bab ii telaah literatur - kc.umn.ac.id
TRANSCRIPT
29
BAB II
TELAAH LITERATUR
2.1. Teori Sinyal (Signaling Theory)
Teori Sinyal merupakan asumsi bahwa manajer dari semua perusahaan memiliki
insentif (meskipun berbeda) untuk menjaga kredibilitas mereka dengan pasar
melalui penyampaian laporan kinerja perusahaan. Oleh karena itu, teori sinyal
memprediksi bahwa perusahaan dapat menyajikan (mengungkapkan) informasi
lebih banyak daripada yang diminta. Selain itu, teori sinyal juga memprediksi apa
yang akan diberikan oleh perusahaan, bagaimana dan kapan (Godfrey dkk., 2010).
Menurut Jamaβan (2008) dalam Nurmiati (2016), teori sinyal
mengemukakan tentang bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan
sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Sinyal ini berupa informasi mengenai
apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan para
pemilik (pemegang saham). Teori sinyal menjelaskan bahwa pemberian sinyal
dilakukan oleh manajer untuk mengurangi asimetri informasi. Asimetri informasi
akan terjadi jika manajemen tidak secara penuh menyampaikan semua informasi
yang dapat mempengaruhi nilai perusahaan ke pasar modal. Untuk menghindari
asimetri informasi, perusahaan harus memberikan informasi secara penuh sebagai
sinyal kepada investor. Investor selalu membutuhkan informasi yang simetris
30
sebagai pemantau (dasar analisis) dalam menanamkan dana (berinvestasi) pada
suatu perusahaan (Nurmiati, 2016).
Menurut Wolk dan Tearney (1997) dalam Soares dan Amin (2016)
menyatakan bahwa hal positif dalam signalling theory adalah dimana perusahaan
yang memberikan informasi yang bagus akan membedakan dengan perusahaan
yang tidak memiliki βberita bagusβ dengan menginformasikan pada pasar tentang
keadaan mereka. Sinyal tentang bagusnya kinerja masa depan yang diberikan oleh
perusahaan yang kinerja keuangan masa lalunya tidak bagus dan tidak dipercaya
oleh pasar. Hubungan teori sinyal dengan timeliness adalah akurasi dan
ketepatwaktuan penyampaian laporan keuangan kepada publik merupakan sinyal
dari perusahaan tentang adanya informasi yang bermanfaat dalam pengambilan
keputusan oleh investor (Soares dan Amin, 2016).
2.2. Teori Kepatuhan (Compliance Theory)
Kepatuhan berasal dari kata patuh yang berarti suka menurut (perintah dan
sebagainya), taat (pada perintah, aturan, dan sebagainya), dan berdisiplin.
Sedangkan, kepatuhan berarti sifat patuh atau ketaatan (www.kbbi.web.id).
Menurut Martinez et.al (2015) dalam Susandya dkk. (2018) menyatakan bahwa
teori kepatuhan didasarkan pada ekspektasi atas imbalan dan upaya untuk
menghindari penalti (sanksi) yang mungkin dikenakan. Pemberian sanksi dianggap
sebagai satu-satunya cara supaya kepatuhan hukum dapat tercapai, apabila terjadi
31
penolakan ataupun ketidakmampuan. Dengan kata lain, teori kepatuhan lebih
berfokus pada solusi hukum (Sitorus dan Andayani, 2019).
Sesorang individu cenderung mematuhi hukum yang mereka anggap
sesuai dan konsisten dengan norma-norma internal mereka. Komitmen normatif
melalui moralitas personal (normative commitment through morality) berarti
mematuhi hukum karena hukum tersebut dianggap sebagai keharusan, sedangkan
komitmen normatif melalui legitimasi (normative commitment through legitimacy)
berarti mematuhi peraturan karena otoritas penyusun hukum tersebut memiliki hak
untuk mendikte perilaku (Sudaryanti, 2008 dalam Sanjaya dan Wirawati, 2016).
Kepatuhan terhadap ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan tahunan di
Indonesia telah diatur dalam Surat Keputusan Badan Pengawas Pasar Modal Nomor
KEP-346/BL/2011 lampiran peraturan nomor X.K.2 dan Peraturan Bursa Nomor I-
E Tentang Kewajiban Penyampaian Informasi ketentuan nomor III.1.6.2. Jika
perusahaan melanggar peraturan tersebut, maka akan dikenakan sanksi sesuai
dengan Peraturan Bursa Nomor I-H ketentuan II.6.
Naranjo (2017) dalam Susandya dkk. (2018) mengemukakan bahwa
terdapat 2 (dua) perspektif dasar mengenai kepatuhan yaitu:
1. Perspektif instrumental
Perspektif instrumental mengasumsikan bahwa individu didorong oleh
kepentingan pribadi dan tanggapan terhadap perubahan berwujud, insentif, dan
hukuman yang berkaitan dengan perilaku.
32
2. Perspektif normatif.
Perspektif normatif berkaitan dengan apa yang orang anggap moral dan
bertentangan dengan kepentingan mereka.
Mengenai penyampaian laporan keuangan kepada publik, secara instrumental,
respon positif diperoleh perusahaan dengan segera menyampaikan laporan
keuangannya. Sedangkan untuk perspektif normatif, individu cenderung
melaporkan secara tepat waktu karena dianggap sebagai komitmen normatif
melalui moralitas. Menurut Werksman et. al. (2014) dalam Susandya dkk. (2018),
teori kepatuhan dapat mendorong perusahaan untuk menyampaikan laporan
keuangan tepat waktu sehingga laporan keuangan akan sangat berguna bagi
pengguna laporan keuangan. Teori kepatuhan dapat mendorong perusahaan go
public di Indonesia untuk berusaha menyampaikan laporan keuangan tahunan tidak
melebihi tenggat waktu yang telah ditetapkan. Karena hal tersebut merupakan
kewajiban perusahaan dan sangat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memiliki
kepentingan pada laporan keuangan (pihak eksternal) (Sitorus dan Andayani,
2019).
2.3. Laporan Keuangan
Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) (2018) dalam Pedoman Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) nomor 1 mengenai Penyajian Laporan Keuangan, laporan
keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja
keuangan suatu entitas. Ada beberapa tujuan dari laporan keuangan, yaitu:
33
1. Untuk memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan
arus kas entitas yang bermanfaat bagi pengguna laporan keuangan untuk
mengambil keputusan.
2. Untuk menunjukan hasil pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan
sumber daya yang dipercayakan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka laporan keuangan harus menyajikan
informasi entitas mengenai:
(a) Aset
(b) Liabilitas
(c) Ekuitas
(d) Penghasilan dan beban, termasuk keuntungan dan kerugian
(e) Kontribusi dari dan distribusi kepada pemilik dalam kapasitasnya sebagai
pemilik
(f) Arus kas
Laporan keuangan yang lengkap menurut PSAK 1 meliputi:
1. Laporan posisi keuangan pada akhir periode
2. Laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain selama periode
3. Laporan perubahan ekuitas selama periode
4. Laporan arus kas selama periode
5. Catatan atas laporan keuangan, berisi kebijakan akuntansi yang signifikan dan
informasi penjelasan lain
34
6. Laporan posisi keuangan pada awal periode terdekat sebelumnya ketika entitas
menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara retrospektif atau membuat
penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas
mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya.
IAI (2018) dalam Karakteristik Kualitatif Informasi Keuangan Yang
Berguna menyebutkan bahwa ada 2 (dua) karakteristik kualitatif, yaitu fundamental
dan peningkat. Karakteristik kualitatif fundamental meliputi:
1. Relevansi
Informasi keuangan yang relevan mampu membuat perbedaan dalam keputusan
yang diambil oleh pengguna, jika memiliki nilai prediktif, nilai konfirmatori,
atau keduanya. Informasi keuangan yang memiliki nilai prediktif jika informasi
tersebut dapat digunakan sebagai input yang digunakan oleh pengguna untuk
memprediksi hasil (outcome) masa depan. Informasi keuangan yang memiliki
nilai konfirmatori jika menyediakan umpan balik (mengkonfirmasi atau
mengubah) tentang evaluasi sebelumnya.
