bab ii narasi tempat, identitas kultural dan...

26
12 BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOL Kematian adalah bagian yang tak terhindarkan dari kehidupan manusia. Setiap manusia pasti akan mengalami yang namanya kematian. Sekalipun kematian merupakan suatu hal yang dialami oleh manusia tetapi kematian pasti menyebabkan kesedihan bagi keluarga yang mengalaminya. Setiap agama dan budaya memiliki tata cara dalam memperlakukan suatu kematian baik itu mulai perlakuan terhadap orang yang meninggal bahkan ritual di sekitar peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal maupun terhadap keluarga yang ditinggalkan. Dalam pemahaman yang demikian maka ritual kematian memiliki fungsi ganda yaitu bagi orang yang meninggal adalah untuk mengantarkan orang yang telah meninggal agar dapat tenang di alamnya. Sementara fungsi ritual kematian untuk orang yang masih hidup adalah agar mereka dapat mengatasi krisis yang diakibatkan oleh kematian. Salah satu ritual kematian yang dilakukan oleh orang Sabu diaspora adalah pebale rau kattu do made. Ritual kematian ini dilakukan oleh orang-orang Sabu yang lahir di Sabu tetapi karena tuntutan hidup dan pekerjaan harus merantau. Dalam perantauannya jika orang Sabu diaspora tersebut meninggal maka keluarga dari orang yang meninggal harus melakukan ritual tersebut. Untuk dapat memahami ritual kematian tersebut maka dalam bab II ini akan dijelaskan beberapa teori yang berkaitan dengan Narasi Tempat, Identitas Kultural dan Simbol. 2.1. Diaspora dan Narasi Tempat Untuk dapat memahami suatu narasi tempat oleh masyarakat diaspora maka terlebih dahulu penulis akan menguraikan tentang apa itu diaspora? Istilah diaspora berasal dari kata Yunani, istilah ini pertama kali digunakan untuk merujuk pada penyebaran paksa orang Yahudi, dalam terjemahan Yunani dari Alkitab Ibrani sekitar tahun 200 SM. Dalam sebuah artikel,

Upload: buiphuc

Post on 31-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

12

BAB II

NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOL

Kematian adalah bagian yang tak terhindarkan dari kehidupan manusia. Setiap manusia

pasti akan mengalami yang namanya kematian. Sekalipun kematian merupakan suatu hal yang

dialami oleh manusia tetapi kematian pasti menyebabkan kesedihan bagi keluarga yang

mengalaminya. Setiap agama dan budaya memiliki tata cara dalam memperlakukan suatu

kematian baik itu mulai perlakuan terhadap orang yang meninggal bahkan ritual di sekitar

peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal maupun terhadap keluarga yang

ditinggalkan. Dalam pemahaman yang demikian maka ritual kematian memiliki fungsi ganda

yaitu bagi orang yang meninggal adalah untuk mengantarkan orang yang telah meninggal agar

dapat tenang di alamnya. Sementara fungsi ritual kematian untuk orang yang masih hidup adalah

agar mereka dapat mengatasi krisis yang diakibatkan oleh kematian.

Salah satu ritual kematian yang dilakukan oleh orang Sabu diaspora adalah pebale rau

kattu do made. Ritual kematian ini dilakukan oleh orang-orang Sabu yang lahir di Sabu tetapi

karena tuntutan hidup dan pekerjaan harus merantau. Dalam perantauannya jika orang Sabu

diaspora tersebut meninggal maka keluarga dari orang yang meninggal harus melakukan ritual

tersebut. Untuk dapat memahami ritual kematian tersebut maka dalam bab II ini akan dijelaskan

beberapa teori yang berkaitan dengan Narasi Tempat, Identitas Kultural dan Simbol.

2.1. Diaspora dan Narasi Tempat

Untuk dapat memahami suatu narasi tempat oleh masyarakat diaspora maka terlebih

dahulu penulis akan menguraikan tentang apa itu diaspora? Istilah diaspora berasal dari kata

Yunani, istilah ini pertama kali digunakan untuk merujuk pada penyebaran paksa orang Yahudi,

dalam terjemahan Yunani dari Alkitab Ibrani sekitar tahun 200 SM. Dalam sebuah artikel,

Page 2: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

13

William Safran mendefinisikan orang-orang yang merupakan diaspora dengan menampakkan

enam ciri utama: mereka (atau nenek moyang mereka) yang tersebar dari satu pusat asli untuk

dua atau lebih lokasi asing, memiliki memori kolektif tentang tanah asli mereka, mereka tidak

sepenuhnya percaya dan mereka tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat tuan rumah mereka,

menganggap tempat asal mereka sebagai rumah mereka yang sebenarnya (mereka atau keturunan

mereka akhirnya akan kembali), secara kolektif berkomitmen untuk pemeliharaan tanah air

mereka, dan terus berhubungan dengan tanah air yang dalam satu atau lain cara.1

Istilah diaspora ini digunakan secara lebih luas untuk menunjukan hubungan budaya yang

terus dipelihara oleh orang-orang yang sudah menyebar di seluruh dunia.2 Hal ini diperkuat oleh

Sheffer yang mendefinisikan diaspora modern sebagai emigran yang berasal dari kelompok etnis

yang menetap di negara tempat tinggal (host country), namun masih menjaga hubungan

sentimental yang kuat dengan negara asal dan kampung halamannya.3 Istilah diaspora digunakan

untuk merujuk pada penyebaran kelompok agama atau kelompok etnis dari tanah air mereka,

baik dipaksa maupun dengan sukarela. Kata ini juga digunakan untuk merujuk pada penyebaran

orang-orang sebagai kelompok kolektif dan masyarakat. Sejarah manusia menunjukkan sejumlah

diaspora. Tercabut dari tanah kelahiran dan budaya, bisa menjadi suatu peristiwa besar bagi

seseorang atau sekelompok orang. Diaspora berasal dari istilah Yunani Kuno yang berarti

“menyebarkan atau menabur benih”, diaspora berbeda dengan imigrasi. Diaspora mengharuskan

anggota suatu masyarakat pergi bersama dalam periode waktu yang singkat, bukan pergi

perlahan-lahan dalam waktu lama meninggalkan kampung halaman.4

1Yolanda Covington-Ward, Transforming Communities, Recreating Selves: Interconnected Diasporas,

Perfomance in the Shaping Liberian Immigrant Identity, Jurnal Ebsco (Africa Today) seri 1,vol.60, (2013): 5 2 Devi Riskianingrum, Studi Dinamika Identitas di Asia dan Eropa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014),

103. 3 G. Sheffer, A New Field of Study: Modern Diasporas in International Politics (Croom Helm, London and

Sydney, 1986), p. 1-15. 4http://www.amazine.co/25264/apa-itu-diaspora-fakta-sejarah-informasi-lainnya/ diakses 3 Agustus 2016

Page 3: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

14

Masyarakat yang melakukan diaspora juga dicirikan dengan usaha mereka untuk

mempertahankan budaya, agama, dan kebiasaan lainnya di tempat baru. Mereka biasanya hidup

berkelompok dengan sesamanya, dan kadang tidak mau berinteraksi dengan warga lokal. Salah

satu contoh diaspora yang terkenal dalah diaspora Yahudi yang dimulai pada tahun 600 SB.

Orang-orang Yahudi sering contoh klasik diaspora karena telah berpindah beberapa kali, dengan

banyak diantaranya melalui paksaaan. Meskipun beberapa kali berpindah tempat, orang Yahudi

yang mengalami diaspora tetap berusaha mempertahankan ikatan komunitas yang kuat beserta

dengan tradisi, budaya dan agama mereka.5

Masyarakat diaspora dalam suatu negara dapat dikategorikan sebagai masyarakat

minoritas. Sering kali dalam situasi mayoritas-minoritas ada perasaan curiga bahwa kelompok

minoritas tidak memiliki kesetiaan apapun, dan mereka mengajukan agendanya sendiri, yang

kalau diterima dan diberi kesempatan akan mengganggu keamanan dan melenyapkan stabilitas.

