bab ii tinjauan pustakarepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/bab ii.pdf · prostaglandin,...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Nyeri
1. Pengertian Nyeri
Nyeri (pain) adalah suatu konsep yang komplek untuk didefenisikan
dan dipahami. Nyeri barangkali adalah suatu fenomena yang sering dihadapi
oleh petugas kesehatan (Montes-Sandoval, 1999:935). Melzack dan Casey
(1968:435) mengemukakan bahwa, nyeri bukan hanya suatu pengalaman
sensori belaka tetapi juga berkaitan dengan motivasi dan komponen affektif
individunya.
The International Association for the Study of Pain (IASP) Sub-
committee on Taxonomy (1986) memformulasikan definisi nyeri sebagai “an
unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or
potential tissue damage or is described in terms of such damage”. Mengacu
kepada definisi ini, jelaslah terlihat bahwa pengalaman nyeri melibatkan
fenomena sensori, emosional dan juga kognitif. Nyeri biasanya sering
diasosiasikan dengan kerusakan jaringan, akan tetapi nyeri dapat saja timbul
tanpa adanya injury dimana nyeri timbul tanpa berhubungan dengan sumber
yang dapat diidentifikasi. (Ardinata, 2007:77)
2. Mekanisme Nyeri
Nyeri berdasarkan mekanismenya melibatkan persepsi dan respon
terhadap nyeri tersebut. Mekanisme timbulnya nyeri melibatkan empat
proses, yaitu: tranduksi/transduction, transmisi/transmission,
modulasi/modulation, dan persepsi/perception (Turk & Flor, 1999:26-29).
a. Transduksi/Transduction
Transduksi adalah adalah proses dari stimulasi nyeri dikonfersi ke bentuk
yang dapat diakses oleh otak. Proses transduksi dimulai ketika nociceptor
yaitu reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi.
Aktivasi reseptor ini (nociceptors) merupakan sebagai bentuk respon terhadap
stimulus yang datang seperti kerusakan jaringan.
7
b. Transmisi/Transmission
Transmisi adalah serangkaian kejadian-kejadian neural yang membawa
impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses transmisi melibatkan
saraf aferen yang terbentuk dari serat saraf berdiameter kecil ke sedang serta
yang berdiameter besar. Saraf aferen akan ber-axon pada dorsal horn di
spinalis. Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan melalui sistem contralateral
spinalthalamic melalui ventral lateral dari thalamus menuju cortex serebral.
c. Modulasi/Modulation
Proses modulasi mengacu kepada aktivitas neural dalam upaya mengontrol
jalur transmisi nociceptor tersebut. Proses modulasi melibatkan sistem neural
yang komplek. Ketika impuls nyeri sampai di pusat saraf, transmisi impuls
nyeri ini akan dikontrol oleh sistem saraf pusat dan mentransmisikan impuls
nyeri ini kebagian lain dari sistem saraf seperti bagian korteks. Selanjutnya
impuls nyeri ini akan ditransmisikan melalui saraf-saraf descend ke tulang
belakang untuk memodulasi efektor.
d. Persepsi/Perception
Persepsi adalah proses yang subjektif. Proses persepsi ini tidak hanya
berkaitan dengan proses fisiologis atau proses anatomis saja, akan tetapi juga
meliputi cognition (mengerti) dan memory (mengingat). Oleh karena itu,
faktor psikologis, emosional, dan berhavioral (perilaku) juga muncul sebagai
respon dalam mempersepsikan pengalaman nyeri tersebut. Proses persepsi ini
jugalah yang menjadikan nyeri tersebut suatu fenomena yang melibatkan
multidimensional.
3. Multidimensionalitas Fenomena Nyeri
Nyeri adalah fenomena yang multidimensional. Ahles dan koleganya
pada tahun 1983 mengkategorikan lima dimensi dari nyeri yang dialami.
Identifikasi dimensi nyeri ini mulanya diperuntukan untuk nyeri-nyeri pada
kasus-kasus kanker. Kelima dimensi ini meliputi: dimensi fisiologi, sensori,
afektif, cognitive, dan behavior (perilaku). Sebagai tambahan, McGuire pada
tahun 1987 menambahkan dimensi sosial-kultural sebagai dimensi keenam
dalam multidimensional fenomena nyeri. Keenam dimensi dari fenomena
nyeri ini saling berhubungan, berinteraksi serta dinamis (Ardinata, 2007:78).
8
a. Dimensi Fisiologi
Dimensi fisiologis terdiri dari penyebab organic dari nyeri tersebut seperti
kanker yang telah bermetastase ke tulang atau mungkin juga telah
menginfiltrasi ke sistem saraf (Ahles et al., 1983 dalam Ardinata, 2007:78).
Berdasarkan dimensi fisiologis, terdapat dua karakteristik yang melekat
dalam pengalaman nyeri, yaitu: durasi dan pola nyeri. Durasi nyeri mengacu
kepada apakah nyeri yang dialami tersebut akut atau kronik. Sedangkan pola
nyeri dapat diidentifikasi sebagai nyeri singkat, sekejap, atau transient, ritmik,
periodik, atau juga nyeri berlanjut, menetap atau konstan (Ardinata, 2007:79).
Sumber nyeri pada kasus kanker sangatlah luas. Tumor dapat menimbulkan
nyeri somatik, viseral, dan bahkan nyeri neurophatic dengan kualitas nyeri
yang berbeda-beda serta mengenai area anatomi tubuh yang berbeda juga.
Sementara itu, penangan kanker juga berkontribusi dalam rangsang nyeri
yang dialami oleh pasien kanker seperti prosedur diagnostik dan standar
modalitas terapi seperti pembedahan, radioterapi dan kemoterapi. Standar
terapi ini menimbulkan nyeri akut dalam jangka pendek atau juga bahkan
nyeri kronik (Ardinata ,2007:79).
b. Dimensi Afektif
Dimensi afektif dari nyeri mempengaruhi respon individu terhadap nyeri
yang dirasakanya. Menurut McGuire dan Sheilder pada tahun 1993, dimensi
afektif dari nyeri identik dengan sifat personal tertentu dari individu. Pasien-
pasien yang mudah sekali mengalami kondisi depresi atau gangguan
psikologis lainnya akan lebih mudah mengalami nyeri yang sangat
dibandingkan dengan pasien lainnya. Buckelew, Parker, dan Keefe beserta
kolega pada tahun 1994, menemukan bahwa keparahan nyeri berhubungan
signifikan dengan kondisi depresi individu yang mengalami nyeri kronik.
Mereka juga menyatakan bahwa semakin berat nyeri yang dialami, maka
semakin tinggi tingkat depresi individu tersebut (Ardinata, 2007:79).
c. Dimensi Sosio-kultural
Dimensi sosio-kultural nyeri terdiri dari berbagai variasi dari faktor
demografi, adat istiadat, agama, dan faktor-faktor lain yang berhubungan
yang dapat mempengaruhi persepsi dan respon seseorang terhadap nyerinya
9
(McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007). Kultur atau budaya
memiliki peran yang kuat untuk menentukan faktor sikap individu dalam
mempersepsikan dan merespon nyerinya. Sementara itu sikap individu ini
juga berkaitan dengan faktor usia, jenis kelamin dan ras. McGuire pada tahun
1984, menemukan bahwa wanita berkulit non-putih dan yang berkulit putih
memiliki perbedaan yang signifikan dalam melaporkan nyerinya. Wanita
berkulit bukan putih melaporkan nyeri yang lebih rendah bila dibandingkan
dengan wanita berkulit putih ketika mengalami nyeri (Ardinata, 2007:79).
Suku asal juga berperan penting dalam hal ini, di Indonesia ditemukan bahwa
nyeri yang dialami oleh pasien yang berasal dari suku Batak dan Jawa
ternyata berbeda. Berbeda dalam laporan nyerinya serta respon terhadap nyeri
itu sendiri (Suza, 2003:248).
d. Dimensi Sensori
Dimensi sensori pada nyeri berhubungan dengan lokasi dimana nyeri itu
timbul dan bagaimanan rasanya. Ahles dan koleganya pada tahun 1983
menyatakan bahwa terdapat tiga komponen spesifik dalam dimensi sensori,
yaitu lokasi, intensitas, dan kualitas nyeri (Ardinata, 2007:79).
Lokasi dari nyeri memberikan petunjuk penyebab nyeri ditinjau dari segi
aspek sensori. Lokasi nyeri ini sendiri dapat dilaporkan oleh pasien pada dua
atau lebih lokasi (McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007:79).
