bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori ......21 21 liang kobori, kecamatan lohia, kabupaten...

44
20 20 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka memuat uraian sistematis tentang teori-teori dasar dan konsep atau hasil-hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti terdahulu dan yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan. Hasil-hasil penelitian yang relevan dan patut dikaji berkaitan dengan objek penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut. Bieck (2003) menulis artikel yang berjudul “The First Kiteman” pada sebuah majalah di Jerman. Bieck tertarik untuk meneliti layang-layang atau kaghati yang ada di Pulau Muna berawal ketika kaghati kolope menjuarai festival layang-layang internasional pada tahun 1997 yang diadakan di Perancis dan berhasil mencuri perhatian komunitas layang-layang internasional. Salah satunya adalah Wolfgang Bieck, seorang warga negara Jerman yang merupakan Consultant of Kite Aerial Photography Scientific Use of Kite Aerial Photography. Pada tahun 1997, Bieck berkunjung ke Pulau Muna untuk melakukan penelitian lebih dalam mengenai kaghati kolope. Di Muna, Bieck menemukan fakta menarik dari tradisi permainan layang-layang yang ternyata telah dikenal oleh Suku Muna sejak ribuan tahun lalu. Fakta ini dibuktikan oleh sebuah lukisan prasejarah di dinding Gua Sugi Patani yang terletak di Desa

Upload: others

Post on 01-Dec-2020

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

20

20

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka memuat uraian sistematis tentang teori-teori dasar

dan konsep atau hasil-hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti terdahulu

dan yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan. Hasil-hasil

penelitian yang relevan dan patut dikaji berkaitan dengan objek penelitian ini

dapat diuraikan sebagai berikut.

Bieck (2003) menulis artikel yang berjudul “The First Kiteman”

pada sebuah majalah di Jerman. Bieck tertarik untuk meneliti layang-layang atau

kaghati yang ada di Pulau Muna berawal ketika kaghati kolope menjuarai

festival layang-layang internasional pada tahun 1997 yang diadakan di Perancis

dan berhasil mencuri perhatian komunitas layang-layang internasional. Salah

satunya adalah Wolfgang Bieck, seorang warga negara Jerman yang merupakan

Consultant of Kite Aerial Photography Scientific Use of Kite Aerial

Photography.

Pada tahun 1997, Bieck berkunjung ke Pulau Muna untuk

melakukan penelitian lebih dalam mengenai kaghati kolope. Di Muna, Bieck

menemukan fakta menarik dari tradisi permainan layang-layang yang ternyata

telah dikenal oleh Suku Muna sejak ribuan tahun lalu. Fakta ini dibuktikan oleh

sebuah lukisan prasejarah di dinding Gua Sugi Patani yang terletak di Desa

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

21

21

Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Lukisan

tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain layang-layang di dekat

pohon kelapa. Kebenaran tentang hasil penelitian yang dilakukan oleh Bieck

sangat bergantung pada usia pasti lukisan di Gua Sugi Patani tersebut. Selain itu,

sangat diperlukan adanya penelitian lebih lanjut oleh para ahli arkeologi untuk

lebih meyakinkan secara keilmuan tentang usia lukisan tersebut

(https://munabaratnewsblog.wordpress.com).

Hasil penelitian Bieck tentang kaghati hanya terfokus pada sejarah

kaghati yang ada di Pulau Muna, khususnya di Desa Liang Kobori tempat

lukisan prasejarah Suku Muna. Berdasarkan temuannya, Bieck menyimpulkan

dan mengklaim bahwa layang-layang tertua di dunia berasal dari Muna,

Indonesia. Bieck percaya bahwa usia lukisan tersebut lebih tua dibandingkan

usia permainan layang-layang di negeri Tiongkok yang diperkirakan telah

berumur sekitar 2.400 tahun. Bieck kemudian menuliskan hasil penelitiannya

dalam sebuah artikel di tahun 2003.

Marafad (2007) menulis tentang “Layang-Layang Tradisional Suku

Bangsa Muna, Sang Juara Dunia”. Tulisan ini mengkaji layang-layang

tradisional suku bangsa Muna dari sudut pandang proses pembuatan dan

permainannya. Tulisan ini mendeskripsikan gambaran umum layang-layang

tradisional Muna, menjelaskan bahan baku, proses pembuatan layang-layang,

bagaimana sifat-sifat layang-layang pada waktu mengangkasa, bentuk-bentuk

layang-layang, proses perakitan, pantangan-pantangan, waktu permainan, pelaku

layang-layang, sanksi pelanggaran aturan main, manfaat bermain layang-layang

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

22

22

yang terbagi dua yaitu segi positif dan segi negatif, dan terakhir adalah gambaran

proses ritual.

Selanjutnya, La Kandi (2013) mengadakan penelitian berjudul

“Permainan Kaghati Roo Kolope dalam Etnik Muna (Kajian Bentuk, Makna, dan

Nilai)”. Penelitian La Kandi mengkaji dan memahami, serta mendeskripsikan

permainan kaghati roo kolope, makna simbolik yang terkandung dalam bentuk

kaghati roo kolope, dan nilai-nilai yang terkandung dalam permainan kaghati

roo kolope dalam masyarakat etnik Muna.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa permainan kaghati roo

kolope dalam masyarakat etnik Muna tidak diketahui secara pasti kapan

keberadaannya. Namun, dalam penjelasan beberapa mitos dapat memberikan

gambaran bahwa keberadaannya telah ada sejak ribuan tahun yang lampau pada

zaman manusia purba. Ditinjau dari bentuknya, bentuk kaghati roo kolope

dalam masyarakat Muna meliputi lima bentuk, yaitu bentuk bhangkura, mponisi,

ngkasopa, kadompa, dan bentuk ngkalei. Kemudian, makna simbol budaya

dalam bentuk kaghati roo kolope pada etnik Muna, dan selanjutnya adalah nilai-

nilai yang terkandung dalam permainan kaghati roo kolope yang ditemukan ada

enam nilai, yaitu nilai historis yang berhubungan dengan sejarah, nilai religious,

nilai seni yang berhubungan dengan keindahan, nilai solidaritas yang

berhubungan dengan persatuan, nilai perjuangan yang berhubungan dengan

usaha yang diperjuangkan, dan nilai ekonomi yang berhubungan dengan

keuangan dan kemakmuran.

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

23

23

Muthalib (2015) meneliti “Tinjauan Sejarah tentang Kaghati dalam

Masyarakat Muna”. Dalam penelitiannya, Muthalib mengkaji tentang latar

belakang adanya kaghati pada masyarakat Muna, bahan-bahan yang digunakan

dalam pembuatan kaghati, serta jenis-jenis kaghati pada masyarakat Muna.

Fokus kajian penelitiaannya adalah bentuk, makna, dan nilai.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa latar belakang adanya

kaghati pada masyarakat Muna, yaitu sejak dahulu kala. Layang-layang

dierkirakan ahir sejak manusia di Pulau Muna mengenal budaya cipta.

Penciptaan layang-layang atau kaghati erat kaitannya dengan kebutuhan manusia

tentang hiburan, kebutuhan manusia akan komunikasi, dan kebutuhan manusia

akan teman. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan kaghati adalah (1)

wulu (bambu buluh); (2) patu (betung); (3) towulambe (tebu hutan); (4) bhontu

(pohon waru); (5) roo kolope (daun gadung); (6) roo paranggi (daun nanas

hutan); dan (7) bhale (daun palma). Jenis-jens kaghati pada masyarakat Muna,

yaitu (1) jenis bhangkura, yaitu berbentuk wajik; (2) jenis mponisi, yaitu

berbentuk guci; (3) jenis ngkasopa, yaitu berbentuk bulat; (4) jenis kadampa,

yaitu berbentuk kepala yang lancip; dan (5) jenis ngkalei, yaitu berbentuk daun

pisang.

Keempat penelitian di atas memiliki kontribusi yang signifikan,

memberikan inspirasi awal, dan pedoman sederhana bagi penulis yang

menjadikan hasil-hasil penelitian tersebut sebagai bahan rujukan untuk

membedah dan mengidentifikasi data-data leksikon bahasa Muna, khususnya di

lingkungan ke-kaghati-an. Terkait dengan penelitian ke-kaghati-an ini yang

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

24

24

lebih menitikberatkan pada bentuk dan kategori leksikon, khazanah leksikon

biotik dan abiotik, dinamika pemahaman antargenerasi, dan faktor-faktor

pemengaruh dinamika antargenerasi dengan menggunakan teori ekolinguistik,

teori linguistik, dan teori linguistik kebudayaan menjadi penelitian baru yang

belum pernah dilakukan oleh Bieck (2003), Marafad (2007), La Kandi (2013),

dan Muthalib (2015).

Rasna (2010) mengadakan penelitian berjudul “Pengetahuan dan

Sikap Remaja terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng

dalam Rangka Pelestarian Lingkungan: Sebuah Kajian Ekolinguistik”. Dalam

penelitiannya, Rasna mengkaji pengetahuan tanaman obat tradisional dengan

menggunakan tes kompetensi leksikal tanaman obat dan sikap remaja terhadap

tanaman obat. Penelitian Rasna dilakukan di Bali, tepatnya di 25 desa yang

terletak di sembilan kecamatan di Buleleng dengan total informan sebanyak 125

orang. Metode yang digunakan adalah wawancara dengan bantuan kuesioner

terstruktur. Kajian yang digunakan dalam penelitian itu adalah kajian

ekolinguistik.

