bab ii -...
TRANSCRIPT
21
BAB II
GAMBARAN UMUM MANUSIA JAWA
A. Asal-Usul Manusia Jawa
Manusia Jawa dalam mitologisnya adalah keturunan Aji Saka yang
melakukan pertempuran dengan Dewatacengkar sorang raja Raksasa yang
menguasai kerajaan Medangkamulan, yang akhirnya menyerahkan kekuasaannya
pada tahun 72 Masehi.1 Aji Saka secara mitologi adalah seorang pengembara
yang sakti dan membawa dua abdi dalemnya yang sama-sama sakti dan saling
bertengkar sampai mencapai ajalnya. Kisah ini diabadikan dalam aksara Jawa:
HANACARAKA : ada utusan
DATASAWALA : saling bertengkar
PADHAJAYANYA : sama kesaktiannya
MAGABATHANGA :meninggal semua2
Manusia Jawa dalam perkembangan mitologi kemudian sampai memasuki
dunia pewayangan yang sarat dengan nuansa mitos dan religi—Hindu–Budha.
Manusia Jawa dalam awal penciptaannya adalah permohonan dari Bathara Guru
(Siva) kepada Brahmana dan Wisnu untuk memberi penduduk di Pulau Jawa.
Kedua dewa itu mencipta manusia laki-laki pertama dan perempuan pertama dari
penduduk asli Jawa.3 Manusia Jawa adalah perpaduan dari tokoh-tokoh wayang
yang keturunan dewa dengan seorang priyayi dan priyayi itu masih keturunan raja
sedangkan raja merupakan keturunan dari tokoh wayang yang mempunyai leluhur
1C.C. Berg sebagaimana dikutip oleh Ismawati dalam “Budaya dan Kepercayaan Jawa Pra-
Islam” hlm.11, dalam Darori Amin (ed) Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000, dan sejak penyerahan kerajaan Medangkamulan itu menjadi pijakan awal dari tahun Jawa, Tahun Saka, yang banyak digunakan untuk melakukan perhitungan Jawa (pitung) dan Tahun Saka ini banyak digunakan oleh kalangan penganut Islam abangan.
2Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, Balai Pustaka, Jakarta, 1987, hlm. 14-15 3 Ismawati, op.cit hlm. 12.
22
orang suci, yaitu nabi. Geneologi yang panjang atas manusia Jawa ini sebenarnya
ingin mengatakan bahwa manusia Jawa adalah perpaduan antara mitos dengan
religiusitas Islam (wayang tokoh mitologi dari India dengan Nabi, individu suci).
Penciptaan manusia Jawa dari segi mitos ini menggambarkan suatu realitas
yang sangat berbeda jauh dari manusia pada umumnya dan hal ini dalam beberapa
hal kemudian membawa akibat pada suku non-Jawa dalam kehidupan
selanjutnya. Masyarakat Jawa dalam kehidupan selanjutnya mengalami berbagai
pembauran yang tidak sempurna. Pembauran etnis yang kemudian membawa
pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan
bahwa ras Jawa adalah ras yang dianalogikan pada keturunan Dewa sehingga
mereka tidak mau menjadi bawahan.4
Sejarah manusia Jawa dari segi geneologis adalah keturunan ras Austronesia
yang kemudian menghegemoni masyarakat setempat,5 yaitu yang kemudian
berpindah ke wilayah Timur, yang kemudian dinamakan Indonesia. Kemudian ras
Austronesia ini menjadi sekelompok masyarakat agraris yang menghidupi
kelompoknya dengan berdagang lewat rempah-rempah yang dihasilkannya.
Masyarakat Austronesia ini mengelompokkan kelompoknya dalam sistim
kemasyarakatan yang berdasarkan kharisma, karena kewibawaan seseorang di era
yang masih mengedepankan komunalisme ( pra-moderen) merupakan alat yang
cukup kuat untuk menjadikan modal untuk menjadi sang pemimpin6.
4Hal ini bisa dilihat bagaimana Jawa dalam pengembaraanya selau menjadi warga yang kelas
atas dan pada umumnya. Pada era orba, tenaga adminstratif dan pegawai teras di lembaga pemerintah adalah keturunan/atau orang yang didatangkan dari Jawa, lih. Wawancara Darmanto Jatman, “Kita Perlu Merekonstruksi Teks-Teks Sastra Jawa” dalam Justisia edisi 22 th 2002, Fakultas Syariah, IAIN Walisongo, Semarang
5 Donald K. Emerson, Indonesia Beyond Soeharto, Gramedia, Jakarta, 2002, hlm. 5; lih juga Frans Magnis Suseno, Etika Jawa,Gramedia, Jakarta, 1996, hlm. 20
6 Ibid; Tentang pengaruh wibawa dalam dunia kepemimpinan, politik lih. Deliar Noer, Pengantar Ke Pemikiran Politik, Rajawli Press, Jakarta,, 1983, hlm. 11 dan seterusnya
23
Teori yang lain menyatakan bahwa leluhur bangsa Indonesia adalah suku
pribumi, asli orang Indonesia awal,7 yang dikenal dengan istilah teori “Paparan
Sunda”. Hal ini berdasarkan kemiripan bentuk dan penemuan fosil di daerah
Bandung yang mempunyai umur sekitar 7000 SM. Hal ini berfungsi sebagai
penyeimbang akan teori Austronesia yang menyatakan bahwa orang awal
Indonesia adalah keturunan suku Mongol. Jawa sebagai ide dasar pemunculan
Indonesia yang merupakan sense of belonging dari para founding fathers. Jawa
sebagai basis perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan sedikit
banyak telah mengorbankan segalanya untuk negeri impian, atau menurut
Anderson sebagai suatu negeri terbayangkan, immagined community, karena
nasionalisme Indonesia adalah sebuah struktur yang rapuh dan semu karena
berbasiskan akan kemunafikan ideologi.
Orang Jawa yang kemudian menjadi semacam kolonial baru bagi anak
tetangga. Jawa menjadi semacam anak bangsa yang sangat ditakutkan akan
eksistensinya.8 Indonesia menjadi negara terbuka yang sebenarnya, ketika
kebebasan yang dibarengi dengan berdialognya berbagai macam ideologi untuk
kemajuan masyarakat, maka akan menjadikan masyarakat dewasa dan menjadi
diri sendiri.9 Berkaitan dengan itu Jawa kemudian menjadi masyarakat yang
paling disorot oleh kelompok lain. Baik dari segi budaya, bahasa dan
norma/etikanya. Masyarakat Jawa mempunyai dua sisi yang sangat berbeda, satu
sisi masyarakat Jawa menjadi bangsa yang ramah satu sisi masyarakat Jawa
7 Tempo, edisi Oktober 2003, hlm. 56 8Jawa tidak hanya menjadi kolonial terhadap wilayah Hindia-Belanda namun juga menjadi
Negara kolonial internasional dengan mencoba menaklukan Thailand walapun akhirnya mengalami kegagalan dan Jawa juga menjadi Pusat Anutan—istilah Geertz—untuk daerah lain. Lih. Donald K. Emerson, op. cit., hlm. 7 dan tentang Jawa menjadi Pusat Anutan lih. Clifoord Geertz, Negara Teater Bali, Bentang, Yogyakarta, 2000, hlm. 22 dst. Pusat anutan yang paling nampak dalam era sekarang adalah bagaiman sebuah iklan layanan masayarakat mengenai Komite Sekolah di daerah Bali yang menganjurkan kursus bahasa Jepang disamakan dengan Jawa, yang ternyata di Jawa kursus atau pelajaran bahasa Jepang ternyata tidak ada. Hal ini terkait dengan kebijakan masing-masing sekolah/otonomi pendidikan.
9Karl Popper, Masyarakat Terbuka, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 1
24
menjadi bangsa yang tidak kalah sadis dengan bangsa Mongol. Hal ini di
karenakan kerepresifan rezim yang sedang berkuasa karena jika sekelompok atau
orang yang terlalu lama dalam keadaan yang tertekan maka watak kekerasan akan
menampakkan diri dalam realitas kehidupan.10
B. Filosofi Manusia Jawa
Filsafat manusia Jawa secara mitos tertuang dalam aksara Jawa ha na ca ra
ka, yang mempunyai arti:
a. Ha: Hurip, Urip = Hidup. Suatu sifat Zat Yang Maha Esa b. Na: (1) Hana = Ada c. Caraka: (1) Utusan
(2) Tulisan: (a) Ca: Cipta = Pikir = Nalar = Akal =(Thinking). (b) Ra: Rasa = Perasaan (Feeling) (c) Ka: Karsa = Kehendak (Willing)11
Berdasarkan hal itu sebenarnya manusia Jawa mempunyai berbagai macam
aliran filsafat, dari rasionalisme (nalar), eksistensialisme (pengada), dan
intuisiisme (rasa dan karsa). Ini nampaknya sesuai dengan realitas sejarah (fitrah).
Manusia secara fitrah tidak mau untuk dijajah, karena manusia itu menurut Sarte
rasion de etre-nya adalah kebebasan dan selalu mempunyai niat untuk
mengkoloni sesamanya.12 Manusia secara alami adalah masyarakat yang suka
kekerasan dan dengan kerasan ini dimaksudkan untuk menakut-nakuti supaya
mudah untuk dikuasai.13 Manusia secara fitrah mempunyai kepercayaan terhadap
yang ghaib. Apakah itu berupa kepercayaan terhadap yang Esa dulu atau yang
dari Atheisme ataupun dari Polytheisme.14 Kepercayaan, dalam dunia Jawa
10Eric Fromm, Akar Kekerasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2001, hlm. 78 11 Ciptoprawiro, op. cit., hlm. 15 12 Drijakara NJ, SJ, Percikan Filsafat, Jembatan, Jakarta, 1984, hlm. 43 13 Eric Fromm, Akar…op. cit., hlm. 70 14Tentang polemik mana yang lebih awal antara Dinamisme dan Animisme, Monotheisme atau
Polytheisme dulu, bisa dilihat dalam E.E. Evans Pritchard, Teori-teori Tentang Agama Primitif,
25
bermula dari Polytheisme [Animisme (Taylor) ataupun Dinamisme (Frazer)], dan
kemudian mengalami peng-Esa-an secara sebenarnya ketika Islam melebarkan
ekspansinya dari Cina.15
Rasionalisme–Jawa, sepertinya sangat dipengaruhi oleh intuisiisme. Hal ini
ditengarai ketika manusia Jawa itu berpikir tentang tindakan yang diambil
terhadap sesama yang dianggap melanggar etika, karena biasanya manusia Jawa
akan selalu menggunakan pitung,16 apakah ini baik atau tidak jika kemudian
penulis mengambil tindakan seperti ini. Manusia Jawa itu selalu menggunakan
rasanya ketika masyarakat Jawa akan melakukan sesuatu.17 Tindakan itu hanya
diambil berdasarkan rasionalisme murni maka akan merusak ketentraman18 batin
karena memang tidak sesuai dengan rasanya. Hal ini dikarenakan orang Jawa itu
cukup bangga dengan nilai-nilai tradisionalnya (aslinya) tidak suka dengan
adanya nilai-nilai baru yang dianggap akan merusak keharmonisan masyarakat19.
