bab ii pembahasaan - abstrak.uns.ac.id · digulung diikat sahadat rosul daun suruh menjadi tombak...
TRANSCRIPT
45
BAB II
PEMBAHASAAN
Langkah awal untuk membedah nilai sebuah karya sastra terutama guritan
adalah mengetahui unsur strukturnya terlebih dahulu. Membedah struktur menjadi
sangat penting sebagai langkah pertama pemaknaan guritan. Analisis struktural
yang digunakan untuk membedah sepuluh gurtitan karya Widodo Basuki dalam
antologi guritan Medhitasi Alang-Alang karya Widodo Basuki adalah analisis
struktural dinamik. Teeuw dalam Pradopo (2012:209) mengatakan bahwa
strukturalisme dinamik adalah analisis struktural yang digabungkan dengan
semiotik.
Kutipan pada setiap cuplikan guritan dibubuhkan untuk mempermudah
pembahasan. Kutipan terletak di akhir baris dengan skema judul guritan,
kemudian tanda baca koma (,), angka arab, tanda baca koma (,) dan angka arab
yang kesemuanya diletakan dalam kurung. Angka arab pertama menunjukan bait
kesekian dari guritan, sedangkan angka arab kedua merupakan penanda baris
kesekian dalam bait guritan.
A. Struktur yang Membangun Kesepuluh Guritan dalam Antologi Guritan
Medhitasi Alanag-Alang karya Widodo Basuki
Richard mengatakan bahwa adanya hakikat puisi adalah untuk menggantikan
bentuk fisik puisi. Hakikat puisi adalah apa yang menyebabkan puisi itu
disebut puisi. Ada tiga aspek dalam hakikat puisi, yaitu fungsi seni atau fungsi
estetik, kedua fungsi kepandaian dan ketiga ekspresi tidak langsung.
45
46
Ketidaklangsungan ekspresi menurut Riffaterre ada tiga hal, yaitu penggantian
arti(displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning) dan
penciptaan arti (creating of meaning) (Pradopo, 1995:318).
1. Penggantian Arti (Displacing of Meaning)
a. Metafora
Metafora adalah perbandingan yang mengimplisit sesuatu atau
mengarahkan pikiran kepada sesuatu yang memiliki kesejajaran makna
(Riffaterre dalam Pradopo, 1995 :212). Hal tersebut ditemukan pada bait-
bait kesepeluh guritan sebagai berikut :
1) Dongeng Mistis ‘Dongeng Mistis’
Kutipan:
kelir manjilma jagad(DM, 1, 5)
njumputi kama tumiba (DM, 2, 3)
dikemuli wewayangan (DM, 2, 5)
Terjemahan:
kelir menjadi semesta
mengambil cinta terjatuh
diselimuti bayangan
Pada guritan Dongeng Mistis menjelaskan jagad sebagai pusat
perhatian atau keseluruhan dari pertunjukan wayang bukan jagad alam
semesta. Begitu juga dengan mengambil, bukan berarti mengambil cinta
namun menumbuhkan rasa cinta sedangkan diselimuti, bukan berarti
diselimuti dengan kain tetapi diselimuti dengan penuh rasa cinta.
47
2) Cengkir Gading ‘Cengkir Gading’
Kutipaan:
kanggo mbukak langit lan bumi (CG, 1, 5)
kanggo urubing dahana (CG, 1, 11)
Terjemahan:
untuk membuka langit dan bumi
untuk menyalanya api
Metafora dalam guritan Cengkir Gading terdapat pada bait kesatu
baris kelima, dan bait kedua baris kesebelas. Membuka bukan bearti
membuka pintu langit dan bumi tetapi membuka atau mengawali
kehidupan yang baru, begitu juga dengan menyalanya api bukan berarti
api yang dinyalakan dengan korek api tetapi cahaya atau kesuksesnya
untuk kehidupan yang akan datang.
3) Medhitasi Godhong Suruh ‘Medhitasi Daun Suruh’
Kutipan:
ginulung tinalenan sahadat rosul (MGS, 1, 2)
godhong suruh dadi tumbak (MGS, 1, 4)
Terjemahan:
digulung diikat sahadat rosul
daun suruh menjadi tombak
Metafora dalam guritan Medhitasi Godhong Suruh ditunjukan
pada bait kesatu baris kedua dan baris keempat. Tinalenan tinali berarti
ditali, diikat dengan tali atau benang bukan diikat dengan kata sahadat
rosul. Begitu juga dengan tombak, bukan berarti tombak alat yang
digunakan untuk membunuh (hewan) tetapi yang dimaksudkan adalah
daun suruh yang dilempar seperti melempar tombak.
48
4) Tancepna Maneh ‘Tancapkan Lagi’
Kutipan:
tancepna maneh swiwi-swiwiku (TM, 1, 1)
kinemulan pinjung kluwung malengkung (TM, 2, 2)
Terjemahan:
tancapakan lagi sayap-sayapku
berselimutan tapih pelangi melengkung
Pada guritan di atas metafora ditunjukan pada bait pertama baris
kesatu sayap-sayapku bukan berarti sayap untuk terbang tetapi harapan-
harapan yang diharapkan. Pada bait kedua baris kedua kluwung berarti
pelangi.
5) Ziarah ‘Ziarah’
Kutipan:
pinangka rabuk watu nisanmu (Zr, 1, 2)
ana lagu gumonthang (Zr, 1, 3)
Terjemahan:
sebagai pupuk batu nisanmu
ada lagu mengumandang
Pada guritan Ziarah metafora ditunjukan pada bait pertama baris
kedua dan baris ketiga. Pupuk, yang dimakusdkan adalah bunga tabur
bukan pupuk untuk tanaman. Baris ketiga lagu, yang dimaksud adalah
doa, jadi yang berkumanadang adalah doa bukan lagu-lagu yang
dinyanyikan pada umumnya.
49
6) Tembang Lemah Ngare ‘Lagu Tanah Pegunungan’
Kutipan:
Enggal rebuten popok-popok wewe (TLN, 4, 1)
Terjemahan:
segera rebutlah popok-popok wewe
Pada guritan Tembang Lemah Ngare popok-popok bukan arti
sebenarnya popok yang digunakan untuk bayi tetapi popok-popok wewe
merupakan rejeki yang akan didapat.
7) Panen ‘Panen’
Kutipan:
butuh tresna (Pn, 2, 4)
Terjemahan:
butuh cinta
Metafora dalam guritan Panen terdapat pada bait kedua baris
keempat, cinta bukan bearti cinta anatara kekasih tetapi cinta untuk
merawat tanaman agar tumbuh dengan subur.
Berdasarkan dari penjelasan yang dipaparkan di atas dapat
disimpulkan bahwa guritan Widodo Basuki dalam antologi guritan
Medhitasi Alang-Alang cenderung menggunakan sesuatu yang berkaitan
dengan perbandingan yang mengimplisit dengan kesejajaran makna dan
ditunjukan dengan abstrak untuk mengungkapkan metafora dalam
guritanya, seperti diselimuti, diikat, popok-popok wewe, tombak dan lain
sebagainya. Hal ini menunjukan bahwa penyair sangat memperhatikan kata
50
demi kata untuk meperbandingkan kesejajaran makna untuk memperkuat
gambaran nilai budaya lokal jawa yang ada dimasyarakat.
b. Metonimia
Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang menggantikan nama
sesuatu dengan sesuatu yang lain karena ada kesamaan pada keduanya
(Riffaterre 1978:49). Penggunaan Metonimia dalam guritan akan membuat
lebih indah dan hidup serta menghasilkan imajinasi yang nyata. Metonimia
dalam sepuluh guritan karya Widodo Basuki adalah sebagai berikut:
1) Dongeng Mistis ‘Dongeng Mistis’
Kutipan:
adam lan babu kawa campur dewa-dewa (DM, 2, 2)
njumputi kama tumiba (DM, 2, 3)
Terjemahan:
adam dan kaum hawa campur dewa-dewa
mengambil cinta terjatuh
Kutipan di atas menunjukan metonimia yang terdapat pada guritan
Dongeng Mistis. Kata dewa-dewa dapat mengantikan roh-roh leluhur
yang ada pada pertunjukan wayang. Kata kama dapat menggantikan
perasaan cinta.
2) Cengkir Gadhing ‘Cengkir Gadhing’
Kutipan:
wis pecah wujude cengkir gadhing (CG, 1, 1)
saka kene tumetese banyu suci (CG, 1, 3)
Terjemahan:
sudah pecah bentuknya cengkir gadhing
dari sini menetesnya air suci
51
Kutipan di atas menunjukan metonimia yang terdapat pada
guritanCengkir Gading . Kata cengkir gadhing mengantikan simbol
sesaji dalam upacara adat. Kata banyu suci menggantikan kehidupan
yang baru akan dimulai.
3) Medhitasi Gdhong Suruh ‘Medhitasi Daun Suruh’
Kutipan:
dhadhung awuk ambruk sinuduk (MGS, 2, 1)
Terjemahan:
dhadhung awuk jatuh tersungkur
Metonimia yang terdapat pada guritan Medhitasi Gdhing Suruh
yaitu kata dhadhung awuk menggantikan nama dari musuh jaka tingkir.
4) Guritan Pari Sawuli ‘Puisi Padi Seikat’
Kutipan:
pari sawuli iki tetep sumimpen ing senthong tengah (GPS, 1, 1)
dak emi-emi pindha dewi sri (GPS, 1, 2)
tumancep ing tanah bawera (GPS, 1, 6)
Terjemahan:
padi seikat ini tetap tersimpan di kamar tengah
di sayang-sayang bagai dewi sri
tertancap di tanah luas
Kutipan di atas menunjukan metonimia yang terdapat dalam
Guritan Pari Sawuli. Kata senthong menggantikan kamar khusus untuk
menyimpan hasil panen. Kata dewi sri menggantikan padi-padi yang
tertanam di sawah. Kata bawera menggantikan tanah yang luas dan
terang.
52
5) Tancepna Maneh ‘Tancapkan Lagi’
Kutipan:
munggah grayah-grayah pucuk plaza (TM, 3, 2)
andhok ing kentuky, disko sewengi natas (TM, 3, 3)
Terjemahan:
naik merangkak-rangkak pucuk plaza
berhenti di kentuky, disko semalam suntuk
Kutipan di atas menunjukan metonimia yang terdapat dalam
guritan Tancepna Maneh. Kata plaza menggantikan pohon-pohon yang
tinggi. Kata kentuky mengantikan masakan ayam goreng yang dilumuri
dengan tepung. Kata disko menggantikan musik-musik keras dijaman
modernisasi untuk berjoget.
6) Ziarah ‘Ziarah’
Kutipan:
kejepit nisan iki (Zr, 2, 2)
Terjemahan:
terjepit nisan ini
Kutipan di atas menunjukan metonimia yang terdapat pada guritan
Ziarah. Kata nisan menggantikan batu-batu yang diletakan diatas
kuburan.
7) Riyayan ‘Lebaran’
Kutipan:
ngluberake pangaksama (Ry, 1, 8)
lampu-lampu blencong kekencaran (Ry, 2, 5)
53
Terjemahan:
mengeluarkan permintaan maaf
lampu-lampu blencong terang benderang
Metonimia yang terdapat dalam guritan Riyayan yaitu kata
pangaksama menggantikan permintaan maaf dari kesalahan-kesalahan
yang dilakukan baik sengaja maupun tidak. Kata blencong menggantikan
lampu jaman dahulu yang terbuat dari kaleng dan sumbu.
8) Medhitasi Alang-Alang 1 ‘Medhitasi Alang-Alang 1’
Kutipan:
yagene kudu ora suwala (MAA, 4, 2)
Terjemahan:
kenapa harus tidak bangga
Kutipan di atas menunjukan metonimia yang terdapat dalam
guritan Medhitasi Alang-Alang. Kata suwala menggnatikan rasa bangga
bahwa orang biasa bisa menghadap dewa.
9) Panen ‘Panen’
Kutipan:
kang wenang ani-ani ulenan pari (Pn, 3, 4)
Terjemahan:
yang bisa ani-ani segenggam padi
Kutipan di atas menunjukan metonimia yang terdapat pada guritan
Panen. Kata ani-ani mengantikan alat pemotong padi pada jaman dahulu.
54
Metonimia dalam guritan karya Widodo Basuki pada antologi guritan
Medhitasi Alang-Alang merupakan lambang pengganti dari objek tertentu.
Kata kiasannya mewujudkan penggantian arti dari objek tertentu pula, yang
dimaksudkan untuk memperindah guritan karena tidak langsung menembak
makna terhadap objek.
2. Penyimpangan Arti (Distoring of Meaning)
a. Ambiguitas
Ambiguitas adalah keraguu-raguan atau ketidakpastian dalam
menafsirkan makna kata atau ungkapan dalam karya sastra karena adanya
beberapa kemugkinan (Panuti, 1990:50). Guritan menggunakan bahasa
konotasi untuk menimbulkan kesan indah dan membuat pembaca memiliki
pengimajian terhadap apa yang dibacanya. Oleh karena itu, setiap pembaca
memiliki pengimajian atau interprestasi masing-masing. Pemaknaan dalam
guritan terkadang muncul keambiguan karena kata dalam guritan memiliki
tafsir ganda. Ambiguitas dalam sepuluh guritan karya Widodo Basuki
adalah sebagai berikut:
1) Cengkir Gadhing ‘Cengkir Gadhing’
Kutipan:
saka kene tumetese banyu suci (CG, 1, 3)
Terjemahan:
dari sini menetesnya air suci
Kutipan di atas menunjukan ambiguitas yang terdapat pada guritan
Cengkir Gadhing. Kata banyu suci memiliki makna ambigu, banyu suci
dapat diartikan kehidupan baru, namun juga dapat diartikan air suci yang
55
digunakan untuk beribadah atau biasanya air yang digunakan untuk
berwudhu yang belum terkena kotorana apapun.
2) Guritan Pari Sawuli ‘Puisi Padi Seikat’
Kutipan:
dak emi-emi pindha dewi sri (GPS, 1, 2)
ing tembe dadia pusaka (GPS, 1, 5)
kringet kotos, dhadha gilap (GPS, 2, 15)
Terjemahan:
tak sayang-sayang bagai dewi sri
yang nanti jadilah senjata
kringat bercucuran, dhadha berkilau
Guritan Pari Sawuli terdapat makna ambigu. Kata dewi sri dapat
diartikan bidadari, namun juga dapat diartikan sebagai nama lain padi
yang sejak dahulu para petani menyebutnya sebagai dewi sri. Kata
pusaka dapat diartikan senjata, namun juga dapat diartikan padi sebagai
cadangan makan setelah memanen padi itu selesai. Kata kringet kotos
dapat diartikan kringat yang bercucuran yang keluar dari tubuh, namun
juga dapat diartikan sebagai hasil kerja keras dari petani.
3) Tancepna Maneh ‘Tancapkan Lagi’
Kutipan:
tancepna maneh swiwi-swiwiku (TM, 1, 1)
munggah grayah-grayah pucuk plaza (TM, 3, 2)
Terjemahan:
tancapkan lagi sayap-sayapku
naik merangkak-rangkak pucuk plaza
56
Pada guritan Tancepna Maneh kata swiwi-swiwiku memiliki
makna ambigu. Swiwi-swiwiku dapat diartikan sayap yang digunakan
untuk terbang, namun juga dapat diartikan sebagai harapan-harapan yang
baru yang ingin melestarikan kbudayaan lama. Kata pucuk plaza
memiliki makna ambigu. Pucuk plaza dapat diartikan sebagai lapangan
yang dibangun sangat luas, namun juga dapat diartikan pohon-pohon
yang tumbuh tinggi.
4) Ziarah ‘Ziarah’
Kutipan:
pinangka rabuk watu nisanmu (Zr, 1, 2)
ana lagu gumonthang (Zr, 1, 3)
Terjemahan:
sebagai pupuk batu nisanmu
ada lagu berkumandang
Pada guritan Ziarah, kata rabuk memiliki makna ambigu. Rabuk
dapat diartikan sebagai pupuk tanaman, namun juga dapat diartikan
menaburkan bunga yang digunakan sebagai perlengkapan ziarah. Kata
lagu memiliki makna ambigu. Lagu dapat diartikan lagu-lagu yang
dinayayikan oleh para penyanyi, namun dapat juga diartikan doa yaang
dipeuntukan pada orang yang sudah meninggal.
5) Riyayan ‘Lebaran’
Kutipan:
nancepake benang leluhur (Ry, 1, 3)
urip bareng ombak-ombak (Ry, 1, 5)
mbalekake balung-balung rapuh (Ry, 3, 2)
Terjemahan:
57
menancapkan benang leluhur
hidup bersama ombak-ombak
mengembalikan tulang-tulang rapuh
Guritan Riyayan, kata benang leluhur memiliki makna ambigu.
Benang leluhur dapat diartikan tali benang yang kecil, namun juga dapat
diartikan hubungan darah persaudaran dengan para leluhurnya. Kata
ombak-ombak memiliki makna ambigu. Ombak-ombak dapat diartikan
gelombang tinggi dilaut, namun dapat juga diartikan masalah-masalah
yang datang dalam kehidupan sehari-hari. Kata tulang-tulang rapuh
memilki makna ambigu. Tlang-tulang rapuh dapat diartikan krangka
manusia, namun juga dapat diartikan kesalahan-kesalahan manusia yang
diperbuat.
6) Tembang Lemah Ngare ‘Lagu Tanah Pegunungan’
Kutipan:
Gumerite lawang gubug iki (TLN, 1, 1)
Terjemahan:
berderitnya pintu gubug ini
Pada guritan Tembang Lemah Ngare terdapat makna ambiguitas.
Kata gubug dapat diartikan rumah-rumahan kecil yang berada ditengah
sawah atau ladang sebagai tempat berteduh para pekerja, namun dapat
diartikan juga rumah sebagai tempat tinngal sehari-hari.
7) Panen ‘Panen’
Kutipan:
sawise direwangi pindha adus kringet (Pn, 1, 1)
butuh tresna (Pn, 2, 4)
58
Terjemahan:
sesudah didiperjuangkan seperti mandi keringat
butuh cinta
Pada guritan Panen kata pindha adus kringet memiliki makna
ambigu. Pindha adus kringet dapat diartikan seluruh tubuh penuh
dengan keluarnya keringat, namun juga dapat diartikan melakukan kerja
keras yang luar biasa. Kata butuh tresna memiliki makna ambigu. Butuh
tresna dapat diartikan cinta kasih sayang terhadap orang yang dikagumi,
namun juga dapat diartikan butuh perawatan supaya tanaman bisa
tumbuh sumbur dan mendapatkan hasil yang melimpah ketika dipanen.
Pada kesepuluh guritan karya Widodo Basuki dalam antologi guritan
Medhitasi Alang-Aang, tiga diantaranya tidak terdapat ambiguitas, yakni
Dongeng Mistis, Medhitasi Godhong Suruh dan Medhitasi Alang-Alang.
Ambiguitas dalam guritan karya Widodo Basuki didominasi oleh
penggunaan kiasan metafora. Hal tersebut menyebabkan makna ganda atau
ambigu pada pemaknaan guritan.
b. Kontradiksi
Kontradiksi adalah salah satu cara menyampaikan sesuatu dengan
menggunakan pertentangan atau secara berlawanan. Kontradiksi dalam
guritan dimaksudkan untuk memperindah guritan. Dalam hal ini kontradiksi
berupa makna yang berlawanan yang digunakan bersamaan. Kontradiksi
59
dalam guritan karya Widodo Basuki dalam antologi guritan Medhitasi
Alang-Alang adalah sebagai berikut:
1) Cengkir Gadhing ‘Cengkir Gadhing’
Kutipan:
kanggo bukak langit lan bumi (CG, 1, 5)
kanggo madhai tumetese donga (CG, 2, 10)
kanggo urubing dahana (CG, 2, 11)
Terjemahan:
untuk membuka langit dan bumi
untuk wadah menetesnya doa
untuk menyalanya api
Kutipan di atas menunjukan kontradiksi yang terdapat dalam guritan
Cengkir Gadhing. Kata langit lan bumi menunjukan berlawanan yang
menggambarkan kehidupan yang berada di atas dan kehidupan yang ada
dibawah. Kata tumetese dengan urubing berlawanan menetesnya lebih ke
makna air sedangkan urubing lebih ke makna api namun tetap
dipersatukan sebagai pelengkap.
