bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori ......21 21 liang kobori, kecamatan lohia, kabupaten...
TRANSCRIPT
20
20
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka memuat uraian sistematis tentang teori-teori dasar
dan konsep atau hasil-hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti terdahulu
dan yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan. Hasil-hasil
penelitian yang relevan dan patut dikaji berkaitan dengan objek penelitian ini
dapat diuraikan sebagai berikut.
Bieck (2003) menulis artikel yang berjudul “The First Kiteman”
pada sebuah majalah di Jerman. Bieck tertarik untuk meneliti layang-layang atau
kaghati yang ada di Pulau Muna berawal ketika kaghati kolope menjuarai
festival layang-layang internasional pada tahun 1997 yang diadakan di Perancis
dan berhasil mencuri perhatian komunitas layang-layang internasional. Salah
satunya adalah Wolfgang Bieck, seorang warga negara Jerman yang merupakan
Consultant of Kite Aerial Photography Scientific Use of Kite Aerial
Photography.
Pada tahun 1997, Bieck berkunjung ke Pulau Muna untuk
melakukan penelitian lebih dalam mengenai kaghati kolope. Di Muna, Bieck
menemukan fakta menarik dari tradisi permainan layang-layang yang ternyata
telah dikenal oleh Suku Muna sejak ribuan tahun lalu. Fakta ini dibuktikan oleh
sebuah lukisan prasejarah di dinding Gua Sugi Patani yang terletak di Desa
21
21
Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Lukisan
tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain layang-layang di dekat
pohon kelapa. Kebenaran tentang hasil penelitian yang dilakukan oleh Bieck
sangat bergantung pada usia pasti lukisan di Gua Sugi Patani tersebut. Selain itu,
sangat diperlukan adanya penelitian lebih lanjut oleh para ahli arkeologi untuk
lebih meyakinkan secara keilmuan tentang usia lukisan tersebut
(https://munabaratnewsblog.wordpress.com).
Hasil penelitian Bieck tentang kaghati hanya terfokus pada sejarah
kaghati yang ada di Pulau Muna, khususnya di Desa Liang Kobori tempat
lukisan prasejarah Suku Muna. Berdasarkan temuannya, Bieck menyimpulkan
dan mengklaim bahwa layang-layang tertua di dunia berasal dari Muna,
Indonesia. Bieck percaya bahwa usia lukisan tersebut lebih tua dibandingkan
usia permainan layang-layang di negeri Tiongkok yang diperkirakan telah
berumur sekitar 2.400 tahun. Bieck kemudian menuliskan hasil penelitiannya
dalam sebuah artikel di tahun 2003.
Marafad (2007) menulis tentang “Layang-Layang Tradisional Suku
Bangsa Muna, Sang Juara Dunia”. Tulisan ini mengkaji layang-layang
tradisional suku bangsa Muna dari sudut pandang proses pembuatan dan
permainannya. Tulisan ini mendeskripsikan gambaran umum layang-layang
tradisional Muna, menjelaskan bahan baku, proses pembuatan layang-layang,
bagaimana sifat-sifat layang-layang pada waktu mengangkasa, bentuk-bentuk
layang-layang, proses perakitan, pantangan-pantangan, waktu permainan, pelaku
layang-layang, sanksi pelanggaran aturan main, manfaat bermain layang-layang
22
22
yang terbagi dua yaitu segi positif dan segi negatif, dan terakhir adalah gambaran
proses ritual.
Selanjutnya, La Kandi (2013) mengadakan penelitian berjudul
“Permainan Kaghati Roo Kolope dalam Etnik Muna (Kajian Bentuk, Makna, dan
Nilai)”. Penelitian La Kandi mengkaji dan memahami, serta mendeskripsikan
permainan kaghati roo kolope, makna simbolik yang terkandung dalam bentuk
kaghati roo kolope, dan nilai-nilai yang terkandung dalam permainan kaghati
roo kolope dalam masyarakat etnik Muna.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa permainan kaghati roo
kolope dalam masyarakat etnik Muna tidak diketahui secara pasti kapan
keberadaannya. Namun, dalam penjelasan beberapa mitos dapat memberikan
gambaran bahwa keberadaannya telah ada sejak ribuan tahun yang lampau pada
zaman manusia purba. Ditinjau dari bentuknya, bentuk kaghati roo kolope
dalam masyarakat Muna meliputi lima bentuk, yaitu bentuk bhangkura, mponisi,
ngkasopa, kadompa, dan bentuk ngkalei. Kemudian, makna simbol budaya
dalam bentuk kaghati roo kolope pada etnik Muna, dan selanjutnya adalah nilai-
nilai yang terkandung dalam permainan kaghati roo kolope yang ditemukan ada
enam nilai, yaitu nilai historis yang berhubungan dengan sejarah, nilai religious,
nilai seni yang berhubungan dengan keindahan, nilai solidaritas yang
berhubungan dengan persatuan, nilai perjuangan yang berhubungan dengan
usaha yang diperjuangkan, dan nilai ekonomi yang berhubungan dengan
keuangan dan kemakmuran.
23
23
Muthalib (2015) meneliti “Tinjauan Sejarah tentang Kaghati dalam
Masyarakat Muna”. Dalam penelitiannya, Muthalib mengkaji tentang latar
belakang adanya kaghati pada masyarakat Muna, bahan-bahan yang digunakan
dalam pembuatan kaghati, serta jenis-jenis kaghati pada masyarakat Muna.
Fokus kajian penelitiaannya adalah bentuk, makna, dan nilai.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa latar belakang adanya
kaghati pada masyarakat Muna, yaitu sejak dahulu kala. Layang-layang
dierkirakan ahir sejak manusia di Pulau Muna mengenal budaya cipta.
Penciptaan layang-layang atau kaghati erat kaitannya dengan kebutuhan manusia
tentang hiburan, kebutuhan manusia akan komunikasi, dan kebutuhan manusia
akan teman. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan kaghati adalah (1)
wulu (bambu buluh); (2) patu (betung); (3) towulambe (tebu hutan); (4) bhontu
(pohon waru); (5) roo kolope (daun gadung); (6) roo paranggi (daun nanas
hutan); dan (7) bhale (daun palma). Jenis-jens kaghati pada masyarakat Muna,
yaitu (1) jenis bhangkura, yaitu berbentuk wajik; (2) jenis mponisi, yaitu
berbentuk guci; (3) jenis ngkasopa, yaitu berbentuk bulat; (4) jenis kadampa,
yaitu berbentuk kepala yang lancip; dan (5) jenis ngkalei, yaitu berbentuk daun
pisang.
Keempat penelitian di atas memiliki kontribusi yang signifikan,
memberikan inspirasi awal, dan pedoman sederhana bagi penulis yang
menjadikan hasil-hasil penelitian tersebut sebagai bahan rujukan untuk
membedah dan mengidentifikasi data-data leksikon bahasa Muna, khususnya di
lingkungan ke-kaghati-an. Terkait dengan penelitian ke-kaghati-an ini yang
24
24
lebih menitikberatkan pada bentuk dan kategori leksikon, khazanah leksikon
biotik dan abiotik, dinamika pemahaman antargenerasi, dan faktor-faktor
pemengaruh dinamika antargenerasi dengan menggunakan teori ekolinguistik,
teori linguistik, dan teori linguistik kebudayaan menjadi penelitian baru yang
belum pernah dilakukan oleh Bieck (2003), Marafad (2007), La Kandi (2013),
dan Muthalib (2015).
Rasna (2010) mengadakan penelitian berjudul “Pengetahuan dan
Sikap Remaja terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng
dalam Rangka Pelestarian Lingkungan: Sebuah Kajian Ekolinguistik”. Dalam
penelitiannya, Rasna mengkaji pengetahuan tanaman obat tradisional dengan
menggunakan tes kompetensi leksikal tanaman obat dan sikap remaja terhadap
tanaman obat. Penelitian Rasna dilakukan di Bali, tepatnya di 25 desa yang
terletak di sembilan kecamatan di Buleleng dengan total informan sebanyak 125
orang. Metode yang digunakan adalah wawancara dengan bantuan kuesioner
terstruktur. Kajian yang digunakan dalam penelitian itu adalah kajian
ekolinguistik.
Temuan dalam penelitiannya menyatakan bahwa pengetahuan para
remaja tentang tumbuhan dan tanaman obat masih kurang, baik remaja desa
maupun remaja kota. Kurangnya perhatian ini terlihat pada ketidaktahuan para
remaja desa dan kota terhadap pohon atau tanaman yang ditanyakan dalam daftar
pertanyaan model A. Ketidaktahuan tersebut menunjukkan interaksi yang jarang
dilakukan antara remaja dan lingkungannya, bahkan mungkin sudah tidak pernah
terjadi interaksi antara para remaja dengan lingkungan tanaman obat. Penyusutan
25
25
leksikal tanaman obat pada para remaja dipengaruhi oleh faktor sosio-kultural,
sosio-ekologis, dan sosio-ekonomi.
Mbete (2002) menulis artikel berjudul “Ungkapan-ungkapan Verbal
dalam Bahasa Lio dan Fungsinya dalam melestarikan lingkungan”. Mbete
mengkaji bentuk, makna, dan fungsi yang terkandung dalam ungkapan verbal
yang berkaitan dengan pemeliharaan lingkungan. Penelitian Mbete
menggunakan kajian linguistik kebudayaan untuk menjawab permasalahan,
khususnya etnografi berbahasa yang membedah bahasa dan konteks sosial
budaya tertentu.