Kondisi dimana dirasakannya nyeri pada beberapa lokasi yang berbeda
mengimplikasikan keterlibatan dimensi sensori. Semakin banyak lokasi nyeri
yang dirasakan oleh pasien, maka akan semakin sulit bagi pasien untuk
melokalisasi area nyerinya (Ardinata, 2007:79).
Intensitas nyeri adalah sejumlah nyeri yang dirasakan oleh individu dan
sering kali digambarkan dengan kata-kata seperti ringan, sedang dan berat.
Intensitas nyeri juga dapat dilaporkan dengan angka yang menggambarkan
skor dari nyeri yang dirasakan (McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata,
2007:79-80).
Sedangkan kualitas nyeri adalah berkaitan dengan bagaimana nyeri itu
sebenarnya dirasakan individu. Kualitas nyeri seringkali digambarkan dengan
berdenyut, menyebar, menusuk, terbakar dan gatal. Pada kasus nyeri kanker,
10
pasien sering melaporkan kualitas nyerinya seperti nyeri tajam, berdenyut,
pedih, menusuk, tertekan berat, atau juga bertambah (Ardinata, 2007:80).
e. Dimensi Kognitif
Dimensi kognitif dari nyeri menyangkut pengaruh nyeri yang dirasakan oleh
individu terhadap proses berpikirnya atau pandangan individu terhadap
dirinya sendiri (Ahles et al, 1983 dalam Ardinata, 2007:80). Respon pikiran
individu terhadap nyeri yang dirasakan dapat diasosiasikan dengan
kemampuan koping individu mengahadapi nyerinya. Pasien yang berpendapat
nyerinya sebagai suatu tantangan melaporkan nyeri lebih rendah dengan
tingkat depresi yang rendah juga dan disertai dengan mekanisme koping yang
lebih baik jika dibandingkan dengan pasien yang menganggap nyerinya
adalah sebagai hukuman atau sebagai musuh (Barkwell, 2005:459).
Pengetahuan adalah aspek yang penting dalam dimensi kognitif. Pengetahuan
tentang nyeri dan penanganannya dapat mempengaruhi respon seseorang
terhadap nyeri dan penanganannya. Nyeri itu sendiri dapat dimodifikasi oleh
bagaimana seseorang berpikir tentang nyeri yang dirasakannya, apa saja
pengharapannya atas nyerinya, dan apa makna nyeri tersebut dalam
kehidupannya (Ardinata, 2007:80).
f. Dimensi Perilaku (Behavioral)
Seseorang yang mengalami nyeri akan memperlihatkan perilaku tertentu.
Dimensi perilaku dari nyeri meliputi serangkaian perilaku yang dapat
diobservasi yang berhubungan dengan nyeri yang dirasakan dan bertindak
sebagai cara mengomunikasikan ke lingkungan bahwa seseorang tersebut
mengalami atau merasakan nyeri (Fordyce, 1976 dalam Ardinata, 2007:80).
Tampilan perilaku nyeri yang diperlihatkan seseorang dapat berupa guarding,
bracing, grimacing, keluhan verbal, dan perilaku mengkonsumsi obat. Keefe
dan koleganya pada tahun 1985 menemukan bahwa diantara pasien yang
mengalami kanker di area leher, perilaku menjaga (guarding) dan meringis
(grimacing) adalah perilaku yang paling sering diperlihatkan pasien ketika
merasakan nyeri. Sementara itu Harahap, Peptchitchian, dan Krippracha pada
tahun 2007 menemukan bahwa diantara pasien kanker di Indonesia perilaku
meringis (grimacing) dan menghela nafas (sighing) merupakan perilaku nyeri
11
yang paling sering diperlihatakan pasien sewaktu mengalami nyeri (Ardinata,
2007:80).
Lebih jauh lagi, Fordyce pada tahun 1976 mengajukan bahwa perilaku nyeri
dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau dapat juga direinforce oleh
perhatian, suport sosial, atau menghindari kegiatan yang dapat merangsang
nyeri (seperti: bekerja di kantor, pekerjaan rumah tangga). Nyeri, jika diikuti
oleh faktor pendukung, maka nyeri akan bertahan lebih lama dari waktu
penyembuhan normalnya. Romano, Turner, dan Jensen dan koleganya pada
tahun 1995 juga Paulsen dan Altmaier pada tahun 1995 menemukan bahwa
kehadiran pasangan dapat menjadi prediksi terhadap perilaku nyeri yang
diperlihatkan pasien. Sementara itu, Schwartz, Slater, dan Birchler pada tahun
1996 menemukan bahwa perilaku nyeri berhubungan dengan konflik-konflik
perkawinan. Sebagai tambahan, mereka juga menyatakan bahwa perilaku
nyeri ini juga dapat dipengaruhi oleh kondisi hubungan pasien dengan
pasangan hidupnya (Ardinata, 2007:80).
4. Manajemen Nyeri
Manajemen nyeri dapat dilakukan dengan cara mengurangi beberapa
faktor penyebab nyeri, baik secara perifer maupun secara sentral. Menurut
Hargreaves ada tiga golongan obat yang digunakan untuk menghambat kerja
serabut aferen nosiseptif, yaitu analgesik non-opioid (NSAID), analgesik
opioid, dan anastesi lokal (lidokain) (Soesanto dan Santosa, 2008:47).
Obat NSAID (Non-Steroid Anti-inflammatory Drugs) yang bekerja
dengan menghambat siklooksigenase yang mensintesis mediator nyeri seperti
prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan
utama dalam mengatasi nyeri akibat inflamasi. Bila pasien mempunyai
riwayat alergi NSAID, nefropati, peradangan mukosa saluran pencernaan, dan
kehamilan, maka parasetamol merupakan alternatif untuk mengatasi nyeri.
Tetapi bila nyeri terus berlanjut atau tidak responsif terhadap NSAID ataupun
parasetamol, maka harus dipertimbangkan penggunaan analgesik opioid
untuk jangka waktu pendek. Opioid dapat menghambat nyeri lebih kuat
daripada NSAID dengan mengaktifkan reseptor µ yang tersebar di berbagai
tempat di otak, sehingga sinyal nosiseptif dihambat secara sentral.
12
Penggunaan analgesik opioid hampir selalu dikombinasikan dengan
parasetamol, aspirin, atau ibuprofen untuk mengurangi efek samping
analgesik opioid. Kelompok obat lain yang digunakan untuk mengatasi nyeri
adalah anastesi lokal seperti lidokain. Anastesi lokal bekerja dengan cara
menghambat sinyal nyeri pada serabut saraf tunggal yang terletak di perifer
(Soesanto dan Santosa, 2008:47).
5. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi dan Reaksi Terhadap Nyeri
McCaffery dan Pasero pada tahun 1999 menyatakan bahwa hanya
pasien yang paling mengerti dan memahami tentang nyeri yang ia rasakan.
Oleh karena itulah dikatakan pasien sebagai expert tentang nyeri yang ia
rasakan. Terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi persepsi dan
reaksi masing-masing individu terhadap nyeri (Prasetyo, 2010:33). Faktor-
faktor tersebut antara lain:
a. Usia
Usia merupakan variabel yang penting dalam mempengaruhi nyeri pada
terutama pada anak dan orang dewasa. Anak yang masih kecil mempunyai
kesulitan dalam memahami nyeri dan beranggapan kalau prosedur
pengobatan yang dilakukan dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak kecil yang
belum dapat mengucapkan kata-kata juga mengalami kesulitan dalam
mengungkapkan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada kedua
orang tuanya. Sebagian anak-anak terkadang segan untuk mengungkapkan
keberadaan nyeri yang ia alami, mereka takut akan tindakan perawatan yang
harus mereka terima nantinya (Prasetyo, 2010:33-34).
Orang dewasa berpendapat bahwa nyeri yang terjadi merupakan sesuatu yang
harus mereka terima (Harsono, 2009:24). Seringkali lansia memiliki sumber
nyeri lebih dari satu. Sebagian lansia terkadang pasrah terhadap apa yang
mereka rasakan, mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan
konsekuensi penuaan yang tidak bisa dihindari (Prasetyo, 2010:34).
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin mempunyai pengaruh penting dalam berespon terhadap nyeri.
Perbedaan jenis kelamin telah diidentifikasi dalam hal nyeri dan respon nyeri.
