bab ii landasan teori dan pengembangan hipotesis …thesis.binus.ac.id/asli/bab2/2011-2-00050 ak bab...
TRANSCRIPT
9
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
II.1 Persediaan (Inventories)
II.1.1 Definisi Persediaan
Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 14 (revisi
2008) (2008:14.2-14.3), definisi persediaan adalah sebagai berikut :
Persediaan adalah aset :
(a) Tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha biasa;
(b) Dalam proses produksi untuk penjualan tersebut; atau
(c) Dalam bentuk bahan atau perlengkapan untuk digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa.
Sedangkan, pengertian persediaan menurut Skousen, Stice dan Stice
(2004:653) adalah sebagai berikut : “ Kata persediaan ditujukan untuk barang-
barang yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan bisnis normal, dan dalam kasus
perusahaan manufaktur, maka kata ini ditujukan untuk proses produksi atau yang
ditempatkan dalam kegiatan produksi“.
Dari definisi persediaan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa secara
umum persediaan adalah barang dagang yang dijual dalam operasi bisnis
perusahaan, sedangkan persediaan pada perusahaan manufaktur, salah satunya
perusahaan yang bergerak di bidang industri consumer goods (barang konsumsi),
biasanya perusahaan membagi persediaan menjadi tiga jenis, yaitu bahan mentah
10
(raw materials), masih dalam proses produksi (work in process), dan barang jadi
(finished goods).
II.1.2 Metode Penilaian Persediaan
Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:235), ada tiga metode yang
dapat digunakan untuk menilai persediaan, yaitu :
1. First-in, first out (FIFO).
2. Last-in, first-out (LIFO).
3. Average cost.
Sebelum PSAK 14 mengadopsi IAS 2 Inventories, perusahaan dalam
menilai persediaan boleh menggunakan metode LIFO (Last In First Out/Masuk
Terakhir Keluar Pertama), FIFO (First In First Out/Masuk Pertama Keluar
Pertama), dan rata-rata (average). Tetapi, pada tahun 2008 PSAK 14 mengadopsi
IAS 2 Inventories, dimana adanya perubahan metode yang boleh digunakan oleh
perusahaan dalam menilai persediaan perusahaan. Menurut PSAK 14 (revisi
2008) (2008:14.8) paragraf 23, metode penilaian persediaan adalah sebagai
berikut :
Biaya persediaan, kecuali yang disebut dalam paragraf 21, harus dihitung dengan menggunakan rumus biaya masuk pertama keluar pertama (MPKP) atau rata-rata tertimbang. Entitas harus menggunakan rumus biaya yang sama terhadap semua persediaan yang memiliki sifat dan kegunaan yang sama. Untuk persediaan yang memiliki sifat dan kegunaan yang berbeda, rumusan biaya yang berbeda diperkenankan.
Dari penjelasan metode penilaian persediaan sesuai dengan PSAK 14
(revisi 2008) di atas, maka didapat kesimpulan bahwa pada saat ini hanya metode
11
FIFO dan metode rata-rata (average) yang boleh digunakan perusahaan untuk
menilai persediaan.
II.1.2.1 Metode FIFO (First In First Out)
Metode FIFO mengasumsikan persediaan yang dibeli pertama kali akan
dijual terlebih dahulu. Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:236)
pengakuan cost of goods sold dengan menggunakan metode FIFO adalah
sebagai berikut : “Under the FIFO method, the costs of the earliest goods
purchased are the first to be recognized as cost of goods sold”. Sedangkan,
untuk perhitungan persediaan akhir (ending inventory) dengan menggunakan
metode FIFO menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:236) adalah sebagai
berikut : “Under FIFO, the cost of ending inventory is found by taking the unit
cost of the most recent purchase and working backward until all units of
inventory are costed”.
