bab ii tinjauan pustakarepository.ump.ac.id/10098/3/bab ii_daryanto.pdf · 2020. 9. 12. · 8 bab...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Tebu
2.1.1 Deskripsi Tanaman Tebu
Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman suku Graminae yang
banyak dimanfaatkan sebagai tanaman penghasil gula karena pada batang terdapat
banyak cairannya dan memiliki rasa manis ( Steenis, 1987). Batang tebu berdiri
lurus dan beruas-ruas yang dibatasi oleh buku. Setiap buku terdapat mata tunas
yang mampu tumbuh menjadi individu baru (Gambar 2.1). Diameter batang tebu
berkisar antara 3-5 cm dengan tinggi batang antara 2-5 m (Indrawanto et al.,
2010). Pada setiap buku juga terdapat akar primordial serta daun yang menempel.
Daun tebu berupa pita dengan tulang daun sejajar, berpelepah dan tidak
bertangkai. Duduk daun berseling antara kanan dan kiri pada batang (Indrawanto
et al., 2010).
Gambar 2.1. Batang tanaman tebu (Shandu, et al.,1993).
Seperti halnya tanaman menahun yang lain, tebu memiliki akar serabut yang
tumbuh dari setiap buku terutama pada bagian pangkal batang (Gambar 2.2).
Akar tebu dapat mencapai panjang 3-6 m dan mampu menembus tanah dengan
Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017
9
kedalaman sekitar 4 m (James, 2004). Tebu memiliki bunga berupa malai panjang
antara 50-80 cm, pada setiap helaian bunga terdapat benang sari, putik, dan juga
bakal biji (Indrawanto et al., 2010). Malai bunga tebu dapat tersusun atas bunga
kecil yang jumlahnya dapat mencapai 25 ribu (James, 2004). Masing-masing
bunga memiliki satu biji dengan besar lembaga 1/3 panjang biji (Shandu, et
al.,1993). Bunga mulai tumbuh pada tebu yang telah berusia lebih dari 12 bulan
(Insan, 2010). Pada umumnya bunga tebu akan mengalami penyerbukan secara
alami dengan bantuan angin. Setelah terjadi penyerbukan, tebu membutuhkan
waktu 21-25 hari untuk mencapai kematangan biji (James, 2004). Biji tebu
berwarna coklat kekuningan dengan ukuran sekitar 1 mm. Pada umumnya, biji
tebu berkecambah setelah 2-8 hari setelah tanam dan benih tebu siap dipindahkan
ke lahan setelah 6 minggu kemudian (James, 2004).
Gambar 2.2. (A) Akar pada tanaman tebu, (B) Tanaman Tebu (Shandu, et al.,
1993).
2.1.2 Ekologi Tebu
Tanaman tebu merupakan tanaman yang dapat tumbuh dengan baik di
daerah tropik dan sub tropik (Indrawanto et al., 2010). Tanaman tebu dapat
tumbuh optimum pada daerah dengan ketinggian yang tidak melebihi 500 m di
atas permukaan laut, kemiringan tanah tidak lebih dari 8°, temperatur udara
A B
Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017
10
berkisar antara 24-34 °C, serta curah hujan antara 1.000 – 1.300 mm per tahun
dengan sekurang-kurangnya 3 bulan kering. Tanah yang cocok untuk lokasi
budidaya tebu adalah tanah yang gembur dengan aerasi udara yang baik dan
kondisi pH berkisar antara 6 - 7,5 (Indrawanto et al., 2010).
2.1.3 Varietas Tebu di Indonesia
Indonesia banyak memiliki varietas tebu yang diperkirakan mencapai sekitar
29 varietas (Anonim, 2018). Varietas-varietas tersebut pada umumnya
digolongkan menjadi 3 kelompok berdasarkan waktu kemasakannya, yaitu
varietas genjah, varietas sedang dan varietas dalam. Tebu yang tergolong varietas
genjah (masak awal) memiliki umur masak optimal sekitar 8-10 bulan setelah
tanam. Salah satu varietas unggul yang tergolong masak awal adalah varietas
Pasuruan 865 (PS 865). Tebu varietas sedang (masak tengah) memiliki masak
optimal pada umur 10-12 bulan misalnya varietas PS 864 dan Bululawang (BL).
Sedangkan tebu varietas dalam (masak lambat) menunjukkan umur masak
optimum sekitar 12 – 14 bulan setelah tanam misalnya varietas PS 951
(Indrawanto et al., 2010).
