bab ii landasan teori -...
TRANSCRIPT
11
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Prestasi Belajar Matematika
Prestasi belajar matematika di dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mengetahui
pencapaian kompetensi. Boyatzis (2008) mengemu-
kakan bahwa kompetensi merupakan karakteristik-
karakteristik dasar seseorang yang menuntun atau
menyebabkan keefektifan dan kinerja yang menonjol
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kompetensi).
Menurut Cowell (1988), kompetensi diartikan
sebagai suatu keterampilan/kemahiran yang bersifat
aktif. Kompetensi dikategorikan mulai dari tingkat
sederhana atau dasar hingga lebih sulit atau kompleks
yang pada gilirannya akan berhubungan dengan
proses penyusunan bahan atau pengalaman belajar.
Cowell berpendapat kompetensi menjadi satu kesatu-
an utuh yang menggambarkan potensi pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang dinilai, yang terkait
dengan profesi tertentu berkenaan dengan bagian-
bagian yang dapat diaktualisasikan dan diwujudkan
dalam bentuk tindakan atau kinerja untuk menjalan-
kan suatu profesi. (http://digilib.its.ac.id/ public/ITS-
Undergraduate-12394- Chapter1.pdf)
12
Prestasi belajar matematika dalam penelitian ini
diperoleh melalui proses yang dimulai dari guru mem-
beri tugas individu, belajar kelompok, kuis, sampai
mengerjakan posttest, sebab pembelajaran yang digu-
nakan adalah kooperatif model Team Accelerated
Instruction. Prestasi belajar matematika dalam peneli-
tian ini merupakan pengukuran dengan sistem berke-
lanjutan. Pengukuran prestasi belajar matematika
menggunakan instrumen tes. Instrumen penelitian
yang digunakan adalah tes prestasi yang disusun sen-
diri oleh peneliti yang digunakan untuk mengetahui
perbedaan prestasi belajar dari kelas eksperimen
dengan pembelajaran kooperatif model Team Accelerat-
ed Instruction dan kelas kontrol yang diajar dengan
pembelajaran tradisional. Instrumen tes ini telah diuji
tingkat validitas dan reliabilitasnya. Dengan demikian
prestasi belajar matematika adalah hasil kompetensi
yang dicapai siswa setelah mengikuti proses belajar
mengajar matematika selang waktu tertentu. Prestasi
belajar diperoleh dari nilai tes akhir yang diberikan
setelah satu kompetensi dasar tercapai.
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pres-
tasi Belajar Matematika
Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi bela-
jar matematika dalam penelitian ini sesuai dengan ciri-
ciri kegiatan belajar mengajar dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan. Pengertian belajar dalam
13
kegiatan belajar mengajar dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan adalah membangun gagasan yang
akibat pada perilaku mengajar adalah menciptakan
suasana berpikir, memancing siswa mengungkapkan
gagasan, mentolerir bila ada gagasan yang salah
kemudian mempertanyakan dan membahas gagasan
yang benar (Muslich,2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi bela-
jar matematika yang sesuai dengan ciri-ciri kegiatan
belajar mengajar dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan adalah:
1. Mengalami dan mengeksplorasi yang berarti meli-
batkan berbagai indra: penglihatan, penciuman,
pendengaran, peraba, dan perasa. Hal ini akan
dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang
suatu konsep dan meningkatkan daya bertahan
pemahaman tersebut dalam pikiran siswa, sesuai
dengan pepatah yang mengatakan saya dengar
saya lupa, saya lihat saya ingat, saya kerjakan
saya mengerti;
2. Interaksi maksudnya adalah berinteraksi dengan
teman dan guru memungkinkan siswa memper-
baiki kesalahan atau memperkaya gagasan yang
dibangun. Di samping itu, interaksi dapat meru-
pakan wahana pengembangan kemampuan sosial
siswa seperti berkomunikasi, menyanggah panda-
pat, dan menyampaikan pendapat secara santun.
14
Interaksi dapat diciptakan oleh guru dengan cara
merancang kegiatan belajar bagi siswa secara
berkelompok, siswa saling menjelaskan kepada
temannya tentang temuannya, atau guru mengem-
balikan pertanyaan siswa kepada siswa lain.
3. Komunikasi. Siswa diberi kesempatan untuk
mengkomunikasikan gagasan-gagasannya sehing-
ga dapat diketahui gagasan yang benar atau yang
salah. Guru perlu mengetahui gagasan apa yang
ada dibenak siswa agar siswa dapat mengembang-
kannya bila gagasannya benar dan dapat memper-
baiki bila gagasannya salah. Hal pokok yang perlu
disadari guru adalah ekspresi gagasan merupakan
kebutuhan mendasar manusia. Oleh sebab itu
pemajangan hasil karya siswa, meminta pendapat
siswa, tidak mentertawakan pendapat siswa sekali-
pun lucu, merupakan cara untuk dapat menghi-
dupkan kegiatan komunikasi;
4. Refleksi. Siswa perlu dibiasakan untuk merenung-
kan kembali apa yang dipikirkan dan dilakukan-
nya agar mereka terlatih menilai diri sendiri dan
tidak tergantung pada orang lain. Kegiatan refleksi
dapat dibantu guru dengan memberi pertanyaan
setelah satu atau beberapa konsep dipelajari.
Jawaban terhadap pertanyaan dapat dijadikan
bahan pertimbangan guru dalam membimbing
siswa untuk belajar selanjutnya, dan jawaban
dapat sekaligus menjadi pelatihan bagi siswa
15
dalam mengungkapkan pikiran dan perasaannya
serta menilai diri sendiri (Muslich, 2007).
Keempat faktor yang mempengaruhi prestasi
belajar matematika yang sesuai dengan ciri-ciri kegi-
atan belajar mengajar dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) yaitu siswa mengalami kegi-
atan secara langsung, bereksplorasi, berinteraksi deng
an teman dan gurunya, berkomunikasi tentang apa
yang mereka peroleh dari belajarnya, dan melakukan
refleksi tentang apa yang dipelajari, meru-pakan hal
yang sebaiknya terjadi dalam setiap KBM. Dengan cara
demikianlah hasil belajar yang berupa kompetensi
dasar akan tercapai secara maksimal (Muslich, 2007)
2.3 Pengukuran Prestasi Belajar Matematika
Pengukuran prestasi belajar matematika meng-
gunakan instrumen tes. Instrumen penelitian yang
digunakan adalah tes prestasi yang disusun sendiri
oleh peneliti yang digunakan untuk mengetahui perbe-
daan prestasi belajar dari kelas eksperimen dengan
pembelajaran kooperatif model Team Accelerated
Instruction dan kelas kontrol yang diajar dengan
pembelajaran tradisional. Penyusunan tes disusun
dengan memperhatikan kisi-kisi soal yang mengeva-
luasi indikator pencapaian kompetensi dan materi
pelajaran yang dipilih sesuai dengan silabus pembela-
jaran yang telah disusun oleh satuan pendidikan pada
16
mata pelajaran matematika kelas 5 smester 2 serta
berpedoman pada buku sumber mata pelajaran mate-
matika.
