bab ii landasan teorieprints.umm.ac.id/35953/3/jiptummpp-gdl-mohimamhan-48557... · 2017-12-12 ·...
TRANSCRIPT
11
BAB II
LANDASAN TEORI
Landasan teori merupakan bagian yang akan membahas tentang uraian pemecahan
masalah yang akan ditemukan pemecahannya melalui pembahasan-pembahasan secara
teoretis. Teori-teori yang akan dikemukakan merupakan dasar-dasar penulis untuk
meneliti masalah-masalah yang akan dihadapi penulis. Dalam landasan teori, membahas
tentang teori yang akan digunakan dalam sebuah penelitian. Teori yang dipakai harus
sesuai dengan apa yang telah disampaikan dalam rumusan masalah.
2.1 Novel sebagai Karya Sastra
Novel adalah karangan yang panjang dan berbentuk prosa dan mengandung
rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang lain di sekelilingnya dengan
menampilkan watak dan sifat setiap pelaku. Novel adalah bentuk karya sastra
yang di dalamnya terdapat nilai-nilai budaya, sosial, moral dan pendidikan.
Menurut Nurgiyantoro (2010: 9), novel (Inggris: novel) dan cerita pendek
(disingkat: cerpen; Inggris: short story) merupakan dua bentuk karya sastra yang
sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam perkembangannya yang kemudian, novel
dianggap bersinonim dengan fiksi.
Menurut Kamus Istilah Sastra (2014: 71) novel merupakan jenis prosa yang
mengandung unsur tokoh, alur, latar rekaan yang menggelarkan kehidupan manusia
atau dasar sudut pandang pengarang dan mengandung nilai hidup diolah dengan
teknik lisan dan ragaan yang menjadi dasar konvensi penulisan. Secara harfiah
novella berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita
pendek dalam bentuk prosa (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2010: 9).
12
Dari segi panjang cerita novel jauh lebih panjang daripada cerpen. Oleh
karena itu, novel mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara
lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai
permasalahan yang lebih kompleks. Novel mampu menghadirkan perkembangan
satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau
sedikit karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam
secara lebih mendetail menurut (Stanton, 2012: 90).
Hal itu mencakup berbagai unsur cerita membangun novel itu. Membaca
sebuah novel, untuk sebagian orang hanya ingin menikmati cerita yang
disuguhkan. Mendapat kesan secara umum dan samar tentang plot dan bagian
cerita tertentu yang menarik. Unsur pembangun novel seperti tokoh, plot, latar,
dan perwatakan secara umum dapat dikatakan bersifat lebih rinci dan kompleks
daripada unsur-unsur cerpen.
2.2 Unsur Pembangun Novel
2.2.1 Tokoh dan Penokohan
Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan
sehari-hari selalu menggunakan tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Menurut
Aminuddin (2013: 79) tokoh merupakan pelaku yang mengemban peritiwa dalam
cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita, sedangkan
penokohan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu. Menurut
Nurgiyantoro (2010: 164) tokoh menunjukan pada orangnya, pelaku cerita, sifat
dan sikap yang ditafsirkan oleh pembaca. Menurut Kamus Istilah Sastra (2014:
114) tokoh merupakan orang yang memainkan peran dalam karya sastra,
sedangkan penokohan adalah proses menampilkan tokoh, dengan pemberian
watak, sifat, atau kebiasaan tokoh pameran suatu cerita.
13
Abrams dalam (Nurgiyantoro, 2010: 164) berpendapat bahwa tokoh adalah
orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh
pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti
yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan
sedangkan penokohan adalah penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak
tertentu dalam sebuah cerita.
Kehidupan tokoh cerita adalah kehidupan dalam dunia fiksi, maka haruslah
bersikap sesuai dengan tuntutan cerita dengan perwatakan yang disandangnya.
Boulton dalam (Aminuddin, 2013: 79) mengungkapkan bahwa cara pengarang
menggambarkan atau memunculkan tokohnya itu dapat berbagai macam.