Sering juga kita menganggap kelompok minoritas sebagai kelompok yang lemah, yang

membutuhkan perlindungan dari yang mayoritas. Perlindungan tersebut sering dalam bentuk

kemurahan yang berubah-ubah, bahkan bisa menjadi suatu penganiayaan. Semakin kelompok

minoritas ditekan, semakin pula anggotanya memberi diri untuk mempertahankan eksistensi

kelompoknya.6

Memang tidak ada batasan tentang “minoritas” yang disepakati secara umum.

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengupayakan suatu definisi kerja yang menyatakan bahwa

“minoritas adalah hadirnya suatu kelompok manusia yang secara kuantitas lebih kecil

dibandingkan dengan populasi yang ada dalam suatu negara dan dalam kedudukan yang tidak

dominan, yang anggotanya – yang kewargaannya berasal dari berbagai bangsa – berasal dari

5 http://www.amazine.co/25264/apa-itu-diaspora-fakta-sejarah-informasi-lainnya diakses 3 Agustus 2016

6 Hans Ucko, Akar Bersama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999),36

Page 4: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

15

etnis dan disertai dengan ciri agama dan bahasa yang membedakannya dari sebagaian besar

populasi dalam negara itu, dan kelompok (minoritas) itu menunjukkan, sekalipun secara tersirat,

suatu perasaan solidaritas yang ditujukan demi terpeliharanya kebudayaan, tradisi-tradisi, agama

dan juga bahasa.” Sepanjang sejarah PBB anggota-anggotannya merasa bahwa suatu dukungan

menyeluruh pada terhadap kelompok minoritas dapat menciptakan ancaman terhadap kesatuan

dan integritas struktur suatu negara yang masih rapuh. Jadi, mereka lebih condong memilih

penyelesaian masalah di atas melalui upaya peningkatan kesadaran tentang hak-hak asasi dari

setiap individu.7 Dalam pemahaman masyarakat diaspora adalah masyarakat minoritas maka

kehadirannya dalam sebuah masyarakat mayoritas dianggap sebagai suatu ancaman.

Gerakan Oikumene juga menaruh kehati-hatian yang sama. Sidang Dewan Gereja-gereja

Se-dunia di Uppsala (1968) menghasilkan pernyataan yang menegaskan bahwa “hampir semua

bangsa memiliki kelompok minoritas, baik karena etnis, budaya dan keagamaan”. Minoritas tadi

memiliki hak memilih gaya hidup mereka sendiri sepanjang pilihan tersebut tidak merugikan

pilihan yang sama yang juga dimiliki kelompok lain . . . Namun, . . . hak-hak kelompok

minoritas itu dapat . . . menganggu stabilitas dan keberadaan suatu bangsa.8

Umat Yahudi hampir selalu hidup dalam suasana minoritas. Sejak zaman perbudakan

Mesir sampai pada keadaan tertawan dan diasingkan di Babil, sebagai minoritas dalam setiap

negera di Eropa, dan di banyak bagian lain di dunia ini. Memang ada masa toleransi terhadap

kehadiran minoritas Yahudi, bahkan pernah diterima dengan baik; namun lebih sering orang

bersikap toleran atas kehadiran mereka tanpa sikap penerimaan yang tulus. Seorang anggota

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Prancis, Clermont-Tonnere, menciptakan suatu ungkapan di

masa pasca-revolusi Prancis: Tout accorder aux Juifs, en tant qui

7 Ucko, Akar Bersama. 37

8 Ucko, Akar Bersama. 37

Page 5: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

16

„individus, rien en tant que nation (sebagai individu setiap orang Yahudi memiliki haknya, tetapi

bukan sebagai suatu bangsa). Sebagai minoritas orang Yahudi telah hidup dalam kemurahan hati

dari pihak mayoritas, yang sering berlanjut menjadi ketiadaan sama sekali kemurahan hati.

Mudah sekali bagi orang Yahudi untuk mengenang trauma masa lalu mereka: Perang Salib,

siksaan di masa “maut hitam” (sakit sampar yang menular pada abad ke-14), masa-masa

inkuisisi, pengusiran dari Spanyol, pengasingan hidup mereka dalam ghetto, pemusnahan

terorganisasi yang dilancarkan orang Rusia terhadap mereka, dan akhirnya pemusnahan dan

pembakaran dalam syoah/holocaust yang baik orang Yahudi sekuler maupun yang taat

beragama.9

Yudaisme dalam banyak aspek adalah agama dari umat yang hidup dengan suatu ingatan

atau kenangan akan sejarah. Ia adalah suatu agama yang mengenang. Salah satu kunci dalam

Yudaisme adalah perintah Zakor! “Ingatlah”! Ingatlah masa ketika diperbudakan dan dalam

kurungan! Ingatlah bahwa engkau dibawa keluar dari perbudakan! Ingatlah kesulitan-kesulitan

dalam perjalanan di padang gurun! Ingatlah bahwa engkau menjadi umat Tuhan ketika berada di

gurun pasir. Ingatlah bahwa engkau dibebaskan agar menjadi umat yang terpilih! Ingatlah

identitasmu sebagai umat yang terpilih. 10

Perintah untuk mengingat inilah yang biasa dikenal dengan nama menyimpan memori.

Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan orang Israel yaitu ketika mereka meninggal di tanah diaspora

maka mereka harus membawa pulang sesuatu ke kampung halaman mereka. Sebagai contoh, ada

kisah dari keluarga Yakub atau Israel di mana di akhir hidupnya ia meminta kepada anak-cucu di

Mesir tepatnya di wilayah Gosyen yang subur agar suatu hari nanti Yakub di bawa pulang ke

Kanaan. Bahkan ia meminta dibuat sebuah janji atau sumpah. Demikian juga Yusuf melakukan

9 Ucko, Akar Bersama. 37-38.

10 Ucko, Akar Bersama. 38.

Page 6: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

17

hal yang sama agar ia pun dibawa pulang untuk menikmati persekutuan dengan para leluhurnya

di Kanaan. Bukankah Mesir lebih mewah dibanding Kanaan? Yakub meminta Yusuf untuk

memenuhi kerinduannya seperti ini: “ketika hampir waktunya bahwa Israel akan mati,

dipanggilnya anaknya Yusuf, dan berkata kepadanya: “jika aku mendapatkan kasihmu,

letakkanlah kiranya tanganmu di bawah pangkal pahaku, dan bersumpahlah, bahwa engkau akan

menunjukkan kasih dan setiamu: jangan kiranya kuburkan aku di Mesir, karena aku mau

mendapat perhentian bersama-sama dengan nenek moyangku. Sebab itu angkutlah aku dari

Mesir dan kuburkanlah aku dalam kubur mereka. Jawabnya: “aku akan berbuat seperti katamu

itu. Kemudian kata Yakub: “bersumpahlah kepadaku”. Maka Yusuf pun bersumpah kepadanya

(Kejadian 47:29-31). Demikian juga Yusuf melakukan hal sama seperti Yakub kepada anak-

anaknya; meskipun membutuhkan waktu yang panjang untuk membawa Yusuf ke Kanaan

melalui tragedi penindasan dari Firaun dimana Allah sendiri menolong. Melepaskan serta

membawa mereka melalui peristiwa Paskah. Kehadiran anak-anak dan cucu ini adalah kehadiran

Yusuf sendiri seperti nyata dalam doanya di Kejadian 50:24-25: “Tidak lama lagi aku akan mati;

tentu Allah akan memperhatikan kamu dan membawa kamu keluar dari negeri ini, ke negeri

yang dijanjikan-Nya dengan sumpah kepada Abraham, Ishak dan Yakub; pada waktu itu kamu

harus membawa tulang-tulangku dari sini”. Rindu ke rumah dan berkumpul dengan keluarga,

tanah dan air adalah semangat dari permintaan bapak leluhur Israel. Harapan itu dilegalkan

menjadi wadah ziarah tiap generasi ke tanah air perjanjian yang telah diwariskan kepada anak

cucu mereka.

