bab ii teori konversi agama -...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TEORI KONVERSI AGAMA
Dalam bertindak, bertutur kata juga berpikir, manusia memiliki perbedaan antara
manusia yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut nampak dalam kehidupan sehari-
hari, termasuk dalam pengambilan sebuah keputusan untuk berubah ke arah yang lebih baik
atau tidak. Orientasi mengenai perubahan yang baik maupun buruk juga terjadi dalam
perubahan agama yang dilakukan oleh seseorang, yang dikenal dengan istilah konversi
agama. Ketika seseorang memutuskan untuk melakukan konversi agama, berpikir dengan
sungguh adalah langkah konkret pertama. Hal itu terjadi karena konversi agama yang
dilakukan berorientasi pada masa depan dari hidup konverter, dan ketika ia memutuskan
untuk melakukan konversi agama, terdapat faktor-faktor yang menyebabkan agama baru
menjadi pilihan. Untuk lebih mengetahui secara jelas tentang konversi agama, maka akan
dipaparkan mengenai hal-hal yang menjadikan konversi agama sebagai sesuatu yang
kompleks. Melihat kekompleksan konversi agama, maka penulis memilih teori Konversi
Agama yang dipaparkan oleh Lewis R. Rambo, khususnya model bertingkat sistemik dalam
sebuah proses konversi agama.
II.1 Konversi Agama
II.1.1 Pengertian Konversi Agama
Konversi agama (religious conversion) secara umum ialah berubah agama ataupun
masuk agama, dan jika dilihat secara etimologisnya, konversi berasal dari kata latin
“conversio” yang memiliki arti: tobat, pindah, berubah (agama). Kata tersebut
12
digunakan juga di dalam bahasa Inggris, menjadi “conversion”, yakni berubah dari
suatu keadaan, dari satu agama keagama lain (change from one state, or from one
religion, to another). Dengan melihat pengertian-pengertian tersebut, dapat
disimpulkan konversi agama adalah bertobat, berubah agama, berbalik pendirian
terhadap ajaran agama atau masuk ke dalam agama. Beberapa ahli mengemukakan
pengertian konversi agama secara terminologi, yakni13:
a. Max Heirich mengemukakan konversi agama adalah suatu tindakan dimana
seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah kesuatu sistem
kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya.
b. Menurut William James konversi agama ialah
“to be converted, to be regenerated, to recieve grace, to experience religion, to gain an assurance, are so many phrases, which denote, gradual or sudden, by wich a self hithero devide, and consciously wrong inferior and unhappy, becomes unified and consciously right superior and happy, in consequence of its firmer hold upon religious realities.” Pernyataan tersebut dapat berarti: berubah, disatukan, untuk menerima kesukaan, untuk menjalani pengalaman beragama, untuk mendapatkan kepastian bahwa terdapat banyak ungkapan dalam proses tersebut, dan proses tersebut dapat terjadi secara berangsur-angsur atau tiba-tiba, yang di lakukan secara sadar, terpisah dan bahagia. Kesemuanya itu terdapat di dalam konsekuensi penganutnya yang berlandaskan kenyataan beragama.
c. Lewis R.Rambo memberikan beberapa definisi, antara lain:
i. Perubahan sederhana yang terjadi dari ketidakadaan suatu sistem kepercayaan
yang dianut menjadi terciptanya suatu komitmen kepercayaan, dari keanggotaan
dalam agama dengan satu sistem kepercayaan kepada sistem kepercayaan yang
lainnya, atau dari satu orientasi kepada orientasi yang lain dalam satu sistem
kepercayaan tunggal.
13 Bustamam Ismail, “Konversi Agama (Psikologi Agama)”,
dalamhttp://hbis.wordpress.com/2009/12/12/konversi-agama-psikologi-agama/, diunduhpadaKamis, 08 Maret 2012 pkl 15.17
13
ii. Perubahan yang terjadi pada orientasi pribadi seseorang terhadap kehidupan, dari
peristiwa-peristiwa yang tidak disengaja atas ketidakmungkinan dari tindakan
yang dilakukan oleh Tuhan. Hal itu tertanam dalam pikiran dan menjadi suatu
hafalan, yang menjadikan seseorang menggantungkan diri pada hal tersebut.
Orientasi seseorang juga dapat berubah dengan adanya ritual, yang berguna agar
keyakinan seseorang menjadi lebih dalam terkait dengan kehadiran Allah.
iii. Perubahan kehidupan spiritual yang pada awalnya melihat dunia ini sebagai
sesuatu yang jahat, berubah menjadi melihat semua ciptaan sebagai manifestasi
kekuasaan Allah.
iv. Tindakan perubahan yang radikal terhadap perlengkapan yang mampu
menjadikan tingkat spiritualitas seseorang menjadi lemah, berubah menjadi
sebuah tingkat baru yang terkandung di dalamnya suatu perhatian intensif, adanya
komitmen, dan keterlibatan.
Jika dilihat dari segi umur, keputusan melakukan konversi agama cenderung
dilakukan oleh orang-orang yang berusia dewasa. Hal itu erat kaitannya dengan
masalah kejiwaan dan pengaruh dari lingkungan sekitar tempat tinggal. Adapun ciri-
ciri orang yang melakukan konversi agama antara lain14:
i. Arah pandang dan keyakinan seseorang yang mulai berubah terhadap agama dan
kepercayaan yang selama ini diyakini.
ii. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan, sehingga perubahan itu bisa
terjadi secara mendadak atau berproses.
iii. Yang berubah bukan hanya dalam hal berpindah kepercayaan, namun juga dalam
pandangannya terhadap agama yang dianut.