Temuan dalam penelitiannya menyatakan bahwa pengetahuan para

remaja tentang tumbuhan dan tanaman obat masih kurang, baik remaja desa

maupun remaja kota. Kurangnya perhatian ini terlihat pada ketidaktahuan para

remaja desa dan kota terhadap pohon atau tanaman yang ditanyakan dalam daftar

pertanyaan model A. Ketidaktahuan tersebut menunjukkan interaksi yang jarang

dilakukan antara remaja dan lingkungannya, bahkan mungkin sudah tidak pernah

terjadi interaksi antara para remaja dengan lingkungan tanaman obat. Penyusutan

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

25

25

leksikal tanaman obat pada para remaja dipengaruhi oleh faktor sosio-kultural,

sosio-ekologis, dan sosio-ekonomi.

Mbete (2002) menulis artikel berjudul “Ungkapan-ungkapan Verbal

dalam Bahasa Lio dan Fungsinya dalam melestarikan lingkungan”. Mbete

mengkaji bentuk, makna, dan fungsi yang terkandung dalam ungkapan verbal

yang berkaitan dengan pemeliharaan lingkungan. Penelitian Mbete

menggunakan kajian linguistik kebudayaan untuk menjawab permasalahan,

khususnya etnografi berbahasa yang membedah bahasa dan konteks sosial

budaya tertentu.

Sumber data dalam penelitian Mbete berupa bahasa lisan seperti

tuturan para tetua adat, para tetua kampung, para orang tua yang hadir dalam

konteks adat Po’o (upacara menolak hama), wacana pertemuan dibalai desa,

tuturan para orang tua khususnya bapak-bapak, dan wacana/ungkapan lainnya.

Konteks budaya yang disasar dalam penelitian Mbete mencakup situasi

pelasanaan ritual Po’o, situasi keseharian, dan situsi pengolahan lahan garapan.

Teknik yang digunakan adalah teknik wawancara untuk mendapatkan data

tentang makna harfiah dan makna per glos.

Temuan dalam penelitian Mbete berupa ungkapan verbal yang

berfungsi dalam pelestarian lingkungan yang terdiri atas (1) ungkapan yang

berkaitan dengan alam semesta; (2) ungkapan yang berkaitan dengan

penggarapan lahan; (3) ungkapan yang berkaitan dengan pelestarian hutan

lindung mini dan sumber air; (4) ungkapan yang berkaitan dengan pelestarian

pantai dan laut; (5) ungkapan yang berkaitan dengan pemeliharaan dan

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

26

26

keserasian; dan (6) ungkapan yang berkaitan dengan hubungan antarsesama

warga etnis Lio.

Sukhrani (2010) mengadakan penelitian berjudul “Leksikon Nomina

Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik”.

Penelitian Sukhrani mengkaji pemahaman leksikon guyub tutur bahasa Gayo

yang berhubungan dengan lingkungan ragawi Danau Lut Tawar, perangkat

leksikon nomina, verba, dan adjektiva menyangkut lingkungan ragawi Danau

LutTawar, dan dinamika lingkungan budaya kedanauan, kebertahanan, dan

pergeseran leksikon bahasa Gayo di lingkungan Danau Lut Tawar. Data

dianalisis dengan menggunakan teori ekolinguistik dan teori pergeseran dan

pemertahanan bahasa. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.

Hasil analisis menunjukkan bahwa berbagai pengetahuan lokal dan

kearifan ekologi masyarakat Gayo di sekitar Danau Lut Tawar telah banyak yang

hilang, terutama pada nama-nama biota Danau Lut Tawar dan istilah-istilah

dalam teknologi tradisional perikanan. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai

faktor cara pandang masyarakat yang berlebihan terhadap merebaknya ilmu

pengetahuan dan teknologi modern yang diajarkan pada pendidikan formal

modern dan tidak adanya pewarisan pengetahuan lokal dan kearifan ekologi dari

generasi tua kepada generasi selanjutnya. Hal tersebutlah yang mengakibatkan

terjadinya erosi bahasa ibu, kemudian berlanjut menjadi erosi pengetahuan lokal

dan kearifan ekologi, pada akhirnya terjadi berbagai bencana ekologi.

Baru (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Khazanah Leksikon

Alami Guyub Tutur Karoon: Kajian Ekoleksikal” mengkaji tingkat pengetahuan

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

27

27

dan pemahaman leksikon Guyub Tutur Karoon yang berhubungan dengan

lingkungan alam dan faktor-faktor yang memengaruhi dinamika perkembangan

leksikon alami bahasa Karoon. Landasan teori yang digunakan adalah

ekolinguistik dan semantik leksikal. Penelitian Baru menggunakan dua

pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif untuk menjawab faktor-faktor yang

memengaruhi perkembangan bahasa Karoon, sedangkan pendekatan kuantitatif

untuk menjelaskan pengetahuan leksikon dan pemahaman manfaat tumbuhan

dan hewan melalui indikator-indikator yang telah ditetapkan. Melalui indikator

tersebut dapat diperoleh gambaran leksikon-leksikon tumbuhan dan hewan yang

masih bertahan atau mengalami penyusutan berdasarkan jumlah perhitungan

persentase.

Laza (2012) dengan penelitiannya yang berjudul “Khazanah

Leksikon dan Budaya Keladangan Masyarakat Tolaki: Kajian Ekolinguistik”,

mengkaji leksikon bahasa Tolaki dialek Konawe yang berhubungan dengan

lingkungan ladang, perangkat leksikon nomina, verba, adjektiva, ungkapan yang

berhubungan dengan lingkungan ladang Konawe, dan dinamika budaya dan

pelestarian leksikon bahasa Tolaki dalam lingkungan ladang Konawe. Teori

yang digunakan dalam penelitian Laza adalah teori ekolinguistik dan teori

sosiolinguistik, tepatnya pergeseran dan pemertahanan bahasa. Pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan kualitatif.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa (1) leksikon keladangan

bahasa Tolaki terbagi dalam beberapa bagian leksikon, yaitu: pengolahan

ladang, penanaman, pembersihan, perkembangan, pemotongan, pengolahan

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

28

28

padi jadi beras, jenis-jenis padi, peralatan ladang, memasukkan padi di

lumbung, dan jenis makanan dan olahannya; (2) perangkat leksikon bahasa

Tolaki lingkungan ladang terbagi dalam beberapa bagian, yaitu kata benda, kata

kerja, kata sifat, dan ungkapan; dan (3) dinamika budaya masyarakat Tolaki

terbagi dalam beberapa bagian, yaitu pergeseran fungsi dan makna budaya, dan

upaya pelestarian leksikon keladangan masyarakat Tolaki di Kabupaten

Konawe.

Tangkas (2013) dengan penelitiannya yang berjudul “Khazanah

Verbal Kepadian Komunitas Tutur Bahasa Kodi, Sumba Barat Daya: Kajian

Ekolinguistik”. Penelitian itu menerapkan model dimensi logis pada teori

ekolingistik. Berdasarkan arah penelitian, penelitian itu menggali fungsi

khazanah verbal kepadian dengan menggunakan dimensi logis yang terdiri atas

dimensi ideologis, sosiologis, dan dimensi biologis yang mencakup lingkungan

sosial, budaya, dan lingkungan alam.

Hasil analisis menunjukkan bahwa ekoleksikon kepadian meliputi

leksikon kepadian tahap pratanam, tahap tanam, dan leksikon kepadian tahap

pascatanam. Leksikon-leksikon kepadian tersebut terdiri atas kata dan gabungan

kata. Leksikon kepadian yang berbentuk kata dibedakan atas verba dan nomina,

sedangkan leksikon kepadian yang berbentuk gabungan kata dibedakan atas

gabungan kata predikatif, kata majemuk, ungkapan, dan frase.

Penelitian khazanah verbal kepadian tersebut juga menekankan pada

aspek fungsi dan makna. Khazanah verbal kepadian yang berfungsi dan

bermakna ideologis berupa pengharapan hujan, pengharapan padi tumbuh

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

29

29

dengan baik, pengharapan bebas hama penyakit, pengharapan kelancaran dalam

tahap pascatanam, dan pengharapan hasil panen berlimpah. Khazanah verbal

kepadian yang berfungsi dan bermakna sosiologis keselarasan hubungan antara

manusia dan Tuhan Yang Mahaesa, keselarasan hubungan antara manusia dan

arwah leluhur, keselarasan hubungan antara manusia dan dewi padi, keselarasan

hubungan manusia dan arwah-arwah di sekitar ladang, keselarasan hubungan

antarmanusia, dan keselarasan hubungan antara manusia dan kampung halaman,

keselarasan hubungan antara manusia dan seluruh ladang.

Marafad (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Kebertahanan

Kosakata Bahasa Daerah Wuna dalam Lingkungan Tumbuhan Kowala (Aren) Di

Kecamatan Watopute, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara”. Teori yang

digunakan dalam penelitian ini adalah teori ekolinguistik dan teori pemertahanan

bahasa. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif

untuk menjawab faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan bahasa Wuna,

sedangkan pendekatan kuantitatif untuk menjelaskan pengetahuan kosakata dan

pemahaman manfataan tumbuhan kowala melalui indikator-indikator yang telah

ditetapkan. Melalui indikator tersebut dapat diperoleh gambaran leksikon-

leksikon tumbuhan dan hewan yang masih bertahan atau mengalami penyusutan

berdasarkan jumlah perhitungan persentase.

Responden yang dipilih dalam penelitian Marafad sebanyak 100

orang yang berdomisili di Kecamatan Watopute. Responden dibedakan

berdasarkan usia dan jenis kelamin. Leksikon tumbuhan dan hewan sebanyak

200 leksikon diujikan kepada para responden. Leksikon tersebut disiapkan dalam

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

30

30

bentuk pilihan ganda. Pengujian kompetensi leksikon dibagi menjadi dua, yaitu

pengujian pengetahuan leksikon tumbuhan dan hewan dan pengujian

pengetahuan manfaat tumbuhan dan hewan. Ada enam indikator yang digunakan

oleh Marafad untuk pengujian kompetensi leksikon, antaralain (1) tahu, kenal,

diakrabi dengan baik dan sampai sekarang jumlah atau referennya masih banyak;

(2) tahu, kenal, diakrabi dengan baik, tetapi jumlah atau referennya sudah mulai

berkurang; (3) tahu, tetapi tidak kenal dan diakrabi dengan baik; (4) tidak tahu,

tetapi pernah atau sering mendengar namanya (karena jarang dilihat atau

didengar, bahkan sudah hilang atau punah); (5) tidak tahu dan tidak pernah

melihat dan mendengar namanya; dan (6) tidak tahu, tetapi pernah atau sering

menggunakan bentuk leksikonnya dalam percakapan. Berdasarkan akumulasi

indikator di atas dapat dihasilkan jumlah presentasi yang dicocokkan dengan

tingkatan persentase yang telah ditentukan.

