bab ii landasan teori 2.1.1 teori agensieprints.mercubuana-yogya.ac.id/3453/3/bab ii.pdf · bab ii...
TRANSCRIPT
7
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.1 Teori Agensi
Teori keagenan (agency theory) menjelaskan bahwa
hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih (principal)
mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa
dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan
kepada agent tersebut (Jensen dan Meckling, 1976). Sedangkan
Hendriksen dan Michael (2000) menyatakan agen menutup kontrak
untuk melakukan tugas-tugas tertentu bagi prinsipal dan prinsipal
menutup kontrak untuk memberi imbalan kepada agen. Analoginya
seperti antara pemilik perusahaan dan manajemen perusahaan.
Perusahaan dipandang sebagai sekumpulan kontrak antara
manajer perusahaan dan pemegang saham. Prinsipal atau pemilik
perusahaan menyerahkan pengelolaan perusahaan terhadap pihak
manajemen. Manajer sebagai pihak yang diberi wewenang atas
kegiatan perusahaan dan berkewajiban menyediakan laporan
keuangan akan cenderung untuk melaporkan sesuatu yang
memaksimalkan utilitasnya dan mengorbankan kepentingan
pemegang saham. Sebagai pengelola perusahaan, manajer akan
lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek
perusahaan dibandingkan pemilik (pemegang saham). Manajer
berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan
8
kepada pemilik sebagai wujud dari tanggung atas pengelolaan
perusahaan namun informasi yang disampaikan terkadang diterima
tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya sehingga hal
ini memacu terjadinya konflik keagenan. Dalam kondisi yang
demikian ini dikenal sebagai informasi yang tidak simetrisatau
asimetri informasi (information asymmetr).
Teori keagenan (Jensen dan Meckling, 1976) menyatakan
bahwa perusahaan merupakan hubungan kontrak yang legal antara
pemegang saham (principal) dengan manajemen (agent). Dalam
hubungan ini sering kali timbul konflik karena adanya perbedaan
kepentingan. Dalam mengkaitkan antara struktur kepemilikan
dengan kinerja bank, terdapat satu hal yang tidak dapat dipisahkan
dari pencapaian sasaran organisasi bank serta kinerjanya, yaitu
manajemen atau pengurus bank. Pencapaian tujuan dan kinerja
bank tidak terlepas dari kinerja manajemen itu sendiri.
Agency relationship didefinisikan sebagai kontrak dimana
satu atau lebih orang (disebut owners atau pemegang saham atau
pemilik) menunjuk seorang lainnya (disebut agen atau
pengurus/manajemen) untuk melakukan beberapa pekerjaan atas
nama pemilik. Pekerjaan tersebut termasuk pendelegasian
wewenang untuk mengambil keputusan. Dalam hal ini manajemen
diharapkan oleh pemilik untuk mampu mengoptimalkan sumber
daya yang ada di bank tersebut secara maksimal. Bila kedua pihak
9
memaksimalkan perannya (utility maximizers), cukup beralasan
apabila manajemen tidak akan selalu bertindak untuk kepentingan
pemilik. Untuk membatasi atau mengurangi kemungkinan tersebut,
pemilik dapat menetapkan insentif yang sesuai bagi manajemen,
yaitu dengan mengeluarkan biaya monitoring dalam bentuk gaji.
Dengan adanya monitoring cost tersebut manajemen akan
senantiasa memaksimalkan kesejahteraan pemilik, walaupun
keputusan manajemen dalam praktek akan berbeda dengan
keinginan pemilik (Jensen dan Meckling, 1976 dalam Yeterina dan
Shella, 2012).
2.1.2 Struktur Kepemilikan
Struktur kepemilikan pada perusahaan modern biasanya
bersifat menyebar. Hal tersebut dapat dilihat dari proporsi
kepemilikan saham dalam suatu perusahaan. Struktur kepemilikan
dapat dihitung berdasarkan jumlah saham yang dimiliki pemegang
saham dibagi dengan seluruh jumlah saham yang ada. Komposisi
pemegang saham terdiri dari kepemilikan pihak dalam (insider),
dan kepemilikan pihak luar (outsider). Outsider dapat berupa
institusi domistik, institusi asing, pemerintah, individu domistik
dan individu asing. Insider sering disebut dengan managerial
ownership atau kepemilikan manajer.