Sumber data dalam penelitian Mbete berupa bahasa lisan seperti
tuturan para tetua adat, para tetua kampung, para orang tua yang hadir dalam
konteks adat Po’o (upacara menolak hama), wacana pertemuan dibalai desa,
tuturan para orang tua khususnya bapak-bapak, dan wacana/ungkapan lainnya.
Konteks budaya yang disasar dalam penelitian Mbete mencakup situasi
pelasanaan ritual Po’o, situasi keseharian, dan situsi pengolahan lahan garapan.
Teknik yang digunakan adalah teknik wawancara untuk mendapatkan data
tentang makna harfiah dan makna per glos.
Temuan dalam penelitian Mbete berupa ungkapan verbal yang
berfungsi dalam pelestarian lingkungan yang terdiri atas (1) ungkapan yang
berkaitan dengan alam semesta; (2) ungkapan yang berkaitan dengan
penggarapan lahan; (3) ungkapan yang berkaitan dengan pelestarian hutan
lindung mini dan sumber air; (4) ungkapan yang berkaitan dengan pelestarian
pantai dan laut; (5) ungkapan yang berkaitan dengan pemeliharaan dan
26
26
keserasian; dan (6) ungkapan yang berkaitan dengan hubungan antarsesama
warga etnis Lio.
Sukhrani (2010) mengadakan penelitian berjudul “Leksikon Nomina
Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik”.
Penelitian Sukhrani mengkaji pemahaman leksikon guyub tutur bahasa Gayo
yang berhubungan dengan lingkungan ragawi Danau Lut Tawar, perangkat
leksikon nomina, verba, dan adjektiva menyangkut lingkungan ragawi Danau
LutTawar, dan dinamika lingkungan budaya kedanauan, kebertahanan, dan
pergeseran leksikon bahasa Gayo di lingkungan Danau Lut Tawar. Data
dianalisis dengan menggunakan teori ekolinguistik dan teori pergeseran dan
pemertahanan bahasa. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.
Hasil analisis menunjukkan bahwa berbagai pengetahuan lokal dan
kearifan ekologi masyarakat Gayo di sekitar Danau Lut Tawar telah banyak yang
hilang, terutama pada nama-nama biota Danau Lut Tawar dan istilah-istilah
dalam teknologi tradisional perikanan. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai
faktor cara pandang masyarakat yang berlebihan terhadap merebaknya ilmu
pengetahuan dan teknologi modern yang diajarkan pada pendidikan formal
modern dan tidak adanya pewarisan pengetahuan lokal dan kearifan ekologi dari
generasi tua kepada generasi selanjutnya. Hal tersebutlah yang mengakibatkan
terjadinya erosi bahasa ibu, kemudian berlanjut menjadi erosi pengetahuan lokal
dan kearifan ekologi, pada akhirnya terjadi berbagai bencana ekologi.
Baru (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Khazanah Leksikon
Alami Guyub Tutur Karoon: Kajian Ekoleksikal” mengkaji tingkat pengetahuan
27
27
dan pemahaman leksikon Guyub Tutur Karoon yang berhubungan dengan
lingkungan alam dan faktor-faktor yang memengaruhi dinamika perkembangan
leksikon alami bahasa Karoon. Landasan teori yang digunakan adalah
ekolinguistik dan semantik leksikal. Penelitian Baru menggunakan dua
pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif untuk menjawab faktor-faktor yang
memengaruhi perkembangan bahasa Karoon, sedangkan pendekatan kuantitatif
untuk menjelaskan pengetahuan leksikon dan pemahaman manfaat tumbuhan
dan hewan melalui indikator-indikator yang telah ditetapkan. Melalui indikator
tersebut dapat diperoleh gambaran leksikon-leksikon tumbuhan dan hewan yang
masih bertahan atau mengalami penyusutan berdasarkan jumlah perhitungan
persentase.
Laza (2012) dengan penelitiannya yang berjudul “Khazanah
Leksikon dan Budaya Keladangan Masyarakat Tolaki: Kajian Ekolinguistik”,
mengkaji leksikon bahasa Tolaki dialek Konawe yang berhubungan dengan
lingkungan ladang, perangkat leksikon nomina, verba, adjektiva, ungkapan yang
berhubungan dengan lingkungan ladang Konawe, dan dinamika budaya dan
pelestarian leksikon bahasa Tolaki dalam lingkungan ladang Konawe. Teori
yang digunakan dalam penelitian Laza adalah teori ekolinguistik dan teori
sosiolinguistik, tepatnya pergeseran dan pemertahanan bahasa. Pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan kualitatif.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa (1) leksikon keladangan
bahasa Tolaki terbagi dalam beberapa bagian leksikon, yaitu: pengolahan
ladang, penanaman, pembersihan, perkembangan, pemotongan, pengolahan
28
28
padi jadi beras, jenis-jenis padi, peralatan ladang, memasukkan padi di
lumbung, dan jenis makanan dan olahannya; (2) perangkat leksikon bahasa
Tolaki lingkungan ladang terbagi dalam beberapa bagian, yaitu kata benda, kata
kerja, kata sifat, dan ungkapan; dan (3) dinamika budaya masyarakat Tolaki
terbagi dalam beberapa bagian, yaitu pergeseran fungsi dan makna budaya, dan
upaya pelestarian leksikon keladangan masyarakat Tolaki di Kabupaten
Konawe.
Tangkas (2013) dengan penelitiannya yang berjudul “Khazanah
Verbal Kepadian Komunitas Tutur Bahasa Kodi, Sumba Barat Daya: Kajian
Ekolinguistik”. Penelitian itu menerapkan model dimensi logis pada teori
ekolingistik. Berdasarkan arah penelitian, penelitian itu menggali fungsi
khazanah verbal kepadian dengan menggunakan dimensi logis yang terdiri atas
dimensi ideologis, sosiologis, dan dimensi biologis yang mencakup lingkungan
sosial, budaya, dan lingkungan alam.
Hasil analisis menunjukkan bahwa ekoleksikon kepadian meliputi
leksikon kepadian tahap pratanam, tahap tanam, dan leksikon kepadian tahap
pascatanam. Leksikon-leksikon kepadian tersebut terdiri atas kata dan gabungan
kata. Leksikon kepadian yang berbentuk kata dibedakan atas verba dan nomina,
sedangkan leksikon kepadian yang berbentuk gabungan kata dibedakan atas
gabungan kata predikatif, kata majemuk, ungkapan, dan frase.
Penelitian khazanah verbal kepadian tersebut juga menekankan pada
aspek fungsi dan makna. Khazanah verbal kepadian yang berfungsi dan
bermakna ideologis berupa pengharapan hujan, pengharapan padi tumbuh
29
29
dengan baik, pengharapan bebas hama penyakit, pengharapan kelancaran dalam
tahap pascatanam, dan pengharapan hasil panen berlimpah. Khazanah verbal
kepadian yang berfungsi dan bermakna sosiologis keselarasan hubungan antara
manusia dan Tuhan Yang Mahaesa, keselarasan hubungan antara manusia dan
arwah leluhur, keselarasan hubungan antara manusia dan dewi padi, keselarasan
hubungan manusia dan arwah-arwah di sekitar ladang, keselarasan hubungan
antarmanusia, dan keselarasan hubungan antara manusia dan kampung halaman,
keselarasan hubungan antara manusia dan seluruh ladang.
Marafad (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Kebertahanan
Kosakata Bahasa Daerah Wuna dalam Lingkungan Tumbuhan Kowala (Aren) Di
Kecamatan Watopute, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara”. Teori yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teori ekolinguistik dan teori pemertahanan
bahasa. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif
untuk menjawab faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan bahasa Wuna,
sedangkan pendekatan kuantitatif untuk menjelaskan pengetahuan kosakata dan
pemahaman manfataan tumbuhan kowala melalui indikator-indikator yang telah
ditetapkan. Melalui indikator tersebut dapat diperoleh gambaran leksikon-
leksikon tumbuhan dan hewan yang masih bertahan atau mengalami penyusutan
berdasarkan jumlah perhitungan persentase.
Responden yang dipilih dalam penelitian Marafad sebanyak 100
orang yang berdomisili di Kecamatan Watopute. Responden dibedakan
berdasarkan usia dan jenis kelamin. Leksikon tumbuhan dan hewan sebanyak
200 leksikon diujikan kepada para responden. Leksikon tersebut disiapkan dalam
30
30
bentuk pilihan ganda. Pengujian kompetensi leksikon dibagi menjadi dua, yaitu
pengujian pengetahuan leksikon tumbuhan dan hewan dan pengujian
pengetahuan manfaat tumbuhan dan hewan. Ada enam indikator yang digunakan
oleh Marafad untuk pengujian kompetensi leksikon, antaralain (1) tahu, kenal,
diakrabi dengan baik dan sampai sekarang jumlah atau referennya masih banyak;
(2) tahu, kenal, diakrabi dengan baik, tetapi jumlah atau referennya sudah mulai
berkurang; (3) tahu, tetapi tidak kenal dan diakrabi dengan baik; (4) tidak tahu,
tetapi pernah atau sering mendengar namanya (karena jarang dilihat atau
didengar, bahkan sudah hilang atau punah); (5) tidak tahu dan tidak pernah
melihat dan mendengar namanya; dan (6) tidak tahu, tetapi pernah atau sering
menggunakan bentuk leksikonnya dalam percakapan. Berdasarkan akumulasi
indikator di atas dapat dihasilkan jumlah presentasi yang dicocokkan dengan
tingkatan persentase yang telah ditentukan.
