bab ii kajian teori a. pajak · 2015. 3. 24. · dan atau eceran barang-barang konsumsi melali...

20
9 BAB II KAJIAN TEORI A. Pajak Menurut Waluyo (2009), pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubung tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Sedangkan menurut Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra Prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2011). Selain itu menurut undang-undang pajak menurut pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan, bahwa pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang

Upload: others

Post on 18-Feb-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 9

    BAB II

    KAJIAN TEORI

    A. Pajak

    Menurut Waluyo (2009), pajak adalah iuran masyarakat kepada

    Negara (yang dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya

    menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat

    prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah

    untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubung tugas Negara

    untuk menyelenggarakan pemerintahan.

    Sedangkan menurut Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas

    Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada

    mendapat jasa timbal (kontra Prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan

    yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2011).

    Selain itu menurut undang-undang pajak menurut pasal 1 angka 1 UU

    No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU

    No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah

    kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan

    yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat

    timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi

    sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

    Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan, bahwa pajak

    adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang

  • 10

    wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dan tidak mendapatkan

    prestasi-prestasi kembali yang secara langsung dapat ditunjuk.

    Adapun fungsi dari pajak itu sendiri pada dasarnya adalah:

    (Mardiasmo, 2011)

    1. Fungsi anggaran (budgetair) sebagai sumber dana bagi pemerintah, untuk

    membiayai pengeluaran-pengeluarannya.

    2. Fungsi mengatur (regulerend) sebagai alat pengatur atau melaksanakan

    pemerintah dalam bidang sosial ekonomi.

    B. Pajak Penghasilan Badan dan OPPT Pasal 25

    Secara umum Soebakir, dkk (1999) mendefinisikan pajak penghasilan

    sebagai suatu pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan

    yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Salah satu subjek pajak

    adalah badan, terdiri dari perseroan terbatas, Perseroan Komanditer,

    Perseroan Lainnya, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah

    dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma,

    kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga dana pension

    dan bentuk badan usaha lainnya. Dengan demikian, pajak penghasilan badan

    yang dikenalkan terhadap salah satu bentuk usaha tersebut, atas penghasilan

    yang diterima atau diperolehnya dalam satu tahun pajak.

    Sedangkan yang dimaksud dengan pajak penghasilan pasal 25

    menurut Waluyo dan Ilyas (2009) adalah angsuran Pajak Penghasilan yang

    harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setiap bulan dalam tahun berjalan.

  • 11

    Bagi WP UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif

    pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal yang berlaku terhadap bagian

    peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. Pemberian insentif tersebut

    dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya UMKM yang pada

    kenyataannya memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian di

    Indonesia. Pemberian insentif juga diharapkan dapat mendorong kepatuhan

    WP yang bergerak di UMKM.

    Kemudian bagi WP Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT) adalah

    Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan grosir

    dan atau eceran barang-barang konsumsi melali tempat usaha/gerai (outlet)

    yang tersebar di beberapa lokasi, tidak termasuk kendaraan bermotor dan

    restoran. Besarnya angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 untuk WP

    OPPT ditetapkan sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari

    masing-masing tempat usaha tersebut. Pembayaran angsuran PPh Pasal 25

    tersebut dilakukan melalui Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi atau

    Kantor Pos Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang

    mencantumkan NPWP masing-masing tempat usaha. Pembayaran angsuran

    PPh Pasal 25 tersebut bersifat tidak final yaitu merupakan kredit pajak atas

    Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan. Jatuh

    tempo pembayaran PPh Pasal 25 adalah paling lama tanggal 15 (lima belas)

    bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

    Dari uraian tersebut di atas, maka pajak penghasilan badan atau OPPT

    Pasal 25 adalah Angsuran Pajak Penghasilan yang dipungut pemerintah pusat

  • 12

    dan harus dibayar sendiri oleh badan atau orang pribadi pengusaha tertentu

    setiap bulan dalam tahun berjalan sesuai dengan peraturan perpajakan.

