bab ii tinjauan literatur 2.1 teori agency dan teori...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN LITERATUR
2.1 Teori Agency dan Teori Stewardship
Teori keagenan pertama kali dicetuskan oleh Jensen dan Meckling pada
tahun 1976. Teori agensi menggambarkan hubungan agensi sebagai suatu
kontrak di bawah satu prinsipal atau lebih yang melibatkan agen untuk
melaksanakan beberapa pelayanan bagi mereka dengan melakukan
pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Baik
prinsipal maupun agen diasumsikan sebagai orang ekonomi rasional
(homo Economicus) dan semata-mata termotivasi oleh kepentingan
pribadi. Hal ini dapat memicu terjadinya konflik keagenan (Jensen dan
Meckling, 1976).
Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak antara prinsipal dengan
agen. Masalah agensi timbul karena adanya konflik kepentingan antara
shareholders dan manajer, karena tidak bertemunya utilitas yang maksimal
antara mereka. Sebagai agen, manajer secara moral bertanggung jawab
untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal), namun disisi
lain manajer juga mempunyai kepentingan memaksimalkan kesejahteraan
mereka. Berkenaan dengan hal tersebut, ada kemungkinan besar agen
tidak selalu bertindak demi kepentingan terbaik principal (Jensen dan
Meckling, 1976)
Menurut Eisenhardt (1989) dalam Ujiyantho (2007) teori keagenan
menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumnya
mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir
terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3)
manusia selalu menghindari risiko/risk averse. Berdasarkan asumsi sifat
dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia akan bertindak
opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya (Haris, 2004
dalam Indriastuti dan Ifada, 2011).
Masalah keagenan juga dapat terjadi karena adanya asymetric information
antara pemilik dan manajer, yaitu ketika salah satu pihak memiliki
informasi yang tidak dimiliki oleh pihak lainnya. Asymetric information
12
terdiri dari dua tipe, yaitu: (1) adverse selection, pada tipe ini, pihak yang
merasa memiliki informasi lebih sedikit dibandingkan pihak lain tidak
akan mau untuk melakukan perjanjian, dan (2) moral hazard, pada tipe ini,
manajer melakukan tindakan tanpa sepengetahuan pemilik untuk
keuntungan pribadinya dan menurunkan kesejahteraan pemilik dan hal ini
bisa terjadi kapan saja (Jensen dan Meckling, 1976).
Adanya agency problem, menimbulkan biaya keagenan (agency cost),
yang menurut Jensen dan Meckling (1976) terdiri dari:
a) The Monitoring expenditures by the principle. Biaya monitoring
yang dikeluarkan oleh prinsipal untuk memonitor perilaku agen,
termasuk juga usaha untuk mengendalikan perilaku agen melalui
budget restriction, dan compensation policies.
b) The bonding expenditures by the agent. The bonding cost
dikeluarkan oleh agen untuk menjamin bahwa agen tidak akan
menggunakan tindakan tertentu yang akan merugikan prinsipal
atau untuk menjamin bahwa prinsipal akan diberi kompensasi jika
ia tidak mengambil banyak tindakan.
c) The residual cost. Yang merupakan penurunan tingkat
kesejahteraan prinsipal maupun agen setelah adanya agency
relationship.
Tabel 1
Asumsi Dasar dalam Agency Theory
Asumsi Manusia : Homo Economicus, yang memaksimalkan
Utilitasnya
Model Perilaku : Self Serving Behavior
Fakta Penerapannya : Prinsipal dan Agen cenderung menerapkan
Tujuan secara kaku (rigid)
Akibat Yang Timbul : Conflik of Interest
Konsekuensi : Timbul agency cost dalam mengawasi
Manajer/agen
13
Pemecahan : Sharing rule antara prinsipal dan agen
perlu dibuat
Reward : Ekstrinsik, yaitu komoditi berwujud dan
Bisa dipertukarkan dan memiliki nilai
pasar yang bisa diukur
Asumsi Informasi : Sebagai komoditi yang dapat diperjualbelikan
Sumber: Arifin, 2005. Pidato Pengukuhan Guru Besar UNDIP.
Tabel 2
Perbandingan Teori Agency dan Teori Stewardship
Teori Agency Teori Stewardship
Model manusia
Perilaku
Berorientasi ekonomi
Melayani diri sendiri
Aktualisasi diri
Melayani orang lain
Mekanisme Psikologi:
Motivasi
Perbandingan sosial
Identifikasi
Kekuasaan
Kebutuhan yang lebih
rendah (psikologi,
keamanan, ekonomi)
Ekstrinsik
Manajer
Menilai komitmen
rendah (legitimasi,
memaksa, reward)
Institusional
Kebutuhan yang
lebih tinggi
(pertumbuhan,
prestasi, aktualisasi
diri)
Intrinsik
Prinsipal
Menilai komitmen
tinggi (pakar,
referen)
Perseorangan
Mekanisme situasional:
Filosofi manajemen
Orientasi risiko
Kerangka waktu
Tujuan
Perbedaan budaya
Berorientasi
pengawasan
Mekanisme kontrol
Jangka pendek
Pengawasan biaya
Individualis
Rentang kekuasaan
tinggi
Berorientasi
partisipasi
Kepercayaan
Jangka panjang
Perbaikan kinerja
Kebersamaan
Rentang kekuasaan
rendah Sumber: FX Anton, Majalah Informatika Vol.1 No.2 Mei 2010
14
2.2 Agency Theory dan Stewardship Theory di Organisasi Nirlaba
Teori keagenan dalam organisasi nirlaba (Caers,et al, 2006) dapat dilihat
dari dua sudut pandang (1) hubungan internal principal-agent yaitu
interaksi diantara board of directors (the principal) dan manajer (the
agent); (2) hubungan eksternal principal-agent yaitu hubungan antara
stakeholder atau donator (principal) dan board of directors (agent).
Board of directors yang bertindak sebagai prinsipal berperan dalam
pencapaian misi dan tujuan organisasi. Dari perspektif keagenan, board of
directors dihadapkan pada keputusan apakah akan menerapkan langkah-
langkah pengendalian terhadap perilaku agen yang mengejar tujuan untuk
kepentingannya (conflict of interest). Secara normatif, pengendalian
board of directors yang kuat dianggap penting dalam organisasi nirlaba
(Fama, 1980; Fama dan Jensen, 1983; Jensen, 1986; Weisbach, 1988;
Osytrowski, 1990 dalam Caers, et al, 2006). Namun demikian penelitian
Middleton (1987) dalam Caers, et al (2006) menunjukkan bahwa banyak
board of directors di organisasi nirlaba mengabaikan pengendalian
terhadap perilaku agen. Glaeser (2003) dalam Caers, et al (2006) juga
menyatakan bahwa pengendalain yang lemah di organisasi nirlaba
disebabkan karena intrumen pengendalian yang terbatas.
Pendekatan managerial power juga menjelaskan bahwa lemahnya
pengendalian organisasi nirlaba berhubungan dengan komposisi board of
directors. Komposisi board of directors berfokus pada keuntungan,
kerugian, dan keseimbangan antara board insider dan outsider, CEO
duality dan keragaman anggota dewan. Menurut Callen dan Falk (1993)
dalam Caers, et al (2006) bahwa anggota board sebagai insider trustee
apabila mereka menerima renumerasi dari organisasi. Jika tidak, maka
anggota board tersebut merupakan outsider trustee. Selanjutnya menurut
Lorsch dan Maclver (1989) dalam Caers, et al (2006) keuntungan utama
dari peran insider board terletak pada pengetahuan dan informasi terutama
kekuatan dan kelemahan organisasi , kesulitan internal organisasi sehingga
insider board dapat berperan dalam pengambilan keputusan organisasi.
Namun demikian, menurut Callen dan Falk bahwa renumerasi bagi insider
trustee memberi motivasi untuk mengejar kepentingan mereka sendiri
15
dalam proses pengambilan keputusan (conflict of interest), contohnya,
menaikkan gaji.
Dalam organisasi nirlaba dimana CEO duality diterapkan (yaitu, manajer
yang ditunjuk sebagai ketua board) maka manajemen dapat memiliki
pengendalian langsung atas keputusan-keputusan board. Dari perspektif
agency, kerangka ini akan memungkinkan insider trustee bertindak untuk
keuntungan sendiri. Dengan demikian fungsi board tidak akan berjalan
efisien karena terhalang oleh insider trustee.
Partisipasi outsider trustee diyakini akan meningkatkan kesadaran board
untuk meningkatkan strategi dan teknologi bagi organisasi atau membuat
norma-norma operasional organisasi (Fama dan Jensen, 1983; Westphal
dan Zajac, 1995 dalam Caers, et al, 2006) atau strategi untuk
meningkatkan donation (Ostrower dan Stone, 2005 dalam Caers, et al,
2006). Sebagai bias dari persentasi board outsider di organisasi nirlaba
dipandang sebagai ukuran untuk tata kelola organisai (corporate
governance) (Beatty dan Zajac, 1994 dalam Caers, et al, 2006). Namun,
menurut Lorsch dan Maclver (1989), Westphal dan Zajac, (1995) dan
Alexander dan Fennell (1993) dalam Caers, et al (2006) bahwa anggota
outsider board tidak secara otomatis lebih independen dari insider board.
Para peneliti berpendapat bahwa outsider board yang memiliki kesamaan
demografis dengan manajer cenderung mengejar tujuan yang sama dan
memiliki minat yang sama dan ini akan menimbulkan probabilitas bahwa
outsider board akan mendukung keputusan manajemen, mengurangi
pengendalian, dan evaluasi kinerja akan lebih positif.