10
Perbedaan antara kepemilikan insider dengan kepemilikan
outsider akan mengakibatkan timbulnya konflik kepentingan.
Konflik tersebut terjadi karena insider memiliki informasi yang
lebih dalam dan outsider kecil kemungkinan terlibat dalam
kegiatan operasional sehari-hari dibandingkan dengan insider.
Menurut teori pendekatan keagenan yang dikemukakan oleh
Iturriaga dan Sanz (2000) dalam Galih (2010) struktur kepemilikan
merupakan sebuah mekanisme atau alat untuk mengurangi konflik
kepentingan antara insider dengan outsider.
Imam dan Malik (2007) menyebutkan didalam
penelitiannya bahwa mekanisme corporate governance melalui
struktur kepemilikan adalah elemen paling penting di dalam
lingkungan dimana regulasi dan penegakan hukum di suatu Negara
masih tergolong lemah. Pemegang saham mempunyai hak untuk
berpartisipasi dan mengetahui informasi akan perubahan
perusahaan yang fundamental. Dengan adanya kontrol terhadap
manajemen dan meningkatkan kewenangan pemegang saham
publik, maka hal tersebut akan dapat mempengaruhi jalannya
perusahaan yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kinerja.
2.1.3 Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial merupakan jumlah saham yang
dimiliki oleh pihak manajemen (manajer). Kepemilikan saham
11
manajerial dapat membantu penyatuan kepentingan antara
pemegang saham dengan manajer. Semakin meningkat proporsi
kepemilikan saham manajerial maka semakin baik kinerja
perusahaan. Pada perusahaan dengan kepemilikan manajerial,
manajer yang sekaligus pemegang saham tentunya akan
menyelaraskan kepentingannya sebagai manajer dengan
kepentingannya sebagai pemegang saham. Sementara dalam
perusahaan tanpa kepemilikan manajerial, manajer yang bukan
pemegang saham kemungkinan hanya mementingkan
kepentingannya sendiri.
Jensen dan Meckling (1976) dalam Hermiyetti dan Erlinda
(2016 ) menyatakan bahwa untuk mengurangi konflik kepentingan
antara agen dan principal dapat dilakukan dengan meningkatkan
kepemilikan manajerial dalam suatu perusahaan. Manajer yang
sekaligus menjadi pemegang saham akan meningkatkan nilai
perusahaan sehingga dengan meningkatnya nilai perusahaan maka
nilai kekayaannya sebagai individu pemegang saham akan ikut
meningkat.
2.1.4 Kepemilikan Institusional
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa
kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting
dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara
12
manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor institusional
dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif
dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini
disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan yang
strategis sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan
manipulasi laba.
Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham
perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti
perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan
institusi lain (Tarjo, 2008). Kepemilikan institusional memiliki arti
penting dalam memonitor manajemen karena dengan adanya
kepemilikan oleh institusional akan mendorong peningkatan
pengawasan yang lebih optimal. Monitoring tersebut tentunya akan
menjamin kemakmuran untuk pemegang saham, pengaruh
kepemilikan institusional sebagai agen pengawas ditekan melalui
investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal.
Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan
menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak
investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku
opportunistic manajer. Menurut Shleifer and Vishny (dalam Rina,
2014) bahwa institutional shareholders, dengan kepemilikan
saham yang besar, memiliki insentif untuk memantau pengambilan
13
keputusan perusahaan. Kepemilikan institusional memiliki
kelebihan antara lain:
1) Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi
sehingga dapat menguji keandalan informasi.
2) Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan
lebih ketat atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan.