Penilaian tes prestasi berjumlah 30 item yang
meliputi keseluruhan materi pokok. Sebanyak 5 soal
mengevaluasi indikator menjumlahkan pecahan ber-
penyebut tidak sama, 5 item mengevaluasi indikator
menjumlahkan pecahan biasa dengan pecahan cam-
puran, 6 item mengevaluasi indikator menjumlahkan
pecahan campuran dengan persen dan desimal serta
campuran, 5 item mengevaluasi indikator menjum-
lahkan pecahan biasa dengan persen dan pecahan
desimal, dan 5 item mengevaluasi indikator menjum-
lahkan tiga pecahan berpenyebut tidak sama secara
berturut-turut dan 4 item mengevaluasi indikator
mengurangkan pecahan dari bilangan asli. Penilaian
tiap item diberi bobot 1 poin, sehingga keseluruhan
akan berjumlah 30 poin, dan nilai diperoleh dengan
cara item benar kali bobot dibagi 3.
Jumlah siswa kelas 5 SDN Duren 01 sebagai
kelas eksperimen ada 27 siswa. Pengelompokan dibuat
menjadi 6 kelompok, maka ada 3 kelompok dengan
jumlah anggota 4 siswa dan 3 kelompok dengan
jumlah anggota 5 siswa. Penelitian ini memilih satu
materi pokok yaitu menjumlahkan dan mengurangkan
berbagai bentuk pecahan yang terdiri dari 5 indikator
yaitu: menjumlahkan pecahan berpenyebut tidak
sama, menjumlahkan pecahan biasa dengan pecahan
17
campuran, menjumlahkan pecahan campuran dengan
persen dan desimal serta campuran, menjumlahkan
pecahan biasa dengan persen dan pecahan desimal,
dan menjumlahkan tiga pecahan berpenyebut tidak
sama secara berturut-turut. Setiap indikator membu-
tuhkan satu kali tatap muka, sehingga diperlukan 7
kali tatap muka. Satu kali tatap muka untuk evaluasi
materi pokok.
2.4 Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif pertama kali dikem-
bangkan untuk mengurangi kompetisi di sekolah-
sekolah Amerika. Pembelajaran kooperatif menguta-
makan kerja sama antar siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran, digunakan untuk mengajarkan materi
yang komplek, dan yang lebih penting lagi dapat mem-
bantu guru untuk mencapai tujuan pembelajaran yang
berdimensi sosial dan hubungan antar manusia.
Pembelajaran kooperatif ditemukan oleh David
Johnson dan Roger Johson dari University of
Minnesuta yang kemudian dikembangkan oleh para
ahli seperti Robert E. Slavin, Elliot Aranson, Shalomo
Sharan dan Yoel Sharan, Spencer Kagan. Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan teori dari Robert
E. Slavin sebab dalam penelitian menggunakan pem-
belajaran kooperatif model Team Accelerated Instructi-
on yang dikembang-kan oleh Robert E. Slavin.
18
2.4.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Menurut Slavin (1995) pembelajaran kooperatif
adalah pembelajaran yang dilakukan secara berkelom-
pok, siswa dalam satu kelas dijadikan kelompok-
kelompok kecil yang terdiri dari 4 sampai 6 orang
untuk memahami konsep yang difasilitasi oleh guru.
Pembelajaran kooperatif adalah strategi pembelajaran
dengan seting kelompok-kelompok kecil dengan mem-
perhatikan keberagaman anggota kelompok sebagai
wadah siswa bekerjasama dan memecahkan suatu
masalah melalui interaksi sosial dengan teman seba-
yanya, memberikan kesempatan pada peserta didik
untuk mempelajari sesuatu dengan baik pada waktu
yang bersamaan dan ia menjadi nara sumber bagi
teman yang lain. Jadi Pembelajaran kooperatif meru-
pakan model pembelajaran yang mengutamakan kerja-
sama diantara siswa untuk mencapai tujuan pembe-
lajaran.
Model pembelajaran yang telah dikenal sejak
lama, pada saat guru mendorong para siswa untuk
melakukan kerja sama dalam kegiatan-kegiatan ter-
tentu seperti diskusi atau pengajaran oleh teman
sebaya. Dalam proses belajar mengajar guru tidak lagi
mendominasi, namun siswa dilibatkan untuk berbagi
informasi dengan siswa yang lain dan saling belajar
mengajar sesama mereka.
19
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu
bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham kon-
struktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan metode
belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelom-
pok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam
menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa (ang-
gota kelompok) harus saling bekerja sama dan saling
membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam
pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum
selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum
menguasai bahan pelajaran.
Pembelajaran kooperatif merupakan strategi
pembelajaran yang mendorong siswa aktif menemukan
sendiri pengetahuannya melalui keterampilan proses.
Siswa belajar dalam kelompok kecil yang kemampuan-
nya heterogen. Dalam menyelesaikan tugas kelompok
setiap anggota saling bekerja sama dan saling mem-
bantu dalam memahami suatu bahan ajar. Agar siswa
dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompok-
nya maka mereka perlu diajari keterampilan-keteram-
pilan kooperatif sebagai berikut: (1) Berada dalam
tugas. Berada dalam tugas maksudnya adalah tetap
berada dalam kerja kelompok, menyelesaikan tugas
yang menjadi tanggung jawabnya sampai selesai dan
bekerjasama dalam kelompok sesuai dengan kesepa-
katan kelompok, ada kedisiplinan individu dalam
kelompok; (2) Mengambil giliran dan berbagi tugas.