14 H.Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), 80.
14
iv. Faktor kejiwaan dan lingkungan memang mempengaruhi, namun tidak melupakan
faktor petunjuk Yang Maha Kuasa.
II.1.2 Faktor penyebab terjadinya Konversi Agama
Konversi agama dapat terjadi tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik itu
faktor teologis-ideologis hingga gengsi dan penghargaan. Baik itu dari faktor yang
masih dalam batas logika manusia hingga yang di luar jangkauan pemikiran manusia.
Selain itu terdapat faktor yang mempengaruhi tingkah laku manusia terkait dengan
bidang kehidupan, yakni bidang ekonomi dan politik. Dimana seseorang dapat
melakukan konversi agama dikarenakan untuk merubah keadaan hidupnya. Faktor-
faktor tersebut termasuk di dalam faktor intern dan faktor ekstern, atau yang menurut
A.Penido, berpendapat bahwa konversi agama mengandung dua unsur15:
1. Unsur yang berasal dari dalam diri atau endogenos origin, yaitu proses perubahan
yang terjadi dalam diri seseorang atau kelompok. Dengan kata lain konversi pada
tipe ini terjadi di dalam batin seseorang, yang kemudian membentuk suatu
kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi. Penyebabnya ialah adanya krisis.
Dan berdasarkan pertimbangan pribadi, seseorang akan mengambil keputusan.
Proses ini terjadi menurut gejala psikologis yang bereaksi ketika struktur
psikologis yang lama hancur dan seiring dengan proses tersebut muncul pula
struktur psikologis baru yang dipilih.
2. Unsur dari luar atau exogenous origin, yaitu proses perubahan yang berasal dari
luar diri atau kelompok sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau
kelompok yang bersangkutan. Kekuatan yang berasal dari luar ini kemudian
15 Ibid., 86.
15
menekan pengaruhnya pada kesadaran seseorang, mungkin berupa tekanan batin,
sehingga memerlukan penyelesaian oleh yang bersangkutan.
Faktor-faktor tersebut secara terperinci dipaparkan sebagai berikut:
1) Faktor-faktor yang menjadi pendorong seseorang melakukan konversi agama,
antara lain:
a. Ditinjau dari segi agama ialah faktor petunjuk Ilahi atau adanya pengaruh
supranatural, maksudnya ialah manusia mempercayai bahwa segala sesuatu di
atur oleh Tuhan, atau dengan kata lain adanya intervensi dari Tuhan di dalam
kehidupan manusia. Intervensi tersebut dominan dalam pengalaman-
pengalaman yang bagi manusia tidak mungkin untuk terjadi, namun justru dapat
terjadi. Terkadang hal tersebut bersifat radikal sehingga manusia tidak sanggup
menerimanya. Dengan demikian hal itu dipercaya dapat terjadi karena adanya
campur tangan Tuhan, dan merupakan kasih karunia Tuhan atas hidup
manusia.16
b. Dari perspektif sosiologi berpendapat bahwa penyebabnya ialah karena
pengaruh sosial, yaitu hubungan antara orang yang melakukan konversi agama
tersebut dengan orang lain. Dari faktor sosial ini, terbagi lagi di dalam sub
faktor yang terdapat enam poin, yakni:
i. Pengaruh hubungan antar pribadi baik pergaulan yang bersifat keagamaan
maupun non-agama (kesenian, ilmu pengetahuan, kebudayaan).
ii. Pengaruh kebiasaan yang rutin, misalnya biasa mengikuti upacara keagamaan
pada lembaga formal maupun non-formal.
iii. Pengaruh anjuran atau propaganda dari orang-orang yang dekat.
16 D. Hendropuspito, Sosisologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1983), 80.
16
iv. Pengaruh adanya hubungan yang baik dengan pemimpin keagamaan.
v. Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan kesamaan hobi.
vi. Pengaruh kekuasaan pemimpin, yakni berdasarkan kekuatan hukum.
c. Perspektif psikologi, yaitu faktor pembebasan dari tekanan batin. Maksudnya
ialah gejala tekanan batin yang dimiliki oleh seseorang mendorongnya untuk
mencari jalan keluar agar memperoleh ketenangan batin dengan mencari
kekuatan lain, yaitu masuk agama lain. Ketika orang tersebut berada dalam
kehidupan batin yang kosong dan tak berdaya, ia akan mencari perlindungan
kekuatan lain yang mampu memberikan kehidupan jiwa yang tenang dan
tentram. Penyebab timbulnya faktor ini ialah dari faktor intern maupun ekstern
yang antara lain:
Adapun yang menjadi faktor intern-nya adalah:
i. Kepribadian tertentu akan mempengaruhi kehidupan jiwa seseorang.
Hasil penelitian W.James menyatakan bahwa yang rentan untuk
melakukan konversi agama adalah tipe melankolis.
ii. Menurut Guy E. Sawanson, ada kecenderungan anak yang lahir diantara
anak sulung dan bungsu, sering mengalami stress jiwa. Dari pembawaan
sejak lahir yang mempengarui terjadinya konversi agama.
Faktor ekstern adalah:
i. Faktor keluarga yang di dalamnya terjadi hal-hal yang kurang baik, yang
dapat menyebabkan terjadinya tekanan batin.
ii. Lingkungan tempat tinggal yang tidak menerima orang tersebut dengan
baik, merasa tinggal sebatang kara, sehingga menginginkan tempat yang
dapat menerimanya, yang tenang hingga kegelisahan batinnya hilang.
