bab ii landasan teori dan kerangka...
TRANSCRIPT
9
BAB II
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Manajemen Ritel
2.1.1 Ritel
Kata ritel berasal dari bahasa Perancis, ritellier, yang berarti memotong atau
memecah sesuatu (Utami, 2006, p4). Usaha ritel atau eceran (retailing) dapat dipahami
sebagai semua kegiatan yang terlibat dalam penjualan barang atau jasa secara langsung
kepada konsumen akhir untuk penggunaan pribadi dan bukan penggunaan bisnis. Ritel juga
merupakan perangkat dari aktivitas-aktivitas bisnis yang melakukan penambahan nilai
terhadap produk-produk dan layanan penjualan kepada para konsumen untuk penggunaan
konsumsi perorangan maupun keluarga.
Ritel menyediakan pasar bagi para produsen untuk menjual produk-produk mereka.
Dengan demikian, ritel adalah kegiatan terakhir dalam jalur distribusi yang menghubungakan
produsen dengan konsumen. Jalur distribusi adalah sekumpulan atau beberapa perusahaan
yang memudahkan penjualan kepada konsumen sebagai tujuan akhir.
2.1.2 Peritel
Bisnis ritel adalah kegiatan usaha menjual barang atau jasa kepada perorangan
untuk keperluan diri sendiri, keluarga, atau rumah tangga. Kegiatan itu mencakup penjualan
barang dan jasa kepada pengguna yang bervariasi mulai dari mobil, pakaian, makanan,
hingga tiket bioskop. Mereka menjual barang atau jasa langsung kepada konsumen. Dalam
10
pengertian lazimnya, retailer adalah mata rantai terakhir dalam proses distribusi. Peritel
merupakan mitra dari agen/dsitributor yang memiliki nama lain wholesaler (pedagang partai
besar).
2.1.3 Pengelompokan Ritel
Secara umum, ritel dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Supermarket tradisional
Supermarket tradisional melayani penjualan makanan, daging, serta produk-produk
makanan lainnya, serta melakukan pembatasan penjualan terhadap produk-produk non-
makanan seperti produk kesehatan, kecantikan, dan produk umum lainnya. Supermarket
konvensional yang lebih luas juga menyediakan layanan antar, roti dan kue (bakery),
bahan makanan mentah, serta produk makanan lainnya, disebut juga sebagai
superstore.
b. Big-box Retailer
Merupakan bentuk supermarket yang mulai berkembang dengan semakin memperluas
ukuran dan mulai menjual berbagai produk luar negeri yang bervariasi. Pada format big-
box retailer, terdapat beberapa jenis supermarket, yaitu :
- Supercenter adalah supermarket yang mempunyai luas lantai 3.000 hingga 10.000
meter persegi dengan variasi produk yang dijual, untuk makanan sebanyak 30-40%
dan produk-produk non-makanan sebanyak 60-70%. Supermarket jenis ini termasuk
supermarket yang tumbuh dengan dengan cepat. Persediaan yang dimiliki berkisar
antara 12.000-20.000 item. Supermarket jenis ini mempunyai kelebihan sebagai
tempat belanja dalam satu atap sehingga banyak pengunjung yang datang dari jauh.
- Hypermarket merupakan supermarket yang memiliki luas antara lebih dari 18.000
meter persegi dengan kombinasi produk makanan 60-70% dan produk-produk
11
umum 30-40%. Hypermarket merupakan salah satu bentuk supermarket yang
memiliki persediaan lebih sedikit dibanding supercenter. Yaitu lebih dari 25.000 item
yang meliputi produk makanan, perkakas, peralatan olahraga, furnitur, perlengkapan
rumah tangga, komputer, elektronik, dan sebagainya. Dengan demikian,
hypermarket adalah gerai eceran yang mengombinasikan pasar swalayan dan
pemberi diskon lini penuh.
- Warehouse merupakan ritel yang menjual produk makanan yang jenisnya terbatas
dan produk-produk umum dengan layanan yang minim pada tingkat harga yang
rendah terhadap konsumen akhir dan bisnis kecil. Ukurannya antara lebih dari
13.000 meter persegi dan lokasinya biasanya di luar kota. Pada jenis ritel ini, interior
yan digunakan lebih sederhana. Produk yang dijual meliputi makanan dan produk
umum biasa lainnya.
c. Convenience Store
Convenience store memiliki variasi dan jenis produk yang terbatas. Luas lantai ritel jenis
ini berukuran kurang dari 350 meter persegi dan biasanya didefinisikan sebagai pasar
swalayan mini yang menjual hanya lini terbatas dari berbagai produk kebutuhan sehari-
hari yang perputarannya relatif tinggi. Convenience store ditujukan kepada konsumen
yang membutuhkan pembelian dengan cepat tanpa harus mengeluarkan upaya yang
besar dalam mencari produk-produk yang diinginkan. Produk-produk yang dijual
biasanya ditetapkan dengan harga yang lebih tinggi daripada di supermarket.
d. General merchandise retail
Jenis ritel ini meliputi gerai diskon, gerai khusus, gerai kategori, department store, off-
price retailing, dan value retailing.
- Gerai diskon (discount store) merupakan jenis ritel yang menjual sebagian besar
variasi produk, dengan menggunakan layanan yang terbatas, dan harga yang murah.
12
Gerai diskon menjual produk dengan label atau merek milik gerai itu sendiri (private
label) maupun merek-merek lain yang sudah dikenal luas. Tetapi, merek-merek
tersebut kebanyakan bukan merek yang berorientasi fesyen dibandingan merek-
merek dagangan yang dijual pada department store.
- Gerai khusus (speciality store) berkonsentrasi pada sejumlah terbatas kategori
produk-produk komplementer dan memiliki level layanan yang tinggi dengan luas
gerai sekitar 8.000 meter persegi. Format gerai khusus memungkinkan ritel
memperhalus strategi segmentasi yang dijalankan serta menetapkan barang
dagangan pada target pasar yang lebih spesifik. Gerai khusus tidak hanya
merupakan jenis gerai namun juga merupakan metode operasi ritel, yaitu hanya
mengkhususkan diri pada jenis barang dagangan tertentu, misalnya perhiasan,
pakaian anak-anak, produk olahraga, produk perlengkapan bayi, dan lain-lain.
- Gerai kategori (category speacialist) merupakan gerai diskon dengan variasi produk
yang dijual lebih sempit atau khusus tetapi memiliki jenis produk yang lebih banyak.
Ritel ini merupakan salah satu diskon yang paling dasar. Beberapa gerai kategori
menggunakan pendekatan layanan sendiri, tetapi beberapa gerai menggunakan
asisten untuk melayani konsumen.
