bab ii tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/58671/3/bab ii.pdf · 2020. 1. 29. · g = adalah...
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umum
Jembatan pada umumnya adalah suatu bangunan struktural yang digunakan
untuk melewatkan orang atau kendaraan di atas dua daerah atau Kawasan yang
terpisah oleh lembah, sungai, jurang, atau hambatan fisik lainnya (Manalip dan
Handono, 2018). Jembatan memliki arti penting bagi setiap orang, akan tetapi
kepentingan yang dimiliki jembatan tidak sama bagi setiap orang, sehingga
jembatan menjadi suatu bahan studi yang menarik.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa jembatan merupakan suatu
sistem transportasi untuk tiga hal, yaitu (Bambang Supriadi, 2007) :
1. Merupakan pengontrol kapasitas dari sistem,
2. Mempunyai biaya tertinggi per mil dari sistem,
3. Jika jembatan runtuh, sistem akan lumpuh.
Secara garis besar jembatan terdiri dari dua komponen utama yaitu bangunan
atas (superstructure) dan bangunan bawah (substructure) dari kedua komponen ini
terdiri dari beberapa bagian yaitu:
a) Gelagar (Girder)
Adalah bagian jembatan yang merupakan balok yang membentang
secara memanjang maupun melintang yang berfungsi untuk menerima
dan menyebarkan beban dan gaya-gaya yang bekerja pada struktur atas
jembatan dan meneruskannya ke bagian struktur bawah.
b) Sistem Lantai Kendaraan (Deck)
Adalah lajur lalu lintas dari jembatan, dan juga merupakan bagian
yang memikul dan meneruskan beban ke gelagar utama.
c) Perletakan Jembatan (Bearing Structure)
Bearing structure digunakan sebagai salah satu bantalan penahan
beban jembatan. Fungsi dari perletakan ini sebagai media penyalur beban
antara bangunan atas dengan bangunan bawah jembatan.
d) Struktur Perlengkap Jembatan
6
Merupakan struktur sekunder dari bangunan jembatan yaitu berupa
expansion joint, separator, concrete barrier, dan railing.
e) Pelat Injak
Merupakan bagian dari struktur bawah jembatan yang memiliki
fungsi sebagai penyalur beban yang diterima dari bagian atas jembatan
secara merata.
f) Oprit Jembatan
Oprit adalah timbunan tanah yang berada di belakang abutment
sebagai penghubung antara jalan dengan jembatan.
g) Pilar Jembatan
Pilar jembatan adalah struktur yang berada di antara abutment dan
berfungsi sebagai pembagi dari bentang jembatan.
h) Kepala Jembatan (Abutment)
Merupakan tempat perletakan bangunan bagian atas jembatan yang
terletak pada ujung-ujung jembatan dan berfungsi sebagai bangunan
penahan tanah.
i) Pondasi
Pondasi adalah bagian struktur bawah jembatan yang tertanam
didalam tanah dan memiliki fungsi sebagai penahan beban-beban
bangunan yang berada di atasnya dan meneruskan ketanah dasar.
2.2 Beban Desain dan Kombinasi Pembebanan
Beban-beban yang pada umumnya diperhitungkan dalam desain jembatan
adalah beban permanen, lalu lintas, dan lingkungan. Menurut Standar Nasional
Indonesia (SNI) 1725-2016, beban-beban tersebut terdiri dari:
a. Beban permanen : Beban mati, pra tekan, dan tekanan tanah.
b. Beban hidup : Beban lajur, truk, rem, pejalan kaki, dan tumbukan
kendaraan.
c. Beban lingkungan : Temperatur, angina, dan gempa.
7
2.2.1 Beban Mati
Massa dari setiap bangunan harus dihitung berdasarkan dimensi yang
tertulis didalam gambar dan berat jenis bahan yang digunakan. Berat dari
bagian-bagian bangunan tersebut adalah massa dikalikan dengan percepatan
gravitasi. Besarnya kerapatan massa dan berat isi untuk berbagai macam bahan
adalah sebagai berikut:
Tabel 2. 1 - Berat isi untuk beban mati
No Bahan Berat isi
Kerapatan massa
(kN/m3) (kg/m3)
1 Lapisan permukaan beraspal
22,0 2245 (bituminous wearing surface)
2 Besi tuang (cast iron) 71,0 7245
3
Timbunan tanah dipadatkan 17,2 1755
(compacted sand, silt or clay)
4
Kerikil dipadatkan 18,8-22,7 1920-2315 (rolled gravel, macadam or
ballast)
5 Beton aspal (asphalt concrete) 22,0 2245
6 Beton ringan (low density) 12,25-19,6 1250-2000
7
Beton f'c < 35 Mpa 22,0-25,0 2320
35 < f'c < 105 Mpa 22 + 0,022 f’c 2240 + 2,29 f’c
8 Baja (steel) 78,5 7850
9 Kayu (ringan) 7,8 800
10 Kayu keras (hard wood) 11,0 1125
Sumber : SNI 1725:2016
a) Berat Sendiri (MS)
Berat sendiri menurut Standar Nasional Indonesia 1726:2016 adalah
berat bagian struktur tersebut dan elemen-elemen struktural lain yang di
pikulnya, termasuk dalam hal ini adalah berat dari bahan dan bagian
jembatan yang merupakan elemen struktural, ditambah dengan elemen non
struktural yang dianggap tetap, adapun faktor beban yang digunakan untuk
berat sendiri adalah sebagai berikut:
8
Tabel 2. 2 - Faktor beban untuk berat sendiri
Tipe beban
Faktor beban (ɣMS)
Keadaan Batas Layan (ɣSMS) Keadaan Batas Ultimit (ɣU
MS)
Bahan Biasa Terkurangi
Tetap
Baja 1,00 1,1 0,90
Alumunium 1,00 1,1 0,90
Beton pracetak 1,00 1,2 0,85
Beton dicor di tempat 1,00 1,3 0,75
Kayu 1,00 1,4 0,70 Sumber : SNI 1725:2016
b) Beban mati tambahan/utilitas (MA)
Beban mati tambahan adalah suatu beban pada jembatan yang
merupakan elemen non struktural, dan besarnya dapat berubah selama
umur dari jembatan tersebut. Faktor beban untuk beban mati tambahan
yang digunakan adalah sebagai berikut :
Tabel 2. 3 - Faktor beban untuk beban mati tambahan
Tipe beban
Faktor beban (ɣMA)
Keadaan Batas Layan (ɣSMA) Keadaan Batas Ultimit (ɣU
MA)
Keadaan Biasa Terkurangi
Tetap Umum 1,00 2,00 0,70
Khusus (terawasi) 1,00 1,40 0,80
Catatan(1) : Faktor beban layan sebesar 1,3 digunakan untuk berat utilitas Sumber : SNI 1725:2016
2.2.2 Beban Hidup
Beban hidup untuk perencanaan flyover pada umumnya adalah terdiri dari
beban lajur “D” dan beban truk “T”.
a) Beban Lajur (TD)
Beban lajur D bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan
menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekivalen dengan suatu
rombongan kendaraan. Beban lajur D ini terdiri dari beban tersebar
merata (BTR) dan beban garis (BGT). Adapun faktor beban yang
digunakan untuk menghitung beban lajur “D” seperti pada table berikut:
9
Tabel 2. 4 - Faktor beban hidup untuk lajur "D"
Tipe beban
Jembatan Faktor beban (ɣTD)
Keadaan Batas Layan (ɣS
TD) Keadaan Batas Ultimit
(ɣUTD)
Transien Beton 1,00 1,80 Boks Girder Baja
1,00 2,00
Sumber : SNI 1725:2016
Beban terbagi rata (BTR) mempunyai intensitas q kPa dengan
besaran q tergantung pada panjang total yang dibebani L yaitu seperti
berikut :
Jika L ≤ 30 m : q = 9,0 kPa
Jika L > 30 m : q = 9,0 (0,5 + ��
�) kPa
Keterangan:
q adalah intensitas beban terbagi rata (BTR) dalam arah memanjang
jembatan (kPa).