Masyarakat Jawa cenderung untuk tertutup.
PLP2M, Jakarta, 1984. Di sini mencangkup agama dipandang dari sudut antropologi, psikiologi dan dalam kacamata sosiologi tentunya.
15 Pro-kontra Cina yang lebih awal dalam menyiarkan Islam ke Indonesia (Jawa) dalam sejarah Islam menyebar ke Cina adalah lebih awal dari India. Masyarakat Jawa mempunyai kaitan secara geneologis dengan Cina sehingga mempunyai kesamaan secara psikis dan fisik, sehingga memudahkan untuk terjadinya komunikasi antar keduanya. Ras Austranesia adalah satu ras dengan ras Mongol, yaitu ras Mongoloid. Lih dalam Emerson, loc, cit. Mengenai pengaruh Cina dalam hal pemerintahan bisa di lihat. Sumanto,”Cina dan Proses Islamisasi” hlm. 136 dst dalam Tashwirul Afkar edisi No. 14 th 2003; disini penulis mengemukakan beberapa fakta akan peran kaum/ pedagang Islam Cina dalam mengislamkan (Indonesia) Jawa. Lihat juga Abdul Jamil, M.A. “Aspek Islam dalam Sastra Jawa”, hlm. 4. Makalah pada seminar Islam dan Sastra Jawa, Kerjasama PUSLIT IAIN, Yayasan al Qalam, HKMNS Cab. Semarang tanggal 18 Juli 1998 di Semarang. selain itu juga ada bebrapa fata memnag seperti yang ditulis H.J.De Graff dkk, Cina Muslim, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996, hlm. 3 yang menyatakan bahwa Sunan Ampel adalah merupakan keturunan Cina dan Raja Demak, Raden Patah adalah keturunan Cina dengan nama asli Jin Bun.
16Suatu aturan perhitungn Jawa yang digunakan oleh masyarakat Jawa secara umum dan biasanya menggunakan hitungan-hitungan tanggal kelahiran dan ini dipercayai mempunyai kaitannya dengan dunia metafisik.
17 Paul Stange, Politik Perhatian, LkiS, Yogyakarta,1999, hlm. 68 18 Mulder, op. cit., hlm. 47. 19 Ibid., hlm. 37
26
Tiga aliran filsafat yang berkembang dalam tradisi Jawa itu dalam beberapa
hal terwadahi dalam lakon wayang. Hal ini bisa dimengerti karena biasanya lakon
wayang yang dipentaskan adalah sebuah hasil renungan sebuah karya para ahli
filsafat. Epos Mahabarata dan Ramayana adalah dua epos yang dihasilkan oleh
filosof Jawa awal, walaupun epos tersebut merupakan saduran dari India namun
dalam edisi Jawa ada perbedaan diantara tokoh-tokoh yang dimunculkan.
Beberapa karakter ada penjungkirbalikan secara kontras tokoh Dorna, misalnya,
dalam kisah yang asli adalah tokoh yang baik terhadap dua bersaudara Kurawa
dan Pandawa namun dalam edisi Jawa menjadi seorang guru yang jahat. Apalagi
bila hal ini dikaitkan dengan perintahnya kepada Bima (Werkudara)—dalam
lokon Dewa Ruci—ketika Bima berniat untuk mengambil air suci (tirtamarta)
yang kemudian diberikan arah yang menyesatkan mulai dari hutan yang terkenal
dengan jalmo moro jalmo mati, dan bertemu dengan dua raksasa yang merupakan
jelmaan dari dewa yang dikutuk oleh dewa Wisnu; kemudian ke dasar laut yang
ternyata di dasar laut terdapat ular naga. Akhirnya air suci itu adanya di dalam
keheningan sepi dalam dirinya Werkudara itu sendiri.20 Hal ini sangat
mencerminkan filsafat pantheisme dalam alur filsafat Jawa.
Dunia pewayangan dalam berbagai lakon juga mencerminkan filsafat hidup
orang Jawa. Sumantri Ngenger, misalnya, yang menceritakan loyalitas dan balas
budi dalam kehidupan sosial adalah suatu hal yang sangat diwajibkan dalam
tradisi Jawa.
Dunia tingkah laku orang Jawa, sebagaimana dalam filsafat wayang, juga
sangat terpengaruhi oleh filsafat kehidupannya, yaitu : dunia wayang. Wayang
sebetulnya merupakan lakon hidup manusia yang sedang di beberkan oleh sang
dalang lewat lakon-lakon yang diambil dari epos Ramayana khususnya
Mahabarata, 21 karena yang kedua ini daripada yang pertama. Kehidupan orang
20 Suseno, op.cit. lih juga Stange, op.cit. 21 Sujatmo, Wayang dan Manusia Jawa , Semarang, 1993, hlm. 35
27
Jawa kalau Sujatmo adalah: toleran, gotong-royong, sopan dan Sujatmo tidak
mendukung akan adanya sinkretisme, karena ia beranggapan bahwa sinkretisme
merupakan bukan budaya asli Jawa.22 Justru ini kemudian menjadi mentah
analisisnya karena seperti diketahui bersama bahwa Islam yang datang dari luar
adalah Islam yang sinkretik dengan budaya lokal.
Kehidupan rohani orang Jawa secara umum dibedakan menjadi dua yaitu:
abangan23 dan santri.24 Masing-masing mepunyai religiusitas yang berbeda.
Abangan cenderung bersikap tidak ketat dalam menjalankan syariat, sedangkan
santri adalah cenderung bersikap ketat dan kehidupannyapun dibuat untuk selalu
sesuai dengan syariat.25
Pandangan kosmis, acara ritual magis ini juga tergantung akan keislaman
orang Jawa. Apakah mereka santri atau abangan. Santri akan cenderung untuk
melakukan upacara slametan yang sesuai dengan syariat sedangakan abangan
biasanya akan mencari waktu yang tepat untuk melakukan upacara upacara
slametan tersebut.
Orang Jawa dalam keseharian yang dikenal dengan budaya santun dan alim.
Budaya Jawa yang dipadukan antara budaya Hindu-Budha, Islam dan Jawa
22 Ibid. Sujatmo beranggapan bahwa Jawa adalah merupakan kawasan yang religius, bukan
orang sinkretik. Sinkretik dipandang bukan ajaran agama, hal yang dilarang oleh agama. 23 Abangan adalah: sekelompok orang/orang yang dalam amalan religiusnya condong untuk
sinkretik dan banyak bersifat animisme, dan biasanya kelompok ini dilabelkan pada abangan yang disebut dengan wong cilik/petani, lih. Clifoird Geertz, Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya, Jakarta, 1983, hlm. 8. selain itu ada semacam folk kore dari daerah Cirebon bahwa abangan adalah idiom yang di sandarkan pada Syeh Siti Jenar atau Syeh Lemah Abang, sehingga abangan diidentikkan dengan wong bener, seorang pencari hakikat kehidupan daripada abangan yang sekarang mengalami perubahan makna yang sangat berbeda dari asalnya, manusia yang tidak taat terhadap syariat agamanya dan cenderung bersifat klenik. Lih A. G. Muhaimin, “The Morphology Adat : The Celebration of Islamic Holiday in North Choas Java”, hlm. 112 dalam, Studia Islamika Vol. 6, Number 3, 1999
24 Santri adalah : kelompok orang atau orang yang dalam aspek religiusitasnya tinggi dan bersifat sar’i, Geertz, op. cit.
25 Geertz, Ibid., hlm. 177
28
sendiri dalam proses internalisasinya kemudian Jawa menjadi semacam lukisan
yang sangat naturalisik. Kosmos Jawa di dalamnya hidup berbagai etnis yang
saling harmoni tidak ada konflik dan tidak mengenal akan persaingan. Ini bisa
dilihat dalam dunia hiburan misalnya, boleh dikatakan hiburan yang ditelevisi
adalah mencerminkan kehidupan (baca=budaya) Jawa.26
Bahasa Orang Jawa sebagai bagian dari bahasa Indonesia, adalah merupakan
bahasa yang tertua di Indonesia dan merupakan perpaduan bahasa dari dua
negara, bahasa Thai dan Bahasa India, Sansekerta, yang kemudian digabungkan
oleh Aji Saka, tokoh mitos yang kemudia memunculkan istilah Nusa Jawa dari
rumput sejenis Jewawut. Penggabungan kedua bahasa itu menghasilkan Aksara
Jawa.27
Bahasa Jawa dalam perkembangannya kemudian memunculkan
pengelompokan yang digunakan sesuai dengan derajat sosial seseorang yang pada
akhirnya sistim ini memunculkan feodalisme dan stratifikasi kelas. Hal ini
disadari atau tidak karena masih sangat erat kaitannya dengan agama-agama
sebelumnya, khususnya Hindu-Budha, yang mengajarkan sistim kasta, dan
berlaku secara rigid dan saklek. Bahasa Jawa ini juga dibarengai dengan
seperangkat etika ketika akan menggunakannya. Bahasa Jawa yang
26Tayangan-tayangan dalam sinetron-sinetron adalah sinetron yang bersettingkan budaya Jawa
dari Betawi sampai masyarakat urban, kalau di prosentase acara-acara hiburan ditelevsi adalah 90% tayangan yang bersettingkan Jawa, dari zaman mitos (ANGLING DHARMA, SANGKURIANG, dll), Penjajahan (MISTERI GUNUNG MERAPI), zaman modern (OJO DUMEH, KECIL-KECIL JADI MANTEN, dll); karena Betawi adalah etnis Jawa yang sudah mengalami “Pendewasaan” selain menggunakan bahasa leluhur yaitu Jawa juga telah melakukan perkawinan dengan budaya-budaya kosmopolitan. lih. Magnis Suseno, Etika Jawa, Jakarta, Gramedia, 1996, hlm. 21. D.H. Berger, Perubahan-Perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa, Bharata, Jakarta, 1977, hlm. 55. Tentang masyarakat urban yang ke daerah metropolitan atau ke daerah yang kepadatan penduduknya lebih rendah kebanyakan etnis Jawa dan sangat mencerminkan akan kehidupan kaum pinggiran, kaum tani di Jawa. Mengenai hal ini bisa dilihat dalam hasil selaman M. Sobary, Fenomena Dukun dalam Budaya Kita, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1997
27Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hlm. 19, catatan kaki no. 1
29
tersrukturalkan28 dalam sistim kasta. Bahasa Jawa Kromo Inggil misalnya adalah
sebuah bahasa halus yang biasa digunakan oleh kalangan priyayi dan hal ini
mengakibatkan semakin kuatnya nilai-nilai feodalisme.