Mengambil giliran dan berbagi tugas yaitu bersedia
20
menerima tugas dan membantu menyelesaikan tugas;
(3) Mendorong partisipasi. Mendorong partisipasi yaitu
memotivasi teman sekelompok untuk memberikan
kontribusi tugas kelompok; (4) Mendengarkan dengan
aktif. Mendengarkan dengan aktif maksudnya adalah
mendengarkan dan menyerap informasi yang disam-
paikan teman dan menghargai pendapat teman. Hal
ini penting untuk memberikan perhatian pada yang
sedang berbicara sehingga anggota kelompok yang
menjadi pembicara akan merasa senang dan menum-
buh kembangkan motivasi belajar bagi dirinya sendiri
dan yang lainnya; (5) Bertanya. Menanyakan informasi
atau penjelasan lebih lanjut dari teman sekelompok
kalau perlu didiskusikan, apabila tetap tidak ada
pemecahan tiap anggota wajib mencari pustaka yang
mendukung, jika tetap tidak terselesaikan baru ber-
tanya kepada guru.
2.4.2 Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Dalam pembelajaran kooperatif, dua atau lebih
individu saling tergantung satu sama lain untuk men-
capai suatu tujuan bersama. Menurut Slavin dalam
Ibrahim dkk (2000) siswa yakin bahwa tujuan mereka
akan tercapai jika dan hanya jika siswa lainnya juga
mencapai tujuan tersebut. Untuk itu setiap anggota
berkelompok bertanggung jawab atas keberhasilan ke-
lompoknya. Siswa yang bekerja dalam situasi pembe-
lajaran kooperatif didorong untuk bekerjasama pada
21
suatu tugas bersama dan mereka harus mengkoor-
dinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugasnya.
Menurut Slavin dalam Ibrahim, dkk (2000) terda-
pat tiga tujuan Instruksional penting yang dapat dica-
pai dengan pembelajaran kooperatif yaitu hasil belajar
akademik, penerimaan terhadap keragaman, pengem-
bangan keterampilan sosial. Dalam pembelajaran ko-
operatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial,
juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas
akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat
bahwa model ini unggul dalam membantu siswa me-
mahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model
ini telah menunjukkan bahwa model struktur peng-
hargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai
siswa pada belajar akademik dan perubahan norma
yang berhubungan dengan hasil belajar. Pembelajaran
kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa
kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja
bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik
(Ibrahim, 2000).
Pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk
mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran
penting. Menurut Depdiknas tujuan pertama pembela-
jaran kooperatif, yaitu meningkatkan hasil akademik,
dengan meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas
akademiknya. Siswa yang lebih mampu akan menjadi
nara sumber bagi siswa yang kurang mampu, yang
memiliki orientasi dan bahasa yang sama. Sedangkan
22
tujuan yang kedua, pembelajaran kooperatif memberi
peluang agar siswa dapat menerima teman-temannya
yang mempunyai berbagai perbedaan latar belakang.
Perbedaan tersebut antara lain perbedaan suku,
agama, kemampuan akademik, dan tingkat sosial.
Tujuan penting ketiga dari pembelajaran kooperatif
ialah untuk mengembangkan keterampilan sosial
siswa. Keterampilan sosial yang dimaksud antara lain,
berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat
orang lain, memancing teman untuk bertanya, mau
menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelom-
pok dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Slavin. http://hipotes.wordpress.
com/2008/05/10/metode-pembelajaran-kooperatif/
Menurut Slavin dalam Isjoni (2009) tujuan uta-
ma dalam penerapan pembelajaran kooperatif adalah
agar peserta didik dapat belajar secara berkelompok
bersama teman-temannya dengan cara saling meng-
hargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada
orang lain untuk mengemukakan gagasannya dengan
menyampaikan pendapat mereka secara berkelompok.
Dalam penelitian Hasman (2008) dituliskan
bahwa pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif mempunyai tiga tujuan yang
hendak dicapai: (1) Hasil belajar akademik. Pembela-
jaran kooperatif bertujuan untuk meningkatkan kiner-
ja siswa dalam tugas-tugas akademik. Banyak ahli
yang berpendapat bahwa model pembelajaran koope-
23
ratif unggul dalam membantu siswa untuk memahami
konsep-konsep yang sulit; (2) Pengakuan adanya kera-
gaman. Pembelajaran kooperatif bertujuan agar siswa
dapat menerima teman-temannya yang mempunyai
berbagai macam perbedaan latar belakang. Perbedaan
tersebut antara lain perbedaan suku, agama, kemam-
puan akademik dan tingkat sosial; (3) Pengembangan
keterampilan sosial. Pembelajaran kooperatif bertuju-
an untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa.
Keterampilan sosial yang dimaksud dalam pembela-
jaran kooperatif adalah berbagi tugas, aktif bertanya,
menghargai pendapat orang lain, mau menjelaskan ide
atau pendapat dan bekerja sama dalam kelompok.
2.4.3 Unsur-unsur Pembelajaran kooperatif
Model pembelajaran kooperatif tidak sama
dengan sekedar belajar dalam kelompok. Ada unsur-
unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membeda-
kannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan
secara asal-asalan. Pelaksanaan prosedur pembela-
jaran kooperatif dengan benar akan memungkinkan
pendidik mengelola kelas dengan efektif. Untuk men-
capai hasil yang maksimal, lima unsur dalam model
pembelajaran kooperatif harus diterapkan. Kelima
unsur tersebut yaitu: (1) saling ketergantungan positif;
(2) tanggung jawab perseorangan; (3) tatap muka;
(4) komunikasi antar anggota; (5) evaluasi proses
kelompok. Untuk memenuhi kelima unsur tersebut
24
dibutuhkan proses yang melibatkan niat dan kiat para
anggota kelompok, para siswa harus mempunyai niat
untuk bekerja sama dengan yang lainnya dalam kegi-
atan belajar kelompok yang akan saling menguntung-
kan. Selain niat, siswa juga harus menguasai kiat-kiat
berinteraksi dan bekerja sama dengan orang lain.
Salah satu cara untuk mengembangkan niat dan kerja
sama antar siswa dalam pembelajaran kooperatif ada-
lah melalui pengelolaan kelas. Ada tiga hal penting
yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas
dalam pembelajaran kooperatif, yakni pengelompokan,
semangat kerja sama dan penataan ruang kelas.
2.4.4 Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif
Menurut Slavin (1995) pembelajaran kooperatif
adalah pembelajaran yang dilakukan secara berke-
lompok, siswa dalam satu kelas dijadikan kelompok-
kelompok kecil yang terdiri dari empat sampai enam
orang untuk memahami konsep yang difasilitasi oleh
guru. Model pembelajaran kooperatif adalah model
pembelajaran dengan setting kelompok-kelompok kecil
dengan memperhatikan keberagaman anggota
kelompok sebagai wadah siswa bekerjasama dan
memecahkan suatu masalah melalui interaksi sosial
dengan teman sebayanya, memberikan kesempatan
pada siswa untuk mempelajari sesuatu dengan baik
pada waktu yang bersamaan dan ia menjadi nara
sumber bagi teman yang lain.