2) Medhitasi Godhong Suruh ‘Medhitasi Daun Suruh’
Kutipan:
selembar godhong suruh (MGS, 1, 1)
ginulung tinalenan sahadat rosul (MGS, 1, 2)
Terjemahan:
satu lembar daun suruh
tergulung tertali sahadat rosul
60
Pada guritan Medhitasi Godhong Suruh, selmbar dan ginulung
adalah dua hal yang berlawanan. Selembar dalam keadaan yang terbuka
dan ginulung dalam keadaan yang tertutup.
3) Guritan Pari Sawuli ‘Puisi Padi Seikat’
Kutipan:
Panggone ngelak lan ngelih (GPS, 2, 8)
Pamandenge pindho landhepe glathi (GPS, 2, 16)
Nanging krasa adhem mrebaweni (GPS, 2, 17)
Terjemahan:
tempatnya haus dan lapar
penglihatanya seperti tajamnya pisau
tetapi terasa dingin berwibawa
Guritan Pari Sawuli, ngelak dan ngelih adalah dual hal yang
berlawanan. Keadaan merasa haus karena kurang minum berlawanan
dengan keadaan merasa lapar karena beluma cukup makan. Kata
landhepe glati dan adhem dua hal yang berbeda. Menggambarkan
penglihatan yang tajam berlawanan penglihatan yang dingin, namun tetap
didipersatukan sebagai pelengkap.
4) Tancepna Maneh ‘Tancapakan Lagi’
Kutipan:
ing kana ana kringet lan luh (TM, 3, 4)
karaokene katrem kekidungan (TM, 3, 5)
tembang megatruh (TM, 3, 6)
Terjemahan:
di sana ada keringat dan air mata
karaokenya betah berdendangan
tembang megatruh
61
Kontradiksi pada guritan Tancepna Maneh terdapat pada kata
kringet dan luh. Kata kringet dan luh merupakan dua hal yang
berlawanan. Keluar ketika melakukan pekerjaan yang membutuhakan
tenaga lebih dari biasanya berlawanan dengan keluar ketika merasa sedih
ataupun senang. Kata karaoke berlawanan dengan tembang. Lagu yang
dinyayikan biasanya lagu-lagu yang dinyanyikan pada umumnya pada
masa kini berlawanan dengan tembang dinyanyikan dalam pembelajaran
atau acara-acara tertentu.
5) Riyayan ‘Lebaran’
Kutipan:
ngrahapi nyamikan, wedang gula jawa (Rr, 1, 7)
Terjemahan:
memakan cemilan, minuman gula jawa
Kutipan diatas menunjukan kontradiksi dalam guritan Riyayan. Kata
ngrahapi dan wedang adalah dual hal yang berlawanan yaitu makan dan
minum.
6) Tembang Lemah Ngare ‘Lagu Tanah Pegunungan’
Kutipan:
minangka paseksen, wengi lan sore (TLN, 1, 2)
srengenge mbirat ngelak lan ngelih (TLN, 1, 7)
Terjemahan:
sebagai saksi, malam dan sore
matahari membersihkan haus dan lapar
Pada kutipan di atas menunjukan kontradiksi dalam guritan
Tembang Lemah Ngare. Kata wengi dan sore adalah dua hal yang
62
berlawanan. Keadaan malam yang gelap berlawanan dengan keadaan
sore hari yang masih terang. Kata ngelak dan ngelih dua hal yang
berlawanan yaitu keadaan haus karena kurang minum berlawanan dengan
keadaan lapar karena belum cukup makan.
7) Panen ‘Panen’
Kutipan:
Ngono simbah aweh sesorah (Pn, 2, 1)
Kang nandur wenang ngundhuh, ndhuk! (Pn, 2, 6)
Terjemahan:
begitu simbah memberi nasehat
yang menanam berhak memanen, ndhuk!
Kontradiksi ditunjukan pada kata simbah dan ndhuk. Simbah dan
ndhuk adalah dua hal yang berlawanan yaitu orang yang sudah tua
berlawanan dengan orang yang masih muda, namun dipersatukan untuk
saling melengkapi.
Pada kesepuluh guritan karya Widodo Basuki dalam guritan
Medhitasi Alang-Alang, tiga diantaranya tidak terdapat kontradiksi, yakni
guritan Dongeng Mistis, Ziarah dan Nalika Bendhe Tnabuh. Kontradiksi
menimbulkan ketidakselarasan makna, akan tetapi disis lain kontradiksi
menimbulkan keindahan tersendiri dalam pembacaan sehingga guritan
menjadi lebih menarik.
c. Nonsense
Nonsense adalah bentuk-bentuk kata yang secara linguistik tidak
mempunyai arti, sebab tidak terdapat pada kosa kata, karena hanya berupa
rangkaian bunyi yang tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi dalam puisi
63
mempunyai makna sesuai arti sastra berdasarkan konvensi sastra (Pradopo,
1995:219). Nonsense dalam guritan mampu menimbulkan asonansi-
asonansi tertentu, menimbulkan arti dua segi, suasana aneh, suasana ghaib,
maupun suasana lucu dan lain sebagainya.
Nonsense yang terdapat dalam sepuluh guritan karya Widodo
Basuki adalah sebagai berikut:
1) Dongeng Mistis ‘Dongeng Mistis’
Kutipan:
hong, sepisan dadi (DM, 1, 4)
Terjemahan:
hong, pertama jadi
Kutipan di atas menunjukan nonsense dalam guritan Dongeng
Mistis. Kata hong merupakan bunyi ketika orang melakukan ritual
tertentu dalam pembacaan mantra yang bertujuan memberi suasana
mistis pada pembacaan guritan tersebut.
2) Medhitasi Godhong Suruh ‘Medhitasi Daun Suruh’
Kutipan:
cahyane bang ketebang (MGS, 2, 1)
Terjemahan:
cahayanya terlihat sedikit
Nonsense dalam guritan Medhitasi Godhong Suruh ditunjukan pada
kata bang. Kata bang merupakan bentuk nonsense. Kata tersebut
menunjukan untuk mempertegas adanya sedikit cahaya yang terlihat dari
kejahuan.
64
3) Tancepna Maneh ‘Tancapkan Lagi’
Kutipan:
Munggah grayah-grayah pucuk plaza (TM, 3, 2)
Terjemahan:
naik merangkak-rangkak
Kutipan di diatas menunjukan nonsense dalam guritan Tancepna
Maneh. Kata grayah-grayah merupakan bentuk kata yang tidak memiliki
arti, namun secara estetis puitis memiliki makna menguatkan terhadap
kata kerja yang diikuti yaitu munggah sehingga bermakna merangkak-
rangkak.
Nonsense merupakan kata atau rangkaian kata yang di dalam kamus
tidak tercantum maknanya (tidak memiliki makna leksikal). Akan tetapi,
terkadang dapat dimaknai secara lebih mendalam. Hal ini menimbulkan
makna lain yang justru menguntungkan karena menimbulkan estetika bunyi
pada guritan. Nonsense juga berupa kata yang secara leksikal tidak terdapat
di dalam kamus akan tetapi dapat memberi kesan yang ekspresif yang
sangat indah. Dari sepuluh guritan karya Widodo Basuki, tujuh diantaranya
tidak ditemukan nonsense, yakni pada guritan Cengkir Gadhing, Guritan
Pari Sawuli, Ziarah, Riyayan, Medhitasi Alang-Alang 1, Tembang Lemah
Ngare dan Panen.
65
3. Penciptaan Arti (Creating of Meaning)
a. Rima
Rima adalah perulangan bunyi dan salah satu yang membedakan
puisi dengan prosa. Bentuk perulangan bunyi yang berturut-turut dan
menimbulkan orkestra bunyi yang indah. Untuk mengulanginya penyair
juga mempertimbangkan lambang bunyi. Rima dalam sepuluh guritan karya
Widodo Basuki bersifat bebas tidak terkait dengan metrum rima seperti rima
terus (aaaa), rima berpasang (aabb), rima bersilang (abab), rima berpeluk
(abba), dan rima putus (aaab atau abac).
a) Rima Bait
Rima bait adalah pengulangan bunyi pada bait puisi yang bertujuan
sebagai irama sebuah puisi. Penyair menggunakan permaunan diksi agar
tercipta keindahan bunyi dalam guritan. Rima bait dalam bahasa Jawa biasa
disebut purwakanthi. Rima bait dalam masing-masing guritan karya
Widodo Basuki dalam antologi guritan Medhitasi Alang-Alang sebagai
berikut :
1) Dongeng Mistis ‘Dongeng Mistis’
Kutipan:
adam lan babu kawa campur dewa-dewa (DM, 2, 2)
njumputi kama tumiba (DM, 2, 3)
Terjemahan:
adam dan kaum hawa bercampur dewa-dewa
mengambili cinta yang jatuh
66
Rima dalam baris di atas nampak pada kata dewa-dewa dan
tumiba. Kedua kata tersebut berakiran bunyi a. Keseragaman vokal a
pada akhir baris membuat pembacaam guritan menjadi indah.
Kutipan:
wong jawa (DM, 3, 1)
senengane dolanan nyawa (DM, 3,2)
Terjemahan:
orang jawa
senangnya bermain nyawa
Kata jawa dan nyawa memiliki kesamaan bunyi a pada baris akhir.
Hal ini yang menimbulkan orkestrasi dan keindahan bunyi pada guritan.
2) Cengkir Gadhing ‘Cengkir Gadhing’
Kutipan:
wis pecah wujude cengkir gadhing (CG, 1, 1)
saka pikiran wening, dimen eling (CG, 1, 2)
Terjemahan:
sudah pecah bentuknya cengkir gadhing
dari pikiran jernih, supaya ingat
Guritan di atas terdapat Rima dalam baris nampak pada kata
gadhing dan eling. Kedua kata tersebut berakhiran bunyi ng. Kesamaan
bunyi ini menimbulkan orkestrasi dan keselarasan bunyi yang indah.
Kutipan:
disesep-sesep banyune (CG, 2, 5)
diklamuti putih daginge(CG, 2, 6)
Terjemahan:
dihisap-hisap airnya
dijilati putih dagingnya
67
Kata banyune dan daginge memiliki kesamaan bunyi e pada akhir
baris. Kesamaan bunyi ini menimbulkan orkestrasi dan keselarasan bunyi
yang indah.
Kutipan:
manjing jroning dhadha (CG, 2, 8)
manjing jroning jiwa (CG, 2, 9)
kanggo madhai tumetese donga (CG. 2, 10)
kanggo urubing dahana (CG, 2, 11)
Terjemahan:
masuk dalam dada
masuk dalam jiwa
untuk wadah menetasnya doa
untuk menyalanya api
Kata dhadha, jiwa, donga, dan dahana. Keempat kata tersebut
berakhiran bunyi a. Keseragaman vokal a pada akhir baris membuat
pembacaan guritan menjadi indah. Sehingga menimbulkan rima baris
yang harmonis.
3) Medhitasi Godhong Suruh ‘Medhitasi Daun Suruh’
Kutipan:
kembang mayang binukak (MGS, 1, 3)
godhong suruh dadi tumbak (MGS, 1, 4)
wekasan manjing pungkasan (MGS, 1, 5)
pungkasan manjung wekasan (MGS, 1, 6)
Terjemahan:
kembang mayang terbuka
daun suruh menjadi tombak
akhir menjadi akhiran
akhiran menjadi akhir
Kata binukak dan tumbak pada bait satu baris pertama dan kedua
memiliki kesamaan bunyi ak pada akhir baris. Pada bait pertama baris
68
kestiga dan keempat kata pungkasan dan wekasan memiliki akhiran an
pada akhir baris. Keseragaman bunyi ak dan an pada akhir baris
menimbulkan orkestrasi bunyi dan membuat pembacaan menjadi indah.
Kutipan:
godhong suruh gilang-gumilang (MGS, 2, 2)
cahyane bang ketebang (MGS, 2, 3)
Terjemahan:
daun suruh bersinar benderang
cahayanya sedikit terlihat
Rima dalam baris di atas nampak pada kata gumilang dan
ketebang. Kata tersebut berakhiran bunyi ng. Keseragaman bunyi ng
pada akhir baris menimbulkan orkestra bunyi dan membuat pembacaan
menjadi indah.
4) Guritan Pari Sawuli ‘Puisi Padi Seikat’
Kutipan:
ing tembe dadia pusaka (GPS, 1, 5)
tumancep ing tanah bawera (GPS, 1, 6)
Terjemahan:
yang nanti jadilah senjata
tertancap di tanah luas
Guritan di atas rima nampak pada kata pusaka dan bawera. Kata-
kata tersebut berakhiran bunyi a. Keseragaman bunyi a pada akhir baris
membuat pembacaan guritan menjadi indah.
Kutipan:
rinengga ocehe manuk sesautan (GPS, 2, 5)
nepusi tembang kebegjan (GPS, 2, 6)
iki bumi kinasih, dasih! (GPS, 2, 7)
nggone ngelak lan ngelih (GPS, 2, 8)
69
pamong tani ing tengah sawah (GPS, 2, 12)
nggemeni tanduran garbis lan blewah (GPS, 2, 13)
pamandenge pindha landhepe glathi (GPS, 2, 16)
nanging krasa adhem mrebewani (GPS, 2, 17)
Terjemahan:
menunggu kicauan burung bersautan
mengukur bunga keberuntungan
ini bumi kasih sayang, teman!
tempatnya haus dan lapar
hanya petani di tengah sawah
merawat tanaman labu dan blewah
penglihatanya bagai tajamnya pisau
tetapi terasa dingin berwibawa
Rima dalam baris diatas nampak pada kata sesautan dan kebegjan
yang berakhiran an. Kata dasih dan ngelih yang berakhiran ih. Kata
sawah dan blewah yang berakhiran ah. Kata glathi dan mrebewani
berakhiran i. Keseragaman bunyi an, ih, ah, dan i pada akhir baris
membuat pembacaan guritan menjadi indah.
Kutipan:
tangan-tangan prakosa nyulap lemah ngare (GPS, 3, 1)
ing tembe dadi panggonan sumendhe (GPS, 3, 2)
kalamun lungkrah ing wayah sore (GPS, 3, 3)
Terjemahan:
tangan-tangan perkasa mengubah tanah pegunungan
yang nanti menjadi tempat beristirahat
ketika lelah di waktu sore
Kata ngare, sumendhe, dan sorepada guritan di atasseirama. Ketiga
kata-kata tersebut berakhiran bunyi e. Keseragaman vokal e pada akhir
baris menimbulkan orkestrasi buni dan membuat pembacaan menjadi
indah.
Kutipan:
70
tetep dak pundhi dak aji-aji (GPS, 4, 2)
kanthi tresna suci (GPS, 4, 3)
dimen bisa kanggo seksi (GPS, 4, 4)
Terjemahan:
tetap ku angkat dan sayang-sayang
dengan cinta suci
agar bisa untuk saksi
Guritan di atas nampak rima baris pada kata aji-aji, suci, dan seksi.
Kata-kata tersebut berakhiran bunyi i. Keseragaman vokal i pada akhir
baris menimbulkan orkestrasi bunyi dan pembacaan menjadi indah.
5) Tancepna Maneh ‘Tancapkan Lagi’
Kutipan:
isih nelesi gorokan (TM, 2, 4)
kareben bocah-bocah bali tetembangan (TM, 2, 5)
Terjemahan:
masih membasahi tenggorokan
maunya anak-anak kembali bernyanyi
Baris guritan di atas terdapat rima yang nampak pada kata gorokan
dan tetembangan. Kata-kata tersebut berakhiran bunyi an. Keseragaman
bunyi an pada akhir baris menimbulkan orkestrasi bunyi dan membuat
pembacaan menjadi indah.
Kutipan:
aja kok sengguh jaman iki (TM, 4, 1)
isih kaya wingi, adhi (TM, 4, 2)
sisane gendhing pacul gowang (TM, 4, 6)
bakal ngangkangi awang-awang (TM, 4, 7)
Terjemahan:
jangan kok kira jaman sekarang ini
masaih seperti kemarin, adhi
sisanya lagu cangkul patah
71
akan melangkahi awang-awang
Rima dalam baris atas nampak pada kata iki dan adhi di akhir
baris. Kata gowang dan awang-awang diakhir baris. Kata-kata tersebut
berakhiran vokal i dan ng pada akhir baris yang menimbulkan orkestrasi
bunyi dan membuat pembacaan menjadi indah.
6) Ziarah ‘Ziarah’
Kutipan:
kejepit nisan iki (Zr, 2, 2)
nadyan ora dak ranti (Zr, 2, 3)
Terjemahan:
terjepit nisan ini
walaupun tidak ku nanti
Tampak rima dalam baris di atas nampak pada iki dan ranti di
akhir baris. Kata-kata tersebut berakhiran bunyi i. Keseragaman buni
vokal i pada akhir baris menimbulkan orkestrasi bunyi dan membuat
pembacaan menjadi indah.
7) Riyayan ‘Lebaran’
Kutipan:
mgrahapi nyamikan, wedang gula jawa (Ry, 1, 7)
ngluberake pangaksama (Ry, 1, 8)
Terjemahan:
memakan camilan, minum gulang jawa
mengungkapkan permohonan maaf
Pada kata jawa dan pangaksama di akhir baris. Kedua kata tersebut
berakhiran a. Keseragaman vokal a pada akhir baris menimbulkan
orkestrasi bunyi dan membuat pembacaan menjadi indah.
72
8) Medhitasi Alang-Alang 1 ‘Medhitasi Alang-Alang 1’
Kutipan:
: aku basukarna, (MMA1, 1, 8)
anake ibu kunthi nalibrata (MAA1, 1, 9)
sing ditemu kusir adhirata (MAA1, 1, 10)
apa isih kurang anggonmu munasika? (MAA, 1, 11)
Terjemahan:
:saya basukarna
anaknya ibu kunthi nalibrata
yang di temukan kusir adhirata
apa masih kurang apa yang kau perbuat?
Pada guritan di atas rima dalam baris di atas nampak pada kata
basukarna, nalibrata, adhirata dan munasika pada akhir baris. Kata-kata
tersebut berakhiran bunyi a. Keseragaman vokal a pada akhir baris
menimbulkan orkestra bunyi dan membuat pembacaan menjadi indah.
9) Tembang Lemah Ngare ‘Lagu Tanah Pegunungan’
Kutipan:
minagka paseksen wengi lan sore (TLN, 1, 2)
omah dadi swargane (TLN, 1, 3)
Terjemahan:
sebagai saksi, malam dan sore
rumah menjadi surganya
Rima dalam baris di atas nampak pada kata sore dan swargane.
Kata-kata tersebut berakhiran bunyi e. Keseragaman vokal e pada akhir
baris menimbulkan orkestrasi bunyi dan membuat pembacaan menjadi
indah.
Kutipan:
sinambi nyawang laron lumebu geni (TLN, 2, 3)
apa ati wis mlebu bui? (TLN, 2, 4)
73
Terjemahan:
sambil memandang laron memasuki api
apa hati sudah masuk penjara?
Rima dalam baris di atas nampak pada kata geni dan bui. Kata-kata
tersebut berakhiran bunyi i. Keseragaman vokal i pada akhir baris
menimbulkan orkestrasi bunyi dan membuat pembacaan menjadi indah.
Kutipan:
sesuk ana kidung gumonthang (TLN, 3, 2)
bedhug-bedhug ditabuh ndhrandhang (TLN, 3, 3)
Terjemahan:
besuk ada lagu berkumandang
gong-gong dibukul berdendangan
Kata gumonthang dan ndhrandang memiliki kesamaan di akhir
bunyi ng. Kesamaan bunyi sengau ng ini menimbulkan orkestrasi dan
keselarasan bunyi yang indah.