L adalah panjang total jembatan yang dibebani (meter)
Gambar 2. 1 - Beban lajur "D"
(Sumber : SNI 1725:2016)
Beban garis terpusat (BGT) dengan intensitas p kN/m harus
ditempatkan tegak lurus terhadap arah lalu lintas pada jembatan.
Besarnya intensitas p adalah 49,0 kN/m. untuk mendapatkan momen
lentur negatif maksimum, BGT kedua yang sama harus diletakan pada
posisi melintang jembatan pada bentang lainnya.
10
Distribusi beban kea rah melintanng digunakan agar mendapatkan
momen dan geser ke arah longitudinal pada gelagar jembatan. Hal ini
dilakukan dengan mempertimbangkan beban lajur yang tersebar di
seluruh lebar balok.
b) Faktor Pembebanan Dinamis
Untuk perencanaan, beban lajur akan ditambah besarnya dengan
faktor beban dinamis yang mentransfer Faktor Beban Dinamis (DLA)
yang merupakan fungsi dari panjang bentang ekivalen Faktor beban
dinamis ini diterapkan pada keadaan batas layan (service) dan batas
ultimate. Untuk bentang tunggal pada bentang ekivalen diambil sama
dengan panjang bentang sebenarnya. Untuk bentang menerus panjang
bentang ekivalen diberikan rumus sebagai berikut:
LE = ����. ���� …………………………………………… (2.1)
Keterangan:
Lav = Panjang bentang rata-rata dari kelompok bentang yang
disambung secara menerus.
Lmax = Panjang bentang maksimum dalam kelompok bentang yang
disambung secara menerus.
Gambar 2. 2 - Grafik faktor pembesaran dinamis
(Sumber: SNI 1725:2016)
11
c) Beban Truk (TT)
Beban truk adalah beban suatu kendaraan dengan 3 gandar yang
ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana. Tipe
gandar terdiri dari dua bidang pembebanan yang berperan sebagai
pengaruh roda kendaraan berat. Beban truk tidak dapat digunakan
bersamaan dengan beban lajur. Adapun faktor beban truk yaitu:
Tabel 2. 5 - Faktor beban untuk beban "T"
Tipe beban
Jembatan Faktor beban
Keadaan Batas Layan (ɣS
TT) Keadaan Batas Ultimit
(ɣUTT)
Transien Beton 1,00 1,80
Boks Girder Baja
1,00 2,00
Sumber : SNI 1725:2016
Gambar 2. 3 - Pembebanan truk "T"
(Sumber: SNI 1725:2016)
Pembebanan truk terdiri atas kendaraan truk semi-trailer yang
mempunyai susunan berat gandar seperti dalam Gambar 2.3. Berat tiap
gandar disebarkan menjadi 2 beban merata sama besar yang merupakan
bidang kotak antara roda dan permukaan lantai.
12
d) Gaya Rem (TB)
Gaya rem yang digunakan adalah gaya rem yang paling besar dari:
25% dari berat gandar truk desain atau,
5% dari berat truk rencana ditambah beban lajur terbagi rata
BTR
Gaya rem tersebut harus diletakan pada semua lajur rencana yang
dimuati dan berisi lalu lintas dengan arah yang sama. Gaya ini harus di
perkirakan untuk bekerja secara horizontal pada jarak 1800 mm diatas
permukaan jalan pada masing-masing arah longitudinal dan dipilih yang
paling menentukan.
e) Gaya Sentrifugal (TR)
Menghitung gaya radial atau efek guling dari roda bertujuan sebagai
pengaruh pada beban hidup yang harus diambil sebagai hasil kali dari
berat gandar truk rencana dengan faktor C sebagai berikut:
C = �.��
��� ………………………………………………………… (2.2)
Keterangan:
v = adalah kecepatan rencana jalan raya (m/detik)
f = adalah faktor dengan nilai 4/3 untuk kombinasi beban selain
keadaan batas fatik dan 1,0 untuk keadaan batas fatik
g = adalah percepatan gravitasi: 9,8 (m/detik2)
RI = adalah jari-jari kelengkungan lajur lalu lintas (m)
Kecepatan rencana jalan harus diambil tidak kurang dari nilai yang
telah ditetapkan dalam Perencanaan Geometrik Jalan Bina Marga. Gaya
sentrifugal harus diterapkan secara horizontal pada jarak ketinggian
1800 mm diatas permukaan jalan.
2.2.3 Aksi Lingkungan
Aksi lingkungan yaitu dengan memasukan pengaruh lingkungan
yang paling umum yaitu angin dan gempa.
13
a) Beban angin
Tekanan angina horizontal dapat diasumsikan oleh angin rencana
dengan kecepatan dasar (VB) sebesar 90 sampai 126 km/jam. Beban angin
sendiri harus di asumsikan terdistribusi secara merata pada permukaan
yang terekspos oleh angina. Luas area yang diperhitungkan adalah luas area
dari semua komponen. Arah ini harus divariasikan untuk mendapatkan
pengaruh yang paling berbahaya terhadap struktur jembatan atau
komponennya. Untuk jembatan atau bagian dari jembatan dengan elevasi
lebih tinggi dari 10000 mm diatas permukaan tanah atau permukaan air,
kecepatan angina rencana, VDZ harus dihitung dengan menggunakan
persaman sebagai berikut :
VDZ = 2,5 V0 ����
��� �� (
�
��) ………………………………………… (2.3)
Keterangan :
VDZ = adalah kecepatan angina rencana pada elevasi rencana, Z (km/jam)
V10 = adalah kecepatan angina pada elevasi 10000 mm di atas
permukaan tanah atau di atas permukaan air rencana (km/jam).
VB = adalah kecepatan angina rencana yaitu 90 hinga 126 km/jam pada
elevasi 1000 mm, yang akan menghasilkan tekanan.
Z = adalah elevasi struktur diukur dari permukaan tanah atau dari
Permukaan air dimana beban angin dihitung (Z > 10000 mm).
Vo = adalah kecepatan gesekan angin, yang merupakan karakteristik
metereologi, untuk berbagai macam tipe permukaan di hulu
jembatan (km/jam).
Zo = adalah panjang gesekan di hulu jembatan, yang merupakan
karakteristik metereologi.