Nuzwaty (2014) dengan penelitiannya berjudul “Keterkaitan
Metafora dengan Lingkungan Alam pada Komunitas Bahasa Aceh di Desa
Trumon Aceh Selatan: Kajian Ekolinguistik”. Dari hasil penelitiannya
ditemukan hal-hal sebagai berikut: (1) secara linguistik metafora yang
dipergunakan masyarakat tutur terbentuk dari kelas kata yang bervariasi dan
membentuk frasa yang bervariasi pula; (2) metafora yang digunakan diklasifikasi
berdasarkan kesepakatan masyarakat tutur secara konvensional; dan (3)
Interdependensi antara flora-fauna dan benda ataupun manusia sangat bertalian
dengan kondisi dan perilaku sebagai ranah target melalui proses pemetaan
silang dan berlokasi pada mental dan kognisi anggota masyarakat tutur yang
31
31
kemudian direalisasikan dalam komunikasi verbal tutur. Perbedaannya
Nuzwaty membicarakan tentang metafora masyarakat tutur secara konvensional
berdasarkan penetaan silang lokasi, sedangkan peneliti mengkaji tentang bahasa
lingkungan ke-kaghati-an guyub tutur bahasa Muna.
Faridah (2014) dengan penelitian berjudul Khazanah Ekoleksikal,
Sikap, dan Pergeseran Bahasa Melayu Serdang: Kajian Ekolinguistik..
Berdasarkan hasil penelitiannya ditemukan (1) bentuk dan kategori leksikal,
yakni (a) leksikal dasar berkategori nomina, (b) leksikal dasar berkategori verba,
dan (c) leksikal dasar berkategori adjektiva. Secara semantik bentuk leksikal
dibedakan atas yang bernyawa nonhuman dan tidak bernyawa nonhuman.
Sementara itu, makna dibedakan atas makna leksikal, makna referensial
eksternal, makna budaya, dan makna filosofis.
Di samping itu, perubahan lingkungan penutur pada mulanya kaya
akan leksikal flora dan fauna sesuai dengan ekoregion pada masa itu, banyaknya
hutan lebat tempat flora dan fauna, seiring dengan waktu saat ini tidak
ditemukan lagi hutan lebat tempat flora dan fauna itu bermukim. Korelasi
pengetahuan dan sikap penutur muda dan tua sangat signifikan. Selain itu, dalam
sikap dan pergeseran bahasa terdapat tiga kategori sikap positif, yakni bangga,
setia, dan sadar terhadap BMS tidak lagi dimiliki oleh penutur muda, namun
sebaliknya memiliki sikap negatif. Penutur usia muda tidak lagi
menggunakannya dan beralih menggunakan bahasa BI karena domisili BI,
kebutuhan untuk mecari pekerjaan. Hanya penutur usia tua yang masih setia
menggunakan BMS, sehingga hal ini menjadi pemicu pergeseran ke BI.
32
32
Sarmi (2015), dengan penelitiannya berjudul “Khazanah Leksikon
Lingkungan Alam dalam Dinamika Guyub Tutur Bahasa Using: Kajian
Ekolinguistik”. Berdasarkan hasil penelitiannya ditemukan (1) keberagaman
leksikon lingkungan alam bahasa Using meliputi: (a) bentuk-bentuk lingual
leksikon lingkungan alam; (b) keberagaman leksikon berdasarkan kategori; (c)
keragaman cara penamaan dan relasi makna; (2) dinamika pemahaman dan
penggunaan leksikon lingkungan alam antargenerasi; (3) faktor-faktor penyebab
tingkat pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam meliputi faktor
kebahasaan dan faktor penutur. Teori yang digunakan untuk membedah
kajiannya adalah teori ekoliguistik, teori perubahan bahasa, teori morfologi, dan
teori semantik.
Terkait dengan penelitian yang dilakukan penulis, kesemua hasil
penelitian oleh Rasna, Mbete, Sukhrani, Laza, Baru, Tangkas, Marafad,
Nuzwaty, Faridah, dan Sarmi walaupun bahasa yang digunakan sebagai objek
dalam penelitian-penelitian di atas tidak sama dengan bahasa yang menjadi
objek penelitian penulis (terkecuali penelitian oleh Marafad), penelitian-
penelitian tersebut dapat dijadikan kajian pustaka yang memberikan banyak
sumbangan dalam penelitian penulis. Hal itu mengingat pembahasan
pengetahuan dan pemertahanan leksikon dengan menggunakan teori
Ekolinguistik dapat memberikan pijakan, kontribusi dalam penelitian ini
dalam membedah data di lapangan terkait dengan bahasa lingkungan ke-kaghati-
an guyub tutur bahasa Muna di di Pulau Muna yang juga mengkaji tentang
lingkungan dan bahasa.
33
33
2.2 Konsep
Konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, apapun di luar
bahasa, dan yang membutuhkan penggunaan akal budi untuk memahaminya
(Kridalaksana, 2008). Adapun konsep-konsep yang menjadi piranti
konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
2.2.1 Leksikon
Leksikon adalah perbendaharaan kata yang dikonsepkan sebagai
kekayaan kata atau khazanah kata yang dimiliki para pengguna bahasa.
Selanjutnya, untuk pemahaman lebih jelas harus dilihat juga konsep “leksikon”
menurut Kridalaksana (2008:142), yakni (1) komponen bahasa yang memuat
semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa; (2)
Kekayaan kata yang dimiliki oleh seorang pembicara, penulis, atau suatu bahasa;
kosakata; perbendaharaan kata; dan (3) daftar kata yang disusun seperti kamus,
tetapi dengan penjelasan yang singkat dan praktis. Leksikon dapat pula
dikategorikan menjadi dua bentuk, yakni leksikon aktif (active vocabulary),
kekayaan kata yang biasa dipakai oleh seseorang, dan leksikon pasif (passive
vocabulary), kekayaan kata yang dipahami seseorang tetapi tidak pernah atau
jarang dipakainya. Leksikon tersebut merupakan inventaris bahasa yang
diwariskan secara turun-temurun (Fill dan Muhlhausler, 2001:14). Booij
(2007:16) memiliki pendapat lebih spesifik mengenai leksikon sebagai berikut
‘the lexicon specifies the properties of each word, its phonological form, its
morphological, and syntactic properties, and its meaning’. Berdasarkan kutipan
34
34
tersebut, leksikon dianggap dapat menentukan sifat dari setiap kata, bentuk
fonologi, sifat morfologi, dan sintaksis, serta makna leksikon tersebut.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
leksikon adalah kosakata atau komponen bahasa yang memuat semua informasi
tentang makna pemakaian kata dalam bahasa, seperti perilaku semantik,
sintaksis, morfologis, dan fonologisnya atau perbendaharaan kata lebih
ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau suatu bahasa.
Dalam penelitian ini leksikon yang dimaksud adalah berupa leksikon nomina,
verba, dan adjektiva yang berhubungan dengan ke-kaghati-an, baik leksikon
aktif maupun pasif.
2.2.2 Ungkapan Metaforis
Metafora dalam pustaka linguistik kognitif merupakan bahasa yang
memainkan peranan amat penting dalam kajian pikiran dan kultur masyarakat
pemilik atau penutur bahasa tersebut. Ullman (1972:212) menyatakan bahwa
metafora berhubungan dengan jaringan tekstur tuturan bahasa manusia yang
beragam, yaitu sebagai faktor utama dalam motivasi, sebagai alat untuk
mengekspresikan diri, sebagai sumber sinonimi dan polisemi, sebagai alat ntuk
menyatakan emosi yang kuat, serta sebagai alat untuk mengisi kekosongan
dalam kosakata dan beberapa fungsi yang lain. Dalam ungkapan metaforis
terdapat dua komponen, yaitu target dan sumber yang memiliki kesamaan
karakteristik. Sumber merupakan konsep yang dijadikan dasar konseptualisasi
dan target merupakan konsep yang konseptualisasinya diarahkan. Lakoff dan
Johnson (1980) menyatakan bahwa target biasanya lebih abstrak dann sumber
35
35
lebih konkret, fisik atau nyata. Pendapat tersebut diperkuat oleh Kovecses
(2006).
Dalam penelitian ini, data berupa ungkapan metaforis dapat
diperoleh dari ungkapan lisan yang digunakan oleh kelompok guyub tutur atau
ungkapan yang terkonsep dalam benak guyub tutur, khususnya berkaitan dengan
lingkungan ke-kaghati-an pada guyub tutur bahasa Muna.
2.2.3 Ungkapan Pemali “Falia” bagi Masyarakat Muna
La Taena (2014: 91) mengatakan bahwa bagi masyarakat Muna falia
‘pemali’ merupakan suatu pelarangan sosial atau pantang larang dalam
kehidupan bermasyarakat yang tidak boleh dilanggar baik dalam bentuk tindakan
atau ucapan. Selanjutnya, Marafad dan La Niampe (2017) mengungkapkan
bahwa ungkapan falia ini merupakan warisan budaya leluhur yang memiliki
nilai-nilai pendidikan terhadap karakter anak yang di dalamnya mengandung
nilai ketulusan, keikhlasan, kejujuran, keadilan, kedisiplinan, ketaatan,
menghargai orang lain, dan toleran, kepercayaan dan keyakinan. Di samping
nilai-nilai itu, terdapat pula nilai-nilai magis sehingga dengan nilai itu sang anak
cenderung mengikuti apa yang disampaikan orang tua melalui pesan nilai-nilai
yang terkandung dalam ungkapan falia tersebut.
Dalam hubungannya dengan ke-kaghati-an, ungkapan pemali atau
falia yang diungkapkan penelitian ini adalah ungkapan nasihat, larangan dan
pantangan melakukan sesuatu yang menurut tradisi dan keyakinan adat istiadat
dapat menyebabkan dampak buruk dan kesialan. Misalnya, O falia dokorunsae
deghati ‘pemali membuat kaghati setengah hati’. Maksudnya, tidak boleh
36
36
membuat kaghati dengan niat dan tekad tidak bersungguh-sungguh. Akibat falia
ini adalah kaghati tidak dapat terbang atau tidak bertahan lama di langit.