Setiap golongan varietas, terdapat varietas yang diunggulkan dibandingkan
dengan varietas-varietas yang lain, misalnya memiliki kadar gula yang tinggi,
tahan terhadap serangan penyakit, tahan kering ataupun keunggulan yang lain.
Varietas tebu yang unggul berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan kemudian
ditetapkan sebagai varietas unggul melalui melalui sidang tim penetapan varietas
dan dibuatkan surat keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia (Tabel 2.1).
Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017
11
Tabel 2.1 Beberapa contoh varietas tebu yang termasuk sebagai varietas unggul
(Indrawanto et al., 2010).
Salah satu varietas tebu yang memiliki banyak keunggulan dan paling
banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia adalah varietas Bululawang (BL)
yang mencapai 53% (Anonim, 2016). Varietas tersebut memiliki batang silindris
dengan penampang bulat dan warna batang coklat kemerahan, memiliki daun
berwarna hijau kekuningan yang panjang dan melebar, serta mata tunas berada
pada bekas pangkal pelepah dengan bentuk segitiga. Keunggulan di bidang
produksi tebu dan produksi hablur pada varietas BL menjadikan varietas tersebut
sebagai varietas unggul. Varietas BL memiliki potensi produksi tebu mencapai
94,3 ton per hektar dan hablur gula 6,9 ton per hektar. Varietas tersebut juga tahan
terhadap penyakit luka api dan penyakit mosaik yang banyak menyerang tanaman
tebu pada umumnya. Namun demikian varietas tersebut memiliki randemen
(kadar gula) yang cukup rendah yaitu sekitar 7,51 %. Selain randemen yang
rendah, kemampuan tunas untuk tumbuh pada saat digunakan untuk benih juga
relatif rendah sehingga ketersediaan benih tebu BL di lapangan relatif kurang (SK
Nomor : 322/Kpts/SR.120/5/2004).
Varietas Sifat Masak SK Menteri Pertania
PS 865 Awal 342/Kpts/SR.120/3/2008
Kidang Kencana Tengah 334/Kpts/SR. 120/3/2008
Bululawang Tengah 322/Kpts/SR.120/5/2004
PS 951 Lambat 52/Kpts/SR.120/1/2004
Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017
12
2.2 Produksi Tebu di Indonesia dan Permasalahannya
Indonesia merupakan salah satu negara dengan perkebunan tebu yang cukup
luas mencapai 472 ribu hektar pada tahun 2016 dan menempati peringkat ke 8
untuk luas perkebunan tebu dari seluruh negara di dunia (FAO, 2018). Jumlah
tersebut hampir 20 kali lebih rendah dibandingkan dengan luas perkebunan tebu di
Brazil. Brazil merupakan negara dengan perkebunan tebu terluas di dunia dengan
luas perkebunan mencapai 10,2 juta hektar sedangkan India menempati posisi ke
dua dengan luas perkebunan tebu sekitar 4,9 juta hektar (FAO, 2018). Perkebunan
tebu di Indonesia tersebar di beberapa provinsi utama seperti Jawa Timur (48%),
Lampung (28%), dan Jawa Tengah (10%). Perkebunan tebu juga dapat ditemukan
di 6 provinsi yang lain diantaranya, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi
Selatan, Sumatera Utara, Gorontalo, dan DI Yogyakarta (Pusat Data dan
Informasi Pertanian, 2016)
Luas perkebunan tebu di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun
ke tahun. Pada tahun 1970, luas perkebunan tebu di Indonesia hanya sekitar 120
ribu hektar sedangkan pada tahun 2016, luas perkebunan tebu di Indonesia
meningkat hampir 4 kali lipat mencapai sekitar 445 ribu hektar (Anonim, 2017).
Namun demikian, perkebunan tebu yang relatif luas tidak diikuti dengan
tingginya produktivitas perkebunan tebu di Indonesia. Setiap hektarnya,
perkebunan tebu di Indonesia hanya mampu menghasilkan sekitar 5,7 ton tebu per
tahun (FAO, 2018). Nilai produktivitas perkebunan tebu tersebut masih jauh lebih
rendah bila dibandingkan dengan negara lain seperti Guatemala yang
Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017
13
poduktivitasnya mampu mencapai 12,9 ton per hektar. Hal tersebut menempatkan
Indonesia sebagai negara urutan ke-52 dalah hal produktivitas perkebunan tebu.