- Department store merupakan jenis ritel yang menjual variasi produk yang luas dan
berbagai jenis produk dengan menggunakan beberapa staf, seperti layanan
pelanggan (customer service), dan tenaga sales counter.
- Off price retailing menyediakan berbagai jenis produk dengan merek berganti-ganti
dan lebih ke arah orientasi fesyen dengan tingkat harga produk yang mudah. Ritel
off-price dapat menjual merek dan label produk dengan harga yang lebih rendah dari
umumnya.
13
- Value retailing merupakan gerai diskon yang menjual sejumlah besar jenis produk
dengan tingkat harga rendah, dan biasanya berlokasi di daerah-daerah padat
penduduk. Ritel jenis ini berukuran lebih kecil dari gerai diskon tradisional.
Pada bisnis ritel, terdapat dua bentuk utama dalam penggunaan sarana atau media
yang digunakan yaitu ritel dengan sistem penjualan melalui gerai dan ritel dengan penjualan
yang menggunakan sistem non-store.
Gambar 2.1 Pengelompokan Bisnis Ritel
Sumber : Levy dan Weitz, Retail Management, 2004 dalam Utami, 2006, p17
Format Ritel
Store
Non-Store
- Katalog - Penjualan elektronik - Penjualan via surat - Mesin penjual - Telemarketing - E-Commerce
Ritel Barang Dagangan Umum
- Specialty store - Variety store - Department store - Off-price store - Factory outlet
Ritel Berorientasi Makanan
- Convenience store - Supermarket - Supercenter - Grosir - Hypermarket
14
2.2 Merek
“Brand is a name, term, sign, symbol, or design, or a combination of them, intented
to identify the goods or services of one seller and to differentiate them from those
competitors” (The American Marketing Association)
Pada hakikatnya, merek merupakan identifier yang terdiri dari dua elemen pokok
yaitu : produk atau market offering yang direpresentasikannya dan komunikasi tawaran dan
janji merek yang bersangkutan (Tjiptono, 2005). Manajemen kedua elemen ini secara efektif
sangat krusial dalam mendukung kelanggengan relasi antara merek bersangkutan dan pasar
secara keseluruhan. Sebuah merek lebih dari sekedar produk. Produk adalah sesuatu yang
diproduksi di pabrik, sedangkan merek adalah sesuatu yang dibeli konsumen (Seetharaman
et al., 2001 dalam Utami, 2006). Menurut Keller (2003), merek adalah produk yang mampu
memberikan dimensi tambahan yang secara unik membedakannya dari produk-produk lain
yang dirancang untuk memuaskan kebutuhan serupa. Perbedaan tersebut bisa bersifat
rasional dan tangible (berkenaan dengan representasi merek). Dengan kata lain, merek
mencerminkan keseluruhan persepsi dan perasaan konsumen mengenai atribut dan kinerja
produk, nama merek, dan maknanya, dan perusahaan yang diasosiasikan dengan merek
bersangkutan. Konsumen biasanya tidak menjalin relasi dengan barang atau jasa tertentu,
namun sebaliknya membina hubungan yang kuat dengan merek spesifik (Fournier, 1998
dalam Tjiptono, 2005).
Merek adalah sebuah tanda agar konsumen dapat membedakan satu produk dengan
produk lainnya, memungkinkan konsumen menggunakan merek sebagai pedoman atau
acuan tingkat dan konsistensi kualitas, serta memungkinkan para pemanufaktur untuk
mengkomunikasikan citra spesifik dan aspek produk tertentu kepada para konsumen melalui
15
kampanye periklanan massal. Merek juga membantu agar konsumen lebih mudah
mengingatnya sehingga mempermudah pengambilan keputusan ketika melakukan
pembelian.
Merek berguna bagi produsen dan konsumen. Bagi produsen, merek berperan
sebagai (Keller, 2003 dalam Tjiptono, 2005) :
1. Sarana identifikasi untuk memudahkan proses penanganan atau pelacakan produk bagi
perusahaan.
2. Bentuk proteksi hukum terhadap fitur atau aspek produk yang unik.
3. Signal tingkat kualitas bagi para pelanggan yang puas, sehingga mereka bisa dengan
mudah memilih dan membelinya lagi di lain waktu.
4. Sarana menciptakan asosiasi dan makna unik yang membedakan produk dari pesaing.
5. Sumber keunggulan kompetitif, terutama melalui perlindungan hukum, loyalitas
pelanggan, dan citra unik yang terbentuk dalam benak konsumen.
6. Sumber financial returns, terutama menyangkut pendapatan masa datang
Adapun fungsi merek bagi konsumen, yaitu :
Tabel 2.1 Fungsi Merek bagi Konsumen
Fungsi Manfaat Bagi Pelanggan
Identifikasi Bisa dilihat dengan jelas ; memberikan makna bagi produk ;
mudah mengidentifikasi produk yang dibutuhkan atau dicari
Praktikalitas Memfasilitasi penghematan waktu dan energi melalui
pembelian ulang identik dan loyalitas
Jaminan Memberikan jaminan bagi konsumen bahwa mereka bisa
mendapatkan kualitas yang sama meskipun pembelian
dilakukan pada waktu dan di tempat berbeda
16
Optimisasi Memberikan kepastian bahwa konsumen dapat membeli
alternatif terbaik dalam kategori produk tertentu dan pilihan
terbaik untuk tujuan spesifik
Karakterisasi Mendapatkan konfirmasi mengenai citra diri konsumen atau
citra yang ditampilkannya kepada orang lain
Kontinuitas Kepuasan terwujud melalui familiaritas dan intimasi dengan
merek yang telah digunakan atau dikonsumsi pelanggan
selama bertahun-tahun
Hedonistik Kepuasan terkait dengan daya tarik merek, logo, dan
komunikasinya
Etis Kepuasan berkaitan dengan perilaku bertanggung jawab
merek bersangkutan dalam hubungannya dengan
masyarakat
Sumber : Tjiptono, 2005, p21
2.2.1 Strategi Identifikasi Merek
”A clear and effective brand identification strategy is a foundation for brand
strength” (Craven & Piercy, 2003)
Konsep strategi pengenalan merek pengenalan merek merupakan salah satu strategi
manajemen merek. Inti dari strategi ini adalah bagaimana menjadikan sebuah merek sebagai
suatu alat bantu perusahaan untuk mendapatkan keuntungan strategik dan menjadi kunci
untuk memenangkan share position di dalam pasar. Berikut ini adalah implementasi strategi
identifikasi merek yang umum digunakan oleh perusahaan :
1. Specific product branding adalah strategi memberikan sebuah nama merek kepada
sebuah merek yang spesifik. Strategi ini biasanya digunakan produsen pada produk-
produk yang rutin dibeli konsumen. Strategi ini antara lain digunakan oleh Betadine (obat
luka), Pampers (popok bayi), Rinso (sabun pencuci pakaian), Aqua (air mineral),
17
Pepsodent (pasta gigi), Indomie (mie instan), Teh Kotak (minuman teh), Rexona
(deodarant), Chiki (makanan ringan), dan Shimizu (pompa air). Nama merek pada
produk-produk tersebut merupakan identifikasi unik yang membedakan dari produk
sejenis di pasaran. Produk yang termasuk dalam kategori low-involvement purchases
memperoleh keuntungan dari nama merek yang sudah terkenal. Batasan penting dalam
dalam menggunakan nama merek pada produk spesifik adalah biaya dalam membangun
dan menyokong setiap merek melalui iklan dan promosi penjualan. Bahaya lain yang
mengintai adalah nama merek dapat menjadi sedemikian populer sehingga menjadi
nama generik bagi sebuah tipe produk. Perusahaan harus berjuang keras untuk
menghindari konsekuensi dan akibat yang mungkin timbul akibat nama merek yang
terkenal.