17
iii. Perubahan status yang berlangsung mendadak akan banyak
menimbulkan koversi agama (misalnya: cerai, nikah beda agama,
perubahan pekerjaan).
iv. Kondisi sosial ekonomi (kemiskinan).
d. Dari perspektif ilmu pendidikan mengemukakan bahwa dengan didirikannya
sekolah-sekolah yang bernaung di bawah yayasan agama, tentunya memiliki
tujuan keagamaan. Dengan demikian siswa yang memilih belajar di sekolah
tersebut juga harus terbiasa mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan yang
diterapkan di sekolah tersebut.
2) Faktor-faktor penarik, yaitu hal-hal yang terjadi di luar diri orang yang akan
melakukan konversi agama, yang juga menjadi bahan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan untuk melakukan konversi agama. Faktor-faktor tersebut
antara lain:
a. Kejadian-kejadian yang menyenangkan maupun yang menyusahkan.17
Kejadian-kejadian tersebut akan tersimpan di dalam memori otak yang setelah
beberapa waktu pada akhirnya menjadi apa yang dikenal dengan sebutan
pengalaman. Serupa dengan kejadian yang terbagi menjadi kejadian yang
menyenangkan maupun yang tidak, pengalaman pun terbagi menjadi yang
menyenangkan maupun yang menyusahkan. Pengalaman-pengalaman yang
menyenangkan misalnya saja memperoleh jalan keluar atas masalah yang bagi
seseorang sangat sulit untuk diselesaikan dalam jangka waktu yang cukup
lama, atau hidup keluarga yang berubah menjadi harmonis setelah beberapa
lama dalam keadaan yang individualistis akibat kesibukkan masing-masing
17 Ibdi., 84.
18
anggota keluarga. Sedangkan contoh dari pengalaman yang menyusahkan ialah
ketika seseorang berada dalam krisis, baik krisis dalam penerimaan sesuatu
yang buruk seperti kematian (yang dalam ilmu konseling dikenal dengan
sebutan terminal illness) atau krisis dalam kehidupan ekonomi.18
b. Komunitas agama, yang berarti ketika seseorang melalukan konversi agama,
tersirat di dalamnya keinginan untuk mencari komunitas keagamaan yang
dianggap sanggup memberikan jawaban yang meredakan batinnya. Ketika
orang tersebut menemukan komunitas agama yang baru, yang di dalam
komunitas tersebut dapat memberikan ruang baginya mengembangkan diri dan
sesuai dengan keinginannya dalam menjawab kebutuhan hidupnya selama ini,
maka di dalam komunitas agama yang baru itulah yang diyakini sebagai jalan
hidup yang baru.19
c. Keunggulan kultural kelompok agama baru, maksudnya ialah di dalam masing-
masing agama memiliki daya tariknya tersendiri sehingga dapat menarik
perhatian dan rasa ingin tahu manusia. Hal itu dapat terjadi karena di dalamnya
terdapat sistem nilai budaya yang lebih tinggi daripada sistem nilai budaya di
agama yang lama.20 Keunggulan nilai budaya agama yang baru dilihat dari
sudut pandang subyektif, terdapat tiga hal yakni:
i. Ajaran agama yang lebih tinggi. Masing-masing agama memiliki ajarannya
tersendiri, namun ada ajaran tertentu yang dipandang sebagai ajaran yang
tinggi. Ajaran tinggi tersebut terdapat di agama Kristen yakni tentang
keselamatan yang dilakukan oleh Yesus yang adalah Juruselamat. Ia
membebaskan semua manusia dari segala kejahatan yang telah dilakukan.
18 Robert H. Thoubless, diterjemahkan oleh Machnum Husein dalam Pengantar Psikologi Agama, (Jakarta:
Rajawali Pers), 59-70. 19 D. Hendropuspito, Sosisologi Agama, ...., 85. 20 Ibid., 87-90.
19
Doktrin yang jika dilihat dari agama yang lama, tentu menjadi doktrin baru
yang mampu membuka perspektif yang baru dan menimbulkan krisis batin.
Ketika krisis batin terjadi, orang yang mengalami hal tersebut merasa
tertarik untuk masuk ke agama baru. Selain doktrin ternyata kebudayaan
agama juga dihargai, dimana agama Kristen memiliki nilai kebudayaan dan
peradaban yang tinggi, yakni kebudayaan dan peradaban Yunani.
ii. Sarana-sarana rohani yang mengatasi kekuatan manusia, dalam hal ini
terdapat dua hal yang sangat istimewa yakni “kharisma” dan “kekuatan
supra-empiris” atau yang juga disebut sebagai kekuatan “magis” yang
dimiliki agama baru. Christopher Dowson dan H.O. Taylor berpendapat
bahwa kekuatan magis menjadi faktor penarik yang dominan, hal tersebut
dapat dilihat di dalam contoh masuknya suku-suku bangsa primitif di Eropa
Utara ke agama Kristen, karena mereka percaya kekuatan tersebut dimiliki
oleh agama Kristen. Kekuatan tersebut tidak memerlukan persiapan yang
sulit, namun hasilnya cepat dirasakan. Kekuatan tersebut nampak jelas
dalam agama Katolik, yaitu dengan tujuh sakramen yang dipercaya sebagai
titik temu antara Allah dan manusia. Sedangkan kharisma mayoritas
dimiliki oleh para pemimpin agama, adalah:
“suatu kesanggupan yang dimiliki seseorang bukan karena usahanya sendiri, tetapi dipercaya sebagai berasal langsung dari Tuhan, dan membuat orang yang bersangkutan menjadi pemimpin yang luar biasa.”
iii. Keunggulan pengetahuan ilmiah yang dimiliki oleh pemeluk-pemeluk
agamanya.