Dengan menggunakan metode FIFO, perusahaan akan menghasilkan laba
yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan metode LIFO maupun
metode rata-rata karena biaya unit yang lebih rendah dari pembelian persediaan
pertama kali. Tetapi, dengan laba yang besar, maka perusahaan juga akan
membayar pajak yang lebih besar sehingga tidak dapat dilakukan penghematan
pajak jika menggunakan metode FIFO. Manajemen perusahaan akan lebih
memilih untuk menggunakan metode FIFO karena dengan nilai laba perusahaan
yang besar akan menunjukkan bahwa kinerja manajemen perusahaan tersebut
bagus dan manajemen akan mendapatkan kompensasi berupa bonus yang cukup
12
besar dari perusahaan. Perusahaan yang menggunakan metode FIFO pada saat
terjadi inflasi akan menghasilkan laba yang besar sedangkan pada saat terjadi
deflasi, perusahaan yang menggunakan metode FIFO akan menghasilkan laba
yang kecil.
II.1.2.2 Metode Rata-Rata (Average)
Metode rata-rata mengasumsikan persediaan yang tersedia untuk dijual
memiliki rata-rata biaya per unitnya sama. Menurut Weygandt, Kieso, dan
Kimmel (2005:238) perhitungan unit cost berdasarkan formula rata-rata
tertimbang adalah sebagai berikut : “Under this method, the cost of goods
available for sale is allocated on the basis of the weighted-average unit cost”.
Berikut adalah formula perhitungan unit cost berdasarkan metode rata-rata
tertimbang (weighted-average method):
Setelah dilakukannya perhitungan unit cost, selanjutnya menurut
Weygandt, Kieso, dan Kimmel (2005:238) untuk mengetahui nilai biaya dari
persediaan akhir adalah sebagai berikut : “The weighted-average unit cost is then
applied to the units on hand. This computation determines the cost of the ending
inventory”.
Pada sistem periodik, metode rata-rata disebut metode rata-rata
tertimbang (weighted average method) dan pada sistem perpetual disebut dengan
Cost of Goods Available for
Sale :
Total Units Available for
Sale =
Weighted-Average Unit
Cost Sumber : Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:238)
13
metode rata-rata bergerak (moving average method) (Abdullah dan Djalil, 2004)
dalam Metallia (2007). Dengan menggunakan metode rata-rata, perusahaan akan
dapat melakukan penghematan pajak (tax saving) dikarenakan laba yang di dapat
perusahaan dengan menggunakan metode tersebut akan lebih kecil. Tetapi, pada
saat menggunakan metode rata-rata akan dapat menghasilkan nilai akhir
persediaan di antara FIFO dan LIFO.
II.1.2.3 Metode LIFO (Last In First Out)
Metode LIFO mengasumsikan persediaan yang terakhir dibeli akan dijual
terlebih dahulu. Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:237) menyatakan bahwa
pengakuan cost of goods sold dengan menggunakan metode LIFO adalah
sebagai berikut : “Under the LIFO method, the costs of the latest goods
purchases are the first to be assigned to cost of goods sold”. Sedangkan, untuk
mengetahui nilai persediaan akhir (ending inventory) dengan menggunakan
metode LIFO adalah sebagai berikut : “Under the LIFO method, the cost of
ending inventory is found by taking the unit cost of the oldest goods and
working forward until all units of inventory are costed”.
Dengan menggunakan metode LIFO, perusahaan akan menghasilkan laba
yang kecil sehingga dapat melakukan penghematan pajak. Pada saat inflasi,
perhitungan harga beli terakhir dibebankan ke operasi dalam periode kenaikan
harga sehingga mengurangi laba dan menghasilkan pengurangan pajak.
Tetapi, untuk saat ini metode LIFO sudah tidak dapat digunakan oleh
perusahaan dikarenakan adanya perubahan pada Pernyataan Standar Akuntansi
14
Keuangan (PSAK) yang mengatur tentang persediaan, yaitu PSAK 14 (revisi
2008), dimana hanya metode FIFO dan metode rata-rata (average) saja yang
boleh digunakan untuk menilai persediaan perusahaan.