Penggambaran Mazmur 137 adalah sebuah ajakan untuk mengingat Sion. Khususnya

dalam ayat 1-4 ditekankan tentang ingatan akan penderitaan di pembuangan Babel. Mazmur ini

dibuat dengan suatu kisah derita, kisah penderitaan orang-orang di Babel. Penderitaan ini sudah

Page 7: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

18

lewat dan terjadi di tempat yang jauh, tetapi lukanya masih dalam membekas. Di Babel, di tepi

saluran-saluran irigasi dari sungai Efrat (Bnd. Yeh 1:1; 3:15) mereka kerap duduk menangis

setiap kali mereka mengingat “Sion” (ay 1; bnd. Mzm 42:5 tentang lukisan kesedihan serupa).

Apakah kata-kata “duduk-menangis-mengingat” menunjuk kepada suatu perayaan ratapan untuk

mengenang keruntuhan Yerusalem seperti yang dilakukan pada zaman nabi Zakharia (Mzm 7:1-

14) tidaklah pasti. Bagaimanapun juga yang terjadi di Babel ialah: mengingat Sion berarti derita.

Segala hal yang dikatakan tentang Sion dari masa yang lampau (bnd Maz 87:3) sekarang tinggal

kenangan.11

Tindakan mengingat seperti yang dilakukan oleh bangsa Israel adalah tindakan

yang juga dilakukan oleh orang-orang diaspora saat mereka berada di negara baru mereka.

Masyarakat diaspora adalah penyebaran suatu kelompok agama atau kelompok etnis dari

tanah air mereka baik secara paksa maupun secara sukarela dan masyarakat diaspora ini juga

tidak akan kembali ke negeri asal mereka, dan menganggap negara atau tanah air mereka yang

baru sebagai tanah air kedua. Merujuk pada pengertian diaspora yang demikian maka akan

dilihat perbedaan antara diaspora dan pengungsi. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, pengungsi

diartikan sebagai “Orang yang mencari tempat yang aman ketika daerahnya ada bahaya yang

mengancam.12

Dalam terminologi bahasa Indonesia pengungsi tidak mencakup baik

geografisnya maupun prasyarat penyebabnya. Hal lain yang perlu mendapat catatan dalam

konteks Indonesia, pengungsi sering disebut dengan “imigran illegal” atau imigran gelap”.13

Direktur Jesuit Refuge Service Indonesia, Adrianus Suyadi berpendapat bahwa penyebutan

11

Barth-Frommel, Maria Claire & Pareira, B.A, Tafsiran Alkitab: Kitab Mazmur 73-150, (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2013), 440-441 12

Yus Badudu, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1994), 54. 13

Wagiman, S.Fil, Hukum Pengungsi Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 97

Page 8: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

19

“imigran ilegal” atau “imigran gelap” di Indonesia ditujukan terhadap mereka yang tidak

memiliki identitas resmi berupa paspor dan visa.14

Ada 2 (dua) pendapat ahli sehubungan dengan pengertian atau batasan dari istilah

pengungsi. Malcom Proudfoot memberikan pengertian pengungsi dalam perspektif pasca Perang

Dunia II. Pengungsi merupakan suatu kelompok orang-orang yang terpaksa pindah ke tempat

lain akibat adanya penganiayaan, deportasi secara paksa atau atau pengusiran orang-orang dan

perlawanan politik pemerintah yang berkuasa. Dapat pula dalam bentuk pengembalian etnik

tertentu ke negara asal mereka atau provinsi baru yang timbul akibat perang atau perjanjian atau

penentuan tapal batas secara sepihak sebleum perang terjadi. Perpindahan penduduk sipil secara

besar-besaran akibat adanya tekanan atau ancaman. Perpindahan secara paksa penduduk dari

wilayah pantai atau daerah pertahanan berdasarkan perintah militer serta pemulangan tenaga

kerja paksa untuk ikut dalam perang.15

Sementara itu, Pietro Verri dalam mendefinisikan pengungsi merujuk pada pasal 1

Konvensi 1951 khususnya pada kalimat “applies to many person who has fled the country of his

nationality to avoid persecution or the threat of persecution”.16

Pada pandangan Pietro Verri

pengungsi merupakan seseorang atau sekelompok orang yang meninggalkan negaranya karena

adanya ketakutan yang tidak terhingga serta adanya kemungkinan atau potensi terjadinya

penyiksaan. Pengungsi dalam pengertian yang umum adalah orang yang dipaksa keluar dari

wilayah negaranya. Paksaan yang dilakukan terhadapnya disebabkan oleh kondisi yang tidak

memungkinkan adanya rasa aman atau jaminan keamanan atas dirinya oleh pemerintah.17

Terminologi pengungsi menurut Konvensi tahun 1951 adalah seseorang yang oleh karena rasa

14

Adrianus Suyadi, Pengungsi Bukan Imigran Gelap, artikel dimuat pada Harian Umum Kompas tanggal

21 Juni 2010. 15

Wagiman, Hukum Pengungsi Internasional. 98. 16

Achmad Romsan, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional, (Bandung: Sanic Offset, 2003), 36. 17

Wagiman, Hukum Pengungsi Internasional. 98.

Page 9: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

20

takut yang wajar akan dianiaya berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada suatu

kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik, berada di luar negeri kebangsaannya, dan tidak

dapat atau, karena rasa takut itu tidak berkehendak berada di dalam perlindungan negaranya.18

Seseorang dikatakan sebagai pengungsi ketika seseorang keluar secara terpaksa dari tempat

asalnya selama 2-3 tahun dan ketika tempat asal tidak terjadi konflik maka pengungsi akan

kembali ke tempat asalnya. Sementara seseorang dikatakan diaspora ketika seseorang keluar dari

tempat asalnya, bekerja dan menetap selama 5-6 tahun atau lebih. Persamaan antara diaspora dan

pengungsi adalah mereka sama-sama memiliki kerinduan untuk kembali ke tanah air atau tempat

asal mereka. Kerinduan untuk pulang ke tanah air atau tempat asal karena mereka di tempat

rantau mengalami penindasan sehingga romantisme kehidupan di tanah leluhur menjadi suatu

kerinduan untuk dapat kembali ke tempat asal mereka.

Dalam kehidupan sebagai masyarakat diaspora ada sebuah kerinduan agar suatu saat

nanti dapat kembali ke tanah air atau tempat asal mereka. Tempat asal bagi masyarakat diaspora

merupakan komponen penting bagi rasa identitas diri mereka sebagai subjek. Dengan adanya

tempat, masyarakat dapat menemukan budaya. Oleh karena itu, tempat tidak dapat dipahami di

luar konteks budaya.19

Makna tempat dan ruang dikonseptualisasikan, sebagai ruang kebebasan

manusia untuk dapat melekat pada identitas satu dengan yang lainnya.20

Tempat asal itu berhubungan dengan tempat di mana seseorang dilahirkan. Tempat asal

juga sering digambarkan sebagai sebuah tempat di mana banyak memori tersimpan di

dalamnya.21

Tempat asal juga menawarkan berbagai kenangan dan keramahan hidup. Seperti

hidup dalam kondisi alam yang masih alami, suasana persahabatan antar tetangga yang masih

18

Wagiman, Hukum Pengungsi Internasional. 99. 19

Anastasia Christou, Narratives of Place, Culture and Identity (Amsterdam: 2006), 32. 20

Christou, Narratives of Place . 33. 21

Bell Hook, Belonging: A Culture of Place. (New York: Routledge, 2009), 5.