Nuzwaty (2014) dengan penelitiannya berjudul “Keterkaitan

Metafora dengan Lingkungan Alam pada Komunitas Bahasa Aceh di Desa

Trumon Aceh Selatan: Kajian Ekolinguistik”. Dari hasil penelitiannya

ditemukan hal-hal sebagai berikut: (1) secara linguistik metafora yang

dipergunakan masyarakat tutur terbentuk dari kelas kata yang bervariasi dan

membentuk frasa yang bervariasi pula; (2) metafora yang digunakan diklasifikasi

berdasarkan kesepakatan masyarakat tutur secara konvensional; dan (3)

Interdependensi antara flora-fauna dan benda ataupun manusia sangat bertalian

dengan kondisi dan perilaku sebagai ranah target melalui proses pemetaan

silang dan berlokasi pada mental dan kognisi anggota masyarakat tutur yang

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

31

31

kemudian direalisasikan dalam komunikasi verbal tutur. Perbedaannya

Nuzwaty membicarakan tentang metafora masyarakat tutur secara konvensional

berdasarkan penetaan silang lokasi, sedangkan peneliti mengkaji tentang bahasa

lingkungan ke-kaghati-an guyub tutur bahasa Muna.

Faridah (2014) dengan penelitian berjudul Khazanah Ekoleksikal,

Sikap, dan Pergeseran Bahasa Melayu Serdang: Kajian Ekolinguistik..

Berdasarkan hasil penelitiannya ditemukan (1) bentuk dan kategori leksikal,

yakni (a) leksikal dasar berkategori nomina, (b) leksikal dasar berkategori verba,

dan (c) leksikal dasar berkategori adjektiva. Secara semantik bentuk leksikal

dibedakan atas yang bernyawa nonhuman dan tidak bernyawa nonhuman.

Sementara itu, makna dibedakan atas makna leksikal, makna referensial

eksternal, makna budaya, dan makna filosofis.

Di samping itu, perubahan lingkungan penutur pada mulanya kaya

akan leksikal flora dan fauna sesuai dengan ekoregion pada masa itu, banyaknya

hutan lebat tempat flora dan fauna, seiring dengan waktu saat ini tidak

ditemukan lagi hutan lebat tempat flora dan fauna itu bermukim. Korelasi

pengetahuan dan sikap penutur muda dan tua sangat signifikan. Selain itu, dalam

sikap dan pergeseran bahasa terdapat tiga kategori sikap positif, yakni bangga,

setia, dan sadar terhadap BMS tidak lagi dimiliki oleh penutur muda, namun

sebaliknya memiliki sikap negatif. Penutur usia muda tidak lagi

menggunakannya dan beralih menggunakan bahasa BI karena domisili BI,

kebutuhan untuk mecari pekerjaan. Hanya penutur usia tua yang masih setia

menggunakan BMS, sehingga hal ini menjadi pemicu pergeseran ke BI.

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

32

32

Sarmi (2015), dengan penelitiannya berjudul “Khazanah Leksikon

Lingkungan Alam dalam Dinamika Guyub Tutur Bahasa Using: Kajian

Ekolinguistik”. Berdasarkan hasil penelitiannya ditemukan (1) keberagaman

leksikon lingkungan alam bahasa Using meliputi: (a) bentuk-bentuk lingual

leksikon lingkungan alam; (b) keberagaman leksikon berdasarkan kategori; (c)

keragaman cara penamaan dan relasi makna; (2) dinamika pemahaman dan

penggunaan leksikon lingkungan alam antargenerasi; (3) faktor-faktor penyebab

tingkat pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam meliputi faktor

kebahasaan dan faktor penutur. Teori yang digunakan untuk membedah

kajiannya adalah teori ekoliguistik, teori perubahan bahasa, teori morfologi, dan

teori semantik.

Terkait dengan penelitian yang dilakukan penulis, kesemua hasil

penelitian oleh Rasna, Mbete, Sukhrani, Laza, Baru, Tangkas, Marafad,

Nuzwaty, Faridah, dan Sarmi walaupun bahasa yang digunakan sebagai objek

dalam penelitian-penelitian di atas tidak sama dengan bahasa yang menjadi

objek penelitian penulis (terkecuali penelitian oleh Marafad), penelitian-

penelitian tersebut dapat dijadikan kajian pustaka yang memberikan banyak

sumbangan dalam penelitian penulis. Hal itu mengingat pembahasan

pengetahuan dan pemertahanan leksikon dengan menggunakan teori

Ekolinguistik dapat memberikan pijakan, kontribusi dalam penelitian ini

dalam membedah data di lapangan terkait dengan bahasa lingkungan ke-kaghati-

an guyub tutur bahasa Muna di di Pulau Muna yang juga mengkaji tentang

lingkungan dan bahasa.

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

33

33

2.2 Konsep

Konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, apapun di luar

bahasa, dan yang membutuhkan penggunaan akal budi untuk memahaminya

(Kridalaksana, 2008). Adapun konsep-konsep yang menjadi piranti

konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

2.2.1 Leksikon

Leksikon adalah perbendaharaan kata yang dikonsepkan sebagai

kekayaan kata atau khazanah kata yang dimiliki para pengguna bahasa.

Selanjutnya, untuk pemahaman lebih jelas harus dilihat juga konsep “leksikon”

menurut Kridalaksana (2008:142), yakni (1) komponen bahasa yang memuat

semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa; (2)

Kekayaan kata yang dimiliki oleh seorang pembicara, penulis, atau suatu bahasa;

kosakata; perbendaharaan kata; dan (3) daftar kata yang disusun seperti kamus,

tetapi dengan penjelasan yang singkat dan praktis. Leksikon dapat pula

dikategorikan menjadi dua bentuk, yakni leksikon aktif (active vocabulary),

kekayaan kata yang biasa dipakai oleh seseorang, dan leksikon pasif (passive

vocabulary), kekayaan kata yang dipahami seseorang tetapi tidak pernah atau

jarang dipakainya. Leksikon tersebut merupakan inventaris bahasa yang

diwariskan secara turun-temurun (Fill dan Muhlhausler, 2001:14). Booij

(2007:16) memiliki pendapat lebih spesifik mengenai leksikon sebagai berikut

‘the lexicon specifies the properties of each word, its phonological form, its

morphological, and syntactic properties, and its meaning’. Berdasarkan kutipan

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

34

34

tersebut, leksikon dianggap dapat menentukan sifat dari setiap kata, bentuk

fonologi, sifat morfologi, dan sintaksis, serta makna leksikon tersebut.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa

leksikon adalah kosakata atau komponen bahasa yang memuat semua informasi

tentang makna pemakaian kata dalam bahasa, seperti perilaku semantik,

sintaksis, morfologis, dan fonologisnya atau perbendaharaan kata lebih

ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau suatu bahasa.

Dalam penelitian ini leksikon yang dimaksud adalah berupa leksikon nomina,

verba, dan adjektiva yang berhubungan dengan ke-kaghati-an, baik leksikon

aktif maupun pasif.

2.2.2 Ungkapan Metaforis

Metafora dalam pustaka linguistik kognitif merupakan bahasa yang

memainkan peranan amat penting dalam kajian pikiran dan kultur masyarakat

pemilik atau penutur bahasa tersebut. Ullman (1972:212) menyatakan bahwa

metafora berhubungan dengan jaringan tekstur tuturan bahasa manusia yang

beragam, yaitu sebagai faktor utama dalam motivasi, sebagai alat untuk

mengekspresikan diri, sebagai sumber sinonimi dan polisemi, sebagai alat ntuk

menyatakan emosi yang kuat, serta sebagai alat untuk mengisi kekosongan

dalam kosakata dan beberapa fungsi yang lain. Dalam ungkapan metaforis

terdapat dua komponen, yaitu target dan sumber yang memiliki kesamaan

karakteristik. Sumber merupakan konsep yang dijadikan dasar konseptualisasi

dan target merupakan konsep yang konseptualisasinya diarahkan. Lakoff dan

Johnson (1980) menyatakan bahwa target biasanya lebih abstrak dann sumber

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

35

35

lebih konkret, fisik atau nyata. Pendapat tersebut diperkuat oleh Kovecses

(2006).

Dalam penelitian ini, data berupa ungkapan metaforis dapat

diperoleh dari ungkapan lisan yang digunakan oleh kelompok guyub tutur atau

ungkapan yang terkonsep dalam benak guyub tutur, khususnya berkaitan dengan

lingkungan ke-kaghati-an pada guyub tutur bahasa Muna.

2.2.3 Ungkapan Pemali “Falia” bagi Masyarakat Muna

La Taena (2014: 91) mengatakan bahwa bagi masyarakat Muna falia

‘pemali’ merupakan suatu pelarangan sosial atau pantang larang dalam

kehidupan bermasyarakat yang tidak boleh dilanggar baik dalam bentuk tindakan

atau ucapan. Selanjutnya, Marafad dan La Niampe (2017) mengungkapkan

bahwa ungkapan falia ini merupakan warisan budaya leluhur yang memiliki

nilai-nilai pendidikan terhadap karakter anak yang di dalamnya mengandung

nilai ketulusan, keikhlasan, kejujuran, keadilan, kedisiplinan, ketaatan,

menghargai orang lain, dan toleran, kepercayaan dan keyakinan. Di samping

nilai-nilai itu, terdapat pula nilai-nilai magis sehingga dengan nilai itu sang anak

cenderung mengikuti apa yang disampaikan orang tua melalui pesan nilai-nilai

yang terkandung dalam ungkapan falia tersebut.