13
Laki-laki memiliki sensitifitas yang lebih rendah dibandingkan wanita atau
kurang merasakan nyeri. Laki-laki kurang mengekspresikan nyeri yang
dirasakan secara berlebihan dibandingkan wanita (Harsono, 2009:26).
c. Kebudayaan
Budaya merupakan faktor penting bagi seseorang dalam merespon nyeri.
Peneliti antropologi kedokteran Lipton dan Marbach pada tahun 1984
menyatakan bahwa latar belakang budaya mempengaruhi komunikasi,
ekspresi, dan respon terhadap nyeri. Suku juga mempunyai peran bagaimana
cara individu menerima dan mengkomunikasikan nyeri mereka (Harsono,
2009:27).
Ekspresi nyeri dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu tenang dan emosi
pasien tenang umumnya akan diam berkenaan dengan nyeri, mereka memiliki
sikap dapat menahan nyeri. Sedangkan pasien yang emosional akan
berekspresi secara verbal dan akan menunjukkan tingkah laku nyeri dengan
merintih dan menangis (Farida, 2010:10).
d. Makna Nyeri
Makna nyeri pada seseorang mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara
seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Individu akan berbeda-beda
mempersepsikan nyeri apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman,
kehilangan, hukuman, dan tantangan. Misalnya Seorang wanita yang
merasakan nyeri saat bersalin akan mempersepsikan nyeri secara berbeda
dengan wanita lainnya yang nyeri karena dipukul oleh suaminya (Prasetyo,
2010:35).
e. Lokasi dan Tingkat Keparahan Nyeri
Nyeri yang dirasakan bervariasi dalam intensitas dan tingkat keparahan pada
masing-masing individu. Nyeri yang dirasakan mungkin terasa ringan,
sedang, atau bisa jadi merupakan nyeri yang berat. Dalam kaitannya dengan
kualitas nyeri, masing-masing individu juga bervariasi, ada yang melaporkan
nyeri seperti tertusuk, nyeri tumpul, berdenyut, terbakar, dan lain lain, sebagai
contoh individu yang tertusuk jarum akan melaporkan nyeri yang berbeda
dengan individu yang terkena luka bakar (Prasetyo, 2010:35).
f. Perhatian
14
Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan mempengaruhi persepsi
nyari. Perhatian yang meningkat terhadap nyeri akan meningkatkan respon
nyeri sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan penurunan
respon nyeri. Konsep inilah yang mendasari berbagai terapi untuk
menghilangkan nyeri, seperti relaksasi, teknik imajinasi terbimbing, dan
masase (Prasetyo, 2010:36).
g. Ansietas (Kecemasan)
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks, ansietas yang
dirasakan seseorang seringkali meningkatkan persepsi nyeri, akan tetapi nyeri
juga dapat menimbulkan perasaan ansietas. Sebagai contoh seseorang yang
menderita kanker kronis dan merasa takut akan kondisi penyakitnya akan
semakin meningkatkan persepsi nyerinya (Prasetyo, 2010:36).
Ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan
persepsi pasien terhadap nyeri. Ansietas yang tidak berhubungan dengan
nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi
nyeri (Farida, 2010:11).
h. Keletihan
Kelemahan atau keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan
menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan
koping individu (Prasetyo, 2010:36).
i. Pengalaman Nyeri Sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri, akan tetapi pengalaman yang
telah dirasakan individu tersebut tidak berarti bahwa individu tersebut akan
mudah dalam menghadapi nyeri pada masa yang mendatang. Seseorang yang
terbiasa merasakan nyeri akan lebih siap dan mudah mengantisipasi nyeri
daripada individu yang mempunyai pengalaman sedikit tentang nyeri
(Prasetyo, 2010:36).
j. Dukungan Keluarga dan Sosial
Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah kehadiran
dari orang terdekat. Individu yang mengalami nyeri seringkali membutuhkan
dukungan, bantuan, perlindungan dari anggota keluarga, atau teman terdekat.
Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri
15
semakin bertambah. Kehadiran orangtua merupakan hal khusus yang penting
untuk anak-anak dalam menghadapi nyeri, karena kehadiran orang terdekat
akan meminimalkan kesepian dan ketakutan (Prasetyo, 2010:37).
k. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang menentukan terhadap
terjadinya perubahan perilaku, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan
pada seseorang, maka berarti telah mengalami proses belajar yang lebih
sering, dengan kata lain tingkat pendidikan mencerminkan intensitas
terjadinya proses belajar (Harsono, 2009:28-29).
l. Sikap dan Keyakinan terhadap Nyeri
Sikap dan keyakinan terhadap nyeri dapat mempunyai pengaruh yang kuat
tentang bagaimana nyeri dirasakan dan cara pengelolaan nyeri. Nyeri akut
sering dirasakan sebagai sebuah tanda dari kerusakan jaringan. Pengenalan
terhadap nyeri memungkinkan individu untuk membuat keputusan kapan
nyeri memberikan tanda potensial berbahaya, atau kerusakan jaringan, dan
sumber apa atau derajat nyeri dapat dianggap aman (Harsono, 2009:30).
m. Pola koping
Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di rumah sakit
adalah hal yang sangat tak tertahankan. Secara terus-menerus klien
kehilangan kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol lingkungan termasuk
nyeri. Klien sering menemukan jalan untuk mengatasi efek nyeri baik fisik
maupun psikologis. Penting untuk mengerti sumber koping individu selama
nyeri. Sumber-sumber koping ini seperti berkomunikasi dengan keluarga,
latihan dan bernyanyi dapat digunakan sebagai rencana untuk mensupport
pasien dan menurunkan nyeri pasien (Farida, 2010:13).
Sumber koping lebih dari sekitar metode teknik. Seorang klien mungkin
tergantung pada support emosional dari anak-anak, keluarga atau teman.
Meskipun nyeri masih ada tetapi dapat meminimalkan kesendirian.
Kepercayaan pada agama dapat memberi kenyamanan untuk berdo’a,
memberikan banyak kekuatan untuk mengatasi ketidaknyamanan yang datang
(Farida, 2010:13).
n. Efek Plasebo
16
Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap pengobatan atau
tindakan lain karena sesuatu harapan bahwa pengobatan tersebut benar benar
bekerja. Menerima pengobatan atau tindakan saja sudah merupakan efek
positif. Harapan positif pasien tentang pengobatan dapat meningkatkan
keefektifan medikasi atau intervensi lainnya. Seringkali makin banyak
petunjuk yang diterima pasien tentang keefektifan intervensi, makin efektif
intervensi tersebut nantinya. Individu yang diberitahu bahwa suatu medikasi
diperkirakan dapat meredakan nyeri hampir pasti akan mengalami peredaan
nyeri dibanding dengan pasien yang diberitahu bahwa medikasi yang
didapatnya tidak mempunyai efek apapun. Hubungan pasien –perawat yang
positif dapat juga menjadi peran yang amat penting dalam meningkatkan efek
plasebo (Farida, 2010:12).
o. Status Pernikahan
Pasien yang tinggal sendiri/bercerai cenderung melakukan penggunaan
analgesik lebih tinggi bila dibandingkan pasien yang menikah maupun belum
menikah. Hingga saat ini, belum ditemukan sebuah penelitian yang
membandingkan ketiga status pernikahan tersebut dalam hal kaitannya
dengan frekuensi penggunaan analgesik. Penelitian oleh Miguel et al pada
tahun 2008 di Spanyol dan Jain et al pada tahun 2016 di India menyatakan
bahwa pasien yang sudah menikah melakukan pengobatan analgesik lebih
tinggi dibandingkan pasien yang belum menikah (Halim, Prayitno, dan
Wibowo, 2018:90).
Penelitian oleh Balbuena et al pada tahun 2009 di Meksiko menyatakan
bahwa pasien yang tinggal sendiri melakukan pengobatan analgesik lebih
sering dibandingkan pasien yang menikah. Perbedaan hasil penelitian ini
dapat disebabkan oleh pasien yang tinggal sendiri/bercerai cenderung
memiliki tingkat stress yang lebih tinggi dibandingkan pasien yang belum
menikah dan menikah. Stress dapat menjadi salah satu faktor yang memicu
nyeri. Oleh sebab itu, pasien yang tinggal sendiri dapat melakukan
penggunaan analgesik lebih sering bila dibandingkan dengan pasien yang
menikah atau belum menikah (Halim, Prayitno, dan Wibowo, 2018:90).
p. Status Pekerjaan
17
Pasien yang bekerja melakukan pengobatan analgesik lebih tinggi
dibandingkan pasien yang tidak bekerja. Hasil tersebut serupa dengan hasil
penelitian oleh Miguel et al pada tahun 2008 di Spanyol dan Simon et al pada
tahun 2015 di India yang menyatakan bahwa pasien yang bekerja melakukan
pengobatan lebih sering dibandingkan dengan pasien yang tidak bekerja. Hal
tersebut dapat disebabkan oleh tingkat stress pada pasien yang bekerja lebih
tinggi bila dibandingkan dengan pasien yang tidak bekerja. Sebuah penelitian
oleh Premchand VG pada tahun 2015 di India menyatakan tingkat stress pada
pasien yang bekerja lebih tinggi bila dibandingkan pasien yang tidak bekerja.