Menurut Bebchuk dan Fried (2003) dalam Caers, et al (2006) ada dua
teori yang dominan yaitu (1) pendekatan kontrak optimal (the optimal
contracting approach; dan (2) pendekatan kekuasaan manajerial
(managerial power approach) dalam hubungan board-manager. Ketika
pendekatan kontrak optimal dilaksanakan maka manajemen tidak dapat
mempengaruhi board pada saat pemilihan dan pencalonan kembali
anggota board dan voting rights terhadap board sehingga board akan
berusaha untuk menerapkan mekanisme insentif bagi organisasi untuk
merangsang manajer bertindak untuk kepentingan stakeholders.
16
Sedangkan penerapan pendekatan kekuasaan manajerial, manajer
memiliki pengaruh yang besar dalam proses pemilihan kembali anggota
board atau dalam proses pengambilan keputusan board. Menurut Provan
(1991) dalam Caers, et al (2006) bahwa jumlah informasi yang diterima
seseorang dalam organisasi berhubungan positif dengan pengaruhnya
pada pengambilan keputusan. Dengan demikian manajer yang memiliki
informasi yang lebih banyak dianggap memiliki pengaruh lebih besar
dalam pengambilan keputusan.
Sehingga potensi terjadi moral hazard akan terus terjadi. Masalah moral
hazard terjadi ketika asymmetrical information menjadi faktor penting dan
dalam hubungan antara board dan manajemen. Pertama, dalam proses
seleksi (calon) manajer akan terjadi adverse selection. Menurut Pontes
(1995) dalam Caers, et al (2006), kandidat yang memiliki informasi yang
lebih banyak daripada board akan mencoba untuk menggunakan
asymmetrical information dengan cara menunjukkan kekuatan dan
kompetensi diri melalui kualifikasi akademik, keanggotaan dalam asosiasi
profesi, rekomendasi pekerjaan sebelumnya dan izin dari pemerintah
untuk menyakinkan anggota board.
Kedua, asymmetry information menjadi penting dalam pertemuan board
dan manajemen dimana manajer diminta untuk menjelaskan keadaan
organisasi sehingga manajer akan memberikan informasi yang terbaik
tentang arah organisasi, tujuan yang telah dicapai dan belum dicapai
organisasi dan peluang organisasi ke depan. Untuk mengurangi
asymmetry information maka board misalnya dapat melakukan audit
(Bamberg dan Spremmann, 1987 dalam Caers, et al, 2006).
17
Tabel 3 Prinsip Teori dan Aplikasi Teori Keagenan
Teori Keagenan (Agency theory)
Tema Utama (Main Theme) Ketidaksesuaian Tujuan (Goal
incongruence): Menganggap
perbedaan tujuan merupakan
tindakan yang rasional berdasarkan
kepentingan sendiri.
Ketidakpercayaan merupakan
kecenderungan awal. Pengendalian
berorientasi pada filosofi
manajemen. Asumsi-asumsi teori
berasal dari ilmu ekonomi.
Prinsip Teori Penggunaan insentif dan sanksi
untuk mendorong keselarasan
tujuan:
Menetapkan risiko terhadap
agen untuk memastikan
kepatuhan pada tujuan
Monitoring
Sistem reward
Penggunaan ikatan (bonding)
yang mengancam reputasi
Aplikasi Mengurangi perilaku
oportunistik
Menggunakan insentif dan
sanksi untuk mengurangi
terjadinya asymmetric
information
Memperbaharui persyaratan
kontrak yang lebih spesifik
khususnya pada aset dan
moral hazard
Penggunaan reputasi sebagai
bagian dari insentif dan sanksi
Memastikan keselarasan
tujuan
Sumber : Van Slyke, 2006. Journal of Public Administration Research
and Theory.
18
Tabel 4
Prinsip Teori dan Aplikasi Teori Stewardship
Teori Stewardship
Tema Utama (Main Theme) Keselarasan tujuan: Sasaran dan
objektif dicapai melalui
kepercayaan sebagai
disposisi awal. Keterlibatan
berorientasi filosofi manajemen.
Asumsi teoritis berasal
dari perilaku organisasi,
psikologi, dan sosiologi.
Prinsip Teori Memberdayakan pekerja melalui:
Tanggung Jawab
Otonomi
Budaya dan norma- norma
bersama.
Kekuatan pribadi dan
kepercayaan
Mekanisme tata kelola lainnya.
Aplikasi Keselarasan tujuan
berdasarkan tujuan dan berbagi
kepercayaan. Reward Pekerja melalui
mekanisme non-uang. Mengurangi ancaman perilaku
oportunistik melalui tanggung
jawab dan otonomi. Mengurangi ancaman terhadap
organisasi dari informasi
asimetri, moral hazard, dan
kekhususan aset. Mengurangi ketergantungan
pada hukum kontrak untuk
menegakkan perilaku. Menggunakan reputasi sebagai
insentif dan sanksi. Sumber : Van Slyke, 2006. Journal of Public Administration Research
and Theory.
19
2.3 Konsep dan Definisi Corporate Governance
Bila dilihat dari perkembangan teori perusahaan dan hubungannya dengan
kebutuhan good corporate governance, dari perspektif teori keagenan,
tabel 2 berikut ini menunjukkan perkembangan akan kebutuhan good
corporate governance pada teori korporasi klasik, modern, dan post-
modern.
Tabel 5
Perkembangan Teori Korporasi dan Implikasinya Terhadap Good
Corporate Governance
TEORI
KORPORASI
KLASIK
TEORI KORPORASI
MODERN
TEORI KORPORASI
POST-MODERN
Karakteristik :
1. Perusahaan
dengan single
majority
shareholders.
2. Prinsipal
merangkap
sebagai agen.
3. Keseimbangan
kepentingan
antara prinsipal
dan agen tidak
penting.
Karakteristik :
1. Perusahaan dengan
banyak pemegang
saham, namun
masih ada
kepemilikan
mayoritas.
2. Fungsi prinsipal
dan agen mulai
terpisah.
3. Meskipun pemilik
mayoritas masih
memiliki otoritas
yang besar,
kepentingan
pemegang saham
minoritas sudah
diperhatikan.
Karakteristik :
1. Perusahaan dengan
banyak pemegang
saham, dan tidak
ada kepemilikan
mayoritas.
2. Sulit untuk
mengidentifikasi “
the true principal”.
3. Prinsipal umumnya
tidak atau kurang
memahami bisnis.
4. Agen memiliki
pengaruh yang
besar dalam
menjalankan
perusahaan.
5. Terjadi
ketidakseimbangan
kepentingan
(conflict of
interest).
IMPLIKASI : IMPLIKASI : IMPLIKASI :
20
Aspek Good
Corporate
Governance TIDAK
diperlukan
Aspek Good
Corporate
Governance MULAI
diperlukan
Aspek Good
Corporate
Governance
SANGAT diperlukan
Sumber: Arifin, 2005. Pidato Pengukuhan Guru Besar Undip
Teori keagenan memberikan landasan model teoritis yang sangat
berpengaruh terhadap konsep corporate governance dimana pengelolaan
perusahaan harus diawasi dan dikendalikan untuk memastikan bahwa
pengelolaan dilakukan dengan penuh kepatuhan pada peraturan dan
ketentuan yang berlaku.
Kata “Governance” berasal dari bahasa Perancis “Gubernance” yang
berarti pengendalian. Selanjutnya kata tersebut dipergunakan dalam
konteks kegiatan perusahaan atau jenis organisasi yang lain, menjadi
corporate governance. Dalam bahasa Indonesia hal ini sering
diterjemahkan secara harfiah sebagai tata kelola atau tata pemerintahan
perusahaan (Sutojo dan Aldridge, 2005 dalam Priambodo & Supriyatno,
2007).
Perkembangan konsep corporate governance sesungguhnya telah jauh
dimulai bersama dengan dikembangkannya sistem korporasi di Inggris,
Eropa, dan Amerika Serikat sekitar satu setengah abad lalu (1840-an).
Untuk pertama kalinya, istilah corporate governance diperkenalkan oleh
Cadbury Committee pada tahun 1992 dalam laporannya yang dikenal
sebagai Cadbury Report. Laporan inilah yang menentukan praktik
Corporate Governance di seluruh dunia.
Menurut Cadbury Committee, corporate governance adalah:
“ A set of rules that define the relationship between shareholder,
managers, creditors, the government, employees and other internal
and external stakeholders in respect to their rights and
responsibilities”.
Definisi ini dinyatakan mengenai seperangkat peraturan yang
berhubungan dengan shareholder, manajer, kreditor, pemerintah, pegawai
dan pihak stakeholder baik internal maupun eksternal.
21
Menurut OECD (Organisation for Economic Co-operation and
Development) mendefinisikan Corporate Governance sebagai
berikut :
“corporate governance is the system by which business
corporations are directed and controlled. The Corporate
Governance structure specifies the distribution of the right and
responsibilities among different participants in the corporation,
such as the board, managers, shareholders, and spell out the rules
and procedures for making decisions on corporate affairs. By
doing this, it also provides this structure through which the
company objectives are set, and the means of attaining those
objectives and monitoring performance”
Artinya bahwa corporate governance merupakan struktur hubungan serta
kaitannya dengan tanggung jawab di antara pihak-pihak terkait yang
terdiri dari pemegang saham, anggota dewan direksi dan komisaris
termasuk manager, yang dirancang untuk mendorong terciptanya suatu
kinerja yang kompetitif yang diperlukan dalm mencapai tujuan utama
perusahaan.