Bahasa Jawa pada prakteknya sangat tergantung pada para pomong praja dan
priyayi karena merekalah yang telah membangun dan menghandarbeni akan
eksistensi bahasa/budaya Jawa.29 Tidak mengherankan jika dalam kesehariannya
jarang sekali ada orang wong cilik (abangan) yang mampu berbicara dengan
bahasa kromo inggil dengan baik. Memang bahasa kromo ini selain
penggunaanya terbatas peredarannya terbatas. Kosa kata yang harus dihafalkan
pun cukup sedikit yang berkaitan dengan anggota tubuh : 300-an kata.30
Etika Orang Jawa, sebagai etika yang cukup tua, karena merupakan
seperangkat nilai yang kemudian turut serta melahirkan ideologi bangsa ini, baik
ideologi politik maupun ideologi pendidikan/budaya. Ideologi politik, tentu rakyat
Indonesia sebagai bangsa masih ingat akan semboyan “Bhineka Tunggal Ika
Tan Hana Dharma Mang Rawa” dan juga semboyan pendidikan kita dari Ki
Hajar Dewantara “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut
Wuru Handayani”. Petuah orang besar, yang merupakan perancang ideologi itu
dan kesemuanya orang Jawa itu, ternyata mampu menjadi semacam perekat akan
kesatuan nasional Indonesia yang didasari atas pemahaman bersama terhadap
semboyan filisofis tersebut.
Etika Jawa yang membuat bangsa ini kurang tegas menurut Niels Mulder
adalah tolong menolong. Etika ini membolehkan siapa saja untuk melakukan apa
saja dengan dalih untuk menolong. Misalnya seorang guru negeri diperbolehkan
untuk melakukan jual beli buku-buku tulis atau buku pelajaran dengan harga yang
28Tentang kaidah pengunaan bahasa Jawa ini bisa dilihat dalam Kontjoroningrat, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta,1984, hlm. 21-23
29 Sang Pamomong, edisi 28 September 2003 30 Koenjtoroningrat, op. cit., hlm. 23. Bandingkan dengan Berger, op. cit., hlm. 153
30
lebih tinggi. Norma masyarakat bersifat hirarkris dan terstruktur.31 Siapa yang
sedang berkuasa maka ia menjadi benar (moralnya baik) karena dalam
masyarakat seperti ini masyarakat tidak membentuk warganya, namun justru
individu-warganya yang membentuk merah-putihnya masyarakat. Hal ini
tentunya sangat berkaitan dengan budaya Jawa yang lain ethok-
ethok,disilusi/pura-pura. 32
Manusia Jawa dengan falsafah ethok-ethok nya ini merasa tidak enak hatinya
jika untuk mengatakan hal yang salah jika hal itu dari kalangan atas atau orang
yang berkuasa. Kharisma sangat berpengaruh apakah ethok-ethok ini akan
berfungsi atau tidak tergantung seberapa kharisma yang dimilikiya. Kharisma
dalam dunia Jawa sangat tergantung seberapa banyak seorang tokoh memiliki
kekuatan materiil maupun spiritual (magis) dengan diatandainya banyaknya jimat
yang dimiliki: cincin, keris dan lainnya.
C. Terbentuknya Masyarakat Jawa
Kehidupan sosial masyarakat Jawa dibentuk dari zaman pra-modern dan
zaman penjajahan sampai zaman kemerdekaan. Jawa dalam era pra-
Kemerdekaan33 adalah sebuah sistim sosial yang masih primordial dan masih
mengedepankan etnosentrisme. Berbicara Jawa sebelum kemerdekaan akan
terlihat berbagai kekerasan sosial yang terjadi dari zaman kerajaan, sampai zaman
penjajahan. Di sini penulis akan sedikit mengupas perubahan sosial yang terjadi
31 Niels Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 1986, hlm,. 38 32 Magnis Suseno, Etika Jawa, Gramedia, Jakarta, 1996, hlm. 56 33 Mengenai zaman ini penulis tidak menggunakan pemisahan yang ketat antara zaman
penjajahan dan zaman kerajaan otonom karena yang terjadi justru kerusuhan/perubahan sosila terjadi tatkala sistim itu berubah, baik itu ketika kerajaan Majapahit runtuh akibat Demak atau Demak runtuh karena Pajang dan atau karena bersinggungan dengan dunia penjajahan. Selain itu juga karena pada masa-masa itu jarang sekali sumber yang bisa dibuat untuk mengklasifikasikan secara jelas kerusuhan mana saja/perubahan sosial mana saja yang terjadi dari dalam, yang memang betul-betul perubahan tersebut merupakan dari perkembangan masyarakat itu sendiri yang berkeinginan untuk maju tanpa ada stimulan dari pihak luar (baca= ancaman keamanan negara)
31
pada kerajaan-kerajaan besar saja: Majapahit, Mataram, Demak, Yogyakarta dan
Surakarta
a. Zaman Kerajaan
Zaman kerajaan di Jawa ditandai dengan berbagai kekerasan untuk
memperebutkan kekuasan secara massif. Hal ini karena didukung oleh dua
kekuatan yaitu kekuatan agama dan kekuatan kharisma. Kekuatan agama
dijadikan semacam modal awal yang harus dimiliki setiap orang yang ingin
melakuakan kudeta terhadap pemerintahan Raja yang sah. Demak dalam
perjalanan menciptakan kerajaan Islam raja Demak di bantu oleh para wali, yang
kemudian mem-back up penuh akan eksistensi kerajaan Islam Demak, dengan
kompensasi wilayah kekuasaannya harus Islam.
Majapahit dalam awal berdirinya adalah tanah yang dihadiahkan untuk
dibuat suatu wilayah perdikan, bebas pajak, dari kerajaan pusat. Majapahit
sebagai suatu kerajaan besar yang berasal dari Singosari memulai karier ke
pemerintahnnya dengan mengangkat raja yang berjuluk Brawijaya I.
Zaman ini ditandai dengan berbagai pergantian pimpinan kerajaan, yang
masing-masing raja mempunyai sandaran teologis (baca: agama). Karena seorang
raja dalam pandangan Jawa adalah:
Seorang yang dianugerahi kerajaan dengan kekuasaan politik, militer, dan keagamaan yang absolut. Namun, ini jelas konsep yang diambil dari kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah, yang memiliki bentuk seperti itu, dan ini terjadi di abad kelima belas, ketika orang Islam pertama kali masuk Indonesia. Sebagaimana halnya dengan kekahalifahan dan kesultanan di Timur Tengah negara tidak memisahkan kekausaan politik dengan kekuasaan agama. Akan tetapi kekuasaan politik dengan kekuasaan tradisional sultan telah ada jauh sebelumnya, mendahului Islam masuknya Islam di Indonesia pada raja-raja
32
Mataram dan mendahului raja-raja sebelumnya di Jawa, di zaman pra-Islam dan bahkan di zaman pra- Hindu.34
Hal ini bisa di lihat dalam kasus pengangkatan raja-raja Islam di nusantara
ini selalu mengawinkan antara dua gelar sekaligus yaitu sebagai panatagama dan
mangku bumi, paku alam, mangkunegara. Ketika hal itu kurang mantap maka
seorang sultan kalau perlu menggunakan gelar sebagai seorang khalifah dengan
cara membelinya dari Arab,35 yang dianggap sebagai pusat kosmos akan
kekuasaan Islam, karena dalam kerajaan Jawa sistim kerajaannya selalu dibangun
atas dasar alam numinous. Tidak mengherankan jika kemudian kecenderungan
kerajaan di Jawa selalu menyandarkan pada dua kekuatan yang saling bertolak
belakang: Nyi Roro Kidul dan Tuhan Semesta Alam ini sendiri.
Pajang sebagai suatu kerajaan yang mencoba berdiri sendiri, adalah satu
kerajaan yang didukung oleh kekuatan agama, walaupun dalam awal mulanya
sempat mendapat tantangan dari Kesultanan Demak. Islam yang berkembang di
Pajang adalah Islam mistik. Demak adalah kerajaan Islam syariat yang secara
jelas melarang adanya pengakuan Tuhan lain selain Allah, syirik, yaitu dengan
mempersamakan kedudukan antara kekuatan Allah dengan kekuatan ratu
penguasa laut selatan.