    C. Sistem Pemungutan Pajak

    Dalam dunia perpajakan dikenal beberapa sistem pemungutan pajak

    (stelsel). Menurut Rosdiana (2005), yang menjadi tujuan dari administrasi

    perpajakan adalah mendorong terjadinya kepatuhan sukarela (voluntary

    compliances). Kepatuhan pajak sukarela tersebut dapat didorong apabila

    administrasi perpajakan secara tegas menunjukkan dapat mendeteksi dan

    menangkap para wajib pajak yang tidak menjalankan kewajibannya atau

    wajib pajak yang tidak patuh, serta menerapkan sanksi sesuai dengan aturan

    yang berlaku tanpa pengecualian. Oleh karenanya, menurut Mansury (1996),

    untuk terselenggaranya administrasi perpajakan yang baik, setidaknya harus

    memiliki dasar-dasar sebagai berikut :

    1. Kejelasan dan kesederhanaan dari ketentuan undang-undang yang

    memudahkan bagi administrasi dan memberi kejelasan pada wajib pajak.

    2. Kesederhanaan akan mengurangi penyelundupan pajak. Kesederhanaan

    yang dimaksud baik dalam perumusan yuridis, yang memberikan

    kemudahan untuk dipahami, maupun kesederhanaan untuk dilaksanakan

    oleh aparat dan wajib pajak.

    Menurut Ilyas dan Burton (2004) sistem pemungutan pajak yang

    diterapkan oleh pemerintah Indonesia ada 2 (dua), yaitu: official assessment

    system, dan self assessment system. Namun sejak diadakannya reformasi

  • 13

    perpajakan tahun 1983, sebagaimana telah diubah dengan undang-undang

    Nomor 9 Tahun 1994 dan undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang

    Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sistem pemungutan pajak di

    Indonesia berubah dari official assessment system menjadi self assessment

    system.

    1. Official assessment system

    a. Definisi

    Pengertian menurut Official assessment system menurut

    Waluyo dan Ilyas (2003) adalah sistem pemungutan pajak yang

    memberi wewenang kepada Fiskus untuk menentukan besarnya pajak

    terutang. Official assessment system juga dapat didefinisikan sebagai

    sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada Fiskus untuk

    menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak (Resmi,

    2007).

    Dari definisi di atas maka dapat disimpulkan, bahwa Official

    assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang dimana

    pihak fiskus yang berperan aktif dalam menghitung dan menetapkan

    besaran pajak yang terhutang.

    b. Ciri

    Secara umum, sistem Official Assesment memiliki ciri-ciri

    antara lain: (Ilyas dan Burton, 2004)

    1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada

    fiskus

  • 14

    2) Wajib pajak bersifat pasif

    3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan oleh

    fiskus

    Menurut Gunadi (1997), di dalam Official Assessment terdapat

    dua hal penting, yaitu:

    1) Tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada

    penguasa pemerintahan sebagaimana tercermin dalam sistem

    penetapan pajak yang sepenuhnya menjadi wewenang

    administrasi perpajakan.

    2) Pelaksanaan kewajiban perpajakan dalam banyak hal menjadi

    sangat tergantung pada pelaksanaan administrasi perpajakan yang

    dilakukan oleh aparat perpajakan. Hal ini menyebabkan wajib

    pajak kurang mendapatkan pembinaan dan bimbingan terhadap

    kewajiban perpajakannya, serta kurang diikutsertakan dalam

    memikul beban negara untuk mempertahankan kelangsungan

    pembangunan nasional.

    2. Self Assessment System

    a. Definisi

    Adapun pengertian self assessment system menurut Waluyo

    dan Ilyas (2003) adalah pemungutan pajak yang memberi wewenang,

    kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung,

    memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak

    yang harus dibayar. Sedangkan Self Assessment System menurut

  • 15

    Resmi (2007) adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan

    wewenang Wajib Pajak untuk menentukan sendiri jumlah pajak

    terhutang setiap tahunnya sesuai dengan undang-undang perpajakan

    yang berlaku.

    Dari definisi di atas maka dapat disimpulkan, bahwa Self

    Assessment System merupakan wewenang, kepercayaan,

    tanggungjawab untuk wajib pajak menghitung, memperhitungkan,

    membayar, dan melaporkan sendiri besar pajak yang harus dibayar

    setiap tahun sesuai dengan undang-undang perpajakan yang berlaku.

    b. Ciri

    Ciri-ciri umum dari sistem ini antara lain adalah: (Ilyas dan

    Burton, 2004)

    1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada

    wajib pajak sendiri.