Definisi diatas melihat Corporate Governance sebagai suatu sistem
dimana sebuah organisasi termasuk organisasi gereja perlu untuk
diarahkan dan diawasi. Sejalan dengan itu, maka struktur dari Corporate
Governance menjelaskan distribusi hak-hak dan tanggung jawab dari
masing-masing yang terlibat dalam sebuah organisasi, yaitu antara
manajemen gereja dan pihak-pihak lain yang terkait sebagai stakeholders.
Selanjutnya, struktur dari Corporate Governance juga menjelaskan
bagaimana aturan dan prosedur dalam pengambilan keputusan kebijakan
sehingga dengan melakukan itu semua maka tujuan organisasi dan
pemantauan kinerjanya dapat dipertanggungjawabkan dan dilakukan
dengan baik.
Menurut Price Waterhouse Coopers (Indra & Ivan, 2006, hal.26):
“Corporate governance terkait dengan pengambilan keputusan
yang efektif. Dibangun melalui kultur organisasi, nilai-nilai,
sistem, berbagai proses, kebijakan-kebijakan dan struktur
22
organisasi, yang bertujuan untuk mencapai bisnis yang
menguntungkan, efisien, dan efektif dalam mengelola risiko dan
bertanggung jawab dengan memerhatikan kepentingan
stakeholders.”
Syakhrosa (2003) mendefinisikan Corporate Governance secara
lebih gamblang, mudah dan jelas dimana ia mengatakan bahwa :
“Corporate Governance adalah suatu sistem yang dipakai “Board”
untuk mengarahkan dan mengendalikan serta mengawasi
(directing, controling, and supervising) pengelolaan sumber daya
organisasi secara efisien, efektif, ekonomis, dan produktif – E3P
dengan prinsip-prinsip transparan, accountable, responsible,
independent, dan fairness – TARIF dalam rangka mencapai tujuan
organisasi”
Syakhrosa (2003) mengatakan secara tegas bahwa corporate governance
terdiri dari 6 (enam) elemen, yaitu :
1. Fokus kepada Board
Board adalah pucuk pimpinan suatu organisasi yang bertanggung
jawab untuk mengarahkan dan mengendalikan serta mengawasi
pemakaian sumber daya supaya selaras dengan tujuan organisasi
yang telah ditetapkan.
Mengapa CG harus fokus kepada board? Karena Board adalah
yang bertanggung jawab dan memiliki otoritas penuh dalam
membuat keputusan tentang bagaimana melakukan pengarahan,
pengendalian dan pengawasan atas sumber daya sesuai dengan
tujuan organisasi. Dalam melakukan pengelolaan sumber daya ini
tentu saja harus memenuhi kaidah-kaidah efisien, efektif,
ekonomis dan produktif – E3P dengan selalu berorientasi kepada
tujuan organisasi. Steinberg dan Bromilow (2000) dalam
Syakhrosa (2003) menyatakan secara tegas bahwa good corporate
governance akan bisa dibangun dalam suatu organisasi apabila
organisasi tersebut memiliki strategy dan planning (lazim disebut
strategic planning) yang dapat diimplementasikan secara terukur
dari waktu ke waktu. Apabila strategy planning ini terukur secara
23
jelas maka akan memudahkan bagi board untuk mengukur dan
memantau kinerja organisasi secara berkesinambungan.
Perencanaan, pemantauan, penilaian dan pengawasan – P4 atas
pengelolaan sumber daya dalam suatu organisasi apakah sudah
sesuai dengan tujuan organisasi dengan tetap berpijak kepada
kaidah-kaidah E3P. Oleh karena itu maka indikator-indikator
kinerja tersebut harus disusun dan ditetapkan secara adil dan
bertanggung jawab – fairness and accountable, kinerja tersebut
harus dikomunikasikan secara terbuka dan bisa
dipertanggungjawabkan – transparant and responsible, dan
akhirnya dalam melakukan pengelolaan sumber daya, keputusan
yang dibuat harus bebas – independent dari intervensi pihak
manapun.
2. Hukum dan peraturan sebagai alat untuk mengarahkan dan
mengendalikan.
Suatu organisasi membutuhkan suatu perangkat hukum dan
peraturan yang ditujukan kepada Board untuk melindungi dan
memagari agar keputusan yang dibuat oleh board bisa independen
dan pengelolaan sumber daya perusahaan menjadi optimal
(Syakhroza, 2003). Secara tidak berlebihan jika banyak para
peneliti CG menyatakan bahwa inti disiplin ilmu yang membentuk
Corporate Governance adalah hukum (antara lain Seiznick,
1948;Burel & Morgan, 1979;Fama and Jensen, 1983 dalam
Syakhrosa, 2003). Pengertian hukum disini tidak hanya perangkat
hukum yang berasal dari luar organisasi saja tetapi juga produk
hukum internal organisasi seperti kebijakan organisai, prosedur
standar operasi, dan sebagainya.
Produk hukum dalam membangun corporate governance harus di
taati tanpa menggangu Board dan manajemen organisasi dalam
upaya mencapai tujuan organisasi. Misalnya, kepedulian
organisasi terhadap pembangunan masyarakat sekitarnya
(community development) tidk boleh menggangu kepada
pencapaian tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Kepedulian
terhadap masyarakat sekitar ini adalah sebagai konsekuensi
organisasi sebagai open system yang harus menjaga keseimbangan
kepentingan stakeholders (Cadbury, 1999).
24
3. Pengelolaan sumber daya organisasi secara efisien, efektif,
ekonomis, dan produktif – E3P.
Adanya perangkat hukum dan peraturan adalah sebagai upaya
untuk memberikan pedoman yang berisi petunjuk dan batasan
kepada Board untuk bertindak lebih independen. Board
Governance yang baik tentu saja akan berupaya secara terus
menerus bagaimana mengalokasikan sumber daya secara maksimal
dalam kerangka pencapaian tujuan organisasi.
4. Transparan, accountable, responsible, independent, dan fairness –
TARIF.
Pentingnya penegakkan Good Corporate Governance adalah
merupakan cerminan keseriusan Board dalam memberikan
komitmen kepada pencapaian tujuan organisasi. Kakabadse,
Kakabadse, dan Kouzmin (2001) dalam Syakhrosa (2003) telah
secara tegas menyimpulkan bahwa Good Governance yang telah
tertata dengan baik akan selalu “concern” terhadap bagaimana
operasional organisasi in line with tujuan organisasi. Untuk itu
maka Board akan menyiapkan suatu perangkat pengukuran kinerja
yang line up dengan tujuan organisasi yang dipakai oleh Board
sebagai alat untuk melakukan pemantauan dan pengendalian
kinerja organisasi.
5. Strategic control
Corporate governance merupakan salah satu instrumen strategic
control perusahaan (Fama dan Jensen, 1983 dalam Syakhrosa,
2003). Fokus kepada Board dan berorientasi kepada tujuan
perusahaan adalah menunjukan bahwa CG merupakan alat
pengendalian strategis perusahaan.
2.4. Prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG)
2.4.1 Prinsip-prinsip GCG Menurut Menteri BUMN
Prinsip-prinsip good corporate governance menurut Menteri BUMN
Nomer. KEP-117/M-MBU/2002 tentang penerapan praktik GCG pada
BUMN pasal 3 dalam Wardoyo dan Lena (2010) yaitu:
25
1. Transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses
pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan
informasi materil dan relevan mengenai perusahaan dan mencegah
upaya penyembunyian informasi yang relevan bagi pengguna
maupun stakeholder.
2. Akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan
terlaksana secara efektif.
3. Kemandirian, yaitu suatu keadaan di mana perusahaan dikelola
secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau
tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi
yang sehat.
4. Pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan
perusahaan terhadap perundang-undangan yang berlaku dan
prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
5. Kewajaran, yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-
hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2.4.2 Prinsip-prinsip GCG Menurut FCGI (Forum for Corporate
Governance in Indonesia.
Prinsip-prinsip GCG menurut FCGI (Forum for Corporate Governance in
Indonesia) diambil dari OECD yang menyebutkan ada 4 (empat) yaitu:
1. Fairness yaitu kepastian perlindungan atas semua sumber dana dan
aset organisasi dari penipuan (fraud) dan penyimpangan lainnya
serta adanya pemahaman yang jelas mengenai hubungan
berdasarkan kepercayaan (trust)
2. Transparancy, yaitu keterbukaan mengenai informasi kinerja
organisasi, baik ketepatan waktu maupun akurasinya. Hal ini
berkaitan erat dengan kualitas informasi akuntansi yang dihasilkan.
3. Accountability, yaitu penciptaan sistem pengawasan yang efektif
berdasarkan pembagian wewenang, peranan, hak dan tanggung
jawab dari manajemen,komite audit dan internal auditor.
26
4. Responsibility, yaitu pertanggung jawaban organisasi kepada
stakeholders dan lingkungan dimana organisasi itu berada.
2.4.3 Prinsip-prinsip GCG Menurut OECD
Adapun prinsip-prinsip GCG menurut Organization for Economic Co-
operation and Development (OECD) yang dikutip oleh Wardoyo dan Lena
(2010), sebagai berikut:
1. Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham: menjamin
keamanan metoda pendaftaran kepemilikan, mengalihkan atau
memindahkan saham yang dimiliki, memperoleh informasi yang
relevan tentang perusahaan secara berkala dan teratur, ikut
berperan dan memberikan suara dalam rapat umum pemegang
saham (RUPS), memilih anggota dewan komisaris, dan dewan
direksi, serta memperoleh pendistribusian keuntungan perusahaan.
2. Persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham termasuk
pemegang saham asing dan minoritas.
3. Peranan pemangku kepentingan yang terkait dengan perusahaan
yaitu dorongan kerjasama antara perusahaan dengan pemangku
kepentingan agar tercipta kesejahteraan, lapangan pekerjaan, dan
kesinambungan usaha.