Mungkin pengarang menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya memiliki
semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya, pelaku yang memiliki
cara sesuai dengan kehidupan manusia sebenarnya.
2.2.2 Latar ( setting)
Latar adalah keterangan mengenai ruang, waktu serta suasana terjadinya
peristiwa-peristiwa didalam suatu karya sastra. Latar yaitu semua keterangan,
petunjuk pengaluran yang berhubungan dengan ruang, waktu dan juga suasana.
Latar diantaranya meliputi penggambaran mengenai letak geografis, kesibukan si
pelaku atau tokoh, waktu berlakunya peristiwa, lingkungan agama, musim, moral,
intelektual sosial, serta emosional si pelaku atau tokoh. Menurut Abrams dalam
(Nurgiyantoro, 2010: 216) latar atau setting yang disebut juga landas tumpu,
mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
14
Menurut Stanton (2012: 35) latar adalah lingkungan yang melengkapi
sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan perisitiwa yang
berlangsung.Menurut Aminuddin (2013: 69) setting selalu memiliki hubungan
dengan penokohan, perwatakan, suasana, cerita atau atmosfer, alur atau plot
maupun dalam rangka mewujudkan tema suatu cerita. Setting juga mampu
menuansakan suasana-suasana tertentu. Suasana tertentu akibat penataan setting
oleh pengarangnya itu lebih lanjut juga akan berhubungan dengan suasana
penuturan yang terdapat dalam suatau cerita. Suasana penutuaran itu tersendiri
dibedakan antara tone sebagai suasana penuturan yang berhubungan dengan sikap
pengarang dalam menampilkan gagasan atau ceritanya, dengan mood yang
berhubungan dengan suasana batin individual pengarang dalam mewujudkan
suasana cerita.
Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting
memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang
seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Menurut Kamus Istilah Sastra
(2014: 60) latar merupakan waktu dan tempat terjadinya lakuan dalam karya
sastra dan drama. Pembaca merasa dipermudah untuk mengimajinasikan dan
berperan serta secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar.
Pembaca dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar
yang diceritakan sehingga merasa lebih mendalam masuk ke dalam cerita.
2.2.3 Alur (plot)
Alur adalah struktur rangkaian kejadian-kejadian dalam sebuah cerita yang
disusun secara kronologis. Alur merupakan rangkaian cerita sejak awal hingga
15
akhir. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan yang terdapat dalam cerita
harus berkaitan satu sama lain, seperti bagaimana suatu peristiwa berkaitan
dengan peristiwa lainnya, lalu bagaimana tokoh yang digambarkan dan berperan
di dalam cerita yang seluruhnya terkait dengan suatu kesatuan waktu. Menurut
Aminuddin (2013: 83) alur merupakan rangkaian cerita yang dibentuk oleh
tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirklan oleh
para pelaku dalam suatu cerita.
Menurut Nurgiyantoro (2010: 110) alur merupakan unsur fiksi yang
penting, bahkan tak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting
di antara berbagai unsur fiksi yang lain. Menurut Stanton (2012: 26) alur
merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita, peristiwa yang
menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena
pengaruh pada keseluruhan karya. Menurut Kenny dalam (Nurgiyantoro, 2010:
113) mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam
cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-
peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat.
Menurut Kamus Istilah Sastra (2014: 4) alur merupakan unsur struktur yang
berwujud jalinan peristiwa di dalam karya sastra yang memperlihatkan kepaduan
tertentu yang diwujudkan antara lain oleh hubungan antara lain hubungan sebab
akibat, tokoh, tema, atau ketiganya. Forster dalam (Nurgiyantoro, 2010: 113)
bahwa plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada
adanya hubungan kausalitas.