2. Product-Line Branding adalah strategi memberikan nama merek pada satu lini produk
yang berhubungan. Fokus dari strategi ini adalah keunggulan biaya yang dapat dihemat
dengan mempromosikan lini produk daripada masing-masing produk. Strategi ini efektif
ketika perusahaan mempunyai satu atau lebih lini produk yang setiap item produknya
mempunyai hubungan. Keuntungan lain adalah perusahaan dapat memperkenalkan lini
produk baru dengan menggunakan nama merek yang telah terbangun.
3. Corporate Branding adalah membangun identitas merek dengan menggunakan nama
perusahaan pada seluruh produk yang ditawarkan. Contohnya adalah IBM, Yamaha,
Honda, Toshiba, Sony, Victoria Secret, Sara Lee, Coca-Cola, Telkomsel, Pepsi,
McDonalds, Apple, dan Motorola. Keuntungan dari strategi ini adalah dapat
menggunakan iklan dan program pemasaran yang sama untuk mendukung seluruh
produk perusahaan. Tantangan dari penggunaan strategi ini adalah kemungkinan
jatuhnya citra seluruh portofolio produk jika perusahaan menerima publikasi negatif
akibat sebuah produk yang tidak berfungsi dengan baik.
18
4. Combination Branding adalah strategi yang memadukan strategi antara product-line
branding dan corporate branding.
5. Private Branding adalah bentuk lain dari corporate branding dimana peritel melakukan
kontrak dengan produsen untuk memproduksi produk yang akan diberi merek sesuai
dengan nama peritel dan hanya akan tersedia di gerai peritel.
Gambar 2.2 Strategi Identifikasi Merek Sumber : Craven & Piercy, 2003, p326
2.3 Private Label
“Brand do not neseccarily have to be manufacturer brands. They can also be store
brands”. (Kumar, 2007)
Private label merupakan strategi private branding yang merujuk pada deskripsi
terhadap jenis-jenis produk yang disediakan oleh para pemasok kepada industri pengecer
(ritel) yang menyandang nama merek gerai pengecer masing – masing (Duane Knapp,
2000). Private label adalah segala jenis merek yang dijual retailer atau distributor dan hanya
tersedia di outlet peritel saja. Produk tersebut mempunyai spesifikasi khusus yang telah
19
ditentukan oleh peritel. Private label juga dikenal sebagai store brands, private label
branding, private-label goods, own-label, house-brands. Private label merupakan produk dari
perusahaan pemasok yang telah terikat kontrak dengan peritel.
Sejarah awal mula kehadiran private label jauh dimulai pada abad ke 19. A&P,
sebuah jaringan supermarket di Amerika adalah ritel pertama yang memperkenalkan produk
private label di kategori bahan pangan dengan mengusung merek Eight O’Clock Coffee dan
Our Own Tea. Pada masa itu, private label dipandang sebagai merek sampingan yang
kualitasnya diragukan. Namun, sejak tahun 1970-an, merek manufaktur mulai terkikis oleh
pangsa private label yang terus mengalami kenaikan ketika peritel seperti Carrefour, Ahold,
dan Metro mulai mengembangkan jaringan ke pasar internasional. Selama 30 tahun terakhir,
pangsa private label dunia terus meningkat dari 12% ke 34% (Kumar, 2007, p4). Pada tahun
2010, diperkirakan pangsa private label dunia akan tumbuh lebih dari 50% dari 14% ke
22%.
Tabel 2.2 Pangsa Private Label pada Kategori Consumer Packaged Goods
Private Label Share (% of Sales) 2000 Expected 2010 Worldwide Western Europe Central and Eastern Europe North America Latin America Australasia Japan China South Africa
14
20 1 20 3 15 2
0.1 6
22
30 7 27 9 22 10 3 14
Sumber : http://planetretail.net/ dalam Kumar, 2007, p6
20
Di Indonesia, tren memproduksi dan memasarkan produk private label mulai menjadi
semacam tren di kalangan peritel. Berikut ini adalah tabel produk private label peritel di
Indonesia :
Tabel 2.3 Produk Private Label di Indonesia
Tipe Gerai Merek Gerai Perusahaan Ritel Merek Produk
Private Label
Hipermarket Carrefour PT. Carrefour Indonesia Carrefour, Harmonie Blue Sky, First Line, Paling Murah
Hipermarket Hypermart PT. Matahari Putra Prima Value Plus
Hipermarket & Supermarket
Giant PT. Hero Supermarket Tbk. Giant, First Choice
Supermarket Super Indo PT. Lion Superindo 365
Supermarket Hero PT. Hero Supermarket Tbk. Hero Save, Nature Choice, Relliance
Minimarket Alfamart PT. Sumber Alfaria Trijaya Pasti
Minimarket Indomaret PT. Indomarco Prismatama Indomaret
Pusat Grosir Makro PT. Makro Indonesia Aro, Save Pack
Sumber : Rangkuman dari Berbagai Sumber
2.3.1 Strategi Merek Produk Private Label
Penamaan merek pada produk private label dapat dikategorikan menjadi :
▪ Store brands
Nama retailer terpampang jelas pada kemasan produk private label.
▪ Store Sub-brands
Produk private label di mana nama retailer ditempatkan di bagian yang tidak terlalu
mencolok pada kemasan.
▪ Umbrella brands
21
Produk private label yang diberi merek independen : tidak ada kaitan dengan nama
retailer. Umbrella brand digunakan untuk produk dengan kategori yang berbeda.