II. 1.3. Tipe Konversi Agama
20
Seperti yang telah dipaparkan di awal bab ini, bahwa manusia pada hakekatnya
adalah berbeda. Hal itu juga nampak dalam ide atau gagasan mengenai pengertian
konversi agama yang dipaparkan oleh beberapan ahli. Hal serupa juga terjadi di dalam
pemamparan mengenai tipe konversi agama. Dua ahli mengemukakan gagasan
mereka masing-masing terkait dengan tipologi dari konversi agama, yang ditinjau dari
sudut pandang yang berbeda pula. Jika dilihat dari sudut pandang waktu terjadinya
konversi agama, Starbuck mengemukakan dua tipe, yakni21:
a. Tipe Volitional (perubahan bertahap)
Terjadinya konversi agama di dalam tipe ini berlangsung dengan proses secara
perlahan-lahan, sehingga pada akhirnya akan menjadi kebiasaan rohani yang
baru. Dalam tipe ini tersirat proses perjuangan batin yang tidak mudah.
b. Tipe Selp Surrender (perubahan drastis)
Konversi yang terjadi secara mendadak, tanpa adanya sebuah proses yang
dapat mengubah pendirian seseorang terhadap suatu agama yang dianutnya.
Menurut Willian James, tipe ini biasanya terjadi pada orang yang mendapat
petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Hal itu dikarenakan gejalanya terjadi dengan
sendirinya sehingga orang tersebut menerima kondisi yang baru itu dengan
berserah.
Lewis R. Rambo di dalam bukunya yang berjudul Understanding Religious
Conversion memaparkan berbagai karakteristik yang bervariasi dari beberapa
konversi yang ada.22 Dalam hal ini ia mengemukakan lima tipologi, yaitu:
a) Apostasy or defection (Murtad atau penyeberangan) adalah penolakan dari tradisi
agama atau keyakinan sebelumnya. Perubahan ini bukan berarti menerima
seluruh perspektif agama yang baru, melainkan hanya mengadopsi sistem nilai-
21 H.Ramayulis, Psikologi Agama...., 82-83. 22 Lewis R. Rambo, Understanding Religious Conversion, (London: Yale University, 1993), 12-14.
21
nilai non-religius. Di dalam tipe ini terdapat unsur pemaksaan, maksudnya ialah
orang-orang yang terdapat di dalam gerakan keagamaannya sendiri, dengan
sengaja hapus dari keanggotaan. Kemurtadan termasuk dalam tipologi ini karena
memiliki dinamikanya tersendiri yakni kehilangan iman atau meninggalkan
kelompok agama yang lama merupakan suatu bentukyang penting dari
perubahan, baik secara individu maupun kolektif.
b) Intesification (Pendalaman) adalah komitmen iman yang telah dimiliki oleh orang
yang melakukan konversi ketika ia masih berada pada keanggotaan sebelumnya,
tetap dipetahankan, bahkan komitmen iman tersebut di revitalisasi, baik yang
formal maupun yang non-formal.
c) Affiliation (Keanggotaan) adalah gerakan individu maupun kelompok dari yang
tidak atau yang sedikit memiliki komitmen agama, menjadi terlibat penuh di
dalam lembaga maupun komunitas iman.
d) Institutional transition (Peralihan Kelembagaan) meliputi perubahan dari
seseorang maupun kelompok dari satu komunitas ke komunitas yang lainnya
dalam suatu tradisi besar. Misalnya konversi yang dilakukan dari Gereja Baptist
ke Gereja Presbyterian dalam Protestanisme Amerika.
e) Tradition transition (Peralihan tradisi) mengarah pada gerakan individu maupun
kelompok dari tradisi agama besar ke tradisi agama yang lainnya. Pergerakan ini
juga termasuk dalam berpindah dari satu pandangan dunia, sistem ritual, simbol
alam semesta, dan gaya hidup.
II. 1.4 Model-model Konversi Agama
Dalam menganalisa berpindahnya seseorang dari satu agama ke agama yang
lainnya, diperlukan pengetahun yang mendalam mengenai konversi agama, termasuk
22
di dalamnya model-model konversi agama itu sendiri. Sebab pemahaman orang
awam, konversi agama hanya terdiri dari satu macam atau model. Rambo R. Lewis
membantu membuka paradigma terkait dengan hal tersebut dengan memaparkan dua
model, yaitu23:
a) Model holistik (Holistic model) adalah model yang menjelaskan proses konversi
secara menyeluruh, dengan memiliki empat unsur penting, antara lain:
kebudayaan, masyarakat, pribadi dan sistem agama. Agar konversi dimengerti di
dalam kekayaan dan kekompleksannya, diperlukan disiplin ilmu dari bidang
antropologi, sosiologi, psikologi, dan agama. Dengan empat unsur tersebut
menjadi hal yang penting sekali untuk mengerti konversi.
i. Kebudayaan menggagasi intelektual, moral dan lapisan spiritual dari
kehidupan. Mitos-mitos, ritual-ritual dan simbol-simbol dari sebuah
kebudayaan memberikan garis pedoman untuk hidup sehari-hari, yang
mana sering kali tanpa disadari telah diadopsi dan diterima sebagaimana
adanya. Kebudayaan merupakan sebuah manifestasi kekreatifitasan
manusia dan tenaga yang sangat kuat dalam bentuk dan pembaharuan dari
individu, kelompok dan masyarakat.
ii. Dari hasil pengujian para ahli sosiologi, ditemukan bahwa masyarakat dan
aspek lembaga dari tradisi memiliki pengaruh di dalam konversi.
Maksudnya ialah dengan interaksi yang dilakukan seseorang dengan
lainnya, terdapat suasana yang mereka rasakan. Dari situasi tersebut,
menimbulkan harapan-harapan dalam diri mereka, terhadap kelompok
dimana mereka terlibat. Semuanya itu memiliki potensi di dalam orang
melakukan konversi agama.