4. Keterbukaan dan transparansi terkait keuangan, kinerja
perusahaan, kepemilikan , dan pengelolaan perusahaan, informasi
yang diungkapkan harus disusun, diaudit, dan disajikan sesuai
dengan standar yang berkualitas tinggi.
5. Akuntabilitas Dewan Komisaris yaitu CG menjamin adanya
pedoman strategi perusahaan, pemantauan yang efektif terhadap
manajemen yang dilakukan oleh dewan komisaris dan
akuntabilitas dewan komisaris terhadap perusahaan dan pemegang
saham.
2.4.4 Prinsip-prinsip GCG Menurut ICGN
Organisasi ICGN (International Corporate Governance Network)
mengadopsi prinsip-prinsip GCG yang dikembangkan oleh OECD sebagai
standar minimal yang dapat diterima bagi perusahaan dan investor di
seluruh dunia. ICGN dalam Wardoyo dan Lena (2010)
27
merekomendasikan prinsip-prinsip berikut sebagai best practices dalam
penerapan CG:
1. Honesty (kejujuran), prinsip ini menuntut perusahaan
menyampaikan kebenaran di setiap waktu tanpa harus
memperhatikan konsekuensinya. Kejujuran adalah hal penting
dalam membangun hubungan saling percaya diantara semua
partisipan CG, antara lain meliputi Dewan Direksi, Manajemen,
Auditor, Dewan Penasehat, Karyawan, Pelanggan dan Pemerintah.
2. Resilience (kekuatan segera pulih), prinsip ini menuntut
perusahaan mengembangkan struktur GCG yang mampu bertahan
hidup dan segera pulih kembali jika perusahaan mengalami
kemunduran atau kegagalan. Oleh karena itu, mekanisme GCG
dirancang untuk mencegah, mendeteksi, dan mengoreksi segala
bentuk kegagalan yang dialami perusahaan.
3. Responsiveness (ketanggapan), prinsip ini menuntut perusahaan
bereaksi cepat terhadap permintaan dan tuntutan para pemangku
kepentingan. oleh karena itu, mekanisme GCG menekankan arti
penting penciptaan nilai bagi semua pemangku kepentingan,
termasuk terhadap pelestarian lingkungan.
4. Transparancy (transparansi), pada dasarnya prinsip ini menuntut
perusahaan menyajikan secara terus terang informasi yang relevan
bagi para pemangku kepentingan secara andal dan dalam bahasa
yang mudah dipahami. Informasi yang disajikan tidak sebatas
terkait dengan keuangan, tetapi juga informasi non-keuangan
seperti misalnya informasi terkait dengan operasi, struktur, dan
konflik kepentingan yang mungkin terjadi di perusahaan.
2.4.5 Prinsip-prinsip GCG Menurut SOA
Terdapat tiga prinsip integral SOA (Sarbanes Oxley Act) dalam Wardoyo
dan Lena (2010) yang dianut sebagai berikut:
1. Integrity (integritas), prinsip ini merujuk kepada kelengkapan
catatan keuangan. Jika informasi keuangan tidak lengkap maka
investor tidak akan memiliki gambaran yang representatif tentang
situasi perusahaan.
28
2. Reliability (keandalan), prinsip ini merujuk kepada penyajian
informasi yang akurat. SOA menuntut perusahaan untuk
meminimalkan kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak
disengaja karena kedua jenis kesalahan tersebut dapat
menyebabkan kerugian yang signifikan.
3. Accountability (akuntabilitas), prinsip ini merujuk kepada pihak
yang diberi amanah untuk menetapkan pengendalian atas
perusahaan dan bertanggung jawab atas kegagalan, jika terjadi.
2.4.6 Prinsip-prinsip GCG Menurut KNKG
Menurut KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance) ada lima asas
yang tercantum di dalam Pedoman Umum GCG yang dikutip oleh
Pratama & Mustamu (2013), yaitu:
1. Transparancy (keterbukaan informasi)
Organisasi harus menyediakan informasi yang material dan relevan
dengan cara yang mudah diakses oleh pemangku kepentingan
(stakeholders) serta mengungkapkan tidak hanya masalah yang
disyaratkan undang-undang tetapi juga hal penting untuk
pengambilan keputusan organisasi. Pedoman pelaksanaannya:
a. Penyediaan informasi yang tepat waktu, akurat, dan jelas serta
mudah diakses oleh pemangku kepentingan (stakeholders)
b. Kebijakan harus tertulis dan secara proporsional
dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan (stakeholders)
c. Pengungkapan informasi tidak hanya terbatas visi, misi, sasaran
organisasi dan strategi bersaing dan informasi yang dibutuhkan
dalam proses pengambilan keputusan.
2. Accountability (akuntabilitas)
Organisasi harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya
secara wajar dan transparan. Untuk itu organisasi harus dikelola
secara benar, terstruktur, dan sesuai dengan kepentingan organisasi
dengan tetap memperhitungkan kepentingan stakeholder.
Pedoman pelaksanaannya:
a. Menetapkan rincian tugas dan tanggungjawab masing-masing
organ organisasi dan semua karyawan secara jelas, selaras
dengan visi, misi, sasaran usaha dan strategi organisasi.
29
b. Adanya sistem pengendalian organisasi (internal dan eksternal)
yang efektif dalam pengelolaan organisasi.
c. Mempunyai ukuran kinerja untuk semua jajaran manajemen
organisasi yang konsisten serta memiliki sistem penghargaan
dan sanksi.
d. Melaksanakan tugas dan tanggung jawab harus berpegang pada
etika organisasi dan pedoman perilaku yang sudah disepakati.
3. Responsibility (pertanggungjawaban)
Organisasi harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta
melaksanakan tanggung jawaba terhadap masyarakat dan
lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan dalam
jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate
citizen. Pedoman pelaksanaannya:
a. Organ organisasi harus berpegang pada prinsip kehati-hatian
dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan, anggaran dasar dan peraturan organisasi.
b. Melaksanakan tanggung jawaba sosial dengan antara lain peduli
terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup disekitar
organisasi.
4. Independency (kemandirian)
Organisasi harus dikelola secara independen sehingga masing-
masing organ organisasi tidak saling mendominasi dan tidak dapat
diintervensi oleh pihak lain. Pedoman pelaksanaannya:
a. Setiap organ harus menghindari terjadinya dominasi oleh pihak
manapun, tidak terpengaruh kepentingan tertentu, bebas dari
benturan kepentingan dan dari segala pengaruh dan tekanan
sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara
objektif.
b. Setiap organ organisasi harus dapat melaksanakan fungsi dan
tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan
perundang-undangan, tidak saling mendominasi atau melempar
tanggung jawab.
5. Fairness (kesetaraan dan kewajaran)
Organisasi harus senantiasa memperhatikan kepentingan
pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan
asas kesetaraan dan kewajaran. Pedoman pelaksanaannya:
30
a. Memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan untuk
memberikan pendapat dan masukan bagi kepentingan organisasi
serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip
transparansi.
b. Memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada pemangku
kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang
diberikan kepada perusahaan.
c. Memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan
karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya secara
profesional tanpa membedakan suku, agama, ras, gender dan
kondisi fisik.
Menurut Holly J. Gregory yang dikutip oleh Indra & Ivan (2006:8), proses
corporate governance meliputi empat prinsip aktivitas :
1. Direction, yang berfokus pada formulasi arah strategi untuk masa
depan organisasi secara jangka panjang;
2. Execution action, yang diaplikasikan dalam pengambilan
keputusan;
3. Monitoring, yang meliputi monitoring performance dari
manajemen;
4. Accountability, yang berfokus pada pertanggungjawaban pihak-
pihak yang membuat keputusan.
Penerapan good corporate governance setidak-tidaknya ada empat situasi
ideal yang hendak dicapai (Ainun Na‟in,2000 dalam Emirzon, 2006),
yakni:
1. Existence of fair business: efficient market, efficient regulations,
and efficient contract.
2. Information regarding the (fair) price and specification of goods
and services being exchanged is available to all parties;
3. Each party able and is willing to comply to the rules and
regulation, and terms and contition in contract;
4. Judicial procees exist and are able to implement the rules and to
execute punishment to the non-compliant of the contract.
31
Selain itu, corporate governance yang baik diakui dapat membantu
“mengebalkan” perusahaan dari kondisi tidak menguntungkan, dalam
banyak hal corporate governance yang baik telah terbukti meningkatkan
kinerja perusahaan sampai 30% di atas tingkat kembalian (rate of return)
yang normal, oleh karena itu, corporate governance yang baik
memberikan manfaat pada perbaikan dalam komunikasi, minimisasi
potensi benturan, fokus pada strategi-strategi utama, peningkatan dalam
produktivitas dan efisiensi, kesinambungan manfaat (sustainability of
benefit), promosi citra perusahaan (corporate image), peningkatan
kepuasan pelanggan, dan memperoleh kepercayaan investor (Tunggal &
Tunggal, 2002:9 dalam Emirzon, 2006).
2.5 Manfaat Good Corporate Governance
Ada lima manfaat yang dapat diterima perusahaan yang menerapkan good
corporate governance (Holly J.Gregory, 2000 dalam Indra & Ivan,2006 ):
1. GCG dapat mendorong penggunaan sumber daya secara efisien
oleh perusahaan dan perekonomian nasional yang lebih besar.
2. GCG dapat membantu perusahaan dan perekonomian nasional
menarik investasi dengan biaya yang lebih rendah melalui
perbaikan kepercayaan investor dan kreditor domestik dan
internasional.