Tingginya posisi raja tidaklah menjadikan hubungan-hubungan dengan
rakyatnya menjadi bersifat impersonal, melainkan sangat personal. Rakyat yang
disebut dengan kawula, dalam perspektif budaya dan adat Jawa adalah termasuk
dari bagian keluarga besarnya. Umumnya, lewat proses sosialisasi nilai-nilai yang
mengalahkan kedudukan raja, rakyat selalu patuh pada rajanya. Persepsi rakyat,
raja adalah penguasa yang sah di dunia fana ini, yang mempunyai kekuasaan
34 Selo Sumardjan, Yogyakarta dalam Perubahan Sosial, UGMPress, Yogyakarta, 1983, hlm.
76 35 Pada tahun 1641, misalnya, Sultan Agung Mataram mendapat restu dari penguasa Arab untuk
memakai gelar Sultan yang merupakan gelar kerajaan yang sering digunakan di negara-negara Islam. Simuh, Mistik Islam Kejawen, UIPress, Jakarta, 1988, hlm.13
33
untuk menentukan perdamaian dan peperangan.36 Bahkan disamping menjadi
panglima perang, seorang raja di Jawa sekaligus menjadi penguasa agama.
Proses perubahan sosial yang paling santer terjadi pada kerajaan Mataram
adalah berakhirnya kekuasaan dari Sultan Agung. Pada masa Sultan Agung ini
perubahan yang dilakukan adalah dia adalah berusaha menyatukan dua varian
masyarakat yang selama ini dianggap tidak pernah bisa diharmoniskan dalam hal
yang pokok ternyata bisa. Kebijakan itu membuat sistim penanggalan Jawa yang
berbeda dengan dua penanggalan yang ada, yang masing-masing memiliki
pemakainya sendiri, penanggalan Saka digunakan oleh kaum abangan dan
penanggalan hijriyah digunakan oleh kaum santri. Pembuatannya banyak
mengacu pada penanggalan hijriyah namun awal tahunnya mengikuti tahun Saka,
78 Masehi. Hal ini ternyata bisa diterima di kedua belah pihak karena secara
material maupun spiritual masing-masing tidak kehilangan apapun yang ada pada
sistim penanggalan yang selama ini dipakai.37
Kesuksesan Sultan Agung membawa Mataram menjadi pusat anutan yang
baru paska Demak. Kerajaan Mataram mengalami kemunduran terkait dengan
perebutan kekuasaan antara Amangkurat I dengan Trunajaya38 dari perselisihan
keluarga ini kemudian memberi pintu masuk kepada Belanda lewat VOC untuk
turut campur masalah Mataram. Akhirnya kerajaan Mataram menjadi kerajaan
kecil yang tidak begitu berpengaruh terhadap perekonomian nusantara karena
kota-kota pelabuhan, yang terletak di pesisir pantai, yang sebelumnya dikuasainya
terpaksa diserahkan kepada Belanda sebagai upah dalam menghancurkan
36 Ahmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm. 26-27 37 Simuh, op.cit.,hlm. 11-12 38 Ibid. hlm. 13
34
kekuatan Trunajaya. Padahal daerah itu: Karawang, Semarang Priyangan adalah
tempat untuk pengeksporan hasil perkebunan.39
Perubahan sosial yang paling menonjol adalah pada masa pecahnya
kerajaan Mataram : Surakarta dan Yogyakarta, dan ternyata kepatuhan rakyat
tidak memudar, walaupun dalam perjalanan sejarah pamor Surakarta agak
meredup. Hal ini dikarenakan persinggungan antara para pejabat elit keraton
Surakarta yang bergandengan tangan dengan kaum revolusioner dan
bergandengan tangan pula dengan para pemberontak.40 Selain itu juga di kerajaan
Surakarta terjadi berbagai pertarungan ideologi kepentingan dari para pemimpin
pergerakan kemerdekaan. Sangat berlainan dengan Surakarta, Yogyakarta
ternyata malah menjadi daerah istimewa41 dan mempunyai otoritas atas tanah dan
kekuasaan feodalnya terpelihara dengan produk hukum yang dihasilkan oleh
pemerintah selanjutnya. Selain itu satu hal yang paling penting adalah: tidak
meredupnya pamor dari (ke)Raja(an) Jawa.
Keampuhan dari kekuatan magis ini paling tidak karena konsep
kepemimpinan di Jawa adalah apa yang disebut dengan kawula gusti. Kawula
gusti dalam perspektif budaya Jawa mempunyai artian/dimensi mistik. Jumbuhing
gusti, bersatunya manusia dengan Tuhan, dalam mistik Jawa, menggambarkan
tujuan tertinggi hidup manusia, yaitu pencapaian ‘kesatuan’ akhir dengan tuhan
(manunggal). Kekuatan magis ini telah dilandasi terlebih dahulu dengan keuatan
39 Suseno, op. cit., hlm. 33 40 Lardson, op. cit. hlm. 14 41 Suseno, op. cit., hlm. 34, karena rakyat Yogyakarta berjasa dalam mengantar Indonesia
mencapai merdeka dengan Yogyakarta sebagai ibu kota dalam masa darurat dan kesediannya membiayayai kebutuhannya selama keberadaanya di sana yang cukup besar sekitar enam juta gulden kekayaan keraton diserahkan untuk kepentingan revolusi, Mestika Zed, “Soekarno di Masa Krisis PDRI”, KOMPAS, 1 Juni 2001. Adapun mengenai pro-kontra sebab-sebab penamaan Yogyakata menjadi daerah istimewa dapat dilihat pada tulisan Selo Soemardjan, Op. cit., hlm. 13-14 dan tanggapan atas disertasi ini, yaitu karangan KPH. MR. Soedarisman Poerwoekoesoemo, Tanggapan Atas disertasi Berjudul”Perubahan Sosial Di Yogyakarta”, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1984
35
tradisional, yaitu: kharisma, biasanya keturunan dari kaum bangsawan/elit dan
kecerdasan secara spiritual yang diperoleh dengan cara bertapa.
Kondisi ini menggambarkan hal yang lebih dramatis karena istilah kawula
gusti adalah sebuah istilah yang bertolak belakang, Gusti adalah status yang
paling tinggi dalam suatu masyarakat dan merupakan dzat yang paling tinggi
dalam agama, sedangkan kawula adalah golongan yang terendah dan
berkewajiban untuk menyembah kepada Gusti. Kesatuan antara hamba dengan
gusti hanya mungkin terjadi ketika dalam dua unsur itu terdapat substansi yang
sama, yaitu adanya persamaan isi inti, jiwa, karena dalam pandangan penganut
Islam di Jawa manusia adalah tercipta dengan filsafat emanasi.42
Berangkat dari kesadaran ini maka setiap suatu pemberontakan terhadap
para penguasa yang lalim ada kecenderungan dan yang sering memimpin adalah
golongan elit dari satu daerah, apalagi dalam sejarah bangsa ini kaum elitlah yang
paling punya: uang, kemampuan intelektual, dan kekuasaan. Tiga hal yang harus
di punyai ketika kaum elit akan melakukan suatu perubahan sosial. Menarik untuk
dicermati di sini adalah ketika para penguasa pada waktu itu sanggup mempunyai
kesemuanya, namun dalam prakteknya tidak ada 50% dari para penguasa yang
mengawal perubahan sosial ini sampai tuntas. Hal ini dikarenakan pada zaman
kerajaan feodalisme masih sangat kuat dan mungkin yang paling berani dan di
luar main-stream adalah Madura. Cakraningrat sebagai bupati Madura, walaupun
sebagai seorang raja bawahan namun tidak pernah datang ke Mataram untuk
42 Filsafat emanasi ini pertama kali muncul dari tangan al Farabi, kemudian diteruskan oleh ibn Sina dan sangat terpengaruhi dengan Platonisme. Pengaruh ini di Jawa disebarluaskan, dengan sedikit pewarnaan baru—misistisme Jawa, oleh seorang Syeh, Syeh Siti Jenar dan kemudian beliau dibunuh oleh Walisongo karena dianggap menggangu ketentraman Kota Demak. Sebenarnya ajaran filsafat emanasi ini bertujuan untuk mengatasi akan problematik antara kaum teolog (Mu’tazilah) yang beranggapan bahwa Keesaan Tuhan dengan jalan peniadaan sifat-sifat Tuhan, sedangkan kaum sufi dengan jalan bahwa: Semua wujud di dunia ini adalah wujud Tuhan. Penganut paham emansi berpandangan bahwa kemajemukan sifat Tuhan adalah ketika ia telah menajdi melakukan berfikir tentang dzat-Nya sehingga memedarlah apa yang dinamakan ruh pertama itu. Ruh pertama ini kemudian menjadi jiwa-jiwa/wujud-wujud di semesta ini. Mengenai pembahasan ini bisa dilihat dalam Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Mizan, Bandung, 1996, hlm. 43-44
36
sowan dan tidak pernah pula untuk menyampaikan upeti, namun kekuasaan,
kecerdasaan dan kekayaan43 yang dimiliki sang Sultan tidak bisa mempengaruhi
perbuatannya yang dianggap telah melenceng jauh dan bahkan berbuat makar.
Pada masa kerajaan Surakarta ini terjadi beberapa dinamika perubahan
sosial yang secara berlahan namun pasti. Perubahan sosial ini bemula dari
semakin terkurangnya wilayah kekuasaan Surakarta. Hal ini membuat penguasa,
Susuhunan berpacaran—istilah yang di buat Lardson—dengan kaum pergerakan
diantaranya dengan memberikan pengaruh atau proteksi dengan menjadikan
putranya Adipati Anom, Ngabehi. Dijadikan pelindung bagi organisai Sarekat
(Dagang) Islam, SI.44 Usaha Susuhunan untuk membangkitkan kembali imperium
Jawa dengan jalan melakukan safari politik ke kerajaan-kerajaan kecil
disekitarnya, karena bagaimanapun daerah bekas Mataram menjadi pusat anutan
bagi kerajaan/raja disekitarnya.