Page 10: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

21

dipelihara dan sosialisasi dalam persekutuan sebagai masyarakat.22

Tempat juga hanya dapat

dipahami dalam terang ras, asal ras dan semua itu menandakan seperti sesuatu yang lazim atau

sifat yang dominan.23

Gambaran mengenai tempat dapat didefinisikan melalui penggunaan

bahasa umum, simbol dan pengalaman.24

Keputusan untuk kembali ke tempat asal adalah suatu

cara agar seseorang tidak mengalami hubungan yang terputus dengan tempat asalnya, untuk tetap

terikat dengan budaya asalnya dan dengan bahasa yang digunakan di tempat asal. Sekalipun

seseorang telah pergi lama untuk merantau di suatu tempat namun ketika ia pulang kembali ke

tempat asal maka ia akan disambut oleh keluarganya. Kedatangan kembali ke tempat asal

menggambarkan bahwa seseorang kembali ke dalam cinta kasih keluarganya.25

2.2. Identitas Kultural

Istilah identitas yang dipakai oleh Richard Jenkins adalah ia mengambil definisi dari The

Oxford English Dictionary, di mana Bahasa Latin yang menjadi akar dari “Identity” adalah

“identitas”, yang terdiri dari idem, yang berarti “sama” atau “kesamaan” (the same) dan dua

makna dasar: (1) the sameness of object, as in A1 is identical to A2 but not to B1; (2) the

consistency or continuity over time that is the basis for esthabiling and grasping the definiteness

and distinctiveness of something. Jadi, tema utama yang dibahas oleh Jenkins “tentang Identitas”

– yang berasal dari definisi tersebut adalah “persamaan” dan “perbedaan”. 26

Secara harafiah

identitas adalah ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri seseorang yang melekat pada sesuatu atau

seseorang yang membedakannya dengan yang lain, baik secara fisik maupun secara non-fisik.

22

Hook, Belonging: A Culture of Place…24 23

William W. Falk, Rooted in Place, (London: Rutgers University Press, 2004), 19. 24

Christou, Narratives of Place. 32. 25

Hook, Belonging: A Culture of Place. 24. 26

Richard Jenkins, Social Identity (London and New York: Routledge Taylor & Group, 2008), 17.

Page 11: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

22

Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan bahwa identitas

sebagai ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang.27

Menurut Richard Jenkins, apapun identitas itu, dalam dirinya sendiri, dapat dipastikan

menyebabkan tindakan.28

Dalam hubungan yang telah dikemukakan oleh Jenkins ini tampaknya

ia mengandaikan identitas sebagai sebuah kategori, entah sebagai individual ataupun sosial, yang

menuntut seseorang untuk berperilaku sesuai dengan identitas yang ia miliki. Pada sisi lain

mungkin juga hubungan ini memahami identitas adalah peran yang dimainkan oleh seseorang

dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk memahami tentang identitas lebih mendalam lagi, maka perlu terlebih dahulu

menjelaskan apa yang dimaksud dengan identitas secara paling sederhana dan mendasar.

Menurut Richard Jenkins, identitas merupakan pemahaman akan siapa kita, dan siapa orang lain,

serta secara resiprokal, pemahaman orang lain akan diri mereka sendiri dan orang lain.

Sedangkan, identitas sosial adalah ciri-ciri atau keadaan khusus sekelompok masyarakat.

Identitas ini menunjukkan cara-cara di mana individu dan kolektivitas-kolektivitas dibedakan

dalam hubungan mereka dengan individu dan kolektivitas lain.29

Penekanan relasi antara

identitas individual dan identitas sosial menjadi semakin jelas ketika memperhatikan pendapat

Jenkins bahwa seluruh identitas manusia ditentukan oleh definisi identitas sosial.30

Dalam pemahaman Richard Jenkins, ia menyatakan bahwa identitas manusia selalu

merupakan identitas sosial karena selalu berkaitan dengan keberadaan orang lain yang ada

disekitar. Mengidentifikasi diri sendiri, atau mengidentifikasi orang lain, adalah persoalan

27

Devi Riskianingrum, Studi Dinamika Identitas di Asia dan Eropa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014),

1. 28

Jenkins, Social Identity. 5. 29

Jenkins, Social Identity. 18. 30

Jenkins, Social Identity. 4.

Page 12: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

23

pemaknaan. Selanjutnya, pemaknaan selalu melibatkan interaksi, persetujuan atau

ketidaksetujuan, perjanjian, inovasi, komunikasi, dan negosiasi.31

Terdapat dua perspektif yang berbeda dan sangat berpengaruh dalam pembahasan tentang

identitas, yaitu konsep Barth yang berlatar belakang antropologi sosial, dan konsep Tajfel yang

berlatar belakang psikologi sosial. Menurut Barth, bahwa identifikasi dan kolektifitas itu

dihasilkan atau muncul dari proses transaksi dan negosiasi individu dalam memenuhi

kepentingannya. Orang-orang melakukan sesuatu berdasarkan identitas mereka, khususnya

keanggotaan mereka dalam kelompok atau budaya tertentu, misalnya garis keturunan, klan, dan

suku.32

Pada pihak lain, Tafjel berpendapat bahwa keanggotaan kelompok adalah cukup dalam

dirinya sendiri untuk menghasilkan identifikasi dengan kelompok tersebut dan meneruskan

perilaku terhadap anggota kelompoknya untuk melawan yang bukan anggota kelompok. Hal ini

mengikuti pemahaman psikologi sosial yang menekankan persaingan yang realistis dan konflik

kepentingan sebagai dasar bagi kerja sama dan pembentukkan kelompok.33

Menarik untuk dilihat pemahaman identitas dalam masa postmodernis. Tokoh

postmodernis yang mengemukakan tentang identitas adalah Medan Sarup. Medan Sarup melihat

identitas dari aspek kesejarahan yang membentuk identitas. Dua model identitas menurut Sarup

yaitu: (1) dari sudut pandang tradisional, bahwa keseluruhan dinamika identitas seperti kelas,

gender, dan ras beroperasi secara smultan menghasilkan identitas yang utuh, kebersatuan dan

tetap; (2) sudut pandang terkini, bahwa identitas di fabrikasi, konstruksi, dalam proses, dan

karenanya harus dipertimbangkan aspek psikologi dan faktor psikologi.34

31

Jenkins, Social Identity. 17. 32

Jenkins, Social Identity. 7. 33

Richard Jenkins, Social Identity. 7. 34 Madan Sarup, Identity, Culture and The Postmodern World, (New York: The Univeersity of Georgia

Press, 1996), 14

Page 13: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

24

Dalam buku karya Manuel Castells “The Power of Identity”, khususnya dalam sub bab

“The Construction of Identity. Castells mengungkapkan bahwa identitas adalah sumber makna

dan pengalaman orang.35

Proses konstruksi makna atas dasar atribut budaya, di mana

diprioritaskan di atas sumber-sumber pemaknaan yang lain. Akibatnya, kejamakan identitas

menjadi sumber tekanan dan kontradiksi baik dalam self-representation maupun social action.

Ini yang menyebabkan mengapa identitas harus dibangun, seperti yang umum disebutkan para

sosiolog, sebagai peran, dan seperangkat peran (role, and role-sets).36

Meskipun demikian,

Castells berpendapat bahwa identitas lebih dominan sebagai pemaknaan dari pada peran.