    2) Wajib pajak bersifat aktif, karena melakukan sendiri kegiatan

    menghitung, menyetor dan melaporkan pajak terutang.

    3) Fiskus hanya berperan sebagai pengawas (controller).

    4) Timbul karena UU dan karena terjadinya keadaan atau perbuatan.

    Berdasarkan pendapat Ilyas dan Burton (2004), maka perbedaan ciri

    umum dari kedua sistem pemungutan pajak tersebut di atas diringkas pada

    tabel di bawah ini:

  • 16

    Tabel 2.1

    Perbedaan Official Assessment System & Self Assessment System

    Perbedaan Official Assessment

    System

    Self Assessment System

    Wewenang

    menentukan pajak

    terutang

    Besarnya pajak terutang

    ditentukan oleh Fiskus

    Besarnya pajak terutang

    ditentukan oleh Wajib

    Pajak

    Peran Wajib pajak Wajib pajak bersifat pasif Wajib pajak bersifat

    aktif.

    Peran Fiskus Fiscus bertindak aktif Fiskus hanya berperan

    sebagai pengawas

    (controller)

    Timbulnya pajak

    terutang

    Utang pajak timbul

    setelah dikeluarkan surat

    ketetapan oleh fiskus.

    Timbul karena UU dan

    karena terjadinya

    keadaan atau perbuatan.

    Sumber: Ilyas & Burton (2004)

    Selain ciri Self Assessment System yang telah diungkapkan oleh Ilyas

    dan Burton (2004) di atas, menurut Undang-Undang nomor 36 tentang Pajak

    tahun 2008 yang merupakan penyempurnaan atas Undang-Undang nomor 17

    tentang Pajak tahun 2000, ciri-ciri Self Assessment System secara lebih

    spesifik adalah:

  • 17

    a Adanya kepastian hukum.

    b Sederhana perhitungannya.

    c Mudah pelaksanaannya.

    d Lebih adil dan merata.

    e Perhitungan pajak dilakukan oleh Wajib Pajak.

    Menurut Ilyas dan Burton (2004), pada dasarnya kedua sistem

    pemungutan pajak tersebut di atas memiliki keunggulan dan kelemahan.

    Dalam Sistem Official Assesment, pelaksanaan kewajiban perpajakan dalam

    banyak hal menjadi sangat tergantung pada pelaksanaan administrasi

    perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan. Hal ini menyebabkan

    wajib pajak kurang mendapatkan pembinaan dan bimbingan terhadap

    kewajiban perpajakannya. Untuk menjaga keefektifan dari sistem

    pemungutan ini (Official Assesment), berarti secara tidak langsung adalah

    dengan memperkuat struktur fiskus dan administrasi perpajakan keseluruhan.

    Dalam sistem Official Assesment juga, Wajib pajak tidak berperan

    serta aktif dalam peningkatan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan

    administrasi perpajakan. Kondisi ini jelas berbeda dengan sistem Self

    Assesment yang mengikutsertakan Wajib Pajak sebagai partisipan aktif dalam

    pelaksanaan administrasi perpajakan dengan kewajiban yang dibebankan

    kepada mereka. Namun dari sisi kelebihannya, sistem Official Assesment

    menjadikan pihak fiskus dapat lebih mengontrol kepatuhan dari pihak Wajib

    Pajak, karena pemeriksaan kepatuhan yang dilakukan hanya sebatas pada

    kepatuhan wajib pajak akan pembayaran jumlah pajak terutangnya saja.

  • 18

    Dalam sistem Self Assesment terdapat tambahan biaya (dalam arti

    luas) bagi Wajib Pajak karena Wajib Pajak akan relatif mengorbankan lebih

    banyak waktu dan usaha serta biaya. Selain itu Self Assessment menunjukkan

    proporsi yang lebih kecil dari yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga

    sesuai dengan kenyataan yang ada, jumlah pajak yang dianggarkan akan

    menurun pula. Dari sisi pemerintah, sistem ini mempunyai beberapa

    keunggulan yaitu dapat meningkatkan produktifitas dan murah. Pemerintah

    tidak lagi dibebankan kewajiban administrasi menghitung jumlah pajak

    terutang Wajib Pajak dan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk

    memberitahukan (sekaligus memerintahkan pembayaran) jumlah tersebut

    kepada Wajib Pajak, sehingga waktu, tenaga dan biaya sehubungan dengan

    hal tersebut dapat dihemat atau dialihkan untuk melakukan aktivitas

    parpajakan atau pemerintahan lainnya (Ilyas dan Burton, 2004). Namun disisi

    lain menurut Zain (2003), pelaksanaan sistem ini memberatkan Wajib Pajak

    itu sendiri, karena: (1) Wajib Pajak harus melaporkan semua informasi yang

    relevan dalam SPT, (2) Menghitung Dasar Pengenaan Pajaknya (DPP), (3)

    Mengkalkulasi jumlah pajak yang terutang maksudnya mengurangi pajak

    yang terutang dengan jumlah pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan, dan

    (4) Melunasi pajak yang terutang atau mengangsur jumlah pajak yang

    terutang.

    Tetapi disisi lain keunggulan dari sistem Self Assessment akan lebih

    mendorong Wajib Pajak untuk memahami dengan baik atas sistem perpajakan

    yang berlaku terhadapnya. Disebutkan pula oleh Zain (2003), bahwa

  • 19

    keunggulan lain dari self assessment system, yaitu adanya kepastian hukum,

    sederhana perhitungaanya, mudah pelaksanaannya, lebih adil dan merata, dan

    perhitungan pajak dilakukan oleh wajib pajak. Hal tersebut sejalan dengan

    apa yang dikemukakan oleh pemerintah bahwa perubahan Undang-undang

    Pajak dimaksudkan untuk lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak,

    lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, lebih memberikan

    kesederhanaan administrasi perpajakan, lebih memberikan kepastian hukum,

    konsistensi, dan transparansi, dan menunjang kebijaksanaan pemerintah

    dalam rangka meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di

    Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam

    negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang

    mendapat prioritas.

    Untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self

    assessment tetap dipertahankan dan diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan

    pada sistem pelaporan dan tata cara pembayaran pajak dalam tahun berjalan

    agar tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak dan lebih sesuai dengan

    perkiraan pajak yang akan terutang. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang

    menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, kemudahan yang diberikan berupa

    peningkatan batas peredaran usaha untuk dapat menggunakan norma

    penghitungan penghasilan neto. Peningkatan batas peredaran usaha untuk

    menggunakan norma ini sejalan dengan realitas dunia usaha saat ini yang

    semakin berkembang tanpa melupakan usaha dan pembinaan Wajib Pajak

    agar dapat melaksanakan pembukuan dengan tertib dan taat azas.

  • 20

    D. Kepatuhan Wajib Pajak

    1. Definisi Kepatuhan Wajib Pajak

    Kepatuhan Wajib Pajak didefinisikan sebagai suatu keadaan

    dimana Wajib Pajak Memenuhi segala kewajibanya dan melaksanakan hak

    perpajakanya (Nourmatun, 2005). Sedangkan Somang (2006) menyatakan

    isu kepatuhan menjadi sangat penting karena ketidak patuhan secara

    bersama akan menimbulakan upaya untuk menghindari pajak, yang

    mengakibatkan berkurangnya penerimaan pajak.

    Sedangkan menurut Keputusan Menteri Keuangan No.

    544/KMK.04/2000 dalam Devano dan Rahayu (2006), menyatakan bahwa:

    “Kepatuhan perpajakan adalah tindakan Wajib Pajak dalam pemenuhan

    kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

    undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu

    negara”.

    2. Jenis Kepatuhan Wajib Pajak

    Devano dan Rahayu (2006) menyatakan bahwa terdapat dua

    macam kepatuhan yaitu:

    a. Kepatuhan formal

    Kepatuhan formal merupakan suatu keadaan dimana Wajib Pajak

    memenuhi kewajiban perpajakannya secara formal sesuai dengan

    ketentuan dalam UU Perpajakan. Misalnya ketentuan tentang batas

    waktu penyampaianSurat Pemberitahuan Pajak Pengahasilan (SPT

    PPh) Tahunan tanggal 31 Maret.

  • 21

    b. Kepatuhan materil.