Pengaluran yaitu teknik atau cara-cara menampilkan alur. Menurut
kualitasnya, pengaluran dibedakan menjadi alur erat dan alur longgar. Alur
16
erat ialah alur yang tidak memungkinkan adanya pencabangan cerita. Alur
longgar adalah alur yang memungkinkan adanya pencabangan cerita. Menurut
kuantitasnya, pengaluran dibedakan menjadi alur tunggal dan alur ganda. Alur
tunggal ialah alur yang hanya satu dalam karya sastra. Alur ganda ialah alur yang
lebih dari satu dalam karya sastra. Dari segi urutan waktu, pengaluran dibedakan
menjadi alur lurus dan alur tak lurus. Alur lurus adalah alur yang melukiskan
peristiwa-peristiwa berurutan dari awal sampai akhir cerita. Alur tidak lurus ialah
alur yang melukiskan tidak urut dari awal sampai akhir cerita. Alur tidak lurus
bisa menggunakan gerak balik (backtracking), sorot balik (flashback), atau
campuran keduanya.
2.3 Penyimpangan Sosial
Penyimpangan sosial adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma-
norma yang berlaku di suatu sistem sosial dan menimbulkan usaha dari pihak
berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang tersebut.
Penyimpangan dalam suatu masyarakat tidak berarti penyimpangan dalam
masyarakat lain karena adanya perbedaan standar atau ukuran tentang nilai dan
norma. Menurut Burlian (2016: 44) Perilaku menyimpang (deviasi sosial) adalah
semua bentuk perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada. Perilaku
menyimpang dapat terjadi di mana saja, baik keluarga maupun masyarakat.
Penyimpangan sosial disebut juga tingkah laku abnormal yakni tingkah laku yang
tidak normal, serta tidak bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya dan tidak
sesuai norma sosial yang ada. Sedangkan menurut Setiadi dan Kalip (2011: 190)
yaitu delinquency (deviasi) adalah kebalikan dari konformitas atau nonkoformitas,
17
yaitu bentuk interaksi yang didalamnya seseorang atau sekelompok orang
berperilaku tidak sesuai dengan harapan kelompok.
Penyimpangan sosial disebut juga dengan perilaku abnormal. Menurut
(Atkison, smith, dan Bem, 1987: 406) perilaku abnormal adalah takut dan bersifat
sementara, yang terjadi akibat peristiwa yang menimbulkan stres berat, sedangkan
perilaku lain adalah kronis yang berlangsung seumur hidup. Berbeda dengan
pendapat King (2010: 287) bahwa perilaku abnormal adalah perilaku yang
menyimpang, maladatif, atau menimbulkan distres pribadi pada waktu yang
cukup lama.
Penyimpangan akan terjadi jika seseorang atau kelompok orang tidak
mematuhi norma atau patokan dan nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat.
Semua perilaku manusia yang dilakukan baik secara individu maupun kelompok
tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di dalam kelompok tersebut.
Masalah sosial adalah ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau
masyarakat, yang membahayakan kehidupan sosial (Soekanto, 2004: 739).
Penyimpangan sosial bisa juga dikatakan dengan masalah sosial karena muncul
akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan
realita yang ada. Menurut (Anwar dan Adang, 2013: 255) bahwa masalah sosial
adalah suatu kondisi yang dirumuskan atau dinyatakan oleh entitas yang berpengaruh
yang mengancam nilai-nilai suatu masyarakat sehingga berdampak kepada sebagaian
besar anggota masyarakat kondisi itu diharapkan dapat diatasi melalui kegiatan
bersama. Dengan demikian bahwa penyimpangan sosial merupakan masalah sosial.
Ketidak kesesuaian dengan norma yang ada serta dianggap bahaya oleh lingkungan
masyarakat ketika berada di lingkungan mereka.
18
Penyimpangan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat secara tidak
langsung terjadi juga dalam karya sastra. Karena keterkaitan ini sastra disebut
dengan cerminan kehidupan. Segala aspek penyimpangan yang diciptakan oleh
pengarang begitu sebalikanya secara tidak sengaja akan terjadi dalam kehidupan
masyarakat. Pengarang menciptakan sebuah karya sastra bukan hanya karangan
imajinasi, terkadang peristiwa yang ada di dalam karya sastra benar-benar terjadi
seperti halnya dengan penyimpangan sosial. Menurut Nurgiyantoro (2010: 233)
bahwa karya sastra yang mengandung latar sosial yang menyaran pada hal-hal
yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat
yang diceritakan dalam karya fiksi.