2. Representasi Tepat
Laporan keuangan merepresentasikan fenomena ekonomik dalam kata dan
angka. Agar dapat menjadi informasi yang berguna, selain merepresentasikan
fenomena yang relevan, informasi keuangan juga harus merepresentasikan
secara tepat fenomena yang akan direpresentasikan. Agar dapat menunjukkan
representasi tepat dengan sempurna, tiga karakteristik yang harus dimiliki yaitu
lengkap, netral, dan bebas dari kesalahan.
35
Karakteristik kualitatif peningkat meliputi:
1. Keterbandingan
Karakteristik kualitatif yang memungkinkan pengguna untuk mengidentifikasi
dan memahami persamaan dalam, dan perbedaan antara pos-pos.
2. Keterverifikasian
Membantu meyakinkan pengguna bahwa informasi merepresentasikan
fenomena ekonomik secara tepat sebagaimana mestinya.
3. Ketepatwaktuan
Tersedianya informasi bagi pembuat keputusan pada waktu yang tepat sehingga
dapat mempengaruhi keputusan mereka.
4. Keterpahaman
Pengklasifikasian, pengarakteristikan, dan penyajian informasi secara jelas dan
ringkas dapat membuat informasi tersebut terpaham.
Pada Surat Keputusan Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-
346/BL/2011 lampiran peraturan nomor X.K.2, Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
menyatakan bahwa Emiten atau Perusahaan Publik yang pernyataan
pendaftarannya telah menjadi efektif wajib menyampaikan Laporan Keuangan
Berkala kepada Bapepam dan LK paling sedikit 2 (dua) eksemplar, satu diantaranya
dalam bentuk asli, dan disertai dengan laporan dalam salinan elektronik (soft copy).
Selain itu, lebih detail dalam Peraturan Nomor I-E Tentang Kewajiban
Penyampaian Informasi ketentuan nomor VI mengenai tata cara penyampaian
laporan, Bursa menyatakan bahwa setiap penyampaian laporan oleh Perusahaan
36
Tercatat oleh Bursa wajib disampaikan dalam 2 (dua) bentuk, yaitu dalam bentuk
dokumen asli tercetak yang telah ditandatangani oleh direksi dan atau pejabat yang
ditunjuk atau dikuasakan oleh direksi dan dalam bentuk dokumen elektronik dalam
bentuk file .pdf (portable document format) yang merupakan konversi dari
dokumen tercetak.
2.4. Auditing
Menurut Arens, et al. (2017), Auditing adalah suatu proses mengumpulkan
(mengakumulasi) dan mengevaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan
melaporkan tingkat kesesuaian (kecocokan) antara informasi dengan kriteria
(peraturan) yang ditetapkan. Menurut Arens et al. (2017), tipe-tipe audit dibagi
menjadi 3 (tiga), yaitu:
1. Operational audit (Audit Operasional)
Audit operasional mengevaluasi efisiensi dan efektivitas semua bagian dari
metode dan prosedur operasi perusahaan. Jika audit operasional telah selesai,
maka secara normal manajemen akan mengharapkan rekomendasi untuk
meningkatkan operasi.
2. Compliance audit (Audit Kepatuhan)
Audit kepatuhan dilakukan untuk menentukan apakah pihak yang diaudit sudah
mengikuti prosedur, aturan, atau regulasi khusus yang ditetapkan oleh pihak
otoritas yang lebih tinggi.
37
3. Financial statement audit (Audit Laporan Keuangan)
Audit laporan keuangan dilakukan untuk mengukur apakah laporan keuangan
(informasi sudah terverifikasi) telah dinyatakan dengan sesuai dengan kriteria
yang sudah ditentukan.
Laporan keuangan yang merupakan tanggung jawab manajemen perlu
diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang merupakan pihak ketiga yang
independen, karena: (Agoes, 2018)
a. Jika tidak diaudit, ada kemungkinan bahwa laporan keuangan tersebut
mengandung kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja.
b. Jika laporan keuangan sudah diaudit dan mendapat opini wajar tanpa
pengecualian (unqualified) dari KAP, berarti pengguna laporan keuangan bisa
yakin bahwa laporan keuangan tersebut bebas dari salah saji yang material dan
disajikan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum di Indonesia
(SAK/ETAP/IFRS).
c. Mulai tahun 2001 perusahaan yang total asetnya Rp25 milyar ke atas harus
memasukkan audited financial statements-nya ke Departemen Perdagangan
dan Perindustrian.
d. Perusahaan yang sudah go public harus memasukkan audited financial
statements nya ke Bapepam-LK (sekarang Otoritas Jasa Keuangan atau OJK)
paling lambat 90 harus setelah tahun buku.
38
e. SPT yang didukung oleh audited financial statements lebih dipercaya oleh
pihak pajak dibandingkan dengan yang didukung oleh laporan keuangan yang
belum diaudit.
Selain itu, dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, direksi wajib menyerahkan laporan keuangan
Perseroan kepada akuntan publik untuk diaudit apabila:
a. Kegiatan usaha Perseroan adalah menghimpun dan/atau mengelola dana
masyarakat.
b. Perseroan menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat.
c. Perseroan merupakan Perseroan Terbatas.
d. Perseroan merupakan Persero.
e. Perseroan mempunyai asset dan/atau jumlah peredaran usaha dengan jumlah
nilai paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima pulih miliar rupiah).
f. Diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
Jika perusahaan tidak melakukan kewajiban tersebut, maka laporan keuangan tidak
akan disahkan oleh RUPS.
Sebelum melaksanakan tugasnya, auditor harus menyusun prosedur audit
(audit procedures). Audit procedures adalah langkah-langkah yang harus
dijalankan auditor dalam melaksanakan pemeriksaannya dan sangat diperlukan
oleh asisten agar tidak melakukan penyimpangan dan dapat bekerja secara efisien
dan efektif. Audit procedures dilakukan dalam rangka mendapatkan bahan-bahan
bukti (audit evidence) yang cukup untuk mendukung pendapat auditor atas
39
kewajaran laporan keuangan. Tahapan-tahapan audit dapat dijelaskan sebagai
berikut: (Agoes, 2018)
a. Kantor Akuntan Publik (KAP) dihubungi oleh calon pelanggan (klien) yang
membutuhkan jasa audit.
b. KAP membuat janji untuk bertemu dengan calon klien untuk membicarakan
beberapa hal, misalnya audit sebelumnya, jenis usaha perusahaan dan gambaran
umum perusahaan, sistem akuntansi perusahaan, dan dokumentasi pembukuan.
c. KAP mengajukan surat penawaran (audit proposal).
d. KAP melakukan audit field work (pemeriksaan lapangan) di kantor Klien.
e. Selain audit report, KAP juga diharapkan memberikan Management Letter.
Menurut Arens et. al. (2017), management letter adalah surat yang ditulis oleh
auditor kepada manajemen klien yang berisi rekomendasi auditor untuk
meningkatkan segala aspek bisnis klien.
Pada akhir pemeriksaaannya, KAP akan memberikan suatu laporan akuntan
(audit) yang terdiri atas lembaran opini dan laporan keuangan. Lembaran opini
merupakan tanggung jawab akuntan publik, dimana akuntan publik memberikan
pendapatnya terhadap kewajaran laporan keuangan yang disusun oleh manajemen
dan merupakan tanggung jawab manajemen. Laporan keuangan yang terdiri dari:
a. Laporan Posisi Keuangan (Neraca)
b. Laporan Laba-Rugi Komprehensif (Laporan Laba Rugi)
c. Laporan Perubahan Ekuitas
d. Laporan Arus Kas
40
e. Catatan atas laporan keuangan yang antara lain berisi: bagian umum
(menjelaskan latar belakang perusahaan), kebijakan akuntansi dan penjelasan
atas pos-pos Laporan Posisi Keuangan (Neraca), dan laba rugi komprehensif
(laporan laba rugi)
f. Informasi tambahan berupa lampiran mengenai perincian pos-pos yang penting
seperti perincian piutang, aset tetap, liabilities, beban umum dan administrasi,
serta beban penjualan. (Agoes, 2018).