Kutipan:
enggal rebuten popok-popok wewe (TLN, 4, 1)
kanggo nyulap sabrang gawe (TLN, 4, 2)
Terjemahan:
cepat rebutlah popok-popok wewe
untuk mengubah tepi pekerjaan
Rima dalam bari di atas nampak pada kata wewe dan gawe di akhir
baris. Kata-kata tersebut memiliki kesamaan bunyi e di akhir baris.
Keseragaman vokal e pada akhir baris menimbulkan orkestrasi bunyi dan
membuat pembacaan menjadi indah.
74
10) Panen ‘Panen’
Kutipan:
ngono simbah aweh sesorah (Pn, 2, 1)
ora mung manungsa butuh panggulawenthah (Pn, 2, 2)
nanging tanduran uga tinitah (Pn, 2, 3)
Terjemahan:
begitu simbah memberi nasihat
tidak hanya manusia butuh perawatan
tetapi tanaman juga butuh
Pada guritan Panen di atas rima baris nampak pada kata sesorah,
panggulawenthah, dan tinitah di akhir baris. Ketiga kata tersebut
memiliki kesamaan bunyi ah pada akhir baris. Keseragaman bunyi ah
pada akhir baris menimbulkan orkestrasi bunyi dan membuat pembacaan
menjadi indah.
Rima merupakan pengulangan bunyi yang sama secara berturut-
turut. Permainan rima akan menimbulkan keindahan irama musikalitas atau
harmonisasi guritan. Rima bait dalam sepuluh guritan karya Widodo Basuki
didominasi rima yang terletak di akhir baris. Mayoritas rima berbunyi a, i, ,
ng dan an.
b) Rima Antarbait
Rima bait adalah pengulangan bunyi pada bait puisi antar bait yang satu
dengan bait yang lain. Menimbulkan keselarasan bunyi dan keindahan
ketika guritan dibacakaan. Dalam bahasa Jawa, rima antarbait ini disebut
purwakanthi lumaksita, Rima antarbait dalam masing-masing sepuluh
guritan karya Widodo Basuki adalah sebagai berikut :
75
1) Dongeng Mistis ‘Dongeng Mistis’
Kutipan:
ingpungkasane gamelan talu (DM, 1, 1)
dupa kemelun dadi daging (DM, 1,2)
ukara dadi roh (DM, 1, 3)
hong, sepisan dadi (DM, 1, 4)
kelir manjelma jagad (1DM, 1, 5)
blencong dadi srengenge (DM, 1, 6)
ingngisore janur malengkung (DM, 2, 1)
adam lan babu kawa campur dewa-dewa (DM, 2, 2)
njumputi kamatumiba (DM, 2, 3)
dibungkusi kulit (DM, 2, 4)
dikemuli wewayangan (DM, 2, 5)
wongjawa (DM, 3, 1)
senengane dolanan nyawa (DM, 3,2)
Terjemahan:
di akir gamelan ditabuh
kemenyan berasap menjadi daging
kalimat menjadi roh
hong, pertama menjadi
kelir menjilma semseta
blencong menjadi matahari
di bawahnya janur melengkung
adam dan kaum hawa bercampur dewa-dewa
mengambili cinta yang jatuh
terbungkus kulit
berslimut bayangan
orang jawa
senangnya bermain nyawa
Pada guritan di atas rima antarbait di atas ditunjukan oleh terdapat
pengulangan vokal a dan bunyi ng yang terletak pada akhir kata.
Pengulangan bunyi a dan ng tersebut terletak di akhir baris membentuk
keselarasan dalam guritan.
76
2) Cengkir Gadhing ‘Cengkir Gadhing’
Kutipan:
wis pecah wujude cengkir gadhing (CG, 1, 1)
saka pikiran wening, dimen eling (CG, 1, 2)
saka kene tumetese banyu suci (CG, 1.,3)
bisa kanggo tamba ngelak salawase (CG, 1, 4)
kanggo mbukak langit lan bumi (CG, 1,5)
ing wit klapa gadhing iku ndhisik (CG, 2, 1)
bocah-bocah penekan, plurutan (CG, 2, 2)
nggogrokake dhompolane, mbiyaki tapas-tapase (CG, 2, 3)
cengkir gadhingdienggo dolanan (CG, 2, 4)
disesep-sesep banyune (CG, 2, 5)
diklamuti putih daginge(CG, 2, 6)
sing tininggalmung kari bathok sepasang (CG, 2, 7)
manjingjroning dhadha (CG, 2, 8)
manjingjroning jiwa (CG, 2, 9)
kanggo madhai tumetese donga (CG. 2, 10)
kanggourubing dahana (CG, 2, 11)
Terjemahan:
sudah pecah bentuknya cengkir gadhing
dari pikiran jernih, supaya ingat
dari sini menetesnya air suci
bisa untuk obat haus selamanya
untuk membuka langit dan bumi
di pohon kelapa gadhing itu dulu
anak-anak panjatan, prosotan
menjatuhkan buah, membuka tapas-tapasnya
cengkir gadhing untuk bermain
dihisap-hisap airnya
dijilati putih dagingnya
yang tertinggal hanya saja tempurung sepasang
masuk dalam dada
masuk dalam jiwa
untuk wadah menetasnya doa
untuk menyalanya api
Guritan Cengkir Gadhing rima antarbait di atas nampak pada kata
gadhing, eling, kanggo, nggogrokake, dienggo, ing, sing, daginge,
sepasang, manjing, jroning dan urubing. Kata-kata tersebut memilki
77
bunyi ng. Pengulangan bunyi ng menambahkan keindahan bunyi pada
guritan.
3) Medhitasi Godong Suruh ‘Medhitasi Daun Suruh’
Kutipan:
salembar godhong suruh (MGS, 1, 1)
ginulung tinalenan sahadat rosul (MGS, 1, 2)
kembangmayang binukak (MGS, 1, 3)
godhong suruh dadi tumbak (MGS, 1, 4)
wekasan manjing pungkasan(MGS, 1, 5)
pungkasanmanjung wekasan (MGS, 1, 6)
dhadhung awuk ambruk sinuduk (MGS, 2, 1)
godhong suruh gilang-gumilang (MGS, 2, 2)
cahyane bangketebang (MGS, 2, 3)
Terjemahan:
satu lembar daun suruh
tergulung tertali sahadat rosul
kembang mayang terbuka
daun suruh menjadi tombak
akhir menjadi akhiran
akhiran menjadi akhir
dhadhung awuk ambruk sinuduk
daun suruh bersinar benderang
cahayanya sedikit terlihat
Rima antarbait nampak pada kata godhong, ginulung, kembang
mayang, manjing, dhadhung, gilang-gumilang, dan bang ketebang. Kata-
kata tersebut berakhiran bunyi ng. Pengulangan bunyi ng menimbulkan
keindahan bunyi pada guritan.
4) Guritan Pari Sawuli ‘Puisi Padi Seikat’
Kutipan:
pari sawuli iki critane katresnan jati (GPS, 2, 1)
wujud bumiku tlatah kang subur (GPS, 2, 2)
gemah ripah low jinawi (GPS, 2, 3)
linabur birune samodra (GPS, 2, 4)
78
rinengga ocehe manuk sesautan (GPS, 2, 5)
nepusi tembang kebegjan(GPS, 2, 6)
iki bumi kinasih, dasih! (GPS, 2, 7)
panggone ngelak lan ngelih (GPS, 2, 8)
sapaora melik citrane ibu (GPS, 2, 9)
kang tuhu tresna marang putrane? (GPS, 2, 10)
delengen, (GPS, 2, 11)
among tani ing tengahsawah (GPS, 2,12)
nggemeni tanduran garbis lan blewah (GPS, 2, 13)
otot-otote prakosa, kulite werna cemani (GPS, 2, 14)
‘kringet kotos, dhadha nggilap (GPS, 2, 15)
pamandenge pindha landhepe glathi (GPS, 2, 16)
nanging krasa adhem mrebewani (GPS, 2, 17)
sapa sing ora kepranan ngrasakake sumilire angin, (GPS, 2, 18)
sinambi leledhang ing ngisor trembesi? (GPS, 2, 19)
iki bumi pertiwi, mitraku (GPS, 2, 20)
sing tansahawehasih asaah lan asuh (GPS, 2, 21)
kinalungan slendhange para hapsari (GPS, 2, 22)
tangan-tangan prakosa nyulap lemah ngare (GPS, 3, 1)
ing tembe dadi panggonan sumendhe (GPS, 3, 2)
kalamun lungkrah ing wayah sore (GPS, 3, 3)
saben dina terus makarya (GPS, 3, 4)
kanthi ati sumeleh (GPS, 3, 5)
lega, lila, legawa (GPS, 3, 6)
nyawijekake rasa syukur ing ngrasa-Ne (GPS, 3, 7)
pari sawuli kang sumimpen ing senthong tengah (GPS, 4, 1)
tetep dak pundhi dak aji-aji (GPS, 4, 2)
kanthi tresna suci (GPS, 4, 3)
dimen bisa kanggo seksi (GPS, 4, 4)
iki warisan tembang pungkasan: (GPS, 4, 5)
apa sliramu uga rumangsa handarbeni, mitraku? (GPS, 4, 6)
Terjemahan:
padi seikat ini ceritanya kecintaan diri
bwntuk bumiku tempat yang subur
gemah ripah loh jinawi
bersatu birunya samudra
menunggu kicauan burung bersautan
mengukur bunga keburuntungan
ini bumi kasih sayang, teman!
tempatnya haus dan lapar
siapa tidak memiliki gambaran ibu
yang nyata cinta terhadap putranya?
lihatlah,
hanya petani di tengah sawah
79
merawat tanaman labu dan blewah
otot-ototnya perkasa, kulitnya warna hitam
keringat bercucuran, dada mengkilat
penglihatanya bagai tajamnya pisau
tetapi terasa dingin berwibawa
siapa yang tidak ingin merasakan sumilinya angon,
sambil santai di bawah trembesi?
ini bumi pertiwi, temanku
yang selalu memberi kasih, kekuatan dan ketenagan
berkalung selendangnya para bidadari
tangan-tangan perkasa mengubah tanah pegunungan
yang nanti menjadi tempat beristirahat
ketika lelah di waktu sore
setiap hari harus bekerja
sampai hati pasrah
lega, rela, ikhlas
menjadikan rasa syukur di hadap-Nya
padi seikat yang tersimpan d kamar tengah
tetap ku angkat dan sayang-sayang
dengan cinta suci
agar bisa untuk saksi
ini warisan lagur terakhir:
apa dirimu juga merasa memiliki, temanku
Terlihat bahwa setiap bait dalam guritan berjudul Guritan Pari
Sawuli terdapat pengulangan bunyi vokal a dan bunyi berakhiran h yang
menimbulkan bunyi merdu dan berirama.
5) Tancepna Maneh ‘Tancepna Maneh’
Kutipan:
tancepna maneh swiwi-swiwiku (TM, 3, 1)
munggah grayah-grayah pucuk plaza (TM, 3, 2)
andhok ing kentuky, disko sewengi natas (TM, 3, 3)
ing kana ana kringet lan luh (TM, 3, 4)
karaokene katrem kekidungan (TM, 3, 5)
tembang megatruh (TM, 3, 6)
aja kok sengguh jaman iki (TM, 4, 1)
isih kaya wingi, adhi (TM, 4, 2)
kabeh wis owah, kabeh wis gingsir (TM, 4, 3)
legakna atimu, lang ngasoakang taneg (TM, 4, 4)
sinambi rengeng-rengeng (TM, 4, 5)
80
sisane gendhing pacul gowang (TM, 4, 6)
bakal ngangkangiawang-awang (TM, 4, 7)
Terjemahan:
tancapkan lagi sayap-sayapku
naik merangkak-rangkak ujung pohon
berhenti di kentuky, disko semalam suntuk
disana ada kringat dan air mata
karaokenya betah berdendangan
lagu megatruh
jangan kok kira jaman sekarang ini
masaih seperti kemarin, adhi
semua sudah berubah, semua sudah sirna
legakan hatimu, dan beristirahatlah yang puas
sambil bersenandung
sisanya lagu cangkul patah
akan melangkahi awang-awang
Terlihat bahwa setiap bait dalam guritan berjudul Tancepna Maneh
ini terdapat pengulangan bunyi sengau ng yang menimbulkan bunyi
merdu dan berirama.
6) Ziarah ‘Ziarah’
Kutipan:
dak tandur wangine kembang mlathi (Zr, 1, 1)
pinangka rabuk watu nisanmu (Zr, 1, 2)
ana lagu gumonthang (Zr, 1, 3)
mbarengi runtuhe kembang semboja (Zr, 1, 4)
siji mbaka siji (Zr, 1, 5)
tanpa dak rasa srengengeku bakal angslup (Zr, 2, 1)
kejepit nisan iki (Zr, 2, 2)
nadyan ora dak ranti (Zr, 2, 3)
Terjemahan:
ku tanam harumnya bunga melati
sebagai pupuk batu nisanmu
ada lagu berkumandang
bersamaan jatuhnya bunga kamboja
satu per satu
81
tanpa ku rasa matahariku akan terbenam
terjepit nisan ini
walaupun tidak ku nanti
Rima antarbait terlihat dalam guritan berjudul Ziarah ini terdapat
pengulangan bunyi a diakhir baris. Bunyi vokal a diakhir kata-kata
menimbulkan bunyi merdu dan berirama.
7) Riyayan ‘Lebaran’
Kutipan:
ing padesan dadi pasren amiwiti jangkah kapisan (Ry, 2, 1)
gamelan talu bola-bali (Ry, 2, 2)
tinabuh tanpa wekasan (Ry, 2, 3)
manise kembang gula jawa, apura ingapura (Ry, 2, 4)
lampu-lampu blencong kekencaran (Ry, 2, 5)
riyayan ing padesan (Ry, 3, 1)
mbalekake balung-balung rapuh (Ry, 3, 2)
sawise dadi sanggan ing paran (Ry, 3, 3)
Terjemahan:
di desa menjadi tempat mengawali langkah pertama
gamelan talu terus berbunyi
dipukul tanpa akhir
manisnya bunga gula jawa, maaf sedalam-dalamnya
lampu-lampu blencong bersinar
lebaran di desa
mengembalikan tulang-tulang rapuh
sesudah menjadi beban di perantauan
Pada guritan di atas terlihat bahwa setiap bait dalam guritan berjudul
Riyayan ini terdapat pengulangan bunyi an yang menimbulkan bunyi
merdu dan berirama.
8) Medhitasi Alang-Alang 1 ‘Medhitasi Alang-Alang 1’
Kutipan:
sapa sing wani urip ing kene (MAA1, 1, 1)
nantang srengenge (MAA1, 1, 2)
82
ing puthuk ngenthak-enthak (MAA1, 1, 3)
bayi sing metu saka kuping kae (MAA1, 1, 4)
gumlethak, (MAA1, 1, 5)
tinandhu alang-alang (MAA1, 1, 6)
kabeh kala tinantang (MAA, 1, 7)
: aku basukarna, (MAA, 1, 8)
anake ibu kunthi nalibrata (MAA, 1, 9)
sing ditemu kusir adhirata (MAA1, 1, 10)
apa isih kurang anggonmu munasika? (MAA1, 1, 12)
dhalange gumuyu lakak-lakak (MAA, 2, 1)
: karna, si bocah pidak pedarakan (MAA1, 2, 2)
dadi senopati mungsuh arjuna? (MAA1, 2, 3)
menthang gendhewa-gendhewa adhep-adhepan (MAA1, 3, 1)
ing perang baratayuda (MAA1, 3, 2)
karna tetep dadi paraga kalah mungsuh arjuna (MAA1, 3, 3)
angruwat papanistha wae (MAA1, 4, 1)
yagene kudu ora suwala (MAA1, 4, 2)
karo sing bisa njamu dewa-dewa (MAA1, 4, 3)
Terjemahan:
siapa yang berani hidup di sini
menantang matahari
di gunung yang sangat luas
bayi yang keluar dari kuping itu
tergeletak,
terhalang alang-alang
semua dijerat di tantang
:saya basukarna
anaknya ibu kunthi nalibrata
yang di temukan kusir adhirata
apa masih kurang apa yang kau perbuat?
dhalangnya tersenyum terbahak-bahak
: karna, si anak dari desa
menjadi senopati melawan arjuna?
menantang gagah berani berhadapan
di perang baratayuda
karna tetap menjadi pelaku kalah melawan arjuna
membersihkan tempat buruk
kenapa harus tidak bangga
kepada yang bisa menyambut dewa-dewa
83
Pada guritan Medhitasi Alang-Alang 1 terlihat bahwa antar bait
terdapat pengulangan bunyi sengau ng yang menimbulkan bunyi merdu
dan berirama.
9) Tembang Lemah Ngare ‘Lagu Tanah Pegunungan’
Kutipan:
gumerite lawang gubug iki (TLN, 1, 1)
minagka paseksen wengi lan sore (TLN, 1, 2)
omah dadi swargane (TLN, 1, 3)
langit lan bumi durung kinunci (TLN, 1, 4)
emprit gantil neba ing sawah (TLN, 1, 5)
mapag dina paring sesulih (TLN, 1, 6)
srengenge mbirat ngelak lang ngelih (TLN, 1, 7)
nganam klasa ing mburitan (TLN, 2, 1)
milahi lan melahi jangka jumangkah (TLN, 2, 2)
sinambi nyawang laron lumebu geni (TLN, 2, 3)
apa ati wis mlebu bui? (TLN, 2, 4)
lesung jumengglung asung pawarta (TLN, 3, 1)
sesuk ana kidung gumonthang (TLN, 3, 2)
bedhug-bedhug ditabuh ndhrandhang (TLN, 3, 3)
Terjemahan:
berderitnya pintu gubug ini
sebagai saksi, malam dan sore
rumah menjadi surganya
langi dan bumi belum terkunci
emprit gantil jatuh di sawah
menjemput hari memberi pengganti
matahari terang haus dan lapar
menganyam tikar di belakang
memisah dan memilih jangka langkahnya
sambil memandang laron memasuki api
apa hati sudah masuk penjara?
lesung jumengglung memberi berita
besuk ada lagu berkumandang
gong-gong dibukul berdendangan
84
Guritan berjudul Tembang Lemah Ngare ini terdapat pengulangan
bunyi sengau ng yang menimbulkan bunyi merdu dan berirama.
Sehingga bunyi yang ditimbulkan sangatlah harmonis.
10) Panen ‘Panen’
Kutipan:
sawise direwangi pindha adus kringet (Pn, 1, 1)
anggone ngupakara tanduran iki (Pn, 1, 2)
wis samesthine ing pungkase mangsa (Pn, 1, 3)
bakal panen (Pn, 1, 4)
-wong temen bakal tinemu, ndhuk! (Pn, 1, 5)
ngono simbah aweh sesorah (Pn, 2, 1)
ora mung manungsa butuh panggulawenthah (Pn, 2, 2)
nanging tanduran uga tinitah (Pn, 2, 3)
butuh tresna (Pn, 2, 4)
butuh asih (Pn, 2, 5)
-kang nandur wenang ngundhuh, ndhuk! (Pn, 2, 6)
semono uga atimu kang wissumadiya (Pn, 3, 1)
dadi pasren lan uritaneguritan (Pn, 3, 2)
wis sasesthine sliramu dhewe (Pn, 3, 3)
kang wenang ani-ani ulenan pari (Pn, 3, 4)
sinubya suka sukur maring allah (Pn, 3, 5)
aja wedi marang kang bakal anjrah rayah (Pn, 3, 6)
jalaran ing kono ana wewadi (Pn, 3, 7)
bakal tumurune berkah (Pn, 3, 8)
Terjemahan:
sesudah berjuang bagai mandi keringat’
dimana membedakan tanaman ini’
sudah semestinya di akhir musim’
akan panen’
-orang serius akan menemukan, nak!
begitu simbah memberi nasihat’
tidak hanya manusia butuh perawatan’
tetapi tanaman juga butuh’
butuh cinta’
butuh kasih’
-yang menanam berhak panen, nak!’