V10 dapat diperoleh dari :
Grafik kecepatan angin dasar untuk berbagai periode ulang,
Survei angin pada lokasi jembatan, dan
Jika tidak ada data yang lebih baik, perencana dapat mengasumsikan
bahwa V10 = VB = 90 sampai dengan 126 km/jam.
14
Jika memungkinkan dengan kondisi setempat, perencana dapat
menggunakan kecepatan angin rencana dasar yang berbeda, yaitu dengan
tidak melibatkan kondisi beban angin yang bekerja pada kendaraan. Arah
angin harus diasumsikan horizontal. Tekanan angin rencana dapat
menggunakan persamaan sebagai berikut :
PD = PB(���
��)�
……………………………………………… (2.4)
Keterangan :
PB = adalah tekanan angina dasar seperti yang ditetapkan dalam tabel.
Tabel 2. 6 - Tekanan angin dasar
Komponen bangunan atas
Angin tekan Angin hisap
(Mpa) (Mpa)
Rangka, kolom, dan pelengkung
0,0024 0,0012
Balok 0,0024 N/A
Permukaan datar 0,0019 N/A
Sumber : SNI 1725:2016
Gaya total dari beban angina tidak boleh diambil kurang dari 4,4
kN/mm pada bidang tekan dan 2,2 kN/mm pada bidang hisap pada struktur
rangka dan pelengkung, sedangkan pada balok atau gelagar tidak kurang
dari 4,4 kN/mm.
b) Beban Gempa (EQ)
Jembatan harus direncanakan agar memiliki kemungkinan kecil
untuk mengalami keruntuhan, dan mengalami kerusakan yang signifikan.
Gangguan akibat gempa kemungkinan terlampui 7% dalam 75 tahun.
Beban gempa diambil sebagai gaya horizontal yang ditentukan
berdasarkan perkalian antara koefisien respons elastic (Csm) dengan berat
struktur ekuivalen kemudian di modifikasi dengan faktor respons (R)
dengan rumus sebagai berikut :
EQ = ���
�× ��…………………………………………………… (2.5)
15
Keterangan :
EQ = Gaya gempa horizontal statis (kN)
Csm = Koefisien repon gempa elastic pada mode getar ke-m
R = Faktor modifikasi respon
Wt = Berat total struktur terdiri dari beban mati dan beban hidup yang
sesuai (kN)
Gaya gempa rencana ditentukan dengan cara membagi gaya gema
elastis dengan faktor modifikasi respon (R) sesuai degan tabel berikut :
Tabel 2. 7 - Faktor modifikasi respon (R) untuk bangunan bawah
Bangunan bawah Klasifikasi operasional
Sangat penting Penting Lainnya Pilar tipe dinding 1,5 1,5 2,01 Tiang/kolom beton bertulang Tiang vertikal 1,5 2,01 3,01 Tiang miring 1,5 1,5 2,01 Kolom tunggal 1,5 2,01 3,01 Tiang baja dan komposit Tiang vertikal 1,5 3,5 5,01 Tiang miring 1,5 2,01 3,01 Kolom majemuk 1,5 3,5 5,01
Catatan :
Pilar tipe dindig dapat direncanakan sebagai kolom tunggal dalam arah sumbu lemah pilar Sumber : SNI 2833:2016
Gaya gempa elastis yang bekerja pada struktur jembatan harus
dikombinasikan, sehingga memiliki 2 tinjauan pembebanan yaitu:
100% gaya gempa pada arah x dikombinasikan dengan 30% gaya
gempa pada arah y
100% gaya gempa pada arah y dikombinasikan dengan 30% gaya
gempa pada arah x.
Apabila di gunakan dengan memperhitungkan berbagai arah maka
kombinasi gempa menjadi sebagai berikut :
DL + ɣEQLL + EQx ± 0.3 EQy ………………………….……….. (2.6)
DL + ɣEQLL + EQy ± 0.3 EQx ………………………….……….. (2.7)
16
Keterangan :
DL = Beban mati yang bekerja (kN)
ɣEQ = Faktor beban hidup kondisi gempa
ɣEQ = 0,5 (Jembatan sangat penting)
ɣEQ = 0,3 (Jembatan penting)
ɣEQ = 0 (Jembatan lainnya)
LL = Beban hidup yang bekerja pada arah x
EQX = Beban gempa yang bekerja pada arah x
EQy = Beban gempa yang bekerja pada arah y
2.3 Perencanaan Kerb
Menurut Peraturan Pembebanan Jembatan Jalan Raya (PPJJR 1987), Kerb
harus diperhitungkan untuk dapat menahan suatu beban horizontal kearah
melingtang jembatan sebesar 500 kg/m’, yang bekerja pada puncak kerb atau
ada pada tinggi 25 cm diatas permukaan lantai kendaraan.
2.4 Plat Beton Bertulang
Pelat merupakan struktur bidang permukaan yang lurus dengan tebal jauh
lebih kecil dari dimensi struktur lain disekitarnya. Penentuan jenis pelat
didapat dari perbandingan antara panjang terhadap lebar, yaitu terdiri dari dua
macam:
Apabila perbandingan bentang panjang terhadap bentang pendek
lebih dari 2, � =��
��> 2 maka pelat direncanakan terhadap satu arah.
Jika rasio perbandingan bentang panjang terhadap bentang pendek
kurang atau sama dengan 2, � =��
��≤ 2, maka direncanakan pelat
dengan dua arah.
Perhitungan dari suatu penampang yang terlentur harus memperhitungkan
keseimbangan dari tegangan dan kompatibilitas regangan, serta konsisten
dengan anggapan :
17
a) Bidang rata yang tegak lurus sumbu tetap rata setelah mengalami lentur
b) Beton tidak diperhitungkan dalam memikul tegangan tarik.
c) Distribusi tegangan tekan ditentukan dari hubungan tegangan-tegangan
beton.
d) Regangan batas beton yang tertekan diambil sebesar 0,003.
Hubungan distribusi tegangan tekan beton dan regangan dapat diangap
dipenuhi oleh distribusi tegangan beton persegi ekuivalen, yang diaggap
bahwa tegangan pada beton = 0,85 fc’ terdistribusi merata pada daerah tekan
ekuibalen yang dibatasi oleh tepi tertekan terluar dari penampang dan suatu
garis yang sejajar degan sumbu netrak sejarak a = �� × � dari tepi tertekan
terluar tersebut. Jarak c dari tepi dengan regangan tekan maksimum ke sumbu
netral harus diukur dalam arah tegak lurus sumbu tersebut.