Usaha ini ternyata tidak mulus, karena penguasa Belanda merasa
keberatan karena rombongan yang dibawanya terlalu banyak, sehingga dalam
perjalanannya kemudian dikurangi sampai 200 orang dan ini sangat
membutuhkan banyak uang dan hal ini, mengganggu keuangan pemerintah
Belanda. D.A. Rinkes, Asisten Penasihat Urusan Boemi Poetra, berpendapat
bahwa hal ini akan turut menyuburkan sikap nasionalisme Jawa, apalagi SI pada
waktu awal mula berdiri memang bertujuan untuk mengusir Belanda dan Cina
untuk membuat Negara Jawa dengan Surakarta sebagai ibukotanya dan
Susuhunan atau keturunanya yang menjadi raja.45
43 Usaha untuk melakukan penaklukan terhadap Cakraningrat adalah memberikan anak dari
sultan untuk dijadikan istri namun hal ini justru menjadi bumerang terhadap kekuasaan raja bukan bertambah mesra namun malah bertambah runyam, permasalahan yang sedang dihadapi. Willem Remmelink, Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa 1725-1743 Jawa, Jendela, Yogyakarta, 2003, hlm. 11 khususnya bab. IV
44 Lardson, op. Cit., hlm. 49 45 Ibid., hlm. 68-70
37
Akhir tahun1915 pamor SI menurun dengan beralihnya sentral gerakan SI
dari Surakarta ke Surabaya dengan bergantinya pemimpin dari Samanhudi ke
Cokroaminoto. Hal ini terkait karena pemerintah Belanda tidak mau memberikan
badan hukum terhadap pimpinan pusat oraganisai itu. Pimpinan pusat SI
berhubungan erat sekali dengan kalangan istana dan ini membahayakan kekuatan
Belanda sehingga dalam konggres yang ke-2 Cokroaminoto dapat menjadi nomor
satu dan Samanhudi hanya dijadikan ketua kehormatan dan tetap berkedudukan di
Surakarta.
Kemunduran SI juga ada faktor lain yaitu organsasi46 yang dibentuk oleh
kalangan istana yang tidak suka terhadap perkembangan SI dan cenderung ke arah
Susuhunan dan dianggap membahayakan kepentingan mereka para penguasa
yang jahat, yang dalam istilah Remmelink tidak patriotik47—diwujudkan dengan
kelicikannya. Selain itu juga semakin besarnya Boedi Oetomo yang merupakan
organisasi yang dijadikan anutan oleh SI dalam sistim kerjanya yaitu modern.
Kelahiran SI yang dianggap telah melahirkan mitos akan mahdiisme
karena pemimpin mereka ROS Cokroaminoto dikaitkan dengan ramalan
Ronggowarsito (Joyoboyo) tentang akan datangnya penyelamat yang bernama
eurocokro48 yang akan membawa bangsa ini kearah kemerdekaan. SI juga
merupakan orgasniasi sosial politik yang berusaha menghilangkan akan
feodalisme dalam Jawa, lewat penggunaan bahasa Jawa ngoko antar sesama
anggota tidak ada yang namanya priyayi dan ndara lagi. Hal ini sangat kental
akan Islamnya karena Islam mengajarkan akan equalibrium dalam
kemasayarakatan.
46Organisasi bentukkan istana, dalam hal ini Mangkunegaran, yaitu organisasi Darmo Hatmoko,
semacam organisasi penjaga keamanan. Organisasi ini sering menyelesaikan persoalan dengan kekerasan, sehingga memicu kemarahan dari anggota SI. Ibid., hlm. 65
47Remmelink, op. cit., hlm. 7 48Stange, op. cit., hlm. 141 Lihat juga R.Ng. Ranggawarsito, Zaman Edan, Bentang Budaya,
Yogyakarta, 2001, hlm. 54
38
SI juga dianggap sebagai pelopor partai yang secara operasional dan
struktural adalah modern, walaupun penokohan terhadap Cokroaminoto sangat
besar. Ketokohaan Cokroaminoto ternyata tidak membawa ke arah kultuisme,
karena dalam SI ini bersemboyan “duduk sama rendah dan berdiri sama
tinggi” yang merupakan idiom diambil dari “ringan sama dijinjing berat sama
dipikul”, idiom yang datang dari Minangkabau.49
b. Zaman Penjajahan
Penjajahan di Jawa bermula dari masuknya Belanda lewat kapal
dagangnya dengan bendera VOC. VOC mencari rempah-rempah ke daerah asal,
Jawa dan berlabuh di Batavia. VOC kemudian mendirikan perwakilan dagang,
yang kemudian membesar yang mampu menginterverensi para pedagang kecil
untuk menjual hasil rempahnya ke VOC, memonopoli.50
Masyarakat Jawa pada zaman penjajahan mengalami berbagai penindasan
secara kultural dan struktural. Secara kultural ini bisa dilihat dalam hal bagaimana
Jawa kemudian dijadikan semacam daerah percobaan dalam hal-hal perpaduan
budaya. Secara stuktural hal ini bisa dilihat dalam penempatan kelas sosial.
Kelompok pribumi menjadi kelas sosial yang lebih rendah dari para pendatang,
Cina, Arab dan India.
Pada masa ini masyarakat Jawa kemudian mengelompokkan diri dalam
berbagai forum yang dianggap mampu menghambat laju depresi dari manusia
Jawa. Banyak diantara mereka yang kemudian menggabungkan diri dalam dunia
kebatinan. Biasanya yang paling nyata manusia Jawa melakukan berbagai ritual
keagamaan yang dianggap mampu mengurangi penderitaan akibat penjajahan.
49 Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, Grafiti Press, Jakarta, 1997, hlm. 239 50 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional
dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, jil. 2, Gramedia, Jakarta, 1992, hlm. 4
39
Hal ini bisa berupa tapa brata, suatu ritual untuk menambah kekuatan: Jiwa dan
jasmani.
Pada era penjajahan Belanda orang Indonesia pada umumnya dan Jawa
pada khususnya mengalami berbagai tindakan kejahatan kemanusian yang cukup
lama hal ini dikarenakan politik Belanda yang lebih mengutamakan kemakmuran
dan keberlangsungan penjajahan ini daripada proses percepatan kesadaran
pendidikan di tanah jajahannya. Hal ini sangat berbeda sekali dengan yang
dilakukan oleh negeri penjajah lainnya. Kejahatan kemanusian yang dilakukan
oleh penjajah Belanda adalah semakin lebarnya kemiskinan antara para pengusa:
elit yang bekerjasama dengan Belanda atau elit pengusaha yang diuntungkan
dengan politik tanam paksanya. Era tanam paksa mengharuskan kepada rakyat
yang mempunyai tanah untuk menanam kapas dan tanaman lain yang bertujuan
untuk tujuan ekspor yang digunakan menambah devisa bagi kolonial dan
digunakan pembangunan negeri Belanda51.
Pada era ini Belanda lebih berdekatan dengan kelompok yang sering
sejarawan namakan elit dan cenderung untuk abangan. Hal ini mungkin
terpengaruh oleh nasihat Snouck Hourgronje tentang cara menaklukan bangsa
Indonesia bahwa perjuangan rakyat yang cukup kuat karena adanya inspirasi dari
kaum elit ulama/santri. Penjajah lebih dekat dengan kaum abangan. Selain itu
juga penjajah hendak melakukan sekularisasi terhadap hukum yang berkembang
di Indonesia supaya bukan hukum Islam yang diterapkan melainkan hukum adat.
Selain itu dalam politik Belanda juga mengharapkan kerjasama pada elit
pemerintah untuk meminjamkan tanah warganya untuk ditanami dengan tanaman
yang dibutuhkan pasar Eropa, yang kemudian ternyata tanah itu lepas dan
akhirnya apa yang dinamakan involusi pertanian semakin meluas dan para petani
kecil semakin banyak. Kemiskinan semakin luas karena rakyat tidak mempunyai
51 Robert W. Hefner, Geger Tengger, LkiS, Yogyakarta, 2002, hlm. 13
40
bahan makanan, lahan yang selama ini digarap terpaksa dijual karena tidak
mampu untuk membayar pajak yang diharuskan oleh pemerintah kolonial.52
Kedekatan ini juga untuk mengontrol kekuasaan raja terhadap para
penggantinya supaya kesepakatan yang dibuat antara Raja dan para elit
dibawahnya terjadi harmoni. Hal ini akan memudahkan kontrol pemerintah
kolonial terhadap elit-elit mana saja yang berniat untuk memberontak. VOC,
pemerintahan kolonial, pernah kecolongan dengan tidak jadinya putra Bupati
Tegal menjadi Mantri Anom, pada tahun 1727, karena dalam kesepakatan antar
raja Jawa dan pemerintahan kolonial disebutkan bahwa putra dari elit di daerah
akan menjadi penerus dari kedudukan ayahnya yang ditinggal karena meninggal
atau karena pensiun.53
Secara kebetulan ketika elit yang terdidik adalah hasil didikan Belanda
dan banyak dari para pemimpin Indonesia yang dihasilkan dari didikan Belanda,
baik secara langsung maupun secara tidak langsung, melalui pengiriman ke luar
negeri ataupun memang mengenyam pendidikan kaum elit. Kaum terdidik ini
akan lebih bersifat pragmatis karena sudah berangkat dari sistim pendidikan yang
pincang, pendidikan bukan untuk rakyat, tapi untuk elit. Pola pendidikan yang
hanya mementingkan kaum elit bangsawan maka pergolakan Jawa pada
hakikatnya bersifat kedaerahan dan tidak mempunyai kekuatan diplomasi yang
dapat diperhitungkan oleh Belanda.
