bab ii kajian pustaka...ekonomi pertanian, kebijakan pemerintah pada pembangunan pertanian sub...
TRANSCRIPT
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini menyajikan kajian teoritis dan empiris tentang pembangunan
ekonomi pertanian, kebijakan pemerintah pada pembangunan pertanian sub sector
peternakan, intensitas kemitraan, perilaku THK, kinerja usaha ternak, pendapatan
peternak serta kajian terhadap penelitian terdahulu.
2.1 Pembangunan Pertanian
2.1.1 Strategi Pembangunan Pertanian
Pembangunan sektor pertanian sangat penting dilaksanakan karena sebagian
besar anggota masyarakat menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Para
perencana pembangunan ekonomi, perlu sungguh-sungguh memperhatikan
rencana pembangunan pertanian yang dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Cara yang bisa ditempuh adalah dengan meningkatkan produksi dan
menaikkan harga atas produk-produk yang mereka hasilkan (Arsyad, 2010).
Peningkatan produksi pertanian bukanlah merupakan syarat yang cukup untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat. Mosher (2010) mengatakan bahwa ada 5
(lima) syarat mutlak dalam pembangunan pertanian, yaitu 1). Adanya pasar untuk
hasil-hasil usaha tani, 2) Teknologi yang senantiasa berkembang, 3) Tersedianya
bahan-bahan dan alat-alat produksi secara local, 4) Adanya perangsang produksi
bagi petani, 5) Tersedianya transport yang lancar dan kontinyu.
17
Melihat pentingnya dan besarnya peranan sektor pertanian pada pembangunan
ekonomi, maka pemerintah berusaha mengoptimalkan sektor pertanian dengan
cara mengembangkan hasil pertanian, mengembangkan pangsa pasar hasil
produksi pertanian, dan mengembangkan faktor produksi pertanian. Akan tetapi,
menurut Todaro dan Smith (2006) peranan sektor pertanian dalam pembangunan
ekonomi hanya dipandang pasif dan sebagai unsur penunjang semata. Lebih lanjut
dikatakan bahwa strategi pembangunan ekonomi yang dilandaskan pada prioritas
sektor pertanian dan ketenagakerjaan paling tidak memerlukan tiga unsur
pelengkap dasar. Pertama, percepatan pertumbuhan output melalui serangkaian
penyesuaian teknologi, institusional, dan insentif harga yang khusus dirancang
untuk meningkatkan produktivitas para petani kecil. Kedua, peningkatan
permintaan domestik terhadap output pertanian yang dihasilkan dari strategi
pembangunan perkotaan yang berorientasikan pada upaya pembinaan
ketenagakerjaan. Ketiga, diversifikasi kegiatan pembangunan daerah pedesaan
yang bersifat padat karya, yaitu non pertanian, yang secara langsung dan tidak
langsung akan menunjang dan ditunjang oleh masyarakat pertanian.
Keberhasilan pembangunan pertanian tidak hanya ditentukan oleh
ketersediaan sarana dan teknologi, tetapi yang penting adalah kualitas manusia tani
sebagai pelaku pembangunan. Paradigma pembangunan pertanian mutlak
diperlukan dengan fokus petani itu sendiri sebagai makhluk berbudaya yang perlu
senantiasa mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan serta komponen lain
yang saling terkait. Soekartawi (2002) mengatakan, bahwa pembangunan
18
pertanian yang berhasil kalau terjadi pertumbuhan sektor pertanian yang tinggi
dan sekaligus terjadi perubahan kearah kehidupan yang lebih baik, tetapi tidak
merusak lingkungan. Untuk mencapai hal tersebut maka harus ada langkah-
langkah kebijakan pembangunan pertanian yang harus diambil oleh pemerintah.
yang mengacu pada tujuan dan sasaran pembangunan pertanian yaitu
pembangunan pertanian berkelanjutan (Todaro, 2000).
.