23 Ibid., 7-11.
23
iii. Perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang baik itu pikiran, perasaan
dan tindakan, termasuk dalam psikologi. William James, seorang psikologi
konversi klasik mengemukakan bahwa jalan yang memungkinkan
seseorang melakukan konversi agama ialah terdapat hal-hal yang
mendahuluinya, antara lain: penderitaan yang berat, terjadi kerusuhan,
keputus-asaan, kesalahan dan kesulitan-kesulitan lainnya.
iv. Tujuan dari konversi agama adalah membawa orang masuk ke dalam
hubungan dengan meramalkan dan menyediakan bagi mereka suatu
pengertian baru dari arti dan tujuan agama. Beragama bukan hanya
membutuhkan kepercayaan, melainkan beragama menyatakan secara tidak
langsung kehormatan dari fakta bahwa konversi adalah sebuah proses
agama yang di dalamnya sedang terlibat berbagai komponen yang ada, yang
disusun dengan teliti, yakni: kekuatan, ide-ide, lembaga-lembaga, ritual-
ritual, mitos-mitos dan simbol-simbol.
b) Model bertingkat (stage model) yang terbagi menjadi dua, yakni: sequential stage
model (model bertingkat yang berurutan) yaitu proses yang di dalamnya terdapat
tujuh tingkatan yang tersusun, antara lain: tingkat pertama konteks, tingkat kedua
krisis, tingkat ketiga pencarian, tingkat keempat pertemuan, tingkat kelima
interaksi, tingkat keenam komitmen, dan tingkat yang terakhir yaitu
konsekuensi.24 Model yang kedua, systemic stage model (model tingkatan
sistemik),25 adalah model yang memiliki tujuh tingkatan serupa dengan
sequential stage model, namun ketujuh unsur tersebut tidak mutlak berada pada
tingkatannya. Dalam model ini terdapat satu unsur yang menjadi pusat penyebab
dari proses konversi agama, namun yang menjadi pusat tersebut tidak menjadi hal 24 Lewis R. Rambo, Understanding Religious Conversion..., 16-17. 25 ZulkifliAbdillah,dalamhttp://zulkifli-stainptk.blogspot.com/2012/05/artikel_03.html,diunduh pada hariSelasa,
19 Juni 2012 pkl 12.49
24
yang mutlak. Ketujuh unsur dapat berpindah-pindah tingkat dan saling terkait.26
Sebuah model bertingkat lebih tertuju pada sebuah proses perubahan yang terjadi
setiap waktu, yang biasanya memperlihatkan suatu rangkain dari proses tersebut.
Lewis R. Rambo mengemukakan model ini bukan sekedar terdiri dari banyak
dimensi (multidimensional) dan sejarah, melainkan juga berorientasi pada proses.
Hal tersebut ingin mengatakan bahwa konversi adalah pendekatan sebagai suatu
rentetan elemen-elemen yang ada, yakni interaktif dan kumulatif sepanjang
waktu. Penjelesan dari ketujuh unsur tersebut, antara lain:
i. Konteks adalah penggabungan antara superstruktur dan infrastruktur dari
konversi, di dalamnya termasuk sosial, kebudayaan, agama dan dimensi
pribadi. Pada unsur ini dibagi ke dalam dua bagian yakni Macrocontext dan
microcontext. Macrocontext berkenaan dengan keseluruhan lingkungan,
termasuk di dalamnya element sistem politik, organisasi agama,
pertimbangan-pertimbangan ekologi yang relevan, badan hukum yang
melintasi nasional (tansnational), dan sistem ekonomi. Sedangkan
microcontext adalah menyangkut keluarga, kelompok etnis, komunitas
keagamaan, dan tetangga sekitar. Hal-hal tersebut dengan segera
mempengaruhi sebuah peranan penting di dalam pengertian tentang identitas,
kepemilikkan yang terdapat dalam bentuk pikiran-pikiran manusia, perasaan-
perasaan dan tindakan-tindakan.27 Microcontext selanjutnya berinterkasi
dengan macrokontext dengan berbagai cara, baik menerima dan
memfasilitasi atau menolak macrocontext.
26 Lewis R. Rambo, Understanding Religious Conversion..., 18 27 Ibid., 20-22.
25
Sumber: Lewis R. Rambo, Understanding Religious Conversion, (London: Yale University, 1993), 21.
ii. Krisis termasuk di dalam proses seseorang melakukan konversi agama, karena
hampir semua peneliti setuju bahwa beberapa bentuk krisis mendahului
terjadinya konversi. Krisis tersebut kemungkinan bersifat keagamaan, politik,
psikologi atau kebudayaan asli. Di dalam tingkat ini, terdapat dua pokok
persoalan dasar, yakni hal penting dalam pokok-pokok persoalan kontekstual,
dan yang kedua ialah tahapan dari aktifitas dan kepasifan di dalam konversi.