25
Pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri: (1)
untuk menuntaskan materi belajarnya, siswa belajar
dalam kelompok secara kooperatif; (2) kelompok di-
bentuk dari siswa-siswa yang memiliki kemampuan
tinggi, sedang dan rendah; (3) jika dalam kelas
terdapat siswa-siswa yang terdiri dari beberapa ras,
suku, budaya jenis kelamin yang berbeda, maka
diupayakan agar dalam tiap kelompok terdiri dari ras,
suku, budaya, jenis kelamin yang berbeda pula; dan
(4) penghargaan lebih diutamakan pada kerja kelom-
pok dari pada perorangan.
2.4.5 Landasan Teori Pembelajaran Kooperatif
Siswa yang bekerja di dalam kelompok koope-
ratif dapat belajar lebih banyak dari pada yang diatur
dalam kelas-kelas tradisional. Dalam penelitiannya
Slavin dalam Yusron (2005) mengungkapkan adanya
variasi yang sangat banyak dari model-model teoritis
yang dapat menjelaskan keunggulan pembelajaran
kooperatif. Teori-teori tersebut terbagi menjadi dua
kategori utama yaitu Motivasi dan kognitif.
Teori Motivasi, menurut Slavin dalam Yusron
(2005) perspektif motivasional pada pembelajaran
kooperatif terutama memfokuskan pada penghargaan
atau struktur tujuan dimana para siswa bekerja.
Struktur tujuan tersebut adalah: (1) kooperatif, di
mana tujuan dari tiap individu memberi kontribusi
pada pencapaian tujuan anggota yang lain, (2) kompe-
26
titif, dimana tujuan tiap individu menghalangi penca-
paian tujuan anggota lainnya: (3) individualistik, di
mana tujuan dari tiap individu tidak memiliki kon-
sekuensi apapun bagi pencapaian tujuan anggota
lainnya.
Dari perspektif motivasional Slavin dan Johnson
dalam Yusron (2005) mengemukakan bahwa struktur
tujuan kooperatif menciptakan sebuah situasi dimana
satu-satunya cara anggota kelompok bisa meraih
tujuan pribadi mereka adalah jika kelompok mereka
bisa sukses. Oleh karena itu, untuk meraih tujuan
personal mereka, anggota kelompok harus membantu
teman satu timnya untuk melakukan apa pun guna
membuat kelompok mereka berhasil, dan mungkin
yang lebih penting, mendorong anggota satu kelom-
poknya untuk melakukan usaha maksimal. Dengan
kata lain, penghargaan kelompok yang didasarkan
pada kinerja kelompok menciptakan struktur penghar-
gaan interpersonal dimana anggota kelompok akan
memberikan atau menghalangi pemicu-pemicu sosial
dalam merespon usaha-usaha yang berhubungan
dengan tugas kelompok. Para pencetus teori motivasi-
onal mengkritik terhadap pengaturan kelas tradisional
bahwa penilaian yang kompetitif dan sistem penghar-
gaan informal di kelas menciptakan norma-norma di
antara mereka yang berlawanan dengan usaha-usaha
akademik.
27
Dalam kajiannya Slavin telah menemukan bahwa
ketika para siswa bekerja bersama untuk meraih
sebuah tujuan kelompok, membuat mereka mengeks-
presikan norma-norma yang baik dalam melakukan
apapun yang diperlukan untuk keberhasilan kelom-
pok. Slavin dkk menemukan bahwa para siswa di
dalam kelas-kelas pembelajaran kooperatif merasa
bahwa teman sekelas mereka ingin agar mereka bela-
jar. Dalam kelompok kooperatif, pembelajaran menjadi
sebuah aktivitas yang bisa membuat para siswa lebih
unggul di antara teman sebayanya. Siswa dalam ke-
lompok kooperatif yang berhasil meraih prestasi
membuktikan status sosial mereka di dalam kelas,
sedangkan di dalam kelas-kelas tradisional siswa-
siswa seperti ini kehilangan status. Jelasnya tujuan
pembelajaran kooperatif menciptakan norma-norma
yang pro-akademik di antara para siswa, dan norma-
norma pro-akademik memiliki pengaruh yang amat
penting bagi pencapaian prestasi siswa (Yusron, 2005)
Slavin (dalam Yusron, 2005) menjelaskan teori
motivasi dalam pembelajaran kooperatif menekankan
derajat perubahan tujuan kooperatif mengubah insen-
tif bagi siswa untuk melakukan tugas-tugas akademik,
sedang teori kognitif menekankan pada pengaruh dari
kerja sama itu sendiri (apakah kelompok tersebut
mencoba meraih tujuan kelompok ataupun tidak).
Teori kognitif terbagi menjadi dua kategori utama
yaitu: teori pembangunan dan teori elaborasi kognitif.
28
Asumsi dasar dari teori pembangunan adalah bahwa
interaksi di antara para siswa berkaitan dengan tugas-
tugas yang sesuai meningkatkan penguasaan mereka
terhadap konsep kritik. Teori Pembangunan didefinisi-
kan sebagai wilayah pembangunan paling dekat seba-
gai jarak antara level pembangunan aktual seperti
yang di tentukan oleh penyelesaian masalah secara
independen dan level pembangunan potensial seperti
yang ditentukan melalui penyelesaian masalah dengan
bantuan dari orang dewasa atau dalam kolaborasi
dengan teman yang lebih mampu (Yusron, 2005).
Lebih lanjut dituliskan oleh Slavin dalam Yusron
(2005) bahwa para peneliti menyerukan untuk me-
ningkatkan penggunaan aktivitas kooperatif di seko-
lah. Dengan alasan bahwa interaksi di antara siswa
dalam tugas-tugas pembelajaran akan terjadi dengan
sendirinya untuk mengembangkan pencapaian presta-
si siswa.
Slavin (dalam Yusron, 2005) menjelaskan bahwa
apa yang disebut sebagai perspektif elaborasi kognitif
berbeda dengan perspektif elaborasi dari sudut
pandang pembangunan. Penelitian dalam bidang psi-
kologi kognitif telah menemukan bahwa jika informasi
ingin dipertahankan di dalam memori dan berhubung-
an dengan informasi yang sudah ada di dalam memori,
orang yang belajar harus terlibat dalam semacam
pengaturan kembali kognitif, atau elaborasi dari
29
materi. Salah satu cara elaborasi yang paling efektif
adalah menjelaskan materinya kepada orang lain.