2.4 Bentuk Penyimpangan Sosial
Terdapat tiga bentuk penyimpangan sosial dalam teori yang digunakan
penelitian ini, yang dilihat berdasarkan kadar penyimpangan dan pelaku
penyimpangannya.
1) Penyimpangan Primer
Penyimpangan primer disebut juga penyimpangan ringan. Para pelaku
penyimpangan ini umumnya tidak menyadari bahwa dirinya melakukan
penyimpangan. Penyimpangan primer dilakukan tidak secara terus menerus
(insidental) dan pada umumnya tidak begitu merugikan orang lain Burlian (2016:
45). Sedangkan menurut Setiadi dan Kalip (2011: 201) penyimpangan primer
adalah rangkaian pengalaman atau karier menyimpangan seseorang dimulai dari
penyimpangan kecil yang mungkin tidak disadari. Penyimpangan jenis ini dialami
oleh seseorang manakala ia belum memiliki konsep menyimpang atau tidak
menyadari jika perilakunya menyimpang.
19
Penyimpangan sosial ini bersifat sementara dan tidak berulang-ulang.
Biasanya pelaku penyimpangan ini masih diterima dalam masyarakat. Bentuk
penyimpangan primer ini biasanya dialami oleh seseorang yang tidak menyadari
bahwa perilakunya dan menjurus ke arah penyimpangan yang lebih berat.
Misalnya, sekelompok anak yang mengambil mangga dari pohon milik tetangga
tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pemiliknya dianggap sebagai bagian
dari kenakalan biasa, bukan untuk pencurian. Sepasang remaja yang sedang
berpacaran dianggap tidak menyimpang sepanjang mereka tidak melakukan
hubungan seks pranikah.
Ciri-ciri penyimpangan primer adalah perilaku belum menyadari
bahwa tingkah laku yang dilakukan sudah menjurus ke arah penyimpangan,
tidak begitu merugikan orang lain, penyimpangan ini masih dapat diterima
oleh masyarakat, sanksi yang diperoleh perilaku penyimpangan tergolong
ringan, tidak dilakukan secara terus menerus. Hal yang membedakan
penyimpangan ini dengan penyimpangan yang lain adalah sanksi yang
diperoleh perilaku penyimpangan dan tingkat penyimpangan yang ringan
dibandingkan dengan penyimpangan yang lain. Hal tersebut diperkuat
dengan pendapat Erianjoni (2014: 01) bahwa penyimpangan primer muncul
dalam konteks sosial, budaya dan yang sangat bervariasi dan hanya
mempunyai efek samping bagi struktur fisik individu. Pada dasarnya,
penyimpangan primer tidak mengakibatkan reorganisasi simbolis pada
tingkat sikap diri dan peran sosial.
20
2) Penyimpangan Sekunder
Penyimpangan sekunder disebut juga penyimpangan berat. Umumnya
perilaku penyimpangan dilakukan oleh seseorang secara berulang-ulang dan
terus menerus, meskipun pelakunya sudah dikenai sanksi. Bentuk
penyimpangan ini mengarah pada tindak kriminal, seperti pembunuhan,
perampokan, dan pencurian. Burlian (2016: 45). Menurut Setiadi dan Kalip
(2011: 202) Penyimpangan sekunder merupakan penyimpangan yang lebih
berat akan terjadi apabila seseorang sudah mencapai tahap ini. Tindakan
menyimpang yang berkembang ketika perilaku dari menyimpang itu
mendapat penguatan melalui keterlibatannya dengan orang atau kelompok
yang juga menyimpang.