Pada masa ini memang ada semacam pertentangan pendapat cara
mencapai kemeredekaan ada yang berpendapat kerjasamalah yang akan
membawa ke arah kemerdekaan dan ada pula yang mengajak dengan jalan
kekerasan. Hal ini terwakili dengan jelas dalam pribadi dwi tunggal: Soekarno
Hatta. Soekarno mewakili golongan Jawa dan kiri sedangkan Hatta adalah
52 Ibid. 53 Remmelink, Perang Cina … op. cit., hlm. 11. Peristiwa ini terjadi pada era kepimpinan
Pakubuwana II
41
mewakili golongan modern yang beranggapan perubahan tanpa kekerasan adalah
mustahil, yang mewakili kaum muda dan luar Jawa.54 Perbedaan ini nyata benar
dalam pandangan dunia Jawa yaitu abangan dan santri. Abangan yang secara
filosofis adalah kaum yang “merelakan” dan kaum Santri adalah golongan yang
tidak pernah akan untuk merelakan selama umur dan iman masih melekat pada
dirinya ketika martabat ini diinjak-injak. Hal ini bisa dilihat dalam cerita Syekh
Lemah Abang yang menjadi sandaran dari kaum Abangan bahwa Syekh Siti Jenar
merelakan dirinya untuk diekskusi demi langgengnya ajaran yang dimililiknya
sedangkan kaum santri tidak akan pernah menerima ketika ajaran Syekh Siti Jenar
itu meluas menghancurkan dan menjelek-jelekkan ajaran yang diajarkan oleh para
sunan dan sunan sendiri. Beberapa ahli berkeyakinan bahwa pembunuhan yang
dilakukan oleh para sunan terhadap Siti Jenar adalah bukan permasalahan dia
nantinya akan merusak kekuasaan Demak namun ketakutan para sunan dan sultan
akan menyebarnya paham keagamaan yang bersifat pasrah dan cenderung ke
Akhirat padahal situsai menghendaki untuk melakukan perlawanan terhadap
penjajah yang sedang mendekat dan membahayakan.
Secara historis perubahan sosial yang dilakukan oleh orang Jawa adalah
adanya perang Diponegoro (1925-1930), merupakan perang yang paling berat dan
banyak mengakibatkan timbulnya korban. Perang ini telah membawa ke arah
perekonomian yang tidak sehat, angka kemiskinan terus bertambah dan Belanda
pun mengalami kesulitan yang luar biasa, sehingga memaksa pemerintah Hindia
Belanda untuk melakukan sistim tanam paksa/culturstelsell. Perang ini
ditimbulkan karena Belanda-lah yang memulai karena Belanda terlalu luas dalam
pengambilan tanah milik keraton Yogyakarta dan terlalu turut campur dalam
penentuan kebijakan kerajaan Yogyakarta.55 Itu yang paling prinsip selain itu juga
54 Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Bentang, Yogyakarta, 1999, hlm.
164. 55 Karel A. Steen Brink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abda ke-19, Bulan Bitang,
Jakarta, 1987 , hm. 18
42
pemungutan pajak oleh warga Tiong Hoa terhadap para penduduk pribumi yang
sangat menyakitkan karena penduduk pendatang secara legal dan sah memungut
pajak dari tuan mereka, penduduk pribumi.
Pada zaman Jepang (1942-1945)56 orang Jawa yang banyak
mempengaruhi perubahan sosial pada waktu itu adalah kyai/ulama. Alasannya
ulama pasti mempunyai pengikut massa yang real dan itu sangat ditakuti oleh
kalangan penjajah dengan perang sucinya, jihad. Jepang mendidirkan MIAI pada
tahun 1942, yang dimaksudkan untuk mengelompokkan ulama ke dalam birokrasi
sehingga tidak mempunyai kesempatan untuk mengoordinir massa guna
mengadakan perubahan.
Setelah MIAI ini kemudian melahirkan PAU (Persatuan Alim Ulama)
yang diharapkan bisa menjadikan umat Islam Jawa seperti umat Islam di Aceh
yang tergabung dalam PUSA (Persatuan Ulama seluruh Aceh) yang mudah untuk
diajak kerjasama sehingga rakyat aceh dan ulamanya rela melakukan perang
dengan Belanda untuk memuluskan pendaratan Jepang yang akan memberikan
kemerdekaan kepada Indonesia pada umumnya dan Aceh pada khususnya.
Pada era ini peran kaum abangan bisa dikatakan tidak ada. Pergerakan
sosial yang maju pun, PSII, dikredilkan dengan tidak diperkenankanya mereka
masuk dalam kepengurusan MIAI karena ditakutkan akan menggerakkan MIAI
untuk kepentingan kemerdekaan, karena setelah Jepang berhasil menduduki
seluruh wilayah Hindia Belanda Jepang melarang adanya organisasi sosial yang
berbicara mengenai nasionalisme dan kemerdekaan.
Jepang kemudian melarang pengajaran bahasa Arab, baik di madrasah
maupun di pondok pesantren. Pelarangan pengajaran bahasa Arab sangat
56 Uraian pada masalah ini banyak diambil dari Nourouzaman Shiddiqi, ‘Islam Pada Masa
Pendudukan Jepang, sebuah Tinjauan tentang Peranan Ulama Pergerakan Muslim Indonesia’ hlm. 31-83. dalam Mu’in Umar dkk. (eds.) Penulisan Sejarah Islam di Indonesia dalam Sorotan, seminar IAIN Sunan Kalijaga, Dua Dimensi, Yogyakarta, 1985
43
menyakiti umat Islam di Jawa karena larangan pengajaran bahasa Arab sama saja
dengan melarang ummat Islam untuk membaca al Quran dan ini sama saja
menyuruh umat Islam untuk murtad dan syirik. Jepang sepertinya ingin
mempersamakan Jawa (Indonesia) dengan tanah jajahan di Korea, Mancuria dan
Hongkong, dengan cara menyuruh rakyat Indonesia untuk menghormati dewa
Matahari sebagai Tuhannya orang Jepang. Hal ini tentunya ditentang keras oleh
kalangan ulama karena hal ini tidak sesuai dengan ajaran agama mereka (Islam).
D. Manusia Jawa di Era Kemerdekaan
a. Manusia Jawa di Era Orde Lama
Pada era ini manusia Jawa banyak menganut ideologi sosialis dan ini
mengakibatkan banyaknya perubahan yang sangat radikal. Hal ini ditandai
banyak partai-partai yang berbasiskan ideologi sosialis-komunis (ideologi yang
identik dengan wong cilik57), Partai Murba, PNI, PSI, PKI. Partai-partai inilah
yang sedikit banyak telah mewarnai perubahan sosial yang sangat cepat.
Kiprah partai-partai ini tidak bisa dianggap sebagai kepanjangan
kepentingan kaum sosialis-komunis Uni Soviet semata, namun juga harus
dipandang dari segi ikut memodernisasikan masyarakat Indonesia pada umumnya
dan Jawa pada khusunya.58 Manusia Jawa pada era ini mengalami beberapa
kemajuan secara ideologi. Secara sederhana mereka telah mengenal akan
beberapa ideologi yang selama ini dianggap mampu membebaskan mereka dari
feodalisme. Ideologi-ideologi itu memang banyak ditumbuhkan oleh kalangan
57Wong cilik adalah idiom yang digunakan kepada mereka rakyat kecil yang hidup dipinggiran
kota atau mereka yang di desa yang tidak mempunyai lahan garap pertanian dan merupakan strata paling rendah dalam alur horisaontal kemasayarakatan. Singkatnya wong cilik adalah masyarakat Indonesia pada umumnya dan Jawa pada khsuusnya yang tidak kebagian “kue pembangunan”. Lih Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa, INIS, Jakarta, 1987, hlm. 5
58Sebagian besar pemilih partai tersebut kebanyakan dari daerah Jawa dimana partai-partai ini selalu mengatasnamakan wong cilik. Idiom ini adalah idiom yang dimiliki oleh orang Jawa. Idiom ini di identikan dengan usaha Soekarno dengan Ideologi Marhaenis-nya, untuk mengentaskan wong cilik dari kemiskinan.
44
kiri, seperti dalam MANIKEBU-nya LEKRA, karena dalam MANIKEBU dan
LEKRA mereka diajarkan bagaimana menjadi orang yang kritis dan sadar akan
dunia luar dan sistim yang dipakai.
Pada masa orde lama kaum abangan dalam perubahan sosial perannya
sangat menentukan, yaitu dalam keanggotaannya mereka dalam memasuki dan
memilih PKI dalam pemilihan umum dan keterkaitan mereka dengan
pemberontakan G.30 S/PKI.59 Kaum abangan dalam kasus PKI sebenarnya hanya
tertarik dengan program land-reform-nya karena pada waktu itu rakyat kecil
semakin melarat dengan dikuasainya tanah mereka. Kebijakan tersebut
merupakan kebijakan pemerintahan kolonial dulu. Isu land reform ini telah
mampu menarik simpati rakyat kecil dengan harapan tanah yang telah dirampas
oleh penjajah akan bisa didapatkan kembali apabila PKI tampil menjadi kekuatan
mayoritas dalam parlemen.
Peran budaya Jawa sangat menonjol dalam kehidupan kemasayarakatan juga
hal ini bisa dilihat ketika seorang Presiden mendatangkan seorang pawang hujan
“hanya” untuk mendatangkan hujan supaya rumput didepan istananya hijau
kembali yang sudah kering karena sudah terlalu lama tidak turun hujan. Padahal
pawang tersebut sudah bingung apa maksudnya sampai ia dipanggil langsung ke
istana. Selain konteks dukun itu juga ada konteks lain yaitu bahwa seorang
golongan wong cilik dan abangan bisa memasuki istana, istana benar-benar
menjadi rumah rakyat bukan merupakan rumah satria/elit. Di sisi lain adalah
humanismenya, sepertinya memang benar rasa dalam mikrokosmos Jawa
59 Kesimpangsiuran siapa dalang sebenarnya dibalik pemberontakan G30 S/PKI ini terkupas
dalam Atmadji Sumarkidjo, Mendung Di Atas Istana, Sinar Harapan,Jakrats, 2000, hlm. 16-22 kalau di sini dijelaskan ada 6 (enam) sekenario: PKI sendiri dibalik G. 30 S, Elit PKI saja lewat kelompok Syam, Polit Biro, CIA dengan menggulirkan isu Dewan Jenderal sedangkan yang terakhir adalah Soeharto karena menginginkan menjadi nomor satu di RI ini. Kalau penulis membaca versi PKI dengan berlandaskan pembelaan Kolonel Latief maka akan menuju satu nama yaitu Soeharto dengan bantuan CIA dengan issue Dewan Jendral, karena mereka, PKI beranggapan didahuli atau mendahului pengambilan kekuasaan oleh Dewan Jenderal dari tangan Bung Karno., lih. Hasan Raid, Pergulatan Muslim Komunis Hasan Raid, LKPSSM-Syarikat, Yogyakarta, 2001
45
menempati peran yang amat sentral sehingga hal inilah yang kemudian membuat
manusia Jawa pada umumnya akan menaruh welas asih terhadap sesama makhluk
hidup.