Penelitian terhadap pengajaran oleh teman,
telah lama menemukan adanya keuntungan pencapai-
an yang diterima oleh pengajar maupun yang diajar.
Dan melalui serangkaian studi para mahasiswa yang
bekerja dalam struktur, rancangan kooperatif dapat
mempelajari materi teknis atau prosedur jauh lebih
baik dari pada apabila mereka bekerja sendiri-sendiri.
Baik teori motivasi maupun kognitif mendukung man-
faat pencapaian dari pembelajaran kooperatif. Ada
satu potensi penghalang yang penting untuk dihindari
jika ingin pembelajaran kooperatif berjalan efektif
secara instruksional. Jika tidak dirancang dengan baik
dan benar, metode kooperatif dapat memicu muncul-
nya “pengendara bebas”, atau para pembonceng, di
mana sebagian anggota kelompok melakukan semua
atau sebagian besar dari seluruh pekerjaan (pembela-
jaran) sementara yang lainnya hanya ikut mendom-
pleng saja.
Menurut Slavin dalam Yusron (2005) ada lima
model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan
dan diteliti secara ekstensif.
1. STAD (Student Team Achievement Divisions)
Model STAD merupakan metode yang paling
mudah dan merupakan cara terbaik untuk memulai
pengajaran dengan CL. Model ini menekankan pada
30
kemajuan individu untuk memberi konstribusi dalam
kelompok. Model STAD dikembangkan Slavin, dan
merupakan salah satu pembelajaran kooperatif yang
menekankan pada aktivitas dan interaksi di antara
siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu
dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai
prestasi yang maksimal (Isjoni, 2009). Pembelajaran
kooperatif tipe STAD (Student Team Achievement
Division), ini dikembangkan pertama kali oleh Robert
Slavin dan teman-temannya di Universitas John
Hopkins dan merupakan model pembelajaran koope-
ratif paling sederhana (Ibrahim dkk, 2000). Masing-
masing kelompok memiliki kemampuan akademik
yang heterogen sehingga dalam satu kelompok akan
terdapat satu siswa berkemampuan tinggi, dua orang
kemampuan sedang dan satu siswa lagi berkemam-
puan rendah.
2. TGT (Teams Games Tournaments)
Model TGT hampir sama dengan STAD namun
penekannya pada permainan. Kooperatif model TGT
menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok bela-
jar yang beranggotakan 5 sampai 6 siswa yang memi-
liki kemampuan, jenis kelamin, dan suku atau ras
yang berbeda.
3. Jigsaw II
31
Jigsaw telah dikembangkan dan diuji coba oleh
Elliot Aronson dkk di Universitas Texas dan kemudian
diadaptasi oleh Slavin dkk di Universitas Jhon
Hopkins. Dalam terapan tipe jigsaw, siswa dibagi
menjadi berkelompok dengan lima atau enam anggota
kelompok belajar heterogen. Materi pelajaran diberikan
pada siswa dalam bentuk teks. Setiap anggota ber-
tanggungjawab untuk mempelajari bagian tertentu
bahan yang diberikan. Anggota dari kelompok yang
lain mendapat tugas topik yang sama berkumpul dan
berdiskusi tentang topik tersebut. Kelompok ini dise-
but dengan kelompok ahli (Ibrahim, dkk. 2000 ).
4. Team Accelerated Instruction atau Team-
Assisted-Individualization
Pembelajaran kooperatif model Team Accelerated
Instruction ini dikembangkan oleh Slavin. Model ini
mengkombinasikan keunggulan pembelajaran koope-
ratif dan pembelajaran individual. Model ini dirancang
untuk mengatasi kesulitan belajar siswa secara
individual. Oleh karena itu kegiatan pembelajarannya
lebih banyak digunakan untuk pemecahan masalah.
Ciri khas pada model Team Accelerated Instruction ini
adalah setiap siswa secara individual belajar materi
pembelajaran yang sudah dipersiapkan oleh guru.
Model Team Accelerated Instruction berfokus pada
siswa untuk belajar dalam kelompok dengan lembar
32
kerja yang disediakan. Kelompok yang telah mengu-
asai materi boleh melanjutkan materi berikutnya.
5. CIRC (Cooperative Integrated Reading and
Composition)
Model CIRC merupakan program komprehensif
untuk mengajarkan membaca dan menulis pada kelas
2 – 8. Dalam CIRC, guru menggunakan novel atau
bahan bacaan yang berisi latihan soal dan cerita. Para
siswa ditugaskan untuk berpasangan dalam tim mere-
ka untuk belajar dalam serangkaian kegiatan yang
bersifat kognitif, termasuk membacakan cerita satu
sama lain, membuat prediksi mengenai bagaimana
akhir dari sebuah cerita narasi, saling merangkum
cerita satu sama lain, menulis tanggapan terhadap
cerita, dan melatih pengucapan, penerimaan dan kosa
kata. Para siswa juga belajar dalam timnya untuk
menguasai gagasan utama dan kemampuan kompre-
hensif lainnya.
2.5 Pembelajaran Kooperatif Model Team
Accelerated Instruction
Pembelajaran kooperatif model Team Accelerated
Instruction dikembangkan oleh Slavin (1995). Pembe-
lajaran ini mengkombinasikan keunggulan pembela-
jaran kooperatif dan pembelajaran individual. Pembe-
lajaran kooperatif model Team Accelerated Instruction
33
dirancang khusus untuk mengajarkan matematika
kepada siswa kelas 3 – 6. Model ini dirancang untuk
mengatasi kesulitan belajar siswa secara individual
untuk pemecahan masalah. Ciri khas model Team
Accelerated Instruction adalah setiap siswa secara
individual belajar materi pembelajaran yang sudah di-
persiapkan oleh guru. Hasil belajar individual dibawa
ke kelompok untuk didiskusikan, dibahas oleh
anggota kelompok, dan semua anggota kelompok
bertanggungjawab atas keseluruhan jawaban sebagai
tanggung jawab bersama (Yusron, 2005).
Team Accelerated Instruction merupakan model
pembelajaran yang membentuk kelompok kecil yang
heterogen dengan latar belakang cara berpikir yang
berbeda untuk saling membantu terhadap siswa lain
yang membutuhkan bantuan (Suyitno, 2002). Diterap-
kan bimbingan antar teman yaitu siswa yang pandai
bertanggung jawab terhadap siswa yang lemah dan
meningkatkan partisipasi siswa dalam kelompok kecil.