Salah satu akibat rendahnya produktivitas perkebunan tebu di Indonesia
adalah rendahnya produksi gula yang dihasilkan setiap tahunnya. Pada tahun
2016, Indonesia hanya mampu menghasilkan gula sekitar 2,7 juta ton per tahun
(FAO, 2018). Jumlah produksi tersebut masih belum mencukupi seluruh
kebutuhan gula nasional yang mencapai 5,9 Juta ton per tahun. Akibatnya, sejak
tahun 1972 sampai sekarang, Indonesia telah mengimpor gula dari negara lain
seperti Thailand, Australia, dan India. Bahkan impor gula tersebut cenderung
meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1990, Indonesia mengimpor gula
sebanyak 280 ribu ton atau setara dengan sekitar 123 ribu US$, sedangkan pada
tahun 2016 import gula di Indonesia mencapai sekitar 3,4 Juta ton atau setara
dengan sekitar 1,3 juta US$ (Anonim, 2017).
Beberapa upaya dilakukan untuk meningkatkan produktivitas perkebunan
tebu di Indonesia, seperti penyiapan lahan yang sesuai, teknik penanaman tebu
yang benar, pemupukan yang tepat, pengendalian hama dan penyakit, maupun
penggunaan benih tebu yang berkualitas dari varietas unggul (Indrawanto et al.,
2010).
2.3 Benih tebu di Indonesia dan Permasalahannya
Penyediaan benih tebu di Indonesia dapat dilakukan secara generatif
maupun vegetatif. Perbanyakan tebu secara generatif dilakukan menggunakan biji
yang dikecambahkan. Perbanyakan tebu secra generatif umumnya hanya
dilakukan untuk pemuliaan tanaman saja. Meskipun benih tebu yang dihasilkan
Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017
14
dari biji mampu menghasilkan tanaman tebu dengan tegakkan yang baik (Anonim,
2014) namun dalam perbanyakan benih tebu tersebut diperlukan biji dalam jumlah
yang tinggi (Meihana dan Muhadi, 2015)
Umumnya tebu diperbanyak dengan cara vegetatif, yaitu dengan cara stek
batang yang terdiri atas 2-3 mata tunas ditanam pada lubang tanam dengan
kedalaman 30-40 cm dan ditutup dengan tanah (Indrawanto et al., 2010). Dengan
sistem yang biasanya dinamakan sistem bagal tersebut, produksi benih tebu
memiliki banyak keuntungan seperti mudah dan murah dilakukan, tidak
memerlukan perlengkapan khusus, serta tidak membutuhkan tenaga kerja terampil
untuk melakukannya (Sukmadjaja dan Mulyana, 2011). Namun demikian, sistem
tersebut memiliki beberapa kekurangan seperti dibutuhkannya batang tebu dalam
jumlah yang banyak, 1 hektar lahan membutuhkan sekitar 8 ton batang tebu
(Indrawanto et al., 2010). Disamping itu, sistem bagal mengakibatkan penularan
penyakit termasuk virus kepada tanaman yang dihasilkan sehingga kualitas tebu
yang dibudidayakan semakin menurun (Azizi et al., 2017).
Alternatif lain yang dapat dilakukan untuk memperoleh benih tebu
berkualitas adalah dengan melakukan pembenihan tebu mata tunas tunggal yang
juga disebut teknik bud chip. Teknik tersebut dilakukan dengan cara mata tunas
diisolasi kemudian diberi perlakuan air panas (hot water treatment, HWT) pada
suhu sekitar 50°C selama 30 menit. Mata tunas kemudian dipelihara selama 15
hari sebelum digunakan sebagai benih di lapangan (Prasetyo, 2014). Benih yang
dihasilkan dengan teknik tersebut terbukti mampu menghasilkan anakan yang
lebih banyak dibandingkan dengan bibit bagal. Setiap mata tunas dari yang
dihasilkan dari teknik bud chip mampu menghasilkan hingga 10 anakan
Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017
15
dibandingkan dengan hanya sekitar 5 anakan dari setiap tunas yang ditanam
dengan sistem bagal (Saini, et al., 2012). Benih yang berasal dari teknik bud chip
dapat lebih unggul daripada penggunaan teknik bagal karena perlakuan HWT
yang dilakukan dapat memecahkan dormansi pada benih tebu serta meminimalisir
adanya jamur yang dapat menghambat petumbuhan tebu (Prasetyo, 2015). Selain
itu, Produktivitas yang dihasilkan dari perkebunan tebu yang dilakukan melalui
teknik pembenihan bud chip terbukti dapat ditingkatkan dari produktivitas gula
yang awalnya 119 ton tebu / ha menjadi 151 ton tebu / ha (Zainuddin dan
Wibowo, 2017).