Makhluk hidup dalam dunia Jawa, apalagi ditautkan dengan kepercayaan
dunia makrokosmos, adalah penuh dengan sanepa/perlambangan jadi tidak
mengherankan jika dalam dunia Jawa sering mendengar/menjumpai bahwa
hewan-hewan tertentu mempunyai bala tertentu, seperti burung gagak misalnya
adalah: binatang yang membawa kabar jelek, kematian, sedangkan bila
mendengar burung bernyayi di sekitar rumah itu pertanda akan kedatangan tamu.
tumbuhan-tumbuhan juga memiliki perlambangan yang cukup unik juga.
Contoh:seumapama ketika seseorang memimpikan kejatuhan bunga atau durian
maka orang tersebut akan mendapatkan anugrah yang besar dari arah yang tidak
disangka.
b. Manusia Jawa di Era Orde Baru
Pada era ini Jawa bisa dikatakan dalam keadaan yang tenang dan sementara
itu Jawa mulai menyebarkan sayap budayanya ke daerah sekitar. Jawa pada waktu
itu mampu menjadi ideologi bagi Indonesia. Ideologi di sini dalam artian ideologi
yang digunakan untuk menghegemoni akan budaya daerah yang lain juga dalam
arti hegemoni untuk menindas.60 Hegemoni memang selalu akan melakukan
kooptasi terhadap kekuatan yang berada diluar dirinya karena akan berakibat
terhadap ketidakstabilan. Sementara itu dengan dalih akan stabilitas politik
Indonesia pemerintah melakukan represif yang bersifat hegemonik dan cenderung
fasis dan mengarah menuju negara yang birokrat otoriter.61
60 Heru Hendarto, ‘Mengenal Konsep Hegemoni Gramsci’ hlm. 75 dalam Diskursu
Kemasayarakatan dan Kemanusiaan, Kansius, Yogayakarta, 1993. 61 Suwarsono dan Alvin Y. SO, Perubahan Sosial dan Pembangunan (edisi revisi), LP3ES,
Jakarta, 1993, hlm. 78
46
Jawa pada zaman Orde Baru menjumpai suatu sistim yang patrimonial dan
cenderung untuk menjadi sebuah sistim yang akan melakukan perubahan budaya
dari budaya yang multikultural dan plural menjadi benar-benar menjadi satu
dalam kebinekaan dalam artian yang berlawanan.
Jawa dalam kehidupan sehari-harinya justru dikooptasi oleh budayanya
sendiri, dengan budaya tolong menolong. Itulah Orde Baru (Soeharto) telah
melakukan kesalahan manajerial perekonomian dengan meminggirkan orang
pribumi, Boemi Poetra, malah berpihak pada etnis Cina yang justru dianggap
sebagai biang kejatuhan perekonomian Indonesia.62 Tolong-menolong telah
membuat Soeharto melakukan kegiatan memperkaya keluarga. Hal ini tidak
termasuk yang meyebabkan Soeharto terjungkir dari kursi keprisidenannya
namun karena Soeharto sudah tidak mesra lagi dengan kalangan
kejawen.Soeharto justru mesra dengan kalangan santri, dalam hal ini ICMI.63
Indonesia dalam era ini adalah Indonesia yang sedang menunjukkan dirinya
sebagai negara yang moderat dan berasas ekonomi pertumbuhan.Pertumbuhan
ekonominya dianalogkan bagai tanaman yang subur dalam pot.64 Tanaman dalam
pot hanya mengakibatkan keteduhan yang sementara terhadap pertumbuhan
ekonomi kecil lainnya karena hanya menaungi pelaku ekonomi yang
disekelilingnya namun tidak menghasilkan pertumbuhan yang merata disekitar
karena memang ekonominya adalah ekonomi pertumbuhan bukan ekonomi
perkembangan sebagaimana yang dicita-citakan oleh Hatta.
62 Media Dakwah, no. 289 Mulud, 1419 H/ Juli 1998 63 Pada masa akhir kekuasaanya (era 90-an) Soeharto mulai banyak merangkul para ulama
untuk masuk ke dalam pemerintahan dan Soeharto juga melakukan ibadah haji, sebagai tanda kesempurnaan Islam dan juga banyak bertandang ke pesantren lewat partai negaranya, Golkar, sehingga pada era itu Golkar semakin hijau dan Ulama mengeluarkan fatwa mencoblos Golkar tidak haram. Kegiatan yang paling berkesan adalah ketika Soeharto meresmikan berdirinya ICMI. Masa ini penasehat spiritual Soeharto merasa ditinggalkan karena ketidakmampuannya untuk mencari Kembang Wijayakoesoema di Cilacap. Stange, op.cit., hlm. 144-145
64 Suwarsono, op. cit., hlm. 79
47
Berawal dari inilah kemudian rakyat Indonesia pada umumnya, dan Jawa
pada khususnya menjadi masyarakat periferial dan terbelakang yang tidak
mungkin untuk mengakses kemajuan teknologi. Indonesia masih sedikit banyak
menganut politk feodalisme: hanya orang-orang tertentu yang berhak untuk
mengenyam pendidikan secara layak, yaitu : orang-orang dari keturunan
bangsawan dan keturunan priyayi.65 Data statistik menunjukkan bahwa pada
tahun-tahun awal kemerdekaan/pembangunan orang yang terdidik dari rakyat
Indonesia hanya 76.257 orang maka tidak mengherankan jika pada awal
pemerintahan ini dibangun posisi kaum pinggiran akan menempati di pojok-pojok
kota ataupun menempati daerah tanpa kepunyaan tanah sebagai sarana ekonomi.
(Lihat Tabel)
Struktur Pemilikan Tanah menurut Luas tiap Kepala Keluarga
Jumlah Pemilikan Tanah Presentase
65 Hal ini bisa dilihat dalam table dibawah ini:
Latar Belakang Pendidikan Tenaga Kerja Sektor
Pertanian di Pedesaan, 1971-1990
Jenjang pendiidkan 1971 1980 1990
Tidak sekolah
Tidak tamat SD
SD
SLTP
SLTA
Akademi/PT
Tak Terjawab
13. 084.073
7.943.222
5.045.018
319.932
76.257
4.997
---
10.115.227
11.569.865
5.466.689
619.067
243..373
20..538
5.703
1.094.571
1.827.294
1.613.953
206.158
117.450
16.221
---
Total 26.473.477 28.040.462 4.875.647
Sumber: Soegeng Sarjadi, Kaum Pinggiran dan Menengah Quo Vadis , Gramedia, Jakarta, 1996, hlm. 12, yang diolah dari data statistik Indonesia 19971,1980,1990.
48
Kurang dari 1/3 ha
1/3 ha – 1 ha
1 ha – 2 ha
2 ha – 5 ha
lebih dari 5 ha
70 %
25 %
3 %
1,5 %
0,5 %
Sumber: Eko Fauzi, Petani dan Penguasa Dinamika Perjuangan Politik
Agraria Indoensia, INSIST & Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999,
hlm.44
Hal ini terbukti dengan tesis Involution Agricultur-nya Geertz bahwa
semakin banyak rakyat yang tidak mempunyai tanah garapan. Selain adanya
sistim pendidikan yang hanya bisa dinikmati oleh kaum elit juga karena pada
waktu itu kondisi perekonomian pada waktu iu negara memaksa untuk melakukan
berbagai kebijakan yang tidak popular karena: warisan sistim ekonomi orde lama
yang ambruk dan politik yang tidak stabil, kebijakan ekspor yang justru menguras
SDA Indonesia.
Orang Jawa yang terpinggirkan karena sistim biasanya akan masuk ke
dalam suatu sistim kepercayaan yang dianggap bisa mengobati penyakit hatinya
akan kesewenangan yang dilakukan oleh pemerintah. Ini kemudian menjadikan
manusia secara strukturl akan terpinggirkan karena secara administrativ sudah
cacat akan proses hubungan vertikalnya.
Pada Era orde baru juga pernah ada kejadian yang menggambarkan
bagaimana kepercayaan dunia Jawa kembali menggebrak kesadaran kemapanan
yang sedang dalam masa puncak ketika seorang karyawan di salah satu
departemen mengaku telah mendapat wangsit dari para leluhur bahwa ia adalah
orang yang sah dan akan menggantikan kepemimpinan Soeharto. Ini
mengakibatkan penasehat spiritual Soeharto menyarankan kepada Soeharto untuk
49
kembali lebih menata pola pendekatannya kepada para arwah-arwah leluhur
melalui ziarah-ziarah ke tempat suci.66
Hal ini terkait karena pada dasawarsa 70-an akhir dan era 80-an rezim orde
baru disibukkan dengan romantisme pada pribadi Soekarno, jadi ketika ada usaha-
usaha yang mencoba melawan kekuasaanya dengan piranti-piranti kesejarahan
dan kemagisan akan selalau ditentang dengan sejarah pula dan magis pula. Ini
pernah terjadi ketika Soeharto mencoba untuk menghilangkan nama Soekarno
dari peredaran sejarah perumusan Pancasila, dalam sejarah yang sering muncul
sebelum diadakan sensor kesejarahan oleh Nugroho, Sokerno adalah deklarator
dan inspirator dari Pancasila namun setelah ada koreksi dari Nugroho, menjadi
Pancasila adalah hasil cipta dari Moh. Yamin dan Soepomo baru kemudian
Soekarno. Hari kelahiran Pancasilapun kemudian diganti dari 1 Juni menjadi 5
Oktober seperti yang sekarang diperingati tiap tahunnya oleh rakyat Indonesia.67
Hal ini menandakan bahwa kekuatan/kekuasaan orde baru sebenarnya
adalah kekuasaan yang didirikan diatas kekuatan yang belum sempurna dan untuk
kesempurnaannya penguasa membuat mitos-mitos yang kurang baik terhadap era
kepemimpinan sebelumya68 sebagaimana yang sering dilakukan oleh zaman
kerajaan, baik itu Hindu-Budha maupun kerajaan Islam.
c. Manusia Jawa di Era Reformasi
Jawa menjadi radikal. Kerusuhan Mei adalah salah satu alat untuk
menjustifikasi akan sifat kekerasan yang dimiliki oleh Jawa. Kerusuhan Mei
dibuat untuk mengaburkan nilai yang selama ini telah melekat dalam budaya
66 Stange, Op. cit., hlm. 65 67 Agus Sudibyo, “Desoekarnoisasi : Delegitimasi yang Tak Tuntas” hlm. 70, KOMPAS, edisi
khusus 100 th Bung Karno. Dan juga sudah dibukukan dengan judul 100 Tahu Bersama Bung Karno, Kompas, Jakarta, 2003.