Menurut Arens, et al. (2017), laporan audit (audit report) merupakan suatu
bentuk komunikasi antara auditor dengan klien atas hasil temuannya. Bentuk
komunikasi antara auditor dengan klien adalah opini auditor mengenai kewajaran
laporan keuangan perusahaan. Menurut SA 700, SA 705, dan SA 706, ada 5 (lima)
jenis opini audit, yaitu:
1. Opini Tanpa Modifikasian
Auditor harus menyatakan opini tanpa modifikasiaan bila auditor
menyimpulkan bahwa laporan keuangan disusun, dalam semua hal yang
material, sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku.
2. Opini Wajar dengan Pengecualian
Auditor harus menyatakan opini wajar dengan pengecualian ketika:
(a) Auditor, setelah memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat,
menyimpulkan bahwa kesalahan penyajian, baik secara individual maupun
secara agregasi, adalah material, tetapi tidak pervasif, terhadap laporan
keuangan; atau
41
(b) Auditor tidak dapat memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat yang
mendasari opini, tetapi auditor menyimpulkan bahwa kemungkinan dampak
kesalahan penyajian yang tidak terdeteksi terhadap laporan keuangan, jika
ada, dapat bersifat material, tetapi tidak pervasif.
3. Opini Wajar dengan Pengecualian dengan Paragraf Penekanan
Jika menurut auditor perlu untuk menarik perhatian pengguna laporan
keuangan atas suatu hal yang disajikan atau diungkapkan dalam laporan
keuangan yang menurut pertimbangan auditor, sedemikian penting bahwa hal
tersebut adalah fundamental bagi pemahaman pengguna laporan keuangan atas
laporan keuangan, maka auditor harus mencantumkan paragraf Penekanan
Suatu Hal dalam laporan auditor selama auditor telah memperoleh bukti audit
yang cukup dan tepat bahwa tidak terdapat kesalahan penyajian material atas
hal tersebut dalam laporan keuangan.
4. Opini Tidak Wajar
Auditor harus menyatakan suatu opini tidak wajar ketika auditor, setelah
memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat, menyimpulkan bahwa kesalahan
penyajian, baik secara individual maupun secara agregasi, adalah material dan
pervasif terhadap laporan keuangan.
5. Opini Tidak Menyatakan Opini
Auditor tidak boleh menyatakan pendapat ketika auditor tidak dapat
memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat yang mendasari opini, dan
auditor menyimpulkan bahwa kemungkinan dampak kesalahan penyajian yang
42
tidak terdeteksi terhadap laporan keuangan, jika ada, dapat bersifat material dan
pervasif.
Menurut SA 705, pervasif adalah suatu istilah yang digunakan dalam konteks
kesalahan penyajian untuk mengambarkan dampak kesalahan penyajian terhadap
laporan keuangan atau kemungkinan dampak kesalahan penyajian terhadap laporan
keuangan, jika ada, yang tidak dapat terdeteksi karena ketidakmampuan untuk
memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat.
2.5. Ketepatan Waktu Penyampaian Laporan Keuangan
Menurut McGee (2009) dalam Rahma dkk. (2019), ketepatan waktu penyampaian
laporan keuangan merupakan suatu cara untuk mendukung relevansi suatu
informasi, agar laporan keuangan dapat disajikan secara transparans dan
berkualitas. Selain itu, menurut Sastrawan dan Badera (2018), ketepatwaktuan
publikasi laporan keuangan adalah kualitas ketersediaan informasi pada saat yang
diperlukan atau kualitas informasi yang baik dilihat dari segi waktu dapat diukur
berdasarkan tanggal penyampaian laporan keuangan tahunan auditan ke OJK.
Ketepatan waktu (timeliness) merupakan salah satu faktor penting dalam
menyajikan suatu informasi yang relevan. Karakteristik informasi yang relevan
harus mempunyai nilai prediktif dan disajikan tepat waktu. Laporan keuangan
sebagai sebuah informasi akan bermanfaat apabila informasi yang dikandungnya
disediakan tepat waktu bagi pembuat keputusan sebelum informasi tersebut
kehilangan kemampuannya dalam mempengaruhi pengambilan keputusan. Jika
43
terdapat penundaan yang tidak semestinya dalam pelaporan, informasi yang
dihasilkan akan kehilangan relevansinya (Hilmi dan Ali, 2008 dalam Diliasmara
dan Nadirsyah, 2019). Ketepatan waktu tidak menjamin relevansinya, tetapi
relevansi tidaklah mungkin tanpa ketepatan waktu. Oleh karena itu, ketepatan
waktu adalah batasan penting pada publikasi laporan keuangan (Sanjaya dan
Wirawati, 2016).
Tepat waktu dikaitkan dengan isi laporan adalah keterlambatan penerbitan
laporan keuangan yang terkait dengan berita baik (good news) dan berita buruk (bad
news). Good news merupakan berita baik bagi investor sebagai signal yang baik
dalam menentukan investasi. Sedangkan bad news merupakan berita buruk bagi
investor sebagai signal yang kurang baik dalam menentukan keputusan investasi
(Wulantoro, 2011 dalam Indrayenti dan Ie, 2016).
Pada Surat Keputusan Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-
346/BL/2011 lampiran peraturan nomor X.K.2 mengenai Penyampaian Laporan
Keuangan Berkala Emiten atau Perusahaan Publik, Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) atau yang sekarang disebut Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) telah mengatur batas penyampaian laporan keuangan, yaitu pada
akhir bulan ketiga setelah tanggal laporan keuangan tahunan (www.ojk.go.id).
Selain itu, pada Maret 2020, OJK dan BEI mengeluarkan ketentuan terkait
antisipasi atas pandemi Virus Corona (Covid-19) yang tengah melanda Indonesia.
Pada 18 Maret 2020, OJK mengeluarkan siaran Pers tersebut berisi tentang
relaksasi waktu penyampaian laporan keuangan. Selain itu, pada 20 Maret 2020,
44
Bursa juga mengeluarkan Surat Keputusan Direksi BEI No. Kep-00027/BEI/03-
2020 perihal relaksasi batas waktu penyampaian laporan keuangan dan laporan
tahunan. Kedua ketentuan tersebut menyatakan bahwa batas penyampaian laporan
keuangan tahunan diperpanjang selama 2 (dua) bulan dari batas waktu yang sudah
ditentukan, yang seharusnya paling lambat 31 Maret diubah menjadi paling lambat
31 Mei. Apabila perusahaan publik atau emiten melanggar ketentuan tersebut, maka
akan dikenakan sanksi dan denda berdasarkan Peraturan Nomor I-H ketentuan II.6
oleh Bursa Efek Indonesia. Perusahaan yang melanggar Peraturan Nomor I-E
ketentuan II.1.6 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan akan dikenakan sanksi
sebagai berikut:
1. Peringatan tertulis I, atas keterlambatan penyampaian Laporan Keuangan
sampai 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak lampaunya batas waktu
penyampaian Laporan Keuangan.
2. Peringatan tertulis II dan denda sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah), apabila mulai hari kalender ke-31 hingga hari kalender ke-60 sejak
lampaunya batas waktu penyampaian Laporan Keuangan, Perusahaan Tercatat
tetap tidak memenuhi kewajiban penyampaian Laporan Keuangan.
3. Peringatan tertulis III dan tambahan denda sebesar Rp 150.000.000,- (seratus
lima puluh juta rupiah), apabila mulai hari kalender ke-61 hingga hari kalender
ke-90 sejak lampaunya batas waktu penyampaian Laporan Keuangan,
Perusahaan Tercatat tetap tidak memenuhi kewajiban penyampaian Laporan
45
Keuangan atau menyampaikan Laporan Keuangan namun tidak memenuhi
kewajiban untuk membayar denda.
4. Suspensi, apabila mulai hari kalender ke-91 sejak lampaunya batas waktu
penyampaian Laporan Keuangan, Perusahaan Tercatat tetap tidak memenuhi
kewajiban penyampaian Laporan Keuangan dan atau Perusahaan Tercatat telah
menyampaikan Laporan Keuangan namun tidak memenuhi kewajiban untuk
membayar denda.
5. Sanksi suspensi Perusahaan Tercatat hanya akan dibuka apabila Perusahaan
Tercatat telah menyerahkan Laporan Keuangan dan membayar denda.