II.2 Barang Konsumsi (Consumer Goods)
Barang konsumsi (consumer goods) merupakan barang yang rata-rata
dibeli dan dikonsumsi oleh konsumen. Secara alternatif, dapat dikatakan adalah
barang akhir (finish goods atau final goods). Barang konsumsi merupakan hasil
akhir dari produksi dan manufaktur dan merupakan barang yang dapat dilihat
oleh konsumen di rak-rak pada toko maupun pusat perbelanjaan. Menurut Kotler
dan Keller yang diterjemahkan oleh Bob Sabran (2009:6), barang yang dibeli
konsumen berdasarkan kebiasaan belanja diklasifikasikan menjadi barang sehari-
hari (convenience goods), barang belanja (shopping goods), barang khusus
(specialty goods), dan barang yang tak dicari (unsought goods). Berikut adalah
penjelasan untuk masing-masing barang konsumsen yang disebutkan di atas :
• Barang Sehari-hari (Convenience goods)
Barang sehari-hari (convenience goods) merupakan barang yang dibeli
oleh konsumen yang dapat mengurangi upaya konsumen. Biasanya barang-
barang tersebut adalah barang yang tidak tahan lama, memiliki nilai yang rendah,
dan secara berkesinambungan dibeli dalam jumlah yang sedikit. Contoh dari
barang sehari-hari adalah sabun, minuman ringan, dan surat kabar. Karena
barang sehari-hari tidak benar-benar dicari oleh konsumen, maka produsen akan
mencari distributor seluas mungkin, yaitu melalui penjualan grosir. Untuk
15
memperluas distribusi, barang-barang tersebut sering tersedia di kantor, sekolah
dan toko yang tempatnya berada pada tingkat lalu lintas yang tinggi. Menurut
Kotler dan Keller yang diterjemahkan oleh Bob Sabran (2009:6), barang sehari-
hari (convenience goods) dibagi menjadi tiga kategori, yaitu :
1. Barang Kebutuhan Pokok (Staple goods)
Barang kebutuhan pokok adalah barang yang dibeli konsumen secara teratur. Pembeli dapat membeli kecap Heinz, pasta gigi Crest, dan biskuit Ritz secara rutin.
2. Barang Impuls (Impulse goods)
Barang impuls dibeli tanpa usaha perencanaan atau pencarian. Permen dan majalah bisa menjadi barang impuls.
3. Barang Darurat (Emergency goods)
Barang darurat adalah barang yang dibeli ketika ada kebutuhan mendesak. Contoh barang darurat adalah payung selama hujan badai, sepatu bot dan sekop sepanjang turunnya salju di musim dingin.
Dari pengertian dan contoh tiga kategori barang sehari-hari yang
dijelaskan di atas, maka dapat diketahui bahwa barang kebutuhan pokok (staple
goods) merupakan barang yang telah direncanakan untuk dibeli oleh pembeli
sebelum mereka masuk ke dalam toko dan barang impuls (impulse goods)
merupakan barang yang tidak direncanakan untuk dibeli sebelumnya oleh
pembeli dan pembelian tersebut terjadi karena adanya dorongan pada diri
pembeli (impulse buyer atau impulse purchaser). Kotler dan Keller yang
diterjemahkan oleh Bob Sabran (2009) menyatakan bahwa produsen barang
impuls dan barang darurat akan menempatkan barang-barangnya di gerai di
mana konsumen mungkin mengalami kebutuhan mendesak atau ketertarikan
untuk melakukan pembelian.
16
• Barang Belanja (Shopping Goods)
Barang belanja (shopping goods) merupakan barang-barang yang dibeli
setelah pembeli melakukan perbandingan lebih dari satu toko maupun lebih dari
satu jenis barang sebelum melakukan keputusan untuk membeli. Biasanya
barang-barang tersebut memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan barang
sehari-hari, tidak dibeli secara berkesinambungan, dan tahan lama.
Adanya beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan dalam membeli
barang belanja, yaitu harga, kualitas, style, dan warna. Beberapa contoh dari
barang belanja adalah pakaian, furniture, televisi dan komputer. Strategi
mendasar dalam mebangun toko shopping goods adalah mencari toko serupa
pada area perbelanjaan aktif. Strategi yang termasuk dalam pemasaran shopping
goods adalah dengan menggunakan iklan pada media lokal, termasuk surat
kabar, radio, dan televisi. Menurut Kotler dan Keller yang diterjemahkan oleh
Bob Sabran (2009:6), kategori barang belanja dibagi dua, yaitu :
1. Barang Belanja Homogen
Barang belanja homogen mempunyai kualitas yang serupa tetapi harganya cukup berbeda sehingga memberikan alasan kuat bagi perbandingan belanja.