Identitas dikonstruksikan oleh aktor melalui sebuah proses yang disebut individuisasi

(individuation), terkait dengan identitas sebagai sumber makna bagi aktor itu sendiri.37

Atau

dalam pandangan Giddens identitas sebagai sebuah proyek.38

Dengan kata lain, aktor atau agen

tersebut tidak bisa dilepaskan dari struktur yang ada – yang diperkuat dengan pernyataan

Connoly terkait masyarakat jaringan dan struktur bahwa kehidupan politik identitas dalam

masyarakat modern tidak dapat lepas dari struktur politik global.

Lebih lanjut, Castells berpendapat bahwa identitas itu juga dapat berasal dari lembaga

yang dominan, hanya ketika dan jika aktor sosial menginternalisasi mereka, dan membangun

makna yang ada melalui proses internalisasi.39

Dalam masyarakat jaringan terdapat identitas

kolektif. Hal itu dapat dilihat bahwa dalam masyarakat jaringan pemaknaan individu melewati

ruang dan waktu – terpintal dalam suatu jaringan. Tanpa mengabaikan fakta bahwa identitas

kolektif tersebut – seperti dalam masyarakat jaringan – merupakan pintalan dari identitas

35

Manuel Castells, The Power of Identity, (London: Blackwell Publishing, 2010), 6. 36

Castells. The Power of Identity. 6 37

Castells. The Power of Identity. 7 38

Anthony Giddens, Modernity and Self Identity, (Cambridge: Polity Press, 1991), 75 39

Castells. The Power of Identity. 7

Page 14: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

25

individu.40

Dengan kata lain, dilihat dari bentuknya identitas dapat dipilah menjadi dua yaitu

identitas individu dan identitas kolektif. Kemudian Castells setuju, berdasarkan fakta dan dalam

perspektif sosiologi, bahwa semua identitas adalah terkonstruksi (dikonstruksikan, dibentuk).

Konstruksi identitas menggunakan sejarah, letak geografis, biologi, institusi-institusi produktif

dan reproduktif, memori kolektif dan fantasi personal, serta dari kekuasaan aparatur-aparatur dan

wahyu agama.41

Terakhir, Castells merumuskan bangunan identitas berdasarkan bentuk dan asal-

usulnya menjadi tiga, yaitu: (1) Legitimizing identity, atau identitas yang sahih, seperti otoritas

(authority) dan dominasi; (2) Resistance identity, atau identitas perlawanan, sebagai bentuk

perlawanan atas dominasi, contohnya adalah politik identitas; (3) Project Identity, atau identitas

proyek, seperti feminisme – ketika aktor-aktor sosial dengan sumber daya kulturalnya

membangun sebuah identitas baru untuk mendapatkan kembali posisinya di masyarakat.42

Konsep identitas juga bersifat dinamis seperti yang diungkapkan oleh Anthony Giddens,

bahwa memahami identitas diri merupakan suatu keahlian bernarasi tentang diri dan

menceritakan perasaan yang konsisten tentang kontinyuitas biografi. Seperti cerita identitas yang

mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis: apa yang dikerjakan? Bagaimana melakukan?

Siapa yang menjadi? Seseorang berusaha mengkonstruksikan cerita identitas dengan saling

bertalian dimana diri seseorang membentuk lintasan suatu perkembangan dari pengalaman-

pengalaman di masa lalu menuju ke masa depan.43

Sementara itu, konstruksi identitas harus

dilihat sebagai konstruksi makna dan representasi terhadap dirinya sendiri maupun orang lain.

Identitas yang dikonstruksi oleh individu atau kelompok tertentu memiliki dampak positif dan

40

Castells. The Power of Identity. 7 41

Castells. The Power of Identity. 7 42

Castells. The Power of Identity. 8 43

Anthony Giddens, Modernity and Self-Identity (London: Cambridge Polity Press, 1991), 75.

Page 15: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

26

negatif atas mereka yang menggunakannya.44

Identitas juga terkait dengan persoalan apa yang

dimiliki, atau tentang apa yang menjadi kebiasaan dan apa yang membedakan seorang individu

dengan individu lain, atau etnik yang satu dengan etnik yang lain.45

Letak perbedaan antara karya Castells dengan Burke dan Stets sebenarnya terletak pada

fokus kajiannya. Burke dan Stets memfokuskan kajiannya pada identitas personal, sedangkan

Castells merambatkan kajiannya pada identitas kolektif. Dari situ secara implisit memberikan

pemahaman bahwa seorang individu mempengaruhi masyarakat melalui tindakan individual.

Misalnya, membuat kelompok, organisasi, jaringan kerja, dan lembaga. Demikian juga

sebaliknya masyarakat mempengaruhi seorang individu melalui berbagi bahasa, makna, dan

struktur yang telah tersedia, sehingga memampukan seseorang untuk memainkan peran ketika

bertemu dengan orang lain, ikut serta dalam interaksi sosial, dan merefleksikan diri orang lain

sebagai objek. Hal ini sejalan dengan pemaknaan bahwa identitas sosial itu pada dasarnya adalah

pemahaman seseorang bahwa dirinya menjadi bagian dari sebuah kategori sosial atau kelompok.

Sebuah kelompok sosial adalah sejumlah individu yang berpegang pada identifikasi sosial yang

sama atau memandang diri mereka sebagai anggota dari sebuah kategori sosial.46

Kategori sosial

yang dimaksudkan adalah identitas dari masyarakat diaspora.

2.3. Simbol

2.3.1. Ritual

Menurut Van Gennep, ritus-ritus berkaitan dengan peralihan warga masyarakat atau

kelompok warga masyarakat ke dalam keadaan baru seperti misalnya, kehamilan, kelahiran,

44

Yance Z. Rumahuru, Ritual Ma‟atenu sebagai Media Konstruksi Identitas Komunitas Muslim Hatuhaha

di Pelauw Maluku Tengah, Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana UGM. Vol.2 No. 1,

April 2012, 36-47. 45

Cris Weedon. Identity and Culture: Narative of Difference and Belonging, (UK: Open University Press,

2004). 46

Jan E. Stets and Peter J. Burke, Identity Theory and Social Identity Theory. (New York: Oxford

University Press, 2009), 8-9.

Page 16: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

27

perkawinan dan pemakaman. Dalam masyarakat seperti itu peralihan status merupakan suatu

peralihan yang suci. Orang memasuki tahap baru dalam kehidupan masyarakatnya. Setiap

peralihan status diiringi dengan ritus untuk menghindari adanya sesuatu yang tidak diinginkan.

Dalam hal ini dipercayai bahwa orang akan diganggu oleh roh leluhur.47

Peralihan dari satu

status ke status lainnya dilihat sebagai peristiwa ekstensial, karena ia diingatkan lagi pada

permulaan dan akhir yang memberikan kesempatan untuk merefleksi dan merenungkan lagi

kehidupannya. Eksistensial di sini menunjuk pada keberadaan manusia, menyangkut

pengalamannya yang paling mendasar.48

Van Gennep mencoba mengumpulkan pola-pola upacara yang mengiringi peralihan dari

satu situasi ke situasi lain, dan juga dari dunia kosmis yang satu ke dunia kosmis yang lain.