Dalam pemamparan mengenai sifat dasar krisis, banyak literatur yang
menekankan pada disintegrasi sosial, penindasan politik, atau juga sebuah
peristiwa yang di dramatisir. Krisis juga memiliki sifat dasar lainnya, yakni
mampu membimbing seseorang kepada hal yang bukan dramatis,
memberikan respon yang sangat kuat untuk mengakui kesalahan atau dosa
dan pada akhirnya melakukan suatu perubahan. Sifat dasar dari krisis
tersebut akan berlainan antara orang yang satu dengan orang yang lain dan
dari situasi yang satu ke situasi yang lainnya. Krisis yang dihadapi oleh
seseorang dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab, antara lain: pengalaman
mistik, pengalaman yang terjadi ketika mendekati kematian, sakit penyakit
dan proses mengobati, perasaan dan persepsi bahwa hidup harus memiliki
Krisis
Pertemuan Pencarian
Interaksi Komitmen
Konsekuensi
Konteks
26
arti dan tujuan, keinginan manusia yang selalu ingin lebih, mengubah
keadaan pikiran atau perasaan agar berada pada keadaan yang sadar (karena
pengaruh obat-obatan terlarang), kepribadian seseorang yang mudah
menyesuaikan diri dalam berbagai lapangan pekerjaan, patologi (terlalu
sering melakukan analisis terhadap psikis orang lain), pengingkaran atas
agama; prinsip; tujuan; tatanan moral, dan stimulus yang berasal dari luar
seperti lingkungan dan kebudayaan, aktifitas penginjilan).28
Sumber: Lewis R. Rambo, Understanding Religious Conversion, (London: Yale University, 1993),45.
iii. Pencarian yang dimaksud dalam hal ini ialah pekerjaan yang dilakukan oleh
manusia secara terus menerus di dalam proses rekonstruksi dan
merekonstruksi kembali untuk menciptakan arti dan tujuan. Berakar dari hal
inilah maka seorang ahli sosial yang bernama James Richardson memulai
untuk melihat orang-orang sebagai agen yang aktif dalam menciptakan arti
dan memilih untuk beragama. Dengan demikian, proses dari membangun arti
inilah yang disebut dengan pencarian. Dalam hal ini pelaku konversi menjadi
agen aktif, karena mereka dapat mencari kepercayaan-kepercayaan,
kelompok-kelompok, dan organisasi-organisasi yang menyediakan apa yang 28 Ibid., 44-55.
Krisis
Pencarian
Interaksi
Konteks
Konsekuensi
Komitmen
Pertemuan
27
mereka butuhkan. Pencarian tersebut dapat terjadi karena tersedianya struktur
yang di dalamnya seseorang dapat bergerak dari emosi, intelektual, lembaga-
lembaga agama, komitmen-komitmen, kewajiban-kewajiban sebelumnya
menuju pilihan yang baru. Ketika seseorang melakukan pencarian-pencarian
tersebut, tentunya terdapat motivasi yang memperkuatnya dalam mencapai
kebutuhan-kebutuhannya, baik itu motivasi resolusi konflik, gambaran
kesalahan, atau tekanan dalam keluarga. Seymour Epstein mengemukakan
empat motivasi dasar manusia bertindak, yaitu: kebutuhan akan pengalaman
yang senang dan menjauhi yang buruk; kebutuhan untuk sebuah sistem yang
konseptual; kebutuhan dalam mempertinggi penghargaan diri; dan kebutuhan
dalam menetapkan dan mempertahankan hubungan-hubungan. Selain
motivasi-motivasi tersebut, Rambo L.Lewis menambahkan dua faktor
motivasi lainnya, yaitu: tenaga dan hal yang lebih penting dari sesuatu.29
Sumber: Lewis R. Rambo, Understanding Religious Conversion, (London: Yale University, 1993),57.
iv. Dalam tingkatan yang keempat ini, jika dilihat dari sudut pandang ilmu sosial,
terdapat struktur yang mendasar dalam pertemuan.30 Struktur-struktur
tersebut meliputi para penganjur, orang yang akan berkonversi, dan
pengaturan. Selain itu juga dalam pertemuan ini, banyak faktor yang
29 Ibid., 56-65. 30 Zulkifli Abdillah,dalam http://zulkifli-stainptk.blogspot.com/2012/05/artikel_03.html,diunduh pada hari
Selasa, 19 Juni 2012 pkl 12.49.
Pencarian
Konteks
Konsekuensi
Krisis
Interaksi
Pertemuan
Komitmen
28
mempengaruhi hasilnya, namun yang terpenting menurut sebagian besar
ilmuan sosial adalah ideologi, usia, jenis kelamin, pendidikan, dan
sebagainya. Dalam proses pertemuan, terdapat tahapan-tahapan yang perlu
dilakukan oleh pelaku konversi. Tahapan-tahapan tersebut antara lain:
kebutuhan-kebutuhan afektif, intelektual, kognitif, dan advokasi. Tidak
hanya terbatas pada hal-hal tersebut, kharisma dan keteladanan, khususnya
dari para pemimpin, juga memegang peranan penting dalam tahap ini.
Krisis
Sumber: Lewis R. Rambo, Understanding Religious Conversion, (London: Yale University, 1993), 67.
v. Dalam tingkatan interaksi, menjadi salah satu potensi dari pelaku konversi
untuk menyambung hubungan dan menjadi lebih terlibat, atau mereka yang
bekerja sebagai penyokong akan meneruskan interaksi yang terdapat
kemungkinan-kemungkinan yang layak untuk diperluas.31 Seorang ahli
sosiologi mengemukakan proses enkapsulasi yang menciptakan suatu
lingkungan yang di dalamnya terdapat elemen penting sekali dalam operasi
konversi. Proses tersebut mencakup empat elemen atau dimensi, yakni:
31 Lewis R. Rambo, 102-108.
Konteks
Interaksi
Pertemuan
Konsekuensi
Pencarian
Komitmen
29
a) Hubungan-hubungan, yang di dalamnya mampu menciptakan dan
menggabungkan ikatan-ikatan emosi ke dalam kelompok dan realitas
perspektif baru hari demi hari.
b) Ritual, menyediakan penggabungan mode-mode yang sedang
diperkenalkan dengan dan hubungan kepada jalan hidup yang baru.
c) Kepandaian berbicara, menyediakan suatu sistem penerjemah yang dapat
memberikan berupa sumbangan petunjuk dan pengertian kepada orang
yang melakukan konversi.
d) Melalui peran, dapat menggabungkan keterlibatan seseorang dengan
memberikannya suatu misi khusus untuk dapat diselesaikan.