(www.idx.co.id).
Ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan dihitung dengan variable
dummy, yaitu 1 untuk perusahaan yang tepat waktu dan 0 untuk perusahaan yang
tidak tepat waktu. Untuk laporan keuangan periode 2017 dan 2018, dikatakan tepat
waktu jika perusahaan menyampaikan laporan keuangannya selambat-lambatnya
akhir bulan ketiga setelah tanggal laporan keuangan tahunan dan dikatakan tidak
tepat waktu jika perusahaan menyampaikan laporan keuangannya setelah akhir
bulan ketiga setelah tanggal laporan keuangan tahunan. Untuk laporan keuangan
periode 2019, dikatakan tepat waktu jika perusahaan menyampaikan laporan
keuangannya selambat-lambatnya akhir bulan ketiga dan diperpanjang selama 2
(dua) bulan dari batas waktu yang sudah ditentukan dan dikatakan tidak tepat waktu
jika perusahaan menyampaikan laporan keuangannya melewati batas waktu
perpanjangan yang sudah ditentukan.
46
2.6. Debt to Equity Ratio (DER)
Rasio debt to equity ratio dikenal juga sebagai rasio financial leverage. Menurut
Fahmi (2011) dalam Pradipta dan Suryono (2017), rasio leverage merupakan rasio
yang menggambarkan hubungan antara utang perusahaan terhadap modal dan aset.
Debt to Equity Ratio (DER) digunakan untuk mengukur tingkat penggunaan utang
terhadap total ekuitas yang dimiliki perusahaan. Debt to Equity Ratio (DER) juga
dapat memberikan gambaran mengenai struktur modal yang dimiliki oleh
perusahaan, sehingga dapat dilihat tingkat risiko tak tertagihnya suatu utang
(Pradipta dan Suryono, 2017).
Leverage keuangan dapat diartikan sebagai penggunaan aset dan sumber
dana (source of find) oleh perusahaan yang memiliki biaya tetap dengan maksud
meningkatkan keuntungan potensia saham (Hilmi dan Ali, 2008 dalam Sanjaya dan
Wirawati, 2016). Leverage dapat digunakan untuk mengukur tingkat aktiva
perusahaan yang telah dibiayai oleh penggunaan hutang dan sebagai aset serta
sumber dana oleh perusahaan yang memiliki biaya tetap dengan maksud
meningkatkan potensial pemegang saham (Dewi dan Made, 2014 dalam Utami dan
Yennisa, 2017). Rasio ini dapat melihat seberapa jauh perusahaan dibiayai oleh
utang atau pihak luar (kreditor) dengan kemampuan perusahaan yang digambarkan
dengan modal (equity) (Mukhtar dkk., 2019).
π·πππ‘ π‘π πΈππ’ππ‘π¦ π ππ‘ππ = Total liabilitas
Total Ekuitas
47
Keterangan:
Debt to Equity Ratio (DER) : rasio perbandingan antara total keseluruhan utang
dengan total ekuitas perusahaan.
Total liabilitas : total keseluruhan utang perusahaan (utang jangka
panjang maupun pendek).
Total ekuitas : total keseluruhan modal yang dimiliki perusahaan.
Menurut IAI (2018) dalam Kerangka Konseptual Pelaporan Keuangan,
liabilitas merupakan kewajiban kini entitas yang timbul dari peristiwa masa lalu,
yang penyelesaiannya diharapkan mengakibatkan arus keluar dari sumber daya
entitas yang mengandung manfaat ekonomik. Liabilitas terdiri dari utang dagang
(accounts payable), wesel bayar (notes payable), pendapatan diterima di muka
(unearned revenue), utang gaji dan upah (salaries and wages payable), utang bunga
(interest payable), utang dividen (dividends payable), utang pajak pendapatan
(income taxes payable), utang obligasi (bonds payable), dan utang hipotek
(mortgage payable) (Weygandt dkk., 2019).
Utang dagang (accounts payable) adalah jumlah yang terutang kepada
pemasok untuk pembelian persediaan, perlengkapan, dan services. Pembelian ini
biasanya dilakukan secara kredit, dan pembayaran harus dilakukan dalam waktu
singkat setelah pengiriman, seperti dalam 30 hari. Wesel bayar (notes payable)
adalah perjanjian tertulis untuk membayar sejumlah uang pada tanggal tertentu di
masa depan. Wesel bayar mungkin timbul dari pembelian, pembiayaan, atau
transaksi lainnya (Kieso, dkk. 2018). Pendapatan diterima dimuka (unearned
48
revenue) merupakan suatu kewajiban yang dicatat atas kas yang diterima sebelum
jasa dilakukan atau sebelum barang dikirimkan (Weygandt dkk. 2019). Utang
bunga (interest payable) menunjukkan jumlah bunga terutang pada tanggal laporan.
Perusahaan tidak akan membayar utang bunga sampai wesel jatuh tempo. Utang
dividen (dividends payable) adalah jumlah yang terutang oleh perusahaan kepada
pemegang sahamnya sebagai hasil dari otorisasi dewan direksi (atau dalam kasus
lain, suara pemegang saham). Besaran pajak pendapatan (income taxes payable)
perusahaan bervariasi sesuai dengan jumlah pendapatan tahunanya. Perusahaan
harus menyiapkan pengembalian pajak pendapatan dan menghitung pajak
pendapatan yang terutang yang dihasilkan dari operasi periode berjalan. Obligasi
(bonds payable) mewakili janji untuk membayar sejumlah uang pada tanggal jatuh
tempo yang ditentukan, ditambah bunga periodik pada tingkat tertentu pada jumlah
jatuh tempo (nilai nominal). Utang hipotek (mortgage payable) adalah wesel bayar
yang dijamin dengan dokumen yang disebut hipotek yang menjaminkan hak milik
atas properti sebagai jaminan atas pinjaman (Kieso, dkk. 2018).
Sedangkan, ekuitas merupakan hak residual atas aset setelah dikurangi
seluruh liabilitas (IAI, 2018). Menurut Weygandt dkk. (2019), klaim kepemilikan
atas total aset perusahaan adalah ekuitas. Untuk mengetahui kepemilikan pemegang
saham, perusahaan mengurangi kewajiban dengan aset dan sisanya merupakan
klaim pemegang saham. Hal ini sering disebut sebagai ekuitas yang βtersisaβ
setelah klaim kreditor terpenuhi. Menurut Kieso, dkk. (2018), ekuitas terdiri dari
share capital, share premium, laba ditahan (retained earnings), akumulasi
49
pendapatan komprehensif lain (accumulated other comprehensive income),
treasury shares, dan kepentingan non-pengendali (non-controlling interest).
Share capital merupakan nilai nominal atau nilai saham yang diterbitkan.
Termasuk ordinary shares (saham biasa) atau disebut juga common shares dan
preference shares (saham preferens) atau disebut juga preferred shares. Share
premium merupakan kelebihan jumlah yang dibayarkan di atas par atau stated
value. Laba ditahan (retained earnings) merupakan penghasilan perusahaan yang
tidak didistribusikan. Akumulasi pendapatan komprehensif lain (accumulated other
comprehensive income) merupakan jumlah dari item pendapatan komprehensif
lain. Treasury shares, umumnya merupakan jumlah saham biasa yang dibeli
kembali. Kepentingan non-pengendali (non-controlling interest) merupakan
sebagian ekuitas anak perusahaan yang tidak dimiliki oleh perusahaan pelapor
(induk perusahaan) (Kieso, dkk. 2018).
Menurut Nst (2017), jika utang perusahaan lebih tinggi dari modalnya
berarti rasio struktur modal (DER) diatas 1 (satu), sehingga penggunaan dana untuk
aktivitas operasional perusahaan lebih banyak menggunakan utang. Hal ini
menandakan bahwa perusahaan harus menanggung biaya modal lebih besar,
sehingga dapat meningkatkan resiko yang ditanggung perusahaan apabila investasi
tidak menghasilkan tingkat pengembalian yang optimal. Oleh karena itu, investor
cenderung lebih tertarik jika tingkat struktur modal perusahaan kurang dari 1 (satu).