3. Membantu pengelolaan perusahaan dalam memastikan /menjamin
bahwa perusahaan telah taat pada ketentuan, peraturan dan
ekspektasi masyarakat.
4. Membantu manajemen dan corporate board dalam pemantauan
penggunaan aset perusahaan.
5. Mengurangi korupsi.
Selain itu, secara teknis aktivitas keseharian perusahaan beberapa manfaat
yang bisa dipetik dari penerapan GCG di suatu perusahaan (Daniri,2005),
antara lain:
1. Mengurangi agency cost, biaya yang timbul karena
penyalahgunaan wewenang (wrong doing), ataupun berupa biaya
pengawasan yang timbul untuk mencegah terjadinya suatu
masalah.
32
2. Mengurangi biaya modal (cost of capital) yang timbul dari
manajemen yang baik, yang mampu meminimalisai/mencegah
resiko.
3. Meningkatkan nilai saham perusahaan, sehingga dapat
meningkatkan citra perusahaan dimata publik dalam jangka
panjang.
4. Meningkatkan dukungan dari stakeholders dalam lingkungan
perusahaan.
2.6. Mekanisme Good Corporate Governance
Mekanisme corporate governance sebagai upaya penegakan corporate
governance dalam organisasi diharapkan dapat mengurangi konflik
keagenan dan juga diharapkan mampu mengontrol biaya keagenan
(Iturriga dan Sanz, 1998 dalam Suranta dan Machfoedz, 2003). Menurut
Walsh dan Steward (1990) sebagaimana dikutip oleh Arifin (2005)
mekanisme corporate governance diarahkan untuk menjamin dan
mengawasi berjalannya sistem governance dalam sebuah organisasi.
Sedangkan mekanisme corporate governance menurut Boediono (2005)
adalah suatu sistem yang mampu mengendalikan dan mengarahkan
kegiatan operasional organisasi serta pihak-pihak yang terlibat
didalamnya, sehingga dapat digunakan untuk menekan terjadinya masalah
keagenan.
2.6.1 Board of Directors
Di Indonesia dewan komisaris bersama-sama direksi perusahaan dapat
dijadikan padanan untuk istilah board of directors dalam literatur barat.
Dalam board of directors terdapat kumpulan direktur-direktur yang
eksekutif dan non-eksekutif direktur (yaitu dewan komisaris di Indonesia)
dan dipimpin oleh chairman. Chairman di struktur pengelolaan
perusahaan tidak dikenal di Indonesia. Board of directors di dunia bisnis
barat (Kresnohadi Ariyoto, et al, 2000) dapat dikelompokkan dalam 4
kelompok yaitu: care taker boards, statutory boards, proactive boards
dan participative boards.
Care taker boards dianggap kekurangan kualitas sebagai unsur yang
seharusnya bisa memfungsikan perannya mengendalikan eksekutif dari
33
perilaku menyimpang (salah satu unsur corporate governance di dalam
perusahaan), akibat dari dominasi eksekutif perusahaan yang power-nya
lebih besar. Karena itu arah dari hasil keputusan lebih ditentukan oleh
pengelola eksekutif dan keputusan disahkan oleh direktur non-eksekutif
(dewan komisaris).
Statutory boards ditunjuk oleh pemegang saham dan atau pemberi
pinjaman, mempunyai kelemahan dalam segi kemampuan evaluasi atas
kebijakan yang akan dibuat direksi maupun hasilnya , serta di bawah
dominasi direktur eksekutif, sehingga dalam proses pengambilan
keputusan hanya pelengkap legitimasi saja.
Proactive boards lebih bergigi dibandingkan dengan ke dua jenis board of
directors tersebut di atas karena itu mereka sering mengadu argumen
dalam proses pengambilan keputusan. Hal tersebut diamati terjadi pada
board of directors yang kredibel yang berasal dari luar perusahaan
sehingga mampu mempertahankan independensinya sekalipun tidak
mempunyai power yang sama besar dengan para direktur eksekutif.
Participative boards mempunyai power yang sama dengan direktur
eksekutif sehingga pengambilan keputusan didominasi proses menuju
konsensus melalui negosiasi dan kompromi. Hal ini mungkin bisa
demikian karena chairman dari board of directors tersebut pernah bekerja
di perusahaan yang sama. (Kresnohadi Ariyoto, et al, 2000)
Pada umumnya tugas dari board of directors menurut Kim & Nofsinger
(2007:41) meliputi lima fungsi:
1. To hire, evaluate, and perhaps even fire top management, with the
position of CEO being the most important to consider;
2. To vote on major operating proposals;
3. To vote on major financial decisions;
4. To offer expert advice to management; and
5. To make sure the firm’s activities and financial condition are
accurately reported to its shareholders.
34
2.6.2 Komite Audit
2.6.2.1 Definisi Komite Audit
Menurut Sarbanes-Oxley (SOX) 2002
“a committee (or equivalent body) established by and amongs the
board of directors of an issuer for the purpose of overseeing the
accounting and financial reporting processes of the issuer and
audits of the financial statements of the issuer.”
Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2002)
“Komite Audit adalah komite yang beranggotakan komisaris
independen, dan terlepas dari kegiatan manajemen sehari-hari
dan mempunyai tanggung jawab utama untuk membantu dewan
komisaris dalam menjalankan tanggung jawabnya terutama
dengan masalah yang berhubungan dengan kebijakan akuntansi,
pengawasan internal, dan sistem pelaporan keuangan.”
Komite Audit sebagai bagian dari Dewan Komisaris memiliki peran dalam
pencapaian tujuan penerapan corporate governance. Kaitan antara
Komite Audit dan corporate governance adalah bahwa Komite Audit
bertanggung jawab pada tata kelola perusahaan, yaitu memastikan bahwa
perusahaan telah dijalankan sesuai dengan undang-undang dan peraturan
yang berlaku, melaksanakan usahanya dengan beretika, melaksanakan
pengawasan secara efektif terhadap benturan kepentingan (conflict of
interest) dan kecurangan (fraud) yang dilakukan oleh karyawan
perusahaan (FCGI, 2002)
Tugas utama dari komite audit adalah mempunyai tanggung jawab untuk
membantu Dewan Komisaris dalam menjalankan tanggung jawabnya
terutama dengan masalah yang berhubungan dengan kebijakan akuntansi,
pengawasan internal, dan sistem pelaporan keuangan.
Pada umumnya, Komite Audit mempunyai tanggung jawab pada tiga
bidang, yaitu:
35
1. Laporan Keuangan (Financial Reporting)
Tanggung jawab Komite Audit di bidang laporan keuangan adalah
untuk memastikan bahwa laporan keuangan yang dibuat oleh
manajemen telah memberikan gambaran yang sebenarnya tentang
hal-hal sebagai berikut:
1. Kondisi keuangan
2. Hasil usahanya
3. Rencana dan komitmen jangka panjang
2. Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance)
Tanggung jawab Komite Audit dalam bidang Corporate
Governance adalah untuk memastikan bahwa organisasi telah
dijalankan sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang
berlaku, melaksanakan usahanya dengan beretika, melaksanakan
pengawasannya secara efektif terhadap benturan kepentingan dan
kecurangan yang dilakukan oleh karyawan organisasi.
3. Pengawasan Perusahaan (Corporate Control)
Tanggung jawab Komite Audit untuk pengawasan organisasi
termasuk di dalamnya pemahaman tentang masalah serta hal-hal
yang berpotensi mengandung risiko dan sistem pengendalian
internal serta memonitor prose pengawasan yang dilakukan oleh
auditor internal. Ruang lingkup audit internal harus meliputi
pemerikasaan dan penilaian tentang kecukupan dan efektivitas
sistem pengawasan intern.
2.6.2.2 Struktur Komite Audit
Komite audit harus terdiri dari individu-individu yang mandiri dan tidak
terlibat dengan tugas sehari-hari dari manajemen yang mengelola
organisasi, dan yang memiliki pengalaman untuk melaksanakan fungsi
pengawasan secara efektif. Salah satu dari beberapa alasan utama
kemandirian itu adalah untuk memelihara integritas serta pandangan yang
objektif dalam laporan serta penyusunan rekomendasi yang diajukan oleh
Komte Audit, karena individu yang mandiri cenderung lebih adil dan tidak
memihak serta objektif dalam menangani suatu permasalahan.
Jumlah anggota Komite Audit disesuaikan dengan besar kecilnya
organisasi dan tanggung jawab. Namun biasanya tiga sampai lima
36
anggota merupakan jumlah yang cukup ideal. Komite Audit biasanya
perlu untuk mengadakan rapat tiga sampai empat kali setahun untuk
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya yang menyangkut soal
sistem pelaporan keuangan. (The Institute of Internal Auditors, Internal
Auditing and The Audit Committee, FCGI, 2001).
Lima karakteristik dari komite audit (Diana & Lisa, 2009)
1. Independent, anggota komite audit yang independen akan lebih
objektif dan lebih baik dalam memonitor tindakan-tindakan
manajemen, jika komite audit tidak memiliki hubungan pribadi
atau ekonomi dengan organisasi.
2. Financial expertise, Sarbanes Oxley Act tahun 2002 menekankan
bahwa anggota komite audit memiliki keahlian dalam bidang
keuangan. Seksi 407 mendefinisikan seorang yang ahli dalam
bidang keuangan adalah orang yang mengerti tentang GAAP,
Laporan Keuangan, dan fungsi-fungsi audit komite.