Dalam hubungannya dengan ke-kaghati-an, ungkapan pemali atau

falia yang diungkapkan penelitian ini adalah ungkapan nasihat, larangan dan

pantangan melakukan sesuatu yang menurut tradisi dan keyakinan adat istiadat

dapat menyebabkan dampak buruk dan kesialan. Misalnya, O falia dokorunsae

deghati ‘pemali membuat kaghati setengah hati’. Maksudnya, tidak boleh

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

36

36

membuat kaghati dengan niat dan tekad tidak bersungguh-sungguh. Akibat falia

ini adalah kaghati tidak dapat terbang atau tidak bertahan lama di langit.

2.2.4 Mitos

Mitos menceritakan bagaimana suatu keadaan menjadi sesuatu yang

lain; bagaimana dunia yang kosong menjadi berpenghuni; bagaimana situasi

yang kacau menjadi teratur; bagaimana yang tak dapat mati menjadi mati; dan

sebagainya. Mitos menceritakan perbuatan dan tindakan para makhluk adikodrati

pada awal mula yang menyebabkan dunia atau suatu bagian dari dunia menjadi

ada, sebagaimana sekarang ini. Mitos tidak hanya menceritakan awal mula alam

semesta, dunia dalam keseluruhannya, tetapi juga peristiwa-peristiwa khusus,

misalnya terjadi sebuah pulau, jenis tanaman tertentu, perilaku tertentu dari

manusia, atau lembaga sosial (Dhavamony, 1995). Proses penyampaian mitos

melalui bahasa yang mengandung pesan-pesan menunjukkan adanya keterkaitan

mitos dan bahasa. Dalam penelitian ini, mitos yang diuraikan adalah cerita yang

berkaitan dengan lingkungan ke-kaghati-an dan memiliki kepercayaan yang

sungguh-sungguh terhadap isi mitos tersebut, serta bersifat turun-temurun.

2.2.5 Dinamika

Konsep dinamika merupakan bagian dari ilmu fisika yang

berhubungan dengan gerak dan penyebabnya. Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (2005), dinamika dalam pandangan sosial adalah pergerakan

masyarakat secara terus- menerus yang menimbulkan perubahan pada tata

hidup masyarakat bersangkutan. Dalam kajian linguistik, konsep dinamika

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

37

37

melihat fenomena bahasa yang mengalami perubahan yang terus menerus dalam

perjalanan waktu. Pengetahuan leksikon yang tersimpan dalam ingatan guyub

tutur diperoleh dari pengalaman masyarakat bersangkutan terekam dalam pikiran

guyub tutur dan dapat juga terkikis serta tergantikan seiring dengan banyaknya

pengalaman yang dialami penutur. Menurut Bundsgaard dan Steffensen

(2000:17), pengetahuan atau ingatan bersifat situasional sesuai kondisi karena

guyub tutur tidak bisa mengingat semua unit sekecil atom dan hanya muncul jika

digunakan dalam pernyataan yang diujarkan. Bahkan pengetahuan entitas-entitas

tertentu itu dikemas kembali secara verbal sesuai dengan situasi dan kondisi

lingkungan yang berubah. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, dinamika yang

dimaksud adalah suatu perubahan yang terjadi pada unsur-unsur budaya kaghati

secara universal dan secara terus menerus pada guyub tutur bahasa Muna.

2.2.6 Ke-kaghati-an

Kaghati adalah sejenis permainan layang-layang tradisional guyub

tutur Muna. Kaghati terbuat dari bahan-bahan yang berasal dari lingkungan

alam, seperti daun ubi gadung (roo kolope), bambu, buluh, betung, serat daun

nenas hutan (tali kaghati atau ghurame), kulit pohon waru, dan daun palma

(Marafad, 2007). Ke-kaghati-an adalah semua konsep yang berkaitan dengan

kaghati atau layang-layang tradisional guyub tutur Muna. Jadi, istilah

ke-kaghati-an dalam penelitian ini berkaitan dengan pelbagai bagian dan hal-hal

tentang kaghati (layang-layang), baik isinya dengan keanekaragaman hayatinya

(biodiversity), keadaannya, maupun persepsi (ideologi atau adicita) tentang

kaghati di kalangan masyarakatnya. Kesemuanya itu merupakan kekayaan

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

38

38

bahasa Muna yang memberi gambaran bahwa adanya hubungan yang kaya

makna antara manusia dengan lingkungan alam kaghati.

2.2.7 Guyub Tutur Bahasa Muna

Guyub tutur dalam bahasa Inggris dikenal dengan speech

community adalah masyarakat pengguna bahasa. Hymes (1964) dan Duranti

(1997) mengatakan bahwa “kajian atas bahasa memandang bahasa sebagai

sumber daya budaya dan tuturan sebagai praktik budaya’ (a study of language

as a cultural resource and speaking as a cultural practices)”. Secara tersurat,

bahasa (langue) dipahami sebagai kekayaan rohani milik manusia dan guyub

tutur tertentu.

Hymes (1974:51) mendefinisikan guyub tutur sebagai sekelompok

orang atau masyarakat yang memiliki pengetahuan sekurang-kurangnya suatu

bentuk bahasa dan juga pengetahuan tentang pola-pola bahasa tersebut. Sejalan

dengan apa yang dikemukakan oleh Chaer dan Agustina (1995:47) bahwa guyub

tutur bukan hanya sekelompok orang atau masyarakat yang menggunakan

repertoar bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma

yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa. Terkait dengan penelitian

ini, yang dimaksud dengan guyub tutur bahasa Muna adalah sekelompok

masyarakat yang menggunakan bahasa Muna dalam komunikasi sehari-harinya

dan memiliki pengetahuan tentang aturan-aturan dalam berbahasa Muna.

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

39

39

2.2.8 Bahasa Lingkungan (Ecologycal Language)

Bahasa lingkungan adalah sosok (corpus) kebahasaan yang

menggambarkan tentang lingkungan, termasuk di dalamnya leksikon-leksikon

sebagai produk dari praktik sosial dan diskursus sosial (Mühshaüsler, 2001: 5).

Bahasa lingkungan adalah bentuk verbal yang mengandung makna tentang

lingkungan. Bahasa lingkungan merupakan produk budaya, produk manusia dan

masyarakat. Bahasa lingkungan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

khazanah leksikon, ungkapan metaforis, pemali, dan mitos yang

menggambarkan tentang lingkungan yang erat hubungannya dengan lingkungan

kaghati.

2.2.9 Lingkungan Bahasa (Ecology of Language)

Lingkungan bahasa merupakan dimensi spasial atau dimensi ruang

alami dan juga ruang kultural, tempat bahasa-bahasa hidup. Lingkungan bahasa

merupakan produk dan kondisi alam dan bersifat alamiah. Lingkungan bahasa

adalah dimensi atau matra ruang yakni segi ragawi, fisik, lingkungan geografi

yang menjadi tempat hidup semua bahasa dan penuturnya (Mbete, 2013).

Lingkungan bahasa yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi lingkungan

fisik atau ragawi dan lingkungan sosial yang menjadi ruang hidup bagi khazanah

leksikon dalam budaya kaghati guyub tutur bahasa Muna.

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

40

40

2.3 Landasan Teori

Setiap penelitian ilmiah pada dasarnya memerlukan kehadiran teori

sebagai landasan berpikir dan pijakan awal dalam melakukan penelitian. Teori

utama atau teori payung yang digunakan dalam mengkaji bahasa lingkungan

ke-kaghati-an guyub tutur bahasa Muna adalah teori ekolinguistik. Teori

ekolinguistik dipilih sebagai payung teori dalam penelitian ini karena sebagai

suatu disiplin ilmu, ekolinguistik dapat menjelaskan hubungan timbal balik

antara bahasa dengan lingkungannya. Ekolinguistik mengkaji bahasa yang hidup

dan digunakan oleh suatu penutur untuk menggambarkan dan menjelaskan

realitas di lingkungannya, baik lingkungan ragawi/fisik maupun lingkungan

sosial budaya, khususnya di lingkungan ke-kaghati-an. Untuk mengungkap

fenomena bahasa lingkungan ke-kaghati-an guyub tutur bahasa Muna, teori

ekolinguistik ditunjang oleh teori linguistik, dan teori linguistik kebudayaan.

Masalah-masalah dalam penelitian ini dipecahkan dengan teori-teori

yang relevan untuk menjawab masalah-masalah tersebut. Teori yang digunakan

untuk mengkaji masalah pertama adalah teori linguistik, khususnya morfologi

dan semantik untuk memecahkan masalah tersebut. Masalah kedua

menggunakan teori ekolinguistik yang dikemukakan oleh Sapir dan Haugen dan

didukung dengan teori linguistik kebudayaan untuk menjelaskan keberadaan

entitas yang dirujuk sudah dan hanya tertinggal di ingatan penutur tua saja.

Masalah ketiga dan keempat dikaji dengan teori ekolinguistik dengan

menggunakan model dimensi logis oleh Bang dan Door, dibantu dengan teori

linguistik kebudayaan. Berikut paparan teori-teori tersebut.

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

41

41

2.3.1 Ekolinguistik

Pakar ekolinguistik, Haugen (1972:326), menggambarkan

lingkungan alam sebuah bahasa adalah masyarakat pengguna bahasa itu, dan

bahasa sesungguhnya hanya ada dalam otak manusia penuturnya yang hanya

berfungsi menghubungkan penutur dengan sesamanya, dan dengan alam sekitar,

yaitu lingkungan sosial dan lingkungan alam. Makna lingkungan yang dimaksud

mencakup manusia, pikiran seseorang yang merujuk pada dunia atau wilayah

tempat bahasa itu ada dan digunakan.