68 Mitos-Mitos yang diciptakan orde baru diantaranya dengan cara menyatakan bahwa Soekarno secara sengaja membiarkan PKI berdiri dan bergerak secara bebas, sehingga hal ini menimbulkan persepsi bahwa Soekarno adalah orang yang berada di balik kejahatan kemanusian G. 30. S/PKI. Ibid.
50
Jawa. Di era ini manusia Jawa mulai diinterpretasi dengan simbol dalam wayang
dan nama-nama yang dipakai dalam budayanya. Pakaian seorang ksatria misalnya
ditafsirkan bahwa seberapa lembutnya seorang priyayi Jawa pada hakikatnya
priyayi Jawa tersebut sangat keras dan kasar karena dibelakang telah ada ancaman
terhadap nyawanya dengan sebilah keris yang diselipkan di belakangnya.
Peristiwa mantenan pihak pria juga menggunakan pakaian yang sama dan ini
melambangkan bahwa sebenarnya sistim masyarakat Jawa sangat patrimonial69
dan wanita adalah tugasnya/kodartanya untuk ditakuti dan dikuasai, sedangkan
wanita tatkala sudah tidak kuat akan, selalu, menggunakan apa saja yang ada.
Gamabaran itu terlihat pada budaya-budaya keraton, seorang istri tega membunuh
suaminya karena peristiwa keterpaksaan dan sudah tidak harmonis dengan
menggunakan cundik, benda yang selalu melekat pada kepalanya.hal ini juga
berlaku pada suami. Suami akan membunuh istrinya dengan keris yang terselip
dipinggangnya.
Jawa menjadi santun tatkala kesalahan yang diperbuat selama ini dibiarkan
dengan etika toleransinya, tepo seliro walaupun dalam kenyataanya hal itu sangat
merusak citra pribadinya karena terpengaruh dengan falsafah Jawa akan ethok-
ethok. Kesantunan Jawa menjadi teruji tatkala kerusuhan menjamur bagaikan
jamur di musim semi. Paling tidak kerusuhan yang sangat mudah tersulut adalah
kerusuhan SARA yang selama ini dianggap tabu oleh penguasa karena selalu
ditutupi dengan kesalahpahaman semata buka karena urusan SARA. Hal ini
kemudian membuat orang Jawa menjadi gagap dalam menghadapi perubahan
budaya yang begitu cepat.
Orang Jawa menemukan keautentikannya tatkala berbagai peraturan
pelarangan terhadap beredarnya beberapa ideologi besar yang selama ini
dilarang, seperti komunisme, marhaenisme, leninisme dan lainnya. Pemerintah
69 Berger, Perubahan … Op. cit., hlm. 55
51
pada waktu itu menganggap berbahaya terhadap beredarnya ideologi-ideologi
yang bertentangan denmgan PACASILA. Kemantapan ideologi Pancasila kan
rawan bila ideologi besar tersebut tidak dilarang. Kekhawatiran pemerintah
mendorong para intelektual kampus untuk mneulis buku tentang komunisme,
yang bertujuan untuk membentengi generasipenerus daru bahayanya komunisme,
akhirnya sampai munculnya buku Bahayanya Komunisme70 yang dikarang oleh
Baharudin Lopa, dalam upaya untuk memperkuat ideologi Pancasila.
Pada masa ini sebagaimana yang banyak diramalkan para pakar, diantaranya
Darmanto Jatman, bahwa wong Jawa pada ilang jawane. Hal ini dikarenakan
beberapa hal diantaranya semakin rasionalnya masyarakat Jawa,71 semakin
terfragmentasi orang Jawa yang cenderung materialistis.72 Masyarakat Jawa pada
era sekarang berkencenderungan untuk bersikap masa bodoh terhadap sekitar,
individualisme yang tinggi dan rendahnya rasa tenggang rasa dan solidaritas yang
menurun.
Apa yang dikatakan oleh Jatman sepertinya harus diperhatikan bahwa Jawa
pada era ini mengalami kehilangan nilai-nilai yang dulunya dianggap sebagai jati
diri bangsa, seperti tidak bersifat materialisme, nrimo, demokrasi, eling lan
70 A. Z. Abidin dan Baharudin Lopa, Bahayanya Komuisme, Bulan Bintang, Jakarta, 1970.
walapun buku ini bertujuan secara tersurat mengecam komunisme ternyata isinya ‘hanya’ mengutarakan bahayanya seseorang menjadi komunis sedangkan bahaya komunisme sendiri sebagai suatu ideologi sebenarnya tidak berbahaya. Disini juga dituliskan pendapat yang bisa meruntuhkan bahwa ajaran Soekarno yang Marhaenisme adalah perpaduan antara Komunisme dan Leninisme, karena dalam kacamata Sayuti Melik, ajaran Soekarno didasarkan pada rasionalisme kritis dan Soekarno adalah orang yang terlalu idealis sehingga ia sangat membenci terhadap praktek-praktek kapitalisme, Amerika, hlm. 85
71Walaupun hal ini sangat bertentangan dengan apa yang dikemukakan oleh Muchtar Lubis dalam pidato kebudayaanya di Taman Ismail Marzuki, mengenai manusia Indonesia yang masih memegang teguh akan kepercayaan yang bersifat mitologis dan cenderung untuk bersikap feodalisme, tidak mandiri. Muctar Lubis, Manusia Indonesia, YOI, Jakarta, 1994, hlm, 54
72Ini juga sangat bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Sobary dalam pengembaraan antropologinya yang bercerita bagaimana kerukunan seorang tukang ojek dan saling membantu dalam perekonomian rumah tangga, lewat arisan dan lain sebagainya. M. Sobary, Fenomena Dukun Dalam Budaya Kita, Putska Firdaus, Yogayakarta, 1998, hlm. 115
52
waspada. 73 Bagaimana tidak yang dahulunya orang Jawa selalu menggunakan
idiom sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji, ngulurug tanpa bala dan menang
tanpa ngasorake, sekarang menjadi brutal dan tidak berani bersikap ksatria.
Gambaran ini jelas terlihat bagaimana seorang Jawa begitu mudah untuk
tersinggung dan marah dan kemudian membunuhnya secara sadis dan beramai-
ramai. Kenyataan ini sangat jauh dari nilai Pancasila yang dikatakan oleh
Soekarno merupakan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia ini.
Perubahan budaya ini yang beribmas paeda masyarakat Jawa nampaknya
teramini oleh para budayawan yang mencermati perubahan sosial budaya
masyarakat Jawa sebagai kajian sentralnya seperti Sindhunata dalam Sang
Pamomong edisi Minggu, 13 Juli 2003: kita disuruh untuk mawas diri dalam
menghadapi Lengji Lengbeh, Celeng Siji Celeng Kabeh, yaitu ketika zaman
KALABENDU telah menjadi kenyataan, seperti yang diramalkan oleh
Ranggawarsito bahwa ketika zaman edan menjadi nyata maka, tidak akan
kebagian kue pembangunan ketika masyarakat/rakyat tidak ikut edan namun,
akan lebih baik jika orang tersebut eling lan waspada, demikian yang dikatakan
oleh Sindhunata masyarakat hendaknya:
“Saestu kedah pados alternatif. Kula kinten rakyat ingkang ngertos. Kedahipun kasunyatan boten dipadosi ing nginggil, nanging ing ngandap kanthi patrap andap asor.”74
[Seharusnya mencari alternatif. Saya kira rakyat yang lebih tahu. Sesungguhnya kenyataan itu bukan di cari di atas (lewat doa) namun di bawah (di masyarakat) dengan sikap yang ramah, saling menghargai. Pen.]
Apakah ini suatu peringatan bahwa ini akibat kejadian politik atau memang,
seperti yang dikatakan para pemerhati masalah sosial politik bahwa korupsi sudah
menjadi budaya atau lainnya, Sindhunata mengatakan bahwa:
73 Darmanto Jatman, Politik Jawa dan Presiden Perempuan, YUI, Yogyakarta, 1999, hlm. 75-82
74 Sang Pamomong, Mawas Dhiri Ngadhepi “Lengji Lengbeh”, edisi Minggu, 13 Juli 2003
53
Kejawi upaya politik, kedah wonten upaya kabudayan, jer krisis ingkang kita alami boten ngumumaken krisis ekonomi lan politik, nanging langkung-langkung ugi krisis kabudayan. Mila, kula ngajeng-ngajeng, lumantara adicara ingkang dening Permadani, kita sedaya saged sami sesuci gegayutan kaliyan upaya salebetipun kabudayan75.
[Selain upaya politik, seharusnya juga ada upaya secara buaya, karena krisis ini, yang kita alami tidak menerangkan dirinya sebagai krisi ekonomi dan peolik, tetapi juga krisis kebudayaan, moral. Maka, saya mengharapkan, lewat acara ini, yang diselnggarakan Permadani, kita sama-sama membersihkan diri dari kesalahan dalam berbudaya di kehidupan ini. Pen.]
Ini membuktikan bahwa sebetulnya memang Jawa—Indonesia pada
umumnya—telah kehilangan identitasnya atau memang baru menampakkan
identitasnya yang dulunya sopan dan sebagainya sekarang menjadi brutal. Apakah
karena selama ini kran kebebasan begitu sempit sehingga saluran untuk
menyalurkan ekspresi tidak ada maka, begitu demokrasi, kebebasan, itu terwujud
maka yang terjadi adalah ego masing-masing yang ingin dijadikan pedoman dan
tuntunan sehingga saling memaksa dan menekan demi sebuah kepentingan yaitu
nama besar.
********
75 Ibid.