85
begitu juga hatimu yang sudah punya niat’
menjadi taman indah dan cerita
sudah semestinya dirimu sendir
yang berhak ani-ani seikat padi
‘... suka syukur kepada allah
‘jangan takut kepada yang akan merebut paksa
‘karena di sana ada rahasia
akan turunya berkah
Rima setiap bait dalam guritan berjudul Panen di atas ini terdapat
pengulangan bunyi i yang menimbulkan bunyi merdu dan berirama.
Bunyi dalam puisi adalah hal yang penting untuk menggambarkan
suasana dalam puisi. Oleh karena itu pembaca puisi harus benar-benar
memperhatikan pengucapan kata-demi kata dalam puisi. Rima antarbait
memiliki struktur bunyi yang hampir sama dengan rima bait. Banyak
pengulangan kata dan bunyi yang sama antara satu dengan yang lainny.
Rima antarbait yang terdapat pada sepuluh guritan karya Widodo
Basuki menciptakan keindahan, keselarasan, keharmonisan bunyi dan
suasana. Hal ini membuat guritan menjadi lebih hidup. Pemilihan diksi
beserta perulangan bunyinya menimbulkan keindahan dalam guritan
tersebut sehingga menyebabkan pembaca terhanyut dan tertarik untuk
membaca guritan.
b. Homologues
Homolog adalah keseimbangan atau kesejajaran arti antara bait
dengan bait, antar baris dengan baris atau antara baris-baris dengan bait-
bait. Homolog berfungsi untuk menimbulkan orkestrasi dan irama yang
menyebabkan liris. Homolog dalam sepuluh guritan karya Widodo Basuki
adalah sebagai berikut :
86
1) Dongeng Mistis ‘Dongeng Mistis’
Kutipan:
ing pungkase gamelan talu (DM, 1, 1)
dupa kemelun dadi daging (DM, 1, 2)
ukara dadi roh (DM, 1, 3)
hong, sepisan dadi (DM, 1, 4)
kelir manjilma jagad (DM, 1, 5)
blencong dadi srengenge (DM, 1, 6)
ing ngisore janur malengkung (DM, 2, 1)
adam lan babu kawa campur dewa-dewa (DM, 2, 2)
njumputi kama tumiba (DM, 2, 3)
dibungkusi kulit (DM, 2, 4)
dikemuli wewayangan (DM, 2, 5)
Terjemahan:
di akir gamelan pertunjukan wayang
kemenyan berasap menjadi daging
kalimat menjadi roh
hong, pertama jadi
kelir berubah semesta
blencong menjadi matahari
di bawahnya janur melengkung
adam dan kaum hawa bercampur dewa-dewa
mengambili cinta yang jatuh
terbungkus kulit
berslimut bayangan
Bait guritan di atas menjelaskan pertunjukan wayang. Bait kedua
memperjelas bahwa kelir menggambarkan seperti alam semesta. Mantra
yang dibacakan seolah-olah menjadikan kehidupan yang baru. Kedua bait
tersebut terkait dan saling mengikat maknanya.
2) Cengkir Gadhing ‘Cengkir Gadhing’
Kutipan:
wis pecah wujude cengkir gadhing (CG, 1, 2)
saka pikiran wening, dimen eling (CG, 1, 2)
saka kene tumetese banyu suci (CG, 1, 3)
bisa kanggo tamba ngelak salawase (CG, 1, 4)
87
kanggo bukak langit lan bumi (CG, 1, 5)
ing wit klapa gadhing iku ndhisik (CG, 2, 1)
bocah-bocah penekan, plurutan (CG, 2, 2)
nggogrokake dhompolanane, mbiyki tapas-tapase (CG, 2, 3)
cengkir gadhing dienggo dolanan (CG, 2, 4)
disesep-sesep banyune (CG, 2, 4)
diklamuti putih daginge (CG, 2, 5)
sing tininggal kari bathok sepasang (CG, 2, 6)
Terjemahan:
sudah pecah wujudnya cengkir gadhing
dari pikiran jernih, supaya ingat
dari sini menetesnya air suci
bisa berguna obat haus selamanya
berguna membuka langi dan bumi
di pohon kelapa gadhing itu dahulu
anak-anak panjatan, dan prosotan
menjatuhkan buahnya, membuka tapas-tapasnya
cengkir gadhing digunakan bermain
dihisap-hisap airnya
yang tertinggal hanya tempurung sepasang
Pada kutiapan di atas guritan Cengkir Gading menunjukan adanya
homolog . pada bait kesatu menggambarkan bagaimana cengkir gadhing
disimbolkan mempunyai manfaat kehidupan dalam upacara tradisi dan
diikuti bait kedua menggambarkan pada jaman dahulu hanya sebagai
sarana permainan anak-anak dan tidak mempunyai manfaat. Hal ini
menunjukan pada guritan Cengkir Gadhing terdapat homolog yang
mengakibatkan pengkatan makna antar bait dan bait
3) Medhitasi Godhong Suruh ‘Medhitasi Daun Suruh’
Kutipan:
selembar godhong suruh (MGS, 1, 1)
ginulung tinalenan sahadat rosul (MGS, 1, 2)
kembang mayang binukak (MGS, 1, 3)
godhong suruh dadi tumbak (MGS, 1, 4)
wekasan manjing pungkasan (MGS, 1, 5)
88
pungkasan manjing wekasan (MGS, 1, 6)
Terjemahan:
satu lembar daun suruh
tergulung tertali sahadat rosul
kembang mayang terbuka
daun suruh menjadi tumbak
akir masuk akiran
akiran masuk akir
Pada guritan Medhitasi Godhong Suruh pada kutiapan bait di atas
menjelaskan bahwa godhong suruh dan kembar mayang sebagai simbol
kerserasian, keselarasan dan keseimbangan dalam kehidupan pernikahan.
Bait tersebut saling terkait dan mengikat untuk menjelaskan dalam
upacara adat terdapat makna tertentu.
4) Guritan Pari Sawuli ‘Puisi Padi Seikat’
Kutipan:
pari sawuli iki tetep sumimpen ing senthong tengah (GPS, 1, 1)
dak emi-emi pindha dewi sri (GPS, 1, 2)
dak dama-dama pindho raden sadana (GPS, 1, 3)
ing tembe bisaa amaregi (GPS, 1, 4)
ing tembe dadia pusaka(GPS, 1, 5)
tumancep ing tanah bawera (GPS, 1, 6)
thukul ngrmbaka mekrok kembange (GPS, 1, 7)
dadi sawijining generasi (GPS, 1, 8)
pari sawuli iki critane katresnan jati (GPS, 2, 1)
wujud bumiku tlatah kang subur (GPS, 2, 2)
gemah ripah loh jinawi (GPS, 2, 3)
linabur birune samodra (GPS, 2. 4)
rinengga ocehe manuk sesautan (GPS, 2, 5
nepusi tembang kabegjan (GPS, 2, 6)
iki bumi kinasih, dasih! (GPS, 2, 7)
Terjemahan:
padi seikat ini tetap tersimpan di kamar tengah
disayang-sayang seperti dewi sri
dimanja-manja seperti raden sadana
yang nanti jadilah mengenyangkan
89
yang nanti jadilah senjata
tertancap di tanah luas
tumbuh subur mekar bunganya
padi seikat ini ceritanya kecintaan diri
bentuk bumiku tempat yang subur
gemah ripah loh jinawi
bercampur birunya samudra
menunggu kicauan burung bersautan
mengukur lagu keberuntungan
ini bumi tercinta, teman!
Guritan Pari Sawuli simetri ditunjukan pada bait satu yang
dilanjutan bait kedua bahwa seikat padi menjadikan harapan yang sangat
besar yang bisa dijadikan senjata untuk kehidupan yang akan datang
untuk menahan rasa lapar dan sebagai persedianmakanan. Begitupula
bumi pertiwi yang digambarkan tempat yang subur dan menghasilkan
sumber daya alam yang melimpah. Sehingga menunjukan adanya ikatan
makna antar bait.
5) Tancepna Maneh ‘Tancapkan Lagi’
Kutipan:
tancepna maneh swiwi-wiwiku (TM, 3, 1)
munggah grayah-grayah pucuk plaza (TM, 3, 2)
andhok ing kuntuky, disko sewengi natas (TM, 3, 3)
ing kana ana kringet lan luh (TM, 3, 4)
karaokene katrem kekidungan (TM, 3, 5)
tembang megatruh (TM, 3, 6)
aja kok sengguh jaman iki (TM. 4, 1)
isih kaya wingi, adhi (TM, 4, 2)
kabeh wis owah, kabeh wis gingsir (TM, 4, 3)
legakna atimu, lan ngasoa kang taneg (TM, 4, 4)
sinambi rengeng-rengeng (TM, 4, 5)
sisane gendhing pacul gowang (TM, 4, 6)
bakal ngangkangi awang-awang (TM, 4, 7)
Terjemahan:
tancapkan lagi sayap-sayapku
90
naik merangkak-rangkak ujung plaza
berhenti di kuntuky, disko semalam suntuk
di sana ada kringat dan air mata
karaokenya betah berdendangan
lagu megatruh
jangan dikira jaman sekarang
masih seperti kemarin, adik
semuah sudah berubah, semua sudah sirna
legakan hatimu, dan istirahatlah yang puas
sambil bersenandung
sisanya lagu cangkul patah
akan melangkahi awang-awang
Guritan Tancepna Maneh homolog terdapat antar bait dan bait,
baris dan baris. Bait ketiga menggambarkan keadaan jaman sekarang
yang dipenuhi dengan kemodernan berbanding terbalik dengan jaman
dahulu, karena pada jaman sekarang sudah jarang ditemukan kebudayaan
yang pernah ada.
6) Ziarah ‘Ziarah’
Kutipan:
dak tandur wangine kembang melathi (Zr, 1, 1)
pinagka rabuk watu nisanmu (Zr, 1, 2)
ana lagu gumonthang (Zr, 1, 3)
mbarengi runtuhe kembang semboja (Zr, 1, 4)
siji mbaka siji (Zr, 1, 5)
Terjemahan:
ku tanam wanginya bunga melati
sebagai pupuk batu nisanmu
ada lagu berkumandang
bersamaan gugurnya bunga kemboja
satu per satu
Homolog yang terdapat pada guritan Ziarah yang mengikat makna
bahwa bunga melati sebagai simbol untuk doa terhadap leluhur begitu
91
pula lagu diibaratakan sebagai pujian-pujian doa sebagaimana ziarah
yang dilakukan kebanyakan orang lainnya.
7) Riyayan ‘Lebaran’
Kutipan:
riyayan ing ing padesan saben taun (ry, 1, 1)
kembang mekar maneh sandhuwure kubur (Ry, 1, 2)
nancepake gegantilane benang leluhur (Ry, 1, 3)
ndhedher wiji karosan (Ry, 1, 4)
urip bareng ombak-ombak (Ry, 1, 5)
urip kembul bojana bareng sanak (Ry, 1, 6)
ngrahapi nyamikan, wedang gula jawa (Ry, 1, 7)
ngluberake pangaksama (Ry, 1, 8)
Terjemahan:
lebaran di pedesaan setiap tahun
bunga mekar kembali diatasnya makam
menancapkan penerus benang leluhur
membukak biji kekuatan
hidup bersama ombak-ombak
hidup berbagi pesta bersama keluarga
memakan camilan, minum gula jawa
mengungkapkan permohonan maaf
Kutiapan bait di atas terdapat homolog yang menimbulkan makna
antarbait saling terkait dan mengikat bahwa setiap tahun bunga
bermekaran membuka kekuatn dan hidup bersama ombak-ombak begitu
pula manusia ketika lebaran membuka pintu hati dan saling memaafkan
dari kesalahan-kesalahan dan kemudian berbahagia bersama. Melakukan
pesta bersama dengan sanak keluarga dan saling memaafkan.
8) Medhitasi Alang-Alang 1 ‘Medhitasi Alang-Alang 1’
Kutipan:
menthang gendhewa-gendhewa adhep-adhepan (MAA1, 3, 1)
ing perang baratayuda (MAA1, 3, 2)
karna tetep dadi paraga kalah mungsuh arjuna (MAA1, 3, 3)
92
angruwat papanistha wae (MAA1, 4, 1)
yagene kudu ora suwala (MAA1, 4, 2)
karo sing bisa njamu dewa-dewa (MAA1, 4, 3)
Terjemahan:
menantang gagah berani berhadapan
di perang baratayuda
karna tetap menjadi pelaku kalah melawan arjuna
membersihkan tempat buruk
kenapa harus tidak bangga
kepada yang bisa menyambut dewa-dewa
Pada guritan di atas dijelaskan bahwa basukarna seseorang yang
biasa namun yang sebenarnya anak dewi yang kekuatanya tak kalah
dengan arjuna.
9) Tembang Lemah Ngare ‘Lagu Tanah Pegunungan’
Kutipan:
gumurite lawang gubug iki (TLN, 1, 1)
minangka paseksen, wengi lan sore (TLN, 1, 2)
omah dadi swargane (TLN, 1, 3)
langit lan bumi durung kinunci (TLN, 1, 4)
emprit gantil neba ing sawah (TLN, 1, 5)
mapag dina paring sesulih (TLN, 1, 6)
srengenge mbirat ngelak lan ngelih (TLN, 1, 7)
enggal rebuten popok-popok wewe (TLN, 4, 1)
kanggo nyulap sabrang gawe (TLN, 4, 2)
Terjemahan:
berderitnya gubug ini
sebagai saksi, malam dan sore
rumah menjadi surganya
langit dan bumi belum terkunci
emprit gantil jatuh di sawah
menjemput hari memberi pengganti
matahari bersinar haus dan lapar
cepat rebutlah popok-popok wewe
untuk mengubah tepi pekerjaan
93
Kutiapan bait di atas menjelaskan bahwa sebuah gubug menjadi
saksi atas kerja kerasnya seseorang yang hidup di desa dan berharap akan
adanya perubahan begitu pula rebuten popok-popok wewe menunjukan
untuk bekerja keras untuk merebut atau mencari rejeki untuk perubahan
yang akan datang. Kedua bait tersebut saling berkait dan mengikat
makna.
10) Panen ‘Panen’
Kutipan:
sawise direwangi pindho adus kringet (Pn, 1, 1)
anggone ngupakara tanduran iki (Pn, 1, 2)
wis samesthine ing pungkase mangsa (Pn, 1, 3)
bakal panen (Pn, 1, 4)
-wong temen bakal tinemu, ndhuk! (Pn, 1, 5)
ngono simbah aweh sesorah (Pn 2, 1)
ora mung manungsa butuh panggulawenthah (Pn, 2, 2)
nanging tanduran uga tinitah (Pn, 2, 3)
butuh tresna (Pn, 2, 4)
butuh asih (Pn, 2, 5)
-kang nandur wenang ngundhuh, ndhuk! (Pn, 2, 6)
Terjemahan:
sesudah berjuang seperti mandi keringat
dimana memilah tanaman inI
sudah semestinya di akhir musim
akan panen
-orang serius akan menemukan, nak!
begitu simbah memberi nasehat
tidakk hanya manusia butuh kasihsayang
butuh cinta
butuh kasih sayang
-yang menanam berhak panen, nak!
Pada guritan Panen pada kutiapan bait di atas menjelaskan makna
bahwa tidak hanya manusia yang butuh perawatan kasih dan sayang
supaya tumbuh dengan baik begitu pula dengan tanaman juga butuh
94
perawatan dengan kasih sayang supaya panen yang memuaskan. Kedua
bait tersebut saling terkait dan mengikat.
Kesepuluh guritan Widodo Basuki secara keseluruhan homolog
yang terdapat guritan tersebut berupa pemenggalan dari baris satu ke baris
yang lain. setiap baris saling menguatkan makna yang akan diungkapkan
dalam guritan sehingga membentuk keselarasan makna yang liris.
c. Enjambemen
Enjambemen adalah pemutusan kalimat untuk ditekan pada baris
berikutnya. Enjambemen dalam puisi bertujuan untuk memberi tekanan
makna pada kalimat tersebut. Pemutusan kalimat ini juga bertujuan agar
memudahkan membaca dalam memahami makna serta untuk mencapai satu
kesatuan makna dalam tiap kelompok kata pada tiap barisnya. Enjambemen
dalam sepuluh guritan karya Widodo Basuki adalah sebagai berikut :
1) Dongeng Mistis ‘Dongeng Mistis’
Kutipan:
hong, sepisan dadi (DM, 1, 4)
kelir manjelma jagad (DM, 1, 5)
Terjemahan:
hong, pertama menjdi
kelir menjilma semseta
Kata dadi dipenggal untuk memberikan penekanan pada kata kelir
yang artinya kelir diibaratkan alam semesta atau pusat kehidupan
manusia.
2) Cengkir Gadhing ‘Cengkir Gadhing’
Kutipan:
95
ing wit klapa gadhing iku ndhisik (CG, 2, 1)
bocah-bocah penekan, plurutan (CG, 2, 2)
Terjemahan:
di pohon kelapa gadhing itu dulu
anak-anak panjatan, prosotan
Pemenggalan kata ndhisik dan bocah-bocah memperjelas hubungan
bahwa ketika masih kecil atau jaman dahulu pohon kelapa hanya untuk
dipakai untuk bermain.
3) Medhitasi Godhong Suruh ‘Medhtasi Daun Suruh’
Kutipan:
godhong suruh gilang-gumilang (MGS, 2, 2)
cahyane bang ketebang (MGS, 2, 3)
Terjemahan:
daun suruh bersinar benderang
cahayanya sedikit terlihat
Kata gilang-gumilang dipenggal untuk memberikan penekanan
pada kata cahyane yang artinya adanya cahaya yang terang benderang
untuk kehidupan yang akan datang.
4) Guritan Pari Sawuli ‘Puisi Padi Seikat’
Kutipan:
tumancep ing tanah bawera (GPS, 1, 6)
thukul ngrembaka mekrok kembange (GPS, 1, 7)
dadi sawijining generasi (GPS, 1, 8)
Terjemahan:
tertancap di tanah luas
tumbuh subur mekar bunganya
menjadi salah satu generasi
96
Kata bawera dipenggal untuk memberikan penekanan pada kata
thukul yang artinya tumbuh ditanah yang luas dan menjadikan harapan
untuk hidup.
5) Tancepna Maneh ‘Tancapkan Lagi’
Kutipan:
aja kok sengguh jaman iki (TM, 4, 1)
isih kaya wingi, adhi (TM, 4, 2)
Terjemahan:
jangan kau kira jaman sekarang ini
masaih seperti kemarin, adhi
Pemenggalan iki dan isih memperjelas hubungan bahwa jaman
sekarang jangan dibandingkan seperti jaman dahulu yang masih memiliki
kebudayaan yang masih terjaga.
6) Tembang Lemah Ngare ‘Lagu Tanah Pegunungan’
Kutipan:
gumerite lawang gubug iki (TLN, 1, 1)
minagka paseksen wengi lan sore (TLN, 1, 2)
Terjemahan:
berderitnya pintu gubug ini
sebagai saksi, malam dan sore
Pemenggalan kata iki bertujuan untuk memberikan penekanan pada
kata minangka. Hal ini menciptakan arti pintu rumah menjadi saksi atas
kehidupan yang ada di tanah pegunungan.
7) Panen ‘Panen’
Kutipan:
anggone ngupakara tanduran iki (Pn, 1, 2)
wis samesthine ing pungkase mangsa (Pn, 1, 3)
97
bakal panen (Pn, 1, 4)
Terjemahan:
dimana membedakan tanaman ini
sudah semestinya di akhir musim
akan panen
Kata iki dipenggal untuk memberikan penekanan pada kata wis
yang menunjukan dalam menjalankan hidup akan ada saatnya di akhir
nanti ada hasilnya yang akan didapat oleh setiap manusia.
d. Tipografi
Tipografi adalah pembedaan yang penting antara puisi dan prosa.