2. Barang Belanja Heterogen
Barang belanja heterogen mempunyai fitur produk dan jasa yang berbeda yang mungkin lebih penting daripada harga.
• Barang Khusus (Specialty Goods)
Menurut Kotler dan Keller yang diterjemahkan oleh Bob Sabran
(2009:6), definisi specialty goods adalah sebagai berikut : “Barang khusus
17
(specialty goods) mempunyai karakteristik atau identifikasi merek yang unik di
mana ada cukup banyak pembeli yang bersedia melakukan usaha pembelian
khusus”.
Dari definisi barang khusus di atas maka dapat dikatakan bahwa barang
khusus merupakan barang-barang unik atau tidak biasa (setidaknya dalam
pemikiran pembeli). Untuk mendapatkan barang khusus, pembeli mengetahui
secara tepat apa yang mereka inginkan dan akan mengerahkan segala upaya
untuk mendapatkan barang-barang tersebut. Barang khusus biasanya, tapi belum
tentu, memiliki nilai yang tinggi, dan mungkin tahan lama ataupun tidak tahan
lama. Sering kali yang membedakan antara barang belanja dengan barang khusus
adalah merek (brand) atau preferensi pribadi.
Produsen dan distributor barang khusus memilih untuk menempatkan
barang mereka hanya pada gerai-gerai retail yang telah dipilih. Gerai-gerai
tersebut dipilih berdasarkan keinginan dan kemampuan mereka dalam
mengiklankan secara high level dan penjualan personel terhadap produk.
Konsistensi antara gambar dengan produk dan toko juga merupakan faktor dalam
memilih gerai.
• Barang Yang Tak Dicari (Unsought goods)
Pengertian unsought goods menurut Kotler dan Keller yang
diterjemahkan oleh Bob Sabran (2009:6) adalah sebagai berikut : “Barang yang
tak dicari (unsought goods) adalah barang yang tidak dikenal konsumen atau
biasanya tidak terpikirkan untuk dibeli, seperti detektor asap“.
18
Contoh dari barang yang dikenal oleh konsumen tetapi tidak dicari adalah
asuransi jiwa. Barang yang tidak dicari memerlukan dukungan iklan dan
penjualan personal.
II.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Metode Penilaian
Persediaan
II.3.1 Struktur Kepemilikan
Struktur kepemilikan dalam perusahaan sering menimbulkan adanya
konflik kepentingan antara manajemen perusahaan dengan pemegang saham atau
biasa disebut dengan agency theory. Menurut Brigham dan Houston yang
diterjemahkan oleh Ali Akbar Yulianto (2006:26), pengertian agency theory
adalah sebagai berikut : “Para manajer diberi kekuasaan oleh para pemilik
perusahaan, yaitu pemegang saham, untuk membuat keputusan, di mana hal ini
menciptakan potensi konflik kepentingan yang dikenal sebagai teori keagenan
(agency theory)”. Konflik yang sering timbul antara manajemen dengan
pemegang saham biasanya berkaitan dengan pembuatan keputusan aktivitas
pencairan dana dan bagaimana untuk menginvestasikan dana yang diperoleh.
Dengan adanya agency theory, maka perusahaan dalam memilih metode
akuntansi untuk menilai persediaan juga akan ada konflik antara manajemen
perusahaan dengan pemegang saham. Pemegang saham akan cenderung untuk
memilih metode rata-rata (average) dalam menilai persediaan karena akan
membantu perusahaan dalam penghematan pajak (tax saving), sedangkan
manajemen perusahaan akan menggunakan metode FIFO untuk menunjukkan
19
kinerja manajemen yang baik dengan menghasilkan laba yang tinggi.
Manajemen akan berusaha untuk menggunakan metode yang dapat membantu
perusahaan dalam menghasilkan laba yang tinggi, dengan begitu direksi
perusahaan akan melihat bahwa manajemen menunjukkan kinerja yang baik
dalam mempertahankan nilai perusahaan dan akan secara langsung berpengaruh
terhadap kompensasi yang akan diterima oleh manajemen akan menjadi lebih
besar.
