bab ii kajian teori variasi bahasa - umm
TRANSCRIPT
17
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Variasi Bahasa
Bahasa merupakan alat bantu untuk berinteraksi dengan masyarakat lain.
Semua gagasan, ide, perasaan maupun maksud dari penutur disampaikan
menggunakan bahasa. Atas dasar hal itu kemudian muncullah apa yang disebut
variasi bahasa. Variasi bahasa muncul karena proses interaksi sosial dari para
penutur bahasa yang beragam.
Bahasa mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan zaman.
Perbedaan golongan, pekerjaan, aktivitas, komunitas, juga berpengaruh terhadap
keanekaragaman bahasa. Hal-hal tersebut merupakan salah satu penyebab
munculnya variasi bahasa. Seperti yang dikemukakan oleh Chaer dan Agustina
(2010:61) bahwa terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya
disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga kegiatan
interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam.
Anggota masyarakat bahasa biasanya terdiri dari berbagai orang dengan
latar belakang sosial dan budaya yang berbeda. Oleh karena latar belakang dan
lingkungan yang tidak sama, maka bahasa yang mereka gunakan juga akan
beragam, dimana antara variasi atau ragam yang satu dengan yang lain sering kali
terdapat perbedaan yang tidak sedikit.
Menurut Aslinda dan Syafyahya (2010:17), variasi bahasa adalah bentuk
bagian atau varian dalam bahasa yang masing-masing memiliki pola yang
menyerupai pola umum bahasa induknya. Variasi bahasa dikatakan berbeda
18
karena disesuaikan dengan faktor dominan yang menentukan adanya variasi
bahasa. Variasi bahasa yang berkaitan dengan tempat terjadinya penggunaan
bahasa atau letak geografis penggunaan bahasa disebut variasi geografis,
sedangkan variasi bahasa yang berhubungan dengan kelompok sosial yang
menggunakan bahasa disebut variasi sosial. Variasi bahasa yang berhubungan
dengan penggunaannya dan situasi berbahasa disebut variasi fungsional.
Rahardi (2006:17) mengatakan bahwa penggunaan variasi bahasa yang
bermacam-macam itu dapat berbeda-beda pula sebabnya. Faktor tempat atau
lokasi, misalnya saja akan dapat melahirkan dialek tempat, lokasi, atau regional.
Bahasa Jawa yang digunakan masyarakat Banyumas dan sekitarnya akan berbeda
dengan bahasa Jawa yang digunakan masyarakat di Banyuwangi dan sekitarnya.
Keduanya muncul lantaran hadirnya perbedaan lokasi dan sejumlah faktor
lainnya. Chaer dan Agustina (2010:62) membedakan variasi bahasa antara lain
dari segi penutur, pemakaian, keformalan, dan sarana.
2.1.1 Variasi Bahasa dari Segi Penutur
Variasi bahasa dari segi penutur yaitu variasi bahasa yang bersifat
individual atau sekelompok individu yang jumlahnya relatif berada pada suatu
wilayah yang sama. Berikut ini jenis variasi bahasa dari segi penutur.
a. Idiolek ialah ciri khas tuturan perorangan yang dipengaruhi oleh faktor fisik
dan psikis. Contohnya saja ada orang yang berbicara dengan suara lirih tetapi
cepat, tetapi ada juga orang yang berbicara lantang namun pelan.
b. Dialek ialah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif,
yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu. Ada berbagai
19
macam dialek bahasa Jawa, misalnya bahasa Jawa dialek Yogyakarta-
Surakarta, dialek Bayumasan, dan dialek Jawa Timuran. Contohnya. untuk
mengatakan saya dalam bahasa Jawa dialek Banyumas menggunakan kata
inyong, sedangkan dalam bahasa Jawa dialek Yogyakarta-Surakarta
menggunakan kata aku.
c. Kronolek atau dialek temporal ialah variasi bahasa yang digunakan oleh
sekelompok sosial pada masa tertentu. Misalnya, variasi bahasa Indonesia yang
digunakan pada masa tahun tiga puluhan akan berbeda dengan variasi bahasa
Indonesia yang digunakan tahun lima puluhan, dan variasi bahasa Indonesia
yang digunakan pada masa kini.
d. Sosiolek atau dialek sosial merupakan variasi bahasa akibat perbedaan kelas
sosial penuturnya. Dalam kajian sosiolinguistik, biasanya variasi inilah yang
paling banyak dibicarakan dan paling banyak menyita waktu untuk
membicarakannya, karena variasi ini menyangkut semua masalah pribadi para
penuturnya. Seperti usia, seks, pekerjaan, tingkat pendidikan, kebangsawanan,
keadaan sosial ekonomi, dan lain sebagainya. Sosiolek dibagi menjadi
beberapa variasi bahasa dibedakan berdasarkan tingkat golongan, status, dan
kelas sosial penuturnya yakni akrolek, basilek, vulgar, kolokial, slang, jargon,
argon, dan ken/ cant.