Peralihan itu diiringi dengan ritus peralihan (rites of passage). Ada tiga proses dalam ritus

peralihan yaitu pertama, ritus pemisahan (ritus separation); kedua, ritus transisi; ketiga, ritus

inkorporasi. Ritus pemisahan menonjol dalam upacara pemakaman, karena di sini manusia

benar-benar dipisahkan dengan orang yang meninggal. Dalam hal ini terjadi pemisahan dari satu

cara hidup ke cara hidup yang lain. Ritus inkorporasi menonjol dalam upacara perkawinan,

karena di sini peran suami dan istri sangat ditekankan: dua menjadi satu untuk membangun satu

keluarga baru. Sedangkan ritus-ritus peralihan menonjol dalam upacara-upacara yang mengiringi

kehamilan, kelahiran dan inisiasi. Di sini terasa adanya peralihan dari satu status ke status

lainnya, dari satu situasi sosial tertentu ke situasi sosial lainnya. Peralihan itu menyebabkan dia

diterima dalam masyarakat dan status sosial tertentu.49

Ritus pemisahan diartikan sebagai ritus yang diadakan sebagai tanda adanya pemisahan

dengan dunia sebelumnya. Subjek ritual dipisahkan dari dunia fenomenal yang ada, kemudian

47

Y.W. Wirtaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 32 48

Wirtaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur… 32 49

Wirtaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur… 33

Page 17: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

28

masuk ke dunia yang lain. Dalam hal ini kita bisa membedakan antara situasi yang satu dengan

situasi yang lain. Upacara itu sendiri mencerminkan adanya suatu keterpisahan itu. Nampaklah

keterpisahan yang nyata.50

Ritus liminal (ritus transisi) dialami sesudah ritus pemisahan. Dalam hal ini situasinya

menjadi ambigu. Maksudnya, situasi dialami sebagai “tidak di sini, dan tidak di sana”. Situasi

ambang pintu dialami sebagai situasi keterpisahan. Ditegaskan oleh Van Gennep bahwa upacara

liminal sendiri bukanlah upacara penyatuan, tetapi upacara-upacara persiapan untuk persatuan.

Untuk menjelaskan hal ini Van Gennep mengibaratkan dengan ambang pintu hanya merupakan

bagian dari pintu. Jadi, berada di ambang pintu berarti belum masuk kamar itu sendiri.

Menyebrangi ambang pintu itu berarti menyatukan dirinya dengan dunia baru. Hal ini nampak

dalam upacara perkawinan, pengangkatan anak, tahbisan dan pemakaman.51

Ritus inkorporasi berarti tindakan-tindakan yang mengiringi adanya penyatuan dari satu

status ke status lainnya. Dengan ritus inkorporasi subjek ritual menjadi manusia baru dalam

hidupnya. Akhirnya Van Gennep menyebut ritus separasi atau pemisahan sebagai ritus

preliminal, ritus selama dalam tahap transisi sebagai ritus liminal, dan ritus inkorporasi ke dalam

dunia baru sebagai ritus pascaliminal.52

Ritus-ritus pemakaman, dan praktik-praktik dukacita yang menyertainya, berpusat di

sekitar hasrat paradoksal ini baik untuk memelihara ikatan berhadapan dengan kematian maupun

dengan segera dan sama sekali memutuskan ikatan itu, dan menjamin dominasi kehendak untuk

hidup atas kecenderungan untuk berputus asa. Ritus-ritus kematian menjaga kelangsungan

kehidupan manusia dengan mencegah orang-orang yang berdukacita dari penghentian entah

dorongan untuk lari terpukul-panik dari keadaan itu atau sebaliknya, dorongan untuk mengikuti

50

Wirtaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur… 33-34 51

Wirtaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur… 34 52

Wirtaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur… 34

Page 18: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

29

almarhum ke kubur.53

Itu berarti bahwa praktik-praktik ritus kematian sebagai ekspresi cinta

kasih keluarga terhadap orang yang meninggal dan untuk mencegah keluarga dari dorongan

perasaan untuk mengikuti orang yang meninggal ke kubur. Selain itu juga praktik ritus kematian

juga untuk menghindari agar keluarga terhindar dari roh-roh orang yang meninggal atau leluhur

jika tidak melaksanakan ritual tersebut.

Van Gennep berpendapat bahwa memperlakukan kematian sebagai salah satu dari

sejumlah krisis siklus hidup yang memerintahkan ketaatan ritual.54

Itu berarti ritual kematian

menjadi suatu hal yang harus diperhatikan agar keluarga yang mengalami dapat mempersiapakan

diri untuk berkabung dalam periode yang ditentukan. Kematian adalah suatu krisis yang sangat

penting. Kematian menimbulkan dalam diri orang yang berdukacita suatu tanggapan ganda cinta

dan segan, sebuah ambivalensi emosional yang sangat mendalam dari pesona dan ketakutan yang

mengancam baik dasar-dasar psikologis maupun sosial eksistensi manusia. Orang-orang yang

berdukacita ditarik ke arah almarhum oleh rasa kasih sayang kepadanya, disentakkan ke

belakang darinya oleh perubahan yang menakutkan yang ditimbulkan oleh kematian.

Dalam masa perkabungan, semua jenis kegiatan kehidupan secara sosial ditangguhkan

khusus untuk semua mereka yang terkena dampak itu. Waktu perkabungan ditentukan oleh

kedekatan dalam hubungan sosial (misalnya, untuk para janda, kerabat) dan juga mencakup

status sosial yang dimiliki oleh orang yang telah meninggal. Jika seorang yang meninggal

tersebut memiliki status sosial yang tinggi seperti pemimpin dalam masyarakat maka ia juga

mendapat perlakuan dalam hal masa perkabungan.55

Selain itu juga, dalam perlakuan terhadap

upacara pemakaman terhadap seorang yang meninggal juga memiliki perbedaan yaitu tergantung

53

Clifford Geertz, Agama dan Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 96 54

Milton Cohen, Death Ritual:Antropological, Jurnal Antropologi, 1 55

Van Gennep, The Rites of Passage, ( ), 146

Page 19: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

30

pada jenis kelamin, usia, dan posisi sosial dari almarhum.56

Selama masa berkabung, para

pelayat merupakan kelompok yang khusus, yang berada diantara dunia hidup dan dunia orang

mati. Seberapa cepat mereka meninggalkan masa perkabungan tergantung pada kedekatan

hubungan dengan orang yang meninggal. Tampaknya yang termasuk dalam golongan janda dan

duda harus memiliki waktu yang lebih panjang dalam masa perkabungan. Mereka hanya dapat

meninggalkan masa perkabungan melalui ritual yang tepat.57

2.3.2. Simbol

Simbol merupakan kata yang mempunyai arti dan peran yang sangat penting dalam

kehidupan manusia. Signifikansi dalam pernyataan ini ditunjukkan oleh R.M. Maclver,

sebagaimana dikutip oleh Dillistone, yang mengatakan bahwa:

Kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan

memakai simbol… Simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu,

sebuah sarana komunikasi, dan landasan pemahaman bersama… Setiap komunikasi,

dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan simbol-simbol. Masyarakat hampir

tidak mungkin ada tanpa simbol-simbol.58

Berdasarkan etimologinya, kata simbol berasal dari bahasa Yunani symbolon dari kata

symballo yang berarti menarik kesimpulan, memiliki arti dan atau memberi kesan.59

Padanan

yang paling dekat dalam bahasa Latin adalah kata signum atau symbolium (tanda).60

Simbol dan

tanda dianggap sepadan karena masing-masing menunjuk pada sesuatu yang lain di luar dirinya.