▪ Individual brands
Nama merek yang digunakan untuk satu kategori yang sama.
▪ Exclusive brands
Nama merek yang digunakan untuk satu kategori yang sama. Namun produk ini
mempromosikan added-value
Tabel 2.4 Keuntungan dan Kerugian Private Label
Keuntungan Kerugian
Peritel • Mengurangi dominasi merek
nasional dalam pasar
• Menciptakan ketergantungan
konsumen kepada retailer
• Meningkatkan penjualan
• Sebuah kesempatan untuk
strategi diferensiasi dan
menyediakan pilihan yang
beragam bagi konsumen
• Membangun loyalitas konsumen
terhadap retailer dengan
menghindari perbandingan di
antara merek – merek lain
• Membangun image retailer yang
positif
• Kebebasan dalam pengaturan
pricing strategy
• Mempunyai posisi tawar yang
lebih baik dalam resesi ekonomi
• Standarisasi yang tidak
seragam di antara kategori
produk private label
memunculkan perasaan
negatif dari konsumen
• Retailer dapat dipersepsikan
sebagai less powerful in the
marketplace karena tidak
mempromosikan merek –
merek yang sudah ternama
• Turnover yang rendah,
hasilnya adalah kerugian
penjualan per linear meter
• Fokus yang berlebihan
terhadap private label
• Harga yang rendah
dipersepsikan dengan kualitas
yang rendah
• Kurangnya dukungan finansial
22
• Pengendalian persediaan yang
lebih mudah
dari pemasok
• Jika produk private label
tersebut gagal atau tidak
berhasil memuaskan
konsumen, kecil kemungkinan
mereka akan membeli produk
private label yang lain
Pemasok • Menutup peluang pesaing
• Pemasok dapat memasuki pasar
dengan biaya yang rendah
• Sebagai secondary product yang
menambah portofolio produk
perusahaan
• Memproduksi produk pesaing
untuk melawan market leder
• Kesempatan bagi usaha kecil yang
tidak memiliki modal besar untuk
memasuki pasar yang lebih luas
• Memperoleh lebih banyak ruang
dalam rak gerai
• Pembangunan strategic partnership
dengan retailer
• Hubungan dengan retailer
dapat terganggu jika produk
tidak berkualitas
• Menciptakan kompetitor yang
mengancam produk yang
mereka pasarkan
• Pemasok lain mungkin
menawarkan harga private
label yang lebih rendah
sehingga memaksakan
keuntungan lebih rendah
• Biaya penyimpanan yang
tinggi dan margin keuntungan
yang rendah
Konsumen • Harga lebih rendah untuk kualitas
yang setara dengan produk lain
• Pilihan yang lebih banyak
• Nama retailer yang terpercaya =
Kepercayaan terhadap produk
• Sebagai pengganti produk lain
yang habis persediannya
• Produk berkualitas rendah
• Persepsi harga murah =
kualitas rendah
• Anggapan kualitas yang
seragam pada produk private
label yang lain jika ada produk
yang tidak dapat berfungsi
dengan baik
Sumber : http://retailindustry.about.com/library/uc/02/uc_stanley3.htm
23
2.4 Citra Merek
“A brand-image is defined as the sum total of brand associations held in consumer
memory that lead to perceptions about the brand.” (Keller, 1993 dalam Vahie dan Paswan,
2006)
Walau citra merek telah lama dikenali sebagai konsep yang penting dalam dunia
pemasaran, kesepakatan mengenai definisi citra merek masih menjadi perdebatan (Dobni
dan Zinkhan, 1990 dalam Low dan Lamb, 2002). Citra merek adalah representasi sebuah
merek di benak konsumen atau deksripsi tentang asosiasi dan keyakinan konsumen terhadap
merek tertentu. Idealnya, identitas merek yang diberikan pemasar pada sebuah merek harus
dapat direfleksikan oleh citra produk tersebut. Citra dari sebuah produk dapat dilihat dari dua
pandangan : perusahaan dan konsumen (de Chernatony and Dall’Olmo, 1998) yang
menimbulkan dua pandangan utama : identitas merek dan citra merek. Identitas merek
adalah serangkaian asosiasi merek yang disodorkon oleh pemasar sedangkan citra merek
adalah apa yang dipersepsikan oleh konsumen (Susanto dan Wijanarko, 2004). Asosiasi
merek dapat dikelompokkan menjadi (Aaker, 1991 dalam Chen, 2001):
1. Brand-related associations
- Product attributes (atribut produk)
- Country/geographic area (negara/area geografi)
- Life style/personality (gaya hidup/kepribadian)
- Celebrity/person (orang terkenal/masyarakat umum)
- User/customer (pengguna/konsumen)
- Relative price (harga relatif)
- Customer benefits (manfaat bagi konsumen)
24
- Intangibles benefit (manfaat tak berwujud)
2. Category-related Associations
- Competitor (pesaing)
- Product Class (kelas produk)
- Use/Application (penggunaan)
Citra merek terdiri dari asosiasi yang berhubungan dengan produk (atribut, manfaat,
dan sikap), asosiasi berdasarkan preferensi perasaan, kekuatan asosiasi produk, dan
keunikan dari asosiasi-asosiasi merek (Keller, 1993 dalam Vahie dan Paswan, 2006). Citra
merek seharusnya tidak hanya mengukur atribut fisik dari sebuah produk saja. Namun juga
harus mempertimbangkan faktor fungsional, emosional dan manfaat ekpresi diri. (Davis,
2002; Vázquez et al., 2002 dalam Martinez dan Chernatony, 2004) Asosiasi citra merek ini
bersifat multidimensional dan dapat dikelompokkan menjadi dua garis besar sehingga terdiri
dari (Keller, 1993 dalam Vahie dan Paswan, 2006) :
1. Dimensi afektif atau sikap terhadap merek, yaitu motif konsumen yang berdasarkan
atau berkaitan dengan kriteria kepribadian atau emosi.
2. Dimensi kualitas, yaitu berhubungan dengan faktor atribut dan manfaat yang dapat
diberikan oleh suatu produk.
2.5 Citra Gerai
Citra gerai adalah pandangan atau persepsi masyarakat terhadapa nama atau
produk gerai tersebut atau bisa juga diartikan sebagai penentuan posisi gerai secara efektif,
baik dari segi nilai, kualitas, dan harga (Sopiah dan Syihabudhin, 2008, p174). Jika dilihat
dari konsep secara fungsional, citra gerai berkaitan dengan barang dagangan, harga, dan
tata letak. Sementara secara psikologis, citra gerai berkaitan dengan nilai kepribadian gerai
25
tersebut, mulai dari perasaan bersahabat yang ditimbulkan, perasaan memiliki, serta nilai
yang didapat dari arsitektur, simbol, display, warna, termasuk sikap dan karyawan.