2.1.2 Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Para ahli ekonomi pembangunan telah memberlakukan istilah berkelanjutan
(sustainability) dalam upaya memperjelas hakikat keseimbangan pembangunan
yakni pertumbuhan ekonomi disatu sisi, dan pelestarian lingkungan hidup atau
sumber-sumber daya alam di sisi yang lain. Istilah keberlanjutan mengacu pada
pemenuhan kebutuhan generasi sekarang, tanpa merugikan kebutuhan generasi
mendatang (Todaro, 2000). Secara operasional Turner et al. (1993) mendefinisikan
pembangunan berkelanjutan sebagai upaya memaksimalkan manfaat bersih
pembangunan ekonomi dengan syarat dapat mempertahankan dan meningkatkan
jasa, kualitas dan kuantitas sumber daya alam sepanjang waktu. Oleh karena itu,
pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat berlangsung
secara terus menerus dan konsisten dengan menjaga kualitas hidup masyarakat
dengan tidak merusak lingkungan dan mempertimbangkan cadangan sumber daya
yang ada untuk kebutuhan masa depan ( Todaro, 2000).
19
Pembangunan berwawasan lingkungan akan merupakan landasan bagi
adanya pembangunan berkelanjutan. Irawan dan Suparmoko, (2002) mengatakan,
bahwa pembangunan berkelanjutan dapat dibedakan dalam arti sempit dan arti
luas. Dalam arti luas pembangunan berkelanjutan dimaksudkan sebagai
pembangunan yang tidak menurunkan kapasitas generasi yang akan datang untuk
melakukan pembangunan meskipun terdapat penyusutan cadangan sumberdaya
alam dan memburuknya lingkungan, tetapi keadaan tersebut dapat digantikan oleh
sumberdaya lain baik oleh sumber daya manusia maupun sumberdaya capital.
Sedangkan dalam arti sempit, pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan
yang tidak mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk melakukan
pembangunan, tetapi dengan menjaga agar fungsi sumberdaya alam dan
lingkungan yang ada tidak menurun, tanpa diganti oleh sumberdaya lainnya
(David dan Shirra, 1991).
Dari uraian diatas nampaknya pembangunan ekonomi tidak hanya berupa
meningkatkan produksi barang dan jasa, tetapi juga perlu menjaga kondisi
lingkungan agar tetap berfungsi sebagaimana mestinya, dan perlu juga ada usaha
meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia, mupun sumberdaya
capital serta teknologi. Oleh karena itu untuk menjamin adanya pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan, harus dicari titik keseimbangan antara kebijakan
pembangunan dan kebijakan lingkungan, sehingga akan tercapai kebijakan
pembangunan ekonomi yang benar-benar menjamin peningkatan kesejahteraan
manusia dalam jangka panjang (Irawan dan Suparmoko, 2002).
20
Saptana dan Ashari, (2007) mengatakan, bahwa paradigma pembangunan
pertanian berkelanjutan dapat menjadi solusi alternatif dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan kelestarian sumber daya alam dan
lingkungan. Pembangunan pertanian berkelanjutan akan makin optimal jika
disinergikan dengan komitmen untuk membangun kemitraan di antara pelaku
agribisnis. Pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan dengan pendekatan sistem
dan usaha agribisnis serta kemitraan usaha. Melalui kemitraan usaha dapat
menjamin terciptanya efisiensi dan pertumbuhan, keadilan dan pemerataan, serta
berwawasan lingkungan. Untuk mendukung upaya ini diperlukan konsolidasi
kelembagaan yang mantap, baik di tingkat petani, pihak swasta maupun
pemerintah.
Yasin dan Indarsih (1988) mengatakan, bahwa salah satu andalan
pembangunan sektor pertanian adalah sub sektor peternakan ayam ras yang
pengembangannya mengacu pada strategi dasar dan tujuan pembangunan
peternakan, mengingat prospeknya cerah, baik untuk tujuan ekspor maupun
memenuhi kebutuhan dalam negeri. Strategi pembangunan peternakan tersebut
adalah: Pertama, peningkatan produksi yang berorientasi pada perluasan
kesempatan kerja, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan efisiensi usaha,
Kedua, peningkatan kerja sama yang saling mendukung dan saling mendorong
untuk maju antara sub sektor peternakan dan sub sektor lainnya, Ketiga,
peningkatan peranan untuk terwujudnya pembangunan utuh, serasi dan terpadu.