2.2.4 Mitos
Mitos menceritakan bagaimana suatu keadaan menjadi sesuatu yang
lain; bagaimana dunia yang kosong menjadi berpenghuni; bagaimana situasi
yang kacau menjadi teratur; bagaimana yang tak dapat mati menjadi mati; dan
sebagainya. Mitos menceritakan perbuatan dan tindakan para makhluk adikodrati
pada awal mula yang menyebabkan dunia atau suatu bagian dari dunia menjadi
ada, sebagaimana sekarang ini. Mitos tidak hanya menceritakan awal mula alam
semesta, dunia dalam keseluruhannya, tetapi juga peristiwa-peristiwa khusus,
misalnya terjadi sebuah pulau, jenis tanaman tertentu, perilaku tertentu dari
manusia, atau lembaga sosial (Dhavamony, 1995). Proses penyampaian mitos
melalui bahasa yang mengandung pesan-pesan menunjukkan adanya keterkaitan
mitos dan bahasa. Dalam penelitian ini, mitos yang diuraikan adalah cerita yang
berkaitan dengan lingkungan ke-kaghati-an dan memiliki kepercayaan yang
sungguh-sungguh terhadap isi mitos tersebut, serta bersifat turun-temurun.
2.2.5 Dinamika
Konsep dinamika merupakan bagian dari ilmu fisika yang
berhubungan dengan gerak dan penyebabnya. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2005), dinamika dalam pandangan sosial adalah pergerakan
masyarakat secara terus- menerus yang menimbulkan perubahan pada tata
hidup masyarakat bersangkutan. Dalam kajian linguistik, konsep dinamika
37
37
melihat fenomena bahasa yang mengalami perubahan yang terus menerus dalam
perjalanan waktu. Pengetahuan leksikon yang tersimpan dalam ingatan guyub
tutur diperoleh dari pengalaman masyarakat bersangkutan terekam dalam pikiran
guyub tutur dan dapat juga terkikis serta tergantikan seiring dengan banyaknya
pengalaman yang dialami penutur. Menurut Bundsgaard dan Steffensen
(2000:17), pengetahuan atau ingatan bersifat situasional sesuai kondisi karena
guyub tutur tidak bisa mengingat semua unit sekecil atom dan hanya muncul jika
digunakan dalam pernyataan yang diujarkan. Bahkan pengetahuan entitas-entitas
tertentu itu dikemas kembali secara verbal sesuai dengan situasi dan kondisi
lingkungan yang berubah. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, dinamika yang
dimaksud adalah suatu perubahan yang terjadi pada unsur-unsur budaya kaghati
secara universal dan secara terus menerus pada guyub tutur bahasa Muna.
2.2.6 Ke-kaghati-an
Kaghati adalah sejenis permainan layang-layang tradisional guyub
tutur Muna. Kaghati terbuat dari bahan-bahan yang berasal dari lingkungan
alam, seperti daun ubi gadung (roo kolope), bambu, buluh, betung, serat daun
nenas hutan (tali kaghati atau ghurame), kulit pohon waru, dan daun palma
(Marafad, 2007). Ke-kaghati-an adalah semua konsep yang berkaitan dengan
kaghati atau layang-layang tradisional guyub tutur Muna. Jadi, istilah
ke-kaghati-an dalam penelitian ini berkaitan dengan pelbagai bagian dan hal-hal
tentang kaghati (layang-layang), baik isinya dengan keanekaragaman hayatinya
(biodiversity), keadaannya, maupun persepsi (ideologi atau adicita) tentang
kaghati di kalangan masyarakatnya. Kesemuanya itu merupakan kekayaan
38
38
bahasa Muna yang memberi gambaran bahwa adanya hubungan yang kaya
makna antara manusia dengan lingkungan alam kaghati.
2.2.7 Guyub Tutur Bahasa Muna
Guyub tutur dalam bahasa Inggris dikenal dengan speech
community adalah masyarakat pengguna bahasa. Hymes (1964) dan Duranti
(1997) mengatakan bahwa “kajian atas bahasa memandang bahasa sebagai
sumber daya budaya dan tuturan sebagai praktik budaya’ (a study of language
as a cultural resource and speaking as a cultural practices)”. Secara tersurat,
bahasa (langue) dipahami sebagai kekayaan rohani milik manusia dan guyub
tutur tertentu.
Hymes (1974:51) mendefinisikan guyub tutur sebagai sekelompok
orang atau masyarakat yang memiliki pengetahuan sekurang-kurangnya suatu
bentuk bahasa dan juga pengetahuan tentang pola-pola bahasa tersebut. Sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh Chaer dan Agustina (1995:47) bahwa guyub
tutur bukan hanya sekelompok orang atau masyarakat yang menggunakan
repertoar bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma
yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa. Terkait dengan penelitian
ini, yang dimaksud dengan guyub tutur bahasa Muna adalah sekelompok
masyarakat yang menggunakan bahasa Muna dalam komunikasi sehari-harinya
dan memiliki pengetahuan tentang aturan-aturan dalam berbahasa Muna.
39
39
2.2.8 Bahasa Lingkungan (Ecologycal Language)
Bahasa lingkungan adalah sosok (corpus) kebahasaan yang
menggambarkan tentang lingkungan, termasuk di dalamnya leksikon-leksikon
sebagai produk dari praktik sosial dan diskursus sosial (Mühshaüsler, 2001: 5).
Bahasa lingkungan adalah bentuk verbal yang mengandung makna tentang
lingkungan. Bahasa lingkungan merupakan produk budaya, produk manusia dan
masyarakat. Bahasa lingkungan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
khazanah leksikon, ungkapan metaforis, pemali, dan mitos yang
menggambarkan tentang lingkungan yang erat hubungannya dengan lingkungan
kaghati.
2.2.9 Lingkungan Bahasa (Ecology of Language)
Lingkungan bahasa merupakan dimensi spasial atau dimensi ruang
alami dan juga ruang kultural, tempat bahasa-bahasa hidup. Lingkungan bahasa
merupakan produk dan kondisi alam dan bersifat alamiah. Lingkungan bahasa
adalah dimensi atau matra ruang yakni segi ragawi, fisik, lingkungan geografi
yang menjadi tempat hidup semua bahasa dan penuturnya (Mbete, 2013).
Lingkungan bahasa yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi lingkungan
fisik atau ragawi dan lingkungan sosial yang menjadi ruang hidup bagi khazanah
leksikon dalam budaya kaghati guyub tutur bahasa Muna.
40
40
2.3 Landasan Teori
Setiap penelitian ilmiah pada dasarnya memerlukan kehadiran teori
sebagai landasan berpikir dan pijakan awal dalam melakukan penelitian. Teori
utama atau teori payung yang digunakan dalam mengkaji bahasa lingkungan
ke-kaghati-an guyub tutur bahasa Muna adalah teori ekolinguistik. Teori
ekolinguistik dipilih sebagai payung teori dalam penelitian ini karena sebagai
suatu disiplin ilmu, ekolinguistik dapat menjelaskan hubungan timbal balik
antara bahasa dengan lingkungannya. Ekolinguistik mengkaji bahasa yang hidup
dan digunakan oleh suatu penutur untuk menggambarkan dan menjelaskan
realitas di lingkungannya, baik lingkungan ragawi/fisik maupun lingkungan
sosial budaya, khususnya di lingkungan ke-kaghati-an. Untuk mengungkap
fenomena bahasa lingkungan ke-kaghati-an guyub tutur bahasa Muna, teori
ekolinguistik ditunjang oleh teori linguistik, dan teori linguistik kebudayaan.
Masalah-masalah dalam penelitian ini dipecahkan dengan teori-teori
yang relevan untuk menjawab masalah-masalah tersebut. Teori yang digunakan
untuk mengkaji masalah pertama adalah teori linguistik, khususnya morfologi
dan semantik untuk memecahkan masalah tersebut. Masalah kedua
menggunakan teori ekolinguistik yang dikemukakan oleh Sapir dan Haugen dan
didukung dengan teori linguistik kebudayaan untuk menjelaskan keberadaan
entitas yang dirujuk sudah dan hanya tertinggal di ingatan penutur tua saja.
Masalah ketiga dan keempat dikaji dengan teori ekolinguistik dengan
menggunakan model dimensi logis oleh Bang dan Door, dibantu dengan teori
linguistik kebudayaan. Berikut paparan teori-teori tersebut.
41
41
2.3.1 Ekolinguistik
Pakar ekolinguistik, Haugen (1972:326), menggambarkan
lingkungan alam sebuah bahasa adalah masyarakat pengguna bahasa itu, dan
bahasa sesungguhnya hanya ada dalam otak manusia penuturnya yang hanya
berfungsi menghubungkan penutur dengan sesamanya, dan dengan alam sekitar,
yaitu lingkungan sosial dan lingkungan alam. Makna lingkungan yang dimaksud
mencakup manusia, pikiran seseorang yang merujuk pada dunia atau wilayah
tempat bahasa itu ada dan digunakan.
Sebelum dijelaskan secara terperinci tentang ekolinguistik, ada
baiknya terlebih dahulu diketahui apa ekologi itu. Ekologi memperhatikan
terutama biologi golongan-golongan organisme dan dengan proses-proses
fungsional di daratan, di lautan, dan di perairan adalah lebih tetap berhubungan
dengan upaya mutakhir untuk mendefinisikan ekologi sebagai pengkajian
struktur dan fungsi alam, telah dipahami bahwa manusia merupakan bagian dari
alam (Odum, 1993:3).