Konsep citra gerai mempunyai sejarah panjang yang selalu mengalami perubahan
sejak mulai diperkenalkan oleh Martineau pada tahun 1958. Namun pada penelitian ini,
dimensi citra gerai yang akan dipakai adalah konsep yang dinyatakan oleh Chowdury et all
(1998) karena merangkum secara padat konsep-konsep citra gerai yang pernah
dipublikasikan sebelumnya sehingga menjadi konsep luas dan menyeluruh yang dapat
menjadi dimensi lengkap bagi pengukuran citra gerai (Vahie dan Paswan, 2006). Selain itu,
konsep citra gerai Chowdury et all ini telah teruji validas dan reliabilitasnya dalam konteks
grocery store, format ritel Giant karena integrasi dimensi citra gerai yang sesuai dengan
format ritel yang dijalankan merupakan hal yang penting ( Keaveney dan Hunt, 1992 dalam
Hartman dan Spiro, 2004).
Tabel 2.5 Perkembangan Konsep Citra Gerai
Tahun Peneliti Teori
1958 Martineau Konsep citra gerai mulai dikenalkan. Gambaran definisi sebuah gerai di pikiran konsumen kualitas fungsional dan atribut psikologi. Citra gerai merupakan bagian dari kepribadian gerai ritel
1968 Kunkel dan Berry
Total konseptualitasi dari konsumen yang berbelanja di sebuah gerai. Citra gerai merupakan hasil dari persepsi objektif dan subjektif konsumen.
1974 Lindquist Menyatakan 9 dimensi citra gerai : barang dagangan, pelayanan, pelanggan, fasilitas fisik, kenyamanan, promosi, lingkungan gerai, faktor institusi, dan kepuasan pasca-transaksi.
1974 Doyle &Fenwick
Menyatakan 5 dimensi citra gerai : produk, harga, varian, tatanan, dan lokasi.
1976 Marks Citra gerai bukan hanya merupakan persepsi dari berbagai atribut namun juga bobot kepentingan dan interaksi di antara atribut-atribut tersebut seperti : daya tarik, salesmanship, daya tarik eksternal, dan iklan.
26
1977 Bearden Menyatakan 7 dimensi citra gerai : harga, kualitas, barang dagangan, varian, suasana, lokasi, fasilitas parkir, dan personel gerai.
1990 Ghosh Menyatakan 8 dimensi citra gerai : lokasi, barang dagangan, suasana, pelayanan pelanggan, harga, iklan, penjualan personal, dan program insentif penjualan.
1992 Keaveney dan Hunt
Menyatakan bahwa citra gerai bukan hanya gambaran fungsi dan asosiasi dari gerai tertentu saja. Tetapi juga merupakan gambaran umum dari jenis ritel tersebut (department store, supermarket, atau discount store)
1998 Chowdury et all
Menyatakan 6 dimensi citra gerai : pelayanan, kualitas produk, ragam pilihan produk, suasana, kenyamanan, dan harga.
2001 Kim dan Jin Menyatakan 6 dimensi citra gerai : barang dagangan, pelayanan, kenyamanan pelayanan, kenyamanan fasilitas, kepadatan pengunjung, suasanan yang bersih dan lapang, dan harga kompetitif.
2005 Chang dan Tu Menyatakan 4 dimensi citra gerai : fasilitas, pelayanan gerai, aktifitas gerai, dan kenyamanan.
Sumber : Rangkuman dari Berbagai Sumber
2.5.1 Strategi Mempertahankan Citra Gerai
Beberapa strategi yang bisa dilakukan oleh peritel dalam upayanya mempertahankan citra
gerai antara lain :
1. Strategi penentuan produk yang sesuai dengan citra gerai
Maksudnya, dalam strategi ini gerai harus menjual barang-barang dalam kategori
tertentu saja. Gerai harus mampu membedakan barang tersebut dari barang di gerai
yang lainnya.
2. Strategi penentuan target pasar
Strategi ini harus sesuai dengan citra gerai. Hal itu berkaitan dengan pasar konsumen
yang akan dituju apakah gerai tersebut menjual barang untuk kalangan bawah,
menengah, atau atas.
3. Strategi penentuan harga
27
Tujuan penetapan harga ini bertujuan meningkatkan persepsi konsumen terhadap
bauran keseluruhan barang yang dijual atau ditawarkan di gerai tersebut.
4. Strategi pelayanan jasa
Tujuan strategi ini dimaksudkan untuk melayani konsumen sebaik-baiknya agar mereka
merasa puas terhadap layanan jasa yang diberikan oleh gerai tersebut. Jasa pelayanan
ini harus dijalankan dengan baik agar konsumen memiliki citra yang baik terhadap gerai
tersebut. Kegiatan jasa meliputi empat unsur pokok, yaitu :
a. Kecepatan
Dalam hal ini, peritel dituntut untuk memberikan pelayanan yang cepat kepada
pengunjung sehingga waktu pengunjung tidak terbuang sia-sia hanya untuk
melakukan transaksi pembelian
b. Ketepatan
Dalam hal ini peritel mengetahui dan mengidentifikasikan keinginan pengunjung, di
mana barang yang mereka jual sesuai dengan selera konsumen.
c. Keramahan
Dalam unsur keramahan, para peritel atau pedagang gerai diharapkan memiliki sikap
yang ramah dan sopan karena dengan sikap tersebut pengunjung diharapkan bisa
merasa senang, dan merasa diperhatikan yang diikuti dengan loyalitas pengunjung
terhadap produk tersebut.
d. Kenyamanan
Kenyamanan yang dimaksud di sini adalah pengunjung merasa nyaman, baik
suasana, lokasi yang strategis, serta fasilitas yang mendukung.
5. Strategi penanganan keluhan pengunjung
Tujuan strategi ini adalah menangani konsumen yang mengalami keluhan, baik dari
pelayanan, produk yang kurang baik atau sudah tidak laku dijual, ataupun kelebihan dan
28
kekurangan lain dari gerai tersebut. Dalam hal ini, peritel atau pedagang gerai bisa
menggunakan angket atau wawancara langsung kepada konsumen untuk menanyakan
keluhannnya.
2.5.2 Faktor Pendukung Citra Gerai
Selain strategi tersebut di atas, ada beberapa faktor pendukung agar citra gerai bisa
menarik hati konsumen.