II.3.2 Ukuran Perusahaan
Ukuran suatu perusahaan juga akan berpengaruh terhadap pemilihan
metode penilaian persediaan. Secara umum, ukuran perusahaan dilihat dari
tingkat penjualan bersih perusahaan. Biasanya, perusahaan besar memiliki
tingkat penjualan yang tinggi, sehingga sebelum menentukan metode penilaian
persediaan yang akan digunakan, perusahaan akan memikirkan aspek-aspek yang
dapat menguntungkan perusahaan dari sisi ekonomi, baru akan menentukan
metode penilaian persediaan yang akan digunakan. Biaya politik (political cost)
dari pemerintah berupa ancaman regulasi dan nasionalisasi lebih besar dirasakan
oleh perusahaan besar (Taqwa, 2001). Karena biaya politik cenderung lebih
besar, maka perusahaan dengan tingkat penjualan yang tinggi cenderung memilih
kebijakan akuntansi yang mengurangi laba (Sidharta, 2000) dalam (Metallia,
2007).
Berdasarkan penelitian terakhir yang dilakukan oleh Taqwa (2001)
menunjukkan bahwa ukuran perusahaan memberikan pengaruh yang signifikan
20
terhadap perusahaan dalam menentukan metode penilaian persediaan yang akan
digunakan. Perusahaan besar akan memilih metode rata-rata yang dapat
menurunkan laba yang dihasilkan dan memperoleh penghematan pajak.
Sedangkan, perusahaan kecil akan memilih metode FIFO agar dapat
meningkatkan laba dan juga untuk menarik investor bahwa perusahaan memiliki
kemampuan untuk menghasilkan laba yang diinginkan oleh investor.
II.3.3 Financial Leverage
Definisi financial leverage menurut Brigham dan Houston yang
diterjemahkan oleh Ali Akbar Yulianto (2006:101) adalah sebagai berikut :
“Seberapa jauh sebuah perusahaan menggunakan pendanaan melalui utang, atau
pengungkit keuangan (financial leverage)”.
Perusahaan yang memiliki financial leverage yang tinggi, maka
pendanaan perusahaan melalui utang cukup besar dan perusahaan akan memilih
menggunakan metode FIFO untuk meningkatkan laba perusahaan, sedangkan
sebaliknya, jika perusahaan yang memiliki financial leverage yang rendah, maka
pendanaan perusahaan melalui utang tidak terlalu besar dan perusahaan akan
memilih menggunakan metode rata-rata untuk penghematan pajak. Bagi
pemegang saham, kemungkinan untuk mengharapkan leverage yang lebih
banyak karena pemegang saham berharap untuk mendapatkan keuntungan yang
lebih besar.
21
II.3.4 Variabilitas Persediaan
Taqwa (2001) menyatakan bahwa variabilitas persediaan merupakan
variasi dari nilai persediaan pada suatu perusahaan. Perusahaan yang mempunyai
nilai persediaan yang relatif stabil, maka pengaruh terhadap variasi laba akan
kecil, sedangkan pada perusahaan yang mempunyai nilai persediaan yang
bervariasi setiap tahun maka laba yang dihasilkan juga akan bervariasi setiap
tahun (Taqwa, 2001). Mukhlasin (2001) mengemukakan bahwa variabilitas
persediaan antara metode FIFO dan metode rata-rata pada kondisi inflasi maupun
deflasi memang tidak kontradiktif. Tetapi, investor akan lebih memilih metode
rata-rata karena nilai persediaan akhir yang dihasilkan oleh perusahaan relatif
stabil, sehingga investor memiliki kemampuan untuk memprediksi dan membuat
keputusan ekonomi yang tepat dibandingkan jika perusahaan menggunakan
metode FIFO, dimana metode tersebut akan menghasilkan nilai persediaan akhir
yang lebih bervariasi karena pengaruh perubahan harga. Menurut Tuanakotta
(2000) dalam Mukhlasin (2001) mengemukakan bahwa metode rata-rata
tertimbang sebenarnya bersifat netral terhadap inventory dan cost of goods sold.