Sebelum dijelaskan secara terperinci tentang ekolinguistik, ada

baiknya terlebih dahulu diketahui apa ekologi itu. Ekologi memperhatikan

terutama biologi golongan-golongan organisme dan dengan proses-proses

fungsional di daratan, di lautan, dan di perairan adalah lebih tetap berhubungan

dengan upaya mutakhir untuk mendefinisikan ekologi sebagai pengkajian

struktur dan fungsi alam, telah dipahami bahwa manusia merupakan bagian dari

alam (Odum, 1993:3).

Derni (2008:29) menyatakan bahwa bahasa merupakan salah satu

bagian dari lingkungan biosfer tempat tinggal dan hidup maka sudah semestinya

bahasa juga dispekulasikan seturut dengan lingkungan tempatnya berada. Selain

itu, dikatakan bahwa bahasa ketika itu memasuki pelbagai aspek kehidupan

manusia, semestinya pelbagai disiplin ilmu yang terkait dengan beragam aspek

dalam kehidupan manusia bisa melibatkan kajian linguistik pula. Dengan

demikian, penelitian ini dapat mengkaji relasi bahasa dengan lingkungan

setempat bahasa tersebut dipraktikkan ataupun digunakan.

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

42

42

Ekolinguistik bisa dikatakan sebagai paradigma baru yang

dicetuskan oleh Einar Haugen dalam tulisannya Ecology of Language tahun

1972 memberikan pemahaman baru tentang studi ekologi dalam hubungannya

dengan bahasa (antara human mind dan multilingual communities). Dalam

pandangan Haugen, ekologi bahasa adalah kajian tentang interaksi bahasa dan

lingkungannya. Dalam konteks ini, Haugen menggunakan konsep lingkungan

bahasa secara metaforis, yakni lingkungan dipahami sebagai masyarakat

pengguna bahasa, sebagai salah satu kode bahasa. Lingkungan kebahasaan yang

dimaksud bukan bahasa secara keseluruhan, melainkan leksikon-leksikon dan

tataran bahasa yang mengarahkan pada satu pemikiran terkait dengan dunia

referensial pada bahasa yang menyediakan indeks berupa kata-kata yang

memiliki makna dan merujuk pada dunia referensial tersebut. Lingkungan

bahasa yang sebenarnya adalah masyarakat yang menggunakannya sebagai

suatu sistem kode. Bahasa yang dimiliki penutur ada dalam pikiran penutur dan

hanya berfungsi dalam berhubungan dengan sesamanya atau lingkungan sosial

mereka dan dengan lingkungan alam mereka. Dengan demikian, perubahan

lingkungan kebahasaan dan lingkungan eksternal, berubah pula bahasa dan

perbendaharaan leksikon, ungkapan, dan teks-teks lainnya. Bahasa berada hanya

dalam pikiran penuturnya, dan oleh karenanya bahasa hanya berfungsi apabila

digunakan untuk menghubungkan antarpenutur, dan menghubungkan penutur

dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam.

Dengan demikian, ekologi bahasa ditentukan oleh orang-orang yang

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

43

43

mempelajari, menggunakan, dan menyampaikan bahasa tersebut kepada orang

lain.

Sebagai suatu ekosistem kebahasaan, interaksi atau saling

memengaruhi antarbahasa, antardialek dalam suatu bahasa, interaksi

antarpenuturnya dengan lingkungan alam di sekitarnya, dijadikan bahan kajian

yang menarik pula (Haugen, 1972:325). Dalam hubungan timbal balik manusia

dan lingkungan hidupnya, kajian ekologi bahasa juga dapat memberikan

gambaran indeksikal yang dimiliki penutur bahasa tertentu di suatu kawasan.

Masyarakat petani dan peladang, misalnya, akrab dengan perladangan mereka

yang secara indeksikal tercermin pada leksikon dan ungkapan khas yang

mencerminkan dunia botani yang dibudidayakan mereka atau juga flora atau

fauna di sekitarnya (Mbete, 2006:2).

Melalui bahasa, secara khusus perangkat lekikon yang dikategorikan

sebagai nomina tertentu dalam bahasa ibu pula orang mengenal alam dan dunia,

juga kehidupan sosial budaya dengan karakteristiknya sendiri sebagai segala

sesuatu yang ada dan hidup di sekitarnya. Perbendaharaan kosakata suatu bahasa

merefleksikan lingkungan fisik dan lingkungan sosial penutur bahasa tersebut.

Lengkap atau tidak lengkapnya kosakata suatu bahasa memang tampak sebagai

inventarisasi (inventory) kompleks seluruh ide, kepentingan, ketertarikan,

pekerjaan (mata pencaharian) yang menjadi fokus perhatian dari sebuah

komunitas (Sapir, 1912).

Dalam perkembangan selanjutnya kajian ekologi bahasa dikenal

dengan istilah ekolinguistik (Fill & Mühaüsler, 2001:1). Ekolinguistik

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

44

44

merupakan payung istilah terhadap semua studi pendekatan bahasa yang

dikombinasikan dengan ekologi. Rakitan kerangka konsep dan teori

ekolinguistik menggunakan parameter ekologi. Seperti yang diajukan oleh Fill &

Mühaüsler (2001:1) bahwa ada tiga parameter penting yang juga saling terkait,

yakni (1) satuan lingkungan (environment), (2) adanya interaksi (interaction),

dan interelasi atau kesalingterhubungan (interrelation), juga interdependensi

(interdependence) atau kesalingtergantungan di antara semua yang ada, dan (3)

adanya keberagaman (diversity). Parameter-parameter ekolinguistik yang

dikembangkan oleh para ahli dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.1 Parameter Ekolinguistik dan Tokoh Pengembangnya Tokoh Parameter ekolinguistik

Bang dan Døør (1996)

Saling ketergantungan (Interdependency)

Interaktivitas (Interactivity)

Fill (2001)

Keberagaman (Diversity)

Interaksi timbal balik (Mutual interaction)

Keseluruhan (Wholeness)

Kesatuan (Unity)

Kontinuitas (Continuity)

Keberlanjutan (Sustainability)

Biosentrisme (Bio-centrism)

Fill dan Mühlhäusler (2001)

Saling keterhubungan (Interrelationships)

Lingkungan (Environment)

Keberagaman (Diversity)

Stibe (2010)

Interkoneksi (Interconnections)

Kesalingtergantungan (Interdependencies)

Keterhubungan (Relationship)

Isi tabel di atas diuraikan sebagai berikut. Interaktivitas

(interactivity) yaitu interaksi antara guyub tutur dengan lingkungan yang terus

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

45

45

menerus dilakukan, memengaruhi pengetahuan dan pengalaman guyub tutur

yang ada di lingkungan tersebut. Interaksi dan interelasi itu membentuk pola

pikir, pola hidup, dan pengetahuan kebahasaan khususnya pengetahuan leksikon

yang merupakan hasil interaksi antarkeduanya. Interaktivitas yang dilakukan

memunculkan kebergantungan antarguyub tutur dan lingkungannya. Meskipun

demikian, kemungkinan perubahan selalu ada seperti perubahan cara hidup, cara

pikir dan cara berkomunikasi (Bundsgaard and Steffensen, 2000:16).

Stibbe (2015) mendefinisikan ekolinguistik sebagai bidang yang

mengeksplorasi peran bahasa dalam interaksi yang mempertahankan hidup

manusia, spesies lain dan lingkungan fisik. Dalam sebuah buku “Ecolinguistic: A

Story We Live By”, Stibbe membahas ‘cerita atau kisah’ yang memiliki dua

makna utama, yaitu makna kognitif yang mewakili dunia dalam pikiran orang

dan manifestasi linguistik tentang bagaimana bahasa digunakan untuk mencoba

mencapai representasi makna kognitif. Berdasarkan pandangan Stibbe, penelitian

ke-kaghati-an ini mengungkapkan kisah-kisah guyub tutur bahasa Muna sebagai

jati diri suku Muna yang terkandung di dalam bahasa lingkungan ke-kaghati-an,

baik leksikon-leksikon, ungkapan metaforis, ungkapan tabuh, maupun mitos-

mitosnya. Berikut tabel cerita/kisah yang dibahas dalam buku Stibbe (2015).

Tabel 2.2 Ecolinguistic: A Story We Live By

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

46

46

Stibbe menyimpulkan bahwa dengan kembali ke konteks di mana

tertulis bahwa kita hidup dalam waktu yang membutuhkan perubahan jauh di

luar perbaikan teknis, seperti mobil listrik. Waktu itu panggilan untuk perubahan

mendasar, dalam hubungan manusia dengan dunia yang lebih besar

dibandingkan dengan manusia dan satu sama lain. Untuk melakukan perubahan

semacam itu, kita memerlukan cerita baru untuk dijalani. Mungkin,

ekolinguistik, bekerja sama dengan banyak bidang yang muncul, misalnya,

ekopsikologi dan ekohistori yang dapat membantu mengembangkan dan

mempromosikan kisah-kisah itu. Dengan demikian, ekolinguistik kurang

berfokus terutama pada perubahan bahasa, misalnya, mengubah ‘aquarium

animal’ to ‘aquaprison inmate’, dan lebih banyak lagi yang lain dengan

menggunakan pengetahuan kita tentang bahasa untuk mengubah cerita kita dan

orang lain itu menjadi hidup.