Perilaku menyimpang ini nyata dan yang terjadi secara berulang-ulang
dan menjadi sebuah kebiasaan. Biasanya pelaku penyimpangan ini tidak lagi
diterima dalam masyarakat. Bentuk penyimpangan sekunder itu juga berasal
dari hasil penguatan penyimpangan primer. Misalnya, pada sekelompok
anak yang mencuri mangga milik tetangga itu merupakan tindakan
kenakalan biasa, dan mereka melakukan kegiatan itu berkali-kali hingga
usia remaja dan yang dicuri tidak sengaja buah mangga tetangga, tetapi juga
barang-barang berharga lainya, maka tindakan negatif itu lama-kelamaan
menjadikan dirinya sebagai pencuri kelas kakap.
Ciri-ciri penyimpangan sekunder adalah muncul setelah melakukan
penyimpangan primer, dilakukan secara berulang-ulang, sanksi yang
diperoleh perilaku penyimpangan berat, bentuk penyimpangan sekunder
mengarah tindakan krimininal, dan penyimpangan sekunder sangat
21
merugikan orang lain. Hal tersebut diperkuat pendapat Daulay (2014: 01)
bahwa penyimpangan sekunder yakni perilaku menyimpang yang tidak
mendapat toleransi dari masyarakat dan umumnya dilakukan berulang kali
seperti merampok, menjambret, memakai narkoba, menjadi pelacur, tawuran
dan lain-lain. Menurut Masudi (2012: 02) bahwa Penyimpangan Sekunder
(secondary deviation) Penyimpangan yang berupa perbuatan yang dilakukan
seseorang yang secara umum dikenal sebagai perilaku menyimpang. Pelaku
didominasi oleh tindakan menyimpang tersebut, karena merupakan tindakan
pengulangan dari penyimpangan sebelumnya. Penyimpangan ini tidak bisa
ditolerir.
3) Penyimpangan Individu
Penyimpangan individual adalah tindakan yang dilakukan oleh
seseorang yang menyimpang dari norma-norma suatu kebudayaan yang telah
mapan. Misalnya seseorang bertindak sendiri tanpa rencana melaksanakan
suatu kejahatan, seperti mencuri, menodong, dan memeras. Penyimpangan
jenis ini dilakukan secara perorangan tanpa campur tangan orang lain.
Penyimpangan ini dilakukan sendiri tidak mengikutsertakan orang lain untuk
melakukan tindakan menyimpang (Burlian, 2016: 45).
Perilaku sosial individu dilihat dari kecenderungan peranan (roledisposition)
dapat dikatakan memadai, manakala menunjukkan ciri-ciri penyimpangan
individu adalah yakin akan kemampuannya dalam bergaul secara sosial memiliki
pengaruh yang kuat terhadap teman sebaya, mampu memimpin teman-teman
dalam kelompok, dan tidak mudah terpengaruh orang lain dalam bergaul.
Penyimpangan individual adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang
22
menyimpang dari norma-norma suatu kebudayaan yang telah mapan. Misalnya,
seseorang bertindak sendiri tanpa rencana melaksanakan suatu kejahatan,
Penyimpangan individu berdasarkan kadar penyimpangannya dibagi menjadi
lima, yaitu sebagai berikut. Pembandel, Pembangkang, Pelanggar, Perusuh atau
penjahat dan Munafik hal ini ungkapkan pada jurnal Eleonora (2013: 02).
Ciri-ciri penyimpangan individu adalah dilakukan secara perorangan, perilaku
penyimpangan mendapat julukan atau labelling, sanksi yang diperoleh perilaku
penyimpangan berat dan ringan sesuai dengan tingkatan penyimpangan yang
dilakukan. Penyimpangan individual merupakan tindakan yang dilakukan oleh
seseorang yang menyimpang dari norma-norma suatu kebudayaan yang sudah ada.
Misalnya, seseorang bertindak sendiri tanpa rencana melaksanakan suatu kejahatan,
seperti mencuri, menodong, dan memeras.