21
Dengan demikian keberhasilan sektor pertanian, sub sektor peternakan di
tentukan oleh: 1) adanya peningkatan produksi dan harga, dari hasil-hasil
pertanian/peternakan. 2) kepastian pasar dan output sekitar pertanian/peternakan.
3) penerapan teknologi. 4) tersedianya sarana produksi pertanian/peternakan. 5)
adanya perangsang produksi. 6) tersedianya transportasi yang lancar. 7)
permintaan domestik akan produk pertanian/peternakan. 8) kualitas sumber daya
manusia, sebagai pelaku bisnis di sektor pertanian/peternakan. 9) kemiteraan yang
saling melindungi, memerlukan, mengembangkan dan menguntungkan
2.2 Kebijakan Pemerintah
2.2.1 Pengertian dan Definisi Kebijakan Pemerintah
Pemerintah mempunyai peranan untuk mengatur, memperbaiki atau
mengarahkan aktivitas sektor swasta, karena sektor swasta tidak dapat mengatasi
masalah perekonomian. Berkaitan dengan hal tersebut, peranan pemerintah
sebagai alat untuk mengalokasikan sumber-sumber ekonomi, distribusi pendapatan
dan stabilasasi ekonomi (Guritno, 2008). Peranan pemerintah diimplementasikan
dalam bentuk kebijakan pemerintah yang memiliki keterkaitan dan pengaruh yang
kuat terhadap segala bentuk aktivitas publik termasuk di dalamnya kesejahteraan
masyarakat (Jones, 1994)
Frederickson dan Hart dalam Tangkilisan (2003a), mengemukakan kebijakan
adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan adanya
22
hambatan-hambatan tertentu sambil mencari peluang-peluang untuk mencapai
tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.
Kebijakan pemerintah adalah suatu keputusan yang dibuat secara sistematik
oleh pemerintah dengan tujuan tertentu yang menyangkut kepentingan umum
(Nagel, 2003). Woll dalam Tangkilisan (2003a) mendefinisikan kebijakan
pemerintah adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di
masyarakat baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat. Carl J. Friedric dalam Sunarko, (2003)
kebijakan pemerintah sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan pada seseorang,
golongan, atau pemerintah dalam suatu lingkungan dengan hambatan dan
kesempatan,yang diharapkan dapat memenuhi dan mengatasi hambatan tersebut
dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Chandler dan Plano (1988) dalam Tangkillisan (2003b) mengatakan bahwa
kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya yang
ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan
publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus
oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam
masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan
secara luas. Pengertian kebijakan publik, dapat diklasifikasikan sebagai intervensi
pemerintah. Dalam hal ini pemerintah mendayagunakan berbagai instrumen yang
dimiliki untuk mengatasi persoalan publik.
23
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa kebijakan pemerintah adalah
suatu keputusan yang dibuat secara sistimatik oleh pemerintah dengan maksud dan
tujuan tertentu yang menyangkut kepentingan umum (Nagel, 2003). Menurut Woll
(1966) dalam Tangkilisan (2003a), kebijakan pemerintah adalah sejumlah aktivitas
pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat baik secara langsung
maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Carl J. Friedric dalam Soenarko, (2003) mengatakan kebijakan pemerintah
adalah suatu arah tindakan yang diusulkan pada seseorang, golongan, atau
pemerintah dalam suatu lingkungan dengan hambatan dan kesempatan, yang
diharapkan dapat memenuhi dan mengatasi hambatan tersebut dalam rangka
mencapai suatu tujuan tertentu. Menurut administrasi Negara Republik Indonesia
(Nugroho, 2006), kebijakan pemerintah dapat dibagi 2 (dua) yaitu: 1) Kebijakan
internal (manajerial), yaitu kebijakan yang mempunyai kekuatan mengikat
aparatur pemerintah. 2). Kebijakan eksternal (publik), suatu kebijakan yang
mengikat masyarakat umum. Pengertian kebijakan pemerintah sama dengan
kebijaksanaan berbagai bentuk seperti misalnya dibuat oleh Pemerintah Pusat
berupa Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri (Kepmen) dan lain-lain.