50
2.7. Pengaruh Debt to Equity Ratio (DER) terhadap Ketepatan
Waktu Penyampaian Laporan Keuangan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Janrosi dan Prima (2018), Pradipta dan
Suryono (2017), dan Ferdina dan Wirama (2017) menunjukkan bahwa debt to
equity ratio (DER) berpengaruh terhadap ketepatan waktu penyampaian laporan
keuangan. Perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan biasanya tidak tepat
waktu dalam penyampaian pelaporan keuangan dibanding perusahaan yang tidak
mengalami kesulitan keuangan. Hal ini disebabkan perusahaan yang memiliki debt
to equity ratio yang tinggi menunjukkan adanya kemungkinan bahwa perusahaan
tersebut tidak bisa melunasi kewajiban atau hutangnya baik berupa pokok maupun
bunganya. Sehingga ini merupakan berita buruk bagi perusahaan. Oleh sebab itu
pihak manajemen cenderung akan menunda penyampaian laporan keuangannya
(Janrosi dan Prima, 2018). Leverage yang bernilai tinggi menandakan tingkat yang
tinggi pada risiko keuangan perusahaan. Adanya potensi perusahaan tidak sanggup
membayar kewajibannya dapat digambarkan dengan tingginya risiko perusahaan.
Risiko keuangan yang bernilai tinggi mengilustrasikan bahwa perusahaan
menghadapi persoalan keuangan. Adanya masalah dalam keuangan suatu
perusahaan merupakan kabar yang tidak baik dan akan berdampak pada kondisi
perusahaan di mata investor dan publik sehingga perusahaan mengarah untuk
menunda dalam menyampaikan laporan keuangan (Ferdina dan Wirama, 2017).
Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Janrosi dan Prima
(2018), hasil penelitian yang dilakukan oleh Dilasmara dan Nadirsyah (2019),
51
Elviani (2017), dan Utami dan Yennisa (2017) menunjukkan bahwa debt to equity
ratio (DER) tidak berpengaruh terhadap ketepatan waktu penyampaian laporan
keuangan. Dalam kondisi perekonomian perusahaan saat ini masalah utang
dianggap biasa dan bukan permasalahan yang luar biasa bagi perusahaan selama
masih ada kemungkinan penyelesaiannya (Dilasmara dan Nadirsyah, 2019).
Berdasarkan landasan teori tersebut, hipotesis alternatif terkait debt to
equity ratio (DER) dan ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan ialah
sebagai berikut:
Ha1: Debt to Equity Ratio (DER) berpengaruh negatif terhadap ketepatan
waktu penyampaian laporan keuangan.
2.8. Audit Delay
Menurut Soares dan Amin (2016), audit delay merupakan lamanya/rentang waktu
yang dibutuhkan akuntan publik untuk menyelesaiakan proses pengauditan hingga
penyajian opininya atas laporan keuangan tahunan. Audit delay berperan penting
dalam mempengaruhi kecepatan pengumuman laporan keuangan ke publik. Dalam
penelitian ini, audit delay diukur secara kuantitatif dalam jumlah hari. Menurut
Rahmayanti (2016), audit delay merupakan variabel yang diukur dengan dasar
rentang waktu tutup buku (31 Desember) sampai dengan waktu laporan/opini audit
dikeluarkan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP).
Menurut Kartika (2011) dalam Sujarwo (2019), audit delay adalah kualitas
laporan keuangan. Adanya rentang waktu dalam menyelesaikan laporan keuangan
52
yang benar sangat mempengaruhi keadaan psikologi perusahaan, dengan demikian
perusahaan akan berhati-hati agar tidak berdampak buruk di masa mendatang. Audit
delay adalah lamanya waktu yang diukur dari selesainya audit tanggal penutupan
tahun buku sampai dengan tanggal diterbitkannya laporan audit (Halim, 2000 dalam
Mawardi, 2017). Penundaan audit, secara langsung dapat memengaruhi ketepatan
waktu informasi yang diterima dan memengaruhi kemampuan pengambilan
keputusan dan pengendalian. Lamanya waktu penyelesaian audit merupakan salah
satu faktor penentu ketepatan waktu yang sangat penting (Givoly dan Palmon, 1982
dalam Mawardi, 2017).
Gambar 2.1 Konsep Audit Delay
Keterangan gambar:
Audit delay : lamanya proses penyelesaian laporan audit
dari tanggal penutupan tahun buku sampai
laporan audit independen diterbitkan.
Tanggal tutup buku : tanggal perusahaan menyelesaikan laporan
keuangannya, yaitu 31 Desember.
Tanggal Tutup Buku
31 Desember
Tanggal Laporan
Audit Independen
Audit Delay
53
Tanggal laporan audit independen : tanggal yang tertera dalam laporan audit
independen.
Tanggal laporan akuntan harus sama dengan tanggal selesainya pekerjaan
lapangan dan tanggal surat pernyataan langganan, karena menunjukkan sampai
tanggal berapa akuntan bertanggung jawab untuk menjelaskan hal-hal yang penting
yang terjadi. Jika sesudah tanggal selesainya pekerjaan lapangan (audit field work),
terjadi peristiwa penting yang jumlahnya material dan mempunyai pengaruh
terhadap laporan keuangan yang diperiksa, dan saat itu laporan audit belum
dikeluarkan, auditor harus menjelaskan kejadian penting tersebut dalam catatan atas
laporan keuangan dan lembaran opini. Dalam hal ini, tanggal laporan keuangan
mempunyai dua tanggal (dual dating), yang pertama merupakan tanggal selesainya
pemeriksaan lapangan, yang kedua merupakan tanggal terjadinya peristiwa penting
tersebut (Agoes, 2018).
Menurut SA 700, laporan auditor harus diberi tanggal tidak lebih awal
daripada tanggal ketika auditor telah memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat
yang mendasari opini auditor atas laporan keuangan (termasuk, bila relevan, atas
informasi tambahan sebagaimana diuraikan dalam paragraf, termasuk bukti bahwa:
(a) Seluruh laporan yang membentuk laporan keuangan, termasuk catatan atas
laporan keuangan terkait, telah disusun;
(b) Pihak-pihak dengan wewenang yang diakui telah menyatakan bahwa mereka
telah mengambil tanggung jawab atas laporan keuangan tersebut.
54
Menurut IAI (2018) dalam PSAK Nomor 8 mengenai Peristiwa Setelah
Periode Pelaporan, peristiwa setelah periode pelaporan adalah peristiwa yang
terjadi antara akhir periode pelaporan dan tanggal laporan keuangan diotorisasi
untuk terbit, baik peristiwa yang menguntungkan maupun yang tidak. Peristiwa
setelah periode pelaporan dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu peristiwa penyesuai
setelah periode pelaporan dan peristiwa non-penyesuai setelah periode pelaporan.
Peristiwa penyesuai adalah peristiwa yang terjadi setelah periode pelaporan yang
memberikan bukti atas adanya kondisi yang benar-benar ada pada akhir periode
pelaporan, meskipun tidak diketahui pada saat ini. Peristiwa yang termasuk dalam
peristiwa penyesuai adalah sebagai berikut:
1. Keputusan pengadilan yang menyatakan perusahaan memiliki kewajiban kini
pada akhir periode pelaporan.
2. Diperolehmya informasi indikasi penurunan nilai suatu aset pada akhir periode
pelaporan, atau penyesuaian jumlah rugi penurunan nilai yang telah diakui
(misal pelanggan bangkrut, harga jual persediaan).
3. Penentuan harga perolehan aset atau hasil penjualan aset sebelum akhir periode
pelaporan.
4. Penentuan jumlah pembayaran laba dan bonus.
5. Penemuan kecurangan atau kesalahan.
Sedangkan, peristiwa non-penyesuai adalah peristiwa yang terjadi setelah periode
pelaporan yang mengindikasikan timbulnya kondisi setelah periode pelaporan.
Peristiwa yang termasuk dalam peristiwa non-penyesuai adalah sebagai berikut:
55
1. Penurunan nilai wajar suatu investasi di antara tanggal pelaporan dan tanggal
otoritas laporan keuangan.