Siswa yang pandai dapat mengembangkan kemam-
puan dan keterampilannya, sedangkan siswa yang
lemah dapat terbantu menyelesaikan permasalahan
yang dihadapi. (http://matematikacerdas.wordpress.
com/2010/01/28model-pembelajaran-kooperetif-tipe-
tai-team-assisted-individualization/).
Model pembelajaran Team Accelerated Instruction,
siswa ditempatkan dalam kelompok kecil (4 sampai 5
siswa) yang heterogen dan selanjutnya diikuti dengan
34
pemberian bantuan secara individu bagi siswa yang
memerlukannya. Melalui pembelajaran kelompok,
diharapkan para siswa dapat meningkatkan pikiran
kritisnya, kreatif, dan menumbuhkan rasa sosial yang
tinggi. Sebelum dibentuk kelompok, siswa diajarkan
bagaimana bekerja sama dalam suatu kelompok.
Siswa diajari menjadi pendengar yang baik, dapat
memberikan penjelasan kepada teman sekelompok,
berdiskusi, mendorong teman lain untuk bekerja
sama, dan menghargai pendapat teman lain (Yusron,
2005).
Ciri pembelajaran kooperatif model Team
Accelerated Instruction adalah kemampuan siswa
untuk bekerja sama dalam kelompok memiliki tugas
setara. Oleh karena itu, pada pembelajaran kooperatif
keberhasilan kelompok sangat diperhatikan, maka
siswa yang pandai dapat mengembangkan kemampu-
an dan keterampilannya, sedangkan siswa yang
kurang pandai akan terbantu dalam memahami per-
masalahan yang diselesaikan dalam kelompok tersebut
(Isjoni, 2009).
Menurut Slavin (1995) salah satu metode pem-
belajaran untuk mengantisipasi kurangnya aktivitas
belajar siswa dalam pembelajaran matematika adalah
dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif
model Team Accelerated Instruction. Pemilihan pembe-
lajaran kooperatif model Team Accelerated Instruction
dalam kegiatan belajar mengajar dimaksudkan untuk:
35
(1) Membatasi keterlibatan guru dalam pemeriksaan
dan pengelolaan rutin; (2) Belajar melakukan kerja
sama dengan kelompok belajar; (3) Meningkatkan akti-
vitas belajar siswa dalam kegiatan belajar mengajar
dalam sebuah tim; (4) Meningkatkan partisipasi siswa
untuk dapat menguasai materi dengan cara mengelola
kemampuan individualnya dalam sebuah tim; (5) Me-
motivasi siswa untuk mempelajari materi yang diberi-
kan dengan cepat dan akurat, dan tidak akan bisa
berbuat curang atau menyelesaikan dengan jalan
pintas.
2.5.1 Model Pembelajaran Team Accelerated
Instruction memiliki Delapan komponen
Menurut Slavin (1995) model pembelajaran Team
Accelerated Instruction memiliki delapan komponen
yaitu sebagai berikut:
1. Teams atau kelompok yaitu pembentukan ke-lompok heterogen yang terdiri atas 4 sampai 5 siswa. Kelompok tersebut yang mewakili hasil-hasil akademis dalam kelas, jenis kelamin dan ras. Fungsi kelompok adalah untuk memastikan bahwa semua anggota kelompok ikut belajar dan lebih khusus adalah mempersiapkan anggotanya untuk mengerjakan tes dengan baik;
2. Placement Test atau Tes Penempatan yakni pem-berian pre-test kepada siswa atau melihat rata-rata nilai harian siswa agar guru mengetahui kelemahan siswa pada bidang tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk menempatkan siswa pada kelompok belajar yang didasarkan pada hasil tes mereka;
36
3. Curriculum Materials atau Perangkat Pembela-jaran yaitu dalam pembelajaran, strategi peme-cahan masalah ditekankan pada seluruh materi. Siswa bekerja secara individu tentang materi kurikulum penambahan, pengurangan, perka-lian, pembagian, pecahan, perbandingan, persen, statistika, dan aljabar. Masing-masing unit terbagi dalam: (a) Satu lembar petunjuk, berisi tinjauan konsep-konsep yang diperkenal-kan oleh guru dalam pengajaran kelompok, diba-has dengan singkat; (b) Beberapa lembar praktik keterampilan masing-masing praktik keterampil-an memperkenalkan sebuah sub keterampilan yang membawa kepada ketuntasan keseluruhan keterampilan; (c) Tes formatif, dalam penelitian ini yang dimaksud adalah kuis;
4. Team Study atau Belajar Kelompok yaitu tahap-an tindakan bantuan secara individual kepada siswa yang membutuhkannya. Setelah guru menjelaskan materi pokok pada tiap pertemuan, siswa ditempatkan pada kelompoknya masing-masing. Tujuan dari kelompok ini agar semua siswa aktif untuk belajar dan lebih khusus siswa menyelesaikan tugas secara mandiri. Setiap siswa dalam setiap kelompok bekerja dengan langkah-langkah sebagai berikut: (a) Siswa mem-bentuk pasangan untuk saling memeriksa; (b) Siswa mempelajari materi pokok dan bertanya kepada rekan kelompok atau guru jika ada yang tidak dimengerti; (c) Setelah itu, siswa menger-jakan tugas pada modul yang dibagikan;
5. Team Scores and Team Recognition atau Skor Kelompok dan Pengakuan Kelompok yaitu pem-berian skor terhadap hasil kerja kelompok dan pemberian kriteria penghargaan terhadap ke-lompok yang berhasil dalam menyelesaikan tugas. Caranya pada akhir tiap siklus, guru menghitung skor kelompok. Skor ini diperoleh dari rata-rata nilai kuis dan nilai tes tiap siklus yang diperoleh tiap anggota kelompok. Kemudian guru mengumumkan predikat untuk tiap kelom-pok berdasarkan skor yang diperoleh. Kriteria yang dianut untuk prestasi kelompok yaitu
37
kriteria tinggi untuk kelompok super, kriteria menengah untuk kelompok hebat dan kriteria minimum untuk kelompok baik;
6. Teaching Group atau Pengajaran Kelompok yakni pemberian materi secara singkat dari guru menjelang pemberian tugas kelompok, guru memberikan bimbingan selama 10 sampai 15 menit dalam suatu kelompok yang anggota-nya diambil dari tiap-tiap kelompok yang ter-bentuk yang memiliki tingkat penguasaan yang sama dilihat dari modul yang diselesaikan. Tuju-an dari pengajaran kelompok ini adalah agar siswa dapat mengintegrasikan pengetahuan-pengetahuan baru yang diberikan oleh guru dengan pengetahuan-pengetahuan yang telah dimiliki siswa sehingga mereka dapat memahami konsep yang diajarkan dengan baik. Pada saat guru memberikan pengajaran kelompok ini, siswa yang lain tetap melanjutkan untuk me-ngerjakan materi pada kelompoknya masing-masing;
7. Fact Test atau Tes Fakta yaitu pelaksanaan tes-tes kecil berdasarkan fakta yang diperoleh siswa;
8. Whole-Class Units atau Unit-unit Kelas Keselu-ruhan yaitu pemberian materi oleh guru kem-bali di akhir waktu pembelajaran dengan stra-tegi pemecahan masalah.