Walaupun penggunaan teknik bud chip mampu meningkatkan produktivitas
perkebunan tebu, namun demikian penggunaan teknik bud chip masih belum
mampu mengoptimalkan produktivitas perkebunan tebu di Indonesia. Kendala
utama dalam mengaplikaskan teknik bud chip adalah dibutuhkannya mata tunas
dalam jumlah banyak untuk produksi benih dalam skala besar. Untuk
menyediakan benih tebu skala 1 hektar dibutuhkan sekitar 32 ribu batang atau
setara dengan 6-8 ton batang tebu (Khalid et al., 2015). Selain itu pengunaan
teknik bud chip tidak dapat menghilangkan penyakit pada tanaman tebu yang
berupa virus (Chatenet et al., 2001).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mendapatkan benih tebu yang
bebas penyakit termasuk virus adalah dengan pembenihan tebu melalui teknik
kultur jaringan khususnya kultur meristem (Fitch et al., 2001). Dengan
penggunaan teknik tersebut, produksi benih dalam jumlah masal serta berkualitas
termasuk bebas virus dan penyakit lainnya dapat dilakukan secara efisien. Teknik
kultur meristem telah terbukti mampu digunakan untuk memproduksi benih yang
Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017
16
bebas penyakit termasuk virus yang hidup pada jaringan tersebut (Fitch et al.,
2001). Teknik kultur meristem terbukti mampu menghasilkan benih yang bebas
penyakit maupun virus seperti virus SCYLV yang telah terbukti dapat dihilangkan
hingga 100 % (Fitch, et al, 2001) dan juga beberapa virus tanaman tebu lainya
seperti SCMV hingga 61 %, SrMV hingga 33 %, SCSMV hingga 56 %, and FDV
hingga 52 % (Cheong et al., 2012).Dengan penggunaan benih tebu yang bebas
virus, produktivitas tebu terbukti dapat ditingkatkan (Wekesa et al., 2015).
2.4 Perkembangan Penelitian Kultur meristem Tebu
Penelitian kultur jaringan tebu telah banyak dilakukan di Indonesia (Tabel
2.2). Sebagian besar penelitian menggunakan eksplan pucuk dengan tingkat
keberhasilan yang relatif tinggi (85 – 100 %), baik untuk induksi kalus, induksi
tunas, induksi akar maupun tahap aklimatisasi (Sukmadjaja dan Mulyana, 2011;
Sukmadjaja, et al. 2014). Penggunaan eksplan berupa daun menggulung juga
banyak dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilannya relatif
tinggi (80 – 100 %) seperti halnya penelitian yang menggunakan eksplan pucuk
(Suhesti, et al., 2015; Fiah, et al., 2014). Varietas yang dperbanyak dengan
menggunakan kultur jaringan juga bervariasi meliputi BL, PS 951 (Sukmadjaja
dan Mulyana, 2011), PS 864, PS 881 (Sukmadjaja, et al. 2014; Fiah, et al., 2014),
Kidang kencana, PSJT 941 (Suhesti, et al., 2015). Seluruh medium dasar yang
digunakan, baik untuk induksi kalus, induksi tunas maupun induksi akar
menggunakan medium dasar MS (Murashige dan Skoog, 1962). Ke dalam
medium dasar ditambahkan zat pengatur tumbuh (ZPT) yang bervariasi
tergantung tahap kultur jaringan. Mayoritas penelitian menggunakan 2,4-
diklorofenoksi asetat (2,4-D) untuk menginduksi kalus (Sukmadjaja dan Mulyana,
Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017
17
2011; Suhesti, et al., 2015; Fiah, et al., 2014), sedangkan untuk menginduksi
tunas ditambahkan 6-benzilamino purin (BAP) (Sukmadjaja dan Mulyana, 2011;
Sukmadjaja, et al. 2014; Suhesti, et al., 2015) Induksi akar dilakukan dengan cara
memindahkan tunas ke dalam medium MS dengan penambahan IBA maupun
tanpa ZPT (Sukmadjaja dan Mulyana, 2011; Sukmadjaja et al., 2014; Suhesti, et
al., 2015).