1) Akrolek ialah variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi
daripada variasi sosial lainnya. Di kalangan bangsawan, bahasa yang
digunakan raja kepada abdi-abdi mereka adalah contoh variasi bahasa kelas
tinggi. Ciri-ciri variasi bahasa akrolek menurut Ismiyati (2011:17) antara
lain: bahasa yang berkonotasi tinggi dan bergengsi, misalnya bahasa dialek
20
Jakarta, ungkapan sering kali tidak sesuai dengan kaidah bahasa, kosakata
yang digunakan seperti kata gue (saya), elu (kamu), nyokap (ibu), bokap
(ayah), dan lain sebagainya.
2) Basilek ialah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi atau bahkan
dipandang rendah. Ciri-ciri variasi bahasa basilek menurut Ismiyati
(2011:17) antara lain: bahasa yang berkonotasi rendah atau tidak bergengsi,
misalnya bahasa dialek daerah seperti dialek Banyumas dan dialek
Surabaya, dan kosakata yang digunakan termasuk bahasa yang sama yaitu
bahasa Jawa, misalnya kata apes (sial), arek (anak muda), dan lain
sebagainya.
3) Vulgar ialah variasi sosial yang bercirikan tampak pada pemakaian bahasa
oleh mereka yang kurang terpelajar atau dari kalangan mereka yang tidak
berpendidikan. Ciri-ciri variasi bahasa vulgar menurut Ismiyati (2011:17)
antara lain: bahasa yang berkonotasi kasar, ungkapan yang digunakan
seringkali untuk memaki, kosakata yang digunakan bersifat kasar, seperti
kata bajingan, kampret, asu, dan lain-lain.
4) Kolokial ialah variasi bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Ciri-ciri variasi bahasa kolokial menurut Suhartinah (2011:10) antara lain:
ungkapan bersifat informal atau tidak resmi, bentuk kebahasaan
menunjukkan keakraban, ungkapan seringkali tidak sesuai dengan kaidah
bahasa, bentuk kosakata cenderung disingkat, seperti kata dek (adek), sus
(suster), ndak mau (tidak mau).
5) Slang ialah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia yang digunakan
oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas dan tidak boleh diketahui oleh
21
kalangan di luar kelompok itu. Ciri-ciri variasi bahasa slang menurut Chaer
(2010:67) antara lain: ungkapan bersifat khusus dan rahasia, kosakata yang
digunakan selalu berubah, termasuk bahasa yang tidak resmi atau
nonformal.
6) Jargon ialah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-
kelompok sosial tertentu. Ciri-ciri variasi bahasa jargon menurut Rahardi
(2002:18) antara lain: ungkapan yang digunakan oleh sekelompok orang
tertentu dalam bidang tertentu, ungkapan yang digunakan seringkali tidak
dapat dipahami oleh masyarakat umum tetapi ungkapan tersebut tidak
bersifat rahasia, serta kosakata yang berkonotasi positif.
7) Argot ialah variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi-
profesi tertentu dan bersifat rahasia. Ciri-ciri variasi bahasa argot menurut
Rahardi (2002:18) antara lain: merujuk pada variasi bahasa rahasia dan
kasar, kosakata berkonotasi negarif, serta ungkapan-ungkapan yang
digunakan oleh profesi yanga sama dan bersifat rahasia.
8) Ken ialah variasi sosial tertentu yang bernada “memelas”, dibuat merengek-
rengek, penuh dengan kepura-puraan dan biasanya digunakan oleh
pengemis. Ciri-ciri variasi bahasa ken menurut Rahardi (2002:20) antara
lain: kekhasan bahasa cenderung berlebihan dalam penyebutan, kosakata
yang digunakan terkesan merengek-rengek mengundang perhatian siapa pun
seperti kata den, ndoro, tuan, dan sejenisnya, serta berbahasa lirih memelas
mengharapkan kasih dari para penderma.