2.5.2 Kelebihan dan kekurangan pembelajaran
kooperatif model Team Accelerated
Instruction
Model pembelajaran koperatif model Team
Accelerated Instruction memiliki kekurangan dan ke-
lebihan. Kelebihan dan kekurangan model pembelajar-
an kooperatif model Team Accelerated Instruction,
Slavin (1995) menyatakan bahwa belajar kooperatif
38
model Team Accelerated Instruction mempunyai kele-
bihan sebagai berikut:
1. Guru terlibat minimal dalam pengaturan dan pengecekan rutin
2. Guru akan menggunakan waktunya paling sedikit dalam mengajar kelompok kecil
3. Pelaksanaan program sederhana
4. Para siswa dapat mengecek pekerjaan satu sama lain
5. Mengurangi perilaku yang mengganggu
6. Mengurangi konflik antar pribadi
7. Program ini sangat membantu siswa yang lemah
8. Meningkatkan motivasi belajar pada diri siswa
9. Meningkatkan hasil belajar Selain memiliki kelebihan model pembelajaran
kooperatif model Team Accelerated Instruction juga
memiliki kekurangan (Anwar, 2003):
1. Dibutuhkan waktu yang lama untuk membuat dan mengembangkan perangkat pembelajaran, dan
2. Jumlah siswa yang besar dalam kelas, maka guru akan mengalami kesulitan dalam membe-rikan bimbingan kepada siswanya.
2.5.3 Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif
Model Team Accelerated Instruction
Langkah-langkah pembelajaran kooperatif model
Team Accelerated Instruction sebagai berikut:
a. Guru memberikan tugas kepada siswa untuk mempelajari materi pembelajaran secara individual yang sudah dipersiapkan oleh guru;
39
b. Guru memberikan tes secara individual kepada siswa untuk mendapatkan skor dasar atau skor awal;
c. Guru membentuk beberapa kelompok. Setiap ke-lompok terdiri dari 4 – 5 siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda baik tingkat kemampuan (tinggi, sedang, dan rendah). Jika mungkin ang-gota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan jender;
d. Hasil belajar siswa secara individual didiskusikan dalam kelompok. Dalam diskusi kelompok setiap anggota kelompok saling memeriksa jawaban teman satu kelompok;
e. Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rang-kuman, mengarahkan, dan memberikan penegas-an pada materi pembelajaran yang telah dipelajari;
f. Guru memberikan kuis kepada siswa secara indi-vidual;
g. Guru memberi penghargaan pada kelompok ber-dasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini).
2.5.4 Pembentukan dan Penghargaan Kelompok
Pembentukan kelompok berdasarkan kemampu-
an akademik seperti berikut ini.
Tabel 2.1 Pembentukan Kelompok berdasarkan Kemampuan
Kemampuan No. Nama Ranking Kelompok
Tinggi 1 NA 1 A
2 AZ 2 B
3 LK 3 C
4 NA 4 D
5 PH 5 E
6 RK 6 F
Sedang 7 DW 7 A
8 IPP 8 A
40
9 EW 9 B
10 My 10 B
11 JL 11 C
12 KE 12 C
13 NF 13 D
14 Pw 14 D
15 PR 15 E
16 SM 16 E
17 SV 17 F
18 WS 18 F
19 Zn 19 G
20 RH 20 G
21 AAF 21 H
Rendah 22 SA 22 A
23 St 23 B
24 IA 24 C
25 NS 25 D
26 Ht 26 E
27 AK 27 F
Menurut Slavin (1995) guru memberikan peng-
hargaan pada kelompok berdasarkan perolehan nilai
peningkatan hasil belajar dari nilai dasar (awal) ke
nilai kuis/tes setelah siswa bekerja dalam kelompok.
Cara-cara penentuan nilai penghargaan kepada ke-
lompok dijelaskan sebagai berikut. Langkah-langkah
memberi penghargaan kelompok:
1. Menentukan nilai dasar (awal) masing-masing
siswa. Nilai dasar (awal) dapat berupa nilai tes awal
atau tes individu;
2. Menentukan nilai tes yang telah dilaksanakan
setelah siswa bekerja dalam kelompok, misal nilai
tes I, nilai tes II, atau rata-rata nilai tes I dan tes II
41
kepada setiap siswa yang kita sebut nilai kuis
terkini;
3. Menentukan nilai peningkatan hasil belajar yang
besarnya ditentukan berdasarkan selisih nilai tes
terkini dan nilai dasar (awal) masing-masing siswa
dengan menggunakan kriteria berikut ini:
Tabel 2.2
Kriteria Nilai peningkatan Nilai tes terkini turun lebih dari 10 poin di bawah nilai awal 5
Nilai tes terkini turun 1 sampai dengan 10 poin di bawah nilai awal
10
Nilai tes terkini sama dengan nilai awal sampai dengan 10 di atas nilai awal
20
Nilai tes terkini lebih dari 10 di atas nilai awal
30
( Slavin 1995 dalam Isjoni 2009)
Menurut Slavin (1995) guru memberikan peng-
hargaan kelompok berdasarkan rata-rata nilai pening-
katan yang diperoleh masing-masing kelompok dengan
memberikan predikat cukup, baik, sangat baik dan
sempurna. Kriteria untuk status kelompok.