Dalam Taqwa (2001) menyatakan bahwa perusahaan dengan variasi
persediaan kecil bisa memilih menggunakan metode rata-rata. Dengan
menggunakan metode rata-rata akan menghasilkan laba yang lebih rendah dan
perusahaan akan memperoleh keuntungan penghematan pajak bila dibandingkan
dengan metode FIFO. Sedangkan, pada perusahaan yang variasi persediaannya
yang tinggi akan menggunakan metode FIFO sehingga laba perusahaan menjadi
lebih besar (Taqwa, 2001).
22
II.3.5 Rasio Lancar
Rasio lancar adalah rasio perhitungan yang digunakan oleh suatu
perusahaan untuk melihat kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban
jangka pendek. Brigham dan Houston yang diterjemahkan oleh Ali Akbar
Yulianto (2006) menyatakan bahwa rasio lancar merupakan indikator tunggal
terbaik dari sampai sejauh mana klaim dari kreditor jangka pendek telah ditutupi
oleh aktiva-aktiva yang diharapkan dapat diubah menjadi kas dengan cepat.
Dalam perhitungan rasio lancar, dilakukan pembagian antara aktiva lancar
dengan utang (kewajiban) lancar perusahaan. Biasanya, aktiva yang digunakan
dalam rasio lancar adalah aktiva likuid. Berikut adalah definisi aktiva likuid
menurut Brigham dan Houston yang diterjemahkan oleh Ali Akbar Yulianto
(2006:95) : “Aktiva yang dapat diubah menjadi kas dengan cepat tanpa harus
terlalu jauh menurunkan harga aktiva tersebut”.
Aktiva lancar umumnya meliputi kas, sekuritas, piutang usaha, dan
persediaan. Sedangkan, kewajiban lancar menurut Brigham dan Houston yang
diterjemahkan oleh Ali Akbar Yulianto (2006) terdiri atas utang usaha, wesel
tagih jangka pendek, utang jatuh tempo yang kurang dari satu tahun, akrual
pajak, dan beban-beban akrual lainnya (terutama gaji).
Perusahaan dengan rasio lancar yang tinggi, biasanya akan memilih
metode rata-rata untuk penghematan pajak yang dikarenakan laba yang
dihasilkan tidak terlalu besar, sedangkan perusahaan dengan rasio lancar yang
rendah akan menggunakan metode FIFO dikarenakan untuk menunjukkan bahwa
kinerja perusahaan baik sehingga dapat menghasilkan laba yang tinggi. Jika
23
kewajiban lancar perusahaan meningkat, maka rasio lancar akan turun dan hal ini
menunjukkan adanya masalah keuangan dalam perusahaan untuk memenuhi
kewajiban jangka pendek.
II.4 Hipotesis
Setiap perusahaan pasti memiliki persediaan baik untuk dijual, digunakan
untuk proses produksi maupun menjadi bahan pelengkap. Persediaan memiliki
pengaruh yang cukup signifikan terhadap laporan keuangan perusahaan yang
berpengaruh langsung pada nilai aset perusahaan terutama pada perusahaan-
perusahaan besar yang sudah go public (terdaftar di Bursa Efek Indonesia)
karena pada umumnya nilai persediaan yang dimiliki oleh perusahaan-
perusahaan tersebut cukup besar. Perusahaan-perusahaan yang telah go public
harus dapat menerbitkan laporan keuangan yang baik, benar, dan jelas agar para
investor tidak salah dalam mengambil keputusan ekonomi.