Individu mempelajari bahasa ibunya tidak sekali saja, tetapi dalam

jangka waktu lama. Tanpa disadari bahasa yang dipelajari mengikuti dinamika

sosial dan budaya, dan lingkungannya karena adanya penghayatan mendalam

(internalisasi) yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku (bdk. Døør, 1998:42).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jika norma sosial dan budaya

berubah, perubahan pada guyub tuturnya tidak terelakkan. Perubahan tersebut

tidak hanya berakibat buruk, tetapi juga memiliki pengaruh baik berupa

kekayaan pengetahuan leksikon guyub tutur yang beragam. Pengetahuan tentang

keberagaman (diversity) adalah hasil interaksi guyub tutur dengan

lingkungannya. Keberagaman pengetahuan leksikon secara dinamis itu bisa

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

47

47

memengaruhi keberlanjutan ataupun ketidakberlanjutan pengetahuan kognitif

yang dimiliki guyub tutur apalagi dalam proses pewarisan (transmisi)

antargenerasi. Keberlanjutan yang terjadi di dalam suatu lingkungan guyub

tutur bukan hanya meliputi perangkat leksikon, melainkan juga ungkapan dan

tuturan-tuturan yang berkaitan dengan mitos dan ritual. Menurut Mishra

(2000:3), mitos dan ritual digunakan untuk menyelaraskan pemikiran dan

tindakan guyub tutur yang berada di lingkungan tersebut dengan

menghubungkan benda tidak bernyawa (abiotik) dalam benda bernyawa dan

menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang.

Dalam sebuah makalahnya, Haugen (Fill, 2001) memaparkan

adanya hubungan metafora dan ekolinguistik. Haugen memaparkan adanya

interaksi atau hubungan bahasa dengan lingkungan tertentu, dalam hal ini

lingkungan alam. Sejalan dengan pendapat Haugen tersebut di atas, Halliday

(Fill, 2001) memaparkan bahwa ekolinguistik bukan saja berbicara mengenai

bahasa biologi, tetapi lebih dari itu bagaimana kita memaknai bahasa biologi

atau bahasa alam, dan bagaimana peran bahasa dalam sebuah lingkungan atau

ekologi sosial kemasyarakatan. Bahasa lingkungan (ecologycal language) adalah

bentuk verbal yang mengandung makna tentang lingkungan. Tanpa disadari

bahwa elemen-elemen bahasa mengandung makna tentang lingkungan yang

digunakan, atau metafora-metafora bahasa lingkungan, antara lain, dalam

beberapa peribahasa seperti bagaikan air di atas daun talas, seekor cacing

menelan naga, dan masih banyak metafora-metafora yang berhubungan dengan

lingkungan alam. Dalam guyub tutur Muna, terdapat juga metafora yang

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

48

48

berkaitan atau bertalian dengan kaghati. Sebagai contoh o kaghati nokokapongke

yang dapat dimaknai bahwa di dalam kehidupan dibutuhkan adanya

keseimbangan hidup antara satu dengan yang lainnya, misalnya keseimbangan

alam, keseimbangan manusia sebagai individu, dan keseimbangan manusia

sebagai makhluk sosial.

Lingkungan bahasa (language ecology) adalah produk dan kondisi

alam juga ruang (space) tertentu dan bersifat alamiah, sedangkan bahasa

lingkungan (ecological language) adalah produk budaya, produk manusia dan

masyarakat (Mbete, 2013: 2). Ditambahkannya pula, dikaitkan dengan konsep

ekologi, yakni lingkungan alamiah umumnya (jagat raya, buana agung,

macrocosmos) dan lingkungan budaya atau lingkungan khusus manusia (jagat

kecil, buana alit, microcosmos), lingkungan manusia atau sosial budaya ada di

dalam (sistem) lingkungan alam. Saling tergantung, saling terhubung (interelasi),

dan saling aksi antara manusia dan lingkungan hidup di sekitarnyalah dalam

keharmonisan memberi ruang kreasi simbolik manusia itu telah menghasilkan

kebudayaan dan manusia menandainya serta merekamnya secara verbal pelbagai

pengetahuan, pemahaman manusia di lingkungan tertentu dengan

lingkungannya. Dalam kaitannya dengan metafora, ekolinguistik membutuhkan

sebuah pemahaman atau cara pandang atau keterangan ekspresif tentang makna.

Lingkungan bahasa dalam ekolinguistik mengacu pada dua hal, yaitu

(1) lingkungan fisik atau ragawi dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik

meliputi karakter secara geografis seperti topografi wilayah (pantai, lembah,

dataran, dataran tinggi atau pegunungan), iklim, tingkat curah hujan, dan apa

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

49

49

yang disebut sebagai kebutuhan ekonomi dasar manusia yang meliputi, flora,

fauna, sumber-sumber mineral yang dapat menunjang kehidupan manusia.

Lingkungan sosial meliputi berbagai kekuatan masyarakat yang membentuk cara

hidup dan cara berpikir setiap individu. Hal-hal yang penting dalam kekuatan

sosial ini adalah agama, etika, bentuk organisasi politik, dan seni. Dalam

kaitannya dengan lingkungan kebahasaan, Bang & Door (dalam Bundsgaard dan

Steffensen, 2000:10) menjelaskan lingkungan kebahasaan dengan Model

Dimensi Logis berikut.

Ideo-logics socio-logics

Situation:Topos

S1 S2

M Environment S3 O

bio-logics

Gambar 2.1 Model Dimensi Logis

Keterangan gambar:

S1 : Pembuat Teks

S2 : Konsumen/ Pengguna Teks

S3 : Subjek

O : Objek yang dirujuk

Topos : Ruang tempat dan waktu

↔ : Dialog

Model dialog di atas memaparkan bahwa empat konstituen, S1, S2,

S3, dan O terjadi dalam dalam topos (ruang, tempat, dan waktu). Hal tersebut

terjadi dengan latar belakang tiga dimensi praksis sosial, yakni dimensi biologis,

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

50

50

dimensi sosiologis, dan dimensi ideologis. S1 merupakan pembuat teks, yakni

penulis atau penutur. S2 merupakan konsumen teks, pembaca atau mitra tutur.

S3 merupakan subjek konstituen sosiokultural yang diwujudkan atau tidak

berada dalam situasi dialog. O merupakan objek yang dirujuk dalam komunikasi

(Bang dan Door, 1993:3; Bundsgaard, 2000:10). Adapun analisis leksikon dalam

penelitian ini ialah identifikasi gramatikal yang berupa bentuk, dan kategori.

Ketiga dimensi yang tergambar di atas saling berhubungan satu

sama lain. Dimensi ideologis terkait dengan mental individu, mental kolektif,

kognitif, sistem ideologis, dan sistem psikis. Di sisi lain, dimensi sosiologis

terkait dengan cara manusia mengatur hubungannya satu sama lain. Dimensi

biologis berhubungan dengan kolektivitas biologis manusia yang hidup

berdampingan dengan spesies lainnya (hewan, tumbuhan, tanah, laut, dan

sebagainya) (Lindø dan Bundsgaard, ed., 2000: 11). Fenomena bahasa berjalan

secara berkesinambungan dan saling terkait. Bahasa merupakan objek dari tiga

dimensi tersebut (Lindø dan Bundsgaard (ed.), 2000: 11).

Mühlhaüsler (2001), mengatakan bahwa ekologi adalah studi

tentang hubungan timbal balik yang bersifat fungsional. Dua hal yang saling

berkaitan yakni bahasa dan lingkungan, dua hal tersebut yang akan dihubungkan

dan menjadi fokus pada penelitian ekolinguistik. Fokusnya juga tergantung pada

apakah lingkungan bahasa atau bahasa lingkungan, atau bisa saja keduanya.

Mbete (2010:1), memaparkan bahwa ekolinguistik adalah salah satu cabang ilmu

linguistik yang mengkaji tentang bahasa dan lingkungan. Dasar dari kajian

ekolinguistik adalah bahasa, ekologi, dan lingkungan. Ekolinguistik, selain

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

51

51

menekankan bagaimana hubungan fisik dan sosial, juga membedah makna

hubungan bahasa, budaya dan lingkungan.

Bang dan Door (1996: 10) menyatakan bahwa teori linguistik adalah

keterkaitan antara ekologi yang merefleksi manusia dan permasalahan dalam

fenomena bahasa. Teori linguistik juga merupakan teori ekologi, yakni sebuah

pendekatan ekologi yang menyelidiki objek penelitian dalam hubungan dengan

lingkungan sebagai sebuah penyelidikan relasional (Bang dan Door,1996:3).

Bunsdgraard dan Steffensen menjelaskan bahwa ekolinguistik adalah studi

tentang interrelasi dimensi biologis, sosiologis, dan ideologis bahasa (Lindø dan

Bundsgaard, ed, 2000:11).

Dimensi ideologikal menunjukkan adanya hubungan individu

dengan mental kolektif beserta kognitifnya termasuk khazanah pengetahuan

leksikon dan ungkapan, tuturan atau wacana, sistem idelogis dan sistem fisik

dalam arti unsur- unsur material, yang biotik dan yang abiotik seperti air, udara.

Tiap pengetahuan kognitif berupa leksikon, ungkapan dan teks memiliki

keberadaan ideologikal bagi guyub tutur yang berarti keberadaannya mereka

ketahui dapat diproduksi dan digunakan guyub tutur itu sendiri

(Bundsgaard and Steffensen, 2000 :19). Pengetahuan kognitif tiap individu

menunjukkan kuatnya interaksi yang dilakukan yang memengaruhi pola pikir

individu tersebut sehingga memunculkan idelologi yang dijadikan konsep hidup

sebagai akibat hubungan interaksi yang dijaga antara individu dan sekitarnya.

Dimensi sosiologikal, yakni adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus

sosial untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi ini bahasa

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

52

52

merupakan wujud praktis sosial yang bermakna. Dimensi biologikal, yaitu

berkaitan dengan adanya diversivitas (keanekaragaman) biota danau (atau

laut, ataupun darat) secara berimbang dalam ekosistem.