2. Kombinasi bisnis yang signifikan setelah periode pelaporan.
3. Pengumuman penghentian operasi.
4. Pembelian dan pelepasan aset yang signifikan, pengambil-alihan aset oleh
pemerintah.
5. Kerusakan aset akibat kebakaran setelah periode pelaporan.
6. Pengumuman atau mulai implementasi restrukturisasi yang besar.
2.9. Pengaruh Audit Delay terhadap Ketepatan Waktu
Penyampaian Laporan Keuangan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sujarwo (2019), Rahmayanti (2016), Soares
dan Amin (2016) dan Ningsih (2016) yang menunjukkan bahwa audit delay
berpengaruh terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan. Laporan keuangan
perusahaan go public harus melewati proses audit sebelum mempublikasikan
laporannya ke publik. Jika laporan keuangan ingin dipublikasikan, maka harus
melewati proses audit. Semakin cepat proses audit laporan keuangan tahunan maka
semakin cepat pula publikasinya ke publik (Soares dan Amin, 2016). Namun, hasil
penelitian yang dilakukan oleh Astuty (2016) menunjukkan bahwa audit delay tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap ketepatan waktu penyampaian laporan
keuangan.
56
Berdasarkan landasan teori tersebut, hipotesis alternatif terkait audit delay
dan ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan ialah sebagai berikut:
Ha2: Audit Delay berpengaruh negatif terhadap ketepatan waktu
penyampaian laporan keuangan.
2.10. Struktur Kepemilikan Publik
Struktur kepemilikan publik merupakan proporsi saham yang dimiliki
publik/masyarakat terhadap saham perusahaan. Pengertian publik disini adalah
pihak individu atau institusi yang memiliki saham dibawah 5% (<5%) yang berada
di luar manajemen dan tidak memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan.
Kelompok pemegang saham masyarakat, yaitu kelompok pemegang saham yang
masing-masing memiliki kurang dari 5% biasanya merupakan gabungan
kepemilikan dari banyak masyarakat. Kelompok pemegang saham ini disebut
dengan pemegang saham publik. Pemegang saham publik biasanya merupakan
pemegang saham minoritas perusahaan. Saham yang dimiliki oleh publik
mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut memiliki kredibilitas yang tinggi pada
masyarakat dalam memberikan imbalan (deviden) (Hamdani, dkk., 2017). Menurut
Matondang & Yustrianthe (2014) dalam Saputra dan Mahyuni (2018), kepemilikan
saham publik adalah jumlah saham yang dimiliki oleh publik didalam suatu
perusahaan. Semakin tinggi tingkat kepemilikan publik dalam perusahaan, maka
tingkat pengungkapan informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan
perusahaan kepada publik akan semakin luas, guna menjaga kepercayaan publik
57
dan investor terhadap perusahaan. Struktur kepemilikan perusahaan go public dapat
disebut sebagai kepemilikan terhadap saham perusahaan publik yang didalam
kepemilikan tersebut perlu mempertimbangkan dua aspek, yaitu kepemilikan pihak
dalam atau manajemen perusahaan (insider ownerships) dan kepemilikan oleh
pihak luar (outsider ownerships) (Dwiyanti, 2010 dalam Diliasmara dan Nadirsyah,
2019).
Pemilik perusahaan dari pihak luar mempunyai kekuatan yang besar untuk
menekan manajemen untuk dapat menyajikan informasi secara tepat waktu, karena
ketepatan waktu pelaporan keuangan akan mempengaruhi keputusan ekonomi yang
akan diambilnya (Sanjaya dan Wirawati, 2016). Upaya pihak manajemen untuk
menunjukkan kinerja yang baik adalah dengan memberikan informasi
perkembangan dan kondisi perusahaan. Manajemen sebagai penyedia informasi
dituntut untuk menyajikan informasi secara tepat waktu dan relevan. Struktur
kepemilikan perusahaan yang dimiliki oleh pihak luar biasanya mempunyai
persentase kepemilikan lebih dari 50 persen sehingga pemilik perusahaan dari pihak
luar mempunyai kekuatan yang besar dalam mempengaruhi kondisi dan hasil
kinerja perusahaan (Hastutik, 2015 dalam Diliasmara dan Nadirsyah, 2019).
Struktur Kepemilikan Publik = Kepemilikan Saham Publik
Total Saham
Keterangan:
Kepemilikan Saham Publik : saham perusahaan yang dimiliki oleh publik (<5%).
58
Total Saham : jumlah keseluruhan saham yang dimiliki perusahaan
(saham beredar).
Struktur kepemilikan terdiri dari kepemilikian manajerial, kepemilikan
institusional dan kepemilikan publik (Saputra dan Mahyuni, 2018). Kepemilikan
manajerial adalah pemilik/pemegang saham oleh manajemen perusahaan yang aktif
dalam pengambilan keputusan (Wahidahwati, 2001 dalam Pasaribu, dkk. 2016),
kepemilikan institusional merupakan presentase saham yang dimiliki oleh pemilik
institusi dan kepemilikan blockholder. Blockholder merupakan kepemilikan
individu atas nama perorangan diatas 5%, tetapi tidak termasuk ke dalam golongan
kepemilikan insider (Pasaribu, dkk. 2016), dan kepemilikan publik menunjukkan
besarnya private information yang harus dibagikan manajer kepada publik. Private
information tersebut merupakan informasi internal yang semula hanya diketahui
oleh manajer, seperti standar yang dipakai dalam pengukuran kinerja perusahaan,
keberadaan perencanaan bonus, dan sebagainya (Pakpahan, 2010 dalam Saputra
dan Mahyuni, 2018).
Menurut Ndaruning (2005) dalam Nurmiati (2016), struktur kepemilikan
pihak luar terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu:
a. Kepemilikan Institusional, yaitu kepemilikan perusahaan publik berbentuk
lembaga, bukan pemilikan atas nama perseorangan atau pribadi.
b. Kepemilikan Publik, yaitu kepemilikan masyarakat atas saham perusahaan.
59
c. Kepemilikan Asing, yaitu proporsi saham biasa perusahaan yang dimiliki oleh
perorangan, badan hukum, pemerintah serta bagian-bagian yang berstatus luar
negeri.
2.11. Pengaruh Struktur Kepemilikan Publik terhadap
Ketepatan Waktu Penyampaian Laporan Keuangan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Diliasmara dan Nadirsyah (2019), Elviani
(2017) dan Sanjaya dan Wirawati (2016) menunjukkan bahwa stuktur kepemilikan
berpengaruh terhadap ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan. Dari hasil
penelitian tersebut, menunjukkan bahwa kepemilikan perusahaan oleh pihak luar
memiliki kekuatan besar dalam mempengaruhi perusahaan agar berjalan secara
maksimal. Tekanan oleh pihak luar akan membuat perusahaan menyampaikan
laporan keuangannya secara tepat waktu (Diliasmara dan Nadirsyah, 2019). Hasil
penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan
Sridarta (2019), Janrosi dan Prima (2018), dan Utami dan Yennisa (2017) yang
menunjukkan bahwa struktur kepemilikan tidak berpengaruh terhadap ketepatan
waktu pelaporan keuangan.
Berdasarkan landasan teori tersebut, hipotesis alternatif terkait struktur
kepemilikan dan ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan ialah sebagai
berikut:
Ha3: Struktur Kepemilikan berpengaruh positif terhadap Ketepatan Waktu
Penyampaian Laporan Keuangan.
60
2.12. Ukuran Perusahaan
Menurut Pradipta dan Suryono (2017), ukuran perusahaan dapat menunjukkan
seberapa besar informasi yang terdapat didalamnya, sekaligus mencerminkan
kesadaran diri pihak manajemen mengenai pentingnya informasi, baik bagi pihak
eksternal maupun internal perusahaan. Perusahaan yang memiliki sumber daya
(aset) yang besar memiliki lebih banyak sumber informasi, lebih banyak staf
akuntansi dan sistem informasi yang lebih canggih, memiliki sistem pengendalian
internal yang kuat, adanya pengawasan investor, regulator dan sorotan masyarakat,
maka akan memungkinkan perusahaan untuk menyampaikan laporan keuangannya
dengan tepat waktu (Hilmi dan Ali, 2008 dalam Pradipta dan Suryono, 2017).