3. Diligence, komitmen audit komite untuk menghadiri meeting.
Komite audit yang lebih sering menghadiri meeting memiliki lebih
besar komitmen dan ketertarikan dan lebih efektif dalam
memonitor organisasi. Park (1998) dalam Diana & Lisa (2009)
menyatakan bahwa komitmen komite audit berhubungan dengan
berkurangnya litigasi terhadap auditor eksternal. Abbott (2004)
dalam Diana & Lisa (2009) mendapati bahwa komitmen yang kuat
dari komite audit mengurangi financial restatements.
4. Governance Expertise, DeZoort (1998) dalam Diana & Lisa (2009)
mendapati bahwa pengalaman anggota komite audit lebih
konsisten dalam pengambilan keputusan, memiliki pandangan
yang lebih baik, dan lebih baik dalam mencapai kesepakatan
daripada yang tidak memiliki pengalaman termasuk auditing
experience. Carcello dan Neal (2003) dalam Diana & Lisa (2009)
menyatakan bahwa pengantian auditor berkurang jika boards
memiliki keahlian dalam bidang tatakelola (governance expertise).
Governance expertise diukur dari berapa jumlah board of directors
yang dilayani oleh komite audit.
37
5. Knowledge, Hermalin dan Weisbach (1991) dalam Diana & Lisa
(2009) menyatakan bahwa outsider director yang memiliki
pengetahuan lebih lama terhadap perusahaan cenderung
memperbaiki kinerja perusahaan. Park (1998) dalam Diana & Lisa
(2009) menyatakan bahwa komite audit yang memilki waktu yang
lebih lama dengan board of directors mengurangi litigasi klien
terhadap auditor. Hal ini mendukung asersi bahwa komite audit
yang mengenal perusahaan dalam arti pengetahuan tentang
perusahaan, akan lebih baik dalam memonitor dan memperbaiki
kualitas pelaporan perusahaan.
Peranan Dewan Komisaris menurut OECD dalam FCGI (2002) antara
lain:
1. Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar
rencana kerja, kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan
dan rencana usaha; menetapkan sasaran kerja; mengawasi
pelaksanaan dan kinerja perusahaan; serta memonitor penggunaan
modal perusahaan, investasi dan penjualan aset.
2. Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan
penggajian anggota dewan direksi, serta menjamin suatu proses
pencalonan anggota dewan direksi yang transparan dan adil.
3. Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada
tingkat manajemen, termasuk penyalagunaan aset perusahaan dan
manipulasi transaksi perusahaan.
4. Memonitor pelaksanaan governance, dan mengadakan perubahan
bila perlu.
5. Memantau proses keterbukaan dan efektivitas komunikasi dalam
perusahaan.
38
2.6.3 Audit Internal
2.6.3.1 Definisi Audit Internal
Menurut Standar Profesi Audit Internal (2004),
Audit internal adalah kegiatan assurance dan konsultasi yang
independen dan obyektif, yang dirancang untuk memberikan nilai
tambah dan meningkatkan kegiatan operasi organisasi. Audit
internal membantu oragnisasi untuk mencapai tujuannya, melalui
pendekatan yang sistematis dan teratur untuk mengevaluasi dan
meningkatkan efektivitas pengelolaan risiko, pengendalian dan
proses governance.
Menurut IIA dalam Robert Moeller & Herbert Witt (1999)
Internal auditing is an independent appraisal function established
within organization to examine and evaluate its aktivities as a
service to the organization.
Menurut Institute of Internal Auditors (IIA) audit internal adalah
(Sawyer”s et al, 2003:9) dalam Wardoyo dan Lena (2010):
“Audit internal adalah aktivitas independen, keyakinan objektif
dan konsultasi yang dirancang untuk memberikan nilai tambah
dan meningkatkan operasi organisasi. Audit tersebut membantu
organisasi mencapai tujuannya dengan menerapkan pendekatan
yang sistematis dan berdisiplin untuk mengevaluasi dan
meningkatkan efektivitas proses pengelolaan resiko, kecukupan
kontrol dan pengelolaan organisasi.”
2.6.3.2 Tujuan dan Ruang Lingkup Audit Internal
Menurut IIA, tujuan audit internal adalah untuk membantu anggota
organisasi dalam melaksanakan tanggung jawabnya secara efektif. Staf
dari audit internal diharapkan dapat melengkapi organisai dengan analitis,
penilaian, rekomendasi, konsultasi, dan informasi tentang kegiatan yang
ditelaah. IIA mengakui bahwa tujuan audit internal meliputi juga
meningkatkan pengendalian yang efektif pada biaya yang wajar.
39
Ruang lingkup dari audit internal (Wardoyo dan Lena, 2010) meliputi
pemeriksaan dan evaluasi yang memadai serta efektivitas sistem
pengendalian internal organisasi dan kualitas kinerja dalam melaksanakan
tanggung jawab dan beban. Ruang lingkup audit internal juga meliputi
tugas-tugas :
1. Menelaah reliabilitas dan integritas informasi keuangan dan
operasi serta perangkat yang digunakan untuk mengidentifikasi,
mengukur, mengklasifikasi, dan melaporkan informasi semacam
itu.
2. Menelaah sistem yang ditetapkan untuk memastikan ketaatan
terhadap kebijakn, perencanaan, prosedur, hukum, dan peraturan
yang dapat memiliki pengaruh signifikan terhadap operasi dan
laporan serta menentukan apakah organisasi telah mematuhinya.
3. Menelaah perangkat perlindungan aktiva, dan secara tepat,
memverifikasi keberadaan aktiva tersebut.
4. Menilai keekonomisan dan efisiensi sumber daya yang
dipergunakan.
5. Menelaah operasi atau program untuk memastikan apakah hasil
konsisten dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, serta
apakah operasi atau program itu telah dilaksanakan sesuai dengan
yang direncanakan.
Sedangkan menurut Effendi (2006) ruang lingkup audit internal adalah :
1. Audit Keuangan (Financial Audit)
Sasaran audit keuangan adalah kewajaran atas laporan keuangan
yang disajikan manajemen.
2. Audit Operasional (Operational Audit)
Sasaran Audit Operasional adalah penilaian masalah efisiensi,
efektivitas, dan ekonomi (3E).
3. Audit Kepatuhan (Compliance Audit)
Tujuan audit ini adalah untuk menguji apakah pelaksanaan atau
kegiatan telah sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang
berlaku.
4. Fraud Audit.
40
Tujuan audit ini adalah untuk mengungkap adanya kasus yang
berindikasi Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) yang merugikan
perusahaan atau negara dan menguntungkan pribadi maupun
kelompok (organisasi) pihak ketiga.
2.6.3.3 Hubungan Internal Audit Dengan Komite Audit
Komite Audit adalah lembaga yang ditugaskan untuk mengawasi fungsi
audit dan control dari organisasi. Ada tiga area dari aktivitas yang
merupakan kunci dari hubungan yang efektif antara komite audit dengan
fungsi audit internal, yaitu:
a. Membantu komite audit untuk memastikan bahwa charter,
aktivitas, dan proses komite audit adalah memadai untuk
memenuhi tanggungjawabnya.
b. Memastikan bahwa charter, peranan dan aktivitas dari audit
internal dapat dipahami dan menjawab kebutuhan komite audit dan
dewan.
c. Memelihari komunikasi yang terbuka dan efektif dengan komite
audit dan pimpinannya. (Standar Profesi Audit Internal, 2004:117-
123).
2.6.3.4 Fungsi Internal Audit
Audit internal dalam memenuhi kebutuhan manajemen, dan staf audit
yang paling efektif meletakkan tujuan manajemen dan organisasi di atas
rencana dan aktivitas mereka. Tujuan-tujuan audit disesuaikan dengan
tujuan manajemen, sehingga auditor internal itu sendiri berada dalam
posisi untuk menghasilkan nilai tertinggi pada hal-hal yang dianggap
manajemen paling penting bagi kesuksesan organisasi.
Menurut Sawyer‟s yang diterjemahkan oleh Adhariani (2003:32) dalam
Wardoyo dan Lena (2010) mengatakan bahwa fungsi audit internal adalah
sebagai berikut:
1. Mengawasi kegiatan-kegiatan yang tidak dapat diawasi oleh
manajemen puncak.
2. Mengidentifikasi dan meminimalkan resiko.
41
3. Memvalidasi laporan ke manajemen senior.
4. Membantu manajemen pada bidang-bidang teknis.
2.7 Praktek Laporan Keuangan Organisai Non-Profit Menurut
FASB.
Definisi dari organisasi nirlaba menurut AICPA dan FASB adalah sebuah
entitas yang memiliki karekateristik berbeda dari organisasi bisnis.
Karakteristik dari organisasi nirlaba adalah (Wilson and Kattelus,
2004:530):
1. Mengkontribusikan sumber daya yang berasal dari sukarelawan
atau donator yang tidak mengharapkan balasan yang sepadan.
2. Tujuannya berbeda, tidak untuk menghasilkan barang atau
menyediakan jasa seperti organisasi bisnis.
3. Kekurangannya adalah kepemilikan tidak sepenting seperti pada
organisasi bisnis.
FASB Statement No. 117 meminta organisasi Non-profit menyiapkan
satu set laporan keuangan yang memuat laporan posisi keuangan
(statement of financial position), laporan aktivitas (statement of activities),
laporan arus kas (statement of cash flow), dan catatan atas laporan
keuangan (notes). Dalam laporan keuangan tersebut diklasifikasikan aset
bersih, pendapatan, biaya, keuntungan dan kerugian sesuaii dengan tiga
kelas aset bersih (net assets): Aset bersih tak bersyarat, aset bersih
bersyarat temporer, dan aset bersih bersyarat tetap (unrstricted net asset,
temporarily restricted net assets, and permanently restricted net assets)
sesuai dengan keadaan ada atau tidaknya persyaratan donor.