Pengetahuan leksikon sudah ada terlebih dahulu dalam keberadaan

dimensi sosiologikal guyub tutur, dan sudah pernah mereka dengar dalam

situasi dialogikal pada situasi percakapan di dalam praksis sosial (Bundsgaard

and Steffensen, 2000:16). Disebutkan juga istilah neologisme dalam Bundsgaard

dan Steffensen (2000) yaitu sebuah pengetahuan yang terekam dalam ingatan

guyub tutur yang jika diujarkan, niscaya mereka akan masuk ke dalam

lingkungan sosiologikal termasuk sosiologikal ke-kaghati-an guyub tutur di

Pulau Muna. Pengetahuan itu akan menghilang jika tidak dituturkan. Begitu juga

jika guyub tutur aktif memroduksi leksikon-leksikon, ungkapan dan wacana,

rekaman pengetahuan leksikon sebelumnya bisa hilang dalam psikoterapi.

Hubungan yang semakin erat akan memengaruhi pengetahuan-pengetahuan

kognitif setiap individu dan mewakili keberagaman sesuai dengan tingkat

keseringan interaksi yang dilakukan. Misalnya, pembuat atau pelaku kaghati

atau disebut sebagai pande ghati memiliki perangkat leksikon ke-kaghati-an

yang lebih banyak dan khas daripada penutur yang bukan pande ghati walaupun

sama-sama hidup di Pulau Muna. Selain itu, pengetahuan yang dimiliki pande

ghati atau penutur yang hidup di lingkungan ke-kaghati-an berbeda dengan

individu yang hidup di lingkungan tertentu seperti lingkungan kepadian atau

pegunungan.

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

53

53

Leksikon yang terekam melalui proses konseptualisasi dalam

pikiran penutur menjadi leksikon yang fungsional untuk digunakan (Mbete dan

Abdurahman, 2009). Sehubungan dengan itu, penutur bahasa akan

menggunakan leksikon yang ada dalam konseptual mereka jika didukung

dengan lingkungan ragawi yang ada. Sebaliknya, konsepsi leksikal dalam

alam pikiran penutur ini akan berubah jika adanya perubahan lingkungan

ragawi. Perubahan itu terjadi dalam waktu yang cukup lama sehingga

mengakibatkan menghilang atau menyusutnya sejumlah leksikon. Bahkan, pada

komunitas yang dwibahasawan, tidak hanya terjadinya perubahan, tetapi

pergeseran ke konsepsi leksikal bahasa yang lain.

Mbete (2013, 22-23) mengungkapkan bahwa keberagaman khazanah

kata (dan keberagaman bahasa di suatu lingkungan), kendati dalam satu bahasa,

juga berkaitan dengan kondisi lingkungan hidup bahasa tersebut. Pengetahuan

guyub tutur dan guyub kulturnya terekam dan terwaris dalam bahasa-bahasa

yang ada di lingkungan itu. Persepsi tentang lingkungan, demikian juga aksi-

interaksi dengan lingkungan, relasi-interelasi, bahkan dependensi-

interdependensi dengan aneka isi lingkungan, dapat ditemukan, dihimpun,

diklasifikasikan secara taksonomis dan kategoris, serta dapat dikaji dalam

kekaaan bahasa lingkungan sebagai rekaman realitas alam dan budaya, dalam

khazanah kata dan ungkapan, bahkan dalam teks-teks pelbagai bahasa yang

hidup di lingkungan tertentu. Seperti yang diungkapkan oleh Sapir (dalam Fill

dan Mühslhaüsler, eds., 2001:14):

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

54

54

“It is the vocabulary of a language that most clearly reflects the physical

and social environment of its speakers. The complete vocabulary of a

language may indeed be looked upon as a complex inventory of all the

ideas, interests, and occupations that take up the attention of the

community, and were such a complete thesaurus of the language of a

given tribal at our disposal, we right to a large extent infer the

characteristics of the culture of the people making use of it”

Bertolak dari pikiran Sapir, jelas bahwa khazanah leksikon lengkap

yang ada dalam kamus suatu bahasa menggambarkan secara jelas khazanah ide

dan konsep guyub tuturnya tentang ingkungan ragawi dan sosial mereka. Bahkan

thesaurus yang lengkap dapat menengarai karakter lingkungan kealaman dan

kebudayaan guyub tuturnya. Sejalan dengan konsep itu, Bundasgaard &

Steffenson, (2000:19) menerangkan bahwa pada umumnya perangkat leksikon

dan istilah mengandung ideologi dan karena kita memahami kandungan

ideologi-ideologi di dalamnya maka kita menggunakan memroduksikan secara

verbal dalam praktik sosial.

Komunitas bahasa yang mendiami lingkungan keairan di sekitar

sungai-sungai atau danau-danau misalnya, berinteraksi dengan sejumlah

organisme yang hidup di lingkungan sungai atau danau yang secara simbolis

verbal terekam dalam khazanah leksikon, ungkapan-ungkapan, dan dalam cerita

atau dongeng-dongeng tentang dunia kesungaian dan kedanauan. Komunitas

tutur itu, menguasai dan menggunakannya dalam kehidupan sosial-kultural di

lingkungan bahasa itu. Interelasi, interaksi, dan kesalingtergantungan

(interdependensi), bahkan ketergantungan “penuh” komunitas tutur antargenerasi

dengan keanekaragaman hayati dan sumber dayanya itu membentuk cara,

perilaku, pola pikir, dan tentunya ideologi penuturnya dalam konteks sosiologis

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

55

55

dan biologis (Bang and Door, 2000), terekam dan terwaris secara verbal

antargenerasi dalam bahasa-bahasa lokal khususnya.

Ketiga parameter ekoinguistik itu, secara khusus keberadaan dan

kehadiran bahasa-bahasa yang memang harus hadir dengan bersama manusia,

manusia yang juga sangat saling tergantung, berinteraksi, dan berinterelasi

dengan segala sesuatu di lingkungannya itu, menjadikan ekoinguistik sebagai

life-science, ilmu pengetahuan tentang hidup dan kehidupan, dan tentunya

kehidupan yang sehat secara sosioekologis, terawat secara harmonis, dan

berkelanjutan. Sebab sudah menjadi dimensi yang hakiki yang harus ditegaskan

dan ditegakkan ialah bahwa setiap satuan (entitas) yang ada dan hidup di

lingkungan itu setiap individu itu memiliki hak hadir dan hak hidup yang sama.

Sifat dan konsep life science ini setiap bahasa misalnya pun tidak hanya sebatas

mekanisme interelasional dan interaksional antarpenutur, melainkan sebagai

kehidupan komunikasi verbal yang insani-alami. Kehidupan bahasa yang insani

hadir dan hidup antaranggota guyub tutur, insani-alami antara manusia dengan

alam di lingkungan (Bang and Door, 2000:53-55).

Uraian teori ekolinguistik tersebut di atas menegaskan bahwa

perkembangan (inventarisasi) unsur-unsur bahasa merupakan cermin perubahan

ekologi yang menjadi ruang hidup bahasa tersebut. Faktor-faktor ekologi, seperti

lingkungan fisik dan sosial, interaksi, interelasi, interdependensi, dan

keberagaman yang menjadi ruang hidup suatu bahasa merupakan sumber

pengalaman dan sumber belajar bagi penutur bahasa dalam mengkreasi sebuah

satuan-satuan lingual.

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

56

56

2.3.2 Teori Linguistik

Teori linguistik mikro juga dipakai dalam analisis satuan-satuan

lingual khazanah leksikon ke-kaghati-an. Penggunaan teori linguistik mikro

merupakan teori pendukung Ekolinguistik. Beberapa teori linguistik mikro yang

digunakan dalam analisis adalah teori morfologi dan teori semantik. Berikut

adalah penjelasan masing-masing teori tersebut.

2.3.2.1 Morfologi

Membahas tentang bentuk-bentuk lingual leksikon lingkungan alam

merupakan ruang lingkup kajian morfologi, yakni bagian dari ilmu bahasa yang

mempelajari struktur atau bentuk kata. Ramlan (2001) menjelaskan bahwa

morfologi mempelajari seluk beluk struktur kata serta pengaruh perubahan-

erubahan struktur kata terhadap golongan dan arti kata. Dalam analisis bahasa

dan budaya ke-kaghati-an pada guyub tutur Muna, penting diuraikan bentuk-

bentuk linguistik dari sejumlah leksikon yang berhubungan dengan ke-kaghati-

an.

Simpen (2009:12) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk linguistik ada

yang berwujud bentuk kompleks dan ada yang berupa bentuk tunggal.

Bentuk kompleks dibangun oleh beberapa morfem, sedangkan bentuk tunggal

dibangun oleh satu morfem. Di dalam bentuk kompleks, khususnya yang

berwujud kata turunuan selalu ditemukan bentuk asal dan bentuk dasar. Bentuk

asal berbeda dengan bentuk dasar, tetapi adakalanya juga sama.

Kajian morfologi merupakan studi struktur intern kata, Rahyono

(2012:33). Satuan-satuan fonem membentuk satuan-satuan yang lebih besar

Page 38: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

57

57

menjadi satuan terkecil pada tataran morfologi. Satuan terkecil pada morfologi

adalah morfem, sedangkan satuan terbesar adalah kata. Setiap proses morfologis

menghasilkan satuan kata yang menampilkan makna leksikal.

Morfologi merupakan cabang linguistik yang mengidentifikasikan

satuan dasar dan turunan (derivasi) bahasa sebagai satuan gramatikal (Verhaar,

2010:97). Satuan minimum gramatikal atau morfem mengalami proses-proses

morfemis. Morfem dibedakan menjadi morfem bebas yaitu bentuk yang dapat

berdiri sendiri tanpa digabungkan dengan bentuk lain. Morfem bebas inilah

mencakupi leksikon atau kata, sedangkan morfem terikat yaitu morfem yang

tdak dapat berdiri sendiri dan dapat melebur dengan morfem lain (Verhaar,

2010:10).