Gambar 2. 4 - Diagram regangan dan tegangan beton bertulang
(Sumber : RSNI T-02-2005)
Faktor beban �� harus diambil sebesar :
Untuk fc’ ≤ 30 Mpa �� = 0,85
Untuk fc’ ≥ 30 Mpa �� = 0,85 − 0,008(��� − 30)
Tetapi �� dalam persamaan tidak boleh diambil kurang dari 0,65
a) Gaya Tekan Beton (C)
Dengan melihat gambar 2.4, gaya beton volume dari balok tegangan
ekuivalen beton. C = 0,85 fc’ab
b) Gaya Tari Baja (T)
Bila baja tarik leleh �� ≥ �� dan fs = fy, sehingga T = As x fy
18
c) Tinggi balok tegangan ekuivalen beton (a)
Harga a didapat dari keseimbangan gaya C = T atau
0,85 x fc’ x a x b = As x fy, sehingga � =��×��
�,������
d) Lengan Momen dalam (Z)
Adalah jarak dari gaya tekan beton ke gaya tarik baja. Bila tinggi
efektif penampang d dan jarak gaya tekan beton ke tepi penampang
tertekan ½ a maka Z = (d - �
�)
e) Momen Nominal Penampang (Mn)
Momen nominal penampang adalah kopel momen yang disebabkan
oleh gaya tarik baja dan gaya tekan beton (gambar 2.4) dimana
Mn = T x Z = As x fy (d – a/2) atau Mn = C x Z = 0,85 fc’ x a x b(d – a/2)
f) Faktor Reduksi Kekuatan (∅)
Berdasarkan SNI T-15-1991-03 bahwa faktor reduksi kekuatan
diambil dari nilai-nilai sebagai berikut :
Lentur = 0,80
Geser dan Torsi = 0,70
Aksi dan Tekan
- Dengan tulangan spiral = 0,70
- Dengan tulangan Sengkang biasa = 0,65
g) Kekuatan Rencan dalam Lentur
Perencanaan kekuatan pada penampang terhadap momen lentur
berdasarkan kekuatan nominal yang dikalikan dengan faktor reduksi
kekuatan (∅).
h) Kekuatan Minimum
Kekuatan nominal dalam lentur pada penampang kritis beton harus
diambil tidak lebih dari 1,2 Mcr (Momen retak), yang dipenuhi oleh suatu
persyaratan tulangan tarik minimum. Untuk pelat lantai satu arah diatas
dua peletakan atau menerus, lebar pelat yang menahan momen lentur
akibat beban terpusat dapat ditentukan sesuai dengan RSNI T-02-2005:
19
Bila beban tidak dekat dengan sisi yang ditumpuL
bef = lebar beban + 2,4 a x (1,0 – ( �∗
��))
a* = Jarak tegak lurus dari tumpuan terdekat ke penampang
yang diperhitungkan
ln = Bentag bersih dari pelat.
Bila beban dekat dengan sisi yang tidak ditumpu, lebar pelat tidak
boleh lebih besar dari harga terkecil berikut ini:
- Harga sama dengan nilai bef, atau
- Setengah dari harga diatas ditamah jarak dari titik pusat
beban ke sisi tidak ditumpu.
i) Tulangan Minimum
Tulangan minimum harus dipasang untuk menahan tegangan tarik
utama sebagai berikut :
Untuk pelat lantai yang ditumpu kolom ��
��=
�,��
��
Pelat lantai yang ditumpu balok atau dinding ��
��=
�,�
��
Pelat telapak ��
��=
�,�
��
Apabila pelat lantai ditumpu seperti hanya dua arah, maka luas
minimumtulangan dalam masing-masing arah harus diambil 2/3 dari
harga-harga di atas. Jika tidak, tulangan yang disebabkan harus dipasang
sesuai dengan pasal penyebaran tulangan untuk pelat lantai.
j) Penyebaran Tulangan Plat
- Tulagan harus dipasang pada bagian bawah dengan arah menyilang
terhadap tulangan pokok
- Kecuali bila analisis yang lebih teliti dilaksanakan, jumlah tulangan
diambil sesuai dengan prosentase dari tulangan pokok yang
diperlukan untuk momen positif sebagai berikut:
i. Tulangan pokok sejajar arah lalu lintas:
Prosentase =��
√� (max 50% min 30%)
20
ii. Tulangan pokok tegak lurus arah lalu lintas
Prosentase =��
√� (max 50% min 30%)
iii. Denga adanya tulangan pokok yang tegak lurus arah lalu
lintas, jumlah penyebaran tulangan dalam seperempat
bentang bagian luar dapat dikurangi dengan maksimum
50%. Prosedur perencanaan tulangan pelat terlentur satu
arah (dimensi pelat sudah diketahui) :
1. Hitung momen terfaktir dengan analisis struktur
Mu
2. Hitung momen nominal, Mn = ��
∅ , dimana
∅ = faktor reduksi kekuatan = 0,80.
3. Tahanan momen nominal �� =��
���
4. Tahanan momen maksimum
�b = �� × 0,85 ×���
��× (
���
������)
�maks = 0,75 × ��
�maks = ����� × �� × (1 −�/������×��
�,�����)
5. Harus dipenuh Rn < Rmaks
6. Rasio tulangan yang dibutuhkan
ρ = �,��×���
��× (1 − �(1 −
� ��
�,�����))
7. Rasio tulangan minimum
ρmin = �,�
��
8. Luas tulangan yang dibutuhkan, As = � × � × �
9. Jarak antara tulangan,
s = �
����
��
�� dimana dt = diameter tulangan
10. Pilihan tulangan susut dan suhu sebagai berikut:
As = 0,0020 bh untuk baja mutu 30
As = 0,0018 bh untuk baja mutu 40
21
As = 0,0018 bh (400/fy) untuk baja mutu lebih
tinggi dari 40, diukur pada regangan leleh sebesar
0,35 dan dalam segala hal tidak boleh kurang dari
As = 0,0014 bh.
11. Tulangan bagi pada arah memanjang jembatan
diambil, Abg = 50% As
2.5 Beton Prategang
Beton prategang adalah beton dengan material yang kuat dengan
memberikan gaya konsentris atau eksentris diberikan dalam arah longitudinal
pada elemen struktural. Hal ini untuk mencegah berkembangnya retak dengan
cara mengeliminasi tegangan tarik di bagian tumpuan dan daerah kritis pada
kondisi beban kerja, sehingga meningkatkan kapasitas geser, lentur, dan torsi
pada penampang tersebut.
Gaya longitudinal tersebut disebut gaya pra tegang, yaitu gaya tekan yang
dapat memberikan pra tegang pada penampang di sepanjang bentang sebelum
bekerjanya beban mati dan beban hidup transversal atau beban hidup
horizontal transien.
2.5.1 Metode Konsep Secara Langsung
Pada metode secara langsung, tegangan serat beton dihitung dari
gaya luar yang bekerja di beton akibat pemberian prategang longitudinal dan
beban luar transversal. Pada saat pemberian prategang awal dan pada saat
beban kerja. Jika Pi adalah gaya prategang awal sebelum terjadinya kehilangan
tegangan dan Pe adalah gaya prategang sesudah kehilangan, sehingga:
ɣ = ��
�� …………………………………………………………….. (2.8)
a) Hanya Gaya Prategang
Dapat didefinisikan sebagai faktor prategang residual. Dengan
mensubsitusikan r2 untuk Ig/Ac dimana r adalah radius girasi penampang.