Stress merupakan salah satu bagian dari emosi yang dapat pemicu nyeri
(Halim, Prayitno, dan Wibowo, 2018:90).
B. Analgesik
1. Pengolongan Analgesik
Analgesik yang tersedia untuk mengatasi nyeri terbagi menjadi 2
kelompok besar yaitu : analgesik non-opioid atau non-narkotik (misalnya
NSAID dan paracetamol) dan analgesik opioid atau narkotik. Adapun
analgesik non-narkotik bekerja sangat baik dalam menangani nyeri. Obat
NSAID yang bekerja dengan menghambat siklooksigenase yang mensintesis
mediator nyeri seperti prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan
sebagai obat pilhan utama dalam mengatasi nyeri akibat inflamasi. Sedangkan
analgesik opioid atau narkotik (misalnya Tramadol) dapat menghambat nyeri
lebih kuat daripada NSAID dengan mengaktifkan reseptor µ yang tersebar di
berbagai tempat di otak, sehingga sinyal nosiseptif dihambat secara sentral
(Naharuddin, 2013:10).
2. Mekanisme Kerja Obat Analgesik
Obat analgesik bekerja di dua tempat utama, yaitu perifer dan
sentral. Golongan obat NSAID bekerja diperifer dengan menghambat
pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan
sintesa prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan analgesik opioid bekerja di
sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis
sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke
18
saraf spinal tidak terjadi (Naharuddin, 2013:11).
Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat yang
mengalami metabolisme melalui enzim siklooksigenase. Prostaglandin yang
lepas ini akan menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi,
edema, rasa nyeri lokal dan kemerahan (eritema lokal). Selain itu juga
prostaglandin meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap suatu
rangsangan nyeri (Naharuddin, 2013:11-12).
Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang
mengkatalisis sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat NSAID
memblok aksi dari enzim COX yang menurunkan produksi mediator
prostaglandin, dimana hal ini menghasilkan kedua efek yakni baik yang
positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus lambung,
penurunan perfusi renal dan perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan dengan
dua isoenzim, yaitu ubiquitously dan constitutive yang diekspresikan sebagai
COX-1 dan yang diinduksikan inflamasi COX-2.COX-1 terutama terdapat
pada mukosa lambung, perenkim ginjal dan platelet. Enzim ini penting dalam
proses hemeostatik seperti agregasi platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal
dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat inducible dan diekspresikan
terutama terdapat pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan menimbulkan
inflamasi, demam, nyeri dan kardiogenesis (Naharuddin, 2013:12).
3. Analgesik Opiod
Analgesik opioid bekerja pada reseptor yang disebarluaskan di
seluruh otak dan medulla spinalis. Analgesik opioid bekerja di sentral dengan
cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi
penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak
terjadi (Naharuddin, 2013:13).
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat
seperti opium. Analgesik opioid terutama digunakan untuk meredakan atau
menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga memperlihatkan berbagai efek
farmakodinamik yang lain. Istilah analgesik narkotik dahulu seringkali
digunakan, akan tetapi karena golongan obat ini dapat menimbulkan
analgesia tanpa menyebabkan tidur atau menurunnya kesadaran maka istilah
19
analgesik narkotik menjadi kurang tepat (Farmakologi dan Terapi, 2016:214).
Alkaloid opioid menimbulkan analgesia melalui kerjanya di daerah
otak yang mengandung peptide yang memiliki sifat farmakologik menyerupai
opioid. Terdapat 3 jenis utama reseptor opioid yaitu mu (µ), delta (δ), dan
kappa (ҡ). Reseptor µ memperantarai efek analgesik mirip morfin, euphoria,
depresi nafas, miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor ҡ
diduga memperantarai analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi
serta miosis dan depresi nafas yang tidak sekuat agonis µ. Selain itu
disusunan saraf pusat juga didapatkan reseptor δ yang selektif terhadap
enkefalin dan reseptor epsion yang sangat selektif terhadap beta-endorfin
tetapi tidak mempunyai afinitas seperti enkefalin (Farmakologi dan Terapi,
2016:214-215).
Klasifikasi Obat Golongan Opioid. Berdasarkan kerjanya pada
reseptor, obat golongan opioid dibagi menjadi : (1) Agonis penuh (kuat), (2)
Agonis parsial (agonis lemah sampai sedang), (3) Campuran agonis dan
antagonis, dan (4) Antagonis. Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai
efek agonis, sedangkan agonis parsial dapat menimbulkan efek agonis, atau
sebagai antagonis dengan menggeser agonis kuat dari ikatannya pada reseptor
opioid dan mengurangi efeknya. Opioid yang merupakan campuran agonis
dan antagonis adalah opioid yang memiliki efek agonis pada subtipe reseptor
opioid dan sebagai suatu parsial agonis atau antagonis pada subtipe reseptor
opioid lainnya. Berdasarkan rumus bangunnya obat golongan opioid dibagi
menjadi derivat fenantren, fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan, dan
benzomorfan (Farmakologi dan Terapi, 2016:215).
a. Morfin dan Alkaloid Opium
Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L yang telah
dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam dua golongan:
(1) Golongan Fenantren, misalnya Morfin dan Kodein dan (2) Golongan
Benizilisokinolin, misalnya Noskapin dan Papaverin (Farmakologi dan
Terapi, 2016:215-216).
1) Indikasi
20
Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau
menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-
opioid. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai infark miokard,
neoplasma, kolik renal, oklusio akut vaskular perifer, pulmonal, perikarditis
akut, dan nyeri akibat trauma misalnya luka bakar dan pascabedah
(Farmakologi dan Terapi, 2016:220).
2) Farmakodinamik
Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan
karena morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor µ. Selain itu morfin juga
mempunyai afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor δ dan ҡ (Farmakologi
dan Terapi, 2016:217).
Efek morfin terhadap Susunan Saraf Pusat berupa analgesia dan
narkosis. Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada pasien
yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah dan pada orang normal
seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai
mual dan muntah (Farmakologi dan Terapi, 2016:217).
b. Meperidin dan Derivat Fenilpiperidin Lain
1) Indikasi
Meperidin yang juga dikenal sebagai petidin. Meperidin hanya
digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan klinis,
meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada
morfin (Farmakologi dan Terapi, 2016:224).
Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik
dan sebagai obat praanestetik. Untuk menimbulkan analgesia obstetrik
dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang menyebabkan depresi napas
pada janin (Farmakologi dan Terapi, 2016:224).
2) Farmakodinamik
Efek farmakodinamik meperidin dan derivat fenilpiperidin lain
serupa satu dengan yang lain. Meperidin terutama bekerja sebagai agonis
reseptor µ (Farmakologi dan Terapi, 2016:222).
Pada Susunan Saraf Pusat, meperidin menimbulkan analgesia,
21
sedasi, euforia, depresi napas dan efek sentral lain. Efek analgetik meperidin
mulai timbul 15 menit setelah pemberian oral dan mencapai puncak dalam 2
jam (Farmakologi dan Terapi, 2016:222).
c. Metadon dan Opioid Lain
1) Metadon
a) Indikasi
Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan jenis nyeri
yang dapat dipengaruhi morfin, tetapi ada yang berpendapat bahwa metadon
sedikit lebih kuat daripada morfin. Efek analgetik mulai timbul 10-20 menit
setelah pemberian parenteral atau 30-60 menit setelah pemberian oral. Obat
ini menyebabkan depresi napas pada janin sehingga tidak dianjurkan sebagai
analgesik pada persalinan (Farmakologi dan Terapi, 2016:227).
b) Farmakodinamik
Di Susunan Saraf Pusat, efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama
kuat dengan efek 10 mg morfin. Setelah pemerian metadon beulang kali
timbul efek sedasi yang jelas. Dosis ekuianalgetik menimbulkan depresi
napas yang sama kuat seperti morfin dan dapat bertahan lebih dari 24 jam
setelah dosis tunggal. Metadon juga berefek antitusif, menimbulkan
hiperglikemia, hipotemia, dan pelepasan ADH (Farmakologi dan Terapi,
2016:226).