22
2.1.2 Variasi Bahasa dari Segi Pemakaian
Variasi bahasa dari segi pemakaian disebut juga register. Register
merupakan suatu ragam tertentu yang digunakan untuk maksud tertentu. Variasi
bahasa berdasarkan bidang pemakaiannya ini menyangkut bahasa itu digunakan
oleh siapa dan untuk apa. Misalnya pemakaian bahasa di bidang militer, sastra,
jurnalistik, perdagangan, pendidikan dan kegiatan keilmuan dapat digolongkan
sebagai register (Chaer dan Agustina, 2010:68). Seperti halnya variasi bahasa
yang digunakan oleh para guru dalam mengajar di kelas yaitu dengan penggunaan
bahasa yang lugas, jelas dan bebas dari keambiguan. Ciri-ciri register secara
umum antara lain register hanya digunakam pada pemakaian kosakata khusus atau
khas yang digunakan dalam bidang tertentu. Selain itu, intonasi yang digunakan
sama dalam situasi tertentu, unsur bahasa tidak baku, intonasi yang digunakan
sama dalam situasi tertentu, adanya pengurangan struktur sintaksis.
2.1.3 Variasi Bahasa dari Segi Keformalan
Variasi bahasa berdasarkan tingkat keformalannya adalah menyangkut
bahasa itu digunakan dalam situasi seperti apa: khidmat, resmi, biasa, santai dan
akrab atau intim. Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joos (dalam Chaer
dan Agustina, 2010:70) membagi variasi bahasa menjadi lima macam yaitu ragam
beku (frozen), ragam resmi (formal), ragam usaha (konsultatif), ragam santai
(casual), dan ragam akrab (intimate). Penjelasan untuk masing-masing ragam
bahasa ini dapat dilihat sebagai berikut.
a. Gaya atau ragam beku (frozen) ialah variasi bahasa yang paling formal. Ragam
yang digunakan untuk suasana resmi dan khidmad dengan pola dan kaidah
23
yang sudah ditetapkan dan tidak dapat diubah (Chaer dan Agustina, 2010:70).
Misalnya dalam upacara-upacara resmi seperti upacara kenegaraan, khotbah di
masjid, tata cara pengambilan sumpah, dan surat-surat keputusan. Ragam beku
menurut Listianingsih (2014:12), memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1) Struktur gramatikalnya tidak dapat diubah.
2) Bentuk kalimat lebih kaku.
3) Struktur kalimat panjang.
4) Kosakata yang digunakan untuk mengawali sebuah kalimat berupa: bahwa,
sesungguhnya dan lain sebagainya.
5) Kaidah pola sudah ditetapkan dan tidak dapat diubah.
6) Menuntut sikap serius.
Chaer dan Agustina (2010:70) mengemukakan contoh ragam beku dapat
dilihat dalam alinea 1 pembukaan UUD 1945:
”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
b. Gaya atau ragam resmi (formal) ialah variasi bahasa yang digunakan dalam
pidato kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan,
buku-buku pelajaran, dan sebagainya. Pola dan kaidah ragam resmi sudah
ditetapkan secara mantap sebagai suatu standar. Ragam resmi ini pada
dasarnya sama dengan ragam baku atau standar yang hanya digunakan dalam
situasi resmi, dan tidak dalam situasi yang tidak resmi (Chaer dan Agustina,
2010:70). Ragam resmi (formal) menurut Listianingsih (2014:14), memiliki
ciri-ciri sebagai berikut.
24
1) Kosakata yang digunakan bersifat baku atau sudah dibakukan. Misalnya:
lelah dan hanya, bukan capek dan cuman.
2) Pemakaian afiks secara eksplisit dan konsisten. Misalnya kata pinjam
(meminjam), cari (mencari), dan lain sebagainya.
3) Pemakaian kata tugas secara eksplisit dan konsisten. Misalnya: beberapa
hari yang lalu, sayang kepada anak, bukan beberapa hari lalu, sayang
anak.
4) Pemakaian fungsi-fungsi gramatikal secara eksplisit dan konsisten.
Misalnya: “Mereka mencatat keterangan dari kepala sekolah” bukan
“Mereka mencatat keterangan daripada kepala sekolah”.
5) Menggunakan kata ganti resmi.
6) Menghindari struktur kedaerahan.