Dimana Ct dan Cb masing-masing adalah jarak dari pusat berat penampang
(garis cgc) ke serat atas dan bawah, sebagai berikut :
22
ft = −��
��(1 −
���
�� ) ………………………………………….. (2.9)
fb = −��
��(1 +
���
�� )………………………………………….. (2.10)
b) Berat Sendiri ditambah Pemberian Prategang
Jika berat sendiri balok menyebabkan momen Mb di penampang
yang sedang ditinjau dimana St dan Sb masing-masing adalah modulus
penampang untuk serat atas dan bawah,dihitung berdasarkan tegangan pada
saat transfer (kondisi awal) dan servis (kondisi akhir). Maka sebagai berikut:
Tahap Transfer (Kondisi Awal)
ft = −��
���1 −
���
�� � −��
�� ………………………………………….. (2.11)
fb = −��
���1 +
���
�� � +��
��………………………………………….. (2.12)
Gambar 2. 5 - Profil tendon prategang
(Sumber : Beton Prategang, Nawy)
Setelah beban hidup bekerja pada struktur, hal tersebut dapat menimbulkan
momen tambahan Ms. Intensitas penuh beban tersebut biasanya terjadi sesudah
pelaksanaan selesai dan kehilangan prategang yang bergantung pada waktu
yang telah terjadi. Dengan demikian, gaya prategang yang digunakan adalah
gaya prategang efektif Pe, jika momen total akibat beban gravitasi adalah MT
sehingga :
MT = MD + MSD + ML ……………………………………………… (2.13)
23
Keterangan :
MD = Momen akibat berat sendiri
MSD = Momen akibat beban mati tambahan
ML = Momen akibat beban hidup, termasuk gempa
Tahap Servis (Kondisi Akhir)
ft = −��
���1 −
���
�� � −��
�� ………………………………………….. (2.14)
fb = −��
���1 +
���
�� � +��
��………………………………………….. (2.15)
Tegangan tarik pada beton di bagian center yang diizinkan pada
serat terluar penampang tidak boleh melebihi nilai maksimum yang
diizinkan. Apabila terlampaui, maka tulangan nonprategang yang
direncanakan harus digunakan untuk mengontrol retak pada kondisi
beban kerja.
2.5.2 Metode Penyeimbangan Beban
Teknik ini berdasarkan atas penggunaan gaya vertikal pada
tendon prategang draped atau harped untuk melawan atau
mengimbangi pembebanan gravitasi yang dialami suatu balok. Cara
ini dapat digunakan untuk tendon prategang yang tidak lurus.
Gambar 2. 6 - Gaya-gaya penyeimbangan beban (a) Tendon harped (b) Tendon draped
(Sumber: Beton Prategang, Nawy)
Reaksi penyeimbangan beban R sama dengan komponen
vertikal dari gaya prategang. Komponen horizontal dari gaya
prategang, sebagai pendekatan pada balok longitudinal, diambil
sama dengan gaya penuh prategang didalam perhitungan tegangan
24
serat beton di tengah bentang. Pada penampang lainnya, komponen
horizontal aktual dari gaya prategang digunaan.
2.5.3 Metode Line Of Pressure
Didalam konsep ini balok dianalisis degan menganggap
seolah-olah berupa balok elastis dan beton polos, menggunakan
prinsip statika. Gaya prategang dilihat sebagai gaya tekan eksternal,
dengan gaya tari konstan T di tendon di seluruh bentnag. Hal ini
mengakibatkan efek beban gravitasi eksternal dapat diabaikan.
Gambar 2. 7 - Tegangan elastis akibat berbagai pembebanan di balok prategang
(Sumber : Beton Prategang, Nawy)
Pada balok bertulang, T dapat mempunyai nilai terbatas hanya jika
beban transversal dan beban lain bekerja. Lengan momen a pada
dasarnya tetap konstan pada seluruh pembebanan elastis pada balok
25
beton bertulang sedangkan pada balok beton prategang nilai ini berubah
menjadi a = 0 pada saar pemberian prategang hingga mencapai nilai
masimum pada kondisi beban penuh tambahan.
Gambar 2. 8 - Diagram benda bebas untuk mencari garis C (pusat tekanan)
(Sumber : Beton Prategang, Nawy)
Tendon pada gaya T sama dengan gaya prategang Pe dan karena Ic
= Ac . r2 sehingga menjadi sebagai berikut:
ft = −��
���1 +
����
�� � ………………………………………….. (2.16)
fb = −��
���1 −
����
�� �………………………………………….. (2.17)
2.5.4 Jenis Prategang
Pada dasarnya ada dua macam metode yang digunakan dalam pemberian
gaya prategang pada beton, yaitu:
a. Pratarik (Pre-Tension Methode)
Metode ini dilakukan dengan cara baja prategang diberi gaya
prategang terlebih dahulu sebelum dicor. Cara pemberian pratarik pada
umumnya dilakukan pada lokasi pembuatan beton pracetak, dimana
landasan pracetak berupa slab beton bertulang yang panjang dicor di
atas tanah. Pemberian prategang dapat dilakukan dengan memberikan
prategang pada strand secara individual atau semua strand pada satu
operasi pendongkrakan.
26
b. Pascatarik (Post-Tension Methode)
Metode ini dilakukan dimana kabel atau baja prategang ditarik
setelah beton megeras. Pada metode pascatarik dapat dilakukan dengan
du acara yaitu pada strand beton precast atau pada beton cor monolit
sepanjang bentang girder dengan cast in place.
2.5.5 Material Beton Prategang
Daya tahan dan kekuatan dari suatu struktur beton prategang adalah
dua kualitas yang paling penting. Efek jangka panjang dapat dengan
cepat mengurangi gaya-gaya prategang dan dapat menyebabkan
kegagalan yang tidak diinginkan.
a) Baja Prategang
Prategang efektif dapat dicapai dengan menggunakan baja
dengan mutu 270.000 psi atau lebih. Hal ini dikarenakan tingginya
kehilangan rangkak dan susut yang terjadi pada beton. Baja normal
dengan kuat leleh fy = 60.000 psi mempunyai sedikit tegangan
prategang sesudah semua kehilangan prategang terjadi yang
memperjelas kebutuhan pemakaian baja mutu tinggi untuk
komponen struktur beton prategang.
Baja prategang dapat berupa kawat-kawat tunggal, strands
yang terdiri atas beberapa kawat yang dipuntir dan membentuk
elemen tunggal dan batang bermutu tinggi.Mengkuti standar, strands
terbuat dari tujuh kawah dengan cara memuntir enam di antaranya
pada pitch sebesar 12 sampai 16 kali diameter di sekelilig kawat lurus
yang lebih besar. Pelepasa tegangan dilakukan sesudah kawat-kawat
dijalin menjadi strand. Untuk memaksimalkan luas baja strand 7
kawat untuk suatu diameter nominal, kawat standar dapat dibentuk
menjadi strand yang dipadatkan. Besaran geometris kawat dan strand
disrayatkan sebagai berikut:
27
Tabel 2. 8 - Kawat-kawat untuk beton prategang
Kuat tarik minimum
(psi) Tegangan minimum pada
ekstensi 1% (psi) Diameter nominal
(in.) Tipe BA Tipe WA Tipe BA Tipe WA
0,192 250.000 212.500
0,196 240.000 250.000 204.000 212.500
0,2501 240.000 240.000 204.000 204.000
0,276 235.000 235.000 199.750 199.750
Sumber : Nawy, 2001
Tabel 2. 9 -Strand standar tujuh kawat untu beton prategang
Diameter nominal
strand (in.)