Ukuran perusahaan tercermin pada besar aset dan sumber daya yang dimiliki
perusahaan (Indrayenti dan Ie (2016).
Menurut Nuryaman (2009) dalam Sanjaya dan Wirawati (2016), perusahaan
berukuran besar memiliki basis pemegang kepentingan lebih luas sehingga berbagai
kebijakan perusahaan besar akan menimbulkan dampak lebih besar terhadap
kepentingan publik dibandingkan dengan perusahaan kecil. Selain itu, investor
memiliki kecenderungan untuk menganalisis perusahaan besar dan juga perusahaan
besar akan mendapatkan tekanan yang lebih untuk menyebar luaskan informasi
yang diperoleh secara tepat dengan waktu yang telah ditentukan apabila
dibandingkan dengan perusahaan kecil dalam penyampaian financial statement
(Mautz, 1954 dalam Ferdina Wirama, 2017).
61
Menurut UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2007 tentang Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah, klasifikasi usaha dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu:
1. Usaha mikro, yaitu usaha yang memiliki kekayaan bersih paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
2. Usaha kecil, yaitu usaha yang memiliki kekayaan bersih lebih dari
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua
milyar lima ratus juta rupiah).
3. Usaha menengah, yaitu usaha yang memiliki kekayaan bersih lebih dari
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan lebih dari
Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai paling banyak
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
Selain itu, menurut Peraturan OJK Nomor 4 tentang Pernyataan Pendaftaran
Dalam Rangka Penawaran Umum Dan Penambahan Modal Dengan Memberikan
Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu Oleh Perusahaan Dengan Aset Skala Kecil
62
Atau Perusahaan Dengan Aset Skala Menengah, klasifikasi usaha dibedakan
menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Perusahaan dengan Aset Skala Kecil adalah badan hukum yang didirikan di
Indonesia yang:
a. Memiliki total aset tidak lebih dari Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah).
b. Bukan merupakan Afiliasi atau dikendalikan oleh suatu perusahaan yang
bukan Perusahaan dengan Aset Skala Kecil atau Perusahaan dengan Aset
Skala Menengah.
c. Bukan merupakan Reksa Dana.
2. Perusahaan dengan Aset Skala Menengah adalah badan hukum yang didirikan
di Indonesia yang:
a. Memiliki total aset lebih dari Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah) sampai dengan Rp.250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh
miliar rupiah).
b. Bukan merupakan Afiliasi atau dikendalikan oleh suatu perusahaan yang
bukan Perusahaan dengan Aset Skala Kecil atau Perusahaan dengan Aset
Skala Menengah.
c. Bukan merupakan Reksa Dana.
Dalam penelitian ini, ukuran perusahaan dihitung dengan natural log total
aset.
Ukuran Perusahaan = ln Total Aset
63
Keterangan:
Ukuran Perusahaan : seberapa besar aset (sumber daya) yang dimiliki
perusahaan.
Total Aset : jumlah keseluruhan dari aset perusahaan.
Menurut IAI (2018) dalam Kerangka Konseptual Pelaporan Keuangan, aset
adalah sumber daya yang dikuasai oleh entitas sebagai akibat dari peristiwa masa
lalu dan dari mana manfat ekonomik masa depan diharapkan akan mengalir ke
entitas. Aset dibagi menjadi 2 (dua), yaitu aset lancar (current assets) dan aset tidak
lancar (non-current assets). Aset lancar merupakan aset perusahaan yang
diharapkan untuk dikonversikan menjadi kas, dijual, atau dikonsumsi dalam jangka
waktu satu tahun atau satu siklus operasi (Kieso dkk., 2018). Aset lancar dibagi
menjadi 5 (lima), yaitu:
a. Persediaan (inventories).
Menurut IAI dalam PSAK nomor 14 (2018), persediaan adalah aset:
a) Tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha biasa;
b) Dalam proses produksi untuk penjualan tersebut; atau
c) Dalam bentuk bahan atau perlengkapan untuk digunakan dalam proses
produksi atau pemberian jasa.
b. Beban dibayar dimuka (prepaid expenses).
Menurut Weygandt, dkk. (2019), beban dibayar dimuka merupakan beban
dibayar tunai sebelum digunakan atau dikonsumsi. Perusahaan memasukkan
beban dibayar dimuka dalam aset lancar jika akan menerima manfaat (biasanya
64
layanan) dalam satu tahun atau siklus operasi, mana yang lebih lama (Kieso dkk.,
2018).
c. Piutang (receivables).
Menurut Weygandt, dkk. (2019), piutang adalah jumlah terutang yang harus
dibayar oleh pelanggan dari hasil penjualan barang dan jasa. Perusahaan
umumnya berharap untuk menagih piutang dalam waktu 30 hingga 60 hari.
Untuk piutang yang timbul dari transaksi yang tidak biasa seperti penjualan
properti, perusahaan harus mengklasifikasikannya secara terpisah sebagai
piutang jangka panjang, kecuali penagihan diharapkan dalam waktu satu tahun
(Kieso dkk., 2018).
d. Investasi jangka pendek (short-term investments).
Investasi jangka pendek (short-term investments atau marketable securities)
adalah sekuritas yang dimiliki oleh sebuah perusahaan yang siap dipasarkan dan
dimaksudkan untuk diubah menjadi kas dalam satu tahun atau siklus operasi
berikutnya (Weygandt, dkk. 2019).
e. Kas dan setara kas (cash and cash equivalents).
Kas umumnya dianggap terdiri dari mata uang dan giro (uang yang tersedia atas
permintaan di lembaga keuangan) dan setara kas adalah investasi jangka pendek
yang sangat likuid yang akan jatuh tempo dalam waktu tiga bulan atau kurang
dari tiga bulan (Kieso dkk., 2018).
Sedangkan aset tidak lancar merupakan aset yang tidak termasuk definisi
aset lancar. Aset tidak lancar dibagi menjadi 4 (empat), yaitu: (Kieso dkk., 2018)
65
a. Investasi jangka panjang (long-term investments).
Investasi jangka panjang sering disebut sebagai investasi, biasanya terdiri dari
salah satu dari 4 (empat) jenis, yaitu:
1) Investasi dalam sekuritas, seperti obligasi, saham biasa, atau wesel jangka
panjang.
2) Investasi dalam aset berwujud yang saat ini tidak digunakan dalam operasi,
seperti tanah yang dimiliki untuk spekulasi.
3) Investasi yang disisihkan pada dana khusus, seperti sinking fund, dana
pensiun, atau dana perluasan pabrik.
4) Investasi pada anak perusahaan yang tidak dikonsolidasi atau perusahaan
asosiasi.
b. Property, Plant, and Equipment.
Property, plant, and equipment adalah aset berwujud yang berumur panjang
yang digunakan dalam operasi bisnis perusahaan. Aset tersebut terdiri dari
properti fisik seperti tanah, bangunan, mesin, furnitur, peralatan, dan wasting
resources (mineral).
c. Aset tidak berwujud (intangible assets).
Aset tidak berwujud tidak memiliki wujud fisik dan bukan merupakan instrumen
keuangan, yang termasuk dalam aset tidak berwujud adalah patents, copyrights,
franchises, goodwill, trademarks, trade names, dan customer lists.
66
d. Aset lain-lain (other assets).
Aset lain-lain, dalam praktiknya sangat bervariasi. Beberapa item yang termasuk
dalam aset lain-lain adalah biaya dibayar dimuka jangka panjang dan piutang
tidak lancar. Item lain yang mungkin termasuk dalam aset lain-lain adalah aset
dana khusus, properti yang dimiliki untuk dijual, dan restricted cash or
securities.
Total aset merupakan jumlah dari aset lancar dan tidak lancar yang disajikan pada
laporan posisi keuangan (statement of financial position) (Kieso dkk., 2018).