Sumber: Lewis R. Rambo, Understanding Religious Conversion, (London: Yale University, 1993),103.
vi. Komitmen merupakan bagian dari proses konversi yang perlu dilakukan oleh
pelaku konversi setelah melakukan interkasi yang intensif dengan kelompok
agama yang baru. Ketika interaksi tersebut dilakukan, maka pelaku konversi
akan membuat sebuah pilihan dengan berkomitmen. Komitmen seseorang
biasa ditunjukkan dengan menjalankan ritual agama yang baru.32 Komitmen
tersebut dikenal dengan sebutan komitmen ritual, seperti: baptis dan 32 Ibid., 124.
Interaksi
Konteks
Pertemuan
Konsekuensi
Pencarian
Komitmen
Krisis
30
kesaksian. Karena dengan kedua hal tersebut, memperlihatkan perubahan
seseorang dan partisipasinya di dalam perubahan tersebut, serta orang lain
juga dapat melihat keputusan yang diambil oleh pelaku konversi (menjadi
saksi). Di dalam tingkat ini terdapat lima elemen yang melingkupi: membuat
keputusan; ritual-ritual; penyerahan; manifestasi kesaksian yang terkandung
di dalam perubahan bahasa dan rekonstruksi biografi; dan perumusan
kembali motivasi.
Sumber: Lewis R. Rambo, Understanding Religious Conversion, (London: Yale University, 1993), 125.
vii. Ketika seseorang telah memutuskan untuk melakukan konversi agama,
tentunya telah banyak hal-hal yang dipertimbangkan, termasuk akibat atau
yang dalam tingkatan ini disebut dengan konsekuensi. Lewis R. Rambo
mengemukakan lima pendekatan untuk menyelidiki konsekuensi, yaitu:
peranan prasangka seseorang terhadap suatu penilaian; penyelidikan biasa;
melihat lebih mendalam terkait dengan konsekuensi-konsekuensi sosio-
budaya dan sejarah; konsekuensi psikologi; dan konsekuensi-konsekuensi
teologi dari konversi.33
33 Ibid., 142.
Konteks
Krisis
Interaksi
Komitmen
Konsekuensi
Pertemuan
Pencarian
31
Sumber: Lewis R. Rambo, Understanding Religious Conversion, (London: Yale University, 1993),143.
Konsekuensi atau yang biasa disebut dengan akibat, efek, dampak, dalam
konversi agama erat kaitannya dengan keenam elemen lainnya. Dalam proses
konversi, setelah individu melalui krisis yang terjadi dalam batinnya, ia mulai mencari
kelompok, komunitas, agama yang sesuai dengan kebutuhannya dan menemukan apa
yang dicari, yang kemudian berbagai interaksi mulai dapat dilakukan serta
dikembangkan guna menyatukan diri dengan kelompok, komunitas maupun agama
yang baru sebagai tanda kesiapan atau komitmen. Dari proses konversi tersebut tentu
menimbulkan dampak, yang dapat ditimbulkan dari lingkungan sekitar, konteks
dimana individu tersebut berada, sebagai respon terhadap individu yang melakukan
konversi agama.
Dampak atau konsekuensi yang ditimbulkan dalam suatu proses, termasuk proses
konversi agama dapat bersifat positif maupun negatif. Menurut M.Manullang, dalam
pengambilan satu keputusan diiringi dengan adanya sesuatu yang tidak tidak
menyenangkan. Sesuatu itulah yang disebut dengan dampak yang tidak
menyenangkan atau kehilangan keuntungan yang berharga.34 Dengan kata lain
34 M.Manullang, Pedoman Praktis Pengambilan Keputusan, (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1986), 11 & 19.
Konteks
Krisis
Interaksi
Komitmen
Konsekuensi
Pertemuan
Pencarian
32
dampak tersebut bersifat negatif ketika individu justru kehilangan keuntungan yang
berharga ketika melakukan proses konversi agama.
Ketika berbicara mengenai sesuatu yang berharga, dalam segala bidang
kehidupan dari individu, akan memiliki sesuatu yang berharga, baik dalam bidang
ekonomi seperti pekerjaan yang mampu menghasilkan harta benda dan uang yang
melimpah. Dalam bidang sosial dan agama, interaksi yang selalu terjalin dan
harmonis di dalam masyarakat, komunitas maupun keluarga, juga kelompok agama,
interaksi antar individu dengan Tuhan-nya terus dilakukan. Dalam bidang politik,
individu memiliki kedudukan yang baik; serta dalam kebudayaan, ia masih melakukan
dan memelihara apa yang menjadi kebudayaannya. Namun hal-hal tersebut dapat
menjadi kebalikannya, dimana sebagai dampak atau konsekuensi dalam individu
berpindah dari satu agama ke agama lainnya. Selain itu juga ketika individu yang
melakukan konversi agama namun tidak secara benar mempelajari, mengimani dan
melakukan ajaran-ajaran agama yang baru, kedangkalan pun akan terjadi. Imannya
terhadap agama yang baru akan tidak mendalam, dengan begitu individu tersebut akan
mudah mencampur-adukkan antara ajaran agamanya yang lama dengan yang baru.
Hal inilah yang menimbulkan adanya sinkritisme agama.