Derni (2008:29) menyatakan bahwa bahasa merupakan salah satu
bagian dari lingkungan biosfer tempat tinggal dan hidup maka sudah semestinya
bahasa juga dispekulasikan seturut dengan lingkungan tempatnya berada. Selain
itu, dikatakan bahwa bahasa ketika itu memasuki pelbagai aspek kehidupan
manusia, semestinya pelbagai disiplin ilmu yang terkait dengan beragam aspek
dalam kehidupan manusia bisa melibatkan kajian linguistik pula. Dengan
demikian, penelitian ini dapat mengkaji relasi bahasa dengan lingkungan
setempat bahasa tersebut dipraktikkan ataupun digunakan.
42
42
Ekolinguistik bisa dikatakan sebagai paradigma baru yang
dicetuskan oleh Einar Haugen dalam tulisannya Ecology of Language tahun
1972 memberikan pemahaman baru tentang studi ekologi dalam hubungannya
dengan bahasa (antara human mind dan multilingual communities). Dalam
pandangan Haugen, ekologi bahasa adalah kajian tentang interaksi bahasa dan
lingkungannya. Dalam konteks ini, Haugen menggunakan konsep lingkungan
bahasa secara metaforis, yakni lingkungan dipahami sebagai masyarakat
pengguna bahasa, sebagai salah satu kode bahasa. Lingkungan kebahasaan yang
dimaksud bukan bahasa secara keseluruhan, melainkan leksikon-leksikon dan
tataran bahasa yang mengarahkan pada satu pemikiran terkait dengan dunia
referensial pada bahasa yang menyediakan indeks berupa kata-kata yang
memiliki makna dan merujuk pada dunia referensial tersebut. Lingkungan
bahasa yang sebenarnya adalah masyarakat yang menggunakannya sebagai
suatu sistem kode. Bahasa yang dimiliki penutur ada dalam pikiran penutur dan
hanya berfungsi dalam berhubungan dengan sesamanya atau lingkungan sosial
mereka dan dengan lingkungan alam mereka. Dengan demikian, perubahan
lingkungan kebahasaan dan lingkungan eksternal, berubah pula bahasa dan
perbendaharaan leksikon, ungkapan, dan teks-teks lainnya. Bahasa berada hanya
dalam pikiran penuturnya, dan oleh karenanya bahasa hanya berfungsi apabila
digunakan untuk menghubungkan antarpenutur, dan menghubungkan penutur
dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam.
Dengan demikian, ekologi bahasa ditentukan oleh orang-orang yang
43
43
mempelajari, menggunakan, dan menyampaikan bahasa tersebut kepada orang
lain.
Sebagai suatu ekosistem kebahasaan, interaksi atau saling
memengaruhi antarbahasa, antardialek dalam suatu bahasa, interaksi
antarpenuturnya dengan lingkungan alam di sekitarnya, dijadikan bahan kajian
yang menarik pula (Haugen, 1972:325). Dalam hubungan timbal balik manusia
dan lingkungan hidupnya, kajian ekologi bahasa juga dapat memberikan
gambaran indeksikal yang dimiliki penutur bahasa tertentu di suatu kawasan.
Masyarakat petani dan peladang, misalnya, akrab dengan perladangan mereka
yang secara indeksikal tercermin pada leksikon dan ungkapan khas yang
mencerminkan dunia botani yang dibudidayakan mereka atau juga flora atau
fauna di sekitarnya (Mbete, 2006:2).
Melalui bahasa, secara khusus perangkat lekikon yang dikategorikan
sebagai nomina tertentu dalam bahasa ibu pula orang mengenal alam dan dunia,
juga kehidupan sosial budaya dengan karakteristiknya sendiri sebagai segala
sesuatu yang ada dan hidup di sekitarnya. Perbendaharaan kosakata suatu bahasa
merefleksikan lingkungan fisik dan lingkungan sosial penutur bahasa tersebut.
Lengkap atau tidak lengkapnya kosakata suatu bahasa memang tampak sebagai
inventarisasi (inventory) kompleks seluruh ide, kepentingan, ketertarikan,
pekerjaan (mata pencaharian) yang menjadi fokus perhatian dari sebuah
komunitas (Sapir, 1912).
Dalam perkembangan selanjutnya kajian ekologi bahasa dikenal
dengan istilah ekolinguistik (Fill & Mühaüsler, 2001:1). Ekolinguistik
44
44
merupakan payung istilah terhadap semua studi pendekatan bahasa yang
dikombinasikan dengan ekologi. Rakitan kerangka konsep dan teori
ekolinguistik menggunakan parameter ekologi. Seperti yang diajukan oleh Fill &
Mühaüsler (2001:1) bahwa ada tiga parameter penting yang juga saling terkait,
yakni (1) satuan lingkungan (environment), (2) adanya interaksi (interaction),
dan interelasi atau kesalingterhubungan (interrelation), juga interdependensi
(interdependence) atau kesalingtergantungan di antara semua yang ada, dan (3)
adanya keberagaman (diversity). Parameter-parameter ekolinguistik yang
dikembangkan oleh para ahli dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.1 Parameter Ekolinguistik dan Tokoh Pengembangnya Tokoh Parameter ekolinguistik
Bang dan Døør (1996)
Saling ketergantungan (Interdependency)
Interaktivitas (Interactivity)
Fill (2001)
Keberagaman (Diversity)
Interaksi timbal balik (Mutual interaction)
Keseluruhan (Wholeness)
Kesatuan (Unity)
Kontinuitas (Continuity)
Keberlanjutan (Sustainability)
Biosentrisme (Bio-centrism)
Fill dan Mühlhäusler (2001)
Saling keterhubungan (Interrelationships)
Lingkungan (Environment)
Keberagaman (Diversity)
Stibe (2010)
Interkoneksi (Interconnections)
Kesalingtergantungan (Interdependencies)
Keterhubungan (Relationship)
Isi tabel di atas diuraikan sebagai berikut. Interaktivitas
(interactivity) yaitu interaksi antara guyub tutur dengan lingkungan yang terus
45
45
menerus dilakukan, memengaruhi pengetahuan dan pengalaman guyub tutur
yang ada di lingkungan tersebut. Interaksi dan interelasi itu membentuk pola
pikir, pola hidup, dan pengetahuan kebahasaan khususnya pengetahuan leksikon
yang merupakan hasil interaksi antarkeduanya. Interaktivitas yang dilakukan
memunculkan kebergantungan antarguyub tutur dan lingkungannya. Meskipun
demikian, kemungkinan perubahan selalu ada seperti perubahan cara hidup, cara
pikir dan cara berkomunikasi (Bundsgaard and Steffensen, 2000:16).
Stibbe (2015) mendefinisikan ekolinguistik sebagai bidang yang
mengeksplorasi peran bahasa dalam interaksi yang mempertahankan hidup
manusia, spesies lain dan lingkungan fisik. Dalam sebuah buku “Ecolinguistic: A
Story We Live By”, Stibbe membahas ‘cerita atau kisah’ yang memiliki dua
makna utama, yaitu makna kognitif yang mewakili dunia dalam pikiran orang
dan manifestasi linguistik tentang bagaimana bahasa digunakan untuk mencoba
mencapai representasi makna kognitif. Berdasarkan pandangan Stibbe, penelitian
ke-kaghati-an ini mengungkapkan kisah-kisah guyub tutur bahasa Muna sebagai
jati diri suku Muna yang terkandung di dalam bahasa lingkungan ke-kaghati-an,
baik leksikon-leksikon, ungkapan metaforis, ungkapan tabuh, maupun mitos-
mitosnya. Berikut tabel cerita/kisah yang dibahas dalam buku Stibbe (2015).
Tabel 2.2 Ecolinguistic: A Story We Live By
46
46
Stibbe menyimpulkan bahwa dengan kembali ke konteks di mana
tertulis bahwa kita hidup dalam waktu yang membutuhkan perubahan jauh di
luar perbaikan teknis, seperti mobil listrik. Waktu itu panggilan untuk perubahan
mendasar, dalam hubungan manusia dengan dunia yang lebih besar
dibandingkan dengan manusia dan satu sama lain. Untuk melakukan perubahan
semacam itu, kita memerlukan cerita baru untuk dijalani. Mungkin,
ekolinguistik, bekerja sama dengan banyak bidang yang muncul, misalnya,
ekopsikologi dan ekohistori yang dapat membantu mengembangkan dan
mempromosikan kisah-kisah itu. Dengan demikian, ekolinguistik kurang
berfokus terutama pada perubahan bahasa, misalnya, mengubah ‘aquarium
animal’ to ‘aquaprison inmate’, dan lebih banyak lagi yang lain dengan
menggunakan pengetahuan kita tentang bahasa untuk mengubah cerita kita dan
orang lain itu menjadi hidup.