Karena pengaruh persediaan terhadap nilai aset pada laporan keuangan
perusahaan cukup besar, maka pada saat membuat dan menyusun laporan
keuangan, akuntan internal perusahaan harus dapat mengetahui dan memahami
standar-standar yang berlaku saat ini perlakuan terhadap persediaan. Pada saat
ini, perusahaan-perusahaan yang telah go public dalam menilai persediaan yang
dimiliki oleh perusahaan telah menggunakan metode FIFO atau rata-rata
(average), sesuai dengan PSAK 14 (revisi 2008). Tetapi, sebelum diterapkannya
PSAK 14 (revisi 2008), banyak perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa
24
Efek Indonesia telah menggunakan metode FIFO maupun rata-rata untuk menilai
persediaan perusahaan mereka masing-masing.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Taqwa (2001) yang meneliti
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan metode akuntansi
persediaan pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa
Efek Indonesia), dengan variabel independen berupa struktur kepemilikan,
ukuran perusahaan, financial leverage, variabilitas persediaan, dan rasio lancar,
sedangkan variabel dependen adalah metode akuntansi persediaan. Dengan
periode penelitian pada tahun 1997-2000 dikarenakan adanya inflasi yang cukup
tinggi pada periode tahun tersebut. Hasil penelitian yang didapat oleh Taqwa
(2001) adalah adanya pengaruh signifikan ukuran perusahaan dan variabilitas
persediaan terhadap pemilihan metode akuntansi persediaan yang akan
digunakan oleh perusahaan. Selain penelitian yang telah dilakukan oleh Taqwa
(2001), adanya peneliti-peneliti lain yang telah melakukan penelitian terhadap
pemilihan metode penilaian persediaan. Berikut adalah tabel penelitian
sebelumnya bersama dengan hasilnya :
Tabel II.1
Penelitian Terdahulu Tentang Faktor-Fakor Yang Mempengaruhi Pemilihan Metode Penilaian Persediaan
Peneliti Variabel Penelitian Hasil Penelitian
Lee dan Hsieh (1985)
1. Ukuran Perusahaan
2. Intensitas Modal
3. Variabilitas Persediaan
4. Variabilitas Laba
1. Tidak Signifikan
2. Signifikan
3. Signifikan
4. Signifikan
25
Akuntansi
5. Intensitas Persediaan
6. Variabilitas Harga
7. Klasifikasi Industri
5. Signifikan
6. Tidak Signifikan
7. Signifikan
Hunt (1985) 1. Struktur Kepemilikan
2. Financial Leverage
3. Rasio Lancar
1. Tidak Signifikan
2. Signifikan
3. Signifikan
Dopuch dan Pincus (1988)
1. Intensitas Modal
2. Variabilitas Persediaan
3. Ukuran Perusahaan
4. Perbedaan Holding Gain
5. Intensitas Persediaan
6. Variabilitas Perubahan Harga
7. Estimasi Penghematan Pajak
1. Signifikan
2. Signifikan
3. Signifikan
4. Signifikan
5. Tidak Signifikan
6. Tidak Signifikan
7. Tidak Signifikan
Niehaus (1989) 1. Kepemilikan Manajemen
2. Ukuran Perusahaan
3. Variabilitas Persediaan
4. Leverage
1. Signifikan
2. Tidak Signifikan
3. Signifikan
4. Tidak Signifikan
Mukhlasin (2001) 1. Intensitas Modal
2. Intensitas Persediaan
3. Ukuran Perusahaan
4. Variabilitas Persediaan
5. Variabilitas Laba Akuntansi
6. Variabilitas Harga Pokok Penjualan
1. Tidak Signifikan
2. Signifikan
3. Signifikan
4. Tidak Signifikan
5. Tidak Signifikan
6. Signifikan
26
Taqwa (2001) 1. Struktur Kepemilikan
2. Ukuran Perusahaan
3. Financial Leverage
4. Variabilitas Persediaan
5. Rasio Lancar
1. Tidak Signifikan
2. Signifikan
3. Tidak Signifikan
4. Signifikan
5. Tidak Signifikan
Metallia (2007) 1. Struktur Kepemilikan
2. Ukuran Perusahaan
3. Rasio Perputaran Persediaan
1. Tidak Signifikan
2. Signifikan
3. Signifikan
Aprilina dan Utami (2007)
1. Ukuran Perusahaan
2. Intensitas Modal Bersih
3. Financial Leverage
1. Signifikan
2. Tidak Signifikan
3. Tidak Signifikan
Berdasarkan hasil penelitian di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian pengembangan dengan menggunakan faktor-faktor yang
mempengaruhi pemilihan metode penilaian persediaan yang sama dengan
penelitian yang dilakukan oleh Taqwa (2001), tetapi berfokus pada perusahaan
manufaktur yang bergerak di industri consumer goods yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia dengan periode tahun 2007-2009 dikarenakan agar karakteristik
perusahaan yang diteliti sama dan pada periode tersebut merupakan masa transisi
PSAK 14 mengadopsi IAS 2 Inventories menjadi PSAK 14 (revisi 2008).