Kuat patah stramd (min.ib)
Luas baja nominal
strand (in.2)
Berat nominal strand
(lb/100ft)
Beban minimum pada ekstensi 1%
(lb)
Mutu 250
1/4 (0,250) 9.000 0,036 122 7.650
5/16 (0,313) 14.500 0,058 197 12.300
3/8 (0,375) 20.000 0,08 272 17.000
7/16 (0,438) 27.000 0,108 367 23.000
1/2 (0,500) 36.000 0,144 490 30.600
3/5 (0,600) 54.000 0,216 737 45.900
Mutu 270
3/8 (0,375) 23.000 0,085 290 19.550
7/16 (0,438) 31.000 0,115 390 26.350
1/2 (0,500) 41.300 0,153 520 35.100
3/5 (0,600) 58.600 0,217 740 49.800
Sumber : Nawy, 2001
b) Baja Non Prategang
Penulangan baja untuk beton terdiri atas batang, kawat, dan
jalinan kawat yang dilas. Besaran yang paling penting pada baja
tulangan adalah sebagai berikut:
Modulus Young Es
Kuat leleh fy
Kuat ultimit fu
Notasi mutu baja
Diameter batang atau kawat
28
Untuk meningkatkan lekatan antara beton dan baja, deformasi perlu
digilaskan pada permukaan batang. Deformasi tersebut harus
memenuhi spesifikasi ASTM A616-76, hal ini dimaksudkan agar
batang tersebut dapat dinyatakan sebagai deformed. Kawat berulir
mempunyai indentasi yang ditekan kedalam kawat atau batang agar
berfungsi sebagai deformasi.
Gambar 2. 9 – Macam-macam bentuk dari batang terdeformasi (deformed) sesuai ASTM
(Sumber : Beton Prategang, Nawy)
c) Beton Mutu Tinggi
Beton mutu tinggi menurut ACI 318 adalah yang
mempunyai kuat tekan silinder melebihi 6000 psi (41,4 MPa). Kuat
beton hingga 20.000 psi (138 MPa) saat ini mudah diperoleh dengan
cara menggunakan ukuran agregat batu maksimum 3/8 in (9,5 mm)
dan bahan pengganti sebagian semen. Kekuatan tiggi ini diperoleh
pada kontrol kualitas dan kondisi jaminan kualitas yang amat ketat.
Untuk kekuatan antara 20.000 dan 30.000 psi (138-206 MPa),
material lain harus ditambahkan kedalam campuran.
d) Angkur
Angkur pada sistem prategang terdiri dari angkur hidup dan
angkur mati. Angker mati biasa digunakan dalam prategang dengan
system pratarik, sedangkan angker hidup dilakukan penarikan
kembali jika diperlukan. Angkur sendiri memiliki fungsi untuk
29
menahan gaya prategang eksentrisitas yang besar saar penarikan dan
penjangkaran strand pada ujung balok.
Gambar 2. 10 – Angkur hidup dan angker mati
e) Selongsong Tendon (Duct)
Menurut RSNI T-12-2004 selongsong untuk sistem pasca
tarik harus memenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut:
Selosong untuk tendon baja prategang harus kedap mortar
dan tidak reaktif dengan beton, baja prategang, atau bahan
grouting yang akan digunakan
Selongsong untuk tendon yang akan dilakukan grouting harus
mempunyai diameter setidaknya 6 mm lebih besar dari
diameter tendon.
Selongsong tendon yang akan dilakukan grouting harus
mempunyai luas penampang dalam minimum dua kali luas
dari tendon.
Selongsong harus dikecangkan dengan baik pada jarak-jarak
yang cukup dekat, hal ini dimaksudkan agar mencegah peralihan
selama proses pengecoran beton. Semua lubang atau bukaan pada
selongsong harus diperbaiki sebelum proses pengecoran beton.
30
Gambar 2. 11 – Selongsong (Duct)
f) Tendon
Tendon baja prategang pada umumnya terbuat dari kawat
bawah (wire), batang baja (bar), atau kawat untai (strand). Kualitas
tendon baja prategang harus ditentukan melalui pengujian bila tidak
ada jaminan yang spesifikasi dari pabrik pembuatnya.
g) Penyambung (Coupler)
Penyambung harus dipasang pada daerah yang telah
disetujui dan dipasang sedemikian rupa, sehingga memungkinkan
terjadinya gerakan yang diperlukan. Penyambung harus dapat
mengalirkan gaya yang tidak lebih kecil dari kuat tarik pada batas
elemen yang disambung.
Gambar 2. 12 – Penyambung (coupler)
31
2.6 PC-I Girder
Precast Concrete I Girder (PC-I Girder) merupakan balok girder
berupa beton prategang dimana bentuk penampangnya adalah berupa
penampang I dengan penampang bagian tenngah yang lebih kecil daripada
bagian pinggir. PC-I girder merupakan girder yang memiliki berat sediri
relatif lebih kecil disbanding dengan jenis girder lainnya. Pada
pemasangannya PC-I girder di tumpu oleh pilar dan diperkuat oleh diafragma.
Untuk pekerjaan erection dapat dilakukan dengan pengankatan sendiri atau
dengan menggunakan metode launching.
Gambar 2. 13 – AASHTO PCI I-girder cross section
(sumber : Construction and Design of Prestressed Concrete Segmental Bridges, 1982)
Gambar 2. 14 - PCI-girder
(Sumber : Perhitungan Balok Prategang (PCI-Girder, Ir.M.Noer Ilham,MT)
32
2.7 Kehilangan Prategang
Gaya prategang awal yang diberikan ke elemen beton mengalami
reduksi yang progresif. Dengan demikian,tahapan gaya prategang perlu
ditentukan pada setiap tahap pembebanan, dari tahap transfer gaya prategang
ke beton, sampai ke berbagai tahap prategang yang terjadi pada kondisi beban
kerja, hingga mencapai ultimit. Pada akhirnya, reduksi gaya dapat
dikelompokkan menjadi sebagai berikut (Nawy, 2001) :
Kehilangan elastis segera yang terjadi pada saat proses fabrikasi atau
konstruksi, perpendekan beton secara elastis, karea pengangkeran,
dan akibat gesekan.
Kehilangan yang terjadi tergantung dari waktunya, seperti rangkak,
susut dan kehilangan karena efek temperatur dan relaksi baja, yang
dimana semuanya dapat ditentukan pada kondisi limit tegangan akibat
beban kerja di dalam elemen beton prategang.
2.7.1 Kehilangan akibat Perpendekan Elastis Beton (ES)
Menurut Nawy (2001) beton akan memendek pada saat gaya
prategang bekerja pada beton tersebut. Karena tendon yang melekat
pada beton disekitarnya juga memendek, maka tendon tersebut akan
mengalami kehilangan sebagian dari gaya prategang yang diterimanya.