Berdasarkan satuan gramatikal, kata memiliki bentuk-bentuk

yaitu kata tunggal dan kata kompleks (hasil derivasi seperti afiksasi,

reduplikasi, abreviasi), dan bentuk majemuk (Kridalaksana, 2008:35). Proses

berubahnya leksem menjadi kata disebut afiksasi (Kridalaksana, 1989:28). Jenis-

jenis afiks antara lain prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks. Prefiks dalam bahasa

Muna yaitu ka-, bha-, po-, se-, ti-, para-, me-, manso-, feka-, ko-, si-, ta-, mo-,

sa-, ni-, dan fo-. Sufiks dalam bahasa Muna yaitu –i, -ghoo, dan –ha. Infiks

dalam bahasa Muna yaitu -um-, dan -in-. Selain afiks, terdapat kata ulang dan

bentuk ulang menyerupai kata ulang tetapi bukan hasil dari proses pengulangan

karena bentuk ulang tidak memiliki bentuk dasar atau asal. Bentuk kompleks

yang terakhir adalah kata majemuk.

Page 39: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

58

58

2.3.2.2 Semantik

Studi semantik dikembangkan oleh para pakar filsafat linguistik

yang didasarkan pada persoalan makna dalam bentuk hubungan antara bahasa

(ujaran), pikiran, dan realitas di alam. Semantik adalah cabang linguistik

mengkaji makna (Verhaar, 2010:385). Bidang semantik dibagi menjadi semantik

leksikal dan semantik gramatikal. Dalam penelitian ini hanya digunakan

semantik leksikal. Semantik leksikal menyangkut makna antarleksikon yang

terhubung (relasi leksikal) dalam bidang leksikon tertentu (lexical field) seperti

istilah dalam pertambangan, kedokteran, pelayaran, dalam kegiatan memasak

dan mendaki gunung yang mengkhusus, saling berhubungan seperti jaringan

(network) (Saeed, 1997:63).

Leksikal adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari leksikon yang

merupakan bentuk nomina (kosakata, pembendaharaan kata). Berdasarkan

pendapat Chaer (2002:60), satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan kata

yang memiliki makna. Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai

makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau kata. Hal ini didukung oleh

pendapat Lyons (1995:47) berikut ini: ‘The noun ‘lexem’ is of curse related to

the words ‘lexical’ and ‘lexicon’, (we can think of ‘lexicon’ as having the same

meaning as vocabulary or dictionary). Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui

bahwa leksem, leksikal, dan leksikon saling berhubungan.

Leksikal adalah satuan terbesar dalam leksikon yang merupakan

konstituen semantis yang secara struktural berupa kata, sedangkan leksikon

Page 40: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

59

59

adalah keseluruhan kosakata yang ada dalam sebuah bahasa, Rahyono

(2012:37).

Selain itu, guna memecahkan masalah dalam penelitian ini segitiga

makna yang dikemukakan Ogden dan Richards (1923) juga digunakan. Segitiga

makna yang menghubungkan lambang (symbol), citra makna (reference) dan

objek (referent) untuk menjelaskan makna entitas-entitas khususnya makna

referensial yang merujuk pada sesuatu di luar bahasa. Berikut segitiga makna

yang dikemukakan oleh Ogden dan Richards.

(b) citra makna (reference)

(a) lambang (symbol) (c) objek (referent)

Simbol adalah kata yang merujuk benda, orang, kejadian melalui

pikiran yang bersifat impersonal dan harus diverifikasi dengan fakta (Parera,

2004:29). Reference adalah sesuatu yang tersimpan atau terbayang dalam pikiran

penutur tentang objek, peristiwa, dan fakta karena adanya simbol. Referent

adalah objek, peristiwa, fakta yang berkaitan dengan pengalaman manusia,

dalam hal ini pengalaman dan pengetahuan guyub tutur bahasa Muna tentang

lingkungan khususnya di lingkungan ke-kaghati-an. Segitiga makna yang

dikemukakan Ogden dan Richards (1923) terbatas pada acuan yang masih ada di

lingkungan tertentu sebagai rujukan dari perbendaharaan kata yang dimiliki

guyub tutur sehingga kata yang hanya tinggal dalam pikiran guyub tutur tidak

Page 41: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

60

60

bisa dijelaskan dalam segitiga makna karena entitas yang menjadi acuan sudah

tidak ada dalam realitas lingkungan tertentu.

2.3.3 Teori Linguistik Kebudayaan

Teori lain yang mendukung teori Ekolinguistik untuk membedakan

dan menemukan makna bahasa berkaitan dengan aspek sosial kultural di

lingkungan ke-kaghati-an serta untuk menggali leksikon-leksikon ke-kaghati-an

yang dimiliki oleh penutur tua yang hidup di lingkungan ke-kaghati-an, adalah

teori antropolinguistik yang oleh Palmer (1976:14) disebut Linguistik

Kebudayaan. Menurut Sibarani (1993:128), Linguistik kebudayaan adalah

cabang ilmu lingustik yang mengkaji variasi dan pemakaian bahasa berkaitan

dengan pola kebudayaan, ciri-ciri bahasa yang berhubungan dengan

kelompok sosial, agama, pekerjaan dan kekerabatan. Fokus sasaran dalam

linguistik kebudayaan adalah pengkajian makna sebagai cerminan budaya untuk

mengetahui suatu pemahaman budaya dalam kelompok masyarakat berkaitan

dengan pandangan seseorang pada dunia (Palmer, 1996:10-26; Foley, 1991:5).

Dalam kaitannya dengan komunikasi, kebudayaan disebut sebagai sistem tanda

yang mengandung arti bahwa kebudayaan adalah representasi dunia

(Sibarani, 2004:48). Walaupun kebudayaan dikatakan sebagai representasi dunia

bukan berarti seseorang yang mempelajari atau mengalaminya mengenal semua

yang ada di dunia mengenal dunia yang mereka dalami saja dan memengaruhi

cara berpikir dan cara hidup mereka. Menurut Duranti (1997:86), guyub tutur

cenderung memiliki pandangan dunia berdasarkan pengetahuan dan

Page 42: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

61

61

pengalamannya. Termasuk di dalam pengertian ini adalah dunia atau lingkungan

ke-kaghati-an yang dialami sebagai hasil interelasi, interaksi dengan lingkungan

tertentu.

Pandangan mengenai hubungan antara bahasa dan kebudayaan

dikemukakan pula oleh Wierzbicka (1991) yang secara tegas mengatakan bahwa

gambaran nyata mengenai hubungan empirik dan teoritik antara bahasa dan

kebudayaan berpatokan pada tiga kata kunci, yakni (1) masyarakat/guyub, baik

guyub tutur maupun guyub budaya; (2) cara berinteraksi; dan (3) nilai budaya.

Guyub berbeda memperlihatkan cara berinteraksi yang berinteraksi yang

berbeda, yang juga memperlihatkan nilai budaya yang berbeda.

2.4 Model Penelitian

Model penelitian merupakan suatu gambaran dan pedoman kerja bagi

peneliti agar alur berpikir peneliti tetap berfokus pada masalah dan teori yang

mendukung dalam pencapaian hasil penelitian yang dimaksud. Berikut ini adalah

model penelitian yang menggambarkan penelitian bahasa lingkungan

ke-kaghati-an guyub tutur bahasa Muna.

Page 43: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

62

62

Model Penelitian:

Ekologi Guyub Tutur Muna

Kebudayaan Muna Permainan Rakyat

Kaghati

Bahasa Lingkungan Ke-Kaghati-an

Guyub Tutur Bahasa Muna

Bentuk dan Kategori Khazanah Leksikon Dinamika Faktor-Faktor

Lingual Ke-Kaghati-an Ke-Kaghati-an Dinamika

Ke-Kaghati-an

Leksikalisasi,

Gramatikalisasi,

Tekstualisasi Teori Utama:

Teori Ekolinguistik

Teori Penunjang:

1) Teori Linguistik (Morfologi dan Semantik)

2) Teori Linguistik Kebudayaan

Data

Observasi Metode

Wawancara Temuan Analisis

Kuesioner

Hasil

Gambar 2.4 Model penelitian

Keterangan:

: Saling berhubungan dengan

: Saling memengaruhi

: Arah analisis struktur

Page 44: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......21 21 Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain

63

63

Berdasarkan kerangka model penelitian di atas, dapat dijelaskan

bahwa topik tentang bahasa lingkungan ke-kaghati-an guyub tutur bahasa Muna,

terdapat empat rumusan masalah, yakni: 1) bentuk dan kategori lingual ke-

kaghati-an; 2) khazanah leksikon ke-kaghati-an; 3) dinamika pemahaman

khazanah leksikon, ungkapan metafora, falia, mitos ke-kaghati-an antargenerasi;

dan 4) faktor-faktor dinamika khazanah leksikon ungkapan metafora, falia, mitos

ke-kaghati-an antargenerasi. Keempat rumusan masalah tersebut dianalisis

dengan menggunakan teori utama, yaitu teori ekolinguistik dan ditunjang dengan

beberapa teori, yaitu teori linguistik, dan teori linguistik kebudayaan, Rumusan

masalah pertama dikaji dengan teori linguistik, khususnya morfologi dan

semantik, masalah kedua menggunakan teori ekolinguistik berdasarkan model

Bang & Door dan didukung dengan teori linguistik kebudayaan untuk

menjelaskan keberadaan entitas yang dirujuk sudah dan hanya tertinggal di

ingatan penutur tua saja. Masalah ketiga dan keempat dikaji dengan teori

ekolinguistik dengan menggunakan model dimensi logis oleh Bang dan Door,

dibantu dengan teori linguistik kebudayaan. Berdasarkan teori tersebut, untuk

mendapatkan data di lapangan digunakan teknik observasi dan wawancara.