2.1.5 Kinerja Perusahaan
Mulyadi (2001) kinerja perusahaan merupakan sesuatu
yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dalam periode tertentu
dengan mengacu pada standar yang ditetapkan. Kinerja perusahaan
hendaknya merupakan hasil dari berbagai ukuran yang dapat
diukur dan menggambarkan kondisi empirik suatu perusahaan dari
berbagai ukuran yang disepakati. Untuk mengetahui kinerja yang
dicapai maka dilakukan penilaian kinerja. Penilaian kinerja adalah
penentuan secara periodik efektivitas operasional suatu organisasi,
bagian organisasi dan karyawannya berdasarkan sasaran, standar
dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
Standar prilaku dapat berupa kebijakan manajemen atau
rencana formal yang dituangkan dalam anggaran. Menurut
Mulyadi (2001) tujuan pokok penilaian kinerja adalah untuk
memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan
dalam mematuhi standar prilaku yang telah ditetapkan sebelumnya,
14
agar menghasilkan tindakan dan hasil yang diinginkan. Penilaian
kinerja juga digunakan untuk menekan perilaku yang tidak
semestinya dan untuk merangsang dan menegakkan perilaku yang
semestinya diinginkan melalui umpan balik hasil kinerja pada
waktunya serta penghargaan, baik yang bersifat intrinsik maupun
ekstrinsik.
Tujuan dari penilaian kinerja adalah untuk memotivasi
karyawan dalam mencapai sasaran organisasi di suatu perusahaan
dan dalam memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan
sebelumnya agar membedakan hasil dan tindakan yang diinginkan.
Standar perilaku dapat berupa kebijakan manajemen atau rencana
formal yang dituangkan dalam anggaran perencanaan untuk kinerja
perusahaan.
Berikut ini adalah beberapa rasio yang digunakan untuk
mengukur kinerja perusahaan (Ang, 1997 dalam Dini, 2010):
1. Rasio likuiditas
Rasio likuiditas adalah rasio yang menunjukkan
kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban
finansial yang berjangka pendek tepat pada waktunya.
2. Rasio aktivitas
Rasio aktivitas adalah rasio yang menunjukkan
bagaimana sumber daya telah dimanfaatkan secara
optimal, kemudian dengan cara membandingkan rasioa
15
ktivitas dengan sadar industry, maka dapat diketahui
tingkat efisiensi perusahaan dalam industri.
3. Rasio profitabilitas
Rasio profitabilitas dapat mengukur seberapa besar
kemampuan perusahaan memperoleh laba baik dalam
hubungan penjualan, asset maupun laba bagi modal
sendiri. Rasio profitabilitas dibagi menjadi enam antara
lain: gross profit margin (GRM), net profit margin
(NPM), operating return on assets (OPROA), return on
assets (ROA), return on equity (ROE), operating ratio
(OR).
4. Rasio solvabilitas (Leverage)
Financial leverage menunjukkan proporsi atas
penggunaan utang untuk membiayai investasinya.
Perusahaan yang tidak mempunyai leverage berarti
menggunakan modal sendiri 100%.
5. Rasio Pasar (Market ratio)
Rasio ini menunjukkan informasi penting perusahaan
yang diungkapkan dalam basis per saham. Rasio nilai
pasar perusahaan memberikan indikasi bagi manajemen
mengenai penilaian investor terhadap kinerja
perusahaan dimasa lampau dan prospeknya dimasa
yang akan mendatang. Ada beberapa rasio untuk
16
mengukur nilai pasar perusahaan, misalnya price
earning ratio (PER), market-to-book ratio, Tobin’s Q,
dan price / cash flow ratio.
Penelitian ini menggunakan kinerja keuangan perusahaan
yang diukur dengan rasio profitabilitas. Profitabilitas atau
keuntungan perusahaan merupakan hasil dari kebijaksanaan dan
keputusan yang dibuat oleh manajemen. Rasio profitabilitas akan
menunjukkan seberapa efektif perusahaan beroperasi sehingga
menghasilkan keuntungan pada perusahaan. Dalam penelitian ini,
rasio profitabilitas yang digunakan yaitu Return On Equity (ROE).
Return On Equity adalah rasio yang memperlihatkan sejauh
manakah perusahaan mengelola modal sendiri secara efektif,
mengukur tingkat keuntungan dari investasi yang telah dilakukan
pemilik modal sendiri atau pemegang saham perusahaan.