Dalam puisi, peran tipografi sangat berpengaruh dalam pembangunan
makna. Tipografi pada guritan karya Widodo Basuki dapat dilihat sebagai
berikut :
a) Judul
Penulisan judul pada guritan karya Widodo Basuki dalam Antologi
Guritan Medhitasi Alang-Alang menggunakan huruf kapital semua dengan
dicetak tebal dan miring. Diketik dengan mesin komputer dengan ukuran
huruf yang lebih besar daripada huruf dalam bait dan baris guritan. Tata
letak judul dengan format align text left atau rata kiri.
b) Pembaitan
Guritan dengan bait paling sedikit yakni hanya terdiri dari 2 bait
yaitu guritan berjudul Cengkir Gadhing, Medhitasi Godhong Suruh, dan
Ziarah. Guritan Dongeng Mistis, Riyayan dan Panen terdiri dari 3 bait.
Guritan Guritan Pari Sawuli, Medhitasi Alang-Alang 1 dan Tembang
98
Lemah Ngare terdiri dari 4 bait. Guritan Tancepna Maneh terdiri dari 5
bait.
Widodo Basuki memperlihatkan kebebasan dalam berekspresi
dengan membuat guritan dengan jumalah bait yang tidak menentu, bebas
dan tidak terikat dengan metrum. Secara keseluruhan guritan karya Widodo
Basuki mempunyai bait-bait yang relatif sedikit, yakni 2 sampai 3 bait
namun juga terdapat bait antara 4 sampai 5 bait.
c) Jumlah Baris
Pada guritan Dongeng Mistis jumlah baris pada bait pertama 5,
bait kedua 5, bait ketiga 2. Guritan Cengkir Gadhing jumlah baris pada bait
pertama 5, bait kedua 6. Guritan Medhitasi Godhong Suruh jumlah baris
bait pertama 6, bait kedua 3. Pada guritan, Guritan Pari Sawuli jumlah
baris pada bait pertama 8, bait kedua 22, bait ketiga 7, bait keempat 6.
Guritan Tancepna Maneh jumlah baris pada bait pertama 5, bait kedua 5,
bait ketiga 6, bait keempat 7, bait kelima 3.
Jumlah baris padaguritan Ziarah pada bait pertama 5, bait kedua 3.
Guritan Riyayan jumlah baris pada bait pertama 8, bait kedua 5, bait ketiga
3. Guritan Medhitasi Alang-Alang 1 jumlah baris pada bait pertama 11, bait
kedua 3, bait ketiga 3, bait keempat 3. Guritan TembangLemah Ngare
jumlah baris pada bait pertama 7, bait kedua 4, bait ketiga 3, bait keempat
2. Pada guritan Panen jumlah baris pada bait pertama 5, bait kedua 6, bait
ketiga 8.
Keseluruhan guritan karya Widodo Basuki tidak memiliki aturan
tertentu dalam pembarisan atau bisa dikatakan bermetrum bebas. Untuk
99
memudahkan mengidentifikasi baris, kalimat yang diteruskan tidak
dihitung dalam baris sebelumya tetapi dihitung dalam bari berbeda.
Beberapa bait terdapat kutipan-kutipan seperti mantra dan percakapan yang
tidak dihitung dalam jumlah baris. Rata-rata guritan karya Widodo Basuki
memlliki jumlah baris yang pendek.
d) Pemakaian Huruf
Pemakaian huruf pada sepuluh guritan karya Widodo Basuki
dalam Antologi Guritan Medhitasi Alang-Alang mayoritas menggunakan
huruf kecil. Tidak ada pemakaian huruf kapital pada awal guritan begitu
pula tidak adanya pemakaian huruf kapital pada awal bait.
Dlihat dari keseluruhan guritan dapat diketahui bahwa gaya
penulisan Widodo Basuki bersifat bebas, tidak terikat oleh aturan dalam
pemakaian huruf kapital dan sebagainya. Cara penulisan seperti ini tidak
membuat pembaca jenuh dalam pembacaan guritan, dimana menjadi
pembeda penulisan karya beliau yang berbentuk guritan dengan prosa.
e) Pemakaian Tanda Baca
Widodo Basuki masih menggunakan tanda baca dalam guritan karyanya.
Berbagai tanda baca seperti koma (,), tanda tanya (?), tanda seru (!), tanda
hubung (-), dan tanda titik dua ( : ). Tanda baca yang digunakan oleh
Widodo Basuki dapat dilihat sebagai berikut :
1) Dongeng mistis ‘Dongeng Mistis’
Kutipan:
hong, sepisan dadi (DM, 1, 4)
adam lan babu kawa campur dewa-dewa (DM, 2, 2)
100
Terjemahan:
hong, pertama menjdi
adam dan kaum hawa bercampur dewa-dewa
Tanda baca yang digunakan dalam guritan Dongeng Mistis adalah
tanda koma (,) dan tanda hubung (-). Tanda koma menunjukan pemisah
atau jeda untuk menekankan kata selanjutnya, sedangkan tanda hubung
untuk pengulangan kata.
2) Cengkir Gadhing ‘Cengkir Gadhing’
Kutipan:
bocah-bocah penekan, plurutan (CG, 2, 2)
nggogrokake dhompolane, mbiyaki tapas-tapase (CG, 2, 3)
Terjemahan:
anak-anak panjatan, prosotan
menjatuhkan buah, membuka tapas-tapasnya
Kutipan di atas terdapat tanda baca yang digunakan dalam guritan
Cengkir Gadhing adalah tanda koma (,) dan tanda hubung (-). Tanda
koma menunjukan pemisah atau jeda untuk menekankan kata
selanjutnya, sedangkan tanda hubung untuk pengulangan kata.
3) Medhitasi Godhong Suruh ‘Medhitasi Daun Suruh’
Kutipan:
godhong suruh gilang-gumilang (MGS, 2, 2)
Terjemahan:
daun suruh terang-benderang
Guritan Medhitasi Godhong Sirih tanda baca yang digunakan
adalah tanda baca hubung (-) yang berfungsi untukpengulangan kata.
101
4) Guritan Pari Sawuli ‘Puisi Padi Seikat’
Kutipan:
dak emi-emi pindha dewi sri (GPS, 1, 2)
dak dama-dama pindho raden sadana (GPS, 1, 3)
iki bumi kinasih, dasih! (GPS, 2, 7)
sinambi leledhang ing ngisor trembesi? (GPS, 2, 19)
Terjemahan:
ku sayang-sayang bagai dewi sri
dimanja-manja bagai raden sadana
ini bumi kasih sayang, teman!
yang nyata cinta terhadap putranya?
Tanda baca yang digunakan dalam Guritan Pari Sawuli adalah
tanda hubung (-), koma (,), tanda seru (!) dan tanda tanya (?). Tanda
hubung berfungsi untuk pengulangan kata, tanda koma menunjukan
pemisahan atau jeda untuk menekankan kata selanjutnya, tanda seru
berfungsi untuk menujukan perasaan atau suara tinggi dan sering
menandai akhir suatu kalimat dan tanda tanya digunakan untuk
menandakan akhir kalimat pada kalimat pertanyaan.
5) Tancepna Maneh ‘Tancapkan Lagi’
Kutipan:
tancepna maneh swiwi-swiwiku (TM, 1, 1)
lumantar sumilire angin(TM, 1, 5)
:cempe-cempe
kabeh wis owah, kabeh wis gingsir (TM, 4, 3)
legakna atimu, lang ngasoa kang taneg (TM, 4, 4
Terjemahan:
tancapkan lagi sayap-sayapku
lewat sumilirnya angin
:cempe-cempe
102
semua sudah berubah, semua sudah sirna
legakan hatimu, dan beristirahatlah yang puas
Tanda baca yang digunakan dalam guritan Tancepna Maneh
adalah tanda hubung (-), titik dua ( : ) dan koma (,). Tanda hubung untuk
perulangan kata, titik dua berguna untuk memberi bukti dan penjelasan
dan tanda koma berfungsi untuk menunjukan pemisahan atau jeda untuk
menekankan kata selanjutnya.
6) Riyayan ‘Lebaran’
Kutipan:
urip bareng ombak-ombak (Ry, 1, 5)
mgrahapi nyamikan, wedang gula jawa (Ry, 1, 7)
Terjemahan:
hidup bersama ombak-ombak
memakan camilan, minum gulang jawa
Pada kutipan di atas tanda baca yang digunakan dalam guritan
Riyayan adalah tanda hubung (-) dan tanda koma (,). Tanda hubung
untuk perulangan kata, sedangkan tanda koma menunjukan pemisah atau
jeda untuk menekankan kata selanjutnya.
7) Medhitasi Alang-Alang 1 ‘Medhitasi Alang-Alang 1l’
Kutipan:
gumlethak, (MAA1, 1, 5)
tinandhu alang-alang (MAA1, 1, 6)
: aku basukarna, (MAA1, 1, 8)
apa isih kurang anggonmu munasika? (MAA1, 1, 11)
Terjemahan:
tergeletak,
terhalang alang-alang
:saya basukarna
103
apa masih kurang apa yang kau perbuat?
Terdapat tanda baca yang digunakan dalam guritan Medhitasi
Alang-Alang 1 adalah tanda koma (,), tanda hubung (-), titik dua ( : ) dan
tanda tanya (?). Tanda koma menunjukan pemisah atau jeda untuk
penekanan kata selanjutnya, tanda seru digunakan untuk menujukan
perasaan atau suara tinggi dan sering menandai akhir suatu kalimat, tanda
hubung untuk perulangan kata, titik dua untuk memberi bukti dan
penjelasan dan tanda tanya untuk menandakan akhir kalimat pada kalimat
pertanyaan.
8) Tembang Lemah Ngare ‘Lagu Tanah Pegunungan’
Kutipan:
apa ati wis mlebu bui? (TLN, 2, 4)
enggal rebuten popok-popok wewe (TLN, 4, 1)
kanggo nyulap sabrang gawe (TLN, 4, 2)
:gendhuk, enggal turua kang taneg
sawise iku,
wong tuamu ajarana mlaku.
Terjemahan:
apa hati sudah masuk penjara?
cepat rebutlah popok-popok wewe
untuk mengubah tepi pekerjaan
:nak, cepat tidurlah yang puas
sesudah itu,
orang tuamu ajarilah berjalan.
Pada kutipan tersebut tanda baca yang digunakan dalam guritan
Tembang Lemah Ngare adalah tanda tanya (?), tanda hubung (-), titik dua
( : ), koma (,) dan tanda titik (.). Tanda tanya untuk menandakan akhir
kalimat pada kalimat pertanyaan, tanda hubung untuk perulangan kata,
104
titik dua untuk memberi bukti dan penjelasan, tanda koma untuk
menunjukan pemisahan atau jeda untuk menekankan kata selanjutnya
dan tanda titik untuk menandakan akhir kalimat.
9) Panen ‘Panen’
Kutipan:
kang wenang ani-ani ulenan pari (Pn, 3, 4)
Terjemahan:
yang berhak ani-ani seikat padi
Tanda baca yag digunakan dalam guritan Panen adala tanda baca
hubung (-) yang berfungsi untuk perulangan kata.
Dari pembahasan pemakaian tanda baca dalam guritan karya
Widodo Basuki dapat dapat disimpulkan bahwa tanda baca yang digunakan
masih sesuai fungsi yang semestinya. Tanda hubung digunakan untuk
pengulangan kata, tanda koma untuk memberikan jeda, tanda seru untuk
penekanan nada yang lebih tinggi, titik dua untuk memberi bukti dan
penjelasan, tanda tanya menandakan akhir kalimat pada kalimat pertanyaan
dan tanda titik untuk mengakhiri guritan. Hanya terdapat satu guritan yang
tidak terdapat tanda baca yaitu guritan Ziarah.
4. Matriks, Model dan Varian
Untuk membuka sajak supaya dapat dipahami, dalam konkretisasi puisi
haruslah dicari matriks atau kata kuncinya. Kata-kata kunci adalah kata yang
menjadi kunci penafsiran sajak yang dikonkretisasikan. Matriks-matriks yang
terdapat dalam sepuluh guritan karya Widodo Basuki sebagai berikut:
105
1) Dongeng Mistis ‘Dongeng Mistis’
ing pungkasane gamelan talu
dupa kemelun dadi daging
ukara dadi roh
hong, sepisan dadi
kelir manjelma jagad
blencong dadi srengenge
ing ngisore janur malengkung
adam lan babu kawa campur dewa-dewa
njumputi kama tumiba
dibungkusi kulit
dikemuli wewayangan
wong jawa
senengane dolanan nyawa
Matriks pada guritan Dongeng Mistis adalah ‘gambaran
pertunjukan wayang’ dan merupakan gambaran kehidupan manusia di
dunia ini.matriks ini ditransformasikan menjadi model gamelan talu, dupa
kemelun, kelir manjelma jagad, blencong dadi srengenge, dan janur
melengkung.
Varian-varian pada guritan Dongeng Mistis yaitu (1) pertunjukan
wayang dimulai dengan memukul gamelan yng disebut gamelan talu, (2)
pertunjukan wayang menggunakan dupa atau menyan yang dipercaya
sebagai penghubung dengan makhluk ghaib, (3) orang jawa
menggambarkan pertunjukan wayang sebagai gambaran kehidupan di
dunia.
2) Cengkir Gadhing ‘Cengkir Gadhing’
wis pecah wujude cengkir gadhing
saka pikiran wening, dimen eling
saka kene tumetese banyu suci
bisa kanggo tamba ngelak salawase
kanggo mbukak langit lan bumi
106
ing wit klapa gadhing iku ndhisik
bocah-bocah penekan, plurutan
nggogrokake dhompolane, mbiyaki tapas-tapase
cengkir gadhing dienggo dolanan
disesep-sesep banyune
diklamuti putih daginge
sing tininggal mung kari bathok sepasang
manjing jroning dhadha
manjing jroning jiwa
kanggo madhai tumetese donga
kanggo urubing dahana
Matriks pada guritan Cengkir Gadhing adalah ‘fungsi cengkir
gadhing’ dan ‘gambaran anak muda yang masih polos’, kemudian model
ditransformasikan menjadi model pada guritan Cengkir Gadhing yaitu wis
pecah wujude cengkir gadhing, pikiran wening, banyu suci, wit klapa
gadhing, bocah-bocah penekan, plurutan, diklamuti putih daginge dan
cengkir gadhing dienggo dolanan’
Varian-varian pada guritan Cengkir Gadhing yaitu (1) cengkir
gadhing yang digambarkan sebagai pikiran yang jernih, polos dan berani
seperti anak muda yang masih memiliki sifat seperti tersebut. (2) cengkir
gadhing yang sekarang ini masih di gunakan sebagai pelengkap upacara
adat yang di maknai sebagai pikiran yang polos akan mampu membawa
kehidupan yang akan datang menjadi lebih baik, (3) menceritakan cengkir
gadhing dahulunya hanya sebagai tempat atau sarana bermain anak-anak
namun di kembangkan menjadi perlengkapan upacara yang di maknai
sebagai wujud kejernihan atau kepolosan pikirian seseorang.
3) Medhitasi Godhong Suruh ‘Medhitasi Daun Sirih’
salembar godhong suruh
ginulung tinalenan sahadat rosul
kembang mayang binukak
godhong suruh dadi tumbak
107
wekasan manjing pungkasan
pungkasan manjung wekasan
dhadhung awuk ambruk sinuduk
godhong suruh gilang-gumilang
cahyane bang ketebang
Matriks pada guritan Medhitasi Godhong Suruh adalah ‘simbol
yang digunakan dalam sebuah upacara adat’. Model pada guritan di atas
yaitu salembar godhong suruh, kembang mayang, godhong suruh dadi
tumbak, dan cahyane.
Varian pada guritan Medhitasi Godhong Suruh yaitu (1) daun
suruh yang diikat dengan benang ibiratanya hubungan yang sangat erat
dalam pernikahan, (2) daun suruh sebagai tumbak yang menggambarkan
bahwa hubungan akan terjalin selamanya yang akir menjadi akir dan
sebaliknya.
4) Guritan Pari Sawuli ‘Puisi Padi Seikat’
pari sawuli iki tetep sumimpen ing senthong tengah
dak emi-emi pindha dewi sri
dak dama-dama pindho raden sadana
ing tembe bisaa amaregi
ing tembe dadia pusaka
tumancep ing tanah bawera
thukul ngrembaka mekrok kembange
dadi sawijining generasi
pari sawuli iki critane katresnan jati
wujud bumiku tlatah kang subur
gemah ripah low jinawi
linabur birune samodra
rinengga ocehe manuk sesautan
nepusi tembang kebegjan
iki bumi kinasih, dasih!
panggone ngelak lan ngelih
sapa ora melik citrane ibu
kang tuhu tresna marang putrane?
delengen,
among tani ing tengah sawah
108
nggemeni tanduran garbis lan blewah
otot-otote prakosa, kulite werna cemani
‘kringet kotos, dhadha nggilap
pamandenge pindha landhepe glathi
nanging krasa adhem mrebewani
sapa sing ora kepranan ngrasakake sumilire angin,
sinambi leledhang ing ngisor trembesi?
iki bumi pertiwi, mitraku
sing tansah aweh asih asaah lan asuh
kinalungan slendhange para hapsari
tangan-tangan prakosa nyulap lemah ngare
ing tembe dadi panggonan sumendhe
kalamun lungkrah ing wayah sore
saben dina terus makarya
kanthi ati sumeleh
lega, lila, legawa
nyawijekake rasa syukur ing ngrasa-Ne
pari sawuli kang sumimpen ing senthong tengah
tetep dak pundhi dak aji-aji
kanthi tresna suci
dimen bisa kanggo seksi
iki warisan tembang pungkasan:
apa sliramu uga rumangsa handarbeni, mitraku
Matriks pada Guritan Pari Sawuli adalah padi ‘harapan seorang
petani’ dan ‘kerja keras seorang petani’. Matriks ini di transformasikan
menjadi model yaitu: pari sawuli tetep sumimpen ing senthong, dak emi-
emi pindho dewi sri, otot prakoso,kringet kotos dan pemandange landep
pindho glathi.
Varian-varian pada Guritan Pari Sawuli yaitu (1) petani selalu
berharap akan tumbuh subur tanamanya agar bisa menghidupi anak-
anaknya kedepanya, maka dari itu petani selalu menyimpan dengan baik
hasil panenya di dalam senthong atau kamar tengah. (2) para petani selalu
bekerja keras merawat padi yang di tanamnya di sawah dengan penuh
cinta kasih sayang, selalu berusaha supaya padinya mendapatkan hasi
109
panen yang memuaskan dengan merawat dengan cara atau langkah yang di
lakukan petani.
5) Tancepna Maneh ‘Tancapakan Lagi’
tancepna maneh swiwi-swiwiku
nganggo pucuking glathi
ing plataran katresnanmu
kareben bocah-bocah bali lelagon
lumantar sumilire angin
:cempe-cempe
undangna barat gedhe
tak opahi duduh tape
yen kurang goleka dhewe
heee...
tancepna maneh swiwi-swiwiku
kinemulan pinjung kluwung malengkung
nalika grimis riwis-riwis
isih nelesi gorokan
kareben bocah-bocah bali tetembangan
: uda celak kali banjir
iwak cethak padha minggir
mbah sakiyem nandur cipir
rambatane kayu dhondhong
mbah, jembutmu kobong
heee...
tancepna maneh swiwi-swiwiku
munggah grayah-grayah pucuk plaza
andhok ing kentuky, disko sewengi natas
ing kana ana kringet lan luh
karaokene katrem kekidungan
tembang megatruh
aja kok sengguh jaman iki
isih kaya wingi, adhi
kabeh wis owah, kabeh wis gingsir
legakna atimu, lang ngasoa kang taneg
sinambi rengeng-rengeng
sisane gendhing pacul gowang
bakal ngangkangi awang-awang
tancepna maneh swiwi-swiwiku
kareben aku bisa mabur ngawiyat
nadyan getih bali tumetes
110
Matriks pada guritan Tancepna Maneh adalah ‘harapan
melestarikan nilai budaya’. Matriks kemudian di transformasikan menjadi
model di antaranya: tancepna maneh swiwi-swiwiku, bocah-bocah bali
lelagon, pucuk plaza, dan mabur ngawiyat.
Varian-varian atau model pada guritan Tancepna Maneh yaitu (1)
tancapkan lagi sayap-sayap yang di maksudkan harapan untuk mengenal
kembali budaya lama untuk diingat kembali untuk di lestarikan dan di
perkenalkan kepada anak-anak jaman sekarang, (2) anak-anak supaya bisa
mengenal macam budaya yang dulu pernah ada.