1. Pengaturan gerai : Sistem pengaturan barang yang digunakan, di mana penataan
barang tersebut dibuat berkelompok atau disebut juga free flow. Hal itu dimaksudkan
untuk memudahkan konsumen atau pelanggan saat berjalan hilir mudik mencari barang
tersebut
2. Tata cahaya : Fokusnya adalah pada konsep pencahayaan gerai yang dibuat
sedemikian rupa sehingga menambah daya tarik pembeli.
3. Tampilan gerai : Penataan tampilan gerai sebaiknya dilakukan sesering mungkin
dan disesuaikan dengan keadaan atau kondisi pada waktu tertentu. Tampilan gerai yang
rapi, bersih, mudah dilihat, lokasinya tepat, aman, serta mempunyai susunan memikat
akan menarik konsumen sehingga bersedia membeli barang di gerai.
2.5.3 Hal – Hal yang Bisa Merusak Citra Gerai
Di samping aspek-aspek yang bisa menjaga mempertahankan citra gerai, peritel juga perlu
menghindari berbagai hal yang bisa merusal citra gerai. Hal – hal tersebut antara lain :
1. Barang yang dijual di gerai tidak sesuai dengan yang dipromosikan dari segi kualitas dan
kuantitas.
29
2. Jasa yang diberikan gerai tidak memuaskan konsumen. Hal yang dimaksudkan adalah
pelayanan yang didapatkan konsumen kurang memuaskan hati. Sebagai contoh,
melayani konsumen kurang cepat, kurang cekatan, dan tidak ramah.
3. Barang yang ditawarkan tidak sesuai dengan kebutuhan konsumen atau tidak tepat pada
sasaran. Hal yang dimaksud adalah barang yang dijual tidak sesuai dengan selera
konsumen, bertolak belakang dengan yang dibutuhkan, serta sasaran yang tidak tepat.
Maksud gerai tersebut adalah menjual barang di mana sasarannya hanya untuk kelas
atas, tetapi pengunjung gerai tersebut rata-rata memiliki golongan menengah ke bawah.
4. Penentuan display tidak sesuai. Maksudnya, barang susah berkarat, bocor,
berbau,labelnya sudah hilang, dan kadaluarsa.
5. Harga yang ditawarkan tidak terjangkau oleh kalangan konsumen. Harga barang
tersebut terlalu mahal, hanya untuk kalangan tertentu saja.
2.6 Sikap Terhadap Merek
”Brand attitudes are defined as consumers’ overall evaluations of a brand.” (Wilkie,
1983 dalam Low dan Lamb, 2000)
Sikap disebut juga sebagai konsep yang paling khusus dan sangat dibutuhkan dallam
dunia pemasaran untuk memahami konsumen. Konsumen cenderung untuk mengevaluasi
merek baik disenangi atau tidak secara konsisten. Dengan demikian, konsumen
mengevaluasi merek tertentu secara keseluruhan mulai dari yang paling jelek sampai yang
paling baik. Sikap yang positif terhadap merek sangat penting karena seringkali merupakan
dasar dari pembentukan perilaku konsumen seperti pemilihan terhadap merek tertentu.
Sikap adalah suatu mental dan syaraf sehubungan dengan kesiapan untuk menanggapi,
30
diorganisasi melalui pengalaman dan memiliki pengarah yang mengarahkan dan atau
dinamis terhadap perilaku (Gordon Allport dalam Setiadi, 2008, p214).
Teori sikap terhadap merek yang paling banyak diaplikasikan dalam dunia
pemasaran adalah model multiatribut dari Fishbein (Setiadi, 2008, p221). Model ini
menjelaskan pembentukan sikap sebagai tanggapan atas atribut-atribut. Model Fishbein
memungkinkan para pemasar mendiagnosis kekuatan dan kelemahan merek produk mereka
secara relatif dibandingkan dengan merek produk pesaing dengan menentukan bagaimana
konsumen mengevaluasi alternatif merek produk pada atribut-atribut penting (Fishbein dan
Ajzen, 1975 dalam Setiadi, 2008, p221).
Gambar 2.3 Model Multiatribut Fishbein Sumber : Setiadi, 2008, p221
Dalam tahapan proses pengambilan keputusan konsumen, setelah konsumen
melakukan pencarian dan pemrosesan informasi, langkah berikutnya adalah menyikapi
informasi yang diterimanya. Apakah konsumen akan meyakini infomasi yang diterimanya dan
memilih merek tertentu untuk dibeli, hal ini berkaitan dengan sikap yang dikembangkan.
Keyakinan dan pilihan konsumen atas suatu merek adalah merupakan sikap konsumen.
Dalam banyak hal, sikap terhadap merek tertentu akan mempengaruhi apakah konsumen
akan membeli atau tidak. Sikap terhadap merek terbentuk dari hasil pengalaman langsung
konsumen dengan produk tersebut, informasi dari mulut ke mulut, dan berbagai macam
bentuk dari pemasaran langsung seperti mailer peritel (Schiffman dan Kanuk, 2007, p232).
Evaluasi Atribut
Kepercayaan
Sikap terhadap Obyek
31
Sikap positif terhadap merek tertentu akan memungkinkan konsumen melakukan pembelian
terhadap merek itu, tetapi sebaliknya sikap negatif akan menghalangi konsumen untuk
melakukan pembelian. (Setiadi, 2008, p213) dan berdampak kepada citra merek produk
tersebut karena sikap terhadap merek berhubungan langsung terhadap citra merek (Faircloth
et al, 2001; Low dan Lamb, 2000).
Di dalam gerai, tersedia 2 macam merek, merek nasional terkemuka yang
dipasarkan secara nasional dengan didukung oleh sumber daya perusahaan dan strategi
pemasaran yang kokoh serta merek private label, merek yang hanya tersedia secara
eksklusif di dalam gerai peritel. Sikap konsumen terhadap kehadiran merek nasional yang
positif penting untuk dapat mengetahui citra gerai dan citra merek private label. Hal ini
dikarenakan karena merek nasional dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen untuk
mengunjungi sebuah gerai karena merek nasional yang dinilai positif oleh konsumen
mempunyai efek yang baik pada citra gerai. (Porter dan Claycomb 1997 dalam Vahie dan
Paswan, 2006). Namun, pengukuran sikap konsumen terhadap kehadiran merek nasional
harus juga dilakukan dengan mempertimbangkan faktor lain yaitu citra gerai dan produk
private label karena retail manager juga harus memperhatikan harmonisasi antara merek
nasional dan merek produk private label di dalam gerai (Porter dan Claycomb 1997 dalam
Vahie dan Paswan, 2006) sehingga masing-masing merek mempunyai efek yang saling
mendukung.