Untuk mengetahui baku atau tidaknya suatu bahasa, ada ciri-ciri khusus
yang dijadikan acuan. Ciri ragam baku yang sesuai dengan penggunaan kaidah
tata bahasa menurut Salliyanti (2003:2) yaitu:
1) Pemakaian afiks me- dan awalan ber- secara ekpilisit dan konsisten.
2) Pemakaian kata tugas bahwa dan karena dalam kalimat majemuk secara
ekspilisit.
3) Pemakaian fungsi gramatikal secara eksplisit: aspek+pelaku+kata kerja
secara konsisten. Misalnya kalimat “Acara berikutnya akan kami putarkan
lagu-lagu perjuangan”, bukan “Acara berikutnya kami akan putarkan lagu-
lagu perjuangan”.
4) Pemakaian kata ganti resmi. Misalnya kata “memberitahukan”, bukan
“kasih tahu”.
25
5) Menghindari pemakaian unsur gramatikal dialek regional atau unsur
gramatikal bahasa daerah. Misalnya kalimat “Mobil paman saya baru”,
bukan “Paman saya mobilnya baru”.
c. Gaya atau ragam usaha (konsultatif) ialah variasi bahasa yang lazim digunakan
dalam pembicaraan biasa di sekolah dan rapat. Dapat dikatakan bahwa ragam
usaha ini adalah ragam bahasa yang paling operasional. Ragam usaha biasa
digunakan untuk membicarakan sesuatu yang penting berupa nasehat,
informasi dan pemberitahuan pada situasi setengah resmi. Wujud ragam usaha
ini berada di antara ragam formal dan ragam santai (Chaer dan Agustina,
2010:71). Ciri-ciri ragam usaha menurut Arifah (2012:18) sebagai berikut.
1) Dipergunakan dalam situasi setengah resmi.
2) Dipergunakan untuk mengkonsultasikan suatu masalah.
3) Unsur dialek kedaerahan sudah tidak tampak, namun unsur idiolek kadang-
kadang masih muncul.
4) Kadang-kadang tidak menggunakan struktur morfologi dan sintaksis yang
normatif.
5) Kalimat dan kata hanya berbentuk sekedar cukup supaya jelas dimengerti
orang. Misalnya terdapat pelesapan afiks me- pada kata terangkan.
d. Gaya atau ragam santai (kasual) ialah variasi bahasa yang digunakan dalam
situasi santai atau tidak resmi dengan kosakata yang dipengaruhi oleh unsur
dialek. Misalnya untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib
pada waktu beristirahat, berolahraga, dan lain sebagainya (Chaer dan Agustina,
2010:71). Ciri-ciri ragam santai menurut Listianingsih (2014:15) dapat dilihat
sebagai berikut.
26
1) Kosakata banyak menggunakan bentuk alegro (kalimat atau ujaran yang
dipendekkan).
2) Kosakata dipengaruhi unsur bahasa daerah.
3) Memakai kata ganti tidak resmi serta adanya campur kode.
4) Pelepasan afiksasi.
5) Bentuk kebahasaan relatif bebas jika dibandingkan dengan ragam resmi.
6) Seringkali tidak menggunakan struktur morfologis dan sintaksis yang
normatif.
7) Memakai kata ganti tidak resmi serta sering beralih kode.
e. Gaya atau ragam akrab (intim) ialah variasi bahasa yang digunakan oleh para
penutur yang hubungannya sudah akrab atau intim, seperti antaranggota
keluarga atau antarteman yang sudah karib (Chaer dan Agustina, 2010:771).
Ciri-ciri yang menandai ragam ini adalah sebagai berikut.
1) Penggunaan bahasa atau kalimat yang tidak lengkap dan pendek. Misalnya
kata nggak ngerti yang berarti tidak tahu.
2) Artikulasi yang seringkali tidak jelas.
3) Banyak menggunakan bentuk dan istilah yang khas. Misalnya kata say yang
berarti sayang.
4) Di dukung oleh bahasa nonverbal seperti anggukan kepala, gerakan kaki dan
tangan serta ekspresi wajah.
2.1.4 Variasi Bahasa dari Segi Sarana
Variasi bahasa juga dapat dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan.