FASB Statement No.116 mendefinisikan tiga kelas aset sebagai berikut:
1) Asset bersyarat permanen adalah bagian aset yang dibatasi
penggunaannya oleh persyaratan donor yang tidak mempunyai
kadaluarsa dan tidak boleh dipindah oleh tindakan entitas Non-
Profit.
2) Asset bersyarat temporer adalah bagian dari aset yang dibatasi oleh
persyaratan donor baik waktu jatuh tempo persyaratan (time
42
restriction) maupun dapatnya dipindah apabila persyaratan telah
dipenuhi oleh organisasi (purpose restriction).
3) Aset bersyarat adalah bagian aset yang tidak dibatasi persyaratan
oleh donor. Organisasi dapat melaporkan pendapatan, keuntungan
dan kerugian dalam setiap kelas aset, tetapi biaya dilaporkan hanya
dalam kelas aset tak bersyarat (Beams, et al., 2006 p:751).
2.7.1 Laporan Posisi Keuangan (Statement of Financial Position)
Laporan Posisi Keuangan atau laporan balance sheet melaporkan aset,
hutang dan aset bersih. Laporan aset bersih dalam total dan perincian tiga
kelas aset bersih (aset tak bersyarat, bersyarat temporer, dan bersyarat
permanen). Jumlah Aset Bersih Bersyarat Permanen dan Aset Bersih
Bersyarat Temporer dinyatakan dalam neraca atau dalam Catatan yang
mana yang akan dipilih. Aset yang diterima dari donor dengan syarat
untuk tujuan jangka panjang harus dipisahkan dari aset yang boleh
digunakan sekarang. Laporan komparatif dengan periode yang lalu tidak
diperlukan (Beams, et al.,2006, p:751).
2.7.2 Laporan Aktivitas (Statement of Activities)
Laporan aktivitas menyajikan bagaimana sumber daya digunakan untuk
berbagai program dan pelayanan. Akun organisasi nirlaba untuk
pendapatan dan biaya menggunakan basis akrual. Pernyataaan FASB
Nomor 93 mengharuskan organisasi nirlaba mengakui biaya penyusutan
(depreciation) aset jangka panjang (aset tetap). Organisasi nirlaba harus
mencatat depresiasi meskipun aset dari pemberian, sesuai dengan definisi
pemberian (collections) tidk memerlukan kapitalisasi dan depresiasi.
Laporan aktivitas berfokus pada organisasi secara keseluruhan. Laporan
ini melaporkan perubahan dalam aset bersih, saldo akhir aset bersih, harus
sama dengn saldo aset bersih dalam Neraca. Laporan juga menyatakan
pendapatan, biaya, keuntungan dan kerugian kelas aset bersih (aset yang
bersyarat permanen, bersyarat sementara, dan aset yang tidak bersyarat).
Pendapatan, menaikkan aset bersih tak bersyarat, kecuali aset yang
diterima bersyarat oleh persyaratan donor. Keuntungan dan kerugian
dalam investasi menaikkan atau mengurangi aset bersih tak bersyarat,
43
kecuali penggunaannya bersyarat secara eksplisit oleh persyaratan donor
atau hukum. Biaya selalu mengurangi aset bersih tak bersyarat. Aset
bersih bersyarat permanen dan temporer dinyatakan dalam aset bila belum
jatuh tempo sesuai persyaratan. Bila sudah jatuh tempo sesuai persyaratan
donor, dapat ditempatkan sebagai aset bersih tak bersyarat, yang harus
dilakukan secara konsiten.
Umumnya, organisasi nirlaba melaporkan pendapatan (revenues) dan
biaya (expenses) dalam jumlah gross. Keuntungan (gains) dan kerugian
(loss) dari transaksi insidentil atau kejadian luar biasa dilaporkan dalam
jumlah bersih (net) atas biaya yang bersangkutan. Lebih lanjut klasifikasi
atas pendapatan, biaya, keuntungan dan kerugian dari Operasi (operating),
atau non operasi (non-operating) dan sebagainya dibuat secara opsional.
Organisasi nirlaba melaporkan biaya dalam bentuk klasifikasi fungsional,
sebagian besar adalah Jasa Program dan Jasa Suporting. Jasa Program
adalah aktivitas yang menyalurkan barang atau jasa untuk memenuhi
tujuan atau misi organisasi terhadap para penerima jasa atau pelanggan
atau anggota. Jasa Suporting adalah semua aktvitas diluar jasa program .
Yang termsuk Jasa Suporting adalah :
a. Manajemen dan Umum (Management and General). Pengawas
manajemen bisnis, administrasi umum, keuangan dan aktivitas
administrasi terkait.
b. Pengumpulan Dana (Fund Raising). Publikasi dan kampanye untuk
pengumpulan dana, memelihara daftar donor, acara untuk special fund
raising, penyiapan dan distribusi manual fund raising, intsruksi-
instruksi, dan lain-lain untuk permintaan kontribusi.
c. Aktivitas Pengembangan Anggota Donator (Membership-development
activities). Permintaan menjadi prospektif anggota, dan pemeliharaan
anggota yang ada, serta hubungan keanggotaan.
(Beams, et al., 2006 p:751-752).
2.7.3 Laporan Arus Kas (Statement of Cash Flows)
Statement No. 117 memperluas FASB statement No. 95 tentang
“statement fo Cash Flows”, untuk organisasi nirlaba. Organisasi nirlaba
44
menggunakan klasifikasi dan definisi yang sama dengan perusahaan
bisnis, kecuali deskripsi Financing Activities (Aktivitas Pendanaan)
diperluas dengan memasukkan sumber daya dari donor yang dibatasi
untuk tujuan jangka panjang. Laporan arus kas tentang permanently
endowments (dana abadi) nirlaba dilaporkan sebagai Aktivitas Investasi
(Investing Activities). Dalam menyusun laporan arus kas, tidak boleh
menggabungkan kas yang dibatasi untuk tujuan jangka panjang dengan
kas yang didapat untuk penggunaan sekarang dalam Neraca. Laporan
dapat menggunakan metode langsung maupun metode tidak langsung.
(Beams, et al., 2006 p:753).
2.7.4 Kontribusi (Contributions)
Statement No. 116 mendefinisikan, kontribusi adalah transfer uang tanpa
syarat atau aset lain kepada entitas atau penyelesaian hutan atau
pembatalan kewajiban secara sukarela, atau saling transfer dengan lain
entitas bukan sebagai pemilik. Misalnya aset lain, termasuk gedung,
sekuritas, penggunaan fasilitas atau jasa, dan pemberian tanpa syarat.
Transfer-transfer yang tidak termasuk Kontribusi (Transfers that are not
Contributions):
1. Transaksi Pertukaran (Exchange Transactions)
Transaksi pertukaran adalah transaksi saling transfer atau transaksi
timbal balik diantara dua pihak, dimana jumlah dari pihak yang
memberi dengan yang menerima kira-kira sama, walaupun kadang-
kadang sulit dibedakan. Misalnya pengiriman kalender kepada calon
donor potensial. Bila pihak donor memberikan sumbangan dana,
penerimaan dana tersebut adalah Kontribusi, sementara biaya
kalender dan pengirimannya disebut biaya Pengumpulan Dana.
Namun bila jumlah sumbangan dananya relatif kira-kira sama nilainya
dengan nilai yang diberikan (kalender), maka transaksi tersebut
dinamakan Transaksi Pertukaran.
2. Transaksi Perantara (Agency Transactions)
Transaksi perantara adalah bila aset yang ditransfer dianggap bernilai
kecil atau tidak ada nilainya, dan aset tersebut diteruskan ke pihak
ketiga.
45
3. Sumbangan Dalam Bentuk Nonkas (Gift in Kind)
Gift in Kind adalah sumbangan berbentuk non-kas, seperti pakaian,
furnitur, dan jasa. Dianggap sumbangan bila organisasi nirlaba punya
kebijakan untuk sumber daya tersebut.
2.7.5 Prinsip-prinsip Pengukuran (Measurement Principles)
Organisasi nirlaba mengukur kontribusi dengan nilai wajar (fair value).
Statement No. 116 mengidentifikasikan penggunaan harga pasar sebagai
nilai yang terbaik, baik untuk aset moneter maupun aset nonmoneter.
Metode penilaian ini dapat menggunakan nilai pasar aset sejenis atau
melalui Penilai Independen (independent appraisal). Bila nilai pasar
berubah, maka :
1) Harga wajar naik, tidak diakui sebagai pendapatan
2) Bila harga wajar turun, perbedaan penurunannya diakui pada periode
tersebut dan dilaporkan sebagai perubahan pada aset sesuai dengan
kelasnya.