Sikap dapat diklasifikasikan menjadi (Daniel Kazt dalam Setiadi, 2008, p215) :
1. Fungsi utilitarian, yaitu fungsi yang berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar imbalan
dan hukuman. Di sini konsumen mengembangkan beberapa sikap terhadap produk atas
dasar apakah suatu produk memberikan kepuasan atau kekecewaan.
32
2. Fungsi ekspresi nilai, yaitu sikap yang dikembangkan konsumen terhadap suatu merek
produk bukan didasarkan pada manfaat produk itu, tetapi lebih didasarkan atas
kemampuan merek produk itu mengekspresikan nilai-nilai yang ada pada dirinya.
3. Fungsi mempertahankan ego, yaitu sikap yang dikembangkan konsumen cenderung
untuk melindunginya dari tantangan eksternal maupun perasaan internal, sehingga
membentuk fungsi mempertahankan ego.
4. Fungsi pengetahuan, yaitu sikap membantu konsumen mengorganisasikan informasi
yang begitu banyak yang setiap hari dipaparkan pada dirinya. Fungsi pengetahuan dapat
membantu konsumen mengurangi ketidakpastian dan kebingungan dalam memilah-milah
informasi yang relevan dan tidak relevan dengan kebutuhannya.
2.6.1 Teori Atribusi
Teori atribusi adalah teori yang menyatakan bahwa konsumen berusaha
mengestimasi penyebab suatu peristiwa yang dialaminya atau yang dialami oleh orang lain
(Edward E.Jones, et al., 2000 dalam Schiffman dan Kanuk, 2007, p258). Teori atribusi
berusaha menjawab bagaimana manusia menerangkan perilaku orang lain maupun
perilakunya sendiri dan akibat dari perilakunya yang dipertanyakan, misalnya : sifat-sifat,
motif, dan sikap. Proses dalam penarikan kesimpulan mengenai perilaku diri sendiri dan
orang lain adalah bagian dari pembentukan dan perubahan sikap. Penyebab seseorang
melakukan tindakan tertentu bisa disebabkan oleh faktor eksternal dan faktor internal
(Schiffman dan Kanuk, 2007, p258). Contohnya adalah ketika seseorang melihat seorang
anak laki-laki di tepi jalan pada hari yang sangat panas. Anak laki-laki itu menghampiri kedai
es krim dan membeli es krim rasa coklat. Seseorang tadi dapat menyimpulkan bahwa anak
laki-laki tadi merasa kegerahan dan akhirnya membeli es krim (faktor internal) atau memang
33
anak laki-laki tersebut memang menyukai es krim, sama seperti anak kecil pada umumnya
(faktor eksternal).
Konsumen menjatuhkan pilihan atas sebuah produk berdasarkan antisipasi kepuasan
yang diharapkan dari produk tersebut seperti harapan akan menyukai produk tersebut Saat
konsumen melakukan pencarian mengapa sebuah produk berhasil atau gagal dalam
memenuhi harapan mereka, maka konsumen telah melakukan atribusi terhadap produk.
Atribusi terhadap produk dapat dilakukan pada produk itu sendiri, pada orang lain atau
situasi saat itu atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut (Folkes, 1988 dalam Schiffman dan
Kanuk, 2007, p258). Teori atribusi dapat menjelaskan bagaimana konsumen menjatuhkan
pilihan atas sesuatu melalui bukti-bukti yang terbatas (Burnkrant, 1975 dalam Vahie dan
Paswan, 2006). Prinsip dasar dari teori atribusi adalah semakin konsisten sinyal yang
diasosikan dengan sebuah obyek, maka atribusinya akan semakin kuat. Apabila produk tidak
pernah dibeli atau dicoba sebelumnya, antisipasi subjektif ini tidak akan berasal dari
pengalaman sebelumnya tetapi melalui faktor-faktor lain yang bisa diasosiakan dengan
produk atau layanan tersebut. Dalam pemilihan sebuah merek di dalam sebuah gerai,
konsumen yang belum pernah mencoba atau membeli sebuah produk tertentu dapat
menjadikan gerai dan merek-merek lain yang ada sebagai sumber asosiasi referensi untuk
menarik kesimpulan.
2.7 Pengertian Analisis Jalur
Analisis jalur ialah suatu teknik untuk menganalisis hubungan sebab akibat yang
terjadi pada regresi berganda jika variabel bebasnya mempengaruhi variabel tergantung
tidak hanya secara langsung, tetapi juga secara tidak langsung (Robert D, Rutherford, 1993
dalam Sarwono, 2007, p1). Analisis jalur adalah model perluasan regresi yang digunakan
34
untuk menguji keselaran matriks korelasi dengan dua atau lebih model hubungan sebab
akibat yang dibandingkan oleh peneliti. Modelnya digambarkan dalam bentuk gambar
lingkaran dan panah di mana anak panah tunggal menunjukkan sebagai penyebab. Regresi
dikenakan pada masing-masing variabel dalam suatu model sebagai variabel tergantung
sedang yang lain sebagai penyebab. Pembobotan regresi diprediksikan dalam suatu model
yang dibandingkan dengan matriks korelasi yang diobservasi untuk semua variabel dan
dilakukan juga penghitungan uji keselarasan statistik (David Garson, 2003 dalam Sarwono,
2007, p1)
2.7.1 Prinsip-Prinsip Dasar Analisis Jalur
Prinsip-prinsip dasar yang sebaiknya dipenuhi dalam analisis jalur di antaranya
adalah (Riduwan dan Kuncoro, 2007,p3):
1. Hubungan antar variabel bersifat linier, adaptif dan bersifat normal.
2. Hanya sistem aliran kausal ke satu arah artinya tidak ada arah kausalitas yang berbalik.
3. Variabel terikat (endogen) minimal dalam skala ukur interval dan rasio
4. Menggunakan sampel probability sampling.
5. Observed variables diukur tanpa kesalahan (instrumen pengukuran valid dan reliabel).
6. Model yang dianalisis diidentifikasi dengan benar berdasarkan teori-teori dan konsep-
konsep yang relevan artinya model teori yang dikaji dibangun berdasarkan kerangka
teoritis tertentu yang mampu menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel yang
diteliti.
2.7.2 Langkah-Langkah Menguji Analisis Jalur
Berikut ini adalah langkah-langkah yang digunakan untuk menguji analisis jalur
(Riduwan dan Kuncoro, 2006, p34-p35) :
35
1. Merumuskan hipotesis dan persamaan struktural
Struktur : Y = ρyx1X1 + ρyx2X2 + ρyε1
2. Menghitung koefisien jalur yang didasarkan pada koefisien regresi
a. Gambarkan diagram jalur lengkap, tentukan sub-sub strukturnya dan rumuskan
persamaan strukturalnya yang sesuai dengan hipotesis yang diajukan.