Tabel 2.2. Perkembangan Kultur jaringan Tebu di Indonesia
Keterangan :
IK : Induksi Kalus
IT : Induksi Tunas
IA : Induksi Akar
A : Aklimatisasi
H : Hari
TAD : Tidak Ada Data
IK IT IA IK IT IA A
BL
0,01 µM
2.4-D +
0,001 µM
BAP +
CH 2000
mg/l,
(tanpa
ZPT)
0,005 µM
IBA
100 %
(9H)88% 92% 90-100%
PS 951
0,005 µM
2.4-D +
0,001 µM
BAP
1 mg/l
BAP + 1
mg/l
kinetin +
0,5 mg/l
NAA +
0,5 mg/l
GA3
0,005 µM
IBA
100%
(13H)86% 88% 90-100%
PS 8640,5 mg
BAP
0,005 µM
IBA14 H 100% 95%
PS 8810,5 mg
BAP
0,005 µM
IBA14 H 100% 88%
Kidang
Kencana
9 µM 2,4
D + 4,5
µM
Picloram
2,46 µM
IBA +
1,33µM
BAP
(tanpa
ZPT)
98 %
(14H)85% 87% 80-100%
PSJT 941
9 µM 2,4
D + 4,5
µM
Picloram
2,46 µM
IBA +
1,33µM
BAP
2,46 µM
IBA +
1,33µM
BAP
100 %
(15H)82% 80% 80-100%
PS 862 100% 44 tunas
PS 864 100% 30 tunas
PS 881 100% 35 tunas
Sukmadjaja
dan Mulyana,
2011
Pucuk
Sukmadjaja,
et al . 2014
Fiah, et
al., 2014
Jenis
eksplanVarietas
Medium
DasarPustaka
Daun
mengulung
ZPT Hasil
MS
MS
MS TAD TAD
MS0,005 µM
2,4-D
0,001 µM
IAA +
0,001 µM
IBA + 2,0
mg/l
kinetin
TAD TADTAD
Suhesti, et
al ., 2015
Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017
18
Meskipun kultur jaringan tebu telah banyak dikembangkan di Indonesia,
namun perkembangan teknik kultur mersitem tebu untuk menghasilkan benih
bebas penyakit termasuk virus belum banyak dilakukan di Indonesia (Tabel 2.3).
Azizi et al.,(2017) telah berhasil menginduksi tunas dari jaringan meristem tebu
dengan tingkat keberhasilan mencapai 100%. Varietas tebu yang digunakan pada
penelitian tersebut meliputi PS 881, PS 865 dan GMP 3. Namun demikian, tahap
induksi akar dan aklimatisasi belum dilaporkan.
Di negara lain, upaya produksi benih tebu melalui kultur meristem telah
banyak dilaporkan (Tabel 2.3). Fitch, et al., (2001) berhasil melakukan kultur
meristem tebu dengan varietas H 62-4671, H 65-7052, H 73-6110, H 77-4643,
dan H 87-4094 melalui induksi kalus dengan keberhasilan mencapai 50 % dan
keberhasilan induksi tunas berkisar antara 55-87%. Cheong, et al. (2012)
melaporkan keberhasilan kultur pembentukan kalus dan berhasil menumbuhkan
tunas dalam waktu 7 hari. Namun demikian pada kedua penelitian tersebut juga
belum dilaporkan tingkat keberhasilan induksi akar dan aklimatisasinya.
Salah satu keunggulan dari kultur meristem tebu yang dilakukan Fitch, et
al., (2001) maupun Cheong, et al., (2012) adalah dihasilkannya benih tebu yang
bebas virus. Fitch, et al.,(2001) berhasil membuat benih tebu bebas virus sugar
cane yellow leaf virus (SCYLV) pada lima varietas tebu (H 62-4671, H 65-7052,
H 73-6110, H 77-4643, dan H 87-4094) dengan menggunakan teknik kultur
meristem. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Cheong et al. 2012 yang berhasil
memproduksi benih tebu bebas virus sugarcane streak mosaic virus (SCSMV).
Meskipun demikian beberapa jenis virus tertentu seperti sorghum mosaic virus
Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017
19
(SrMV) belum berhasil dihilangkan seluruhnya dari benih tebu dengan
menggunakan teknik kultur meristem.