Variasi bahasa berdasarkan sarana yang digunakan, dibedakan menjadi ragam
27
lisan dan ragam tulis. Kenyataan bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki
struktur yang tidak sama membuat ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis
didasarkan pada ciri-ciri setiap ragam bahasa. Ciri-ciri ragam lisan menurut
Susanto, dkk (2013:2) antara lain: memerlukan orang kedua/teman bicara,
tergantung situasi, kondisi, ruang dan waktu, hanya perlu intonasi serta bahasa
tubuh, unsur gramatikal tidak dinyatakan secara lengkap, lebih bebas dalam
mengungkapkan sesuatu, berlangsung cepat, dapat dibantu dengan gerak tubuh
dan mimik wajah serta intonasi. Di sisi lain, ciri-ciri ragam tulis menurut Susanto,
dkk (2013:2) antara lain: tidak memerlukan kehadiran orang lain, kosakata yang
digunakan dipilih secara cermat, unsur gramatikal dinyatakan secara lengkap,
dipengaruhi tanda baca atau ejaan, memerlukan alat bantu, tidak terikat ruang dan
waktu, pembentukan kata dilakukan secara sempurna.
2.2 Fungsi Bahasa
Bahasa memiliki fungsi umum sebagai alat komunikasi sosial. Di dalam
kehidupan bermasyarakat, terdapat komunikasi atau saling berhubungan
antaranggota. Untuk itu dibutuhkam suatu alat perantara yang dinamakan bahasa.
Dengan demikian, setiap masyarakat dipastikan memiliki dan menggunakan alat
komunikasi sosial tersebut. Tidak ada masyarakat tanpa bahasa dan tidak ada
bahasa tanpa masyarakat (Soeparno, 2002:5). Keraf (1984:3) mengemukakan
bahwa fungsi bahasa dapat diturunkan dari dasar dan motif pertumbuhan bahasa.
Dasar dan motif pertumbuhan bahasa dalam garis besarnya dapat berfungsi untuk
menyatakan ekspresi diri, sebagai alat komunikasi, sebagai alat untuk
28
mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan sebagai alat untuk mengadakan
kontrol sosial.
Sementara itu, Hymes (dalam Tarigan, 1987:13) berpendapat bahwa ada
tujuh fungsi bahasa yaitu fungsi ekspresif atau emotif, fungsi direktif, konatif,
atau persuasif, fungsi puitik, fungsi kontak (fisik atau psikologis), fungsi
metalinguistik, fungsi referensial, dan fungsi kontekstual atau situasional.
Halliday (dalam Tarigan, 1987:6) merinci tujuh fungsi bahasa yaitu fungsi
instrumental, fungsi regulasi, fungsi representasional, fungsi interaksional, fungsi
personal, fungsi heuristik, dan fungsi imajinatif. Penjelasan fungsi-fungsi tersebut
adalah sebagai berikut.
a. Fungsi instrumental yaitu bahasa bertindak untuk memanipulasi lingkungan
penghasil kondisi tertentu sehingga menyebabkan suatu peristiwa terjadi.
Singkatnya, bahasa digunakan untuk melakukan sesuatu yang bertumpu pada
mitra tutur saja.
b. Fungsi regulasi atau pengaturan bertindak untuk mengawasi serta
mengendalikan peristiwa-peristiwa. Terdapat fungsi regulasi ini memang
sedikir sukar dibedakan dari fungsi instrumental. Fungsi regulasi ini bertindak
untuk mengendalikan serta mengatur orang lain.
c. Fungsi representasional berfungsi sebagai pembuat pernyataan-pernyataan,
menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan atau melaporkan
dalam pengertian “menggambarkan” realitas yang sebenarnya, seperti yang
dilihat oleh seseorang.
d. Fungsi interaksional bahasa bertugas untuk menjamin serta memantapkan
ketahanan dan kelangsungan komunikasi, interaksi sosial. Kontak komunikasi
29
antara sesama manusia dalam kehidupan seharihari untuk menjaga adanya
hubungan sosial di antara mereka dapat tercipta dengan baik melalui
pembicaraan atau komunikasi dengan menggunakan bahasa tertentu.