Sekalipun begitu, ada beberapa ahli membedakan simbol dan tanda secara terminologis. Dua

diantaranya adalah Paul Tillich dan Victor Turner. Tillich dengan relatif ekstrim membedakan

56

Van Gennep, The Rites of Passage, 146 57

Van Gennep, The Rites of Passage, 147 58

R.M. Maclver, Society, (Macmillan, 1950), 340 dalam W. Dillistone, The Power of Symbols, Ibid., 15. 59

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia, 2000), 1007. 60

Ibid. Ada beberapa kata yang memiliki hubungan dengan kata simbol dalam kerangka semiotika

(khususnya dalam semiotika arsitektur) yakni: ikon (icon) dan indeks (index, indice), Kedua kata ini diartikan: ikon

adalah tanda yang menyerupai objek yang diwakilinya atau menggunakan kesamaan cirri-ciri dengan apa yang

dimaksudkan. Sedangkan indeks merupakan sesuatu yang mempunyai hubungan menyatu dan bersebab akibat

antara signifier (pemberi tanda) dengan signified (pesan yang terkandung). Lih., Agus Dharma “Semiotika dalam

Arsitektur”, http://staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/

Page 20: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

31

kedua hal tersebut. Menurut Paul Tillich, simbol mirip dengan tanda-tanda dalam satu hal yang

menentukan. Simbol dan tanda-tanda juga dipakai untuk menunjuk sesuatu yang melampaui

dirinya sendiri. Seperti contoh lampu merah di sudut jalan bukan menunjuk pada diri lampu

tersebut tetapi menunjuk pada perlunya mobil berhenti.61 Dalam hal ini, simbol dan tanda

memiliki identitas - mereka menjadi penting di luar diri mereka sendiri.62 Perbedaan mendasar

dari tanda dan simbol menurut Paul Tillich, tanda tidak berpartisipasi dengan cara apapun dalam

realitas dan yang mana titik kekuatannya. Sedangkan simbol, meskipun mereka tidak sama

dengan simbol yang ditunjukkannya, namun simbol berpartisipasi dalam makna dan kekuatan.

Perbedaan antara simbol dan tanda adalah partisipasi dalam realitas yang dilambangkan,

karakteristik simbol, dan tidak berpartisipasi dalam menunjuk realitas yang mencirikan tanda.63

Misalnya, huruf-huruf alfabet karena mereka yang ditulis, "A" atau "R" tidak berpartisipasi

dalam suara mereka sendiri; di sisi lain, bendera berpartisipasi dalam kekuasaan raja atau negara

yang berdiri dan yang melambangkan.

Victor Turner mendefinisikan simbol sebagai “sesuatu yang dianggap, dengan

persetujuan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah atau mewakili atau

mengingatkan kembali dengan memiliki kualitas yang sama atau dengan membayangkan dalam

kenyataan dan pikiran.” Perbedaan yang cukup jelas terlihat adalah bahwa simbol itu

merangsang pikiran seseorang, sedang tanda tidak mempunyai sifat merangsang. Simbol

berpartisipasi dalam arti dan kekuatan yang disimbolkan, sedang tanda tidak berpartisipasi dalam

61

Fredik Barth dalam Michael Peterson, Philosophy of Religion, (New York: Oxford University Press,

1996), 358. 62

Peterson, Philosophy of Religion. 358. 63

Peterson, Philosophy of Religion. 358.

Page 21: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

32

realitas yang ditandakan. Perbedaan lain yang menjadi ciri khas simbol adalah cenderung

multivokal (menunjuk pada banyak arti), sedang tanda univokal.64

Dalam pemahaman Victor Turner, simbol memiliki semacam kemiripan (baik itu bersifat

metaphor, maupun bersifat metonomia) antara hal yang ditandai dan maknanya, sedangkan

tanda-tanda tidak memiliki kemiripan seperti itu. Bagi Turner, tanda-tanda hampir selalu ditata

dalam sistem-sistem “tertutup”, sedangkan simbol-simbol (khususnya simbol yang dominan) dari

dirinya sendiri bersifat “terbuka” secara semantis. Makna simbol tidaklah sama sekali tetap.

Makna-makna baru dapat saja ditambahkan oleh kesepakatan kolektif pada wahana-wahana

simbolis yang lama. Lagi pula, menurut Turner, individu-individu dapat menambahkan makna

pribadi pada makna umum sebuah simbol.65

Menurut Turner simbol ritual dilihat dan dipahami sebagai manifestasi yang tampak dari

ritus. Melalui simbol-simbol orang dapat mengungkapkan dan mengalami sesuatu yang

transenden. Simbol ritual bagi Turner tidak hanya berperan sebagai istilah atau abstraksi saja,

tetapi harus dilihat juga sebagai sesuatu yang hidup, terlibat dalam proses hidup sosial, kultural

dan religius. Bagi Turner simbol ritual merupakan faktor dalam tindakan sosial, struktur dan sifat

adalah entitas dinamis. Simbol ini merupakan kekuatan yang independen dengan dirinya sendiri

adalah produk dari pasukan lawan banyak. Konsepsi dinamisme, menghasilkan tindakan, adalah

pusat dari analisis simbolis Turner. Simbol menarik tindakan, menghasilkan emosi yang kuat.66

Simbol mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia. manusia berpikir,

berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis, bahkan tubuh manusia

64

Y.W. Wirtaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor

Turner., 18-19. 65

Dillistone, The Power of Symbols. 114. 66

As Turner states, the ritual symbol is a factor in social action; its structure and properties are those of

dynamic entities. The symbol is an independent force with itself is the product of many opposed forces. This

conception of dynamism, of generating action is central to Turner’s symbolis analysis. Symbol entice action,

generate strong emotions. H. Barbara Boudewijnse, The Ritual studies of Victor Turner: An Antropological

Approach and It’s Psychological Impact, 6

Page 22: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

33

dengan bagian-bagiannya dimuati oleh simbolisme kultural, seksual, moral dan sebagainya.67

Ernest Cassirer membangun penafsirannya terhadap kebudayaan di atas pengakuan bahwa

manusia adalah “animal symbolicum”. Hanya dengan menggunakan simbol-simbol, manusia

dapat mencapai potensi dan tujuan hidupnya yang tertinggi.68

Mengutip pemikiran Victor Turner, Rafael Raga Maran dalam bukunya yang berjudul

Manusia dan Kebudayaan, menuliskan bahwa simbol adalah sesuatu yang dapat

mengekspresikan atau memberikan makna – sebuah salib atau patung Buddha, bendera dan

sebagainya. Banyak simbol berupa objek-objek fisik yang telah memperoleh makna kultural dan

dipergunakan untuk tujuan yang lebih bersifat simbolik dari pada tujuan instrumental. Sebuah

bendera misalnya, hanyalah sepotong kain berwarna namun dihormati dengan suatu upacara

yang khusuk dan bisa menbangkitkan rasa kebanggan, patriotisme, dan persaudaraan. Dalam

masa perang, bendera musuh bisa menimbulkan rasa benci atau amarah yang hebat. Simbol-

simbol seperti bendera atau salib menampakkan kepercayaan, nila-naili dan norma-norma

kultural serta mengandung banyak arti.69

Di dalam kamus umum bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadaminta, simbol adalah

sesuatu seperti tanda: lukisan, perkataan dan sebagainya yang menyatakan sesuatu hal atau

mengandung maksud tertentu, misalnya warna putih sebagai lambang kesucian dan gambar padi

sebagai lambang kemakmuran.70

Dalam bukunya yang berjudul Sekitar Theologia Simbolisme

Sebagai Dasar Komunikasi Kristen, Robert R. Boehlke mendefinisikan simbol sebagai sebuah

kata, objek, barang atau benda, tindakan, peristiwa yang mewakili, menggambarkan,

mengisyaratkan, menandakan, atau menyampaikan sesuatu yang lebih besar, lebih tinggi, lebih

67 Anthony Synnott, Tubuh Sosial- Simbolisme, Diri dan Masyarakat (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), 1. 68 Dillistone, The Power of Symbols. 10

69

Rafael Raga Maran, Manusia & Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: PT Rineka

Cipta, 2007), 47. 70

Budi Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: PT Hanindita, 1984), 10-11.