    Kepatuhan material adalah wajib pajak yang mengisi dengan

    jujur,lengkap dan benar Surat Pemberitahuan (SPT) sesuai ketentuan

    dan menyampaikanya ke Kantor PajakPratama (KPP) sebelum batas

    waktu berakhi sesuai dengan peratuan Undang-undang Perpajakan.

    3. Penilaian Kepatuhan Wajib Pajak

    Berdasakan Keputusan Menteri Keuangan No. 235/KMK.03/2003,

    Wajib Pajak dikatakan patuh jika memenuhi syarat sebagai berikut :

    a. Tepat waktu dalam melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam

    dua tahun terakhir.

    b. Dalam tahun terakhir pelaporan SPT masa yang terlambat tidak lebih

    dari tiga masa pajak untuk setiap jenis pajak serta tidak berturut-turut.

    c. SPT masa yang terlambat dapat dilaporkan tidak lebih dari batas

    waktu pelaporan SPT berikutnya.

    d. Tidak memiliki tunggakan pajak untuk semua jenis pajak.

    e. Belum pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana

    perpajakan dalam waktu 10 tahun terakhir.

    f. Dalam laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau Badan

    Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dan harus dengan pendapat

    yang wajar tanpa pengecualian.

    Laporan yang diaudit harus :

    1) Disusun dengan bentuk panjang (long form report)

    2) Menyajikan rekonsiliasi laba dan rugi komersial dan fiskal.

  • 22

    4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

    Ada beberapa faktor yang menentukan kepatuhan seorang Wajib

    Pajak dalam membayar Pajak Pengahsilannya, yaitu

    a. Pendapatan Wajib Pajak

    Pendapatan merupakan segala perolehan dalam bentuk apapun

    yang merupakan penambahan jumlah uang dan atau nilai uang yang

    diperoleh seseorang selama satu tahun (Soemarso, 2001)

    b. Pelayanan Pajak

    Pelayanan merupakan pemberian fasilitas berupa informasi,

    motifasi dan sarana dengan tujuan pihak yang dilayani akan aman,

    nyaman, puas dan dihargai (Damayanti, 2004)

    c. Persepsi Masyarakat Mengenai Kesadaran Perpajakan

    Persepsi adalah proses yang digunakan oleh seorang individu

    untuk memilih, mengorganisasikan dan menginterpretasikan masukan-

    masukan informasi guna menciptakan gambaran dunia yang memilih

    arti (Rangkuti, 2009).

    Selain itu faktor-faktor tersebut di atas terdapat beberapa faktor

    lainnya yang ikut berperan mempengaruhi kepatuhan wajib pajak, yaitu:

    a. Keadilan

    Menurut Suandy (2008) salah satu dari tujuan dilakukannya reformasi

    perpajakan adalah agar beban pajak akan semakin adil dan wajar,

    sehingga disatu pihak mendorong Wajib Pajak melaksanakan dengan

    kesadaran kewajibannya membayar pajak. Hal ini menunjukkan

  • 23

    bahwa pentingnya keadilan dalam menentukan kesadaran atau

    kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

    Begitu pula Collins, Milliron & Toy, Vogel (dalam Perumal, 2008)

    juga menyatakan hal yang sama, bahwa salah satu variabel yang

    memengaruhi tax compliance adalah unfairness perception. Pembayar

    pajak cenderung akan menghindari membayar pajak jika mereka

    mengganggap bahwa sistem pajak tidak adil.

    b. Kesederhanaan

    Kesederhanaan yang dimaksud baik dalam perumusan yuridis, yang

    memberikan kemudahan untuk dipahami, maupun kesederhanaan

    untuk dilaksanakan oleh aparat dan wajib pajak (Mansury, 1996).

    Pernyataan tersebut didukung oleh Abuyamin (2010), bahwa salah

    satu faktor penyebab Wajib Pajak secara pasif tidak membayar pajak

    (tidak patuh) adalah kurangnya pemahaman terhadap hukum pajak.

    c. Kepastian hukum

    Kejelasan dari ketentuan undang-undang yang memudahkan bagi

    administrasi dan memberi kejelasan pada wajib pajak (Mansury,

    1996). Pernyataan tersebut didukung oleh Abuyamin (2010), bahwa

    salah satu faktor penyebab Wajib Pajak secara pasif tidak membayar

    pajak (tidak patuh) adalah kurangnya pemahaman terhadap hukum

    pajak.