2.1.6 Return On Equity (ROE).
ROE merupakan rasio yang mencerminkan kemampuan
perusahaan dalam memperoleh laba yang tersedia bagi pemegang
saham perusahaan atau untuk mengetahui besarnya kembalian yang
diberikan oleh perusahaan untuk setiap rupiah modal dari pemilik.
Rasio ini dipengaruhi oleh besar kecilnya utang perusahaan.
Semakin besar proporsi utang maka rasio ini juga akan semakin
17
besar. ROE dihitung berdasarkan perbandingan laba sebelum pajak
dan total ekuitas.
Ada dua sisi dalam menggunakan ROE, pertama
diasumsikan bahwa ROE yang akan datang merupakan perkiraan
dari ROE yang lalu. Tetapi ROE yang tinggi pada masa lalu tidak
menjamin ROE yang akan datang juga tinggi. Kedua, untuk
mengetahui lebih mendalam tentang ROE, para analisis
menguraikan ROE menjadi beberapa perbandingan yang sering di
sebut Du Pont System yang dapat di tuis sebagi berikut:
ROE =
2.1.7 Faktor Yang Mempengaruhi Kenerja
Menurut Robert L.Mathis dan John H. Jackson (2001),
faktor yang mempengaruhi kinerja yaitu:
1. Kemampuan
2. Motivasi
3. Dukungan yang diterima
4. Keberadaan pekerjaan yang dilakukan
5. Hubungan dengan organisasi
Menurut Mangkunegara (2000), faktor yang mempengaruhi
kinerja diantaranya yaitu:
1) Faktor kemampuan
18
Secara psikologi, kemampuan atau ability pegawai terdiri
atas kemampuan potensial (IQ) dan kemampuan realita
(pendidikan).
2) Faktor motivasi
Motivasi terbentuk dari sikap seorang pegawai dalam
menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi
yang menggerakan diri pegawai terarah untuk mencapai
tujuan kerja. Sikap mental merupakan kondisi mental yang
mendorong seseorang untuk berusaha mencapai potensi
kerja secara maksimal.
Selain itu, adapula faktor yang mempengaru kinerja menurut
Prawirosentono (1999) diantaranya yaitu:
a. Efektifitas dan efesiensi
Jika tujuan tercapai, dapat dinyatakan bahwa kegiatan
tersebut efektif namun jika kegiatan yang dicari kegiatan
menilai penting dari hasil yang dicapai maka akan
mengakibatkan kepuasan meskipun efektif itu disebut
tidak efisien. Sebaliknya jika akibat yang dicari tidak
penting maka kegiatan tersebut efesien.
b. Wewenang (Otoritas)
Otoritas ini merupakan sifat komunikasi dalam suatu
organisasi formal yang dimiliki anggota organisasi
19
terhadap anggota lain untuk melakukan suatu kegiatan
sesuai kontribusinya.
c. Disiplin
Disiplin atau taat terhadap peraturan yang telah disepakati
dalam organisasi dimana ia bekerja perlu dilakukan oleh
karyawan.
d. Inisiatif
Inisiatif berkaitan dengan daya pikir dan kretifitas dalam
bentuk ide yang berkaitan dengan tujuan organisasi yang
telah direncanakan.
2.1.8 Corporate Social Responsibility
Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility) merupakan satu bentuk tindakan yang berangkat
dari pertimbangan etis perusahaan yang diarahkan untuk
meningkatkan ekonomi, yang dibarengi dengan peningkatan
kualitas hidup bagi karyawan berikut keluarganya, serta sekaligus
peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitar dan masyarakat
secara lebih luas. Pertanggungjawaban sosial perusahaan juga
diungkap dalam laporan yang disebut Sustainability Reporting.
Sustainability Reporting adalah pelaporan mengenai kebijakan
ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan kinerja organisasi
dan produknya didalam konteks pembangunan berkelanjutan
20
(sustainable development). Sustainability Reporting meliputi
pelaporan mengenai ekonomi, lingkungan dan pengaruh sosial
terhadap kinerja organisasi. Sustainability Reporting harus menjadi
dokumen strategik yang berlevel tinggi yang menempatkan isu,
tantangan dan peluang Sustainability Development yang
membawanya menuju kepada core business dan sektor industri.