Perbedaan dua standar yang diterapkan dalam organisasi non-profit:
Tabel 6
FASB GASB: Summary of Differences
Panel A
Governmental Nonprofit
Organization
Uses AICPA
Governmental Audit Guide
(1999)
Nongovernment Not
for-Profit Organization
Uses AICPA Not-for
Profit Audit Guide
(1996)
Financial
Statements
GASB 35/34 (1999a;1999b) FASB 117 (1993b)
Management Decision &
Analysis (MDA) (RSI)
Statements of Net Assets
Statement of Revenues,
Expenses and Change in Net
Assets
Statements of Cash Flow
Notes
Statement of Financial
Position
Statement of Activities
Statement of Cash
Flows
Notes
46
Others Required
Supplemental Information
(RSI)
Panel B
Governmental Nonprofit
Organzation
Nongovernmental Not-
for-profit Organization
Balance
Sheet
GASB 35/34 (1999a;1999b) FASB (1993Bb
Classified per ARB 43
Current
Noncurrent
Classified not Required
A = L + NA
A L NA (No totals
A = L + NA
Within classifications assets
and liabilities presented in
liquidity order
Assets and liabilities
presented in liquidity
order
Investments (including real
estate) presented at fair value
Investments (real estate
optional) presented at
fair value
Funded held in trust by others
reported in notes if significant
Funded held in trust by
others reported as assets
and Permanently
Restricted NA
Capital Assets net of related
debt
Restricted Nonexpendable
Restricted Expendable
Unrestricted (designation
prohibited)
Unrestricted Net Assets
Temporarily Restricted
NA
Permanently Restricted
NA
Panel C
Governmental Nonprofit
Organization
Nongovernmental Not-
for-Profit Organization
Income
Statement
Expenses display in
appropriate net asset class
Any external party can
restrict resources
Restriction met when first
$ spent – optional
All expenses displayed
as unrestricted
Only donors can restrict
Resources
Restriction met when
first $ spent – optional
Met restrictions are
47
reclassed into
Unrestricted Net Assets
Expenses displayed
functionally or by natural
class
Expenses displayed
functionally or by
natural class
Plant operation and
depreciation may be
presented as functional
designation
Plant operation,
depreciation and
interest must be
allocated (no guidance
provided)
Revenues presented by type Revenues presented by
type
Operating measure prescribed Operating measure-
optional
Realized and unrealized
investment income presented
separately
Realized and unrealized
investment income may
be netted
State appropriations reported
as non-operating revenue
Appropriations may be
reported as operating
revenue
Panel D
Governmental Nonprofit
Organization
Nongevernmental Not-
for-profit Organization
Cash Flow GASB 9 (1989) FASB 117 (1993b)
Direct method mandated May use direct or
indirect method
Reconciliation required
(indirect method to report
operating activities)
Cash equivalents same as
cash if < 90 days and original
investment maturity 90 days
or less
Cash equivalents same
as cash if < 90 days and
original investment
maturity 90 days or less
Four categories
Operating
Non-Capital Financing
Transfers
Subsidies
Contributions
Agency transactions
Three categories
Operating measure-
Net income +/-
change in working
capital account
Investing +/- changes
in long term assets
48
Capital Financing
All capital asset related
Capital contributions
New capital debt
Capital debt obligations
Sale of capital assets
Investing
All investing activities
Acquisitions
Sales
Interest earned
Financing +/- long term
liabilities
New endowment gifts
Management
Decision &
Analysis
(MD& A)
Required supplemental
reporting – contents
prescribed
Not required
Notes Required by various GASB
guidance
Required by various
FASB guidance
Sumber : Mary Fishcer & Treba Marsh, 2012. Journal of budgeting,
Accounting and Financial and Management.
2.8 Tujuan Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba
Dalam buku A Statement of Basic Accounting Theory (ASOBAT) seperti
yang dikutip dan diterjemahkan oleh Harahap (2007:126) dalam Pontoh
(2013) merumuskan empat tujuan laporan keuangan:
1. Membuat keputusan yang menyangkut penggunaan kekayaan yang
terbatas dan untuk mencapai tujuan.
2. Mengarahkan dan mengontrol secara efektif sumber daya manusia
dan faktor produksi lainnya.
3. Memelihara dan melaporkan pengamanan terhadap kekayaan.
4. Membantu fungsi dan pengawasan sosial.
Menurut Ahmed Riahi, Belkaoui (2001: 145) para pengguna laporan
keuangan organisasi nirlaba memiliki kepentingan bersama yang tidak
berbeda dengan organisasi bisnis. Para pengguna ini membutuhkan
laporan keuangan organisasi nirlaba adalah untuk menilai :
49
1. Seberapa besar kemampuan organisasi untuk dapat menyediakan
jasa.
2. Kemampuan pengelola organisasi untuk mengelola sumber daya
Lebih lanjut tujuan pelaporan keuangan eksternal organisasi nirlaba secara
umum yang dirumuskan oleh FASB dalam SFAC No.4 dalam Ahmed
Riahi, Belkaoui (2001: 146) menyatakan bahwa laporan keuangan yang
dibuats seharusnya memberikan informasi yang berguna untuk
menyajikan sumber daya yang potensial sebagai pemakai dapat :
1. Membuat keputusan yang rasional mengenai pengalokasian
sumber daya yang dimiliki oleh organisasi.
2. Memperkirakan jasa yang dapat dilayani dan kemampuan
organisasi untuk menyediakan jasa-jasa.
3. Memperkirakan bagaimana manajer atau pengelola memberi
pertanggungjawabannya dengan memperkirakan aspek-aspek
kinerja lainnya.
Menurut Mardiasmo (2009:167) dalam Pontoh (2013) tujuan laporan
keuangan organisasi nirlaba dalam SFAC No. 4 tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Laporan keuangan organisasi nonbisnis hendaknya dapat
memberikan informasi yang bermanfaat bagi penyedia dan calon
penyedia sumber daya, serta pemakai dan calon pemakai lainnya
dalam pembuatan keputusan yang rasional mengenai alokasi
sumber daya organisasi.
2. Memberikan informasi untuk membantu para penyedia dan calon
penyedia sumber daya, serta pemakai dan calon pemakai lainnya
dalam menilai pelayanan yang diberikan oleh organisasi nonbisnis
serta kemampuannya untuk melanjutkan memberi pelayanan
tersebut.
3. Memberikan informasi yang bermanfaat bagi penyedia dan calon
penyedia sumber daya, serta pemakai dan calon pemakai lainnya
dalam menilai kinerja manajer organisasi nonbisnis atas
pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan serta aspek kinerja
lainnya.
50
4. Memberikan informasi mengenai sumber daya ekonomi,
kewajiban, data kekayaan bersih organisasi, serta pengaruh dari
transaksi, peristiwa dari kejadian ekonomi yang mengubah sumber
daya dan kepentingan sumber daya tersebut.
5. Memberikan informasi mengenai kinerja organisasi selama satu
periode. Pengukuran secara periodik atas perubahan jumlah dan
keadaan/kondisi sumber kekayaan bersih organisasi nonbisnis serta
informasi mengenai usaha dan hasil pelayanan organisasi secara
bersama-sama yang dapat menunjukkan informasi yang berguna
untuk menilai kinerja.
6. Memberikan informasi mengenai bagaimana organisasi
memperoleh dan membelanjakan kas atau sumber daya kas,
mengenai utang dan pembayaran kembali utang, dan mengenai
faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi likuiditas organisasi.
7. Memberikan penjelasan dan interpretasi untuk membantu pemakai
dalam memahami informasi keuangan yang diberikan.
2.9 Pemakai Laporan Keuangan Organisasi Nirlaba
Menurut Ahmet Riahi, Belkaoui (2001:145) para pemakai laporan
keuangan organisasi nirlaba adalah pemberi sumber daya, pemberi suara,
badan pengatur dan pengawasan serta manajemen.
1. Pemberi Sumber Daya
Pemberi sumber daya adalah orang yang secara langsung
menerima balas jasa atau penggantian atas sumber daya keuangan
yang diserahkannya yaitu pemberi pinjaman, supplier serta
pegawai dan orang yang secara tidak langsung dan tidak
proporsional menerima manfaat atas sumber daya yang mereka
serahkan yakni penyantun dan pembayar pajak.
Pemberi sumber daya keuangan, seperti penyantun menaruh
perhatian atas informasi tersebut sebagai dasar untuk menetapkan
seberapa baik orang berusaha dalam mencapai tujuan dan apakah
akan dapat terus melanjutkannya.
Pembayar pajak memerlukan informasi untuk menilai apakah
pemerintah atau kegiatan yang disponsori pemerintah dapat
mencapai sasaran. Para pemberi pinjaman, supplier dan pegawai
51
menaruh perhatian terhadap kemampuan organisasi dalam
menyediakan arus kas untuk membayar kewajiban yang telah jatuh
tempo.
2. Pemberi Suara
Pemberi suara merupakan orang yang memakai dan memperoleh
manfaat pelayanan yang diberikan organisasi. Pada beberapa
organisasi nirlaba para pemberi suara termasuk pemberi sumber
daya keuangan.
3. Badan Pengatur dan Pengawas
Badan Pengatur dan Pengawas merupakan badan yang
bertanggung jawab menyusun kebijakan dan melakuan
pengawasan serta penilaian terhadap manajemen organisasi
nirlaba. Termasuk dalam badan pengatur dan pengawas adalah
badan perwalian, badan pengawas pemerintah, badan legislatif dan
dewan. Badan pengawas juga mempunyai tanggung jawab
mereview organisasi nirlaba dalam hal ketaatan terhadap hukum,
pembatasan dan pedoman. Termasuk dalam badan pengawas ini
adalah organisasi profesi dan perkumpulan yang sifatnya nasional.
Badan pengatur dan pengawas ini memakai informasi mengenai
pelayanan yang disediakan untuk membantu mengevaluasi apakah
manajemen telah menyelenggarakan kebijakan yang telah
ditetapkan dan merubah atau membuat kebijakan baru dalam
organisasi.
4. Manajemen
Manajemen organisasi nirlaba mempunyai tanggung jawab untuk
melaksanakan seluruh kebijakan pemerintah dan mengelola operasi
sehari-hari organisasi. Manajemen ini termasuk para pejabat,
manajer eksekutif yang ditunjuk oleh pemerintah, kepala badan,
direktur, dan staf yang membantu dalam pengembangan dan
program. Manajemen merupakan pemakai intern laporan
keuangan yang sekaligus sebagai pihak yang bertanggung jawab
dalam penyusunan laporan keuangan.