6) Ziarah ‘Ziarah’
dak tandur wangine kembang mlathi
pinangka rabuk watu nisanmu
ana lagu gumonthang
mbarengi runtuhe kembang semboja
siji mbaka siji
tanpa dak rasa srengengeku bakal angslup
kejepit nisan iki
nadyan ora dak ranti
Matriks pada guritan Ziarah adalah ‘kebiasan berziarah’ dan
‘selalu ingat kematian’. Matriks di transformasikan menjadi model yaitu
kembang melathi, rabuk watu nisanmu, kembang semboja dan kejepit
nisan iki
Varian-varian pada guritan Ziarah yaitu (1) ziarah merupakan
kebiasaan masyarakat jawa untuk melakukan ziarah atau sering disebut
nyekar, (2) ziarah sebagai simbol untuk mengingat nenek moyang dan
selalu mengingat bahwa setiap manusia akan mati.
111
7) Riyayan ‘Lebaran’
riyayan ing ing padesan saben taun
kembang mekar maneh sandhuwure kubur
nancepake gegantilane benang leluhur
ndhedher wiji karosan
urip bareng ombak-ombak
urip kembul bojana bareng sanak
mgrahapi nyamikan, wedang gula jawa
ngluberake pangaksama
ing padesan dadi pasren amiwiti jangkah kapisan
gamelan talu bola-bali
tinabuh tanpa wekasan
manise kembang gula jawa, apura ingapura
lampu-lampu blencong kekencaran
riyayan ing padesan
mbalekake balung-balung rapuh
sawise dadi sanggan ing paran
Matriks pada guritan Riyayan adalah ‘tradisi leberan’ dan ‘saling
memaafkan antar sesama’. Model pada guritan tersebut yaitu urip bareng
ombak-ombak, urip kembul bojana, ing padesan, manise kembang gula
jawa dan lampu-lampu blencong.
Varian-varian pada guritan Riyayan yaitu (1) lebaran di desa selalu
di laksanakan penuh dengan kemeriahan dengan lamu-lampu blencong
yang bercahaya, (2) lebaran di desa di rayakan dengan makan bersama-
sama, (3) setelah makan-makan bersama, di laksanakan saling maaf
memaafkan antar keluarga, saudara, tetanga dengan tetangga.
8) Medhitasi Alang-Alang 1‘Medhitasi Alang-Alang 1’
sapa sing wani urip ing kene
nantang srengenge
ing puthuk ngenthak-enthak
bayi sing metu saka kuping kae
gumlethak,
tinandhu alang-alang
kabeh kala tinantang
112
: aku basukarna,
anake ibu kunthi nalibrata
sing ditemu kusir adhirata
apa isih kurang anggonmu munasika?
dhalange gumuyu lakak-lakak
: karna, si bocah pidak pedarakan
dadi senopati mungsuh arjuna?
menthang gendhewa-gendhewa adhep-adhepan
ing perang baratayuda
karna tetep dadi paraga kalah mungsuh arjuna
angruwat papanistha wae
yagene kudu ora suwala
karo sing bisa njamu dewa-dewa
Matriks pada guritan Medhitasi Alang-Alang 1 adalah ‘gambaran
cerita basukarna’. Matriks yang di transformasikan menjadi model, di
antaranya sebagai berikut: nantang srengenge, bayi sing metu saka kuping,
anake ibu kunti, ditemu kusir adhibrata, dhalange gumuyu, dadi senopati
mungsuh arjuna dan bisa njamu dewa-dewa.
Varian-varian pada guritan Medhitasi Alang-Alang 1 yaitu (1)
basukarna merupakan seorang kesatria anak pertama dari dewi kunti yang
memiliki keberanian yang sangat luar biasa, tidak pernah takut atas
kastanya dan mencintai kelarganya. (2) basukarna seorang yang penuh
kesederhanaan meskipun berasal dari desa tidak pernah merasa keci hati
namun justru menunjukan kepercayaan dirinya.
9) Tembang Lemah Ngare ‘Lagu Tanah Pegunungan’
gumerite lawang gubug iki
minagka paseksen wengi lan sore
omah dadi swargane
langit lan bumi durung kinunci
emprit gantil neba ing sawah
mapag dina paring sesulih
srengenge mbirat ngelak lang ngelih
113
nganam klasa ing mburitan
milahi lan melahi jangka jumangkah
sinambi nyawang laron lumebu geni
apa ati wis mlebu bui?
lesung jumengglung asung pawarta
sesuk ana kidung gumonthang
bedhug-bedhug ditabuh ndhrandhang
enggal rebuten popok-popok wewe
kanggo nyulap sabrang gawe
:gendhuk, enggal turua kang taneg
sawise iku,
wong tuamu ajarana mlaku.
Matriks pada guritan Tembang Lemah Ngare ‘adalah ‘orang desa
dalam mencari rejeki’ dan ‘harapan orang tua di desa kepada anak-
anaknya’. Model pada guritan tersebut yaitu: gumerite lawang gubug iki,
omah dadi swargane, emprit gantil neba ing sawah, nganam klasa ing
buritan, dan rebuten popok-popok wewe.
Varian-varian pada guritan Tembang Lemah Ngare yaitu (1)
orang-orang tua di desa selalu berharap anak-anaknya mendapatkan
kehidupan yang lebih baik, (2) anak-anak yang mempunyai latar belakang
petani di tuntut untuk bekerja keras untuk membahagiakan orang tuanya.
10) Panen ‘Panen’
sawise direwangi pindha adus kringet
anggone ngupakara tanduran iki
wis samesthine ing pungkase mangsa
bakal panen
-wong temen bakal tinemu, ndhuk!
ngono simbah aweh sesorah
ora mung manungsa butuh panggulawenthah
nanging tanduran uga tinitah
butuh tresna
butuh asih
-kang nandur wenang ngundhuh, ndhuk!
114
semono uga atimu kang wis sumadiya
dadi pasren lan uritane guritan
wis sasesthine sliramu dhewe
kang wenang ani-ani ulenan pari
sinubya suka sukur maring allah
aja wedi marang kang bakal anjrah rayah
jalaran ing kono ana wewadi
bakal tumurune berkah
Matriks pada guritan Panen adalah ‘kerja keras dan ikhlas akan
mendapatkan hasil yang memuaskan’. Model dalam guritan di atas adalah
ngupakara tanduraniki, bakal panen, butuh tresna, butuh kasih, kang
nandur wenang ngundhuh dan kang wenang ani-ani ulenan pari.
Varian-varian pada guritan Panen yaitu (1) hasil yang di peroleh
dari kerja keras hasilnya akan memuaskan juga, (2) lakukan pekerjaan
dengan rasa sayang dan cinta kasih, (3) jangan takut terhadap orang yang
akan merebut keberhasilanmu.
5. Keterkaitan Antar Unsur Guritan
a. Tema
Tema merupakan ide atau gagasan pokok yang mendasar dalam sebuah
karya sastra yang menjadi ide pokok dalam suatu karya tertentu. Tema
memberi kekuatan dan menegaskan kebersangkutan kejadian-kejadian yang
sedang diceritakan sekaligus mengisahkan kehidupan dalam konteksnya yang
paling umum. Sepuluh guritan karya Widodo Basuki mempunyai tema yang
sama yaitu kebudayaan masyarakat khususnya kebudayaan lokal yang terdapat
di Jawa.
Keseluruhan pembahasan tentang struktur guritan-guritan diatas, baik
struktur fisik maupun struktur batin kiranya dapat memberi gambaran kepada
115
kita tentang kepiawaian Widodo Basuki dalam mengungkapkan perasaannya
lewat karya-karyanya itu.
b. Bunyi
Bunyi dalam puisi atau guritan berserta estetik, merupakan unsur guritan
untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi erat hubungannya
dengan anasir-anasir musik, misalnya lagu, melodi, irama, dan sebagainya.
Dalam guritan, kombinasi bunyi terdapat dalam rima. Bunyi di samping hiasan
dalam guritan, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk
memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan
yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya.
Sepuluh guritan karya Widodo Basuki mempunyai kombinasi bunyi-bunyi
vokal (asonansi): a,e,i,o,u, bunyi liquida: r,l, dan bunyi sengau: m,n,ng yang
menimbulkan bunyi merdu dan berirama (efoni). Bunyi yang merdu dapat
mendukung suasana yang gembira dan bahagia. Sebaliknya, kombinasi bunyi
yang tidak merdu, parau, penuh bunyi k,p,t,s yang disebut kakofoni
(cacophony). Dengan demikian, unsur bunyi dapat memperdalam arti,
memperjelas tanggapan, dan memperdalam perasaan.
c. Kata
Satuan arti yang menentukan struktur formal linguistik karya sastra adalah
kata. Keterkaitan antarunsur sepuluh guritan karya Widodo Basuki yang
termasuk dalam kata meliputi penggunaan majas metafora dan metonimia,
ambiguitas, kontradiksi, nonsense, rima, homolog. Kata menyususn semua
aspek tersebut dalam gritan, saling terkait, dan saling mendukung antara satu
dengan yang lainnya.
116
Kata juga mendukung dalam penciptaan suasana guritan mengingat bahwa
asal bunyi adalah kata. Jadi, semua unsur dalam guritan itu saling terkait untuk
membentuk satu makna yang hendak diciptakan dalam guritan
B. Makna Kesepuluh Guritan dalam Antologi Guritan Medhitasi Alang-
Alang karya Widodo Basuki
Untuk konkretisasi makna puisi dapat diusahakan dengan pembacaan
heuristik dan retroaktif atau hermeneutik. Pada mulanya sajak dibaca secara
heuristik, kemudian dibaca ulang (retroaktif) secara hermeneutik.
a. Pembacaan Heuristik
1) Dongeng Mistis ‘Dongeng Mistis’
Pertunjukan di akir gamelan talu (sudah) berdendang, kemenyan
(mulai) berasap menyatu menjadi daging (hidup),kalimat doa menjadi
roh (jiwa) , kata hong, (yang ) pertama (sudah) menjdi, kelir menjilma
(berubah) jadialam semseta, lampu blencong (dian) menjadi matahari
(yang telah bersinar). (Bait Pertama)
Ketika di bawahnya janur (yang) melengkung, adam dan (para)
kaum hawa bercampur (dengan) dewa-dewa, (untuk) mengambil rasa
cinta yang (telah) jatuh (pergi), (yang) terbungkus (dengan) kulit, (dan)
berslimut (oleh) bayangan (yang datang). (Bait Kedua)
(orang) orang jawa (disana), senangnya bermain (dengan) nyawa
(hidup). (Bait Ketiga)
2) Cengkir Gadhing ‘Cengkir Gadhing’
Sudah (mulai) pecah bentuknya (wujud) cengkir gadhing (kelapa
muda berwarna kuning), (menjadikan) dari pikiran (yang) jernih (atau
117
bersih), supaya (selalu) ingat dengan yang di atas, (dan) dari sini (pula)
menetesnya air suci (kebenaran), (yang )bisa untuk (menjadi) obat
(orang-orang) haus (bermasalah) sekarang atau selamanya, (berguna)
untuk membuka langit dan bumi (kesuksesan yang akan datang). (Bait
Pertama)
Pada jaman dahulu di pohon kelapa gadhing itu (banyak), anak-
anak (yang) panjatan, (dan) prosotan dipohon itu, (tetapi) menjatuhkan
buah (yang tumbuh) yang masih kecil-kecil, (mengambil dan) membuka
tapas-tapasnya, (dari) cengkir gadhing untuk bermain (anak-anak),
(buahnya) dihisap-hisap (sehingga) airnya (keluar), (kemudian) dijilati
putih dagingnya, yang tertinggal hanya tempurungnya saja, (semua
sudah) masuk (di) dalam dada, (dan) masuk (di) dalam jiwa, untuk wadah
(atau tempat) munculnnya doa, (sebagai) menyalanya api (untuk
penerangan hidup). (Bait Kedua)
3) Medhitasi Godhong Suruh ‘Medhitasi Daun Suruh’
Satu lembar daun suruh, (yang) tergulung (dan) tertali dengan
benang (atau) sahadat rosul, (sedangkan) kembang mayang (yang sudah)
tersedia (dan) terbuka, (ibarat) daun suruh menjadi ( seperti) tombak
senjata, (yang) akhir (akan) menjadi ayang terakir, begitupula
akhiran menjadi akhir (dalam menjalankan hidup). (Bait Pertama)
Dhadhung awuk (sudah) jatuh tersungkur sudah terkalahkan, daun
suruh (menjadi) bersinar benderang, cahayanya sudah mulai terlihat
(untuk menerangi hari esok). (Bait Kedua)
118
4) Guritan Pari Sawuli‘Puisi Padi Seikat’
Seikat padi ini tetap (dan selalu) tersimpan di kamar (bagian)
tengah, (selalu) di hemat bagai (kan) dewi sri, di rawat dengan ikhlas
bagai(kan) raden sadana, yang nanti (nya) bisa mengenyangkan, yang
nanti menjadi senjata, (tumbuh) tertancap di tanah (yang) luas, tumbuh
(sangat) subur (dan) mekar bunganya, menjadi salah satu (harapan)
generasi (turunan berikutnya). (Bait Pertama)
Seikat padi ini (seperti) ceritanya kecintaan diri (terhadap tanaman
padi), (merupakan) bentuk bumi pertiwi(sebagai) tempat yang subur
(dan), gemah ripah loh jinawi, (seperti) birunya samudra, (sembari)
menunggu kicauan burung (yang) bersautan, berharap (bagai) bunga
keburuntungan, ini (lah) bumi (ku) yang penuh kasih sayang, teman!,
(disini) tempatnya (orang) haus dan lapar, siapa tidak memiliki gambaran
(seperti) yang dikatakan ibu, (kasih sayang) yang nyata cinta (nya)
terhadap para putranya?, (maka) lihatlah,hanya (para) petani di tengah
sawah, (bertahan) merawat tanaman labu dan blewah, (melihat) otot-
ototnya (yang) perkasa, (dan) kulitnya (ber) warna hitam (legam),
(membuat) keringat bercucuran (keluar), dada (nya) mengkilat, (serta)
penglihatanya bagai (kan) tajamnya pisau, (akan) tetapi terasa dingin
(dan) berwibawa, siapa yang tidak ingin merasakan sumilinya angin
(suasana disawah),sambil beristirhat di bawah (pohon) trembesi, ini
(wujud) bumi pertiwi (ku), yang selalu memberi cinta (dan) kasih,
kekuatan dan ketenagan, (serta) berkalung (keindahan) selendangnya
para bidadari. (Bait Kedua)
119
Geraktangan-tangan (pak tani) sangat perkasa mengubah tanah
(yang ada di) pegunungan, yang nanti (akan) menjadi tempat beristirahat
(para petani), ketika (badan) lelah di waktu sore, setiap hari harus bekerja
sampai hati (terasa) pasrah (dan lelah), lega, rela (dan) ikhlas, (hal ini)
menjadikan (kita) menguncap rasa syukur di hadap-Nya. (Bait Ketiga)
Seikat padi yang tersimpan di kamar (bagian) tengah, tetap aku
jaga (keberadannya) dan (di) sayang-sayang (di hemat padinya), dengan
(rasa) cinta (yang) suci, agar bisa untuk saksi, (sebagian) ini warisan
yang terakir, apakah dirimu juga merasa memiliki?. (Bait Keempat)
5) Tancepna Maneh ‘Tancapkan Lagi’
Ketika ingin menancapkan lagi sayap-sayapku (harapan-harapan),
(dengan) menggunakan ujung pisau, (ditancapkan) di halaman tercinta,
maunya anak-anak (berkeinginan) kembali bernyanyian (lagu yang sudah
hilang), lewat lagu (mantra) melalui perantara sumilirnya angin (agar
tersampaikan). (Bait Pertama)
Saat kembali menancapkan sayap-sayapku (yang), berslimutan
tapih (jarik) (berwarna) pelangi (membentuk) lengkungan, (kemudian)
ketika hujan rintik-rintik (turun), (dan) membasahi tenggorokan (yang
haus), maunya anak-anak (berkeinginan) kembali bernyanyi (mantra)
pengundang angin. (Bait Kedua)
Sayap-sayap (telah) ditancapkan lagi, (supaya tidak) naik (dengan)
merangkak-rangkak (sampai) di ujung pohon (yang tinggi), (agar tidak )
berhenti di (tempat) makan kentuky (masakan ayam), (dan) disko (musik
disko) semalam suntuk (larut malam), justru disana ada kringat dan air
120
mata (bercucuran), (meskipun) karaokenya sampai pagi (dengan) lagu
megatruh “(tembang jawa). (Bait Ketiga)
Jangan (di) kira jaman sekarang ini, masaih seperti kemarin (jaman
dahulu), Para adhi atau adik (generasi muda), semua sudah berubah
(seiring berkembangnya jaman), semua (budaya) sudah sirna, legakan
(dan pasrahkan) rasa yang ada di hatimu, dan beristirahatlah yang puas,
sambil bersenandung (bernyanyi), sisanya lagu yang tak penting (dan)
tidak perlu, (semua) akan melangkahi (tinggi ke) awang-awang (langit).
