungsi sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman
d. Sikap berfungsi sebagai alat pernyataan kepribadian
3. Tindakan (Practise)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior).
Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor-faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain adalah fasilitas.
Disamping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak
lain.
Tindakan mempunyai beberapa tingkatan yaitu:
a. Persepsi (Perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek
b. Respon Terpimpin (Guided Response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai.
Universitas Sumatera Utara
c. Mekanisme (Mecanism)
Dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu
sudah merupakan kebiasaan.
d. Adopsi (Adoption)
Suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya
tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan.
2.8. Kerangka Konsep
1. Perilaku Hygiene Perawat • Pengetahuan • Sikap • Tindakan
2. Fasilitas sanitasi meliputi:
1) Penyediaan air bersih.
2) Toilet/ Kamar Mandi 3) Pengelolaan Limbah
Padat. 4) Pengelolaan Limbah
Cair. 5) Pengelolaan Tempat
Pencucian Linen . 6) Pengendalian
Serangga dan Tikus dan binatang penggangu lainnya.
7) Dekontaminasi melalui desinfeksi dan sterilisasi.
Pencegahan Infeksi Nosokomial di RSUD
Perdagangan Kabupaten Simalungun
Universitas Sumatera Utara