Definisi hipotesis menurut Sugiyono (2009:93) sebagai berikut :
“Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian,
oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk
kalimat pertanyaan.” Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan
27
masalah karena jawaban yang diberikan baru berdasarkan teori yang relevan,
belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan
data. Penelitian tersebut melibatkan beberapa variabel, yaitu variabel dependen
dan variabel independen. Berikut adalah variabel-variabel yang digunakan dalam
membuat hipotesis :
a. Variabel independen (X)
- Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan metode penilaian persediaan
sebagai X.
b. Variabel dependen (Y)
- Metode Penilaian Persediaan sesuai dengan PSAK 14 (Revisi 2008) sebagai
Y.
• Hipotesis 1 : Struktur kepemilikan berpengaruh secara signifikan terhadap
pemilihan metode penilaian persediaan sesuai dengan PSAK 14 (revisi
2008).
Ha1 : Struktur kepemilikan berpengaruh secara signifikan terhadap pemilihan
metode penilaian persediaan sesuai dengan PSAK 14 (revisi 2008).
• Hipotesis 2 : Ukuran perusahaan berpengaruh secara signifikan terhadap
pemilihan metode penilaian persediaan sesuai dengan PSAK 14 (revisi
2008).
Ha2 : Ukuran perusahaan berpengaruh secara signifikan terhadap pemilihan
metode penilaian persediaan sesuai dengan PSAK 14 (revisi 2008).
28
• Hipotesis 3 : Financial leverage berpengaruh secara signifikan terhadap
pemilihan metode penilaian persediaan sesuai dengan PSAK 14 (revisi
2008).
Ha3 : Financial leverage berpengaruh secara signifikan terhadap pemilihan
metode penilaian persediaan sesuai dengan PSAK 14 (revisi 2008).
• Hipotesis 4 : Variabilitas persediaan berpengaruh secara signifikan terhadap
pemilihan metode penilaian persediaan sesuai dengan PSAK 14 (revisi
2008).
Ha4 : Variabilitas persediaan berpengaruh secara signifikan terhadap
pemilihan metode penilaian persediaan sesuai dengan PSAK 14 (revisi
2008).
• Hipotesis 5 : Rasio lancar berpengaruh secara signifikan terhadap pemilihan
metode penilaian persediaan sesuai dengan PSAK 14 (revisi 2008).
Ha5 : Rasio lancar berpengaruh secara signifikan terhadap pemilihan metode
penilaian persediaan sesuai dengan PSAK 14 (revisi 2008).
• Hipotesis 6 : Struktur kepemilikan, ukuran perusahaan, financial leverage,
variabilitas persediaan, dan rasio lancar secara bersama-sama berpengaruh
secara signifikan terhadap pemilihan metode penilaian persediaan sesuai
dengan PSAK 14 (revisi 2008).
Ha6 : Struktur kepemilikan, ukuran perusahaan, financial leverage,
variabilitas persediaan, dan rasio lancar secara bersama-sama berpengaruh
secara signifikan terhadap pemilihan metode penilaian persediaan sesuai
dengan PSAK 14 (revisi 2008).
29
Untuk memberikan gambaran lebih jelas terhadap hipotesis pada penelitian ini,
maka dibuat gambarnya sebagai berikut :
Gambar II.1
Hubungan Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, Financial Leverage, Variabilitas Persediaan, dan Rasio Lancar Secara Parsial dan Simultan
Terhadap Metode Penilaian Persediaan (PSAK 14 (Revisi 2008))
Struktur Kepemilikan
Ukuran Perusahaan
Financial Leverage
Variabilitas Persediaan
Rasio Lancar
Metode Penilaian Persediaan
(PSAK 14 (revisi 2008))