Pengungkapan CSR berpengaruh pada nilai perusahaan. Hal ini
sejalan dengan paradigma enlightened self-interest yang
menyatakan bahwa stabilitas dan kemakmuran ekonomi jangka
panjang hanya dapat dicapai jika perusahaan melakukan tanggung
jawab sosial kepada masyarakat.
2.1.9 Struktur Modal
Struktur modal (capital structure) adalah perbandingan atau
imbangan pendanaan jangka panjang perusahaan yang ditunjukkan
oleh perbandingan hutang jangka panjang terhadap modal sendiri.
Pendanaan yang efisien akan terjadi bila perusahaan mempunyai
struktur modal yang optimal. Struktur modal yang optimal dapat
diartikan sebagai struktur modal yang dapat meminimalkan biaya
penggunaan modal keseluruhan atau biaya modal rata-rata,
sehingga akan memaksimalkan nilai perusahaan (Martono dan
Harjito, 2005). Struktur modal menunjukkan proposi atas
penggunaan hutang untuk membiayai investasinya, sehingga
21
dengan mengetahui struktur modal, investor dapat mengetahui
keseimbangan antara risiko dan tingkat pengembalian investasinya.
Menurut Brigham dan Houston (2007), menggunakan hutang
dalam jumlah yang besar akan meningkatkan risiko yang
ditanggung oleh pemegang saham. Sehingga dibutuhkan
keseimbangan antara jumlah modal yang ada dengan modal yang
dibutuhkan supaya perusahaan juga bisa mensejahterakan
pemegang saham.
Struktur modal merupakan cermin dari kebijaksanaan
perusahaan dalam menentukan jenis sekuritas yang dikeluarkan,
karena masalah struktur modal adalah erat hubungannya dengan
masalah kapitalisasi, dimana disusun dari jenis-jenis funds yang
membentuk kapitalisasi adalah struktur modalnya. Keputusan
struktur modal berkaitan dengan pemilihan sumber dana baik yang
berasal dari dalam maupun dari luar, sangat mempengaruhi nilai
perusahaan. Sumber dana perusahaan dari internal berasal dari laba
ditahan dan depresiasi. Dana yang diperoleh dari sumber eksternal
adalah dana yang berasal dari para kreditur dan pemilik
perusahaan. Pemenuhan kebutuhan dana yang berasal dari kreditur
merupakan hutang bagi perusahaan. Dana yang diperoleh dari para
pemilik merupakan modal sendiri.
Hutang dan ekuitas adalah kelompok utama dari kewajiban
(liabilities) perusahan, dimana kreditor dan pemegang saham
22
merupakan investor dari perusahaan. Masin-gmasing investor ini
berhubungan dengan tingkat risiko, keuntungan dan kontrol yang
berbeda terhadap perusahaan. Kreditor memiliki kontrol yang lebih
rendah, oleh karena itu kreditor memperoleh tingkat return yang
tetap dan diproteksi dengan kewajiban kontrak untuk
mengamankan investasi. Pemegang saham memiliki resiko yang
lebih besar, oleh karena itu pemegang saham memiliki kontrol
yang lebih besar atas keputusan perusahaan. Penentuan struktur
modal bagi suatu perusahaan merupakan salah satu bentuk
keputusan keuangan yang penting, karena keputusan ini dapat
berpengaruh terhadap pencapaian tujuan manajemen keuangan
perusahaan. Tujuan pokok manajemen keuangan adalah merancang
dan merencanakan penggunaan dana seefisien mungkin sehingga
dapat memaksimalkan nilai perusahaan.
Sasaran struktur modal (Optimal Capital Structure) suatu
perusahaan didefinisikan sebagai struktur yang akan
memaksimalkan harga saham perusahaan tersebut. Menurut
Brigham dan Houston (2011) Penentuan struktur modal yang akan
melibatkan pertukaran antara risiko dan pengembalian yaitu: (1).
Menggunakan hutang dalam jumlah yang lebih besar akan
meningkatkan risiko yang ditanggung oleh pemegang saham, (2).