(Bait Keempat)
Tancapkan lagi sayap-sayapku (harapanku), (semua) inginya aku
(penyair) hanya bisa (ingin) terbang(tinggi) ke awang-awang, walaupun
darah (kerja keras) kembali bercucuran(dilakukan). (Bait Kelima)
6) Ziarah ‘Ziarah’
Menanam (menabur) harumnya bunga melati, sebagai pupuk (doa)
batu nisanmu(dosa, ada lagu (doa-doa) berkumandang (menyeru),
(dengan) bersamaan jatuhnya bunga kamboja (yang ada di makam),
(jatuh) satu per satu (ke tanah). (Bait Pertama)
Ttanpa ku rasa matahariku akan terbenam, (dan) terjepit nisan ini,
walaupun tidak aku nanti (dan ku ingin). (Bait Kedua)
7) Riyayan ‘Lebaran’
Lebaran (yang) ada dipedesaan (dilaksanakan) setiap tahun,
(seperti) bunga (kamboja yang) mekar diatasnya makam, (mulai)
membukak pintu kekuatan (baru), hidup bersama masalah-masalah 9yang
telah lalu), hidup (bersama)merayakan(hari besar) pesta bersama
121
keluarga (besar), memakan camilan (yang ada), (dan) minum (minuman)
gula jawa, (sesudah) mengungkapkan saling memaafkan. (Bait Pertama)
(Lebaran) di desa menjadi tempat (yang) mengawali langkah
pertama, (seperti) gamelan talu terus berbunyi, (yang) dipukul tanpa
berhenti, (dan) manisnya bunga gula jawa (sebagai), (tanda) maaf
sedalam-dalamnya, (seperti) lampu-lampu blencong bersinar (kembali
tanpa dosa). (Bait Kedua)
(perayaan) lebaran di desa, (ibarat) mengembalikan tulang-tulang
rapuh (dosa-dosa yang telah lalu), sesudah menjadi beban (hidup)selama
tidak bertemu. (Bait Ketiga)
8) Medhitasi Alang-Alang 1 ‘Medhitasi Alang-Alang 1’
Siapa (orang-orang) yang berani hidup di sini (dunia) ,menantang
matahari (masalah), di gunung (daerah) yang sangat luas, bayi yang (
ceritanya) keluar dari kuping itu, (terbaring) tergeletak, terhalang alang-
alang, semua dijerat (dan) di tantang, :saya basukarna, anaknya ibu
kunthi nalibrata, yang di temukan (oleh) kusir adhirata, apa masih kurang
apa yang kau perbuat (nulibrata)? (Bait Pertama)
Dhalangnya (menunjukan) ekspresi tersenyum terbahak-bahak
(menunjukan hal yang heran), : karna, si anak dari desa (basukarna),
(mampu) menjadi senopati (dan) melawan arjuna (dipertanyakan). (Bait
Kedua)
Menantang (dengan penuh) gagah berani (saling) berhadapan, di
perang (besar) baratayuda, karna (pasrah) tetap menjadi pelaku (orang)
kalah (mengalah) melawan arjuna (adiknya). (Bait Ketiga)
122
Membersihkan (dari) tempat (yang dianggap) buruk, kenapa harus tidak
bangga (terhadap kemampuan sendiri), kepada (karna) yang bisa
menyambut dewa-dewa. (Bait Keempat)
9) Tembang Lemah Ngare ‘Lagu Tanah Pegunungan’
(bunyi) berderitnya pintu (yang ada di) gubug ini, sebagai saksi
(dimana), (suasana) malam dan (suasana) sore, (di) rumah menjadi
(seperti) surganya, (sedangkan) langit dan bumi belum (tertutup dan)
terkunci,(burung) emprit gantil (telah) jatuh di (tengah) sawah,
menjemput hari (esok) memberi pengganti (harapan), matahari (bersinar)
terang (dan) mengobati haus dan lapar (yang terasa). (Bait Pertama)
(bekerja) menganyam tikar di belakang (rumah), memisah dan
memilih (kemana) jangka langkahnya (untuk) dibawa, sambil
memandang (hewan serangga) laron memasuki (lubang) api, pertanyaan
(muncul) apa (kah) hati sudah (seperti) masuk penjara (mati)?. (Bait
Kedua)
Ibarat (lagu) lesung jumengglung (akan) memberi berita, (ketika)
besuk ada lagu berkumandang (yang) terdengar, (dan) gong-gong (akan)
dipukul berdendangan. (Bait Ketiga)
(Maka) cepat (bangun)dan rebutlah popok-popok wewe (rejeki),
untuk mengubah (segala)hal pekerjaan, (maka) para anak-anak
bersungguh-sungguhlah untuk mengubah masa depan. (Bait Keempat)
10) Panen ‘Panen’
(Semua) sesudah berjuang bagai (kan) mandi keringat (yang
bercucuran), dimana (kita) membedakan tanaman ini, sudah semestinya
123
di akhir musim, akan (mendapatkan) panen, (seperti) orang (yang) serius
akan menemukan (hasil) nak!. (Bait Pertama)
Begitu (lah) simbah memberi nasihat (kepada) keturunanya, tidak
hanya manusia (yang) butuh pemelihara (makanan), tetapi tanaman juga
butuh, (di mana) butuh cinta, (dan) butuh kasih (sayang), (ibarat) yang
menanam berhak panen. (Bait Kedua)
Begitu juga hatimu yang sudah punya niat, (untuk), menjadi
tanaman indah (hasil sukses) dan cerita ini, sudah semestinya dirimu
sendiri, yang berhak ani-ani seikat padi, niat (yang) suka syukur kepada
allah, (maka) jangan takut kepada yang akan merebut (secara) paksa,
karena di sana ada rahasia (cara), akan (adanya) turunya berkah
(melimpah).(Bait Ketiga)
b. Pembacaan Hermeneutik
1) Dongeng Mistis ‘Dongeng Mistis’
Pada pertunjukan wayang gamelan talu yang sebagai pertanda
dimulainya pertunjukan wayang. Ketika di akir gamelan talu pertunjukan
dalam pertunjukan wayang, kemenyan dihidupkan dan ritual dimulai.
Ibaratnya asap kemenyan berubah menjadi daging dan roh. Kata hong,
merupakan simol dimana mantra mulai diucapkan dan seketika menjadi
berubah, kelir wayang diibaratkan alam semesta, dan lampu blencong
diibratkan matahari yang menerangi. (Bait Pertama)
Pertunjukan wayang menggunakan janur yang dibentuk
melengkung yang berguna untuk menandakan diadakan acara besar.
Perempuan dan laki-laki bercampur dengan para dewa atau penguasa.
124
Mengembalikan cinta yang telah hilang, ibaratnya terbungkus dengan
kulit dan seperti berselimut bayangan. (Bait Kedua)
Orang-orang jawa biasa melakukan tradisi itu sebelum pertunjukan
wayang, dan orang jawa suka bermain yang berhubungan dengan nyawa.
(Bait Ketiga)
2) Cengkir Gadhing ‘Cengkir Gadhing’
Pada bait pertama ini cengkir gadhing di gambarkan sebagai
pelengkap dalam tradisi upacara adat di jawa masih menggunakan kelapa
muda yang berwarna kuning atau disebut cengkir gadhing. hal itu
diibaratkan cengkir gadhing sudah mulai pecah atau terbelah. Generasi
muda diibaratkan memiliki pemikiran yang masih jernih dan mennjadi
tempat harapan masa depan. Sebagai generasi yang menggantikan untuk
mencari nafkah dan untuk menjadikan generasi yang lebih baik
kedepanya. (Bait Pertama)
Jaman dahulu di gambarkan pohon kelapa gadhing hanya untuk
tempat bermain anak-anak, sebagai tempat untuk mencari buahnya untuk
dimakan dan tapas atau plepahnya hanya digunakan untuk bermain anak-
anak. Buah kelapanya dimanfaatkan untuk dimakan putih dagingnya dan
airnya untuk diminum. Tempurungnya ditinggal begitu saja dan
digunakan untuk tempat air dan menyalanya api. (Bait Kedua)
3) Medhitasi Godhong Suruh ‘Medhitasi Daun Sirih’
Menggambarkan fungsi dari satu lembar daun sirih yang digunakan
dalam upacara tradisi digulung dan ditali dengan benang agar tidak lepas
ikatan kebersamanya. Selain daun suruh yang diikat digunakan pula
125
kembang mayang yang diibaratkan sepasang kekasih atau sepasang
suami istri. Daun suruh dilempar dari pasangan satu ke pasangan lain.
Ibarat yang akhir menjadi akhir begitu sebaliknya. (Bait Pertama)
Menggambarkan Dhadhung awuk yang tak lain murid Jaka Tingkir
yang kalah dengan mudah hanya dengan sahadat rosul dan kebenaranlah
yang akan menang. (Bait Kedua)
4) Gurita Pari Sawuli ‘Puisi Padi Seikat’
Orang jawa biasanya menyimpan padi dalam senthong atau
jeromah. Disimpan dengan aman dihemat dan dijaga untuk persedian
makan dan digunakan sebagai senjata (kebutuhan yang lain seperti
disumbangkan atau dijual). Padi biasanya ditanam di tanah yang sangat
luas dan lebar dan selalu tumbuh subur dan menjadi generasi atau sebagai
persedian untuk makan keluarganya. (Bait Pertama)
Diibaratkan seperti ikatan padi ini ibaratnya sebagai wujud
kecintaan diri manusia terhadap bumi pertiwi. Sebagai wujud bumi yang
tumbuh subur dan makmur, gemah ripah loh jinawi. Sama luasnya
dengan samudra yang biru, sambil menunggu keberuntungan hasil
panenya pak tani mendengarkan kicauan burung yang bersautan.
Pikiranya mengatakan bahwa ini bumi yang penuh dengan kasih sayang,
tempat dimana ada rasa haus dan lapar, ibaratnya seperti kasih sayang
antara ibu dan anak. Sekarang harus melihat pak tani yang ada disawah
merawat labu dan blewah dengan rasa sayang dengan otot-ototnya yang
perkasa, kulitnya yang menjadi hitam legam, keringat yang bercucuran,
serta penglihatnya yang tajam tapi berwibawa. Pak tani juga igin istirahat
126
merasakan angin yang sejuk dan duduk di bawah pohon trembesi. Bumi
pertiwi yang telah memberi kasih sayang, kekuatan dan ketengan. (Bait
Kedua)
Tangan-tangan perkasa pak tani mengubah tanah pegunungan
menjadi tanah penuh harapan, yang menjadi tempat beristirahat di waktu
sore hari. Pak tani setiap hari bekerja tak pernah kenal rasa lelah. Bekerja
dengan tulus ikhlas, rela dan pasrah yang menjadikanya tetap selalu
bersyukur pada sang pencipta. (Bait Ketiga)
Puisi padi seikat ini akan selalu tersimpan di kamar tengah dan
selalu dijaga penuh rasa cinta yang suci agar menjadi saksi inilah warisan
terakir yang ku (pak tani) miliki, yang lain juga bisa merasa ikut
memiliki. (Bait Keempat)
5) Tancepna Maneh ‘Tancapkan Lagi’
Tancapkan lagi sayap-sayap harapanku (penyair) menggunkan
ujung pisau namun dengan penuh rasah cintamu agar anak-anak bisa
kembali menyanyikan lagu (lagu atau mantra jaman dahulu yang
dipercaya bisa mendatangkan angin), lewat sumilirnya angin. (Bait
Pertama)
Tancapkan lagi sayap-sayap harapan yang penuh warna spserti
terbalut oleh pelangi. Ketika hujan rintik-rintik turun dan membasahi
tenggorokan yang kering dan anak-anak maunya kembali bernyanyian
(mantra). (Bait Kedua)
Tanamlah harapan-harapanku (penyair) lagi meskipun dengan
susah payah untuk mewujudkanya. Sekarang yang ada musik disko
127
dinyalakan semalam suntuk meskipun ada air mata dan keringat. Karaoke
yang semalam suntuk sejatinya membawa lagu kesedihan. (Bait Ketiga)
Jangan kau (generasi muda) kira jaman sekarang masih seperti
kemarin (jaman dahulu), semua sudah seiring berkembangnya jaman.
Maka, relakan hatimu dan beristirahatlah dengan puas sambil bernyanyi-
nyanyi sampai terbuai dan terbang ke awang-awang. (Bait Keempat)
Tanamlah harapn-harapkanku (penyair) agar bisa kembali seperti
dulu meskipun harus rela bekerja keras. (Bait Kelima)
6) Ziarah ‘Ziarah’
Bunga melati sebai bunga tabur karena baunya yang wangi
membasahi makam pertanda peziarah telah datang mendoakan. Ada doa
yang terucap sebagai permohonan ampun, dan seiringnya bunga kamboja
berguguran satu persatu di atas makam. (Bait Pertama)
Tanpa dirasa masaku (penyair) juga akan habis ibarat matahari
akan terbenam. Begitu pula diriku akan terjepit dengan batu-batu nisan
ini, meskipun aku tak menantikanya. (Bait kedua)
7) Riyayan ‘Lebaran’
Lebaran yang ada dipedesaan ibarat musim bunga bunga yang
sedang bermekaran. Membuka pintu hati bersama rasa yang mengelora di
dalam jiwa. Memberi kebahagian berkumpul dengan sanak saudara,
makan bersama dengan hidangan-hidangan yang banyak dan saling
memaafkan. (Bait Pertama)
128
Lebaran di desa ,erupakan langkah awal seperti bunyi gamelan talu
yang tidak berakir, saling memaafkan dan lampu-lampu blencong (dian)
menyala terang. (Bait Kedua)
Lebaran didesa mengembalikan rasa lelah dan rasa bersalah ketika
masih ada di tempat jauh atau perantauan. (Bait Ketiga)
8) Medhitasi Alang-Alang 1 ‘Medhitasi Alang-Alang 1’
Tidak ada orang yang berani yang melawan matahari pada cerita
jaman dahulu, pada pegunungan yang sangat luas terdapat bayi yang
konon asal dan lahirnya melalui kuping seorang dewi cantik dari
nulibrata, bayinya tergeletak seperti alang-alang, namun ketika besar
anak itu menjadi anak yang gagah berani tidak punya rasa takut, semua
ditantang meskipun hanya ditemukan seorang kusir tetap berani seperti
kesatria. (Bait Pertama)
Pada pertunjukan wayang seorang dalangpun tak aka percaya akan
hal ini, bawasanya karna hanya seorang anak kusir dari desa akan
menjadi senopati dan akan mampu melawan arjuna kesatra sejati. ( Bait
Kedua)
Basukarna menantang arjuna penuh dengan keberanian, dengan
gagah berani dan saling berhadap-hadapan, keduanya sangat kuat, namun
akhirnya karna tetaplah kalah karena takidrnya untuk melawan arjuna
yang tak ain adalah adiknya sendiri. (Bait Ketiga)
Jangan pernah mengganggap hal-hal yang buruk menjadi tak
berarti, kenapa tidak percaya diri bahwa dirinylah menjadi orang yang di
129
banggakan dan bisa menyambut dewa-dewa dalam hidupnya. (Bait
Keempat)
9) Tembang Lemah Ngare ‘Lagu Tanah Peguungan’
Bunyi pintu yang ada digubug atau rumah ibaranya menjadi saksi
malam dan sore, rumah menjadi tempat seperti surga. Harapan yang luas
bagaikan langit dan bumi masih terbuka lebar yang akan memberi
harapan untuk menggantikan masa yang kelam menjadi lebih baik seperti
matahari yang bersinar. (Bait Pertama)
Bekerja hanya menganyam tikar yang dilakukan dibelakang rmah
terkadang sambil membayangkan apakah sudah tidak ad harapan lagi.
(Bait Kedua)
Gong sudah mulai berdenadang ibaratnya sudah saatnya untuk
menyambut esok yang akan memberi harapan baru. (Bait Ketiga)
Rebutlah rejeki-rejeki yang ada, untuk mengubah pekerjaan yang
kelam, dan menyambut harapan baru, menyambut pekerjaan baru serta
membahagiakan orang tuamu. (Bait Keempat)
10) Panen ‘Panen’
Ketika orang sudah bekerja keras, sebagaimana telah memilah dan
memilih pekerjaan yang benar, maka di akhir nanti akan mendapatkan
hasilnya. (Bait Pertama)
Orang tua mengatakan tidak hanya manusia saja yang butuh cinta
dan kasih sayang tetapi semua hal juga butuh, maka yang menanam
kebaikan akan mendapatkan hasilnya. (Bait Kedua)
130
Begitupula aanak muda yang sudah punya niat baik akan mendapat
kebaikan pula. Diri sendiri yang akan merasakan hasilnya. Selalu
bersyukur kepada Tuhan. Jangan pernah takt kepada orang yang akan
merebut hasilmu (generasi muda), karena Tuhan tahu mana yang baik
dan mana yang buruk, maka berkah akan selalu didapatkan. (Bait
Ketiga)
C. Nilai Budaya Jawa beserta Relevansinya dalam Guritan Medhitasi Alang-
Alang Karya Widodo Basuki
Pengarang menciptakan karya sastra tidak serta merta. Pengarang
mempuyai maksud dan tujuan tertentu yang hendak disampaikan melalui karya
sastranya. Begitu juga dengan Widodo Basuki, beliau hendak menyampaikan
pesan-pesan tertentu melalui guritan karya-karyanya. Kesepuluh guritan karya
Widodo Basuki memuat pesan-pesan nilai budaya jawa sebagai berikut:
1) Dongeng Mistis ‘Dongeng Mistis’
Dongeng Mistis adalah cerita rakyat yang dianggap tidak benar-
benar terjadi hanya beruapa khayalan semata yang terjadi pada masa
lampau yang melukiskan pelajaran moral dan berbau misteri atau ghaib.
Secara filosofi , dongeng mistis menggambarkan tradisi ata cara-cara
yang dilakukan dalam pertunjukan wayang kulit. Sperti membakar
kemenyan yang dimaksudkan untuk mendapatkan kelancaran dan tidak
mendapatkan halangan apapun dalam melaksanakan pertunjukan
wayang.
Wayang kulit merupakan salah satu budaya yang masih sering
dipertunjukan dalam masyarakat jawa, bahkan wayang kulit juga sering
131
dipertunjukan dalam acara tertentu atau sebagai syarat untuk melakkan
tradisi di suatu daerah. Pertunjukan wayang tidak semudah yang
dibayangkan ada tradisi dan tata cara tertentu yang sudah pakem sebagai
syarat untuk dilaksanakan pertunjukan tersebut. Gambaran seperti ini
terdapat pada kutipan sebagai berikut:
Kutipan:
ing pungkasane gamelan talu
dupa kemelun dadi daging
ukara dadi roh
hong, sepisan dadi
kelir manjelma jagad
blencong dadi srengenge
Widodo basuki melalui guritan Dongeng Mistis menyampaikan
nilai-nilai budaya yang digambarkan secara rinci, mulai dari gamelan talu
(dalam pertunjukan wayang gamelan talu sebagai pertanda dimulainya
pertunjukan wayang), kemudian kemenyan yang dibakar dan diibartkan
asapnya seakan-akan telah menyatu dalam jiwa, kelir (layar dalam
pertunjukan wayang) diibartkan alam semesta dan lampu blencong
(lampu yang digantung dalam pertunjukan wayang). Semua hal itu
merupakan perlengkapan dan syarat yang ditunjukan dalam pementasan
wayang kulit.
Relevansi budaya wayang kulit sampai saat ini masih sering
terlihat di masyarakat Jawa, bahkan dalam memperingati hari besar
masyarakat masih menggunakan pertunjukan wayang kulit sebagai
pertunjukan yang pantas ditonton dan harus dilestarikan. bukan hanya di
pertunjukan di hari-hari besar saja wayang kulit masih dipentaskan
seperti acara sebagai berikut: hajatan mantu, khitanan, malam satu suro,
132
rasulan dan hari-hari lain yang diperingati dengan diadakanya
pertunjukan wayang. Maka bisa dibilang wayang kulit sampai saat ini
masih eksis dalam masyarakat jawa dan merupakan budaya yang
mempunyai nilai filosofi yang tinggi.
2) Cengkir Gadhing ‘Cengkir Gadhing’
Cengkir gadhing, cengkir adalah buah kelapa yag masih muda
sedangkan gadhing adalah berwarna kuning, jadi cengkir gadhing
merupakan buah kelapa muda yang berwarna kuning. Buah kelapa ini
biasa digunakan sebagai pelengkap uba rampeatau perlengkapan dalam
suatu upacara adat atau tradisi tertentu. Cengkir gadhing dalam guritan
ini digambarkan sebagai simbol anak muda ang polos.
Pemaknaaan Jawa dalam guritan Cengkir Gadhing adalah wujud
budaya yang dilakukan dalam tradisi mitoni atau tingkepan. Cengkir
gading dimaknai sebagai sebuah simbol bahwa kaum muda atau
pasangan tersebut adalah sebuah cengkir yang bentuknya bulat, jujur apa
adanya, suci, semangatnya tinggi, polos belum terimbas oleh pamrih
yang bisa membuat satu semangat tidak lagi bulat. Gambaran seperti ini
terdapat pada kutipan sebagai berikut.
Kutipan:
wis pecah wujude cengkir gadhing
saka pikiran wening, dimen eling
saka kene tumetese banyu suci
bisa kanggo tamba ngelak salawase
kanggo mbukak langit lan bumi
ing wit klapa gadhing iku ndhisik bocah-bocah penekan, plurutan
nggogrokake dhompolane, mbiyaki tapas-tapase
cengkir gadhing dienggo dolanan
disesep-sesep banyune
133
diklamuti putih daginge
Guritan Cengkir Gadhing mengandung nilai budaya tentang
cengkir gadhing sendiri yang digunakan sebagai perlengkapan untuk
upacara tradisi seperti mitoni dan tingkepan yang mempunyai makna
tersendiri. Widodo Basuki juga menggambarkan dalam guritanya
bawasanya cengkir gadhing yang diibaratkan kaum muda atau pasangan
muda yang masih polos, suci, jujur dan mempunyai tekad yang bulat dan
dalam guritan digambarkan pohon kelapa yang dahulu hanya sebagai
tempat bermain anak-anak dan buahnya hanya dimakan dan airnya
diminum. Setelah besar nanti kaum muda akan menjadi harapan-harapan
bangsa sebagai penerus masa depan yang digambarkan bahwa cengkir
gadhing sudah pecah, yang mempunyai pikiran jernih dan menjadi
harapan orang tuanya, untuk membuka masa depan yang lebih cerah.
Sekarang ini budaya menggunakan cengkir gadhing sebagai
pelengkap upacara adat masih sering terlihat dalap upacara adat seperti
mitoni, tingkepan atau pernikahan. Umumnya di Jawa khususnya Jawa
Tengah masih banyak yang melestarikan budaya ini. Meskipun dianggap
kuno, namun budaya ini unik dan khas Jawa yang harus dilestarikan agar
tetap terjaga nilai-nilai budaya yang terkandung didalamnya.