Penyimpangan individu berdasarkan kadar penyimpangannya dibagi
menjadi lima yaitu, pembandel yaitu penyimpangan yang terjadi karena tidak
patuh pada nasihat orang tua agar mengubah pendiriannya yang kurang baik,
pembangkang yaitu penyimpangan yang terjadi karena tidak taat pada peringatan
orang-orang, pelanggar yaitu penyimpangan yang terjadi karena melanggar
norma-norma umum yang berlaku dalam masyarakat, perusuh atau penjahat yaitu
penyimpangan yang terjadi karena mengabaikan norma-norma umum sehingga
menimbulkan kerugian harta benda atau jiwa di lingkungannya, dan munafik yaitu
penyimpangan yang terjadi karena tidak menepati janji, berkata bohong,
mengkhianati kepercayaan, dan berlagak membela.
Berdasarkan ketiga bentuk penyimpangan sosial yang terjadi hal ini
berhubungan tingkah laku, tingkah laku berhubungan dengan seseorang,
23
seseorang berhubungan dengan tokoh, dan tokoh berhubungan dengan karya
sastra. Bentuk penyimpangan sosial yang terjadi apabila dikaitkan dengan karya
sastra yaitu sikap dan tingkah laku tokoh utama yang diciptakan oleh pengarang.
Bentuk penyimpangan primer, apabila tokoh utama melakukan penyimpangan
yang ringan dan tidak merugikan orang lain. Bentuk penyimpangan sekunder,
apabila tokoh utama melakukan penyimpangan yang berat dapat merugikan orang
lain dan sanksi yang didapatkan juga berat. Bentuk penyimpangan individu,
apabila tokoh utama melakukan sebuah penyimpangan atas dasar kemauannya
sendiri tanpa campur tangan orang lain. Berbagai bentuk yang terjadi dalam karya
sastra itu tergantung interpresentasi pembaca dalam memahami sebuah
penyimpangan sosial.
2.5 Faktor Penyebab Penyimpangan Sosial
Perilaku menyimpang haruslah dilihat dari situasi dan kondisi masyarakat
yang ada. Setiap individu mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda. Hal
tersebut akan menyebabkan terbentuknya pola – pola perilaku yang berlainan, dan
tidak semua individu mampu mengidentifikasi diri dengan nilai dan norma yang
berlaku di dalam masyarakat. Ini berarti proses sosialisasi telah gagal. Individu
yang demikian cenderung menerapkan pola – pola perilaku yang salah dan
menyimpang.
Terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya penyimpangan sosial menurut
Burlian (2016: 44) bahwa faktor penyebab penyimpangan terjadi karena empat
faktor yaitu 1) Tidak adanya seseorang yang dijadikan panutan dalam memahami
dan meresapi tata nilai atau norma yang berlaku di masyarakat. 2) Pengaruh
lingkungan kehidupan sosial yang tidak baik, misalnya lingkungan yang sering
24
terjadi tindak penyimpangan, seperti prostitusi, perjudian, mabuk-mabukan, dan
sebagainya. 3) Proses berosialisasi yang negatif karena bergaul dengan para pelaku
penyimpangan sosial, seperti preman, pemabuk, penjudi, sebagainya. 4) Ketidakadilan
sehingga pihak-pihak yang dirugikan melakukan protes unjuk rasa, bahkan bisa
menjurus ketindakan anarkis. Menurut Setiadi dan Kalip (2011: 215) faktor penyebab
terjadinya penyimpangan sosial terbagi menjadi tiga di antaranya.
1) Pelampiasan Rasa Kecewa
Pelampiasan rasa kecewa merupakan faktor penyebab penyimpangan
sosial. Kekecewaan biasanya muncul ketika seseorang tidak terpenuhi
keinginan dan harapannya. Ketidak sanggupan mengendalikan amarahnya
akibat tidak terakomodasi kepentingannya atau tidak terpenuhinya harapan dan
keinginan, maka dalam keadaan demikian mudah sekali dihasut atau menerima
isu-isu menarik kelompok yang melakukan tindakan penyimpangan. Akal
sehatnya tidak lagi dominan, sehingga sering kali mereka melakukan tindakan
di luar kontrol diri yang tidak masuk akal.