Menggunakan lebih banyak hutang pada umumnya akan
meningkatkan perkiraan pengembalian atas ekuitas. Risiko yang
23
semakin tinggi terkait dengan hutang dalam jumlah yang lebih
besar cenderung akan menurunkan harga saham, tetapi perkiraan
tingkat pengembalian yang lebih tinggi diakibatkan oleh hutang
yang lebih besar akan menaikannya. Harga saham dapat
dimaksimalkan dengan cara mencari struktur modal yang
menghasilkan keseimbangan antara risiko dan pengembalian.
2.1.10 Kepemilikan Asing
Kepemilikan saham asing (foreign shareholding) adalah
jumlah saham perusahaan yang dimiliki oleh pihak asing. Dengan
tersebarnya mayoritas kepemilikan saham kepada kepemilikan
asing (foreign ownership) maka pelaksanaan monitoring para
pemegang saham kepada pihak manajemen perusahaan menjadi
lemah karena pemegang saham tidak mempunyai insentif dan
kemampuan untuk memonitor manajemen. Kurangnya monitoring
pemegang saham juga berkaitan dengan adanya masalah freerider
(Zhuang, dkk., 2000 dalam Hermiyetti dan Erlinda, 2016).
Terdapat beberapa alasan bagi perusahaan yang memiliki
kepemilikan saham asing memberikan pengungkapan yang lebih
dibandingkan yang tidak. Alasan yang pertama, perusahaan asing
mendapatkan pelatihan yang lebih baik dalam bidang akuntansi
dari perusahaan induk di luar negeri. Kedua, perusahaan tersebut
mungkin mempunyai sistem informasi yang lebih efisien untuk
24
memenuhi kebutuhan internal dan kebutuhan perusahaan induk.
Ketiga, kemungkinan permintaan yang lebih besar pada perusahaan
berbasis asing dari pelanggan, pemasok dan masyarakat umum.
2.1.11 Komite Audit
Berikut ini pengertian komite audit yang didefinisikan oleh
beberapa ahli, yaitu: (1) Komite audit adalah suatu komite yang
berpandangan tentang masalah akuntansi, laporan keuangan dan
penjelasannya, sistem pengawasan internal serta auditor
independen (Collier, 1999; Forum for Corporate Governance in
Indonesia/ FCGI, 2002; dalam Hermiyetti dan Erlinda, 2016). (2)
Komite audit adalah suatu komite yang anggotanya merupakan
anggota Dewan Komisaris yang terpilih yang
pertanggungjawabannya adalah membantu menetapkan auditor
independen terhadap usulan manajemen. Kebanyakan komite audit
terdiri dari 3 sampai 5 kadang-kadang sampai 7 orang yang bukan
merupakan bagian manajemen perusahaan (Arens et al. 2007).
2.1.12 Dewan Direksi
Menurut UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas Pasal 1 Direksi adalah organ perseroan yang berwenang
dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk
kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan
25
Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar
pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Agar
pelaksanaan tugas direksi dapat berjalan secara efektif, salah satu
prinsip yang perlu dipenuhi adalah komposisi direksi harus
sedemikian rupa sehingga memungkinkan pengambilan keputusan
secara efektif, tepat, dan cepat, serta dapat bertindak independen
(Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006).
2.1.13 Dewan Direksi Independen
Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris
yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris
lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari
hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi
kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-
mata demi kepentingan perusahaan (Komite Nasional Kebijakan
Governance, 2006).
Keberadaan komisaris independen telah diatur Bursa Efek
Jakarta melalui peraturan BEJ Tanggal 1 Juli 2000. Dikemukakan
bahwa perusahaan yang listed di bursa harus mempunyai komisaris
independen yang secara profesional sama dengan jumlah saham
yang dimiliki pemegang saham minoritas (bukan controlling
shareholders). Dalam peraturan ini, persyaratan jumlah minimal
26
komisaris independen adalah 30% dari seluruh anggota dewan
komisaris.