Individu mempelajari bahasa ibunya tidak sekali saja, tetapi dalam
jangka waktu lama. Tanpa disadari bahasa yang dipelajari mengikuti dinamika
sosial dan budaya, dan lingkungannya karena adanya penghayatan mendalam
(internalisasi) yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku (bdk. Døør, 1998:42).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jika norma sosial dan budaya
berubah, perubahan pada guyub tuturnya tidak terelakkan. Perubahan tersebut
tidak hanya berakibat buruk, tetapi juga memiliki pengaruh baik berupa
kekayaan pengetahuan leksikon guyub tutur yang beragam. Pengetahuan tentang
keberagaman (diversity) adalah hasil interaksi guyub tutur dengan
lingkungannya. Keberagaman pengetahuan leksikon secara dinamis itu bisa
47
47
memengaruhi keberlanjutan ataupun ketidakberlanjutan pengetahuan kognitif
yang dimiliki guyub tutur apalagi dalam proses pewarisan (transmisi)
antargenerasi. Keberlanjutan yang terjadi di dalam suatu lingkungan guyub
tutur bukan hanya meliputi perangkat leksikon, melainkan juga ungkapan dan
tuturan-tuturan yang berkaitan dengan mitos dan ritual. Menurut Mishra
(2000:3), mitos dan ritual digunakan untuk menyelaraskan pemikiran dan
tindakan guyub tutur yang berada di lingkungan tersebut dengan
menghubungkan benda tidak bernyawa (abiotik) dalam benda bernyawa dan
menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang.
Dalam sebuah makalahnya, Haugen (Fill, 2001) memaparkan
adanya hubungan metafora dan ekolinguistik. Haugen memaparkan adanya
interaksi atau hubungan bahasa dengan lingkungan tertentu, dalam hal ini
lingkungan alam. Sejalan dengan pendapat Haugen tersebut di atas, Halliday
(Fill, 2001) memaparkan bahwa ekolinguistik bukan saja berbicara mengenai
bahasa biologi, tetapi lebih dari itu bagaimana kita memaknai bahasa biologi
atau bahasa alam, dan bagaimana peran bahasa dalam sebuah lingkungan atau
ekologi sosial kemasyarakatan. Bahasa lingkungan (ecologycal language) adalah
bentuk verbal yang mengandung makna tentang lingkungan. Tanpa disadari
bahwa elemen-elemen bahasa mengandung makna tentang lingkungan yang
digunakan, atau metafora-metafora bahasa lingkungan, antara lain, dalam
beberapa peribahasa seperti bagaikan air di atas daun talas, seekor cacing
menelan naga, dan masih banyak metafora-metafora yang berhubungan dengan
lingkungan alam. Dalam guyub tutur Muna, terdapat juga metafora yang
48
48
berkaitan atau bertalian dengan kaghati. Sebagai contoh o kaghati nokokapongke
yang dapat dimaknai bahwa di dalam kehidupan dibutuhkan adanya
keseimbangan hidup antara satu dengan yang lainnya, misalnya keseimbangan
alam, keseimbangan manusia sebagai individu, dan keseimbangan manusia
sebagai makhluk sosial.
Lingkungan bahasa (language ecology) adalah produk dan kondisi
alam juga ruang (space) tertentu dan bersifat alamiah, sedangkan bahasa
lingkungan (ecological language) adalah produk budaya, produk manusia dan
masyarakat (Mbete, 2013: 2). Ditambahkannya pula, dikaitkan dengan konsep
ekologi, yakni lingkungan alamiah umumnya (jagat raya, buana agung,
macrocosmos) dan lingkungan budaya atau lingkungan khusus manusia (jagat
kecil, buana alit, microcosmos), lingkungan manusia atau sosial budaya ada di
dalam (sistem) lingkungan alam. Saling tergantung, saling terhubung (interelasi),
dan saling aksi antara manusia dan lingkungan hidup di sekitarnyalah dalam
keharmonisan memberi ruang kreasi simbolik manusia itu telah menghasilkan
kebudayaan dan manusia menandainya serta merekamnya secara verbal pelbagai
pengetahuan, pemahaman manusia di lingkungan tertentu dengan
lingkungannya. Dalam kaitannya dengan metafora, ekolinguistik membutuhkan
sebuah pemahaman atau cara pandang atau keterangan ekspresif tentang makna.
Lingkungan bahasa dalam ekolinguistik mengacu pada dua hal, yaitu
(1) lingkungan fisik atau ragawi dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik
meliputi karakter secara geografis seperti topografi wilayah (pantai, lembah,
dataran, dataran tinggi atau pegunungan), iklim, tingkat curah hujan, dan apa
49
49
yang disebut sebagai kebutuhan ekonomi dasar manusia yang meliputi, flora,
fauna, sumber-sumber mineral yang dapat menunjang kehidupan manusia.
Lingkungan sosial meliputi berbagai kekuatan masyarakat yang membentuk cara
hidup dan cara berpikir setiap individu. Hal-hal yang penting dalam kekuatan
sosial ini adalah agama, etika, bentuk organisasi politik, dan seni. Dalam
kaitannya dengan lingkungan kebahasaan, Bang & Door (dalam Bundsgaard dan
Steffensen, 2000:10) menjelaskan lingkungan kebahasaan dengan Model
Dimensi Logis berikut.
Ideo-logics socio-logics
Situation:Topos
S1 S2
M Environment S3 O
bio-logics
Gambar 2.1 Model Dimensi Logis
Keterangan gambar:
S1 : Pembuat Teks
S2 : Konsumen/ Pengguna Teks
S3 : Subjek
O : Objek yang dirujuk
Topos : Ruang tempat dan waktu
↔ : Dialog
Model dialog di atas memaparkan bahwa empat konstituen, S1, S2,
S3, dan O terjadi dalam dalam topos (ruang, tempat, dan waktu). Hal tersebut
terjadi dengan latar belakang tiga dimensi praksis sosial, yakni dimensi biologis,
50
50
dimensi sosiologis, dan dimensi ideologis. S1 merupakan pembuat teks, yakni
penulis atau penutur. S2 merupakan konsumen teks, pembaca atau mitra tutur.
S3 merupakan subjek konstituen sosiokultural yang diwujudkan atau tidak
berada dalam situasi dialog. O merupakan objek yang dirujuk dalam komunikasi
(Bang dan Door, 1993:3; Bundsgaard, 2000:10). Adapun analisis leksikon dalam
penelitian ini ialah identifikasi gramatikal yang berupa bentuk, dan kategori.
Ketiga dimensi yang tergambar di atas saling berhubungan satu
sama lain. Dimensi ideologis terkait dengan mental individu, mental kolektif,
kognitif, sistem ideologis, dan sistem psikis. Di sisi lain, dimensi sosiologis
terkait dengan cara manusia mengatur hubungannya satu sama lain. Dimensi
biologis berhubungan dengan kolektivitas biologis manusia yang hidup
berdampingan dengan spesies lainnya (hewan, tumbuhan, tanah, laut, dan
sebagainya) (Lindø dan Bundsgaard, ed., 2000: 11). Fenomena bahasa berjalan
secara berkesinambungan dan saling terkait. Bahasa merupakan objek dari tiga
dimensi tersebut (Lindø dan Bundsgaard (ed.), 2000: 11).
Mühlhaüsler (2001), mengatakan bahwa ekologi adalah studi
tentang hubungan timbal balik yang bersifat fungsional. Dua hal yang saling
berkaitan yakni bahasa dan lingkungan, dua hal tersebut yang akan dihubungkan
dan menjadi fokus pada penelitian ekolinguistik. Fokusnya juga tergantung pada
apakah lingkungan bahasa atau bahasa lingkungan, atau bisa saja keduanya.
Mbete (2010:1), memaparkan bahwa ekolinguistik adalah salah satu cabang ilmu
linguistik yang mengkaji tentang bahasa dan lingkungan. Dasar dari kajian
ekolinguistik adalah bahasa, ekologi, dan lingkungan. Ekolinguistik, selain
51
51
menekankan bagaimana hubungan fisik dan sosial, juga membedah makna
hubungan bahasa, budaya dan lingkungan.
Bang dan Door (1996: 10) menyatakan bahwa teori linguistik adalah
keterkaitan antara ekologi yang merefleksi manusia dan permasalahan dalam
fenomena bahasa. Teori linguistik juga merupakan teori ekologi, yakni sebuah
pendekatan ekologi yang menyelidiki objek penelitian dalam hubungan dengan
lingkungan sebagai sebuah penyelidikan relasional (Bang dan Door,1996:3).
Bunsdgraard dan Steffensen menjelaskan bahwa ekolinguistik adalah studi
tentang interrelasi dimensi biologis, sosiologis, dan ideologis bahasa (Lindø dan
Bundsgaard, ed, 2000:11).
Dimensi ideologikal menunjukkan adanya hubungan individu
dengan mental kolektif beserta kognitifnya termasuk khazanah pengetahuan
leksikon dan ungkapan, tuturan atau wacana, sistem idelogis dan sistem fisik
dalam arti unsur- unsur material, yang biotik dan yang abiotik seperti air, udara.
Tiap pengetahuan kognitif berupa leksikon, ungkapan dan teks memiliki
keberadaan ideologikal bagi guyub tutur yang berarti keberadaannya mereka
ketahui dapat diproduksi dan digunakan guyub tutur itu sendiri
(Bundsgaard and Steffensen, 2000 :19). Pengetahuan kognitif tiap individu
menunjukkan kuatnya interaksi yang dilakukan yang memengaruhi pola pikir
individu tersebut sehingga memunculkan idelologi yang dijadikan konsep hidup
sebagai akibat hubungan interaksi yang dijaga antara individu dan sekitarnya.
Dimensi sosiologikal, yakni adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus
sosial untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi ini bahasa
52
52
merupakan wujud praktis sosial yang bermakna. Dimensi biologikal, yaitu
berkaitan dengan adanya diversivitas (keanekaragaman) biota danau (atau
laut, ataupun darat) secara berimbang dalam ekosistem.