Menurut Rochaningningsih (2014:01) bahwa ketika seorang remaja
mengalami tekanan dikarenakan kekecewaannya terhadap orang tua yang
bersifat otoriter ataupun terlalu membebaskan, sekolah yang memberikan
tekanan terus menerus (baik dari segi prestasi untuk remaja yang sering gagal
maupun dikarenakan peraturan yang terlalu mengikat), lingkungan masyarakat
yang memberikan masalah dalam sosialisasi. Oleh sebab itu menjadikan remaja
sangat labil dalam mengatur emosi, dan mudah terpengaruh oleh hal-hal
negatif di sekelilingnya, terutama pergaulan bebas dikarenakan rasa tidak
nyaman dalam lingkungan hidupnya.
25
2) Sikap Mental tidak Sehat
Perilaku yang menyimpang dapat pula disebabkan karena sikap mental
yang tidak sehat yaitu sikap itu ditunjukkan dengan tidak merasa bersalah atau
menyesal atas perbuatannya, bahkan merasa senang. Hal ini berhubungan
dengan jiwa, kehendak, dan pemikiran manusia. Jiwa seseorang yang tidak
stabil sehingga berperilaku diluar batas manusia pada umumnya. Adapun
mental yang sehat dapat dilihat dari perilaku seseorang atau sekelompok orang
dalam keadaan sebagaimana perilaku sekelompok orang yang berada di
sekitarnya. Ukuran normal dan tidak normalnya perilaku tersebut adalah
tatanan nilai dan norma yang digolongkan ke dalam kelompok nilai dan norma
yang seharusnya ada.
Salah satunya adalah depresi keadaan emosional di dalam diri seseorang
yang menunjukan adanya sesuatu penurunan aktivitas dan semangat yang
cukup berarti. Menurut Aditomo dan Retnowati (2014: 01) depresi merupakan
gejala yang wajar sebagai respon normal terhadap pengalaman hidup negatif,
seperti kehilangan anggota keluarga, benda berharga atau status sosial.
Keadaandepresi dapat terjadi karena kekecewaan, terjerat beberapa persoalan
yang berat, keadaan yang berlangsung di dalam dirinya tidak sesuai dengan
yang diinginkan atau kehilangan sesuatu yang berarti di dalam hidupnya.
Menurut Hamidah (2012: 02) Depresi merupakan kondisi emosional seseorang
yang biasanya ditandai dengan kesedihan yang amat sangat, perasaan tidak
berarti dan bersalah, menarik diri dari orang lain, tidak dapat tidur, kehilangan
selera makan, hasrat seksual, dan minat serta kesenangan dalam aktivitas yang
biasa dilakukan.
26
Selain depresi ada juga erlebnis yaitu rasa trauma yang besar
pengaruhnya sehingga menimbulkan satu kekuatan yang secara fungsional
terlepas dari pengalaman-pengalaman hidup sebelumnya dan menjadi otonom.
Sikap mental tidak sehat juga karena frustasi yaitu suatu keadaan, dimana satu
kebutuhan tidak bisa terpenuhi dan tujuan tidak bisa tercapai. Mental tidak
sehat karena fiksasi, yaitu reaksi respon individu yang memiliki pola tetap dan
melalukan segala cara untuk memecahkan masalah. Rasionalisasi dan obsesi
merupakan sikap mental tidak sehat. Rasionalisasi cara menolong orang yang
tidak wajar sedangkan obsesi adalah kondisi ideal atau emosi kuat terus
menerus melekat dalam pemikirann dan hati.
3) Labelling (julukan)
Perilaku menyimpang lahir karena adanya cap, julukan, atau sebutan atas
suatu perbuatan yang menyimpang (labelling). Pemberian julukan pada suatu
perilaku sebagai perilaku menyimpang menciptakan serangkaian perilaku yang
cenderung mendorong orang untuk melakukan penyimpangan. Labelling dalam
kajian semiotik, memiliki makna dan mengakibatkan dampak sama dengan
konstruksi gender dalam wacana kesetaraan gender yang selama ini
berkembang luas. Menurut (King, 2010: 293) bahwa pemberian label
merupakan salah satu masalah dengan mengkalfikasikan individu ke dalam
gangguan psikologis tertentu dengan isu pemberian label, dan cara-cara bahwa
label tersebut dapat mengarah kepada munculnya stigma.