2.1.14 Corporate Governance
Corporate governance merupakan suatu mekanisme
pengelolaan yang didasarkan pada teori keagenan. Penerapan
konsep corporate governance diharapkan memberikan
kepercayaan terhadap agen (manajemen) dalam mengelola
kekayaan pemilik (investor), dan pemilik menjadi lebih yakin
bahwa agen tidak akan melakukan suatu kecurangan untuk
kesejahteraan agen (Darwis, 2009). Indonesian Institute for
Corporate Governance mendefinisikan corporate governance
sebagai proses dan struktur yang diterapkan dalam menjalankan
perusahaan dengan tujuan utama meningkatkan nilai pemegang
saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan
kepentingan stakeholders yang lain.
Berkaitan dengan masalah keagenan, corporate governance
yang merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan,
diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan
keyakinan pada investor bahwa mereka akan menerima return atas
dana yang telah mereka investasikan. Corporate governance
berkaitan dengan bagaimana para investor yakin bahwa para
manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka, yakin bahwa
27
manajer tidak akan mencuri/menggelapkan atau menginvestasikan
dana atau modal yang telah ditanamkan oleh para investor, dan
berkaitan dengan bagaimana para investor mengontrol para
manajer (Shleifer dan Vishny, 1997 dalam Maria, 2013).
Mekanisme corporate governance meliputi mekanisme
internal (struktur dewan direksi dan kepemilikan manajerial) dan
mekanisme eksternal (kepemilikan institusional). Di samping itu,
untuk membangun sistem pengawasan dan pengendalian yang
efektif dalam suatu perusahaan ada dua pihak yang diperlukan,
yaitu komite audit, dan komisaris independen.
2.1 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1. Penelitian terdahulu
Peneliti Judul Hasil Penelitian
Rina Susanti dan
Titik Mildawati
(2014)
Pengaruh Kepemilikan Manajemen,
Kepemilikan Institusional
Dan Corporate Social Responsibility
Terhadap Nilai
Perusahaan
1. kepemilikan manajemen
berpengaruh terhadap nilai
perusahaan
2. kepemilikan institusional
tidak berpengaruh terhadap
nilai perusahaan
3. Corporate Social
28
Responsibility berpengaruh
terhadap nilai perusahaan
Arum Ardianingsih
dan Komala Ardiyani
(2010)
Analisis Pengaruh Struktur
Kepemilikan Terhadap Kinerja
Perusahaan
1. Hasil uji regresi secara
parsial Variabel yang
berpengaruh terhadap kinerja
hanya variabel struktur
kepemilikan manajerial
dan variabel Return on asset
(ROA).
2. Hasil uji regresi secara
simultan menunjukkan bahwa
semua variabel tidak
berpengaruh secara signifikan
terhadap kinerja perusahaan.
maka dapat disimpulkan bahwa
variabel struktur kepemilikan
institutional, kepemilikan
manajerial, return on asset
(ROA), Deviden payout dan
umur perusahaan berpengaruh
terhadap kinerja perusahaan.
29
Fitriana Warap Sari
(2015)
Pengaruh Struktur Kepemilikan
Terhadap Kinerja Perusahaan
Dengan Struktur Modal Sebagai
Pemoderasi
(1).Struktur kepemilikan
berpengaruh terhadap kinerja
perusahaan.
(2). Struktur modal Pengaruh
berpengaruh terhadap kinerja
perusahaan.
(3). Struktur modal mampu
memoderasi hubungan struktur
kepemilikan terhadap kinerja
perusahaan.
Hermiyetti dan
Erlinda Katlanis
(2016)
Analisis Pengaruh Kepemilikan
Manajerial, Kepemilikan
Institusional, Kepemilikan Asing,
Dan Komite Audit Terhadap Kinerja
Keuangan Perusahaan
1. Kepemilikan Manajerial
(KM) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja
perusahaan (ROA dan ROE).
2. Kepemilikan Institusional
(KI) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja
keuangan perusahaan (ROA
dan ROE).
3. Kepemilikan Asing (KA)
30
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja
keuangan perusahaan (ROA
dan ROE).
4. Komite Audit (KAu)
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja
keuangan perusahaan (ROA
dan ROE).