Keberhasilan komunikasi interaksional ini bergantung pada penutur dan mitra
tutur yang dituntut memiliki pengetahuan mengenai bahasa slang, jargon,
lelucon, cerita rakyat, adat istiadat, sopan santun, dan lain-lain yang ada dan
hidup di lingkungan tempat kita berinteraksi dengan sesama tersebut. Dengan
pengetahuan tersebut, komunikasi yang dibina akan lebih berhasil.
e. Fungsi personal ini bertugas untuk memberi kesempatan kepada penutut untuk
mengekspresikan perasaan, emosi, pribadi, serta reaksi-reaksinya yang
mendalam. Dalam berbicara atau berkomunikasi seseorang menggunakan
bahasa untuk menyatakan perasaan, emosi, kepribadian, reaksi-reaksi yang
terkandung dalam batinnya.
f. Fungsi heuristik ini disebut sebagai pemertanya yang berfungsi untuk
memperoleh pengetahuan. Fungsi ini melibatkan bahasa yang dipergunakan
untuk memperoleh pengetahuan, dan mempelajari lingkungan dengan
disampaikan dalam bentuk pertanyaan yang menuntut jawaban.
g. Fungsi imajinatif ini berfungsi sebagai pencipta sistem, gagasan, atau kisah
imajinatif. Fungsi ini bertindak untuk menciptakan sistem-sistem atau gagasan-
gagasan yang bersifat imajinatif. Bahasa dalam fungsi ini digunakan untuk
menyampaikan cerita secara lisan tentang cerita, cerita novel, membuat cerita
lelucon, dan sebagainya.
Dalam penelitian ini, fungsi bahasa menurut Halliday dianggap lebih tepat
dijadikan acuan untuk menganalisis bentuk variasi bahasa guru dalam interaksi
30
pembelajaran bahasa Indonesia tema teks deskripsi kelas VII di SMP Negeri 1
Sumberpucung ini. Ketujuh fungsi bahasa yang dikemukakan oleh Halliday ini
merupakan satu kesatuan yang saling mengisi dan menunjang satu sama lain.
2.3 Interaksi Pembelajaran atau Interaksi Belajar Mengajar
Dalam dunia pendidikan, proses pembelajaran disebut sebagai interaksi
edukatif atau interaksi belajar-mengajar yang dengan sadar meletakkan tujuan
untuk mengubah tingkah laku dan perbuatan seseorang. Dengan kata lain, apa
yang dinamakan interaksi edukatif yakni hubungan dua arah antara guru dan
siswa dengan sejumlah norma-norma sebagai upaya untuk mencapai tujuan
pendidikan (Djamarah, 2000:11). Sejalan dengan pemikiran Muslich, dkk
(1987:95) yang beranggapan bahwa istilah interaksi merupakan suatu istilah yang
melukiskan hubungan aktif dua arah antara siswa dan guru, sehingga tercapainya
tujuan tertentu. Tujuan itu adalah sebagai pedoman ke arah mana akan dibawa
proses belajar mengajar.
Suatu proses interaksi edukatif tentu mengandung sejumlah norma-norma
yang dimana norma tersebut harus guru transfer kepada peserta didik. Oleh karena
itu, interaksi edukatif dikatakan bernilai normatif. Djamarah (2000:15)
menjelaskan bahwa sebagai interaksi yang bernilai normatif, maka interaksi
edukatif mempunyai ciri-ciri yaitu:
a. Interaksi edukatif mempunyai tujuan
Tujuan dalam interaksi edukatif adalah untuk membantu anak didik dalam
suatu perkembangan tertentu. Inilah yang dimaksud interaksi edukatif sadar akan
tujuan.
31
b. Mempunyai prosedur yang direncanakan untuk mencapai tujuan
Agar dapat mencapai tujuan secara optimal, maka dalam melakukan interaksi
perlu ada prosedur atau langkah-langkah yang sistematik dan relevan. Untuk
mencapai suatu tujuan pembelajaran yang satu dengan yang lain akan
membutuhkan prosedur dan desain yang berbeda-beda.
c. Interaksi edukatif ditandai dengan penggarapan meteri khusus
Dalam hal materi harus didesain sedemikian rupa, sehingga cocok untuk
mencapai tujuan. Dalam hal ini, perlu memerhatikan komponen-komponen
pengajaran yang lain. Materi harus sudah didesain dan disiapkan sebelum
berlangsungnya interaksi edukatif.
d. Ditandai dengan aktivitas anak didik
Sebagai konsekuensi, bahwa anak didik merupakan sentral, maka aktivitas
anak didik merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya interaksi edukatif.