Kehilangan gaya prategang akibat perpendekan elastis beton, harus
memperhitungkan nilai modulus elastis beton pada saat transfer
tegangan, modulus elastis baja prategang, dan tegangan beton pada
titik berat baja prategang yang diakibatkan oleh gaya prategang dan
beban mati segera setelah transfer. Akibat perpendekan elastis beton
dapat dihitug sebagai berikut :
ES = 0,5 .��
���. ���� …………………………………… (2.18)
33
Keterangan:
0,5 = komponen struktur pasca-tarik
1,0 = komponen struktur pratarik
Es = nilai modulus elastis tendon prategang
Eci = modulus elastis beton pada saat prategang di awal
2.7.2 Kehilangan akibat Rangkak (CR)
Rangkak (creep) deformasi atau aliran akibat tegangan longitudinal
yang dimana aliran pada material tersebut terjadi di sepanjang waktu
apabila ada beban atau tegangan. Kehilangan rangkak hanya terjadi
akibat beban yang terus menerus selama riwayat pembebanan satu
elemen struktural. Menurut rumus komite ACI-ASCE untuk
menghitung kehilangan akibat rangkak adalah sebagai berikut:
∆fpCR = ����(�̅�� − ��̅��) ……………………… (2.19)
Keterangan :
KCR = 2,0 untuk struktur pratarik
= 1,60 untuk struktur pasca tarik
fcs = Tegangan di beton pada level pusat erat baja segera setelah
transfer
fcsd = Tegangan pada beton pada level pusat berat baja akibat
semua beban mati tambahan yang bekerja setelah prategang
n = rasio modulus
2.7.3 Kehilangan akibat Susut (SH)
Susut pada beton dipengaruhi oleh beberapa faktor yang meliputi
proporsi campuran, tipe agregat, tipe semen, waktu perawatan, waktu
antara akhir perawatan eksternal dan pemberian prategang, untuk
komponen struktur dan kondisi lingkungan. Ukuran dan bentuk
komponen struktur juga mempengaruhi susut, sekitar 80% dari susut
yang terjadi pada tahun pertama.
34
Kehilangan prategang akibat susut sedikit lebih kecil karena
sebagian susut telah terjadi sebelum pemberian pascatarik. Rumus
umum untuk menghitung kehilangan prategang akibat susut adalah
sebagai berikut:
∆fpSH = 8,2 × 10��������(1 − 0,06�
�)(100 − ��) ……… (2.20)
Keterangan :
RH = kelembapan relative
V/S = rasio volume per permukaan
KSH = 1,0 (komponen struktur pratarik)
Tabel 2. 10 – Nilai KSH komponen pascatarik
Waktu dari akhir perawatan basah
hingga pemberian prategang
(Hari) 1 3 5 7 10 20 30 60
KSH 0,92 0,85 0,8 0,77 0,73 0,63 0,58 0,45 Sumber : Nawy, 2001
2.7.4 Kehilangan akibat Friksi (F)
Kehilangan prategang yang terjadi pada komponen struktur
pascatarik akibat adanya gesekan antara tendon dan beton dimana
besarnya kehilangan ini disebut dengan efek kelengkungan, dan
deviasi local dalam aliyemen tendon disebut efek wobble. Efek
kelengkungan ditetapkan terlebih dahulu kemudian hasil dari
penyimpangan alinyemen yang tak sengaja atau yang tak dapat
dihindari disebut efek wobble. Kehilangan tegangan friksi maksimum
dapat terjadi pada ujung balok jika pendongkrakan dilakukan dari satu
ujung. Sehingga kehilagan akibat adanya gesekan bervariasi secara
linier di sepanjang bentang balok dan dapat diinterpolasikan untuk
lokasi tertentu. Koefisien gesekan pada tendon pasca-tarik dari
peraturan ACI adalah sebagai berikut :
35
Tabel 2. 11 – Koefisien gesek kelengkungan dan wabble
Jenis Tendon Koefisien Wobble K per
foot
Koefisien Kelengkungan
µ
Tendon di selubung metal fleksibel
Tendon kawat 0,0010 - 0,0015 0,15 - 0,25
Strand 7 kawat 0,0005 - 0,0020 0,15 - 0,25
Batang mutu tinggi 0,0001 0 0,0006 0,08 -0,30
Tendon di seluruh metal yang rigid
Strand 7 kawat 0,0002 0,15 - 0,25
Tendon yang dilapisi mastic
Tendon kawat dan strand 7 kawat 0,0010 - 0,0020 0,05 - 0,15
Tendon yang dilumasi dahulu
Tendon kawat dan strand 7 kawat 0,0003 - 0,0020 0,05 - 0,15
Sumber : Nawy, 2001
Adapun persamaan untuk menghitung kehilangan, adalah sebagai
berikut :
∆fpF = ��(�� + ��)…………………………………. (2.21)
Keterangan :
α = ��
�
Nilai K dan L terdapat pada tabel
2.7.5 Kehilangan akibat Dudukan Angker (A)
Akibat adanya blok-blok pada angker pada saat gaya pendongkrak
ditransfer sehingga mengakibatkan kehilangan pada komponen
struktur pascatarik. Cara mudah untuk mengatasi kehilangan akibat
dudukan angker yaitu dengan memberikan kelebihan tegangan.
Umumnya besar kehilangan antara 6,35 mm dan 9,53 mm untuk
angker dua blok. Besarnya pemberian kelebihan tegangan disesuaikan
dengan kebutuhan yang sesuai dengan system pengangkeran yang
digunakan.
∆fpA = ∆�
����…………………………………. (2.22)
36
Keterangan :
∆A = Besar gelincir
L = Panjang tendon
EpS = Modulus kawat prategang
2.7.6 Kehilangan Gaya akibat Relaksasi Baja (RE)
Menurut Rizkia, dkk (2017) relaksasi dapat diartikan sebagai
kehilangan dari tegangan tendon secara perlahan seiring dengan waktu
dan besarnya gaya prategang yang diberikan dibawah regangan yang
konstan. Akibat relaksasi baja dapat dihitung menggunakan rumus
sebagai berikut:
∆fRE = [��� − �. (∆��� + ∆��� + ∆���)]. �…...…….. (2.23)
Keterangan :
∆fRE = Kehilangan tegangan akibat relaksasi baja prategang
C = Faktor relaksasi yang besarnya tergantung pada jenis
kawat/baja prategang
Kre = Koefisien relaksasi, berkisar antara 41 – 138 N/mm2
J = Faktor waktu, berkisar antara 0,05 – 0,15
∆fSH = Kehilangan tegangan akibat penyusutan beton
∆fCR = Kehilangan tegangan akibat rangkak (creep) beton
∆fES = Kehilangan tegangan akibat perpendekan elastis
2.8 Lintasan Tendon
Daerah sepanjang jembatan dimana titik berat dari kabel prategang
melintasi dengan membentuk lintasan lurus, lintasan dengan menaikkan kabel
prategang secara mendadak dari tengah bentang dan lintasannya naik secara
perlahan membentuk parabolik. Lintasan tendon parabolik dapat ditentukan
melalui titik kordinat dengan persamaan sebagai berikut:
37
Gambar 2. 15 – Layout Tendon Paraboik
(Sumber : Perhitungan Box Girder Beton Presstree, Ir.M.Noer Ilham, MT)
Yi = 4 × � ×�
�� × (� − �)…………………………………… (2.23)
Keteranngan :
Yi = Kordinat tendon yang ditinjau
Xi = Absis tendon yang ditinjau
L = Panjang bentang
f = es = tinggi parabola maksimum
2.9 Daerah Aman Tendon
Eksentrisitas tendon yang didesain diharapkan sedemikian, sehingga
tarik yang terjadi pada serat ekstrim balok hanya terbatas atau tidak ada sama
sekali di penampang yang menentukan dalam desain. Daerah aman tendon
digunakan untuk membatasi eksentrisitas pada balok sederhana. Hal ini perlu
ditetapkan untuk mengetahui apakah tarik diperkenankan dalam desain untuk
membatasi ordinat maksimum dan minimum dari selubung atas dan bawah
relatif terhadap kern atas dan bawah.