Menurut Muashomah (2010: 02) labelling adalah identitas yang diberikan
oleh kelompok kepada individu berdasarkan ciri-ciri yang dianggap minoritas
oleh suatu kelompok masyarakat. Labelling cenderung diberikan pada orang yang
27
memiliki penyimpangan perilaku yang tidak sesuai dengan norma di masyarakat.
Seseorang yang diberi label akan mengalami perubahan peranan dan cenderung
akan berlaku seperti label yang diberikan kepadanya (Erianjoni, 2015: 01).
Menurut Pranata (2015: 03) labelling ini merupakan teori yang terinspirasi oleh
bukunya Tannembaum yang berjudul crime and the community menurutnya,
kejahatan tidaklah sepenuhnya hasil dari kekurangmampuan seseorang untuk
menyesuaikan dengan kelompok, akan tetapi dalam kenyataanya, ia dipaksa untuk
menyesuaikan dirinya dengan kelompoknya. sehingga di simpulkan bahwa
kejahatan merupakan hasil dari konflik antara kelompok dengan masyarakatnya.
Pendekatan labelling dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu persoalan
tentang bagaimana dan mengapa seseorang memperoleh cap atau label (labelling
sebagai akibat dari reaksi dari masyarakat). Efek labelling terhadap
penyimpangan tingkah laku berikutnya (persoalan kedua adalah bagaimana
labelling mempengaruhi seseorang yang terkena label.) Dua konsep penting
dalam teori labelling adalah primary devience yaitu, ditujukan pada perbuatan
penyimpangan awal. Kedua, scondary devience adalah berkaitan dengan
reorganisasi psikologis dari pengalaman seseorang sebagai akibat dari
penangkapan dan cap sebagai penjahat, kalau sekali saja cap atau status itu
melekat pada diri seseorang maka sangat sulit seseorang untuk selanjutnya
melepaskan diri dari cap tersebut, dan kemudian akan mengidentifikasikan.
Faktor penyebab penyimpangan sosial apabila dikaitkan dalam karya satra
sama halnya dengan bentuk penyimpangan sosial. Ketiga faktor penyebab
penyimpangan sosial merupakan alasan kenapa seseorang melakukan sebuah
tindakan yang menyimpang. Begitu juga dengan tokoh yang ada di dalam karya
sastra, pengarang menciptakan tokoh tersebut pasti ada alasan tersendiri kenapa
tokoh tersebut diciptakan berbuat untuk menyimpang. Namun semua itu
28
tergantung pembaca yang menanggapi tokoh yang berbuat menyimpang dalam
karya sastra sesuai dengan pemikiran masing-masing pembaca.
Penyimpangan sosial terjadi dalam kehidupan manusia yang bermasyarakat.
Penyimpangan terjadi bukan karena di dalam diri pelaku namun faktor lingkungan
serta kekuatan mental dapat mempengaruhi penyimpangan yang berdampak
dalam perubahan sosial dalam masyarakat. Interaksi sosial yang dilakukan oleh
pelaku akan berkurang karena pelaku merasa terasingkan dan tidak percaya diri.
Pandangan masyarakat terhadap pelaku penyimpangan tidak begitu baik karena
dianggap mencemari lingkungan tempat tinggalnya.
29
2.6 Bagan Kerangka Pikir
Bagan 2.1 Kerangka Pikir
Novel Cantik itu Luka
Karya Eka Kurniawan
Penyimpangan Sosial
Penyimpangan Sosial
Faktor Penyebab
Penyimpangan Sosial Tokoh
Utama dalam Novel
Cantik itu Luka
Bentuk Penyimpangan Sosial
Tokoh Utama dalam Novel
Cantik itu Luka
Penyimpan
gan karena
julukan
Sikap mental
tidak sehat
Pelampiasan
rasa kecewa
Individu Sekunder Primer
Kesimpulan
Metode Kualitatif
Deskriptif Analisis
Pendekatan Sosiologi
Sastra