Dampak negatif yang diimbulkan dari proses konversi agama, memiliki kaitan
dengan suatu hukuman yang diberikan oleh kelompok agama yang lama kepada
individu yang berpindah dari agama mereka. Hukuman tersebut bervariasi, baik mulai
dari pemberian nama yang bermakna buruk, seperti pengkhianat, orang kafir,
pembangkang dan orang yang murtad.35 Hukuman dalam tindakan juga diberikan,
bagi agama Islam,dimana sebagian besar ulama memberikan hukuman mati kepada
mereka yang meninggalkan agama Islam (sikap riddah atau keluar dari Islam). 35 Rusli, “KONVERSI AGAMA: TINJAUAN FIQH TERHADAP HADDRIDDAH”, dalam
http://bangrusli.blogspot.com/2011/06/konstruksi-mazhab-fikih.html, diunduh pada hari Minggu, 08 Juli 2012 pkl 14.26
33
Namun sebagian dari mereka yang menganut kebebasan bergama, dimana HAM dan
Al-Qur’ãn (khususnya dalam Q.S. Yunus : 99 “Apakah engkau, memaksa manusia,
supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”?) lebih memilih untuk
tidak memberikan hukuman mati, karena mereka beranggapan bahwa apa yang
dilakukan individu khususnya ketika meninggalkan agama, akan menjadi dosa
pribadi. Dengan demikian hal tersebut menjadi urusan pribadi dengan Tuhan.36
Sebagian orang merasakan dihapusnya hak atas harta warisan, pengasingan, hilangnya
hak perwalian atas anak, hilangnya hak-hak sebagai suami maupun istri,kesemuanya
tersebut sebagai dampak negatif berupa hukuman dalam tindakan.
Di lain sisi dari proses konversi agama terdapat dampak positif, yakni: individu
lebih memaknai peran agama di dalam menjawab kebutuhan hidupnya. Dengan
memilih dan memutuskan untuk melakukan konversi agama, individu dapat
mengevaluasi diri sendiri terkait dengan penghayatannya terhadap iman
kepercayaannya dalam satu agama. Selain itu juga akan memunculkan kesadaran
terkait dengan pluralisme agama.37
II.1.5. Motif Konversi Agama
Konversi agama adalah hal yang kompleks, yang di dalamnya terkandung
berbagai macam bidang ilmu, baik psikologi, budaya, sosial. Selain itu juga untuk
dapat mengerti mengenai konversi, perlu mengetahui hal-hal yang menyebabkan
konversi dapat terjadi, serta macam-macam konversi. Kekompleksan tersebut juga
dapat dilihat dengan adanya enam gagasan motif konversi yang diusulkan oleh John
36H. Zakaria Syafe’i, dalam makalah “Konversi Agama dalam Timbangan”.
37 http://downloadmakalahgratis.blogspot.com/2010/11/konversi-agama.html, diunduh pada hari Kamis, 05 Juli 2012 pkl 18.23
34
Lofland dan Norman Skonovd dalam buku Understanding Religious Conversion.38
Melalui keenam motif konversi ini, maka dapat diketahui macam-macam cara yang
dapat dilakukan dalam kaitannya memahamai konversi. Enam gagasan motif konversi
tersebut antara lain:
i. Konversi Intelektual (Intellectual Conversion)
Dalam motif ini, seseorang dapat memahami tentang konversi dengan mencari
pengetahuan agama maupun pokok-pokok spiritual melalui buku-buku, televisi,
artikel-artikel, dari perkuliahan, dan media lainnya yang tidak terkait dengan
manfaat kontak sosial. Dalam hal ini seseorang secara aktif mencari ke luar dan
mengembangkan berbagai alternatif yang memungkinkannya untuk memperoleh
pengetahuan-pengetahuan tersebut.
ii. Konversi Mistik (Mystic Conversion)
Dianggap oleh beberapa orang sebagai konversi prototipikal, seperti dalam kasus
Saulus dari Tarsus. Konversi mistik ini biasanya merupakan sesuatu yang terjadi
secara mendadak dan memberikan trauma kepada orang yang mengalaminya,
terkait dengan wawasan yang disebabkan oleh penglihatan-penglihatan, suara-
suara, atau pengalaman-pengalaman paranormal lainnya.
iii. Konversi Percobaan (Experimental Conversion)
Pada abad 20, konversi ini menjadi jalan utama orang melakukan konversi. Hal
itu dapat terjadi karena kebebasan agama yang besar dan tersedianya berbagai
macam pengalaman beragama. Dalam konversi ini melibatkan pengembangan
secara aktif dari pilihan-pilihan agama.
iv. Konversi Batin (affectional Conversion)
38 Lewis R. Rambo, 14-16.
35
Konversi ini menekankan pada ikatan-ikatan interpersonal yang ada sebagai suatu
faktor yang penting di dalam konversi, selain itu juga berpusat secara langsung
pada pengalaman pribadi yang dicintai, dipelihara, dan ditegaskan dengan adanya
kelompok dan para pemimpinnya.
v. Konversi Pembaharuan (Revivalism Conversion)
Pada motif ini menggunakan kecocokan kelompok untuk mempengaruhi perilaku.
Dengan demikian, individu-individu secara emosional akan terangsang, perilaku
baru dan keyakinan yang dipromosikan oleh tekanan yang diberikan. Agar hal
tersebut dapat terjadi, diperlukan kekuatan-kekuatan musik dan khotbah yang
memiliki kekuatan emosi, sehingga tercipta suatu pertemuan pembaharuan.
vi. Konversi Paksaan (Coercive Conversion)
Konversi ini dapat terjadi karena kondisi-kondisi khusus yang sengaja diatur.
Proses konversi paksaan ini dilakukan dengan cara mencuci otak, mengajak
dengan paksa, membentuk pikiran dan memprogram label-label yang lainnya.
Suatu konversi lebih kurang menjadi suatu paksaan jika dilihat dari tingkat
maupun tekanan kuat yang diberikan pada orang tersebut untuk berpartisipasi,
menyesuaikan dan mengakuinya.