Aktivitas anak didik dalam hal ini baik secara fisik maupun mental aktif.
e. Guru berperan sebagai pembimbing
Dalam peranannya sebagai pembimbing, guru harus berusaha menghidupkan
dan memberikan motivasi agar terjadi proses pembelajaran yang kondusif. Guru
harus siap sebagai mediator dalam segala situasi proses interaksi edukatif,
sehingga guru merupakan tokoh yang akan dilihat dan ditiru tingkah lakunya oleh
anak didik.
f. Interaksi edukatif membutuhkan disiplin
Disiplin dalam interaksi edukatif diartikan sebagi suatu pola tingakh laku yang
diatur menurut ketentuan yang sudah ditaati dengan sadar oleh pihak guru
maupun pihak peserta didik.
32
g. Mempunyai batas waktu
Untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dalam sistem berkelas
(kelompok anak didik), batas waktu menjadi salah satu ciri yang tidak bisa
ditinggalkan. Setiap tujuan akan diberi waktu tertentu, kapan tujuan harus sudah
tercapai.
h. Diakhiri dengan evaluasi
Dari seluruh kegiatan tersebut, masalah evaluasi merupakan bagian penting
yang tidak bisa diabaikan. Evaluasi harus guru lakukan untuk mengetahui tercapai
atau tidaknya tujuan pengajaran yang telah ditentukan.
2.4 Pembelajaran Bahasa Indonesia
Belajar bahasa pada dasarnya adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena
itu, dalam dunia pendidikan pembelajaran bahasa Indonesia bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan berbahasa anak didik dengan cara berkomunikasi
dengan baik dan benar. Kehadiran pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahan
pendidikan nasional, bertugas membimbing anak didik agar mereka memiliki
pengetahuan yang valid tentang bahasa Indonesia, terampil menggunakan bahasa
Indonesia, dan memiliki sikap bangga, hormat, dan setia terhadap bahasa
Indonesia. Seperti yang dijelaskan oleh Muslich (2010:58), bahwa tujuan
pengajaran bahasa Indonesia ialah agar penuturnya memiliki keterampilan
berbahasa Indonesia, memiliki pengetahuan yang baik mengenai bahasa
Indonesia, dan sikap positif terhadap bahasa Indonesia, termasuk sastranya.
Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah sangat berperan penting dalam
membentuk kebiasaan, sikap, serta kemampuan berbahasa peserta didik pada
33
tahap perkembangan selanjutnya. Selain itu, pembelajaran bahasa Indonesia juga
dapat membantu peserta didik untuk menyerap berbagai nilai serta pengetahuan
yang dipelajarinya. Melalui bahasa, anak didik akan mulai mempelajari sopan
santun, nilai-nilai moral atau agama, serta nilai-nilai sosial yang berlaku di
masyarakat, dan juga dapat mempelajari berbagai cabang ilmu.
Sugono (dalam Laily, 2016:3), mengatakan bahwa pembelajaran bahasa
Indonesia sebagai alat komunikasi akan menarik minat siswa karena siswa
didesak oleh kebutuhannya untuk berkomunikasi dengan orang lain. Beberapa
upaya dapat dilakukan oleh guru agar dapat mencapai keberhasilan suatu
pembelajaran. Salah satu upaya tersebut dapat dilihat dari pendekatan yang
digunakan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran tersebut. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan keterampilan berbahasa sebagai alat komunikasi, pengajaran
bahasa Indonesia yang paling tepat adalah menggunakan pendekatan komunikatif.
Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang dilandasi oleh
pemikiran bahwa kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi
merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa Indonesia
(Laily, 2016:3). Seperti yang diketahui, bahwa bahasa tidak hanya dipandang
sebagai seperangkat kaidah, tetapi juga sebagai sarana berkomunikasi. Ini berarti,
bahasa Indonesia ditempatkan sesuai dengan fungsinya, yakni fungsi komunikasi.
Penerapan pendekatan komunikatif sepenuhnya dilakukan oleh peserta didik,
sedangkan guru hanya sebagai fasilitator. Dengan demikian, peserta didik akan
mampu lebih aktif dalam mengungkapkan segala apa yang ada dibenak pikirannya
secara lisan dengan bahasa yang runtut dan mudah dipahami.
34
Namun, dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi,
pembelajaran bahasa Indonesia bukan saja digunakan sebagai alat komunikasi
timbal balik antaranggota masyarakat luas, dan bukan saja digunakan sebagai alat
penghubung antardaerah atau antarsuku. Akan tetapi, dapat juga digunakan
sebagai alat penghubung pemerintahan dengan kegiatan atau peristiwa formal
lainnya. Misalnya, surat-menyurat antar instansi pendidikan, dan surat-menyurat
lainnya yang bersifat resmi.