  • 24

    E. Penelitian Terdahulu

    1. Sanjaya (2007), hasil penelitian menunjukkan bahwa self assessment

    system, sanksi perpajakan, peraturan perpajakan, dan tarif pajak pajak

    dapat memberikan tingkat kepatuhan yang baik.

    2. Setiawan (2011), hasil penelitian menunjukkan, bahwa kepatuhan wajib

    pajak yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Metro dalam

    melaporkan SPT Masa PPh Pasal 25 jika dibandingkan dengan Daftar WP

    OP PPh Pasal 25 pada tahun tersebut dapat dinilai cukup baik, tetapi

    tingkat kepatuhan masih sangat fluktuatif, hal ini dapat dilihat dari

    banyaknya STP yang terbit setiap tahun berfluktuatif menunjukan bahwa

    tingkat kepatuhan wajib pajak yang terus berubah.

    F. Kerangka Berpikir

    Sistem pemungutan pajak yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia

    ada 2 (dua), yaitu: official assessment system, dan self assessment system.

    Namun sejak diadakannya reformasi perpajakan tahun 1983, sebagaimana

    telah diubah dengan undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan undang-

    undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

    Perpajakan, sistem pemungutan pajak di Indonesia berubah dari official

    assessment system menjadi self assessment system.

    Tujuan dan arah perubahan serta penyempurnaan dari sistem

    pemungutan pajak dari official assessment system menjadi self assessment

    system dalam undang-undang pajak adalah untuk lebih meningkatkan

  • 25

    keadilan pengenaan pajak, dan lebih memberikan kemudahan kepada Wajib

    Pajak, selain itu untuk lebih memberikan kesederhanaan administrasi

    perpajakan, lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi dan transparansi,

    dan menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya

    saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal

    asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha

    tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas. Sebab

    bagaimanapun juga masalah keadilan, kesederhanaan dan kepastian hukum

    diharapkan akan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar

    pajak penghasilan pasal 25.

    Berdasarkan penjelasan tersebut maka model kerangka pemikiran

    dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  • 26

    Gambar 2.1

    Model Kerangka Berpikir

    SISTEM PEMUNGUTAN

    PAJAK

    Kepatuhan Wajib Pajak Penghasilan

    Pasal 25

    Adanya kepastian hukum

    Sederhana penghitungannya

    Mudah pelaksanaannya

    Lebih adil dan merata

    Belum pernah dijatuhi hukuman

    karena melakukan tindak pidana

    perpajakan dalam waktu 10 tahun

    terakhir

    Tepat waktu

    Pelaporan SPT tidak terlambat

    Tidak memiliki tunggakan pajak.

    Laporan keuangan diaudit oleh

    akuntan publik atau Badan

    Pengawasan Keuangan dan

    Pembangunan

    Penghitungan pajak dilakukan oleh

    wajib pajak

    Self assessment

    system

    Official assessment

    system

    Wajib Pajak

  • 27

    Keterangan:

    = Faktor Yang Diteliti

    = Faktor Yang Tidak Diteliti

    G. Kerangka Penelitian

    Penerapan sistem pemungutan pajak self assessment system

    merupakan alternatif yang diambil oleh pemerintah agar lebih mampu

    mengakomodasi keadilan, kesederhanaan dan kepastian hukum bagi Wajib

    Pajak sehingga akan lebih meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam

    membayar pajak penghasilan pasal 25.

    Berdasarkan penjelasan tersebut maka model kerangka penelitian

    dalam penelitian ini dijabarkan sebagai berikut:

    Gambar 2.2

    Model Kerangka Penelitian

    Keterangan :

    Variabel Independen (X) = Self assessment system

    Variabel Dependen (Y) = Kepatuhan Wajib Pajak Penghasilan Pasal 25

    Kepatuhan Wajib Pajak

    Penghasilan Pasal 25

    (Y)

    Self assessment system

    (X)

  • 28

    H. Hipotesis Penelitian

    H0 : Tidak ada hubungan signifikan antara self assessment system dengan

    kepatuhan wajib pajak penghasilan Pasal 25.

    Ha : Ada hubungan signifikan antara self assessment system dengan

    kepatuhan wajib pajak penghasilan Pasal 25.