2) Propoksifen
a) Indikasi
Propoksifen hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan hingga
sedang, yang tidak cukup baik diredakan oleh asetosal. Kombinasi
propoksifen bersama asetosal berefek sama kuat seperti kombinasi kodein
bersama asetosal. Dosis propoksifen untuk orang dewasa biasanya 4 kali 65
mg sehari, dengan atau tanpa asetosal (Farmakologi dan Terapi, 2016:228).
b) Farmakodinamik
Propoksifen terutama terikat pada reseptor µ meskipun kurang
selektif dibandingkan morfin. Propoksifen 65-100 mg secara oral
memberikan efek yang sama kuat dengan 65 mg kodein, sedangkan 130 mg
22
propoksifen parenteral menimbulkan analgesia yang sama kuat dengan 50 mg
meperidin parenteral. Tetapi propoksifen menimbulkan perasaan panas dan
iritasi di tempat suntikan. Kombinasi propoksifen dengan asetosal berefek
analgesik yang jauh lebih baik daripada jika masing-masing obat diberikan
tersendiri. Obat ini tidak berefek antitusif (Farmakologi dan Terapi,
2016:228).
d. Antagonis Opioid
Obat-obat yang tergolong antagonis opioid umumnya tidak
menimbulkan banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonis
opioid atau bila opioid endogen sedang aktif misalnya pada keadaan stress
atau syok. Nalokson merupakan prototip antagonis opioid yang relatif murni,
demikian pula naltrekson yang dapat diberikan pemberian oral dan
memperlihatkan masa kerja yang lebih lama daripada nalokson. Dalam dosis
besar keduanya memperlihatkan beberapa efek agonis, tetapi efek ini tidak
berarti secara klinis (Farmakologi dan Terapi, 2016:229).
a) Indikasi
Antagonis opioid diindikasikan untuk mengatasi depresi napas akiat
takar lajak opioid, pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang mendapat
opioid sewaktu persalinan; atau akibat tentamen suicide dengan suatu opioid;
dalam hal ini nalokson merupakan obat terpilih. Obat ini juga digunakan
untuk mendiagnosis dan mengobati ketergantungan fisik terhadap opioid
(Farmakologi dan Terapi, 2016:230).
b) Farmakodinamik
Pada berbagai eksperimen diperlihatkan bahwa Nalokson
menurunkan ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang nyerinya
tinggi; mengantagonis efek analgetik plasebo; mengantagonis analgesia yang
terjadi akibat perangsangan lewat jarum akupuntur. Namun, masih perlu
pembuktian lebih lanjut efek nalokson ini sebab banyak faktor fisiologi yang
berperan dalam analgesia di atas. Dugaan yang sama juga timul tentang efek
nalokson terhadap hipotensi pada hewan dalam keadaan syok, dan efeknya
dalam mencegah overating dan obesitas pada tikus-tikus yang diberi stres
berat (Farmakologi dan Terapi, 2016:229).
23
Nalorfin dan levalorfan juga menimbulkan depresi napas yang
diduga karena kerjanya pada reseptor κ. Berbeda dengan morfin, depresi
napas tidak bertambah dengan bertambahnya dosis. Kedua obat ini, terutama
levalorfan memperberat depresi napas oleh morfin dosis kecil, tetapi
mengantagonis depresi napas akibat morfin dosis besar (Farmakologi dan
Terapi, 2016:229).
e. Agonis Parsial
1) Pentazosin
a) Indikasi
Pentazosin diindikasikan untuk mengatasi nyeri sedang, tetapi
kurang efektif dibandingkan morfin untuk nyeri berat. Obat ini juga
digunakan untuk medikasi praanestesik. Bila digunakan untuk analgesia
obstetrik, pentazosin dapat mengakibatkan depresi napas yang sebanding
meperidin (Farmakologi dan Terapi, 2016:231).
b) Farmakodinamik
Efeknya terhadap Susunan Saraf Pusat mirip dengan efek opioid
yaitu menyebabkan analgesia, sedasi dan depresi napas. Analgesia yang
timbul agaknya karena efeknya pada reseptor κ, karena sifatnya berbeda
dengan analgesia akibat morfin. Analgesia timbul lebih dini dan hilang lebih
cepat daripada morfin. Pada dosis 60-90 mg obat ini menyebabkan disforia
dan efek psikotomimetik mirip nalorfin yang hanya dapat diantagonis oleh
nalokson. Diduga timbulnya disforia dan efek psikotomimetik karena
kerjanya pada reseptor δ (Farmakologi dan Terapi, 2016:230-231).
2) Butorfanol
a) Indikasi
Butorfanol efektif untuk mengatasi nyeri akut pascabedah sebanding
dengan morfin, meperidin atau pentazosin. Butorfanol sama efektif dengan
miperidin untuk medikasi praanestetik. Obat ini tidak dianjurkan digunakan
untuk nyeri yang menyertai infark miokard akut. Dosis butorfanol yang
dianjurkan untuk dewasa adalah dosis 1-4 mg IM atau 0,5-2 mg IV dan dapat
diulang 3-4 jam (Farmakologi dan Terapi, 2016:231).
24
b) Farmakodinamik
Pada pasien pascabedah, suntikan 2-3 mg butorfanol menimbulkan
analgesia dan depresi napas menyerupai efek suntikan 10 mg morfin atau 80
mg meperidin. Dosis analgetik butorfanol juga meningkatkan tekanan arteri
pulmonal dan kerja jantung (Farmakologi dan Terapi, 2016:231).
3) Buprenorfin
a) Indikasi
Selain sebagai analgesik, buprenorfin juga bermanfaat untuk terapi
penunjang pasien ketergantungan opioid, dan pengobatan adiksi heroin
(Farmakologi dan Terapi, 2016:232).
b) Farmakodinamik
Buprenorfin menimbulkan analgesia dan efek lain pada Susunan
Saraf Pusat seperti morfin. Buprenorfin dapat mengantagonis depresi
pernapasan yang ditimbulkan oleh dosis anestesik fentanil sama baiknya
dengan nalokson. Depresi pernapasan yang ditimbulkan dapat dicegah oleh
penggunaan nalokson (Farmakologi dan Terapi, 2016:231).
4) Tramadol
Tramadol adalah analog kodein sintetik yang merupakan agonis
reseptor µ yang lemah. Sebagian dari efek analgetiknya ditimbulkan oleh
inhibisi ambilan norepinefrin dan serotonin (Farmakologi dan Terapi,
2016:232). Tramadol adalah analgesik opioid sintetik yang bekerja di sentral
untuk mengatasi nyeri sedang hingga berat. Efek analgesik tramadol
dihasilkan melalui jalur opioid dengan cara berikatan dengan reseptor µ dan
jalur non-opioid (efek monoaminergik) dengan cara menghambat
pengambilan norepinefrin dan serotonin. Afinitas tramadol terhadap reseptor
µ relatif rendah sehingga aktivitas opioid tramadol tergolong lemah bila
dibandingkan dengan opioid lain seperti morfin dan kodein (Naharuddin,
2013:13).
a) Mekanisme Kerja Tramadol
25
Tramadol merupakan opioid sintetik yang tidak mengandung opioid.
Tramadol adalah analgesik yang bekerja sentral, tetapi dapat bertindak
setidaknya sebagian dengan mengikat reseptor µ opioid, menyebabkan
penghambatan jalur nyeri meningkat (Medscape, 2019. https://reference.
medscape.com/drug/ ultram-er-tramadol-343324#10).
Tramadol dan motabolit aktifnya (M1) berikatan dengan reseptor µ
opioid di susunan saraf pusat yang menyebabkan penghambatan jalur nyeri
yang meningkat, mengubah persepsi dan respons terhadap nyeri, juga
menghambat pengambilan kembali norepinefrin dan serotonin, yang juga
memodifikasi tingkatan jalur nyeri. (American Pharmacist Association, 2013)
b) Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Bioavailabilitas tramadol setelah dosis tunggal secara oral 68% dan
100% bila digunakan secara IM. Tramadol mengalami metabolisme di hati
dan diekskresi oleh ginjal, dengan masa paruh eliminasi 6 jam untuk tramadol
dan 7,5 jam untuk metabolit aktifnya. Analgesia timbul dalam 1 jam setelah
penggunaan secara oral, dan mencapai puncak dalam 2-3 jam. Lama
analgesia sekitar 6 jam. Dosis Maksimal per hari yang dianjurkan 400 mg
(Farmakologi dan Terapi, 2016:232).