Tabel 2.3. Perkembangan Kultur meristem tebu di dunia sebagai upaya
penyediaan benih tebu bebas virus
Keterangan :
IK : Induksi Kalus
IT : Induksi Tunas
IA : Induksi Akar
A : Aklimatisasi
H : Hari
TAD : Tidak Ada Data
Secara umum, tahapan produksi benih tebu melalui kultur meristem dapat
dilakukan dengan 4 tahapan (Fitch, et al.,), yaitu tahap induksi kalus (IK) yang
berasal dari jaringan meristem, tahap induksi dan multiplikasi tunas (IT), tahap
induksi akar (IA), dan tahap aklimatisasi (A). Sebelum tahap IK dilakukan
tahapan sterilisasi eksplan dan isolasi meristem. Cheong, et al. (2012) melaporkan
bahwa sterilisasi eksplan tebu dilakukan dengan cara memotong bagian pucuk
IK IT IK IT IA A
PS 881 100% TAD TAD
PS 865 100% TAD TAD
GMP 3 100% TAD TAD
H 62-4671
H 65-7052
CP 65-127
H 73-6110
H 77-4643
H 87-4094
TAD MS TAD
0,2 µM BAP +
0,2 µM Kinetin
+ 0,02 µM GA3
+ 0,02 µM NAA
TAD 7H TAD TADCheong, et al.,
2012
VarietasMedium
Dasar
ZPT HasilPustaka
MSAzizi, et al.,
2017TAD
00,1 µM BAP
+ 0,02 µM
IBA+ 300 mg/l
Fitch, et al .,
2001TAD TADMS
0,01 µM 2,4-
D + 0,08 µM
BAP
(Tanpa ZPT) 50% 55-87%
Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017
20
yang disterilkan dengan alkohol 70 %, kemudian dilakukan isolasi jaringan
meristem (<1 mm) menggunakan mikroskop stereo.
Tahap IK dilakukan dengan cara jaringan meristem yang berhasil diisolasi
ditanam pada medium dasar MS dengan penambahan 0,01 µM 2,4 D yang
dikombinasikan dengan 0,08 µM BAP. Metode tersebut, kalus muncul setelah 2
minggu kultur di tempat gelap dengan tingkat keberhasilan mencapai 50 % (Fitch,
et al., 2001).
Tahap induksi tunas dilakukan dengan cara memindahkan kalus pada
medium dasar MS dengan penambahan BAP 0,01 µM dan 0,002 µM IBA. Tunas
berhasil diinduksi dengan tingkat keberhasilan mencapai 92 % dengan rata-rata
tinggi tunas 6,2 cm (Behera dan Sahoo, 2009). Medium yang sama juga dapat
digunakan untuk multiplikasi tunas guna menggandakan jumlah tunas yang
dihasilkan. Pada umumnya subkultur dilakukan setiap 2 minggu (Cheong et al.,
2012) dan tunas yang dihasilkan bermultiplikasi sampai 4 tunas dari setiap tunas
yang ditanam (Azizi et al., 2017).
Tahap induksi akar dilakukan dengan cara memindahkan kelompok tunas
dengan tinggi 1,75 – 2 cm pada medium induksi akar (IA; Sukmadjaja dan
Mulyana, 2011). Medium IA yang digunakan berupa medium dasar MS dengan
konsentrasi setengahnya serta penambahan 0,001 µM NAA (Behera dan Sahoo,
2009). Setelah 8-10 hari kultur, tingkat keberhasilan induksi akar tebu mencapai
sekitar 85 % (Behera dan Sahoo, 2009).
Tahapan aklimatisasi tebu dilakukan dengan menanam plantet pada ruang
kaca dengan komposisi medium berupa tanah, pupuk kandang, dan pasir dengan
Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017
21
perbandingan 2:1:1 yang dilakukan selama 30 hari (Behera dan Sahoo, 2009).
Pada umumnya plantet yang paling baik untuk dilakukan aklimatisasi adalah
plantet dengan ukuran 8-10 cm. (Suhesti, et al., 2015). Penyiraman dapat
dilakukan dengan larutan 1/8 MS sebagai nutrisi setiap 4 hari sekali. Dengan
tahapan tersebut dapat menunjukkan keberhasilan aklimatisasi tebu varietas
Nayana mencapai 85 % (Behera dan Sahoo, 2009). Getnet et al., (2016) berhasil
meningkatkan keberhasilan aklimatisasi tebu (96%) pada varietas Pr1013 dengan
cara menanam plantet pada media aklimatisasi berupa tanah, kompos dan pasir
dengan perbandingan 1:1:1. Plantet ditempatkan pada kotak aklimatisasi selama 1
minggu, kemudian diletakkan dibawah sungkup plastik. Pemberian nutrisi
dilakukan dengan pemberian 0,2 % pottasium phosphorus pada awal tahap
aklimatisasi dan dilanjutkan penyiraman dengan air setiap 2 hari sekali.