Gambar 2. 16 – Batas-batas selubung cgs
(Sumber : Beton Prategang, Nawy)
Jika MD adalah momen akibat beban mati dan MT adalah momen
total akibat semua beban transversal maka lengan dari kopel antara garis
tekan pusat (garis C) dan pusat dari garis tendon prategang (garis cgc) akibat
38
MD dan MT masing-masing adalah amin dan amax seperti pada gambar diatas
(Nawy, 2001). Selubung lengan cgs bawah. Lengan minimum dari kopel
adalah sebagai beriku:
amin = ��
�� …………………………………………… (2.24)
Jarak maksimum dibawah kern bawah di mana garis cgc ditentukan
sedemikian hingga garis C tidak terletak di bawah garis kern bawah, sehingga
mencegah terjadinya tegangan tarik di serat ekstrim bawah. Sehingga
ekestrisitas atas yang membatasi dalam didefinisikan dengan persamaan
berikut:
et = (���� + ��) …………………………………. (2.25)
Keterangan :
Kb = ��
��
r2 = adalah kuadrat jari-jari girasi
Ct = adalah jarak titik pusat balok terhadap garis terluar balok sebelah
atas
Selubung cgs atas. Lengan maksimum dari kopel tendon adalah:
amax = ��
�� …………………………………………… (2.26)
Jarak maksimum dibawah kern atas di mana garis cgc ditentukan
sedemikian hingga garis C tidak terletak di atas kern atas, sehingga mencegah
terjadinya tegangan tarik di serat ekstrim bawah. Sehingga ekestrisitas atas
yang membatasi dalam didefinisikan dengan persamaan berikut:
et = (����� − ��) …………………………………. (2.27)
Keterangan :
Kt = ��
��
r2 = adalah kuadrat jari-jari girasi
Cb = adalah jarak titik pusat balok terhadap garis terluar balok sebelah
atas
39
Gambar 2. 17 – Daerah aman kabel
(Sumber : Beton Prategang, Nawy)
2.10 Balok Ujung
Menurut Nawy (2001) dalam bukunya, pemusatan tegangan tekan
yang besar dalam arah longitudinal terjadi pada penampag tumpuan pada
segmen kecil di muka ujung balok, pada balok pratarik maupun balok
pascatarik, akibat dari gaya prategang yang besar.
Pada balok pratarik, transfer beban yang terpusat dari gaya
prategang menuju beton di sekitarnya secara gradual terjadi pada seluruh
panjang lt dari muka penampag tumpuan sampai pada dasarnya menjadi
seragam. Sedangkan pada balok pascatarik, transfer dan distribusi beban
secara gradual tidak mungkin terjadi karena gayanya bekerja secara langsug
pada muka ujung balok melalui plat tumpu dan angker. Peningkatan luas
penampang tidak bisa mencegah retak spalling atau bursting, dan tidak
mempunyai pengaruh pada pengurangan tarik transversal pada beton.
Dibawah ini merupakan ilustrasi gambar untuk zona angker tendon terlekat:
Gambar 2. 18 – Transisi menuju daerah solid di tumpuan
(Sumber : Beton Prategang, Nawy)
40
Gambar 2. 19 – Zona ujung dan retak spalling
(Sumber : Beton Prategang, Nawy)
Dengan demikian, perkuatan pengangkeran sangat dibutuhkan pada
daerah transfer beban dalam bentuk tulangan tertutup, Sengkang, dan alat-alat
pejangkaran yang menutupi semua prategang utama dan penulangan
longitudinal non prategang. Dalam hal balok pascatarik, perkuatan vertikal
perlu dibuat untuk mengekang kait pada posisi dekat muka ujung pada
belakang plat tumpuan.
2.11 Tulangan Geser
Kekuatan beton dalam menahan tarik jauh lebih kecil dari pada
kekuatannya terhadap tekan, maka desain untuk geser menjadi hal yang
penting pada semua jenis beton. Tulangan geser memiliki fungsi untuk
mencegah terjadinya retak diagonal pada komponen struktur prategang yang
dapat gagal secara tiba-tiba tanpa adanya peringatan sebelumnya yang
memadai, dan retak diagonal yang terjadi jauh lebih besar daripada retak pada
lentur. Umumnya tulangan geser memiliki beberapa fungsi yaitu:
Memikul sebagian gaya geser terfaktor eksternal Vu
Membatasi perambatan retak diagonal
Menahan posisi batang tulangan utama longitudinal agar dapat
memberikan pengekangan terhadap beton pada daerah tekan jika
sengkak yang digunakan adalah tipe Sengkang tertutup.
41
Adapun persamaan yang digunakan dalam menentukan kuat geser
lentur (Vci) dan kondisi retak geser bagian badan (Vcw) adalah sebagai
berikut:
Vci = ��
������ × �� × ��� + �� +
��
�����(���)………………. (2.28)
Vcw = �0,3����� + ����� × �� × �� + ��…………………..…. (2.29)
Jarak antar Sengkang dapat dihitung menggunakan persamaan
sebagai berikut:
s = �����
���
∅����
=��∅���
���∅�� ………………………………..(2.30)
Keterangan :
f’c = kuat tekan beton
bw = lebar badan (web)
dp = jarak dari serat terluar ke titik berat tulangan prategang
Vd = gaya geser pada penampang akibat beban mati
Vi = gaya geser terfaktor pada penampang akibat beban luar
Mmax = momen maksimum terfaktor pada penampang
2.12 Lendutan Pada Jembatan
Akibat dari adanya eksentrisitas pada kabel prategang, elemen balok
prategang pada umumnya melengkung ke atas pada saat momen luar yang
bekerja masih kecil. Defleksi keatas ini disebut camber, nilai pada camber
dapat membesar ataupun mengecil dengan bertambahnya waktu. Sedangkan
beban luar yang bekerja akan menyebabkan defleksi kebawah pada balok
prategang. Besarnya lendutan dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut:
Lendutan camber akibat prategang:
a = −�����
���� ………………………………….. (2.31)
Lendutan akibat beban mati dan hidup merata:
∆ = ����
����� ……………………………………. (2.32)