Bioavailabilitas tramadol pelepasan segera 75%, pelepasan
diperpanjang 85-90%. Onset: ~ 1 jam. Durasi: 9 jam. Waktu plasma puncak
yaitu pada pelepasan segera, 1,5 jam, dan pada pelepasan diperpanjang 12
jam. Protein terikat 20%. Vd: 2,5-3 L/kg. Dimetabolisme di hati oleh
CYP2D6 dan CYP3A4 melalui N- dan O-demethylation dan
glucuronidation/sulfation. Metabolitnya yaitu M1 (O-desmethyltramadol,
aktif). Metabolit M1 memiliki afinitas 200 kali lebih besar untuk reseptor
opioid daripada obat induk. Dalam metabolisme buruk CYP2D6, kadar
tramadol dapat meningkat 20% dan kadar M1 berkurang 40%. Waktu paruh
6-8 jam. Ekskresi pada urin (90%) (Medscape, 2019.
https://reference.medscape.com/drug/ ultram-er-tramadol-343324#10).
c) Indikasi
26
Tramadol digunakan untuk mengatasi nyeri sedang sampai berat
parah. Formulasi pelepasan Tramadol yang diperpanjang diindikasikan untuk
pasien yang membutuhkan manajemen nyeri sedang sampai berat setiap saat
untuk jangka waktu yang lama (American Pharmacist Association, 2013).
d) Dosis dan Aturan Pakai
Pediatri
Pelepasan segera:
<17 tahun: Keamanan dan kemanjuran tidak ditetapkan.
≥17 tahun (akut): 50-100 mg pemberian oral setiap 4-6 jam bila diperlukan,
tidak melebihi 400 mg/hari.
≥17 tahun (kronis): Pemberian oral 25 mg setiap pagi pada awalnya,
meningkat 25-50 mg/hari setiap 3 hari sebagai dosis terpisah hingga 50-100
mg pemberian oral setiap 4-6 jam bila diperlukan, tidak melebihi 400
mg/hari.
Pelepasan diperpanjang:
<18 tahun: Keamanan dan kemanjuran tidak ditetapkan.
Dewasa
Pelepasan segera:
Kronis: Pemberian oral 25 mg setiap pagi pada awalnya; meningkat 25-50
mg/hari setiap 3 hari hingga 50-100 mg pemberian oral setiap 4-6 jam bila
diperlukan, tidak melebihi 400 mg/hari.
Akut: 50-100 mg pemberian oral setiap 4-6 jam bila diperlukan, tidak
melebihi 400 mg/hari.
Pelepasan diperpanjang:
100 mg pemberian oral sekali sehari pada awalnya; meningkat 100 mg/hari
setiap 5 hari, tidak melebihi 300 mg/hari.
Jangan mengunyah, menghancurkan, membelah, atau membubarkan.
27
Geriatri
> 65 tahun: Memulai di ujung bawah kisaran dosis; tidak melebihi 300
mg/hari jika> 75 tahun.
> 75 tahun: Tidak melebihi 300 mg/hari pelepasan segera; berhati-hatilah
dengan rilis yang diperpanjang (American Pharmacist Association, 2013)
e) Reaksi Obat tidak Dikehendaki
Tabel 2.1 ROTD Berdasarkan Medscape
> 10% 1-10% <1%
Sembelit (24-46%)
Mual (24-40%)
Pusing (10-33%)
Vertigo (26-33%)
Sakit kepala (18-32%)
Somnolence (7-25%)
Muntah (9-17%)
Agitasi (7-14%)
Kecemasan (7-14%)
Labilitas emosional (7-14%)
Euforia (7-14%)
Halusinasi (7-14%)
Gugup (7-14%)
Spastisitas (7-14%)
Dispepsia (5-13%)
Asthenia (6-12%)
Pruritus (8-11%)
Diare (5-10%)
Mulut kering (5-10%)
Berkeringat (6-9%)
Hipertonia (1-5%)
Malaise (1-5%)
Gejala Menopause (1-5%)
Ruam (1-5%)
Frekuensi kemih (1-5%)
Retensi urin (1-5%)
Vasodilatasi (1-5%)
Gangguan penglihatan (1-
5%)
Kiprah abnormal
Amnesia
Disfungsi kognitif
Depresi
Kesulitan konsentrasi
Dysphoria
Disuria
Kelelahan
Halusinasi
Gangguan menstruasi
Kelemahan sistem motor
Hipotensi ortostatik
Paresthesia
Kejang
Kecenderungan bunuh diri
Sinkop
Takikardia
(Medscape, 2019. https://reference.medscape.com/drug/ ultram-er-tramadol-343324#10).
Tabel 2.2 ROTD (>10%) Berdasarkan Drug Information Handbook
28
Kardiovaskular Pembilasan (8% hingga 16%)
Sistem Saraf Pusat Pusing (10% hingga 33%), sakit kepala (4% hingga 32%),
mengantuk (7% hingga 25%), insomnia (2% hingga 11%)
Dermatologis Pruritus (3% hingga 12%)
Gastrointestinal Sembelit (9% hingga 46%), mual (15% hingga 40%), muntah (5%
hingga 17%), dispepsia (1% hingga 13%)
Neuromuskuler &
Kerangka
Kelemahan (4% hingga 12%)
(American Pharmacist Association, 2013)
Tabel 2.3 ROTD (1-10%) Berdasarkan Drug Information Handbook
Kardiovaskular Hipotensi ortostatik (2% hingga 5%), nyeri dada (1% hingga <5%),
hipertensi (1% hingga <5%), edema perifer (1% hingga <5%), vasodilatasi
(1% hingga <5%)
Sistem Saraf Pusat Agitasi (1% hingga <5%), kecemasan (1% hingga <5%), apatis (1%
hingga <5%), kedinginan (1% hingga <5%) kebingungan (1% hingga
<5%), gangguan koordinasi (1% hingga <5%), depersonalisasi (1%
hingga <5%), depresi (1% hingga < 5%), euforia (1% hingga <5%),
demam (1% hingga <5%) hipoestesia (1% hingga <5%), lesu (1% hingga
<5%) gugup (1% hingga 15%), nyeri (1% hingga <5%), pireksia (1%
hingga <5%), gelisah (1% hingga <5%), malaise (<1% hingga: 5%),
kelelahan (2%), vertigo (2%)
Dermatologis Dermatitis (1% hingga <5%), ruam (1% hingga <5%)
Endokrin &
Metabolik
Hot flashes (2% hingga 9%), hiperglikemia (1 % hingga <5%), gejala
menopause (1% hingga <5%)
Gastrointestinal Diare (5% hingga 10%), xerostomia (3% hingga 13%), anoreksia (1%
hingga 6%), sakit perut (1% hingga <5%), nafsu makan menurun (1%
menjadi <5%), penurunan berat badan (1% hingga <5%), perut kembung
(<1% hingga <5%)
Genitourinari Nyeri panggul (1% hingga <5%), kelainan prostat (1% hingga <5%),
kelainan urin (1% hingga <5%), infeksi saluran kemih (1% hingga <5%),
frekuensi kemih (<1% hingga <5%), retensi urin (<1 % menjadi <5%)
Neuromuskuler &
Kerangka
Arthralgia (1% hingga 5%), nyeri punggung (1% hingga <5%), kreatin
fosfokinase meningkat (1% hingga <5%), mialgia (1% menjadi <5%),
hipertonia (1% hingga <5%), nyeri leher (1% hingga <5%), kerasnya (1%
29
hingga 5%) paresthesia (1% hingga 5%), tremor (1% hingga <5%)
Okuler kabur penglihatan (1% hingga <5%), miosis (1% hingga <5%)
Pernafasan Bronkitis (1% hingga <5%), kongesti (sinus hidung) (1% hingga <5%),
batuk (1% hingga <5%) , dispnea (1% hingga <5%), nasofaringitis (1%
hingga <5%), faringitis (1% hingga <5%), rinitis (1% hingga <5%),
rhinohea (1% hingga <5%), sinusitis (1% hingga <5%), bersin (1% hingga
<5%), sakit tenggorokan (1% hingga <5%), infeksi saluran pernapasan
atas (1% hingga <5%)
Miscellaneous Diaphoresis (2% hingga 9%) , sindrom seperti flu (1% hingga <5%),
sindrom penarikan (1% hingga <5%), menggigil (<1% hingga <5%)
(American Pharmacist Association, 2013)
f) Potensi Interaksi Obat
Hindari Penggunaan Tramadol bersamaan dengan salah satu dari:
Azelastine (Nasal), Carbamazepine, Conivaptan, dan Paraldehide.