Meskipun teknik kultur meristem terbukti mampu meghilangkan penyakit
maupun virus dan meningkatan produktivitas tanaman tebu, namun demikian
aplikasi teknik kultur meristem untuk produksi benih tebu secara masal masih
terbatas. Salah satu kendala utama dalam mengaplikasikan teknik tersebut adalah
keberhasilan tahap induksi akar dan aklimatisasi benih tebu hasil kultur meristem
belum optimal (Tesfa et al., 2016). Di Indonesia, aplikasi kultur meristem untuk
produksi benih tebu bebas virus masih sangat terbatas. Oleh karena itu dalam
penelitian ini dilakukan upaya produksi benih tebu kultivar BL melalui kultur
meristem.
Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017
22
2.5 Induksi Akar Tebu secara In Vitro
Sampai saat ini, tahap induksi akar dari kultur meristem tebu belum banyak
dilaporkan (Tabel 2.3) Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan pendekatan
induksi akar yang dilakukan pada tunas hasil kultur jaringan tebu yang
menggunakan eksplan selain jaringan meristem. Secara umum, upaya
peningkatkan keberhasilan induksi akar dapat dilakukan dengan cara pengaturan
konsentrasi gula pada medium, pH medium, dan penggunaan ZPT.
Tesfa, et.al, (2016) melaporkan bahwa penggunaan gula pada medium
induksi akar tebu mampu meningkatkan keberhasilan induksi akar dari 20 % pada
medium dengan penambahan gula pada konsentrasi 10 g/l menjadi 95 % pada
medium dengan penambahan gula pada konsentrasi 50 g/l. Namun demikian,
penggunaan gula dengan konsentrasi yang lebih tinggi (60 g/l) mengakibatkan
turunnya persentase keberhasilan induksi akar tebu (75%; Bhaksa et al., 2003).
Upaya meningkatkan keberhasilan induksi akar tanaman tebu juga dapat
dilakukan dengan pengaturan derajat keasaman medium (pH). Pengaturan pH
medium terbukti mampu meningkatkan keberhasilan induksi akar dari 30 % pada
medium dengan pH 4,5 menjadi 95 % pada medium dengan pH 5,7. Namun
demikian, penggunaan pH yang lebih tinggi (6,0) mengakibatkan turunnya
persentase keberhasilan induksi akar tebu (78%; Bhaksa et al., 2003)
Selain dari beberapa faktor di atas, cara lain yang dapat digunakan untuk
meningkatkan keberhasilan induksi akar pada tanaman tebu adalah dengan
penambahan ZPT auksin yang tepat ke dalam medium tanam (Bakhsa et al., 2003;
Getnet, et al.,2016; Tesfa, et al.,2016).
Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017
23
2.6 Zat Pengatur Tumbuh Indoleacetic Acid (IAA) dan Indolebutyric Acid
(IBA)
Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik yang dalam jumlah sedikit
dapat mendukung, menghambat, dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan
(Prastyo, 2016). Zat pengatur tumbuh dalam tanaman terdiri dari lima kelompok
yaitu auksin, sitokinin, giberelin, dan etilen dengan ciri khas dan pengaruh yang
berlainan terhadap proses fisiologis (Prastyo, 2016).
Salah satu zat pengatur tumbuh yang memiliki peran penting dalam
pertumbuhan tanaman adalah auksin. Auksin merupakan zat pengatur tumbuh
yang memiliki pengaruh terhadap beberapa aspek pada pertumbuhan dan
perkembangan pada tanaman (Hemantarajan, et al., 2017). Auksin memiliki
fungsi antara lain dalam pembentukan akar, perkembangan tunas, pembentukan
buah, dan juga untuk perkembangan sel (Nababan, 2009).
Dalam hal pembentukan akar, auksin merupakan hormon utama yang
mengontrol perkembangan akar (Overvoorde et al., 2010). Pada umumnya
kemampuan auksin dalam menginduksi munculnya akar pada tumbuhan terjadi
melalui mekanisme pengendalian aktivitas gen yang mengontrol perakaran
(Salisbury dan Ross, 1995). Mekanisme tersebut yaitu setelah auksin diterima
oleh reseptor pada sel target, rangsang tersebut akan diteruskan ke sitosol dan
berkombinasi dengan protein reseptor. Selanjutnya kompleks protein reseptor
tersebut bergerak ke dalam inti dan mempengaruhi aktivitas gen. Beberapa gen
yang mampu menginduksi akar dan terbukti aktivitasnya dikontrol oleh auksin
antara lain gen Monopteros (gen MP; Yoshida et al., 2013), gen IAA1/AXR5
Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017
24
(Overvoorde et al., 2010). Aktivitas gen-gen tersebut akan mengontrol munculnya
akar.