3) Medhitasi Godhong Suruh ‘Meditasi Daun Sirih’
Medhitasi Godhong Sirih dalam bahasa Indonesia meditasi
mempunyai arti pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu.
Godhong suruh berarti daun sirih, merupakan daun yang digunakan
untuk hal-hal kesehatan. Masyarkat Jawa mempunyai pandangan lain
134
mengenai daun sirih tidak hanya untuk hal kesehatan saja, namun
dianggap mempunyai makna magis dalam penggunanya sebagai
pelengkap sesaji dalam upacara pernikahan.
Widodo Basuki melalui guritan Medhitasi Godhong Suruh
menggambarkan daun sirih sebagai pelengkap tradisi dalam upacara
perkawinan yang biasa digunakan ketika acara balang gantal. Daun sirih
yang yang digulung dan diikat dengan benang kemudian dilempar dari
pengantin pria ke pengantin perempuan dan sebaliknya. Gambaran
seperti ini terdapat pada kutipan sebagai berikut:
Kutipan:
salembar godhong suruh
ginulung tinalenan sahadat rosul
kembang mayang binukak
godhong suruh dadi tumbak
wekasan manjing pungkasan
pungkasan manjung wekasan
Widodo Basuki mengatakan bahwa daun sirih yang tertali dengan
benang kemudian saling di balang (dilempar), pengantin laki-laki
melempar ke dada pengantin perempuan dan pengantin perempuan
melempar gantal ke paha laki-laki. Benang yang mengikat daun sirih itu
ibarat sahadat rasul yang digunakan sebagai doa supaya keduanya saling
memahami sampai akhir nanti.
Relevansi mengenai upacara tradisi ini sampai saat ini masih tetap
terjaga dengan baik, bahkan masyarakat jawa pada umumnya masih
melakukan upacara balang gantal ini saat upacara pengantin yang
dipercaya memiliki magis dan dapat mempengaruhi hubungan antara
kedua pengantin. Selain di Jawa Tengah upacara yang menggunakan
135
daun sirih ini juga masih digunakan di daerah jawa Timuan. Sehingga
upacara tradisi pengantin yang menggunakan daun sirih ini masih
dibilang eksis sampi saat sekarang ini.
4) Guritan Pari Sawuli ‘Puisi Padi Seikat’
Guritan Pari Sawuli adalah puisi atau tulisan dan pari sawuli
merupakan seikat padi yang diibaratkan dari hasil petani. Secara filosofi
guritan pari sawuli kisah yang digambarkan perjuangan petani untuk
menghasilkan padi-padi atau hasil tanamanya yang akan memberikan
harapan-harapan untuk keluarganya atau generasi berikutnya.
Petani adalah salah satu sosok yang menggambarkan dari
kehidupan para petani didesanya. Bertani bukanlah pekerjan yang
mudah. Para petani sangat mencintai pekerjaanya bagaikan menyayangi
seperti anaknya sendiri. Bertani lebih memeras tenaga fisik daripada
pikiran. Bekerja keras tidak merasa lelah meskipun kepanasan, dan
kehujanan. Hasil dari tanamanya selalu menjadi harapan-harapanya.
Para petani biasa menyimpan hasil panenya di dalam kamar tengah
atau sering disebut masyarakat jawa sebagai (senthonng). Para petani
menanam tanamanya di tanah yang luas, dan petani menganggap tanah
yang ditanami itu merupakan tanah yang sangat dicintainya, tanah yang
subur, makmur dan melimpah. Para petani sangat menjaga bumi pertiwi
ini, mereka bekerja penuh dengan tenaga yang kuat tidak peduli dengan
warna kulitnya menjadi hitam, keringat bercucuran, dan pandangan
matanya sangat tajam karena kepanasan tetapi tetap bertahan ditengah
136
sawah dan tetap optimis untuk mendapatkan hasil panen tanamanya yang
melimpah.
Widodo Basuki melalui guritan tersebut, menyampaikan kebiasan-
kebiasan para petani khususnya petani Jawa yang selalu bekerja penuh
dengan rasa cinta dan kasih sayang terhadap tanah dan tanaman yang
dimilikinya. Para petani memiliki tanah yang luas dan bisanya digunakan
untuk bertani dan kebiasaan ini terjadi secara turun temurun. Hasil panen
padi merupakan hasil dimana tempat bumi pertiwi yang dicintainya
sangat tumbuh subur dan makmur. Memberi harapan-harapanya untuk
generasi berikutnya. Para petani dengan otot perkasanya merawat
tanaman-tanamanya dengan penuh kecintaan. Para petani juga berharap
untuk menikmati hasil-hasil tanamanya.
Widodo Basuki juga menggambarkan para petani dengan tangan-
tangan perkasanya mengubah tanah yang luas menjadi tanah yang penuh
dengan tanaman-tanaman yang menghasilkan seperti blewah, labu dan
padi. Hasil panenya menjadi hidangan yang diinginkan setiap sore, untuk
memuaskan rasa haus dan lapar. Para petani setiap hari bekerja sampai
hati merasa pasrah, tetapi tetap merasa ikhlas, lega dan rela untuk
mengucapakan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka (para
petani) selalu akan menyimpan dan merawat padi-padi hasil panenya
dengan baik dan penuh kasih sayang dan akan selalu disimpan di kamar
tengah supaya menjadi saksi, bahwa ini sebagai warisan yang terakhir
dimiliki dan merasa memiliki dan tetap selalu menjaga.
137
Relevansi nilai budaya lokal jawa pada Guritan Pari Sawuli ini
sangat terlihat dari kebiasaan-kebiasan para petani jaman dahulu dan
sekarang masih memiliki kebiasan yang sama. Merawat tanaman dengan
penuh rasa cinta dan kasih sayang supaya mendapatkan hasil yang
memberikan harapan untuk masa depan, untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Sekarang ini juga masih terdapat para petani yang bekerja di
tengah sawah hingga setiap hari dan selalu terkena terik matahari, otot,
tangan yang perkasa menjadi kekuatnya. Perbedaanya hanya petani
sekarang dibantu denganmesin-mesin canggih dan jaman dahulu masih
menggunakan tenaga manusia sepenuhnya. Para petani sekarang juga
masih terbiasa menyimpan hasil panen padinya di dalam kamar tengah
atau yang biasa disebut senthong. Sehingga kebiasaan-kebiasan petani
dahulu sekarang juga masih dilakukan oleh petani yang tinggal didesa-
desa yang terdapat tanah yang luas dan ditanami padi.
5) Tancepna Maneh ‘Tancapkan Lagi’
Tancepna Maneh dalam bahasa Indonesia adalah tancapkan lagi,
menancapkan apa yang sudah terlepas dari tempatnya. Secara filosofi,
tancepna maneh menggambarkan bahwa nilai-nlai budaya yang telah
hilang untuk dikembalikan atau ditanam kembali pada anak-anak muda
sekarang ini. Nilai yang ada pada budaya supaya tidak hilang begitu saja
maka diharapakan anak-anak muda supaya menanam kembali nilai
budaya di masa sekarang dan tidak tergantikan oleh jaman modern.
Widodo Basuki melalui guritan Tancepna Maneh menggambarkan
beliau berkenginginan anak-anak harus kembali bisa bali tetembangan
138
yang dimaksudkan kembali meemiliki rasa untuk melestarikan nilai-nilai
budaya yang telah hilang. Widodo Basuki dalam guritanya mengutipkan
lagu yang mengandung nilai magis yang dahulu dipercaya untuk
memanggil angin ketika anak-anak jaman dahulu bermain layang-layang.
Sehingga penyair berkeinginan nilai seperti itu dilestarikan kembali
supaya tidak hilang dan tergerus oleh jaman modern, akan tetapi jaman
sekarang sudah berbeda dengan jaman dahulu. Musik yang sekarang
lebih dikenal musik diskon dan anak-anak sekarang lebih suka karaoke
hingga larut malam. Mantra-mantra yang seperti digambarkan dlam
guritan Tancepna Maneh sudah hilang. Gambaran seperti ini terdapat
pada kutipan sebagai berikut.
Kutipan:
tancepna maneh swiwi-swiwiku
nganggo pucuking glathi
ing plataran katresnanmu
bocah-bocah bali lelagon
lumantar sumilire angin
:cempe-cempe
undangna barat gedhe
tak opahi duduh tape
yen kurang goleka dhewe
heee...
Widodo basuki mengatakan kepada generasi muda bahwa jaman
sekarang sudah berubah. Semua sudah pasrah untuk mengingatkan
bahwa nilai-nila moral jaman dahulu sudah tidak ada lagi dijaman
sekarang ingin.namun beliau tetap berkengingin kuat untuk melestarikan
nilai budaya ini meskipun dengan usaha yang sangat keras, hanya untuk
menancapkan lagi atau melestarikan lagi nilai-nilai budaya.
139
Dilihat dari nilai-nilai yang terdapat dalam guritan Tancepna
Maneh, dapat direlevansikan jaman sekarang sudah sangat berbeda
dengan jaman dahulu. Anak-anak yang bermain sudah tidak mengerti
mantra-mantra yang dianggap dapat mendatangkan angin yang ada anak-
anak sekarang lebih mengenal permainan yang berbau alat-alat canggih
seperti gedget yang berisikan game. Bahkan anak-anak yang tumbuh dan
tinggal di desapun sudah jarang yang mengetahui mantra-mantra seperti
itu, sehingga dapat dibilang nilai budaya mantra lagu pemanggil angin
ketika bermain anak-anak ini sampai sekarang ini sudah tidak nampak
atauk eksis lagi di jaman sekarang.
6) Ziarah ‘Ziarah’
Ziarah dalam bahasa Indonesia adalah salah satu praktik sebagian
besar umat beragama yang memiliki makna moral yang penting. Kadang-
kadang ziarah dilakukan ke suatu tempat yang suci dan penting bagi
keyakinan dan iman yang bersangkutan. Tujuanya adalah untuk
mengingat kembali, meneguhkan iman atau menyucikan diri. Orang yang
melakukan perjalanan ini disebut peziarah. Masyarakat Jawa menyebut
ziarah dengan istilah nyekar yang bisanya dilakukan oleh anak-anak
keturunan nenek moyang yang sudah meninggal. Ziarah dilalukan setiap
kali memperingati hari kematian seseorang. Ketika ziarah biasanya
membawa bunga setaman seperti melati. Bunga melati dianggap bunga
yang suci, maka sebagi simbol untuk menyucikan diri yang disertai doa-
doa untuk menghapus dosa-dosa yang orang-orang terdahulu meninggal.
Orang Jawa biasanya mengguakan kemenyan sebagai sarana, bahwa asap
140
dari kemenyan sebagai perantara doa yang akan ditujukan kepada Dewa
atau Tuhan, meskipun kebanyakan menganggap hanyalh mitos.
Widodo Basuki melalui guritan Ziarah menggambarkan berziarah
menggunakan bunga melati sebagai pupuk atau sebagai tanda telah
mendoakan keluarga yang meninggal beserta mengirimkan doa-doa ang
terucap dari bibir. Bertambah khusyuk doanya seiring jatuhnya bunga
kamboja yang biasa tumbuh dimakam-makam, jatuh satu per satu.
Mengingatkan bahwa nantinya yang hidup akan mati meskipun tidak
dinanti-nati.
Dilihat dari nilai-nilai budaya relevansi yang terdapat dalam ziarah
masih sering dilakukan oleh banyak orang, di desa maupun dikota.
Ziarah dianggap sebagai salah satu cara untuk mendoakan orang terdekat,
keluarga, atau nenek moyang yang sudah dahulu meninggal. Masyarakat
Jawa biasa melakukan ziarah dalam waktu-waktu atau hari-har tertentu.
Ziarah masih sanagat relevan sampai sekarang ini meskipun sekarang
banyak yang berpikir mendoakan oarang yang sudah meninggal dengan
berdoa setelah sembahyang, tapi tak sedikit pula yang masih melakukan
ziarah ke pemakaman. Namun tradisi inilah yang harus tetap dijaga.
7) Riyayan ‘Lebaran’
Riyayan adalah sebuat masyarakat Jawa dalam melaksanakan hari
besar umat islam yaitu lebaran. Riyayan atau lebaran dalam bahasa
Indonesia adalah nama lain dari Hari Raya umat Islam, baik hari raya
Idul Fitri maupun hari Raya Idhul Adha yang dirayakan setiap tahun atau
setiap bulan Syawal setelah sebulan umat Muslim melaksanakan puasa di
141
bulan Ramadan. Namun masyarakat Jawa memiliki tradisi sendiri,
kebiasaan orang Jawa ketika lebaran adalah setelah shalat Id selesai
semua orang saling berkunjung dari rumah satu kerumah yang lain. selain
itu dirumah-rumah selalu disediakan makanan khas daerah masing-
masing yang hanya dibuat dan dihidangkan ketika lebaran saja. Banyak
saudara-saudara yang pulang dari perantauan untuk berkempul dengan
keluarga besar.
Widodo Basuki melalui guritan Riyayan ini melukiskan dan
menyampaikan tradisi atau kebiasaan lebaran yang dilakukan di desanya.
Masyarakat desa terbiasa merayakan lebaran yang menganggap sebagai
hari sucinya kembali pada diri sendiri, karena setiap orang yang pergi
jauh untuk mencari nafkah pulang ke desa untuk merayakan lebaran
bersama. Selain itu orang-orang juga saling menumpahkan rasa bersalah,
rasa yang tidak baik untuk saling dimaafkan. Biasanya dilakukan dengan
cara datang dari anak ke orang tua, keluarga ke keluarga, rumah ke
rumah, kampung ke kampung bahkan dari kota ke kota hanya untuk
mengembalikan untuk menghadirkan jiwa yang suci dihari yang suci
juga. Hidangan yang disuguhkan selalu menjadi ciri khas sendiri dalam
perayaan bersamaan saling maaf-maafan.
Relevansi dalam tradisi dan kebiasaan lebaran ini masih sangat
terlihat jelas dan sama saat sekarang ini. Tradisi seperti itu masih
dilestarikan hingga saat ini khususnya dalam masyarakat Jawa yang
sangat menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi lebaran yang masih dianggap
sangat penting dan wajib untuk dilakukan, jika semua itu tidak dilakukan
142
berasa seperti tidak lengkap atau tidak merasa lega di dalam hatinya.
Meskipun tradisi lebaran ini selain dimasyarakat Jawa juga dilakukan,
namun tak sekental seperti di masyarakat yang kebanyakan dilakukan
penuh dengan nilai dan tradisi budaya. Pada dasarnya tradisi ini masih
eksis sampai saat ini di desa maupun di kota.
8) Nalika Bendhe Tinabuh ‘Ketika Gong Dipukul’
Widodo Basuki melalui penggambaran atau lukisanguritan Nalika
Bendhe Tinabuh meyampaikan bawasanya anak-anak generasi sekarang
sudah memulai dan memilih mana yang benar dan mana yang salah.
Sehingga kebenaran yang akan di apat digambarkan dengan takir
plonthangangambar arume kembang yang berarti bisa bersyukur jika
bisa mendapatkan keadilan yang layak. Takir plonthang sendiri secara
filosofi memiliki arti sebagi wujud rasa syukur apa yang di dapat ketika
Bimasena memenangkan peperangan melawan musuhnya, maka jika
anak-anak muda sekarang mampu memiliki keadilan dan mampu berbuat
kebaikan meskipun harus melewati perjuanagn yang keras dan berat.
Relevansi pada masa sekarang mengenai perlambang tentang takir
plonthang yang sebagai simbol rasa syukur atas kemenang suatu
peperangan atau kerja keras sudah mulai jarang terlihat di masa sekarang
ini. Hanya saja takir digunakan sebagai pelengkap dalam tradisi tirakatan
atau yang biasa disebut kondangan, yang masih menggunakan takir
sebagai wujud rasa syukur atas kemenanganya.
143
9) Tembang Lemah Ngare ‘Lagu Tanah Pegunungan’
Tembang lemah ngare merupakan bahasa jawa yang memiliki arti
lagu tanah pegunungan . Secara filosofi, tembang lemah ngare adalah
harapan orang tua yang ada di desa terhadap anaknya untuk mendapatkan
masa depan yang lebih baik dari kehidupan sebelumnya. Semua orang
tua mengharapkan atau berharap kepada anaknya untuk memberi
kesenangan di masa tua nanti. Orang tua di desa biasa melakukan
pekerjan yang dilakukan dibelakang rumah sambil berbicara dalam hati,
bahwa anaknya nanti akan menjadi tumpuan hidupnya, maka para orang
tua harus bekerja keras untuk menyekolahkan, untuk memberi makan
dengan cukup. Sehingga ketika mendapat rejeki nanti anaknya
diharapkan dapat membalas budi orang tuanya.
Widodo Basuki menggambarkan melalui guritan Tembang Lemah
Ngare menyampaikan gendhuk yang dimaksud adalah anak-anak dari
orang tua di desa untuk merebut popok-popok wewe, yang dimaksud
adalah rejeki-rejeki yang akan datang sebagai balas budi terhadap orang
tuanya setelah apa yang diperjuangkan orang tua untuk menghidupi para
anak-anaknya. Merubah masa depan menjadi lebih baik bukanlah perkara
yang mudah, maka para orang tua sejak anaknya kecil sampai dewasa
memiliki harapan yang besar kepada anaknya supaya nakanya dapat
memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang
harus dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Popok-popok
wewelah yang akan merubah masa depan mereka semua.popok-popok
wewe dianggap rejeki
144
Masa sekarang ini masih banyak yang memiliki pola pikir yang
seperti itu, bahwa orang tua selalu mengharapkan anaknya untuk menjadi
tumpuan hidup yang akan datang dan berharap untuk mengubah
hidupnya di masa depan. Hal ini masih sangat sering terlihat di masa
sekarang ini bahkan di seluruh dunia orang tua masih memiliki pola pikir
yang sama seperti orang-orang tua jaman dahulu yang hidup di desa.
Namun orang tua jaman sekarang sudah mulai jarang menyebut rejeki
melimpah dengan istilah popok-popok wewe. Popok-popok wewe dalam
masyarakat Jawa menganggap bahwa itu merupakan rejeki yang banyak.
10) Panen ‘Panen’
Panen adalah bahasa Jawa yang memiliki arti memetik hasil dari
taam-tanman yang berjumlah banyak. Secara filosofi, panen memiliki
arti dimana orang yang bekerja keras itu nantinya akan mendapatkan
hasilnya. Orang yang melakukan pekerjaan yang baik maka hasilnya
akan baik, sedangkan orang yang mengerjakan sesuatu dengan buruk
maka yang dihasilkan akan buruk juga.
Widodo basuki melalui guritan Panen menyampaikan bahwa
perkataan orang tua yang mengenai hasil kerja keras tidak akan merubah
hasil yang didapatkan. Pepatah mengatakan kang nandur weanag
ngundhuh, ndhuk, hal ini menunjukan orang tua selalu mempunyai pola
pikir yang mana untuk menasehati anak-anaknya atau generasi muda,
bahwa orang yang bekerja keras melakukan pekerjaanya, dengan tulus
dan iklhas, penuh cinta dan kasih sayang serta selalu bersyukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa maka hasil yang memuaskan juga tidak perlu
145
takut terhadap orang-orang yang akan merebut, karena Tuhan sudah
menyiapkan berkah yang baik.
Pola pikir seperti ini masih sering diterapakan anak-anak yang di
desa dimana harus bekerja keras dengan menggunakan hati yang penuh
iklhas dan penuh cinta dan kasih sayank maka hasilnya juga akan
memuaskan hati pula. Pada dasarnya masa sekarang di jaman modern ini
masih banyak yang memiliki pola pikir yang seperti itu, dan masih
nampak bahkan meyakinan bahwa orang yang bekrja keras itu nantinya
akan mendapatkan hasil yang setara juga. Masyarakat Jawa sendiri
meyakini terhadap Tuhan bawasnya orang-orang yang berusaha dengan
keras maka akan mendapatkan hasilnya. Pola pikir seperti ini masih
sangat berhubungan sejak dulu sampai sekarang.