Peningkatan Efek / Toksisitas
Tramadol dapat meningkatkan efek dari: Alkohol (Etil), Alvimopan,
Azelastine (Nasal), Carbamazepine, CNS Depressants, Desmopressin,
Penghambat MAO, Metoklopramide, Metirosine, Paraldehide, Pramipexole,
Ropinirole, Rotigotine, SSRI, Modulator Serotonin, Diuretik Thiazide,
Antagonis Vitamin K, dan Zolpidem.
Tramadol dapat ditingkatkan dengan Amfetamin, Agen Antipsikotik
(Fenotiazin), Antipsikotik, Konvaptan, Siklobenzaprine, CYP3A4 Inhibitor
(Sedang), CYP3A4 Inhibitor (Kuat), Dasatinib, Hidroksizin, Ivakaftor,
Magnesium Sulfat, Mifepristone, Perampanel, SSRI, Sodium Oxybate,
Succinylcholine, dan Tricyclic Antidepresan.
Penurunan Efek
Tramadol dapat menurunkan efek. Carbamazepine dan Pegvisomant.
Efek Tramadol dapat dikurangi oleh Ammonium Chloride, Antiemetik
(Antagonis 5HT3) Carbamazepine, Penghambat CYP2D6 (Sedang),
Penghambat CYP2D6 (Kuat); Penangkal CYP3A4 (Kuat), Deferasirox,
Campuran Opioid Agonis/Antagonis, dan Tocilizumab (American Pharmacist
Association, 2013).
30
Tramadol di kontraindikasi dengan alvimopan, procarbazine,
rasagiline, safinamide, selegiline. Tramadol tidak di anjurkan untuk
digunakan bersamaan dengan obat obat berikut ini: alfentanil, apalutamide,
belladonna dan opium, benzhydrocodone, buprenorphine, buprenorphine
buccal, butorphanol, clonidine, codeine, cyclobenzaprine, dacomitinib,
desvenlafaxine, dextromoramide, diamorphine, difenoxin hcl, diphenoxylate
hcl, dipipanone, duloxetine, eluxadoline, fentanyl, fentanyl intranasal,
fentanyl iontophoretic transdermal system, fentanyl transdermal, fentanyl
transmucosal, hydrocodone, hydromorphone, idelalisib, obenguane i131,
isocarboxazid, ivosidenib, levorphanol, linezolid, lorcaserin, meperidine,
methadone, methylene blue, morphine, nalbuphine, opium tincture,
oxycodone, oxymorphone, papaveretum, pentazocine, phenelzine,
procarbazine, selegiline transdermal, sodium oxybate, sufentanil, sufentanil
sl, tapentadol, tedizolid, tranylcypromine, valerian, vilazodone, vortioxetine
(Medscape, 2019. https://reference. medscape.com/drug/ ultram-er-tramadol-
343324#10)
Secara klinis, tramadol terbukti mempunyai efek samping yang lebih
rendah dibandingkan dengan opioid lainnya dalam hal depresi pernafasan,
konstipasi, dan bahaya adiksi. Depresi pernafasan dan ketergantungan
tramadol lebih rendah dibandingkan kodein atau opioid lain karena tramadol
juga bekerja pada jalur non-opioid. Depresi pernafasan akibat tramadol dapat
dihambat oleh nalokson, tapi pemberian nalokson dapat mempertinggi
kemungkinan kejang. Oleh sebab itu pasien dengan riwayat kejang atau
sedang mengkonsumsi obat penghambat Mono Amin Oksidase (MAO) atau
penghambat selektif serotonin tidak boleh diberikan tramadol. Selain itu,
tramadol juga tidak boleh diberikan pada pasien bekas pecandu narkotika
(Soesanto dan Santosa, 2008:48).
C. Penggunaan Obat yang Rasional (Kemenkes RI, 2011)
WHO memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di
dunia diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan
separuh dari pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Secara praktis,
penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria:
31
1. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang
tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan
terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang
diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya. Contoh :
Diare disertai darah dan lendir, serta gejala tenesmus. Diagnosis yaitu
amoebiasis maka diberikan obat Metronidazol.
2. Tepat Indikasi Penyakit
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik,
misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian
obat ini hanya dianjurkan untuk pasien dengan gejala adanya infeksi bakteri.
3. Tepat Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis
ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang
memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit. Contoh: Gejala
demam terjadi pada hampir semua kasus infeksi dan inflamasi. Untuk
sebagian besar demam, pemberian parasetamol lebih dianjurkan, karena
disamping efek antipiretiknya, obat ini relatif paling aman dibandingkan
dengan antipiretik yang lain. Pemberian antiinflamasi non steroid (misalnya
ibuprofen) hanya dianjurkan untuk demam yang terjadi akibat proses
peradangan atau inflamasi.
4. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap
efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat
yang dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek
samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya
kadar terapi yang diharapkan.
5. Tepat Cara Pemberian
Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula
antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan,
32
sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivtasnya.
6. Tepat Interval Waktu Pemberian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan
praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian
obat per hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum
obat. Obat yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut
harus diminum dengan interval setiap 8 jam.
7. Tepat lama pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-
masing. Contohnya pada Tuberkulosis, lama pemberian paling singkat adalah
6 bulan. Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang
seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan.
8. Waspada terhadap efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu
muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping
sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin
tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan
kelainan pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh.
9. Tepat penilaian kondisi pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih
jelas terlihat pada penderita dengan kelainan ginjal, pemberian
aminoglikosida sebaiknya dihindarkan, karena resiko terjadinya
nefrotoksisitas pada kelompok ini meningkat secara bermakna. Kondisi
berikut harus dipertimbangkan sebelum memutuskan pemberian obat.
a. β-bloker (misalnya propranolol) hendaknya tidak diberikan pada penderita
hipertensi yang memiliki riwayat asma, karena obat ini memberi efek
bronkhospasme.
b. Antiinflamasi Non Steroid (AINS) sebaiknya juga dihindari pada penderita
asma, karena obat golongan ini terbukti dapat mencetuskan serangan asma.
33
c. Peresepan beberapa jenis obat seperti simetidin, klorpropamid,
aminoglikosida dan allopurinol pada usia lanjut hendaknya ekstra hati-hati,
karena waktu paruh obat-obat tersebut memanjang secara bermakna, sehingga
resiko efek toksiknya juga meningkat pada pemberian secara berulang.
d. Peresepan kuinolon (misalnya siprofloksasin dan ofloksasin), tetrasiklin,
doksisiklin, dan metronidazol pada ibu hamil sama sekali harus dihindari,
karena memberi efek buruk pada janin yang dikandung.
10. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin,
serta tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau.
Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam
daftar obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan
dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para
pakar di bidang pengobatan dan klinis. Untuk jaminan mutu, obat perlu
diproduksi oleh produsen yang menerapkan CPOB (Cara Pembuatan Obat
yang Baik) dan dibeli melalui jalur resmi. Semua produsen obat di Indonesia
harus dan telah menerapkan CPOB.
11. Tepat informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat
penting dalam menunjang keberhasilan terapi Sebagai contoh:
a. Peresepan rifampisin akan mengakibatkan urine penderita berwarna
merah. Jika hal ini tidak diinformasikan, penderita kemungkinan besar
akan menghentikan minum obat karena menduga obat tersebut
menyebabkan kencing disertai darah. Padahal untuk penderita
tuberkulosis, terapi dengan rifampisin harus diberikan dalam jangka
panjang.
b. Peresepan antibiotik harus disertai informasi bahwa obat tersebut harus
diminum sampai habis selama satu kurun waktu pengobatan (1 course of
treatment), meskipun gejala-gejala klinik sudah mereda atau hilang sama
sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari
berarti tiap 6 jam. Untuk antibiotik hal ini sangat penting, agar kadar obat
34
dalam darah berada di atas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri
penyebab penyakit.
12. Tepat tindak lanjut (follow-up)
Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah
dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien
tidak sembuh atau mengalami efek samping.
Sebagai contoh, terapi dengan teofilin sering memberikan gejala
takikardi. Jika hal ini terjadi, maka dosis obat perlu ditinjau ulang atau bisa
saja obatnya diganti. Demikian pula dalam penatalaksanaan syok anafilaksis,
pemberian injeksi adrenalin yang kedua perlu segera dilakukan, jika pada
pemberian pertama respons sirkulasi kardiovaskuler belum seperti yang
diharapkan.