Beberapa contoh ZPT yang tergolong sebagai auksin antara lain Indole
Acetic Acid (IAA), Indole Butyric Acid (lBA), u-Naphthalene Acetic lcid (NAA),
Indole Aceto Nitrile (IAN), Phenoxy Acetic Acid (Pott) (Suprapto, 2004). Namun
demikian, dua jenis auksin, IAA dan IBA merupakan auksin sintetik berupa
senyawa indole yang terbukti aktif dan banyak digunakan untuk induksi akar
secara in vitro. (Nababan, 2009; Shahab, 2009).
IAA dan IBA merupakan golongan auksin yang mempunyai struktur kimia
berupa gugus karboksil yang menempel pada gugus lain yang mengandung
karbon (-CH2) dan berikatan dengan cincin aromatik yang memiliki ikatan
rangkap (Salisbury dan Ross, 1995).
Gambar 2.3. Rumus bangun IAA dan IBA (Salisbury dan Ross, 1995).
Kedua auksin tersebut merupakan jenis auksin yang paling banyak
digunakan untuk menginduksi akar secara in vitro. Penelitian efektivitas IAA dan
IBA untuk menginduksi munculnya akar suatu tanaman secara in vitro telah
banyak dilakukan. Pada tanaman stevia penggunaan IAA mampu menginduksi
akar dengan rata-rata jumlah akar mencapai 5 buah setiap plantet (Arlianti et al.,
Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017
25
2013), Pada tanaman anggrek penggunan 1 µM IBA mampu menginduki akar
dengan rata-rata 3,6 setiap tunas (Fathurrohman, 2013), hal yang sama juga
dilaporkan pada tanaman aren (Kartina et al., 2011).
IAA memiliki pengaruh yang lebih baik dibandingkan dengan IBA dalam
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Hal tersebut terjadi karena karena IAA
dapat dimanfaatkan oleh tanaman secara langsung tanpa melalui proses konversi,
sedangkan IBA harus dikonversikan terlebih dahulu menjadi IAA untuk dapat
dimanfaatkan tanaman (Overvoorde et al., 2010). hal tersebut menyebabkan IAA
memiliki pengaruh yang lebih baik terhadap tanaman.
Pada kultur jaringan tebu, induksi akar secara in vitro juga telah dilakukan
dengan menggunakan IAA dan IBA. Behera dan Sahoo (2009) melaporkan
penggunaan medium induksi akar tebu dengan penambahan IAA terbukti mampu
meningkatkan keberhasilan induksi akar tebu varietas Nayana secara in vitro.
Penggunaan IAA dengan konsentrasi 17 µM mampu meningkatkan keberhasilan
induksi akar tebu secara in vitro menjadi 50% dari awalnya 15 % dengan
penambahan 5,7 µM IAA. Rata-rata jumlah akar juga meningkat dari 2,2 pada
penggunaan 5,7 µM IAA menjadi 5,6 pada penggunaan 17 µM IAA (Behera dan
Sahoo, 2009).
Selain IAA, IBA juga dapat digunakan sebagai ZPT yang dapat
meningkatkan keberhasilan induksi akar tebu. Behera dan Sahoo (2009)
melaporkan keberhasilan induksi akar tebu varietas Nayana secara in vitro juga
dapat ditingkatkan dari tingkat keberhasilan 20% dengan rata-rata jumlah akar 3,2
pada pengunaan 2,4 µM IBA menjadi 4 kali (82 %) dengan jumlah rata-rata akar
Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017
26
10,5 pada penggunaan 12 µM IBA. Sukmadjaya dan Mulyana (2011) juga
melaporkan bahwa penambahan IBA ke dalam medium berhasil meningkatkan
keberhasilan induksi akar tebu varietas PS951 dari tingkat keberhasilan 76 %
dengan penambahan 0,003 µM IBA menjadi 88% dengan penggunaan 0,005 µM
IBA.
Meskipun penelitian tentang iduksi akar tebu secara in vitro telah banyak
dilakukan, namun penggunaan IAA maupun IBA dalam induksi akar tebu varietas
BL untuk hasil kultur meristem belum dilaporkan. Oleh karena itu penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunakan IAA dan IBA dalam
menginduksi akar dan aklimatisasi tebu secara in vitro.
Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017