Page 23: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

34

luhur dari pada objek yang melambangkannya. Misalnya, cincin perkawinan. Cincin perkawinan

bukan sekedar tanda atau perhiasan tetapi menunjuk pada hal yang lebih luhur, yakni kehidupan

perkawinan. Simbol disinonimkan dengan kata lambang. Lambang dibuat oleh kecerdasan

intelek. Lambang mewakili suatu soal tertentu. Seni dan mitos juga berdasarkan pada lambang

yang memiliki sifatnya sendiri yang khas. Pengetahuan, bahasa, seni, dan mitos semuanya

mewakili fungsi-fungsinya sendiri, masing-masing membuat lambangnya sendiri. Lambang

membantu mempertahankan suatu arti dan memungkinkan arti itu digunakan jikalau manusia

menghendakinya.71

Di atas telah diberikan uraian singkat tentang pengertian simbol secara etimologis.

Namun adalah baik pula jika di sini diuraikan beberapa pengertian atau terminologi dari kata

tersebut menurut persepktif dari beberapa ahli untuk memperdalam pemahaman dan

memperkaya wawasan kita terhadap simbol. Beberapa tokoh yang akan diuraikan pandangannya

di sini adalah: A.N. Whitehead, Goethe, Coleridge, Arnold Toynbee, dan Erwin Goodenough.

A.N. Whitehead dalam bukunya Symbolism, sebagaimana yang dikutip oleh Dillistone,

mengungkapkan bahwa:

Pikiran manusia berfungsi secara simbolis apabila beberapa komponen pengalamannya

menggugah kesadaran, kepercayaan dan gambaran mengenai komponen-komponen lain

pengalamannya. Perangkat komponen yang terdahulu adalah “simbol” dan perangkat

komponen yang kemudian membentuk “makna” simbol. Keberfungsian organis yang

menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna itu disebut referensi.72

Berbeda dengan Whitehead, Goethe mengartikan bahwa “dalam simbolisme sejati, yang

khusus mengungkapkan yang universal bukan sebagai impian atau bayangan, melainkan sebagai

wahyu yang hidup, dari yang tidak dapat diduga.73

Singkatnya, bagi Goethe, simbol adalah

71

J. Van Baal, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya, (Jakarta: PT Gramedia, 1988), 44-45. 72

Dillistone, The Power of Symbols. 18. 73 Dillistone, The Power of Symbols. 18.

Page 24: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

35

sesuatu yang menggambarkan yang universal. Sedangkan Coleridge menandaskan bahwa sebuah

simbol sebenarnya berpartisipasi dalam realitas yang membuatnya dapat dimengerti.74

Pandangan Coleridge ini dipahami dalam pembahasan Dillistone sebagai “substansi”, yang mana

sebuah simbol dipahami jauh melebihi sebuah tanda lahir dan terlihat yang arbitrer untuk sebuah

konsepsi yang abstrak; nilanya yang tertinggi terletak dalam suatu substansi bersama dengan ide

yang disajikan.75

Dari sekian konsepsi tentang simbol yang bersifat mistis atau rohani di atas, Arnold

Toynbee memilih untuk melihat simbol dengan memfokuskan diri pada dunia intelek. Bagi

Toynbee, simbol dimaksudkan bukan untuk merepro objeknya, tetapi untuk meneranginya.76

Toynbee, sebagaimana dikutip oleh Dillistone, menyatakan:

Pengujian yang menunjukkan bahwa sebuah simbol berhasil atau gagal bukan karena

simbol merepro atau tidak merepro dengan setia objek yang ditunjuknya; pengujiannya

ialah apakah simbol itu memberikan terang atas objek itu atau mengaburkan pemahaman

kita tentangnya. Simbol yang efektif adalah simbol yang memberi terang, dan simbol

yang efektif merupakan bagian mutlak perlengakapan intelektual kita. Jika sebuah simbol

harus bekerja dengan efektif sebagai alat atau tindakan intelektual-artinya, sebagai

“model”- simbol itu harus disederhanakan dan dipertajam sehingga menjadi seperti

sesuatu yang mirip peta sketsa dari sebuah realitas yang hendak diwakili oleh simbol

sebagai pemandu.77

Pandangan Toynbee tentang simbol ini berbanding terbalik dengan pandangan Erwin

Goodenough. Goodenough mendefinisikan simbol sebagai “barang atau pola yang, apapun

sebabnya, bekerja pada manusia, dan berpengaruh pada manusia, melampaui pengakuan semata-

mata tentang apa yang disajikan secara harfiah dalam bentuk yang diberikan”.78

Menurut

Goodenough, simbol mempunyai maknanya sendiri atau nilainya sendiri dan bersama dengan ini

74 Dillistone, The Power of Symbols. 18 75 Dillistone, The Power of Symbols. 19 76 Dillistone, The Power of Symbols. 19 77 Dillistone, The Power of Symbols. 19 78 Dillistone, The Power of Symbols. 19

Page 25: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

36

simbol pun memiliki kekuatannya untuk menggerakkan kita,79

Singkatnya bagi Goodenough

referensi yang bersifat intelektual semata-mata tidak diterima, karena kekuatan simbol itu

bersifat emosif, yang merangsang orang untuk bertindak; dan perihal inilah yang dipandang

sebagai ciri hakikinya.80

Pada bagian sebelumnnya telah dijelaskan tentang pengertian simbol dan selanjutnya akan

dibahas mengenai fungsi simbol. Fungsi pertama yang tersirat dalam simbol adalah fungsi

perwakilan. Simbol merupakan sesuatu yang tidak berdiri sendiri, namun ada kekuatan dan

makna yang berpartisipasi didalamnya. Ini adalah fungsi dasar dari setiap simbol, dan oleh

karena itu, jika kata yang belum digunakan dalam banyak cara lainnya, salah satu bisa mungkin

bahkan menerjemahkan "simbolis" sebagai " perwakilan," tapi untuk beberapa alasan yang tidak

memungkinkan.81 Fungsi utama dari simbol yaitu pembukaan tingkat realitas yang dinyatakan

tersembunyi dan tidak dapat dipahami dengan cara yang lain. 82 Setiap simbol membuka tingkat

realitas non-simbolik yang berbicara tidak memadai. Contoh yang dipakai adalah fungsi seni

untuk membuka realitas seperti puisi, seni visual dan musik.

Kesimpulan

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat diaspora adalah masyarakat yang

berpindah dari suatu negara ke negara lain dengan tujuan mencari pekerjaan, menetap atau

paksaan. Ketika masyarakat diaspora itu berpindah mereka juga membawa identitas dari negera

asalnya, baik itu identitas secara pribadi maupun sosial. Dalam komunitas masyarakat diaspora

tersebut mereka tetap memelihara budaya dari negara asal mereka sebagai wujud mereka tetap

79 Dillistone, The Power of Symbols. 19 80 Dillistone, The Power of Symbols. 19 81

Peterson, Philosopy of Religion. 359. 82

Peterson, Philosopy of Religion. 359.

Page 26: BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOLrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10544/2/T1_752015025_BAB II... · peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal

37

terhubung dengan negara asal mereka. Itu berarti bahwa masyarakat diaspora tetap menjaga

identitas kultural sekalipun mereka jauh dari negara asal mereka.

Dalam menjaga identitas kulutural masyarakat diaspora adalah dengan tetap

melaksanakan berbagai ritual baik itu di tempat diaspora maupun di tempat asal masyarakat

diaspora. Ritual-ritual itu dapat dilaksanakan baik ketika seseorang masyarakat diaspora selama

perjalananan kehidupan manusia maupun pada peristiwa kematian. Ritual yang dilaksanakan

pada waktu kematian dapat dilakukan oleh keluarga dari masyarakat diaspora. Dalam

pelaksanaan setiap ritual tentunya melibatkan simbol-simbol. Simbol akan tetap hidup jika ia

tetap digunakan dalam suatu ritual.