2.13. Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Ketepatan Waktu
Penyampaian Laporan Keuangan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pradipta dan Suryono (2017), Utami dan
Yennisa (2017), Ferdina dan Wirama (2017), dan Sanjaya dan Wirawati (2016)
menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh terhadap ketepatan waktu
penyampaian laporan keuangan. Hal ini dikarenakan semakin besar perusahaan,
perusahaan memiliki sumber daya (aset) yang semakin besar, memiliki lebih
banyak sumber informasi, staf akuntansi dan sistem informasi yang lebih canggih,
sistem pengendalian internal yang kuat, adanya pengawasan investor, regulator dan
sorotan masyarakat, maka akan memungkinkan perusahaan untuk menyampaikan
laporan keuangannya tepat waktu (Pradipta dan Suryono, 2018). Selain itu, investor
memang memiliki kecenderungan untuk menganalisis perusahaan besar sehingga
perusahaan besar akan mendapatkan tekanan yang lebih untuk menyebarluaskan
67
informasi yang diperoleh secara tepat dengan waktu yang telah ditentukan apabila
dibandingkan dengan perusahaan kecil dalam penyampaian financial statement
(Ferdina dan Wirama, 2017).
Berbeda dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya, hasil penelitian yang
dilakukan oleh Tifanny dkk. (2020) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan tidak
berpengaruh terhadap ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan. Hal ini
karena meskipun perusahaan besar memiliki sumber daya yang memadai untuk
menyampaikan laporan keuangan secara tepat waktu, disisi lain perusahaan besar
juga memiliki kompleksitas transaksi yang besar.
Berdasarkan landasan teori tersebut, hipotesis alternatif terkait ukuran
perusahaan dan ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan ialah sebagai
berikut:
Ha4: Ukuran Perusahaan berpengaruh positif terhadap Ketepatan Waktu
Penyampaian Laporan Keuangan.
2.14. Pergantian Auditor
Pergantian auditor eksternal adalah perpindahan auditor yang terjadi karena adanya
regulasi yang mewajibkan (mandatory) dan bisa terjadi secara sukarela yang
opsional (voluntary) dari auditor dan berdasarkan keputusan manajemen.
Pergantian AP & KAP yang bersifat wajib (mandatory) adalah pergantian dalam
kurun waktu tertentu sesuai dengan peraturan yang ditetapkan pemerintah,
sedangkan pergantian yang bersifat sukarela (voluntary) terjadi karena inisiatif
68
klien dan atau KAP akibat beberapa faktor (Mukhtar dkk., 2019). Voluntary auditor
switching dapat disebabkan adanya pergantian manajemen yang baru. Pergantian
manajemen dapat disebabkan karena keputusan rapat umum pemegang saham,
berhenti karena kemauan sendiri maupun pensiun. Perubahan kebijakan suatu
perusahaan mungkin akan terjadi, karena adanya manajemen yang baru, termasuk
pergantian auditor apabila auditor lama dirasa tidak sejalan dengan manajemen baru
(Lesmana dan Kurnia, 2016). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun
2015 tentang Praktik Akuntan Publik, Akuntan Publik dapat memberikan jasa audit
umum atas laporan keuangan suatu entitas untuk:
a. 1 (satu) tahun buku dapat melanjutkan pemberian jasa audit secara berturut-
turut untuk 4 (empat) tahun buku berikutnya.
b. 2 (dua) tahun buku dapat melanjutkan pemberian jasa audit secara berturut-
turut untuk 3 (tiga) tahun buku berikutnya.
c. 3 (tiga) tahun buku dapat melanjutkan pemberian jasa audit secara berturut-
turut untuk 2 (dua) tahun buku berikutnya.
Pergantian akuntan publik dilakukan karena telah berakhirnya kontrak kerja
yang disepakati antara Kantor Akuntan Publik dengan pemberi tugas dan telah
memutuskan untuk tidak memperpanjang dengan penugasan baru (Desyana, 2019).
Penugasan baru terjadi karena beberapa alasan, yaitu: (Boynton, 2001 dalam
Sanjaya dan Wirawati, 2016)
(1) Perusahaan klien merupakan merger antara beberapa perusahaan yang semula
memiliki auditor masing-masing yang berbeda.
69
(2) Kebutuhan akan adanya jasa professional yang lebih luas.
(3) Tidak puas terhadap akuntan publik yang lama.
(4) Keinginan untuk mengurangi pendapatan audit.
(5) Merger antara beberapa kantor akuntan publik.
Pernyataan Standar Auditing (PSA) No.16 memberikan panduan tentang
komunikasi antara auditor pendahulu dengan auditor pengganti pada waktu terjadi
perubahan auditor. Komunikasi dapat tertulis atau lisan. Baik auditor pendahulu
maupun auditor pengganti harus menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh
satu sama lain. Auditor pengganti harus meminta keterangan yang spesifik dan
masuk akal kepada auditor pendahulu mengenai masalah-masalah yang menurut
keyakinan auditor pengganti akan membantu dalam memutuskan penerimaan atau
penolakan perikatan. Hal-hal yang dimintakan keterangan harus mencakup:
a. Informasi yang kemungkinan berkaitan dengan integritas manajemen.
b. Ketidaksepakatan dengan manajemen mengenai penerapan prinsip akuntansi,
prosedur audit, atau soal-soal signifikan yang serupa.
c. Komunikasi dengan komite audit atau pihak lain dengan kewenangan dan
tanggung jawab setara tentang kecurangan, unsur pelanggaran hukum oleh
klien, dan masalah-masalah yang berkaitan dengan pengendalian intern.
d. Pemahaman auditor pendahulu tentang alasan penggantian auditor.
Biasanya auditor pendahulu mengizinkan auditor pengganti untuk
melakukan review atas kertas kerja, termasuk dokumentasi perencanaan,
pengendalian intern, hasil audit, dan hal-hal signifikan di bidang akuntansi dan
70
auditing seperti kertas kerja analisis akun neraca, dan yang berkaitan dengan
kontinjensi. Auditor pendahulu juga harus mencapai kesepakatan dengan auditor
pengganti tentang penggunaan kertas kerja. Luasnya izin akses ke kertas kerja yang
diberikan oleh auditor pendahulu merupakan pertimbangan auditor pendahulu
(www.iapi.or.id).
Pergantian auditor dihitung menggunakan variable dummy yaitu 1 untuk
perusahaan yang melakukan pergantian auditor baik secara mandatory maupun
voluntary, dan 0 untuk perusahaan yang tidak melakukan pergantian auditor baik
secara mandatory maupun voluntary.
2.15. Pengaruh Pergantian Auditor terhadap Ketepatan Waktu
Penyampaian Laporan Keuangan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sastrawan dan Badera (2018) menunjukkan
bahwa pergantian auditor berpengaruh terhadap penyampaian laporan keuangan.
Hal ini dapat disebabkan karena ketika perusahaan melakukan pergantian auditor,
maka butuh waktu bagi auditor baru untuk memahami karakteristik usaha klien dan
sistem yang digunakan di perusahaan tersebut. Untuk memperoleh informasi
mengenai transaksi-transaksi perusahaan, auditor baru juga harus berkomunikasi
dengan auditor terdahulu dan manajer perusahaan sehingga hal-hal tersebut
menghabiskan cukup banyak waktu auditor dalam melaksanakan proses auditnya.
Dimana keterlambatan pelaporan audit akan menyebabkan keterlambatan
perusahaan dalam mempublikasikan laporan keuangan. Hasil penelitian ini sejalan
71
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tifanny dkk. (2020) dan Sanjaya dan
Wirawati (2016). Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tillah dkk.
(2019), Desyana (2019), dan Ningsih (2016) yang menunjukkan bahwa pergantian
auditor tidak berpengaruh terhadap ketepatan waktu penyampaian laporan
keuangan.
Berdasarkan landasan teori tersebut, hipotesis alternatif terkait pergantian
auditor dan ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan ialah sebagai berikut:
Ha5: Pergantian Auditor berpengaruh negatif terhadap Ketepatan Waktu
Penyampaian Laporan Keuangan.
2.16. Model Penelitian
Model penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Variabel Independen
Debt to Equity Ratio (DER)
Struktur Kepemilikan Publik (SKP)
Ukuran Perusahaan (UKP)
Pergantian Auditor (PGA)
Variabel Dependen
Ketepatan Waktu
Penyampaian Laporan
Keuangan (KLK)
Gambar 2.2 Model Penelitian
Audit Delay (AUD)