Pengetahuan leksikon sudah ada terlebih dahulu dalam keberadaan
dimensi sosiologikal guyub tutur, dan sudah pernah mereka dengar dalam
situasi dialogikal pada situasi percakapan di dalam praksis sosial (Bundsgaard
and Steffensen, 2000:16). Disebutkan juga istilah neologisme dalam Bundsgaard
dan Steffensen (2000) yaitu sebuah pengetahuan yang terekam dalam ingatan
guyub tutur yang jika diujarkan, niscaya mereka akan masuk ke dalam
lingkungan sosiologikal termasuk sosiologikal ke-kaghati-an guyub tutur di
Pulau Muna. Pengetahuan itu akan menghilang jika tidak dituturkan. Begitu juga
jika guyub tutur aktif memroduksi leksikon-leksikon, ungkapan dan wacana,
rekaman pengetahuan leksikon sebelumnya bisa hilang dalam psikoterapi.
Hubungan yang semakin erat akan memengaruhi pengetahuan-pengetahuan
kognitif setiap individu dan mewakili keberagaman sesuai dengan tingkat
keseringan interaksi yang dilakukan. Misalnya, pembuat atau pelaku kaghati
atau disebut sebagai pande ghati memiliki perangkat leksikon ke-kaghati-an
yang lebih banyak dan khas daripada penutur yang bukan pande ghati walaupun
sama-sama hidup di Pulau Muna. Selain itu, pengetahuan yang dimiliki pande
ghati atau penutur yang hidup di lingkungan ke-kaghati-an berbeda dengan
individu yang hidup di lingkungan tertentu seperti lingkungan kepadian atau
pegunungan.
53
53
Leksikon yang terekam melalui proses konseptualisasi dalam
pikiran penutur menjadi leksikon yang fungsional untuk digunakan (Mbete dan
Abdurahman, 2009). Sehubungan dengan itu, penutur bahasa akan
menggunakan leksikon yang ada dalam konseptual mereka jika didukung
dengan lingkungan ragawi yang ada. Sebaliknya, konsepsi leksikal dalam
alam pikiran penutur ini akan berubah jika adanya perubahan lingkungan
ragawi. Perubahan itu terjadi dalam waktu yang cukup lama sehingga
mengakibatkan menghilang atau menyusutnya sejumlah leksikon. Bahkan, pada
komunitas yang dwibahasawan, tidak hanya terjadinya perubahan, tetapi
pergeseran ke konsepsi leksikal bahasa yang lain.
Mbete (2013, 22-23) mengungkapkan bahwa keberagaman khazanah
kata (dan keberagaman bahasa di suatu lingkungan), kendati dalam satu bahasa,
juga berkaitan dengan kondisi lingkungan hidup bahasa tersebut. Pengetahuan
guyub tutur dan guyub kulturnya terekam dan terwaris dalam bahasa-bahasa
yang ada di lingkungan itu. Persepsi tentang lingkungan, demikian juga aksi-
interaksi dengan lingkungan, relasi-interelasi, bahkan dependensi-
interdependensi dengan aneka isi lingkungan, dapat ditemukan, dihimpun,
diklasifikasikan secara taksonomis dan kategoris, serta dapat dikaji dalam
kekaaan bahasa lingkungan sebagai rekaman realitas alam dan budaya, dalam
khazanah kata dan ungkapan, bahkan dalam teks-teks pelbagai bahasa yang
hidup di lingkungan tertentu. Seperti yang diungkapkan oleh Sapir (dalam Fill
dan Mühslhaüsler, eds., 2001:14):
54
54
“It is the vocabulary of a language that most clearly reflects the physical
and social environment of its speakers. The complete vocabulary of a
language may indeed be looked upon as a complex inventory of all the
ideas, interests, and occupations that take up the attention of the
community, and were such a complete thesaurus of the language of a
given tribal at our disposal, we right to a large extent infer the
characteristics of the culture of the people making use of it”
Bertolak dari pikiran Sapir, jelas bahwa khazanah leksikon lengkap
yang ada dalam kamus suatu bahasa menggambarkan secara jelas khazanah ide
dan konsep guyub tuturnya tentang ingkungan ragawi dan sosial mereka. Bahkan
thesaurus yang lengkap dapat menengarai karakter lingkungan kealaman dan
kebudayaan guyub tuturnya. Sejalan dengan konsep itu, Bundasgaard &
Steffenson, (2000:19) menerangkan bahwa pada umumnya perangkat leksikon
dan istilah mengandung ideologi dan karena kita memahami kandungan
ideologi-ideologi di dalamnya maka kita menggunakan memroduksikan secara
verbal dalam praktik sosial.
Komunitas bahasa yang mendiami lingkungan keairan di sekitar
sungai-sungai atau danau-danau misalnya, berinteraksi dengan sejumlah
organisme yang hidup di lingkungan sungai atau danau yang secara simbolis
verbal terekam dalam khazanah leksikon, ungkapan-ungkapan, dan dalam cerita
atau dongeng-dongeng tentang dunia kesungaian dan kedanauan. Komunitas
tutur itu, menguasai dan menggunakannya dalam kehidupan sosial-kultural di
lingkungan bahasa itu. Interelasi, interaksi, dan kesalingtergantungan
(interdependensi), bahkan ketergantungan “penuh” komunitas tutur antargenerasi
dengan keanekaragaman hayati dan sumber dayanya itu membentuk cara,
perilaku, pola pikir, dan tentunya ideologi penuturnya dalam konteks sosiologis
55
55
dan biologis (Bang and Door, 2000), terekam dan terwaris secara verbal
antargenerasi dalam bahasa-bahasa lokal khususnya.
Ketiga parameter ekoinguistik itu, secara khusus keberadaan dan
kehadiran bahasa-bahasa yang memang harus hadir dengan bersama manusia,
manusia yang juga sangat saling tergantung, berinteraksi, dan berinterelasi
dengan segala sesuatu di lingkungannya itu, menjadikan ekoinguistik sebagai
life-science, ilmu pengetahuan tentang hidup dan kehidupan, dan tentunya
kehidupan yang sehat secara sosioekologis, terawat secara harmonis, dan
berkelanjutan. Sebab sudah menjadi dimensi yang hakiki yang harus ditegaskan
dan ditegakkan ialah bahwa setiap satuan (entitas) yang ada dan hidup di
lingkungan itu setiap individu itu memiliki hak hadir dan hak hidup yang sama.
Sifat dan konsep life science ini setiap bahasa misalnya pun tidak hanya sebatas
mekanisme interelasional dan interaksional antarpenutur, melainkan sebagai
kehidupan komunikasi verbal yang insani-alami. Kehidupan bahasa yang insani
hadir dan hidup antaranggota guyub tutur, insani-alami antara manusia dengan
alam di lingkungan (Bang and Door, 2000:53-55).
Uraian teori ekolinguistik tersebut di atas menegaskan bahwa
perkembangan (inventarisasi) unsur-unsur bahasa merupakan cermin perubahan
ekologi yang menjadi ruang hidup bahasa tersebut. Faktor-faktor ekologi, seperti
lingkungan fisik dan sosial, interaksi, interelasi, interdependensi, dan
keberagaman yang menjadi ruang hidup suatu bahasa merupakan sumber
pengalaman dan sumber belajar bagi penutur bahasa dalam mengkreasi sebuah
satuan-satuan lingual.
56
56
2.3.2 Teori Linguistik
Teori linguistik mikro juga dipakai dalam analisis satuan-satuan
lingual khazanah leksikon ke-kaghati-an. Penggunaan teori linguistik mikro
merupakan teori pendukung Ekolinguistik. Beberapa teori linguistik mikro yang
digunakan dalam analisis adalah teori morfologi dan teori semantik. Berikut
adalah penjelasan masing-masing teori tersebut.
2.3.2.1 Morfologi
Membahas tentang bentuk-bentuk lingual leksikon lingkungan alam
merupakan ruang lingkup kajian morfologi, yakni bagian dari ilmu bahasa yang
mempelajari struktur atau bentuk kata. Ramlan (2001) menjelaskan bahwa
morfologi mempelajari seluk beluk struktur kata serta pengaruh perubahan-
erubahan struktur kata terhadap golongan dan arti kata. Dalam analisis bahasa
dan budaya ke-kaghati-an pada guyub tutur Muna, penting diuraikan bentuk-
bentuk linguistik dari sejumlah leksikon yang berhubungan dengan ke-kaghati-
an.
Simpen (2009:12) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk linguistik ada
yang berwujud bentuk kompleks dan ada yang berupa bentuk tunggal.
Bentuk kompleks dibangun oleh beberapa morfem, sedangkan bentuk tunggal
dibangun oleh satu morfem. Di dalam bentuk kompleks, khususnya yang
berwujud kata turunuan selalu ditemukan bentuk asal dan bentuk dasar. Bentuk
asal berbeda dengan bentuk dasar, tetapi adakalanya juga sama.
Kajian morfologi merupakan studi struktur intern kata, Rahyono
(2012:33). Satuan-satuan fonem membentuk satuan-satuan yang lebih besar
57
57
menjadi satuan terkecil pada tataran morfologi. Satuan terkecil pada morfologi
adalah morfem, sedangkan satuan terbesar adalah kata. Setiap proses morfologis
menghasilkan satuan kata yang menampilkan makna leksikal.
Morfologi merupakan cabang linguistik yang mengidentifikasikan
satuan dasar dan turunan (derivasi) bahasa sebagai satuan gramatikal (Verhaar,
2010:97). Satuan minimum gramatikal atau morfem mengalami proses-proses
morfemis. Morfem dibedakan menjadi morfem bebas yaitu bentuk yang dapat
berdiri sendiri tanpa digabungkan dengan bentuk lain. Morfem bebas inilah
mencakupi leksikon atau kata, sedangkan morfem terikat yaitu morfem yang
tdak dapat berdiri sendiri dan dapat melebur dengan morfem lain (Verhaar,
2010:10).
Berdasarkan satuan gramatikal, kata memiliki bentuk-bentuk
yaitu kata tunggal dan kata kompleks (hasil derivasi seperti afiksasi,
reduplikasi, abreviasi), dan bentuk majemuk (Kridalaksana, 2008:35). Proses
berubahnya leksem menjadi kata disebut afiksasi (Kridalaksana, 1989:28). Jenis-
jenis afiks antara lain prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks. Prefiks dalam bahasa
Muna yaitu ka-, bha-, po-, se-, ti-, para-, me-, manso-, feka-, ko-, si-, ta-, mo-,
sa-, ni-, dan fo-. Sufiks dalam bahasa Muna yaitu –i, -ghoo, dan –ha. Infiks
dalam bahasa Muna yaitu -um-, dan -in-. Selain afiks, terdapat kata ulang dan
bentuk ulang menyerupai kata ulang tetapi bukan hasil dari proses pengulangan
karena bentuk ulang tidak memiliki bentuk dasar atau asal. Bentuk kompleks
yang terakhir adalah kata majemuk.
58
58
2.3.2.2 Semantik
Studi semantik dikembangkan oleh para pakar filsafat linguistik
yang didasarkan pada persoalan makna dalam bentuk hubungan antara bahasa
(ujaran), pikiran, dan realitas di alam. Semantik adalah cabang linguistik
mengkaji makna (Verhaar, 2010:385). Bidang semantik dibagi menjadi semantik
leksikal dan semantik gramatikal. Dalam penelitian ini hanya digunakan
semantik leksikal. Semantik leksikal menyangkut makna antarleksikon yang
terhubung (relasi leksikal) dalam bidang leksikon tertentu (lexical field) seperti
istilah dalam pertambangan, kedokteran, pelayaran, dalam kegiatan memasak
dan mendaki gunung yang mengkhusus, saling berhubungan seperti jaringan
(network) (Saeed, 1997:63).
Leksikal adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari leksikon yang
merupakan bentuk nomina (kosakata, pembendaharaan kata). Berdasarkan
pendapat Chaer (2002:60), satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan kata
yang memiliki makna. Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai
makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau kata. Hal ini didukung oleh
pendapat Lyons (1995:47) berikut ini: ‘The noun ‘lexem’ is of curse related to
the words ‘lexical’ and ‘lexicon’, (we can think of ‘lexicon’ as having the same
meaning as vocabulary or dictionary). Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui
bahwa leksem, leksikal, dan leksikon saling berhubungan.
Leksikal adalah satuan terbesar dalam leksikon yang merupakan
konstituen semantis yang secara struktural berupa kata, sedangkan leksikon
59
59
adalah keseluruhan kosakata yang ada dalam sebuah bahasa, Rahyono
(2012:37).
Selain itu, guna memecahkan masalah dalam penelitian ini segitiga
makna yang dikemukakan Ogden dan Richards (1923) juga digunakan. Segitiga
makna yang menghubungkan lambang (symbol), citra makna (reference) dan
objek (referent) untuk menjelaskan makna entitas-entitas khususnya makna
referensial yang merujuk pada sesuatu di luar bahasa. Berikut segitiga makna
yang dikemukakan oleh Ogden dan Richards.
(b) citra makna (reference)
(a) lambang (symbol) (c) objek (referent)
Simbol adalah kata yang merujuk benda, orang, kejadian melalui
pikiran yang bersifat impersonal dan harus diverifikasi dengan fakta (Parera,
2004:29). Reference adalah sesuatu yang tersimpan atau terbayang dalam pikiran
penutur tentang objek, peristiwa, dan fakta karena adanya simbol. Referent
adalah objek, peristiwa, fakta yang berkaitan dengan pengalaman manusia,
dalam hal ini pengalaman dan pengetahuan guyub tutur bahasa Muna tentang
lingkungan khususnya di lingkungan ke-kaghati-an. Segitiga makna yang
dikemukakan Ogden dan Richards (1923) terbatas pada acuan yang masih ada di
lingkungan tertentu sebagai rujukan dari perbendaharaan kata yang dimiliki
guyub tutur sehingga kata yang hanya tinggal dalam pikiran guyub tutur tidak
60
60
bisa dijelaskan dalam segitiga makna karena entitas yang menjadi acuan sudah
tidak ada dalam realitas lingkungan tertentu.
2.3.3 Teori Linguistik Kebudayaan
Teori lain yang mendukung teori Ekolinguistik untuk membedakan
dan menemukan makna bahasa berkaitan dengan aspek sosial kultural di
lingkungan ke-kaghati-an serta untuk menggali leksikon-leksikon ke-kaghati-an
yang dimiliki oleh penutur tua yang hidup di lingkungan ke-kaghati-an, adalah
teori antropolinguistik yang oleh Palmer (1976:14) disebut Linguistik
Kebudayaan. Menurut Sibarani (1993:128), Linguistik kebudayaan adalah
cabang ilmu lingustik yang mengkaji variasi dan pemakaian bahasa berkaitan
dengan pola kebudayaan, ciri-ciri bahasa yang berhubungan dengan
kelompok sosial, agama, pekerjaan dan kekerabatan. Fokus sasaran dalam
linguistik kebudayaan adalah pengkajian makna sebagai cerminan budaya untuk
mengetahui suatu pemahaman budaya dalam kelompok masyarakat berkaitan
dengan pandangan seseorang pada dunia (Palmer, 1996:10-26; Foley, 1991:5).
Dalam kaitannya dengan komunikasi, kebudayaan disebut sebagai sistem tanda
yang mengandung arti bahwa kebudayaan adalah representasi dunia
(Sibarani, 2004:48). Walaupun kebudayaan dikatakan sebagai representasi dunia
bukan berarti seseorang yang mempelajari atau mengalaminya mengenal semua
yang ada di dunia mengenal dunia yang mereka dalami saja dan memengaruhi
cara berpikir dan cara hidup mereka. Menurut Duranti (1997:86), guyub tutur
cenderung memiliki pandangan dunia berdasarkan pengetahuan dan
61
61
pengalamannya. Termasuk di dalam pengertian ini adalah dunia atau lingkungan
ke-kaghati-an yang dialami sebagai hasil interelasi, interaksi dengan lingkungan
tertentu.
Pandangan mengenai hubungan antara bahasa dan kebudayaan
dikemukakan pula oleh Wierzbicka (1991) yang secara tegas mengatakan bahwa
gambaran nyata mengenai hubungan empirik dan teoritik antara bahasa dan
kebudayaan berpatokan pada tiga kata kunci, yakni (1) masyarakat/guyub, baik
guyub tutur maupun guyub budaya; (2) cara berinteraksi; dan (3) nilai budaya.
Guyub berbeda memperlihatkan cara berinteraksi yang berinteraksi yang
berbeda, yang juga memperlihatkan nilai budaya yang berbeda.
2.4 Model Penelitian
Model penelitian merupakan suatu gambaran dan pedoman kerja bagi
peneliti agar alur berpikir peneliti tetap berfokus pada masalah dan teori yang
mendukung dalam pencapaian hasil penelitian yang dimaksud. Berikut ini adalah
model penelitian yang menggambarkan penelitian bahasa lingkungan
ke-kaghati-an guyub tutur bahasa Muna.
62
62
Model Penelitian:
Ekologi Guyub Tutur Muna
Kebudayaan Muna Permainan Rakyat
Kaghati
Bahasa Lingkungan Ke-Kaghati-an
Guyub Tutur Bahasa Muna
Bentuk dan Kategori Khazanah Leksikon Dinamika Faktor-Faktor
Lingual Ke-Kaghati-an Ke-Kaghati-an Dinamika
Ke-Kaghati-an
Leksikalisasi,
Gramatikalisasi,
Tekstualisasi Teori Utama:
Teori Ekolinguistik
Teori Penunjang:
1) Teori Linguistik (Morfologi dan Semantik)
2) Teori Linguistik Kebudayaan
Data
Observasi Metode
Wawancara Temuan Analisis
Kuesioner
Hasil
Gambar 2.4 Model penelitian
Keterangan:
: Saling berhubungan dengan
: Saling memengaruhi
: Arah analisis struktur
63
63
Berdasarkan kerangka model penelitian di atas, dapat dijelaskan
bahwa topik tentang bahasa lingkungan ke-kaghati-an guyub tutur bahasa Muna,
terdapat empat rumusan masalah, yakni: 1) bentuk dan kategori lingual ke-
kaghati-an; 2) khazanah leksikon ke-kaghati-an; 3) dinamika pemahaman
khazanah leksikon, ungkapan metafora, falia, mitos ke-kaghati-an antargenerasi;
dan 4) faktor-faktor dinamika khazanah leksikon ungkapan metafora, falia, mitos
ke-kaghati-an antargenerasi. Keempat rumusan masalah tersebut dianalisis
dengan menggunakan teori utama, yaitu teori ekolinguistik dan ditunjang dengan
beberapa teori, yaitu teori linguistik, dan teori linguistik kebudayaan, Rumusan
masalah pertama dikaji dengan teori linguistik, khususnya morfologi dan
semantik, masalah kedua menggunakan teori ekolinguistik berdasarkan model
Bang & Door dan didukung dengan teori linguistik kebudayaan untuk
menjelaskan keberadaan entitas yang dirujuk sudah dan hanya tertinggal di
ingatan penutur tua saja. Masalah ketiga dan keempat dikaji dengan teori
ekolinguistik dengan menggunakan model dimensi logis oleh Bang dan Door,
dibantu dengan teori linguistik kebudayaan. Berdasarkan teori tersebut, untuk
mendapatkan data di lapangan digunakan teknik observasi dan wawancara.