Hipotesis : Naik turunnya variabel endogen (Y) dipengaruhi secara signifikan oleh
variabel eksogen (X1 dan X2)
b. Menghitung koefisien regresi untuk struktur yang telah dirumuskan. Hitung koefisien
regresi untuk struktur yang telah dirumuskan :
Persamaan regresi berganda : Y = a + b1X1 + b1x2 + ε1
Keterangan :
Pada dasarnya koefisien jalur (path) adalah koefisien regresi yang distandarkan yaitu
koefisien regresi yang dihitung dari basis data yang telah diset dalam angka baku atau Z-
score (data yang diset dengan nilai rata-rata = 0 dan standar deviasi = 1). Koefisien jalur
yang distandarkan (standarized path coefficient) ini digunakan untuk menjelaskan besarnya
pengaruh (bukan memprediksi) variabel bebas (eksogen) terhadap variabel lain yang
diberlakukan sebagai variabel terikat (endogen).
Koefisien path ditunjukkan oleh output yang dinamakan Coefficient yang dinyatakan
sebagai Standardized Coefficient atau dikenal dengan nilai Beta . Jika ada diagram jalur
sederhana mengandung satu unsur hubungan antara variabel eksogen dengan variabel
endogen, maka koefisien path-nya adalah sama dengan koefisien korelasi r sederhana.
36
3. Menghitung koefisien jalur secara simultan (keseluruhan)
a. Kaidah pengujian signifikansi secara manual dengan menggunakan tabel F
F = (n – k – 1) R2 yxk
k ( 1 – R2 yxk)
Keterangan :
n = jumlah sampel
k = jumlah variabel eksogen
R2 yxk = R square
Jika F hitung > F tabel, maka tolak Ho artinya signifikan dan
Jika F hitung < F tabel, terima Ho artinya tidak signifikan
Dengan taraf signifikan (α) = 0,05
Cara mencari nilai F tabel : nilai (dk = k) atau v1 disebut nilai pembilang.
nilai (dk = n-k-1) atau v2 disebut nilai penyebut.
b. Kaidah pengujian signifikansi : aplikasi SPSS
▪ Jika nilai probabilitas 0,05 lebih kecil atau sama dengan nilai probabilitas sig atau
[0,05 < Sig], maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya tidak signifikan.
▪ Jika nilai probabilitas 0,05 lebih besar atau sama dengan nilai probabilitas sig atau
[0,05 > Sig], maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya signifikan.
37
4. Menghitung koefisien jalur secara individu
Secara individual uji statistik yang akan digunakan adalah uji t yang dihitung dengan
rumus (Schumacker & Lomax, 1966, p44 ; Kusnendi, 2005, p12 dalam Riduwan dan
Kuncoro, 2006, p117)
tk = ρ k ; (dk = n – k – 1) se ρ k
Keterangan :
Statistik se ρ X1 diperoleh dari hasil komputasi pada SPSS untuk analisis regresi setelah data
ordinal ditransformasikan ke interval.
Selanjutnya untuk mengetahui signifikansi analisis jalur bandingkan antara nilai
probabilitas 0,05 dengan nilai probabilitas Sig dengan dasar pengambilan keputusan sebagai
berikut :
▪ Jika nilai probabilitas 0,05 lebih kecil atau sama dengan nilai probabilitas sig atau
[0,05 < Sig], maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya tidak signifikan.
▪ Jika nilai probabilitas 0,05 lebih besar atau sama dengan nilai probabilitas sig atau
[0,05 > Sig], maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya signifikan.
5. Meringkas dan menyimpulkan
38
2.8 Kerangka Pemikiran
Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Sumber : Peneliti
Keterangan : X2.1 : KMN (Kesadaran akan Merek Nasional) X2.2 : KMN – PL (Kesejajaran antara Merek Nasional dan Private Label) X2.3 : KMN – CG(Kesejajaran antara Merek Nasional dan Citra Gerai)
X1 Citra Produk Private
Label
X1.1 Pelayanan
X1.2 Kenyamanan
X1.3 Kualitas
X1.4 Ragam Pilihan
X1.5 Harga/Nilai
X1.6 Suasana
Y
Citra Gerai
X2 Sikap terhadap
Kehadiran Merek Nasional
X2.1 KMN
X2.2 KMN - PL
X2.3 KMN - CG
39
2.9 Rancangan Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap pertanyaan penelitian yang telah
dirumuskan pada perumusan masalah. Karena pertanyaan penelitian biasanya berhubungan
dengan variabel yang diteliti, maka hipotesis juga merupakan pernyataan tentang hubungan
dua atau lebih variabel yang memerlukan pembuktian empiris. Hipotesis selalu dirumuskan
dalam bentuk kalimat pernyataan, sehingga sering disebut juga teori sementara.
Hipotesis 1 :
Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara X1 dan Y.
Ha : Ada hubungan yang signifikan antara X1 dan Y.
Hipotesis 2 :
Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara X2 dan Y.
Ha : Ada hubungan yang signifikan antara X2 dan Y.
Hipotesis 3 :
Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara X1 dan X2 terhadap Y.
Ha : Ada hubungan yang signifikan antara X1 dan X2 terhadap Y.
Hipotesis 4 :
Ho : X1 dan X2 tidak berkontribusi secara simultan dan signifikan terhadap Y.
Ha : X1 dan X2 berkontribusi secara simultan dan signifikan terhadap Y.
Hipotesis 5 :
Ho : X1 tidak berkontribusi secara signifikan terhadap Y.
Ha : X1 berkontribusi secara signifikan terhadap Y.
Hipotesis 6 :
Ho : X2 tidak berkontribusi secara signifikan terhadap Y.
Ha : X2 berkontribusi secara signifikan terhadap Y.
40
2.10 Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai Citra Merek Produk Private Label : Keterkaitannya dengan Citra
Gerai dan Merek Nasional merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Archna Vahie dan Audhesh Paswan pada tahun 2006 di Texas, Amerika Serikat. Judul
asli adalah Private Label Brand Image : Its Relationship with Store Image and National
Brand. Penelitian terdahulu dilakukan pada format ritel department store untuk menguji citra
merek produk private label pakaian dan citra gerai department store dikaitkan dengan
adanya kehadiran merek nasional (merek pakaian yang beredar secara nasional di Amerika).
Penelitian ini merupakan replikasi untuk menguji citra merek produk private label dan citra
gerai serta sikap terhadap kehadiran merek nasional pada format ritel grocey store.