2.3 Kerangka penelitian
Tabel 2.2 Kerangka Penelitian
(H1)
(H2)
Kepemilikan Manajerial
(X1)
Kepemilikan Institusional
(X2)
Kinerja Perusahaan
(Y)
31
2.4 Pengembangan Hipotesis
2.4.1 Kepemilikan Manajerial dan Kinerja Perusahaan
Berdasarkan teori keagenan, perbedaan kepentingan antara
manajer dan pemegang saham mengakibatkan timbulnya konfik yang
biasa disebut agency conflict. Konflik kepentingan yang sangat
potensial ini menyebabkan pentingnya suatu mekanisme yang
diterapkan yang berguna untuk melindungi kepentingan pemegang
saham (Yulius, 2013). Salah satu cara guna untuk mengurangi konflik
antara prinsipal dan agen dapat dilakukan dengan meningkatkan
kepemilikan manajerial suatu perusahaan. Cruthley & Hansen (1989)
dalam Yulius dan Yeterina (2013) menyatakan bahwa kepemilikan
saham oleh manajer akan mendorong penyatuan kepentingan antara
prinsipal dan agen sehingga manajer bertindak sesuai dengan keinginan
pemegang saham dan dapat meningkatkan kinerja perusahaan.
Kepemilikan saham manajerial akan mendorong manajer
untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan karena mereka ikut
merasakan secara langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan
ikut menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan
keputusan yang salah (Listyani, 2003). Menurut Wahidahwati (2002)
kepemilikan manajerial adalah pemegang saham dari pihak manajemen
(dewan direksi dan dewan komisaris) yang secara aktif ikut dalam
32
pengambilan keputusan. Berdasarkan penjelasan diatas dapat
dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H1: Kepemilikan Manajerial berpengaruh positif terhadap kinerja
perusahaan.
2.4.2 Kepemilikan Institusional dan Kinerja Perusahaan
Jensen and Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan
institusional memiliki peranan yang penting dalam meminimalisasi
konflik keagenan yang terjadi diantara pemegang saham dengan
manajer. Keberadaaan investor institusional dianggap mampu
mengoptimalkan pengawasan kinerja manajemen dengan memonitoring
setiap keputusan yang diambil oleh pihak manajemen selaku pengelola
perusahaan. Hasil penelitian Kartikawati (2007) dalam Yulius (2013)
menunjukkan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh positif
terhadap kinerja keuangan perusahaan.
Kepemilikan institusional ditunjukkan dengan tingginya
persentase saham perusahaan yang dimiliki oleh pihak institusi. Yang
dimaksud dengan pihak institusi dalam hal ini berupa LSM, perusahaan
asuransi, bank, perusahaan investasi maupun perusahaan swasta.
Kepemilikan institusional pada umumnya memiliki proporsi
kepemilikan dalam jumlah yang besar sehingga proses monitoring
terhadap manajer menjadi lebih baik. Tingkat kepemilikan institusional
33
yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh
pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku
opportunistic manajer. Berdasarkan penjelasan diatas dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut:
H2: Kepemilikan Institusional berpengaruh positif terhadap kinerja
perusahaan.
2.4.3 Kepemilikan Manajerial, Kepemiikan Institusional dan Kinerja
Perusahaan
Teori keagenan (agency teory) mengemukakan untuk
mengatasi agency problems dalam pengelolaan perusahaan, diperlukan
suatu mekanisme pengendalian yang dapat menyejajarkan kepentingan
manajer dan pemegang saham. Kepemilikan saham oleh manajer
diharapkan dapat mensejajarkan kepentingan tersebut. Permanasari
(2010) menyatakan kepemilikan saham oleh manajer diharapkan
manajer akan termotivasi untuk meningkatkan kinerja.
Kepemilikan saham oleh non manajer, seperti institusi juga
memungkinkan dapat mensejajarkan kepentingan antara manajer
dengan pemegang saham. Sheleifer dan Vishni (1988) dalam Michelle
(2013) menyatakan bahwa jumlah pemegang saham besar mempunyai
arti penting dalam memonitor prilaku manajer dalam perusahaan.
Kepemilikan oleh institusi dapat memonitor secara efektif dan
34
diharapkan kinerja perusahaan meningkat. Berdasarkan uraian tersebut,
maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H3: Kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional
berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.