13. Tepat penyerahan obat (dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai
penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen.
Pada saat resep dibawa ke apotek atau tempat penyerahan obat di
Puskesmas, apoteker/asisten apoteker menyiapkan obat yang dituliskan
peresep pada lembar resep untuk kemudian diberikan kepada pasien. Proses
penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat, agar pasien
mendapatkan obat sebagaimana harusnya. Dalam menyerahkan obat juga
petugas harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien.
14. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan,
ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut:
a. Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak
b. Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
c. Jenis sediaan obat terlalu beragam
d. Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
e. Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup mengenai cara
minum/menggunakan obat
35
f. Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung), atau efek
ikutan (urine menjadi merah karena minum rifampisin) tanpa diberikan
penjelasan terlebih dahulu.
D. Rumah Sakit
1. Pengertian Rumah Sakit
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (Undang-
Undang RI, 2009).
Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Provinsi Lampung
merupakan rumah sakit swasta kelas C. Rumah sakit ini mampu memberikan
pelayanan kedokteran spesialis terbatas. Rumah sakit ini juga menampung
pelayanan rujukan dari puskesmas. Rumah Sakit ini menyelenggarakan
pelayanan pengobatan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap.
2. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
a. Tugas Rumah Sakit
Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna.
b. Fungsi Rumah Sakit
1) Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit
2) Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;
3) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan
4) Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
E. Rekam Medik
Rekam Medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen
tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan
36
lain yang telah diberikan kepada pasien. Isi rekam medik sekurang-kurangnya
memuat identitas pasien, tanggal dan waktu, hasil anamnesis mencakup
sekurang-kurangnya riwayat penyakit hasil pemeriksaan fisik dan penunjang
medik, diagnosis, pengobatan dan/atau tindakan, pelayanan lain yang telah
diberikan kepada pasien (Kemenkes RI, No. 269/2008:II:3(1))
37
F. Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Sumber : (Prasetyo S.N., 2010), (Farmakologi…, 2016), (Kemenkes RI, 2011)
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Gangguan Nyeri
Pengobatan Nyeri
AnalgesikNon-Opioid
AnalgesikOpioid
Pentazosin
Faktor yang Memengaruhi Nyeri- Usia- Jenis Kelamin- Kebudayaan- Makna Nyeri- Lokasi dan Tingkat Keparahan- Perhatian- Tingkat Kecemasan- Keletihan- Pengalaman Nyeri Sebelumnya- Dukungan Keluarga dan Sosial- Tingkat Pendidikan- Sikap dan Keyakinan terhadap Nyeri- Gaya Koping- Efek Plasebo- Status Pernikahan- Status Pekerjaan
Rasionalitas- Tepat Diagnosis- Tepat Indikasi- Tepat Pemilihan Obat- Tepat Dosis- Tepat Cara Pemberian- Tepat Interval Waktu- Tepat Lama Pemberian- Waspada Terhadap Efek Samping- Tepat Penilaian Kondisi Pasien- Obat yang diberikan harus Efektif dan Aman- Tepat Informasi- Tepat Tindak Lanjut (Follow-Up)- Tepat Penyerahan Obat (Dispensing)- Pasien Patuh Terhadap Perintah Pengobatan
Morfin dan Alkaloid Opium
Meperidin dan DerivatFenilpiperidin Lain
Metadon dan Opioid Lain
Antagonis Opioid
Opioid ParsialButorfanol
Buprenorfin
Tramadol
38
G. Kerangka Konsep
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Gambaran Pemberian Tramadol padapasien rawat inap dengan gangguan nyeri diRumah Sakit Pertamina Bintang AminLampung
Karakteristik sosio-demografia. Jenis Kelaminb. Usiac. Tingkat
Pendidikand. Status Pekerjaane. Status Pernikahan
Karakteristik klinisa. Penyakit Utamab. Penyakit Penyertac. Tingkatan Nyerid. Jumlah Item Obate. Bentuk Sediaan
Tramadol
Evaluasi pemberianTramadola. Ketepatan Pemilihan
Obatb. Ketepatan Indikasic. Ketepatan Dosis,d. Ketepatan Aturan
Pakai,e. ROTD (Reaksi Obat
yang TidakDikehendaki),
f. Potensi InteraksiObat
39
H. Definisi Operasional
Tabel 2.4 Definisi Operasional
No Variabel Definisi CaraUkur
AlatUkur
Hasil Ukur SkalaUkur
1. KarakteristikSosio-Demografi
a. Usia
b. JenisKelamin
c. TingkatPendidikan
d. StatusPekerjaan
e. StatusPernikahan
Lama hiduppasien dihitungsejak lahir sampaisaat dilakukanpengambilan dataoleh peneliti
Identitas genderpasien
Tingkatpendidikan formalyang pernahdicapai pasiensesuai denganpengakuannya
Status pekerjaanpasien saat ini
Status pernikahanpasien saat ini
ObservasidokumenRekamMedik
ObservasidokumenRekamMedik
ObservasidokumenRekamMedik
ObservasidokumenRekamMedik
ObservasidokumenRekamMedik
Checklist
Checklist
Checklist
Checklist
Checklist
1 = 0 - 18 tahun2 = 19 - 59 tahun3 = ≥ 60 tahun
1 = Perempuan2 = Laki-laki
1 = SD2 = SMP3 = SMA4 = DI5 = DIII6 = S17 = S2
1 = Bekerja2 = Tidak Bekerja
1 = Menikah2 = Belum Menikah
Ordinal
Nominal
Ordinal
Nominal
Nominal
40
Tabel 2.4 Definisi Operasional (Lanjutan)
No Variabel Definisi CaraUkur
AlatUkur
Hasil Ukur SkalaUkur
2. KarakteristikKlinis
a. PenyakitUtama
b. PenyakitPenyerta
c. TingkatanNyeri
d. Jumlah ItemObat
e. BentukSediaanTramadol
Penyakit yangdiderita pasien
Penyakit selainPenyakit Utamayang juga dideritapasien
Tingkatan nyeriyang dideritapasien
Jumlah item obatyang harusdiminum pasien,bersamaan denganTramadol.
Bentuk sediaanTramadol yangdiminum /digunakan pasien
ObservasidokumenRekamMedik
ObservasidokumenRekamMedik
ObservasidokumenRekamMedik
ObservasidokumenRekamMedik
ObservasidokumenRekamMedik
Checklist
Checklist
Checklist
Checklist
Checklist
Rincian penyakitutama yang dideritapasien
1 = Ada2 = Tidak Ada
1 = Ringan2 = Sedang3 = Berat
1 = ≥ 5 item2 = < 5 item
1 = Ampul2 = Kapsul3 = Ampul danKapsul
Nominal
Nominal
Ordinal
Ordinal
Nominal
41
Tabel 2.4 Definisi Operasional (Lanjutan)
No Variabel Definisi Cara Ukur AlatUkur
Hasil Ukur SkalaUkur
3. EvaluasiPemberianTramadol
a. TepatPemilihanObat
b. TepatIndikasi
c. Tepat Dosis
d. TepatAturanPakai
e. ROTD atauReaksi Obatyang TidakDikehendaki
f. PotensiInteraksiObat
Obat yang dipilihharus yangmemiliki efekterapi sesuaidengan spektrumpenyakit dandipilih sesuaidengan kondisipasien
Ketepatanpemilihan obatyang sesuaidengan indikasiberdasarkandiagnosis
Dosis Tramadolyang diberikanharus sesuaidengan dosislazim
PemberianTramadol harussesuai denganketepatan intervalwaktu pemberian
Efek tidakdiinginkan yangtimbul padapemberian obatdengan dosisterapi, yang harusdiwaspadai
PenggunaanTramadol yangmenimbulkanPotensi Interaksidengan obat lain
ObservasidokumenRekamMedik
ObservasidokumenRekamMedik
ObservasidokumenRekamMedik
ObservasidokumenRekamMedik
Wawancaramelaluitelepon
ObservasidokumenRekamMedik
Checklist
Checklist
Checklist
Checklist
Checklist
Checklist
1 = Tepat2 = Tidak Tepat
1 = Tepat2 = Tidak Tepat
1 = Tepat2 = Tidak Tepat
1 = Tepat2 = Tidak Tepat
1 = Ada2 = Tidak ada
1 = Ada2 = Tidak ada
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal