bab ii kajian pustaka, konsep, dan landasan teori 2.1 ... ii.pdf · yang berupa iklan komersial...

63
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Ada beberapa penelitian tentang bahasa iklan yang diketengahkan di bawah ini untuk mengetahui sejauh mana perkembangan pembahasan bahasa iklan itu dilakukan oleh para peneliti bahasa. Tinjauan pustaka sangat penting dilakukan untuk melihat ruang lingkup penelitian, perbedaan, dan relevansinya dengan penelitian yang dilakukan ini. Berikut adalah kajian-kajian penelitian, baik berupa tesis, disertasi maupun artikel, baik nasional maupun internasional, yang memberikan kontribusi bermanfaat bagi penelitian ini. Wandia (1997) dalam tesisnya membandingkan iklan berbahasa Indonesia dengan iklan berbahasa Inggris dalam tiga tatanan: (a) bagaimana eksploitasi penggunaan bahasa dalam sebuah iklan; (b) berapa besar pengaruh informasi dan bujukan yang ada dalam sebuah iklan kepada konsumen; dan (c) berapa besar pengaruh perbedaan budaya dalam pembentukan sebuah iklan. Dalam simpulannya, dinyatakan bahwa: secara umum, tampilan kebahasaan kedua iklan adalah sama dan dari segi isi dan tingkat kepersuasifan, iklan berbahasa Indonesia memberikan lebih banyak informasi dan evaluasi serta bersifat tidak langsung, sedangkan iklan berbahasa Inggris lebih cenderung bersifat langsung dan menukik pada pokok permasalahan serta lebih sederhana dalam penggunaan bahasa. Penelitian yang dilakukan oleh Wandia (1997) tidak membahas lebih jauh tentang unsur nonverbal yang terdapat dalam iklan tersebut dan tidak menggali

Upload: hadiep

Post on 18-Aug-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Ada beberapa penelitian tentang bahasa iklan yang diketengahkan di

bawah ini untuk mengetahui sejauh mana perkembangan pembahasan bahasa

iklan itu dilakukan oleh para peneliti bahasa. Tinjauan pustaka sangat penting

dilakukan untuk melihat ruang lingkup penelitian, perbedaan, dan relevansinya

dengan penelitian yang dilakukan ini. Berikut adalah kajian-kajian penelitian,

baik berupa tesis, disertasi maupun artikel, baik nasional maupun internasional,

yang memberikan kontribusi bermanfaat bagi penelitian ini.

Wandia (1997) dalam tesisnya membandingkan iklan berbahasa Indonesia

dengan iklan berbahasa Inggris dalam tiga tatanan: (a) bagaimana eksploitasi

penggunaan bahasa dalam sebuah iklan; (b) berapa besar pengaruh informasi dan

bujukan yang ada dalam sebuah iklan kepada konsumen; dan (c) berapa besar

pengaruh perbedaan budaya dalam pembentukan sebuah iklan. Dalam

simpulannya, dinyatakan bahwa: secara umum, tampilan kebahasaan kedua iklan

adalah sama dan dari segi isi dan tingkat kepersuasifan, iklan berbahasa Indonesia

memberikan lebih banyak informasi dan evaluasi serta bersifat tidak langsung,

sedangkan iklan berbahasa Inggris lebih cenderung bersifat langsung dan menukik

pada pokok permasalahan serta lebih sederhana dalam penggunaan bahasa.

Penelitian yang dilakukan oleh Wandia (1997) tidak membahas lebih jauh

tentang unsur nonverbal yang terdapat dalam iklan tersebut dan tidak menggali

lebih dalam tentang latar belakang atau ide pokok serta pesan yang ada di balik

iklan. Sementara itu, disertasi ini menganalisis gaya bahasa iklan komersial pada

media elektronik dan juga berupaya untuk mengungkap makna atau pesan di balik

iklan dengan menganalisis makna denotatif dan makna konotatif yang terdapat di

dalam iklan tersebut.

Hardjatno (1998) dalam disertasinya yang berjudul ―Analsis Bahasa Iklan

Rusia: Iklan Sebagai Fenomena Baru Informasi Massa dalam Masyarakat Rusia‖

mengangkat dua permasalahan dalam penelitiannya, yaitu: (1) bagaimana wujud

dan ciri perkembangan bahasa iklan Rusia; dan (2) bagaimana bahasa iklan Rusia

mencerminkan gambaran sosial ekonomi yang berbeda dari masa komunisme.

Kedua masalah tersebut dianalisis dengan menggunakan beberapa teori, seperti:

teori tanda dari Peirce, teori mitos dari Barthes, teori wacana dari Cook, teori

sintaksis dari Svedova dan teori pragmatik dari Jakobson. Khusus untuk

menjawab masalah yang kedua, Hardjatno juga melakukan wawancara terhadap

100 orang responden, yaitu orang-orang Rusia yang tinggal di Moskow. Untuk

menganalisis hasil wawancara tersebut Hardjatno menggunakan grounded theory

dari Strauss.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa bahasa iklan Rusia (dari tahun

1991-1996) memiliki ciri-ciri yang khusus setiap tahun dan menggambarkan

situasi sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang terjadi pada masyarakat Rusia.

Hardjatno menyebutkan bahwa iklan mencerminkan suatu proses perubahan, yaitu

suatu perubahan yang tercermin dalam sistem nilai karena pada masa komunis

semua diatur oleh negara, sedangkan sekarang menjadi kewenangan sendiri. Iklan

juga membentuk persepsi baru pada masyarakat Rusia yang berakibat pada

perubahan pola-pola hidup atau pergaulan masyarakat. Iklan mencerminkan suatu

proses transformasi budaya.

Hasil penelitian Hardjatno memiliki relevansi terhadap penelitian ini

karena sama-sama menganalisis wacana iklan. Perbedaannya adalah bahwa

dalam penelitiannya Hardjatno meneliti bagaimana bahasa iklan Rusia yang

mencerminkan gambaran sosial ekonomi yang berbeda dari masa komunisme dan

melakukan wawancara terhadap 100 orang responden. Sementara itu, penelitian

ini menganalisis makna serta ideologi iklan komersial pada media elektronik.

Berbeda dengan penelitian Hardjatno penelitian ini tidak melibatkan pihak ketiga

(tidak melakukan wawancara baik terhadap produser/penulis iklan maupun

pemirsa televisi). Dengan demikian, dalam penelitian ini diharapkan ada hasil

temuan yang baru dan berbeda.

Welaga (2000) dalam tesisnya yang berjudul ―Wacana Iklan Komersial‖

menganalisis, antara lain: (1) bagaimana unsur-unsur bahasa yang persuasif

digunakan dalam struktur tajuk, badan iklan, dan penjelasan tambahan iklan; (2)

bagaimana metode dan teknik komposisi yang persuasif pada wacana iklan

komersial; (3) bagaimana alat-alat kohesi dalam wacana iklan komersial; dan (4)

bagaimana peranan konteks wacana iklan komersial yang persuasif. Sumber data

yang berupa iklan komersial diambil dari majalah dan surat kabar. Data tersebut

dianalisis secara kualitatif dan deskriptif berdasarkan pada teori fungsi persuasif

bahasa oleh Jakobson dan Leech serta didukung dengan beberapa teori yang

berkaitan dengan keempat permasalahan penelitiannya. Welaga menggunakan

teori Advertising Discourse dari Cook untuk menganalisis konteks iklan

komersial. Teori wacana dari Halliday dan Hasan juga digunakan untuk mengkaji

alat-alat kohesi wacana; serta teori komposisi dari D‘angelo untuk mengkaji

metode dan teknik komposisi yang persuasif pada wacana iklan komersial.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara

aspek verbal dan visual dalam mendukung fungsi persuasif bahasa pada wacana

iklan komersial. Penggunaan unsur bahasa seperti tema menunjukkan hubungan

yang erat dengan diksi dan referen pada iklan barang, tetapi hanya berhubungan

asosiasif pada iklan perusahaan jasa. Beberapa metode dan teknik komposisi pada

kedua jenis iklan itu digunakan untuk mendukung daya persuasif, seperti induksi

dan deduksi, rasionalisasi, analogi, testimoni, silogisme, dan beberapa teknik lain.

Beberapa alat kohesi yang dominan digunakan dalam wacana iklan komersial

yang persuasif adalah elipsis, referensi, konjungsi, dan repetisi. Beberapa unsur

konteks wacana dari Cook pada media cetak diketengahkan untuk mendukung

fungsi persuasif, seperti parabahasa, substansi, dan fungsi, baik pada iklan barang

maupun jasa.

Secara garis besar, walaupun penelitian Welaga dan penelitian ini sama-

sama menganalisis iklan, konsentrasi analisisnya berbeda. Penelitian Welaga

berkonsetrasi pada fungsi persuasif bahasa dengan menggunakan teori fungsi

bahasa dari Jakobson (1963) dan Leech (1974) sebagai landasan untuk

memecahkan dan menjawab permasalahan dalam penelitiannya, sedangkan

penelitian ini menganalisis gaya bahasa dengan menggunakan teori dari Keraf

(1998). Penelitian Welaga tidak menganalisis gaya bahasa dan tidak menelaah

makna dari iklan-iklan tersebut ataupun ideologi yang melatarbelakanginya.

Faturochman (2004) yang menulis sebuah artikel berjudul ―Analisis

Gender pada Iklan Televisi dengan Metode Semiotika‖ memilih dua buah iklan

yang dianggap representatif, yaitu iklan ―Pond‘s White Beauty Baru‖ dan

―Rinso‖. Kedua iklan tersebut dipilah berdasarkan adegan-adegan yang

merepresentasikan ideologi gender. Dalam artikel ini dijelaskan bahwa pertama-

tama adegan tersebut dimaknai secara denotatif (signifikasi tahap I), yaitu makna

yang tersurat dalam suatu adegan. Selanjutnya, adegan dimaknai secara konotatif

(signifikasi tahap II), yaitu makna yang tersirat dalam suatu adegan. Adegan

tersebut dikaitkan dengan aspek kultural untuk mendapatkan makna ideologisnya

(signifikasi tahap III).

Hasil penelitian Faturochman menunjukkan bahwa representasi gender

dalam iklan ―Pond‘s White Beauty Baru‖ sangat kental dengan muatan

seksismenya. Perempuan dalam iklan tersebut dilihat sebagai sebuah citra pigura,

perempuan diharuskan untuk selalu tampil memesona bagi laki-laki. Dalam

artikelnya dikatakan bahwa iklan tersebut berupaya memanfaatkan kesan stereotip

yang ada dalam masyarakat, yaitu bahwa perempuan memiliki kebutuhan untuk

diterima oleh laki-laki. Ketergantungan perempuan terhadap laki-laki ini

direspons oleh produsen sebagai kebutuhan eksistensi perempuan (sebagai

konsumen) yang akan tercukupi oleh produknya. Lebih lanjut, dalam analisisnya

Faturochman menjelaskan bahwa ―kebutuhan‖ ini dipoles produsen agar menjadi

―keinginan‖ melalui representasi dalam iklannya, yaitu melalui pembentukan citra

kecantikan idealnya. Sosialisasi citra kecantikan ideal tersebut disuguhkan melalui

usaha persuasif dalam iklan sehingga menumbuhkan keinginan bagi konsumen

perempuan untuk memiliki wajah putih sebagaimana yang dimodelkan oleh iklan

ini. Pada akhirnya, iklan berlanjut pada perilaku pembelian oleh konsumen

perempuan.

Berbeda halnya dengan iklan ―Rinso‖, Faturochman menyebutkan bahwa

iklan ini merepresentasikan relasi gender yang setara, yaitu saat sepasang suami

istri digambarkan bersama-sama melakukan pekerjaan domestik. Dalam iklan

tersebut digambarkan bahwa sang istri menegur suaminya yang menuang Rinso

berlebihan. Namun, bukan berarti iklan tersebut setuju bahwa perempuanlah si

ahli mencuci karena si suami digambarkan segera tanggap dengan teguran sang

istri. Dengan demikian, adegan ini hanya ingin merepresentasikan realitas yang

ada, yaitu bahwa sudah sejak lama perempuanlah yang telah melakukan pekerjaan

domestik itu sehingga mereka pun terkondisi menjadi ―lebih peka‖ perihal

pemakaian detergen dibanding dengan laki-laki.

Berdasarkan hasil penelitiannya, Faturochman menyimpulkan bahwa

kedua iklan tersebut telah menjalankan fungsi ekonomi dan fungsi sosial dengan

caranya sendiri-sendiri. Fungsi ekonomi dijalankan dengan cara

mengintegrasikan representasi gender dalam masing-masing iklan sehingga

representasi-representasi tersebut dapat membangun fungsi persuasif iklan secara

keseluruhan. Representasi gender dalam iklan-iklan tersebut juga

merepresentasikan realitas yang ada dalam masyarakat. Untuk iklan ―Pond‘s

White Beauty Baru‖ representasi gendernya mengacu pada fungsi cerminan dari

kondisi dalam masyarakat yang seksis. Sementara itu, iklan ―Rinso‖ merespons

(secara positif) proses perubahan yang sedang terjadi dalam masyarakat, mengacu

pada fungsinya sebagai agen perubahan. Walaupun demikian, representasi itu

menjadi bias saat dicampurkan dengan kepentingan ekonomi yang

menungganginya.

Penelitian Faturochman memiliki relevansi terhadap penelitian ini karena,

baik penelitian Faturochman maupun penelitian ini, sama-sama menggunakan

iklan televisi sebagai sumber data. Dengan demikian, peneliti dapat melihat

bagaimana tahap-tahap pengumpulan data serta cara menganalisis data-data

tersebut. Selain itu, dalam penelitian Faturochman iklan ―Pond‘s White Beauty

Baru‖ dan iklan ―Rinso‖ juga dimaknai secara denotatif (signifikasi tahap I),

konotatif (signifikasi tahap II), dan selanjutnya adegan dalam iklan tersebut

dikaitkan dengan aspek kultural untuk mendapatkan makna ideologisnya

(signifikasi tahap III). Namun, penelitian ini memiliki perbedaan yang sangat

signifikan dengan penelitian Faturochman sebab, sesuai dengan judul artikelnya

penelitian Faturochman menganalisis gender pada iklan televisi, sedangkan

penelitian ini sama sekali tidak menyentuh ataupun menganalisis unsur-unsur

gender pada iklan televisi.

Mulyawan (2005) dalam tesisnya yang berjudul ―Wacana Iklan Komersial

Media Cetak: Kajian Hipersemiotika‖ menganalisis komposisi struktur iklan

komersial media cetak, termasuk struktur gramatikal dan leksikalnya, makna dan

pesan yang ingin disampaikan, serta ideologi yang melatarbelakangi iklan

tersebut. Mulyawan menggunakan dua teori utama, yaitu teori Struktur Wacana

dari van Dijk dan teori Hipersemiotika oleh Yasraf Amir Piliang. Hasil analisis

Mulyawan menunjukkan bahwa iklan komersial pada media cetak memiliki

delapan pola perpaduan struktur pembentuk iklan. Dalam hal eksploitasi unsur

verbal, setiap iklan melibatkan pemanfaatan kohesi gramatikal dan leksikal secara

maksimal dan efektif. Terkait dengan makna dan pesan yang ingin

dikomunikasikan, setiap iklan mengeksploitasi tanda nonverbal hingga melebihi

batas realitas, sedangkan ideologi iklan lebih dipengaruhi oleh visi dan misi pihak

produsen.

Penelitian Mulyawan memiliki kesamaan dengan penelitian ini sebab

sama-sama menganalisis makna iklan. Namun, terdapat perbedaan pada analisis

makna tanda. Dalam penelitiannya Mulyawan menggunakan teori hipersemiotik

dari Piliang (2003) sebagai dasar teorinya untuk mengungkap makna dalam iklan,

sedangkan penelitian ini menggunakan teori semiotik dari Barthes (1998). Pada

dasarnya semiotik dan hipersemiotik sama-sama mempelajari pesan dan makna

tanda dalam kehidupan sosial mayarakat. Perbedaan mendasar di antara

keduanya, yaitu kajian hipersemiotika mempelajari hubungan antartanda (yang

bersifat hiper) dengan representasinya di dalam kehidupan sosial masyarakat yang

maknanya melampaui batas realitas (hiperealitas).

Tinarbuko (2006) juga menggunakan semiotik sebagai metode pembacaan

ILM dalam disertasiya yang berjudul ―Tanda Verbal dan Tanda Visual Iklan

Layanan Masyarakat (Sebuah Kajian Semiotika pada Iklan Layanan Masyarakat

yang Dimuat di Harian Kompas Periode 1994–2006)‘‘. Sesuai dengan judulnya,

penelitian tersebut mengkaji tanda verbal dan tanda visual. Penelitian tersebut

mencakup analisis tanda verbal yang meliputi headline, teks body copy dan

closing words yang kemudian diikuti analisis tanda visual serta analisis semiotik

terkait dengan kedua tanda tersebut.

Dari analisis tanda verbal dan tanda visual yang terkandung dalam ILM

tersebut Tinarbuko menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara

tanda verbal dan tanda visual. Keduanya saling melengkapi. Parodi dan

personifikasi yang merupakan idiom estetik tanda visual menjadi kuat

keberadaannya sebagai visualisasi dari tanda verbal. Berdasarkan tanda verbal

dan tanda visual tersebut maka bisa dicermati pesan ILM tersebut dengan bantuan

kode hermeneutik, kode simbolik, kode narasi, dan kode kebudayaan.

Disertasi Tinarbuko itu cukup relevan dengan penelitian ini sebab

penelitian ini juga memanfaatkan tanda verbal dan nonverbal untuk mengungkap

makna di balik iklan. Namun, penelitian Tinarbuko tidak memperhatikan lebih

jauh mengenai gaya bahasa yang digunakan oleh pembuat iklan dalam

menyampaikan pesan, ataupun idelogi di balik iklan tersebut. Di samping itu,

iklan yang dijadikan sumber data dalam penelitiannya adalah Iklan Layanan

Masyarakat (ILM) yang tentu saja memiliki gaya bahasa yang berbeda dengan

iklan komersial televisi. Hal tersebut membuat penelitian ini berbeda dari

penelitian Tinarbuko.

Sufanti dan Sabardila (2007) menulis sebuah artikel yang berjudul

―Penanda Kohesi Gramatikal dan Leksikal: Kasus pada Iklan Cetak Obat-Obatan

dan Kosmetik‖. Ada dua hal yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian

tersebut, yaitu (1) Apa saja penanda kohesi yang dikembangkan dalam iklan obat-

obatan dan kosmetik di media cetak, dan (2) Bagaimana wujud kalimat pengisi

wacana iklan obat-obatan dan iklan kosmetik di media cetak. Penelitian tersebut

menetapkan 15 wacana iklan obat-obatan dan kosmetik yang dimuat di majalah

berbahasa Indonesia sebagai data. Analisis pemakaian penanda kohesi gramatikal

dan leksikal pada masing-masing wacana dalam penelitian tersebut dimulai

dengan menunjukkan jumlah kalimat pengisi wacana. Setelah itu, analisis

berlanjut ke pengisian struktur fungsional.

Berdasarkan hasil analisis terhadap 15 wacana iklan obat-obatan dan

kosmetik di atas ditemukan bahwa penanda kohesi gramatikal berupa elipsis dan

substitusi. Penanda kohesi leksikal berupa repetisi merupakan penanda kohesi

yang dominan dalam iklan obat-obatan dan kosmetik di media massa cetak.

Elipsis memiliki persentase terbesar sebagai penanda kohesi dalam iklan cetak.

Sufanti dan Sabardila menyimpulkan bahwa elipsis dipilih oleh penulis iklan jika

wacana dibentuk dengan kalimat-kalimat pendek dan penyampaian iklan

menggunakan ruang yang sempit. Adapun penanda kohesi leksikal, khususnya

pengulangan, dipilih penulis iklan jika ruang penyampaiannya longgar.

Sementara itu, mengenai wujud kalimat pengisi wacana iklan obat-obatan

dan iklan kosmetik di media cetak, Sufanti dan Sabardila menyebutkan bahwa

jumlah kalimat pengisi wacana iklan obat-obatan dan kosmetik berdasarkan kasus

data 1-15 berkisar antara 1 hingga 14 kalimat. Dari karakteristik kalimatnya, hal

tersebut selaras dengan medianya, yakni majalah yang menyajikan pesan

memerlukan waktu untuk dapat membacanya hingga selesai.

Penelitian Sufanti dan Sabardila juga memberikan kontribusi untuk

penelitian ini khususnya dalam analisis struktur kalimat. Hal ini dapat dilihat dari

rumusan permasalahan yang diangkat dalam artikel di atas, yang menganalisis

penanda kohesi gramatikal dan leksikal yang dikembangkan dalam iklan obat-

obatan dan kosmetik di media cetak serta wujud kalimat pengisi wacana iklan

tersebut. Namun, penelitian Sufanti dan Sabardila terhenti sampai di sana tanpa

lebih lanjut menganalisis makna ataupun ideologi di balik iklan-iklan tersebut.

Selain itu, penanda kohesi gramatikal dan leksikal yang digunakan dalam iklan

media cetak tentu juga berbeda dengan penanda kohesi gramatikal dan leksikal

yang digunakan dalam media elektronik. Dengan demikian, hasil penelitian ini

juga akan sangat berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh

Sufanti dan Sabardila.

Kusumawati (2010) menganalisis iklan televisi dalam artikelnya yang

berjudul ―Analisis Pemakaian Gaya Bahasa pada Iklan Produk Kecantikan

Perawatan Kulit Wajah di Televisi‖. Ada dua rumusan masalah yang diangkat

dalam penelitian tersebut, yaitu (1) Gaya bahasa apa saja yang terdapat dalam

iklan produk kecantikan perawatan kulit wajah di televisi, dan (2) Bagaimanakah

tanggapan masyarakat terhadap bahasa yang digunakan pada tayangan iklan

produk kecantikan perawatan kulit wajah di televisi.

Hasil penelitian Kusumawati menunjukkan bahwa pemakaian gaya bahasa

yang digunakan dalam iklan produk kecantikan perawatan kulit wajah di televisi

dengan memberdayakan: a) personifikasi; b) pertanyaan retoris; c) mesodiplosis;

d) anafora; e) klimaks; f) koreksio; g) aliterasi; h) asindenton; i) epistrofa; j)

antiklimaks; k) repetisi; l) asonansi; m) anadiplosis; dan n) erotesis. Gaya bahasa

yang paling banyak digunakan dalam penayangan iklan tersebut adalah gaya

bahasa anafora. Anafora adalah repetisi yang berwujud perulangan kata pertama

pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Kusumawati menjelaskan bahwa

penggunaan gaya bahasa anafora bermaksud menekankan produk yang

ditawarkan sehingga dapat memudahkan masyarakat untuk mengingatnya, hingga

akhirnya membeli produk tersebut.

Kusumawati juga melakukan wawancara untuk mengetahui tanggapan

masyarakat terhadap pemakaian bahasa pada iklan produk kecantikan perawatan

kulit wajah di televisi. Hasil pengumpulan data melalui wawancara tersebut

menunjukkan masyarakat berpendapat bahwa bahasa pada iklan produk

kecantikan sangat provokatif dan membujuk, seolah-olah kecantikan yang

dimiliki model adalah berkat pemakaian produk iklan kecantikan yang

dibintanginya. Hal tersebut sangat memengaruhi masyarakat untuk membeli

produk yang diiklankan agar memiliki kulit wajah seperti model di iklan tersebut.

Dari pemaparan di atas dapat dilihat bahwa penelitian tersebut hanya

berfokus pada pemakaian gaya bahasa, khususnya majas, yang digunakan dalam

iklan produk kecantikan perawatan kulit wajah di televisi serta tanggapan

masyarakat terhadap pemakaian gaya bahasa tersebut. Sama halnya dengan

penelitian Sufanti dan Sabardila, penelitian Kusumawati juga hanya memberikan

kontribusi sebatas apa yang ada pada tataran analisis struktur mikro saja. Namun,

hal ini sangat bermanfaat untuk penelitian yang dilakukan ini melihat tidak sedikit

iklan televisi yang menggunakan majas untuk membujuk calon pembelinya. Hasil

penelitian Kusumawati dapat memperluas wawasan peneliti khususnya tentang

majas.

Mahayani (2011) dalam tesisnya yang berjudul ―Teks Iklan Layanan

Kesehatan Masyarakat: Kajian Semiotik‖ menganalisis: (1) struktur teks verbal

yang terdapat pada ILKM; (2) makna yang terdapat pada ILKM, baik makna

denotatif maupun konotatif; serta (3) ideologi yang melatarbelakanginya.

Penelitiannya menggunakan model analisis wacana van Dijk (1997) yang

menganalisis struktur mikro dan makro. Teori utama yang digunakannya adalah

teori semiotik oleh Barthes (1997). Hasil analisisnya menunjukkan bahwa pada

struktur mikro, secara gramatikal, pada teks verbal terdapat pelesapan dan

perangkaian, dan secara leksikal, terdapat bentuk pengulangan. Pada analisis

struktur makro diperoleh bahwa makna konotatif pada iklan merupakan

perkembangan dari makna denotatifnya. Ideologi yang terdapat pada masing-

masing iklan berbeda tergantung pada maksud dan tujuan yang ingin dicapai oleh

masing-masing produsen.

Penelitian yang dilakukan oleh Mahayani relevan dengan penelitian ini

karena dalam analisisnya Mahayani juga menggunakan teori semiotik dari Barthes

(1997) untuk menganalisis makna tanda yang muncul dalam Iklan Layanan

Masyarakat (ILM) sehingga dapat ditemukan ideologi yang melatarbelakanginya.

Adapun perbedaan disertasi ini dengan penelitian Mahayani, di antaranya, adalah

penelitian Mahayani menganalisis struktur wacana iklan, sedangkan penelitian ini

menganalisis gaya bahasa. Perbedaan yang lain dapat dilihat dari jenis iklan yang

digunakan, Mahayani menganalisis Iklan Layanan Kesehatan Masyarakat

(ILKM), sedangkan penelitian ini menganalisis iklan komersial. Iklan layanan

kesehatan masyarakat cenderung bertujuan untuk memberikan informasi,

mengingatkan, menambah nilai, memengaruhi, dan bahkan mengubah sikap

masyarakat untuk hidup sehat. Sebaliknya, tujuan utama dari sebuah iklan

komersial lebih pada ―menjual‖, di samping juga memberi informasi dan

memengaruhi masyarakat yang sudah merupakan sifat dasar iklan itu sendiri.

Selain jenis iklan, medianya pun berbeda. Media iklan yang digunakan oleh

Mahayani adalah media cetak, sedangkan dalam penelitian ini data diambil dari

media elektronik (televisi). Iklan televisi memiliki beberapa kelebihan yang

meliputi tampilan visual, seperti penampilan, pakaian, make up, perilaku,

pembicaraan, sasmita (gesture), ekspresi, suara, dan lain-lain. Level ini yang

disebut level pertama masih bersifat permukaan. Level kedua adalah

―representasi‖ yang melibatkan penggunaan kamera, pencahayaan, pengeditan,

musik, dan suara yang dapat merepresentasikan makna tentang situasi yang

dibangun seperti konflik, karakter, latar (seting), dan sebagainya.

Sukarini (2012) dalam disertasinya yang berjudul ―Teks Iklan Layanan

Masyarakat: Kajian Semiotik‖ mengangkat tiga masalah, yaitu (1) struktur

gramatikal dan leksikal teks ILM kesehatan, (2) keterhubungan tiga trikotomi

tanda (representamen, objek, dan interpretan) dengan tiga komponen tanda dalam

unsur nonverbal ILM kesehatan, dan (3) ideologi dan pesan yang ada di balik

unsur verbal dan nonverbal ILM kesehatan. Penelitiannya menggunakan metode

deskriptif kualitatif dan interpretatif. Data penelitian berupa data tulis dari media

cetak dalam bentuk poster dan brosur. Sejumlah teori digunakan untuk

menganalis unsur-unsur bahasa dalam ILM. Teori utama dalam penelitian

tersebut adalah teori semiotik dari Peirce yang menyebut proses semiosis sebagai

proses triadik karena mencakup tiga unsur secara bersama, yakni tanda (disingkat

T), hal yang diwakilinya disebut objek (disingkat O), dan kognisi yang terjadi

pada pikiran seseorang pada waktu menangkap tanda itu disebut interpretan

(disingkat I). Hasil analisis menunjukkan bahwa unsur-unsur bahasa yang

digunakan dalam ILM kesehatan adalah bentuk-bentuk persuasif yang

direalisasikan dengan pemakaian verba yang mengekspresikan makna imperatif.

Maksud dari pemakaian bentuk-bentuk seperti itu adalah agar khalayak sasaran

melakukan tindakan sesuai dengan pesan dan informasi yang disampaikan dalam

ILM kesehatan. Dari pemakaian simbol dan tanda realisasi makna yang

mendominasi adalah makna yang mendekati kewaspadaan dan bahaya, seperti

warna kuning dan merah, di samping juga ada warna-warna lain serta simbol-

simbol HIV/AIDS dan KB. Sementara itu, dalam aspek ideologi Sukarini

menemukan bahwa hampir semua ILM berkenaan dengan kebersihan, kesehatan,

kewaspadaan, kehati-hatian, kepedulian, kebersamaan, perencanaan,

kesejahteraan, dan kebahagiaan.

Penelitian Sukarini tersebut cukup relevan dengan penelitian ini karena

sama halnya dengan penelitian Mahayani (2011), penelitian Sukarini (2012) juga

menggali pesan dan ideologi yang ada di balik unsur verbal dan nonverbal dari

ILM. Perbedaannya adalah penelitian Sukarini menganalisis keterhubungan tiga

trikotomi tanda (representamen, objek, dan interpretan) dengan tiga komponen

tanda dalam unsur nonverbal yang menggunakan teori trikotomi dari Peirce.

Sementara itu, penelitian ini menganalisis makna tanda dan makna tuturan dengan

menggunakan teori dikotomi dari Barthes, yang mengemukakan tentang makna

berlapis, yaitu makna denotatif dan makna konotatif. Selain itu, penelitian ini

juga menggunakan sumber data yang berbeda, yaitu iklan komersial (bukan ILM)

yang diambil dari media elektronik, yaitu televisi (bukan dari media cetak).

Dengan adanya perbedaan teori serta sumber data diharapkan penelitian yang

dilakukan ini dapat sampai pada sebuah temuan baru di bidang semiotik.

Ada beberapa artikel yang dimuat dalam jurnal internasional yang juga

menginspirasi dan memberi kontribusi yang cukup besar dalam penelitian ini.

Artikel pertama berjudul “Truthfulness as a Factor in the Language of

Advertising” oleh Kehinde (2005). Artikel ini menelaah kebenaran atau kejujuran

dalam bahasa iklan, tujuan, konteks, isi, dan implikasinya untuk menciptakan

iklan yang baik di dunia bisnis yang selalu penuh dengan kompetisi. Artikel ini

menganalisis keburukan yang ditimbulkan oleh bahasa iklan yang penuh tipuan

bagi konsumen, penjual, dan perusahaan bisnis. Lebih lanjut, artikel ini

merekomendasikan beberapa cara untuk mengurangi iklan yang menipu melalui

usaha bersama antara pemerintah, pers, badan-badan keagamaan, dan organisasi

nonpemerintahan.

Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa truthfulness

‗kebenaran/kejujuran‘ secara sederhana berarti memberikan informasi atau fakta

yang memang benar adanya tentang sesuatu. Oleh sebab itu, pernyataan yang

benar adalah pernyataan yang dibuat berdasarkan fakta, bukan imajinasi.

Sementara itu, bahasa iklan adalah bahasa yang samar-samar, tidak dapat

diprediksi, ambigu, membingungkan, mengelak, tidak jelas, ragu-ragu, dan tidak

tepat. Hal inilah yang menimbulkan pertanyaan akan kebenaran dalam sebuah

iklan. Oleh sebab itu, perlu diteliti hubungan moral antara kebenaran dan bahasa

iklan.

Kehinde (2005) mengatakan bahwa iklan dapat dinilai salah atau benar

secara moral tergantung pada pesan yang disampaikan oleh iklan tersebut, apakah

sesuai dengan kenyataan atau kualitas dari produk yang diiklankan ketika pembeli

membeli dan menggunakannya. Ketika seseorang membeli sebuah produk dan

ternyata produk tersebut tidak sesuai dengan apa yang dipromosikan dalam iklan

maka hal ini dapat menimbulkan complaint ‗keluhan‘ dari pembeli. Keluhan

terhadap sebuah produk dari pembeli menunjukkan adanya tuntutan akan

kebenaran dalam sebuah iklan.

Penelitian Kehinde (2005) tersebut menunjukkan apa yang diperlukan

untuk membuat iklan yang jujur. Iklan yang jujur meliputi iklan yang

memberikan informasi yang tepat dan akurat tentang komoditas yang diiklankan.

Informasinya harus faktual sebab pada prinsipnya masyarakat yang merupakan

target pasar memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang sebenarnya.

Informasi yang efektif dan jujur diharapkan dapat meningkatkan kepuasan

konsumen. Semakin jujur informasi yang disampaikan oleh sebuah iklan semakin

bagus pasaran dan penjualan yang diraih. Faktanya adalah bahwa iklan yang jujur

dapat meningkatkan penjualan dan dapat memberikan kontribusi yang dinamis

untuk meningkatkan taraf perekonomian.

Ia menambahkan bahwa sebuah iklan dianggap mengelabui masyarakat

jika iklan tersebut berbohong tentang kualitas dan kuantitas produk yang

diiklankan. Iklan yang menipu memuat: (1) pernyataan yang salah dan

menyesatkan atau gambar dan kata-kata yang berlebih-lebihan; (2) kesaksian yang

tidak merefleksikan pilihan yang nyata dari saksi yang kompeten; (3) klaim harga

yang menyesatkan; (4) perbandingan, yang meremehkan produk pesaing dengan

tidak adil; (5) klaim yang tidak cukup mendukung atau yang memutarbalikkan

makna yang sebenarnya atau pernyataan yang dibuat oleh orang-orang profesional

atau otoritas ilmiah; dan (6) pernyataan, saran, atau gambar yang menyerang atau

menghina norma-norma dalam masyarakat.

Menurut Kehinde (2005), berbohong adalah sebuah tindakan yang tidak

bermoral karena tindakan itu setara dengan penipuan. Oleh sebab itu, setiap

bentuk iklan yang mengandung paksaan, manipulasi, dan melebih-lebihkan

sesuatu adalah tindakan yang tidak bermoral sebab tindakan itu menghilangkan

konsep kebenaran. Menipu publik melalui iklan adalah sebuah kejahatan moral

karena tindakan itu menunjukkan bahwa pengiklan tidak menghormati publik,

pada titik ini penipuan adalah sama dengan bentuk penghinaan terhadap sesama.

Artikel tersebut menunjukkan langkah-langkah menuju pada iklan yang

berorientasi moral. Kehinde (2005) menyatakan bahwa untuk meningkatkan

iklan yang jujur harus diambil langkah-langkah tertentu, misalnya, memberikan

tanggung jawab lebih pada masing-masing pemangku kepentingan di bidang

periklanan, seperti produsen, agen iklan, media, masyarakat, dan yang terakhir

adalah pemerintah.

Ketika produsen memutuskan apa yang akan diiklankan, sangat penting

bagi mereka untuk membuat slogan-slogan yang jujur dan benar adanya serta

mengetahui bahwa mereka memiliki tanggungjawab sosial untuk tidak

membohongi publik. Sementara itu, agen iklan perlu tahu bahwa sangat penting

untuk jujur, baik dalam hal isi iklan, keakuratan iklan maupun media iklan.

Dalam hal, ini agen iklan harus mematuhi kode praktis periklanan. Dari sisi

media iklan, segala bentuk media memiliki tanggung jawab sosial atas segala

sesuatu yang muncul pada tayangannya atau di halaman publikasinya setelah

mereka menerima bahan iklan dari produsen ataupun agen iklan.

Di samping itu, masyarakat juga memiliki kewajiban untuk menilai,

mengomentari, mengendalikan atau mengeluhkan iklan yang mengandung unsur

penipuan. Hal ini merupakan sebuah kewajiban moral. Kemudian, untuk

membuat semuanya lebih efektif, pemerintah harus mengambil peranan aktif

dalam mengatur dan mengawasi periklanan. Peran utama pemerintah ialah untuk

melindungi kepentingan masyarakat. Kehinde (2005) menyimpulkan bahwa jika

semua komponen ini menyadari kewajiban moral untuk membuat iklan yang jujur

dan benar adanya maka seluruh masyarakat akan memperoleh keuntungan

darinya.

Artikel Kehinde (2005) itu memberikan kontribusi bagi penelitian ini

khususnya di bidang pemaknaan dan ideologi. Namun, artikel tersebut tidak

membahas tentang gaya bahasa seperti yang dilakukan dalam penelitian ini. Di

samping itu, dari segi makna, artikel tersebut hanya menelaah kejujuran atau

ketidakjujuran yang disampaikan oleh tanda verbal ataupun nonverbal dalam

sebuah iklan dan tidak menelaah tentang makna denotatif dan makna konotatif.

Dari sisi ideologi, artikel tersebut juga hanya terbatas pada ideologi tentang

truthfulness ‗kebenaran‘. Sementara itu, penelitian ini menelaah berbagai macam

ideologi yang berbeda-beda yang melatarbelakangi masing-masing iklan.

Artikel internasional yang kedua diambil dari prosiding Konferensi

Internasional, ―Doing Research in Applied Linguistics‖ (2011), di Bangkok.

Artikel tersebut berjudul “Hidden Language of Advertising: A Semiotic

Approach” oleh Najafian dan Dabaghi. Penelitian tersebut berupaya untuk

menelaah ideologi atau bahasa yang tersembunyi dalam dua buah iklan ―Omega

watch‖ yang diambil dari majalah Time yang terbit pada bulan Oktober tahun

2002. Artikel itu menggunakan pendekatan semiotik untuk menganalisis iklan

tersebut, khususnya teori dari Kress dan Leeuwen (1996).

Temuan dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada iklan

―Omega watch‖ yang pertama, pengiklan menggunakan huruf kapital yang tebal

dan berukuran lebih besar pada bagian headline. Hal tersebut bertujuan untuk

menarik perhatian pembaca dan membuat mereka penasaran akan apa yang

sesungguhnya disampaikan oleh iklan ini. Hal ini secara tidak sadar mengarahkan

pembaca untuk terus membaca dan meningkatkan rasa ingin tahunya tentang

produk tersebut dan akhirnya dapat meraih tujuan utamanya, yaitu untuk

membujuk pembaca untuk membeli jam tersebut. Di samping itu, pengiklan

berusaha menarik perhatian pembaca dengan meletakkan sebuah gambar jam

bagian tengah halaman iklan. Tagline memperkuat ide ini sebab ia diletakkan di

bawah gambar tersebut dengan menggunakan huruf hitam kontras. Pengiklan

menggunakan huruf yang lebih kecil dari headline untuk menulis subtitle. Hal ini

dilakukan agar iklan lebih memikat, mudah terlihat, dan jelas bagi pembaca.

Subtitle ini memberikan lebih banyak informasi tentang produk yang diiklankan.

Dalam iklan jam tersebut, pengiklan meletakkan foto seorang pembalap

terkenal, Michael Schummacher, di atas produk yang diiklankan. Hal ini

membangun hubungan antara pria tersebut dengan produk yang diiklankan.

Schummacher dalam karirnya tercatat memiliki kemampuan melakukan putaran

tercepat pada detik-detik penting di arena balap untuk memacu mobilnya pada

batas maksimum. Dalam artikel itu disebutkan bahwa Beasly & Danesi (2002)

menyatakan bahwa sebuah iklan yang didukung oleh kehadiran selebritis dapat

membuat sebuah produk dipercaya kualitasnya. Hal ini dilakukan dengan cara

meletakkan tanda ikonik (foto selebritis) dan tanda linguistik secara

berdampingan. Dalam hal ini, hubungan antara satu tanda dan tanda yang lain

sangat penting untuk memaknai iklan. Lebih lanjut, penulis artikel menyebutkan

bahwa bukan sebuah kebetulan bila pada iklan tersebut produk yang diiklankan

dan foto model iklan sama-sama berwarna merah. Hal ini didukung oleh

pernyataan Walters (1982) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara warna

merah dan rasa kegembiraan.

Berbeda dengan iklan yang pertama, iklan ―Omega watch‖ yang kedua

menunjukkan gambar seorang supermodel cantik, Cindy Crawford. Gambar

seorang supermodel merupakan sebuah tanda yang memiliki makna konotatif

seperti ‗muda‘, ‗langsing‘, dan lain-lain. Gambar ini menandakan konsep

kecantikan yang feminim. Konsep kecantikan yang feminim ini, yang disebut

oleh Barthes, sebagai mitos. Makna mitos iklan menghubungkan antara jam,

femimisme, dan kenikmatan seks yang eksotik. Makna konotatif merupakan

bahan baku dari mitos. Iklan jam itu tidak secara literal mengatakan bahwa jam

itu akan membuat anda terlihat cantik. Sebaliknya, pesan tersebut disampaikan

dengan menggunakan susunan tanda. Dengan demikian, pembaca diminta untuk

membaca makna mitos dari sebuah iklan.

Simpulan yang dapat ditarik dari artikel tersebut ialah dengan

menggunakan warna dan tanda, pengiklan dapat berkomunikasi dengan konsumen

dengan lebih baik dan membuat produk menjadi lebih populer. Ada sebuah

keteraturan ditemukan dalam fenomena periklanan, yaitu penggunaan serangkaian

tanda, pilihan yang terbatas, dan pilihan-pilihan tersebut merupakan bagian dari

makna sosial. Serangkaian tanda tersebut tidak membentuk makna tunggal,

komprehensif, koheren, dan makna dari tanda-tanda tertentu selalu bersifat relatif

tergantung pada pembaca dan kesempatan/situasi yang melatarbelakanginya.

Artikel yang ditulis oleh Najafian dan Dabaghi (2011) sangat relevan

dengan penelitian yang dilakukan ini khususnya dari sisi teoretis. Artikel tersebut

menggunakan teori semiotik khususnya mitologi yang dikemukakan oleh Barthes.

Hal ini dapat dipahami, bagaimana teori itu digunakan untuk mengungkap makna

konotatif yang menguat menjadi mitos. Di samping itu, artikel tersebut juga

memberikan pemahaman terhadap ideologi wacana yang dikemukakan oleh

Hodge dan Kress (1993). Namun, artikel tersebut hanya menelaah makna tanda

dan tidak menelaah gaya bahasa. Sementara itu, penelitian ini menelaah gaya

bahasa iklan di samping juga menelaah makna tanda verbal dan nonverbal serta

ideologi yang melatarbelakangi iklan tersebut.

Artikel ketiga yang dijadikan kajian pustaka berjudul “The Language of

Advertising: Who Controls Quality?” oleh Wyckham dan Banting (1984).

Penelitian yang dilakukan oleh Wyckham dan Banting dilatarbelakani oleh

fenomena bahwa pengiklan kerap kali membuat keputusan untuk melanggar

standar umum bahasa Inggris yang berlaku untuk menciptakan iklan yang

―menjual‖. Aturan tata bahasa pun dilanggar sebagai alat untuk menarik

perhatian. Artikel ini menganalisis pengaruh iklan terhadap bahasa Inggris. Ada

tiga masalah yang menjadi fokus penelitian tersebut, yaitu: (1) Berapa sering

ketidakteraturan linguistik muncul dalam bahasa iklan; (2) Dapatkah

ketidakteraturan ini diklasifikasikan; dan (3) Haruskah ada usaha dari industri

iklan untuk mengontrol kualitas bahasa iklan.

Untuk melihat tingkat ketidakteraturan linguistik dalam iklan, maka

dilakukan analisis terhadap 455 iklan TV yang ditayangkan oleh stasiun TV

Seattle. Penelitian tersebut menunjukkan ada tiga jenis iklan yang paling sering

ditayangkan, yaitu iklan produk makanan dan minuman (31%), iklan produk

perawatan diri (12%), dan promosi program film dan TV (11%). Artikel ini

menunjukkan temuan bahwa tiga perempat dari iklan yang diteliti mengandung

paling sedikit satu ketidakteraturan sintaksis dan stilistik. Sementara itu, 60%

iklan yang melanggar memiliki lebih dari satu ketidakteraturan. Dalam penelitian

itu ditemukan lebih banyak ketidateraturan sintaksis daripada penyalahgunaan

stilistik. Tiga kesalahan sintaksis yang paling sering terjadi adalah kalimat yang

tidak lengkap, tidak adanya acuan, dan penggunaan kata yang salah. Sementara

itu, penyimpangan stilistik yang paling sering ditemukan adalah penggunaan

slang, konsep yang kosong, personifikasi yang tidak tepat, dan penyalahgunaan

atau kebebasan puitis.

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Charles (2001) dalam tesisnya yang

berjudul “Rule-Breaking in the Language of Advertising”. Tesis Charles ini

menganalisis aturan bahasa yang mana yang dilanggar dalam iklan media cetak

dan bagaimana pelanggaran ini dijadikan sebuah alat oleh pengiklan untuk

membuat produk yang diiklankan menjadi lebih menarik dan membuat iklan itu

sendiri menjadi lebih efektif. Kenyataannya, walaupun terjadi beberapa

penyimpangan dalam bahasa iklan, iklan tersebut masih bisa dibaca, koheren

(masuk akal), kohesif (memiliki kesepaduan), dan dapat dimengerti.

Dalam penelitiannya, Charles menganalisis sejumlah iklan berbahasa

Prancis dan Inggris dari majalah yang memiliki genre yang berbeda-beda. Ia

mengklasifikasikan penyimpangan-penyimpangan yang ditemukan, yaitu

penyimpangan dalam hal penggunaan acuan, peran semantik, sintaksis, pragmatik,

dan morfologi. Dari sisi penggunaan acuan, temuan yang paling menarik adalah

beberapa kata ganti tidak memiliki acuan, sebagai contoh, sebuah iklan diawali

dengan kalimat ―It just looks expensive‖. Kata ganti it muncul di awal kalimat

tanpa ada kata atau bagian kalimat yang mendahului kata ganti tersebut sehingga

tidak jelas acuan yang dimaksud.

Sementara itu, salah satu contoh penyimpangan peran semantik yang

ditemukan, yakni peran agen yang tidak pada tempatnya. Sebagai contoh, ―Even

nature can't contain its excitement‖, di sini nature merupakan sesuatu yang

bersifat abstrak dan tidak dapat diletakkan pada posisi agen dalam kalimat

tersebut. Penyimpangan dari segi sintaksis, salah satunya, dapat dilihat pada

kalimat ―Blows curves' minds‖. Di sini terjadi penghilangan subjek pada kalimat

tersebut. Dari sisi pragmatik juga ditemukan penyimpangan, yakni banyak iklan

menggunakan kalimat yang tidak sesuai dengan konteks.

Di samping itu, ditemukan juga penyimpangan secara morfologis. Sebagai

contoh, iklan minuman 7-UP, yakni produk yang dipasarkan sebagai minuman

uncola. Kaidah morfologi dalam bahasa Inggris tidak membenarkan penambahan

prefiks un- pada kata cola sebab cola adalah kata benda. Dalam kaidah morfologi

bahasa Inggris un- hanya bisa dirangkaikan dengan verba sehingga membentuk

kata yang memiliki arti yang berlawanan dengan kata dasarnya.

Banyak contoh penyimpangan lainnya yang dikemukakan oleh Charles

dalam tesisnya. Secara garis besar, hasil penelitian Charles menunjukkan bahwa

penyimpangan terhadap kaidah-kaidah bahasa yang berlaku sangat berharga dan

menguntungkan bagi dunia periklanan sebab penyimpangan-penyimpangan ini

justru membantu pengiklan untuk mencapai tujuannya memasarkan sebuah

produk.

Pada prinsipnya penelitian yang dilakukan oleh Charles (2001) hampir

sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Wyckham dan Banting (1984), yakni

sama-sama meneliti tentang penyimpangan terhadap kaidah bahasa dalam bahasa

iklan. Namun, sumber data dan hasil penelitiannya tidak sama. Penelitian

Charles menggunakan iklan media cetak yang diambil dari majalah, sedangkan

penelitian Wyckham dan Banting menggunakan iklan TV. Hasil penelitian

Charles menunjukkan adanya penyimpangan dalam hal penggunaan acuan, peran

semantik, sintaksis, pragmatik, dan morfologi. Sementara itu, hasil penelitian

Wyckham dan Banting hanya menunjukkan adanya penyimpangan dari segi

sintaksis dan stilistik.

Perbedaan tersebut justru memperkaya wawasan peneliti tentang

penyimpangan-penyimpangan kaidah bahasa yang ditemukan, baik dalam iklan

cetak maupun iklan elektronik. Hal ini tentu saja memberikan kontribusi bagi

penelitian yang dilakukan ini, khususnya dalam pemaknaan tanda verbal. Dengan

mengetahui adanya penyimpangan pada level-level tertentu dapat mempermudah

peneliti untuk menelaah makna tanda verbal dalam bahasa iklan. Namun, tulisan-

tulisan tersebut sangat terbatas, hanya menelaah penyimpangan tata bahasa dan

tidak melihat gaya bahasa yang digunakan dalam bahasa iklan ataupun makna

serta ideologi di baliknya.

Dari semua penelitian terdahulu, sepanjang pengamatan peneliti, belum

ada artikel, tesis ataupun disertasi yang menganalisis gaya bahasa pada iklan TV.

Sementara itu, penelitian ini menganalisis gaya bahasa pada iklan makanan dan

minuman yang ditayangkan di televisi. Penelitian yang dilakukan terhadap gaya

bahasa ini mencakupi empat tataran, yaitu gaya bahasa berdasarkan pilihan kata;

gaya bahasa berdasarkan nada; gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat; dan

gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. Di samping itu, peneliti juga

menganalisis makna verbal dan nonverbal dari iklan tersebut, baik secara denotatif

maupun konotatif, sehingga dapat terungkap mitos dan ideologi yang ada di balik

penciptaan iklan tersebut. Oleh sebab itu, hasil yang diperoleh tentu akan lebih

komprehensif. Hal inilah yang membuat penelitian penulis memiliki nilai novelty

tersendiri yang dapat membedakannya dengan penelitian terdahulu dan

diharapkan mampu menyediakan informasi yang lebih jika dibandingkan dengan

penelitian lainnya.

2.2 Konsep

Konsep adalah pemahaman yang lebih luas tentang suatu hal. Dalam

paparan konsep berikut dijelaskan beberapa konsep utama yang harus dipahami

dalam penelitian ini, yaitu konsep gaya bahasa, iklan, tanda, dan ideologi. Uraian

lebih jelas mengenai konsep-konsep yang dimaksud dapat disajikan seperti di

bawah ini:

2.2.1 Konsep Gaya Bahasa

Gaya bahasa merupakan penggunaan kata-kata dalam berbicara dan

menulis untuk meyakinkan atau memengaruhi penyimak dan pembaca.

Penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi

tertentu. Pendapat ahli sastra, Sudjiman (1990: 33) menyatakan bahwa yang

disebut gaya bahasa adalah cara menyampaikan pikiran dan perasaan dengan kata-

kata dalam bentuk tulisan ataupun lisan. Sementara itu, Keraf (1991: 113)

menyatakan bahwa gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan

pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian

penulis atau penutur. Berdasarkan pengertian yang diberikan di atas dapat

disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah bahasa yang digunakan untuk

mengungkapkan pikiran sehingga dapat menimbulkan efek tertentu.

2.2.2 Konsep Iklan

Cook (1992: 9) mendefinisikan iklan sebagai ―promosi penjualan

benda dan layanan melalui media yang tidak bersifat pribadi‖. Sementara itu,

Liliweri (2001: 31-32) secara umum membagi iklan menjadi dua jenis. Yang

pertama adalah iklan komersial, yaitu iklan yang ditata secara khusus untuk

memperkenalkan barang atau jasa pada konsumen melalui sebuah media. Iklan

jenis ini bertujuan untuk mendukung kampanye pemasaran suatu produk atau jasa

serta merangsang motif dan minat para pembeli atau para pemakai. Yang kedua

adalah Iklan Layanan Masyarakat, yaitu iklan yang bersifat nonprofit. Iklan ini

tidak mencari keuntungan akibat pemasangannya kepada khalayak.

Media iklan adalah segala sarana komunikasi yang dipakai

untuk mengantarkan dan menyebarluaskan pesan-pesan iklan. Pada prinsipnya,

jenis media iklan dalam bentuk fisik dibagi ke dalam dua kategori, yaitu media

iklan cetak dan media iklan elektronik. Media cetak adalah media statis dan

mengutamakan pesan-pesan visual yang dihasilkan dari proses percetakan.

Sementara itu, media elektronik adalah media yang proses bekerjanya berdasar

pada prinsip elektronik dan eletromagnetis (misalnya, televisi, radio, internet).

2.2.3 Konsep Tanda

Menurut de Saussure (1998), tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang

tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana

ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua

aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan penanda (signifier) dan

aspek lainnya yang disebut petanda (signified). Aspek kedua terkandung di dalam

aspek pertama. Jadi, petanda merupakan konsep atau apa yg dipresentasikan oleh

aspek pertama. Lebih lanjut, dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan

ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian

fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, objek, dan sebagainya. Petanda

terletak pada tingkatan isi atau gagasan (level of content) dari apa yang

diungkapkan melalui tingkat ungkapan. Hubungan antara kedua unsur ini

melahirkan makna.

Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) suatu hal (benda) yang lain

yang disebut referen. Lampu merah mengacu pada ―jalan berhenti‖. Wajah cerah

mengacu pada ―kebahagiaan‖. Air mata mengacu pada ―kesedihan‖. Apabila

hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang

melihat atau mendengar akan timbul pengertian (Eco, 1979: 59).

2.2.4 Konsep Ideologi

Secara etimologis ideo berarti gagasan-gagasan, dan logos adalah ilmu.

Jadi, ideologi berarti ilmu tentang gagasan-gagasan atau ilmu yang mempelajari

asal usul ide. Thompson (2003: 17) mendefinisikan istilah ideologi sebagai sistem

berpikir, sistem kepercayaan, praktik-praktik simbolik yang berhubungan dengan

tindakan sosial dan politik. Ideologi secara mendasar berhubungan dengan proses

pembenaran hubungan kekuasaan yang tidak simetris, berhubungan dengan proses

pembenaran dominasi. Sepaham dengan Thompson (2003), Storey (2004)

menyatakan bahwa ideologi menunjuk pada kesadaran (keyakinan) atau pendirian

tentang pemikiran atau pandangan tertentu. Ideologi menyangkut ide-ide,

gagasan, pedoman atau petunjuk-petunjuk produksi tentang makna. Ideologi

menentukan cara memandang, orientasi memandang atau menyikapi tentang

segala sesuatu. Ideologi memengaruhi pikiran, selera, perasaan, dan menuntut

tindakan kebudayaan serta tindakan sosial seseorang atau kelompok.

2.3 Landasan Teori

Ada beberapa teori yang digunakan untuk menjawab dan memecahkan

permasalahan dalam penelitian ini. Teori-teori tersebut adalah: teori gaya bahasa

dari Keraf (1991), teori semiotik dari Barthes (1998), teori semantik dari Palmer

(2001), teori pragmatik dari Yule (1996), teori maksim dari Grice (1975), teori

ideologi dari Storey (2004), serta beberapa teori pendukung lainnya.

Teori tentang gaya bahasa dari Keraf (1991) digunakan untuk

menganalisis jenis-jenis gaya bahasa yang digunakan dalam iklan makanan dan

minuman pada media elektronik. Tujuan utama ‖membaca‖ iklan televisi ialah

untuk menemukan makna terselubung yang terkait dengan mitos dan muatan

ideologi tertentu. Teori semiotik dari Barthes (1998) digunakan untuk

menganalisis makna tanda yang terselubung di balik iklan komersial pada media

elektronik. Teori semantik dari Palmer (2001) dan teori pragmatik dari Yule

(1996) digunakan untuk menganalisis makna tuturan di dalam iklan komersial.

Sementara itu, teori maksim percakapan digunakan untuk menganalisis

pelanggaran maksim yang terdapat pada iklan TV. Ideologi yang

melatarbelakangi wacana iklan dianalisis dengan menggunakan teori ideologi dari

Storey (2003). Beberapa teori pendukung lainnya juga digunakan dalam

penelitian ini, yang semuanya dapat dilihat dalam penjelasan di bawah ini.

2.3.1 Teori Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu,

oleh orang tertentu, untuk tujuan tertentu. Penggunaan gaya bahasa termasuk ke

dalam fungsi puitik, yaitu menjadikan pesan lebih berbobot. Pemakaian gaya

bahasa yang tepat (sesuai dengan waktu dan penerima yang menjadi sasaran)

dapat menarik perhatian penerima. Sebaliknya, bila penggunaannya tidak tepat,

maka penggunaan gaya bahasa akan sia-sia belaka. Misalnya, apabila dalam novel

remaja masa kini terdapat banyak gaya bahasa dari masa sebelum kemerdekaan,

maka pesan tidak sampai dan novel remaja itu tidak akan disukai pembacanya.

Menurut Keraf (1991: 113), gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara

mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa

dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Pemakaian gaya bahasa juga dapat

menghidupkan apa yang dikemukakan dalam teks karena gaya bahasa dapat

mengemukakan gagasan yang penuh makna dengan singkat. Sering kali

pemakaian gaya bahasa digunakan untuk penekanan terhadap pesan yang

diungkapkan.

2.3.1.1 Jenis-jenis gaya bahasa

Keraf (1991: 115) mengelempokkan jenis-jenis gaya bahasa dalam dua

segi, yaitu segi nonbahasa dan segi bahasanya sendiri. Disertasi ini

menitikberatkan analisis terhadap jenis-jenis gaya bahasa iklan yang dilihat dari

segi bahasa itu sendiri. Dilihat dari sudut bahasa, maka gaya bahasa dapat

dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang dipergunakan, yakni sebagai

berikut.

1) Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata

Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata mempersoalkan ketepatan dan

kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. Dalam bahasa standar

(bahasa baku) dapat dibedakan:

(1) Gaya Bahasa Resmi: bentuknya lengkap, yang dipergunakan dalam

kesempatan-kesempatan resmi.

(2) Gaya Bahasa Tak Resmi: bentuknya umum dan normal bagi kaum

terpelajar, yang dipergunakan dalam kesempatan-kesempatan yang

tidak formal.

(3) Gaya Bahasa Percakapan: pilihan katanya berupa kata-kata populer

dan kata-kata percakapan (segi-segi sintaktis dan morfologis tidak

terlalu diperhatikan dalam gaya laras percakapan).

2) Gaya bahasa berdasarkan nada

Gaya bahasa berdasarkan nada didasarkan pada sugesti yang

dipancarkan dari rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana.

Sering kali sugesti ini akan lebih nyata kalau diikuti dengan sugesti suara dari

pembicara, bila sajian yang dihadapi adalah bahasa lisan. Gaya bahasa dilihat

dari sudut nada yang terkandung dalam sebuah wacana dapat dibagi atas:

(1) Gaya Bahasa Sederhana, gaya ini biasanya cocok untuk memberi

instruksi, perintah, pelajaran, perkuliahan, dan sejenisnya;

(2) Gaya Bahasa Mulia dan Bertenaga, gaya ini penuh dengan vitalitas

dan energi, dan biasanya dipergunakan untuk menggerakkan sesuatu;

(3) Gaya Bahasa Menengah, gaya yang diarahkan kepada usaha untuk

menimbulkan suasana senang dan damai.

3) Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat

Struktur kalimat yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana tempat

sebuah unsur kalimat yang dipentingkan dalam kalimat tersebut. Ada kalimat

yang bersifat periodik bila bagian yang terpenting atau gagasan yang

mendapat penekanan ditempatkan pada akhir kalimat. Ada kalimat yang

bersifat kendur bila bagian kalimat yang mendapat penekanan ditempatkan

pada awal kalimat. Jenis yang ketiga adalah kalimat berimbang, yaitu kalimat

yang mengandung dua bagian kalimat atau lebih yang kedudukannya sama

tinggi atau sederajat. Gaya bahasa yang termasuk ke dalam kategori ini

adalah:

(1) Klimaks: semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan

pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari

gagasan-gagasan sebelumnya.

(2) Antiklimaks: suatu acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan dari

yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang peting.

(3) Paralelisme: gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam

pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang

sama dalam bentuk gramatikal yang sama.

(4) Antitesis: gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang

bertentangan dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata

yang berlawanan.

(5) Repetisi: perulangan bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat yang

dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang

sesuai.

4) Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna

Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna dicirikan oleh

penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa,

entah dalam (1) ejaan, (2) pembentukkan kata, (3) konstruksi (kalimat, klausa,

frasa), atau (4) aplikasi sebuah istilah, untuk memperoleh kejelasan,

penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. Dengan demikian,

gaya bahasa memiliki bermacam-macam fungsi: menjelaskan, memperkuat,

menghidupkan objek mati, menstimulasi asosiasi, menimbulkan gelak tawa,

atau untuk hiasan. Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna dibagi

atas dua kelompok, yaitu:

(1) Pengungkapan secara retoris

Gaya bahasa yang semata-mata merupakan penyimpangan dari

konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, pengungkapannya

dilakkukan secara retoris. Yang termasuk ke dalam gaya bahasa ini

adalah: aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis atau preterisio, apostrof,

asindeton, polisindeton, kiasmus, elipsis, eufemismus, litotes, histeron

proteron, pleonasme, tautologi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi,

erotesis atau pertanyaan retoris, silepsis, zeugma, koreksio atau

epanortesis, hiperbol, paradoks, oksimoron.

(2) Pengungkapan secara kias

Gaya bahasa yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh,

khususnya dalam bidang makna, pengungkapannya dilakukan secara

kias, yang melahirkan gaya bahasa kias. Yang termasuk ke dalam

gaya bahasa ini adalah: persamaan atau simile, metafora, alegori,

parabel, fabel, personifikasi atau prosopopoeia, alusi, eponim, epitet,

sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme,

sarkasme, satire, inuendo, antifrasis, pun atau paronomasia.

2.3.1.2 Sendi-sendi gaya bahasa

Keraf (2002: 113-115) mengungkapkan bahwa sebuah gaya bahasa yang

baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan santun, dan menarik.

1) Kejujuran

Kejujuran dalam bahasa berarti kita mengikuti aturan-aturan,

kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Pemakaian kata-kata

yang kabur dan tak terarah, serta penggunaan kalimat yang berbelit-belit

adalah jalan untuk mengundang ketidakjujuran. Pembicara atau penulis

tidak menyampaikan isi pikirannya secara terus terang; seolah-olah ia

menyembunyikan pikirannya itu di balik rangkaian kata-kata yang kabur

dan jaringan kalimat yang berbelit-belit tidak menentu. Ia hanya

mengelabui pendengar atau pembaca dengan mempergunakan kata-kata

yang kabur dan ―hebat‖, hanya agar bisa tampak lebih intelek atau lebih

dalam pengetahuannya. Di pihak lain, pemakai bahasa yang berbelit-belit

menandakan bahwa pembicara atau penulis tidak tahu apa yang akan

dikatakannya. Ia mencoba menyembunyikan kekurangannya di balik

berondongan kata-kata hampa. Bahasa adalah alat untuk kita bertemu dan

bergaul. Oleh sebab itu, bahasa harus digunakan pula tepat dengan

memperhatikan sendi kejujuran.

2) Sopan santun

Sopan santun dapat diartikan sebagai pemberian penghargaan atau

penghormatan kepada orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau

pembaca. Rasa hormat dalam gaya bahasa dimanifestasikan melalui

kejelasan dan kesingkatan. Penyampaian sesuatu secara jelas berarti tidak

membuat pembaca atau pendengar memeras keringat untuk mencari apa

yang ditulis atau dikatakan. Di samping itu, pembaca atau pendengar tidak

perlu membuang-buang waktu untuk mendengar atau membaca sesuatu

secara panjang lebar jika hal itu diungkapkan dalam beberapa rangkaian

kata. Dengan demikian, kejelasan diukur dalam beberapa butir kaidah

berikut, yaitu:

a) kejelasan dalam struktur gramatikal kata dan kalimat;

b) kejelasan dalam korespondensi dengan fakta yang diungkapkan

melalui kata-kata atau kalimat tadi;

c) kejelasan dalam pengurutan ide secara logis;

d) kejelasan dalam penggunaan kiasan dan perbandingan.

Kesingkatan sering jauh lebih efektif daripada jalinan yang berliku-liku.

Kesingkatan dapat dicapai melalui usaha untuk mempergunakan kata-kata

secara efisien, meniadakan penggunaan dua kata atau lebih yang

bersinonim secara longgar, menghindari tautologi; atau mengadakan

repertisi yang tidak perlu.

3) Menarik

Sebuah gaya yang menarik dapat diukur melalui beberapa

komponen berikut: variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik,

tenaga hidup (vitalitas), dan penuh daya khayal (imajinasi). Penggunaan

variasi akan menghindari monotoni dalam nada, struktur, dan pilihan kata.

Untuk itu, seorang penulis perlu memiliki kekayaan dalam kosakata,

memiliki kemauan untuk mengubah panjang-pendeknya kalimat, dan

struktur-struktur morfologis. Humor yang sehat berarti gaya bahasa itu

mengandung tenaga untuk menciptakan rasa gembira dan nikmat. Vitalitas

dan daya khayal adalah pembawaan yang berangsur-angsur dikembangkan

melalui pendidikan, latihan, dan pengalaman.

2.3.2 Teori Pragmatik

Yule (1996: 3) menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang

yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut

konteksnya; (3) bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan,

mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara;

dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang

membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.

Di dalam tayangan iklan televisi tidak jarang iklan-iklan tersebut disajikan

dalam bentuk parodi yang menampilkan adegan percakapan antara dua orang

bahkan lebih. Di sinilah peranan teori pragmatik, yaitu untuk menganalisis makna

tuturan yang ditemukan di dalam data penelitian ini dengan tidak mengabaikan

peran partisipan dan konteks ujaran di dalam percakapan tersebut. Kegunaan

pragmatik, yang tidak terdapat dalam sintaksis dan semantik, dalam hal ini, dapat

ditunjukkan dengan, misalnya, bagaimana strategi kesantunan memengaruhi

penggunaan bahasa, bagaimana memahami implikatur percakapan, dan bagaimana

kondisi felisitas yang memungkinkan bagi sebuah tindak-tutur.

Teori tindak tutur yang dikembangkan oleh Searle dipandang kongkret

oleh beberapa ahli. Searle menggunakan ide-ide Austin sebagai dasar

mengembangkan teori tindak tuturnya. Bagi Searle (1969:16), semua komunikasi

bahasa melibatkan tindak. Unit komunikasi bahasa bukan hanya didukung oleh

simbol, kata atau kalimat, tetapi produksi simbol, kata, atau kalimat dalam

mewujudkan tindak tutur. Produksi kalimat yang berada pada kondisi-kondisi

tertentu merupakan tindak tutur, dan tuturan merupakan unit-unit minimal

komunikasi bahasa.

Berdasarkan pandangan tersebut, pada awalnya, Searle membagi tindak

tutur menjadi empat jenis, yaitu (a) tindak ujaran (utterance act), yaitu kegiatan

menuturkan kata-kata sehingga unsur yang dituturkan berupa kata atau morfem;

(b) tindak proposisional (propositional act), yaitu tindak menuturkan kalimat; (c),

tindak ilokusi (ilocutionary act), yaitu tindak menuturkan kalimat, tetapi sudah

disertai tanggung jawab penutur untuk melakukan suatu tindakan; dan (d)

tindakan perlokusi (perlocutionary act), yaitu tindak tutur yang menuntut mitra

tutur untuk melakukan suatu.

Dalam perkembangannya, Searle (1975) mengembangkan teori tindak

tuturnya terpusat pada ilokusi. Pengembangan jenis tindak tersebut berdasarkan

pada tujuan dari tindak. Tindak tutur itu oleh Searle dikategorisasi menjadi lima

jenis. Sama halnya dengan pandangan Searle, Yule (1996: 92-94) juga

mengklasifikasikan tindak tutur menjadi lima jenis. Kelima jenis tindak tutur itu

adalah representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi.

1) Representatif (asertif), yaitu tindak tutur yang menyatakan apa yang

diyakini oleh penutur. Hal ini merupakan jenis tindak tutur yang mengikat

penuturnya akan kebenaran atas apa yang dikatakan (misalnya,

menyatakan, menuntut, memberikan kesaksian, melaporkan,

mengabarkan, menunjukan, menyebutkan, berspekulasi).

2) Direktif (impisiotif), yaitu tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk

menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Hal ini merupakan jenis tindak

tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar mitra tutur

melakukan apa yang ada dalam ujaran tersebut (misalnya, memaksa,

mengajak, menagih, mendesak, memerintah, menyuruh, memohon,

meminta, menuntut, menantang, menyarankan).

3) Ekspresif (evaluatif), yaitu tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang

dirasakan oleh penutur. Hal ini merupakan jenis tindak tutur yang

dilakukan penutur dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai

evaluasi tentang hal yang disebutkan pada tuturan tersebut (misalnya,

memuji, mengkritik, berterima kasih, mengeluh, menyalahkan,

menyanjung, mengucapkan selamat).

4) Komisif, yaitu tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengikatkan

dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Hal ini

merupakan jenis tindak tutur yang mengikat penutur untuk melakukan

seperti apa yang diujarkan (misalnya, bersumpah, mengancam, berjanji,

menyatakan kesanggupan, berkaul, menawarkan).

5) Deklarasi (Isbati), yaitu tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan.

Hal ini merupakan jenis tindak tutur yang dilakukan penutur dengan

maksud untuk menciptakan hal yang baru (misalnya, memutuskan,

melarang, membatalkan, mengesahkan, mengizinkan, mengabulkan,

mengangkat, menggolongkan, mengampuni, memaafkan).

Teori tindak tutur dari Yule (1996) tersebut tidak kalah pentingnya dari teori-teori

yang lain di dalam penelitian ini karena teori tindak tutur itulah yang akan

digunakan untuk menganalisis makna tuturan yang ditemukan di dalam data

penelitian ini. Teori tindak tutur secara khusus digunakan untuk menganalisis

jenis tuturan dan tujuan tuturan. Hal ini perlu dilakukan untuk mengungkap

makna di balik setiap tuturan yang ditemukan di dalam iklan komersial televisi.

2.3.3 Teori Maksim Percakapan

Pengiklan kerap kali menggunakan percakapan dalam menyampaikan

pesan iklan. Hal ini bertujuan untuk membuat iklan menjadi lebih menarik dan

interaktif untuk disimak. Karena keterbatasan durasi kadang-kadang percakapan

dalam iklan dibuat singkat dan padat. Hal ini membuat makna iklan menjadi

samar sebab dalam iklan ada percakapan yang mudah dipahami dan ada pula yang

sulit dipahami bahkan membingungkan dan sangat provokatif. Hal yang paling

penting dalam percakapan adalah hubungan percakapan (conversational

coherence). Yang dimaksud dengan hubungan percakapan di sini yaitu

keterkaitan dan kebermaknaan sebuah percakapan. Sebuah percakapan dapat

dikatakan koheren apabila percakapan tersebut tersusun dengan baik dan masuk

akal bagi pelaku percakapan. Penciptaan koherensi dalam sebuah percakapan

terlihat mudah namun sesungguhnya dalam praktiknya sangatlah sulit dan tidak

dapat dipahami bersamaan antarpelaku percakapan. Maksim-maksim percakapan

yang dikembangkan oleh Grice kerap kali digunakan dalam menelaah percakapan

untuk memahami hubungan percakapan.

Prinsip utama Grice dalam memahami hubungan percakapan adalah kerja

sama. Kerja sama adalah sebuah asumsi mendasar dalam membangun sebuah

makna atau maksud yang ingin ditunjukkan oleh pembicara dan pendengar. Grice

mengungkapkan bahwa di dalam prinsip kerja sama, seorang pembicara harus

mematuhi empat maksim. Maksim adalah prinsip yang harus ditaati oleh peserta

pertuturan dalam berinteraksi, baik secara tekstual maupun interpersonal dalam

upaya melancarkan jalannya proses komunikasi. Empat maksim percakapan

(conversational maxim) tersebut adalah:

1) Maksim kualitas (maxim of quality): dalam percakapan, berusahalah

menyatakan sesuatu yang benar.

2) Maksim kuantitas (maxim of quantity): berilah keterangan secukupnya dan

jangan mengatakan sesuatu yang tidak diperlukan.

3) Maksim relevansi (maxim of relevance): katakanlah hanya apa yang

berguna atau relevan.

4) Maksim cara berbicara (maxim of manner): jangan mengatakan sesuatu

yang tidak jelas, jangan mengatakan sesuatu yang ambigu, berbicaralah

dengan singkat dan secara khusus.

Menurut Grice (1975) dalam bukunya ―Logic and Conversation‖ mengenai

prinsip kerja sama (the cooperative principle), pelanggaran prinsip kerja sama

dapat terjadi dalam sebuah percakapan ketika informasi yang ingin disampaikan

oleh pembicara kepada mitra wicara tidak tersampaikan dengan baik.

Pelanggaran terhadap maksim percakapan akan menimbulkan kesan yang janggal.

Kejanggalan itu dapat terjadi jika informasi yang diberikan berlebihan, tidak

benar, tidak relevan, atau berbelit-belit. Kejanggalan inilah yang biasanya

dimanfaatkan oleh pengiklan untuk membuat pernyataan-pernyataan yang

persuasif, kontroversial, dan bombastis untuk menunjukkan keunggulan produk

yang diiklankan. Menurut Grice, ada empat jenis pelanggaran maksim dalam

prinsip kerja sama. Pelanggaran-pelanggaran tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Pelanggaran maksim kualitas (maxim of quality)

Pelanggaran maksim kualitas ini dapat terjadi ketika seorang pembicara

mencoba untuk memberikan informasi yang cenderung tidak benar atau

bohong mengenai suatu hal kepada mitra wicara.

(2) Pelanggaran maksim kuantitas (maxim of quantity)

Pelanggaran maksim kuantitas terjadi ketika seorang pembicara

memberikan informasi yang kurang jelas atau berlebihan kepada mitra

wicara.

(3) Pelanggaran maksim relevansi (maxim of relevance)

Pelanggaran maksim relevan dapat terjadi ketika seorang pembicara

memberikan jawaban yang tidak bertautan dengan pembicaraan

sebelumnya ataupun mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan yang

sedang terjadi dalam sebuah percakapan.

(4) Pelanggaran maksim cara berbicara (maxim of manner)

Pelanggaran maksim cara dapat terjadi ketika pembicara memberikan

suatu informasi yang tidak beraturan atau tidak jelas kepada mitra wicara.

Teori maksim percakapan digunakan untuk melihat apakah terjadi pelanggaran

maksim pada iklan TV. Di samping itu juga untuk melihat karakteristik bahasa

iklan. Dengan demikian, dapat dilihat dan dipahami perbedaan antara bahasa iklan

dengan bahasa pada umumnya.

2.3.4 Teori Semantik

Semantik merupakan sebuah istilah yang mengacu pada ilmu yang

mempelajari tentang makna dan karena makna adalah bagian dari bahasa, maka

semantik merupakan bagian dari linguistik (Palmer, 2001: 1). Semantik sendiri

sebagai ilmu turunan dari linguistik adalah ilmu yang mempelajari tentang makna

suatu kata.

Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk

bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik

dengan hal-hal yang ditandainya. Hal ini sesuai dengan pandangan Saussure

(1966) yang mengemukakan bahwa tanda linguistik terdiri atas: (1) komponen

yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa, dan (2) komponen

yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini

adalah tanda atau lambang; sedangkan yang ditandai atau dilambanginya adalah

sesuatu yang berada di luar bahasa, yang lazim disebut referen atau hal yang

ditunjuk.

Semantik membicarakan hubungan antara kata dan konsep atau makna

dari sebuah kata, serta benda atau hal yang dirujuk oleh makna itu yang berada di

luar dunia bahasa, sebagaimana dikemukakan oleh Ogden dan Richards (1923).

Hubungan antara ketiganya itu disebut hubungan referensial; biasanya dibagankan

dalam bentuk segitiga semantik sebagai berikut.

(b) konsep/makna

(thought/reference)

(a) kata/leksem (c) sesuatu yang dirujuk

(symbol) (referent)

Bagan 1. Segitiga Semantik (Ogden & Richards, 1923)

Palmer (2001: 24-25) menggunakan konsep makna yang dikemukakan

oleh Ogden dan Richards di atas untuk menjelaskan hubungan antara kata,

makna, dan referen. Sebuah kata/leksem mengandung makna atau konsep.

Makna atau konsep bersifat umum, sedangkan sesuatu yang dirujuk, yang berada

di luar dunia bahasa, bersifat tertentu. Misalnya, kata meja mengandung konsep

meja pada umumnya, meja apa saja atau segala macam meja. Jadi, konsep ―meja‖

merupakan abstraksi keseluruhan meja yang ada. Akan tetapi dalam dunia nyata,

meja-meja yang dirujuk adalah bersifat tertentu (dalam dunia nyata kita dapati

berbagai macam meja yang ukuran, bentuk, dan bahannya tidak sama).

Hubungan kata meja dengan maknanya atau konsepnya bersifat langsung.

Begitu juga hubungan antara makna itu dengan meja tertentu di dunia nyata juga

bersifat langsung. Akan tetapi, hubungan kata meja dengan sebuah meja dalam

dunia nyata tidak bersifat langsung. Oleh karena itu, dalam bagan di atas

hubungan kata dengan referennya (sesuatu yang dirujuk) ditandai dengan garis

putus-putus. Hubungan kata dengan makna bersifat arbitrer, yaitu tidak ada

hubungan wajib antara deretan fonem pembentuk kata itu dengan maknanya.

Namun, hubungannya bersifat konvensional, yaitu disepakati oleh setiap anggota

masyarakat suatu bahasa untuk mematuhi hubungan itu.

Banyak teori tentang makna telah dikemukakan oleh para ahli. Ferdinand

de Saussure (1998: 286) mengungkapkan bahwa makna adalah pengertian atau

konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik. Aminuddin (1988:

50) mengemukakan bahwa makna merupakan hubungan antara bahasa hal di luar

bahasa yang disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat saling

mengerti.

Ada beberapa analogi yang dikemukakan oleh Palmer (2001: 3) untuk

memudahkan memahami istilah makna itu sendiri. Misalnya dapat dilihat dalam

kalimat ―That cloud means thunder‖ atau ―A red light means stop‖. Kata makna

(mean) di sini digunakan untuk memaknai sebuah tanda, baik tanda yang bersifat

alami maupun konvensional, yang mengindikasikan bahwa sesuatu sedang terjadi

atau yang akan terjadi. Ada perbedaan antara dua contoh kalimat di atas. Lampu

lalu lintas (traffic light) sudah jelas merupakan sebuah sistem komunikasi dan

sudah menjadi kesepakatatan bahwa merah (red) berarti berhenti (stop). Berbeda

halnya dengan awan (cloud) yang walaupun dapat memberikan sebuah informasi,

namun bukan merupakan sebuah sistem komunikasi.

Kalau tanda linguistik itu disamakan identitasnya dengan kata atau

leksem, maka berarti makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh

setiap kata atau leksem; kalau tanda linguistik itu disamakan dengan morfem,

maka berarti makna itu adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap

morfem, baik yang disebut morfem dasar maupun morfem afiks.

Makna itu tidak lain daripada sesuatu yang diacu oleh kata atau leksem.

Makna dapat ditentukan setelah dalam bentuk kalimat. Misalnya: “Sudah hampir

pukul dua belas!” Bila diucapkan oleh seorang ibu asrama putri kepada seorang

pemuda maka kalimat itu bermaksud mengusir, sedangkan jika yang mengatakan

adalah seorang karyawan kantor berarti menunjukkan waktu makan siang.

Makna kata dapat dibangun dalam kaitannya dengan benda atau objek di

luar bahasa. Dalam konsepsi ini, kata berperan sebagai label atau pemberi nama

pada benda-benda atau objek-objek yang berada di alam semesta. Makna kata

juga dapat dibentuk oleh konsepsi atau pembentukan konsepsi yang terjadi dalam

pikiran pengguna bahasa. Proses pembentukannya berkaitan dengan pengetahuan

atau persepsi penggunaan bahasa tersebut terhadap fenomena, benda atau

peristiwa yang terjadi di luar bahasa.

Dalam iklan komersial setiap tanda yang muncul memiliki makna. Seperti

yang telah dijelaskan di atas bahwa semantik menitikberatkan kajian pada objek

studi yang berkaitan dengan makna. Sehubungan dengan itu, peranan teori

Semantik di dalam penelitian ini ialah untuk menganalisis makna tanda

(khususnya tanda-tanda verbal) yang ditemukan pada setiap data penelitian ini.

Semantik berbeda dengan Semiotik. Semiotik mempelajari makna dari

berbagai macam tanda mulai dari lambing, gambar, dan lain -lain,

sedangkan semantik hanya mempelajari makna tanda bahasa saja, berupa kata

atau kalimat. Sebagai contoh, cincin yang dipakai oleh sepasang pria dan wanita

menunjukkan kalau mereka adalah sepasang suami istri. Cincin tersebut

merupakan lambang pernikahan yang dianalisis oleh Semiotik. Sementara itu,

apabila diungkapkan dalam kalimat, ―Dia adalah istri saya‖ menjadi kajian

Semantik. Berikut adalah pembahasan lebih detil tentang Semiotik.

2.3.5 Teori Semiotik

Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari makna dari suatu tanda.

Bahasa adalah alat komunikasi dalam masyarakat yang menggunakan sistem

tanda yang maknanya dipahami secara konvensional oleh anggota masyarakat

bahasa yang bersangkutan. Menurut de Saussure (1916), tanda merupakan

kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan petanda (signified).

Dengan kata lain, penanda adalah ―bunyi yang bermakna‖ atau ―coretan yang

bermakna‖. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa, yaitu apa yang

dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah

gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari

bahasa. Yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang

kongkret, kedua unsur tadi tidak bisa dilepaskan. Suatu penanda tanpa petanda

tidak berarti apa-apa, dan karena itu, tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu

petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda

atau yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian, merupakan

suatu faktor linguistis.

Menurut de Saussure (1998: 147), bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang

terdapat dalam suatu jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur.

Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua

halaman pada selembar kertas. Sebagai contoh, kata arbor dalam bahasa Latin

yang maknanya ‗pohon‘ merupakan tanda yang terdiri atas dua segi, yakni /arbor/

dan konsep pohon. Penanda (signified) /arbor/ disebutnya sebagai citra akustik

yang mempunyai relasi dengan konsep pohon (bukan pohon tertentu), yakni

signified. Tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara penanda (signifier)

dan petanda (signified). Hubungan ini disebut hubungan yang arbitrer. Hal yang

mengabsahkan hubungan itu adalah konvensi.

Para pencipta iklan komersial menggunakan tanda-tanda di dalam iklannya

untuk menarik minat khalayak. Teori tanda dari de Saussure inilah yang akan

digunakan untuk menganalisis seluruh tanda pada data, baik tanda verbal maupun

nonverbal.

Ilmu semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya de Saussure

(1857 - 1913). Ia tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik Modern, tetapi

juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya Course in General

Linguistics (1916). Roland Barthes adalah penerus pemikiran de Saussure.

Dalam hal ini, de Saussure tertarik pada cara yang kompleks pembentukan

kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna.

Barthes (1998) meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan

interaksi antara teks dan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi

antara konvensi dalam teks dan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh

penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan ―order of signification‖,

mencakup denotasi (makna sebenarnya) dan konotasi (makna ganda yang lahir

dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan de Saussure

dan Barthes meskipun Barthes tetap menggunakan istilah signifier-signified yang

diusung de Saussure.

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan, yaitu mitos yang

menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua

penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut

akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan

membentuk tanda baru. Misalnya: pohon beringin yang rindang dan lebat

menimbulkan konotasi ―keramat‖ karena dianggap sebagai hunian para makhluk

halus. Konotasi ―keramat‖ ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang

melekat pada simbol pohon beringin. Pada tahap ini, ―pohon beringin yang

keramat‖ akhirnya dianggap sebagai sebuah mitos.

1) Denotasi dan Konotasi

Menurut Barthes hal yang relevan dalam kaitan dengan semiotik, yaitu

konsep denotasi dan konotasi. Sesuai dengan paham strukturalisme, Barthes di

sini juga menggunakan model dikotomis. Barthes mengembangkan model

dikotomis penanda-petanda menjadi lebih dinamis. Ia mengemukakan bahwa

dalam kehidupan sosial budaya penanda adalah ―ekspresi‖ (E) tanda, sedangkan

petanda adalah ―isi‖ (dalam bahasa Prancis contenu (C)). Jadi, sesuai dengan

teori de Saussure, tanda adalah ―relasi‖ (R) antara E dan C. Ia mengemukakan

konsep tersebut dengan model E-R-C.

Dalam kehidupan sosial budaya, pemakai tanda tidak hanya memaknainya

sebagai denotasi, yakni makna yang dikenal secara umum. Oleh Barthes denotasi

disebut sebagai sistem ―pertama‖. Biasanya pemakai tanda mengembangkan

pemakaian tanda ke dua arah, ke dalam apa yang disebut oleh Barthes sebagai

sistem ―kedua‖. Salah satu arah pengembangan adalah kepada segi E. Hal ini

terjadi bila pemakai tanda memberikan bentuk yang berbeda untuk makna yang

sama. Jadi, untuk makna ‗tempat para narapidana dikurung‘, selain kata penjara

pemakai tanda menggunakan lembaga pemasyarakatan, hotel prodeo, atau

kurungan. Dengan adanya pengembangan itu terjadilah R baru (R2) yang berbeda

dengan asalnya. Jadi, E-R1-C menjadi E (E-R2-C)-R-C.

Bila pengembangan itu berproses ke arah C, yang terjadi adalah

pengembangan makna yang disebut konotasi. Konotasi adalah makna baru yang

diberikan oleh pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang

pengetahuannya, atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya. Konotasi

merupakan segi ―ideologi‖ tanda. Kalau dalam pengembangan ke arah

metabahasa untuk makna ‗tempat para narapidana dikurung‘, selain kata penjara,

pemakai tanda menggunakan lembaga pemasyarakatan, hotel prodeo, atau

kurungan. Dalam hal konotasi setiap kata di atas dapat memiliki makna khusus.

Misalnya, penjara dan kurungan mempunyai makna khusus ‗tempat menghukum

orang yang bersalah‘, lembaga pemasyarakatan ‗lembaga yang mengubah orang

jahat menjadi orang baik agar dapat hidup kembali bermasyarakat‘, sedangkan

hotel prodeo diberi makna khusus ‗tempat menginap para pesakitan atas biaya

negara‘. Tentu saja ada makna-makna lain yang mungkin timbul pada setiap

individu atau kelompok masyarakat. Makna khusus adalah konotasi (Barthes

dalam Hoed, 2008: 12).

Konotasi diberikan oleh pemakai tanda. Denotasi merupakan makna yang

objektif dan tetap; sedangkan konotasi sebagai makna yang subjektif dan

bervariasi. Meskipun berbeda, kedua makna tersebut ditentukan oleh konteks.

Makna yang pertama, makna denotatif, berkaitan dengan sosok acuan, misalnya

kata merah bermakna ―warna seperti warna darah” (secara lebih objektif, makna

dapat digambarkan menurut tata sinar). Konteks dalam hal ini untuk memecahkan

masalah polisemi; sedangkan pada makna konotatif, konteks mendukung

munculnya makna yang subjektif. Konotasi membuka kemungkinan interpretasi

yang luas. Dalam bahasa, konotasi dimunculkan melalui: majas (metafora,

metonimi, hiperbola, eufemisme, ironi, dan sebagainya), presuposisi, implikatur.

Secara umum (bukan bahasa), konotasi berkaitan dengan pengalaman

pribadi atau masyarakat penuturnya yang bereaksi dan memberi makna konotasi

emotif, misalnya halus, kasar/tidak sopan, peyoratif, akrab, kanak-kanak,

menyenangkan, menakutkan, bahaya, tenang, dan sebagainya. Jenis ini tidak

terbatas. Pada contoh di atas: MERAH bermakna konotatif emotif. Konotasi ini

bertujuan membongkar makna yang terselubung.

Konsep konotasi tersebut digunakan oleh Barthes untuk menjelaskan

bagaimana gejala budaya—yang dilihat sebagai tanda—memperoleh makna

khusus dari masyarakat. Barthes (1957: 74-75) juga menggambarkan konotasi

tentang minuman anggur sebagai ―minuman totem‖, yakni minuman yang

berkonotasi ―ke-Prancis-an‖. Bagi masyarakat Prancis, minuman anggur bukan

sekadar minuman beralkohol, tetapi minuman yang merupakan/dirasakan sebagai

pemameran kesenangan, suatu tindakan minum yang berefek jangka panjang

dalam kehidupan sosial, sedangkan tindakan minumnya mempunyai nilai retoris.

Jadi, konotasi minuman anggur berakar pada kebudayaan Prancis selama berabad-

abad sehingga menjadi mitos.

Barthes menegaskan bahwa semua yang sudah wajar di dalam suatu

kebudayaan sebenarnya adalah hasil konotasi. Bila konotasi menjadi tetap, ia

menjadi mitos, sedangkan kalau mitos menjadi mantap, ia menjadi ideologi.

Tekanan teori tanda Barthes adalah pada konotasi dan mitos.

2) Mitos

Mitos menurut pemikiran Barthes mempunyai makna yang berbeda

dengan konsep mitos dalam arti umum. Sebaliknya, dari konsep mitos tradisional,

mitos dari Barthes memaparkan fakta. Mitos adalah murni sistem ideografis.

Mitos merupakan perkembangan dari konotasi. Konotasi yang menetap pada

suatu komunitas berakhir menjadi mitos. Pemaknaan tersebut terbentuk oleh

kekuatan mayoritas yang memberi konotasi tertentu pada suatu hal secara tetap

sehingga lama-kelamaan menjadi mitos: makna yang membudaya. Barthes

membuktikannya dengan melakukan pembongkaran (démontage sémiologique).

Ciri-ciri mitos (Barthes, 1957: 122-130) adalah sebagai berikut:

(1) Deformatif. Barthes menerapkan unsur-unsur tanda dari de Saussure

menjadi form (signifier), concept (signified). Ia menambahkan

signification yang merupakan hasil dari hubungan kedua unsur tadi.

Signification inilah yang menjadi mitos yang mendistorsi makna sehingga

tidak lagi mengacu pada realitas yang sebenarnya: The relation which

unites the concept of the myth to its meaning is essentially a relation of

deformation. Pada mitos, form dan concept harus dinyatakan. Mitos tidak

disembunyikan, mitos berfungsi mendistorsi, bukan untuk menghilangkan.

Dengan demikian, form dikembangkan melalui konteks linear (pada

bahasa) atau multidimensi (pada gambar). Distorsi hanya mungkin terjadi

apabila makna mitos sudah terkandung di dalam form.

(2) Intensional. Mitos merupakan salah satu jenis wacana yang dinyatakan

secara intensional. Mitos berakar dari konsep historis. Pembacalah yang

harus menemukan mitos tersebut. Misalnya: ketika ia berjalan-jalan di

Spanyol, ia melihat kesamaan arsitektur rumah-rumah di sana dan ia

mengenali arsitektur itu sebagai produk etnik: gaya basque. Secara

pribadi, ia tidak merasa terdorong untuk menyebutnya dengan sebuah

istilah. Namun, ketika ia berjalan-jalan di Paris dan ia melihat sebuah

rumah yang berbeda dengan sekitarnya, berbentuk villa kecil, rapi,

bergenting merah, berdinding setengah kayu berwarna cokelat tua, beratap

asimetris, secara spontan, ia menyebutnya sebagai villa bergaya basque.

(3) Motivasi. Bahasa bersifat arbitrer, tetapi kearbitreran itu mempunyai batas,

misalnya melalui afiksasi, terbentuklah kata-kata turunan: baca-

membaca- dibaca- terbaca- pembacaan. Sebaliknya, makna mitos tidak

arbitrer, selalu ada motivasi dan analogi. Penafsir dapat menyeleksi

motivasi dari beberapa kemungkinan motivasi. Mitos bermain atas analogi

antara makna dan bentuk. Analogi ini bukan sesuatu yang alami, tetapi

bersifat historis.

Setiap penggunaan teks, penanganan bahasa, perilaku semiosis alias penggunaan

tanda umumnya timbul berkat suatu ideologi yang secara sadar atau tidak sadar

dikenal oleh pemakai tanda. ―Membaca‖ iklan televisi, dengan demikian, tidak

ubahnya membongkar praktik ideologis yang bekerja secara manipulatif di dalam

sebuah situasi sosial tertentu.

Pemikiran Barthes tentang mitos, di satu sisi, masih melanjutkan

pengandaian de Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau antara

penanda dan petanda. Semiotik yang dibangun oleh de Saussure cenderung

mengatakan makna sebagai apa yang didenotasikan oleh tanda. Sementara itu,

bagi Barthes, terdapat makna lain yang justru bermain pada level yang lebih

mendalam, yakni pada level konotasi. Pada tingkat inilah warisan pemikiran de

Saussure dikembangkaln oleh Barthes dengan membongkar praktik pertandaan di

tingkat konotasi tanda. Konotasi, bagi Barthes, justru mendenotasikan sesuatu hal

yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap

ideologi tertentu. Skema pemaknaan mitos itu oleh Barthes digambarkan sebagai

berikut:

1. Penanda 2. Petanda

3. Tanda

I. PENANDA

II. PETANDA

III. TANDA

Bagan 2. Skema Pemaknaan Mitos (Barthes, 1998)

Konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos a dalah

muatannya. Secara semiotis, ideologi merupakan penggunaan makna-makna

konotatif tersebut di masyarakat atau makna pada makna tingkat ketiga. Teori

Barthes tentang ideologi di balik mitos memungkinkan seorang ‖pembaca‖ atau

analis untuk mengkaji ideologi secara sinkronis ataupun diakronis. Iklan televisi

yang dijejalkan ke ruang pandang masyarakat sehari-hari merupakan dunia kecil

yang menjadi ikon dari sebuah raksasa makna: mitos dan ideologi di baliknya.

Teori Barthes dipilih sebagai dasar teori dalam penelitian ini karena bisa

dikatakan Barthes merupakan orang terpenting dalam tradisi semiotika Eropa

pasca de Saussure. Pemikirannya bukan saja melanjutkan pemikiran de Saussure

tentang hubungan bahasa dan makna, namun ia justru melampaui de Saussure

terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari representasi

jenis lain yang ia sebut sebagai mitos. Barthes melakukan terobosan penting

dalam tradisi semiotika konvensional yang dahulu pernah berhenti pada kajian

tentang bahasa. Semiotika a la Barthes memungkinkan kajian semiotika mampu

menjangkau wilayah kebudayaan lain yang terkait dengan popular culture dan

media massa.

Bagi Barthes, tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan,

namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi

keberadaannya. Tambahan ini merupakan sumbangan Barthes yang amat

berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi de Sausure, yang hanya

berhenti pada penandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata.

Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, ―pembaca‖ teks dapat

memahami penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang tidak mungkin

dapat dilakukan pada level denotatif.

Berbagai jenis tanda yang dengan begitu kreatif diciptakan oleh para

pencipta iklan untuk berlomba-lomba menarik minat khalayak untuk membeli

produknya, tidak hanya memiliki makna denotatif tetapi juga makna konotatif

yang kemudian berkembang menjadi mitos. Dari penjabaran teori semiotik di atas

dapat disimpulkan bahwa teori semiotik memiliki andil besar di dalam penelitian

ini, dan teori inilah yang digunakan untuk menganalisis makna tanda, khususnya

seluruh tanda nonverbal yang terdapat di dalam data penelitian ini.

Teori semantik dan semiotik saling mendukung satu sama lain dalam

penelitian ini sebab teori semantik tidak bisa bekerja dengan sendirinya dalam

menelaah makna tanpa diikuti dengan analisis yang menggunakan teori semiotik.

Dalam hal ini, teori yang dikotomis yang dikemukakan oleh de Saussure

menelaah makna dari segi bahasa itu sendiri. Sementara itu, teori referensial yang

dikemukakan oleh Odgen dan Richards yang mempertimbangkan objek di luar

bahasa digunakan untuk menelaah makna. Keduanya dibutuhkan untuk

menemukan makna tersembunyi di balik iklan sebab iklan memiliki serangkaian

tanda yang sangat kompleks, tidak hanya tanda verbal tetapi juga tanda non-verbal

dan proses pemaknaan juga sangat dipengaruhi oleh hal-hal di luar bahasa.

2.3.6 Teori Ideologi

Dalam analisis iklan, ideologi merupakan salah satu komponen penting

yang harus ditelaah. Storey (2003: 4) mengemukakan lima pengertian yang

terkait dengan ideologi sebab kata ideologi dapat dimaknai dari berbagai sudut

pandang. Makna yang dibahas hanya yang terkait dengan budaya populer.

Pertama, ideologi dapat mengacu pada suatu pelembagaan gagasan-gagasan

sistematis yang diartikulasikan oleh sekelompok masyarakat tertentu.

Kedua, makna ideologi menyiratkan adanya penyembunyian realitas

tertentu. Dalam pengertian ini, ideologi digunakan untuk menunjukkan

bagaimana teks-teks dan praktik-praktik budaya tertentu menghadirkan berbagai

citra tentang realitas yang sudah didistorsi atau diputarbalikkan. Teks-teks dan

praktik-praktik tersebutlah yang menghasilkan ―kesadaran palsu‖ (Storey 2003:4).

Pengertian ini merujuk pada ideologi kapitalisme. Ideologi digunakan sebagai

alat untuk menyembunyikan realitas sebenarnya, yaitu realitas dominasi para

pemilik modal. Ada kepentingan-kepentingan tertentu dari kaum kapitalis dalam

menggunakan ideologi, contohnya menciptakan image maskulin, yaitu agar

mereka dapat terus memproduksi kebutuhan-kebutuhan baru, dan

―mempropagandakan‖ ideologi tersebut agar pasar mereka juga semakin luas.

Tujuan utamanya ialah untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

Ketiga, ideologi juga dapat mengacu pada ―bentuk-bentuk ideologis‖.

Dalam pengertian ini, penggunaan ideologi dimaksudkan untuk menarik perhatian

pada cara-cara yang selalu digunakan teks (media massa) untuk

mempresentasikan citra tertentu tentang dunia (Storey, 2003:7). Karena teks-teks

dalam media massa (film, TV, radio, koran, iklan, dan lain-lain) mengandung

cerita tentang dunia, atau dengan kata lain, segala yang muncul pada media massa

merupakan refleksi dari kehidupan sehingga pada akhirnya seluruh teks budaya

bersifat politis.

Keempat, definisi berikut dikembangkan oleh filsuf Marxis Perancis,

Louis Althusser (Storey, 2003:8). Pada dasarnya, apa yang dipikirkan oleh

Althusser tentang ideologi adalah cara-cara yang berupa kebiasan-kebiasaan

tertentu menghasilkan akibat-akibat yang mengikat dan melekatkan seseorang

pada tatanan sosial, yang ditandai dengan adanya kesenjangan sosial dan

perbedaan status yang menonjol. Kepercayaan seseorang atau ideologi seseorang

terhadap hal tertentu akan diturunkan dalam bentuk-bentuk nyata, misalnya jika

kita percaya akan Tuhan dan menjadi penganut agama tertentu.

Kelima, definisi ideologi menurut Roland Barthes. Barthes menyatakan

bahwa ideologi berfungsi terutama pada level konotasi, makna sekunder, makna

yang sering kali tidak disadari, yang ditampilkan oleh teks dan praktik, atau yang

bisa ditampilkan oleh apa pun (Storey, 2003: 8). Teori mitos dikembangkan oleh

Barthes bertujuan untuk melakukan kritik atas ideologi budaya massa atau budaya

media. Barthes menyatakan bahwa pada tingkat penandaan kedua (konotasi)

inilah mitos diciptakan dan digunakan. Seperti pada mitos, Barthes juga

mengartikan ideologi sebagai suatu bentuk ide dan praktik yang mempertahankan

status quo dan secara aktif mempromosikan nilai-nilai dan kepentingan kelompok

dominan dalam masyarakat (dalam Storey, 2003:116). Ideologi berusaha untuk

menjadikan apa yang pada faktanya parsial dan khusus menjadi universal dan

legitimate, sekaligus juga suatu usaha untuk melewatkan hal-hal yang bersifat

kultural sebagai hal yang alamiah.

Teks-teks yang ada dalam iklan telah didistorsi demikian rupa sehingga

yang muncul dalam gambaran orang ketika mendengar kata maskulin adalah laki-

laki dengan badan kekar, tinggi, berkulit putih, berwajah mulus tanpa jerawat,

berambut hitam tanpa ketombe, berbadan wangi, nafas segar, muda, berpakaian

rapi dan tidak ketinggalan zaman. Padahal, dalam kenyataannya, laki-laki yang

ditampilkan dalam iklan bisa saja tidak setampan dalam iklan. Semua

kesempurnaan penampilan yang terlihat di layar kaca bisa diciptakan dengan

kecanggihan teknologi digital.

Distorsi itu sengaja diciptakan demi tercapainya kepentingan pihak

kapitalis. Ideologi dimanfaatkan sebagai topeng bagi para kapitalis untuk terus-

menerus menciptakan produk-produk baru dan juga kebutuhan-kebutuhan baru

bagi target pasarnya. Misalnya, dahulu orang tidak memerlukan permen penyegar

mulut, tetapi iklan telah menciptakan bahwa bau mulut dapat menimbulkan

masalah yang besar dan mengakibatkan krisis percaya diri. Padahal, dahulu

sebelum ada permen penyegar mulut, mereka merasa baik-baik saja dengan

kondisi mereka, tetapi sekarang ada semacam ―kewajiban‖ untuk mengonsumsi

permen penyegar mulut, misalnya sebelum bertemu klien atau berbicara di depan

publik. Konsumen mempunyai kebutuhan baru, yaitu menjaga bau mulut dengan

mengonsumsi permen penyegar mulut.

2.3 Model Penelitian

Model penelitian berikut menampilkan alur berpikir yang dilakukan di

dalam penelitian ini. Model penelitian yang digambarkan dalam bagan di bawah

ini menjelaskan fenomena atau gejala lingual yang akan dikaji, rumusan masalah,

dan landasan teori.

Bagan 3. Model Penelitian

Model penelitian di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama,

penelitian ini menganalisis gaya bahasa iklan makanan dan minuman pada media

TV. Gaya bahasa dalam hal ini dapat dibedakan menjadi empat kategori utama,

yaitu: (a) berdasarkan pilihan kata (gaya bahasa resmi, tak resmi, percakapan), (b)

berdasarkan nada (gaya sederhana, mulia dan bertenaga, menengah), (c)

Gaya Bahasa Iklan Komersial

pada Media Elektronik

Bentuk Ideologi Makna

Berdasarkan:

- Pilihan kata

- Nada

- Struktur kalimat

- Ketidaklangsungan

makna

- Jenis tindak tutur

- Makna denotatif &

konotatif

- Pelanggaran maksim

percakapan

- Mitos

- Ideologi di balik

iklan komersial

pada TV

Teori

Gaya Bahasa

(Keraf, 1991)

Teori

Semantik

(Palmer, 2001)

TEMUAN

Teori

Pragmatik

(Yule,1996)

Teori

Semiotik

(Barthes, 1998)

Teori

Ideologi

(Storey, 2004)

berdasarkan struktur kalimat (klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis,

repetisi), dan (d) berdasarkan ketidaklangsungan makna (gaya bahas retoris, gaya

bahasa kiasan). Teori yang digunakan dalam menganalisis gaya bahasa iklan

komersial pada media elektronik adalah teori mengenai diksi dan gaya bahasa

yang dikembangkan oleh Keraf (1991).

Kedua, penelitian ini menelaah makna tanda verbal dan nonverbal pada

iklan makanan dan minuman. Penelitian ini merupakan kajian pragmatik-sematik.

Dengan demikian, untuk membedah makna tanda verbal akan dimulai dari telaah

tindak tutur. Teori yang digunakan untuk menelaah jenis tindak tutur yang

digunakan pada iklan makanan dan minuman yaitu teori pragmatik yang

dikembangkan oleh Yule (1996). Selanjutnya, untuk telaah makna, yaitu tanda

verbal dan nonverbal digunakan teori semantik yang dikembangkan oleh Palmer

(2001) dan teori semiotik dari Barthes (1998). Meurut pandangan Barthes, setiap

tanda memiliki makna denotatif dan makna konotatif. Kemudian, diikuti dengan

telaah maksim untuk melihat adanya pelanggaran maksim percakapan pada iklan

makanan dan minuman dengan menggunakan teori tentang maksim percakapan

yang dikembangkan oleh Grice (1975).

Terakhir, berdasarkan telaah makna yang telah dilakukan maka secara

tidak langsung terjadi pengungkapan ideologi iklan. Hal ini berawal dari analisis

makna konotatif yang berkembang menjadi mitos. Mitos tersebut kemudian

menetap menjadi sebuah ideologi. Analisis ideologi iklan merupakan analisis

iklan secara satu kesatuan dan untuk itu digunakan teori mengenai idelogi yang

dikembangkan oleh Storey (2003). Penerapan seluruh teori di atas bertujuan

untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian

ini diharapkan dapat menghasilkan temuan-temuan yang dapat memberikan

kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang gaya

bahasa serta makna tanda dalam iklan komersial pada media elektronik.