1. Cukup, bila rata-rata nilai peningkatan kelompok
kurang dari 15 (rata-rata nilai peningkatan kelom-
pok <15);
2. Baik, bila rata-rata nilai peningkatan kelompok
antara 15 dan 20 (15 < rata-rata nilai peningkatan
kelompok < 20);
42
3. Sangat baik, bila rata-rata nilai peningkatan kelom-
pok antara 20 dan 25 (20 ≤ rata-rata nilai pening-
katan kelompok < 25);
4. Sempurna, bila rata-rata nilai peningkatan kelom-
pok lebih atau sama dengan 25 (rata-rata nilai
peningkatan kelompok ≥ 25) (http://mey20.
wordpress.com/edocation/pembelajaran-kooperatif-
tipe-tai/)
2.6 Pembelajaran Tradisional
2.6.1 Pengertian Pembelajaran Tradisional
Pembelajaran Tradisional yaitu pembelajaran dimana guru dianggap sebagai orang yang serba tahu dan ditugaskan untuk menyalurkan ilmu pengetahuan kepada siswanya. Di dalam pembelajaran tradisional fokus utamanya adalah guru. Model pembelajaran tradisional biasanya menekankan kepada guru sebagai pusat informasi dan siswa sebagai penerima informasi. Dengan pola seperti ini maka tahap-tahap dalam pembelajaran tradisional bertentangan dengan tahap-tahap pada pembelajaran kooperatif model Team Accelerated Instruction. Model pembelajaran tradisional biasanya meliputi tahap-tahap pembukaan – penyajian – penutup. Guru cenderung menggunakan metode ceramah dan disertai sedikit tanya jawab. Guru berusaha memindahkan pengetahuan yang dimiliki kepada siswa. Pembelajaran tradisioanl membuat siswa pasif dalam menerima pengetahuan yang
43
ditransfer. (Repository.upi.edu/operator/upload/s_ d0251_0605671_ chapter2.pdf)
Menurut Brooks & Brooks (1993), penyelenggaraan pembelajaran tradisional lebih menekankan kepada tujuan pembelajaran berupa penambahan pengetahuan, sehingga belajar dilihat sebagai proses “meniru” dan siswa dituntut untuk dapat mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari melalui kuis atau tes terstandar.
2.6.1 Ciri-ciri Pembelajaran Tradisional
Pembelajaran tradisional memiliki ciri-ciri, yaitu: (1) pembelajaran berpusat pada guru, (2) terjadi passive learning, (3) interaksi di antara siswa kurang, (4) tidak ada kelompok-kelompok kooperatif, dan (5) penilaian bersifat sporadis (Brooks & Brooks ,1993).
Menurut Nasution (Jurniati, 2007) secara rinci ada lima ciri-ciri model pembelajaran tradisional yaitu: 1. Bahan pelajaran disajikan sebagai keseluruhan
tanpa memperhatikan siswa secara individual. 2. Kegiatan pembelajaran umumnya berbentuk
ceramah, tugas tertulis dan media lain menurut pertimbangan guru.
3. Siswa umumnya bersifat pasif karena harus mendengarkan penjelasan guru.
4. Kecepatan belajar siswa umumnya ditentukan oleh kecepatan guru dalam mengajar.
5. Diperkirakan hanya sebagian kecil siswa yang menguasai materi pelajaran secara tuntas.
44
Menurut Marsigit (2008) ciri-ciri Pembelajaran Tradisional sebagai berikut: 1. Pembelajaran terpusat pada guru 2. Memberikan pendidikan otak 3. Mengutamakan hafalan 4. Pendidikan untuk anak-anak yang pandai 5. Siswa pasif (mendengar) 6. Berorientasi kepada buku teks 7. Menilai murid berdasarkan pekerjaan 8. Pelajaran bersifat abstrak (ceramah) 9. Pelajaran dengan klasikal 10. Pelajaran bersifat formal 11. Materi yang sama untuk semua siswa 12. Mengajar bersifat transmisi 13. Mendorong persaingan 14. Guru otoriter/mewajibkan 15. Pendidikan uniformitas (penyeragaman) 16. Berorientasi kepada hasil 17. Motivasi belajar bersifat eksternal 18. Disiplin dan hukuman 19. Mencari jawaban benar 20. Matematika sebagai ilmu kebenaran 21. Pendidikan sebagai investasi 22. Siswa sebagai empty vessel 23. Metode mengajar tunggal 24. Alat peraga sulit dikembangkan
(Repository.upi.edu/operator/upload/s_d0251_ 0605671_ chapter2.pdf)
2.6.3 Langkah-langkah Pembelajaran Tradisional
Langkah-langkah Pembelajaran Tradisional:
1.Menyampaikan tujuan : Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut.
45
2.Menyajikan informasi: Guru menyajikan informasi kepada siswa secara tahap demi tahap dengan metode ceramah
3.Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik: Guru mengecek keberhasilan siswa dan memberikan umpan balik
4.Memberikan kesempatan latihan lanjutan: Guru memberikan tugas tambahan untuk dikerjakan dirumah
2.7 Kajian yang Relevan
Beberapa penelitian yang telah dilakukan
tentang pembelajaran kooperatif tipe Team Accelerated
Instruction adalah:
1. Wijayanti (2005). ”Perbedaan Prestasi Belajar
Bahasa Inggris yang diajarkan dengan Metode
Student Team Achievement Division dalam Strategi
Pengajaran Cooperative Learning dengan Non
Cooperative Learning di Kelas 4 SD Laboratorium
Satya Wacana Salatiga”. (Tesis) diperoleh hasil nilai
rata-rata post-test kelas kontrol 60,6777 dan kelas
eksperimen 75,5295 dan F hitung 0,040 dengan
signifikansi 0,001 < 0,01 berarti ada perbedaan
signifikan antara prestasi belajar bahasa inggris
kelas eksperimen dengan kelas kontrol sehingga
ada peningkatan hasil belajar dengan
46
menggunakan cooperative learning dari pada yang
non cooperative learning.
2. Suparni (2006). ”Penerapan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe TAI Untuk meningkatkan Hasil
Belajar Matematika Siswa Kelas IV SDN 009
Pakanbaru”. (Skripsi) secara umum menyimpulkan
bahwa hasil prestasi belajar pada pembelajaran
kelompok eksperimen yang diajar dengan pembela-
jaran Kooperatif Tipe TAI lebih baik dari pada
kelompok kontrol yang diajar dengan cara tradi-
sional (yang biasa dilakukan) dan diperoleh hasil
nilai rata-rata post-test kelas kontrol 48,571
dan kelas eksperimen 72,051 dengan signifikansi
0,000 < 0,05
2.8 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teori dirumuskan hipotesis
penelitian sebagai berikut:
H1 : µc ≠ µnc : Ada perbedaan yang signifikan pada
prestasi belajar matematika di
antara siswa yang diajar dengan
kooperatif model Team Accelerated
Instruction dengan siswa yang diajar
47
dengan menggunakan pembelajar-
an tradisional.
H o : µo = µnc : Tidak ada perbedaan yang signifikan
pada prestasi belajar matematika di
antara siswa yang diajar dengan
kooperatif model Team Accelerated
Instruction dengan siswa yang
diajar dengan menggunakan pem-
belajaran tradisional.