Melainkan bila dibuat oleh Pemerintah Daerah berupa Surat Keputusan (SK),
Peraturan Daerah (Perda) dan lain-lain. Dalam penyusunan kebijakan mengacu
pada hal-hal berikut : 1) Berpedoman pada kebijaksanaan lebih tinggi, 2)
Konsisten dengan kebijaksanaan lain yang berlaku, 3) Berorientasi ke masa depan,
24
4) Berpedoman kepada kepentingan umum, 5) Jelas dan tepat serta transparan, 6)
Dirumuskan secara tertulis.
Nugroho (2006), menegaskan bahwa secara sederhana rentetan atau tingkatan
kebijakan publik di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni :
1. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar, yaitu
(a) UUD1945, (b) UU/Perpu, (c) Peraturan Pemerintah, (d) Peraturan
Presiden, dan (e) Peraturan Daerah.
2. Kebijakan Publik yang bersifat (meso) atau menengah, atau penjelas
pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat
Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, dan Peraturan
Walikota. Kebijakannya dapat pula berbentuk Surat Keputusan Bersama
atau SKB antar Menteri, Gubernur dan Bupati dan Walikota.
3. Kebijakan Publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur
pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan di atasnya. Bentuk
kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di
bawah Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota.
Dari gambaran tentang hirarki kebijakan di atas, nampak jelas bahwa
kebijakan publik dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan Daerah merupakan
kebijakan publik yang bersifat strategis tapi belum implementatif, karena masih
memerlukan derivasi kebijakan berikutnya atau kebijakan publik penjelas atau
yang sering disebut sebagai peraturan pelaksanaan atau petunjuk pelaksanaan.
Abidin (2004) membedakan kebijakan dalam tiga tingkatan seperti :
25
1. Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk
pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun negatif yang meliputi
keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan.
2. Kebijakan pelaksanaan, yaitu kebijakan yang menjabarkan kebijakan
umum. Tingkat pusat, Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan
Undang-Undang.
3. Kebijakan teknis, yaitu kebijakan operasional /kebijakan pelaksanaan
2.2.2 Kebijakan Pembangunan Pertanian Sub Sektor Peternakan
Hafsah (1999) mengatakan bahwa salah satu kebijakan pembangunan
pertanian sub sektor peternakan adalah memfasilitasi pelaksanaan hubungan
kemiteraan antara perusahaan besar (Inti) dan perusahaah skala kecil (peternak)
dalam bentuk usaha yang saling menguntungkan. Hal ini antara lain karena sub
sektor peternakan menjadi sumber pendapatan dari mayoritas penduduk Indonesia
dengan skala usaha kecil.
Ayam ras secara umum dan ayam ras pedaging khususnya merupakan salah
satu komoditi pada sub sektor peternakan yang memperlihatkan perkembangan
yang sangat pesat dilihat dari jumlah usaha yang dilakukan oleh peternak rakyat.
Di sisi lain peternakan rakyat melakukan budidaya ayam ras pedaging dengan
segala keterbatasan dari aspek teknologi, manajemen, finansial, informasi dan
penguasaan pasar. Oleh karena itu, melaui pola kemiteraan usaha, usaha besar,
menengah dan kecil dapat menekan biaya produksi karena memperoleh harga
26
input yang menguntungkan, sekaligus mengantisipasi kemungkinan terjadinya
fluktuasi pasokan bahan baku (Windarsari, 2012).
Mengacu pada kebijakan strategis tersebut, Pemerintah Daerah Propinsi Bali
mengeluarkan kebijakan pertanian sub sektor peternakan ayam ras pedaging
berupa Peraturan Gubernur (Pergub) Nomer 6 Tahun 2013 tentang kemiteraan dan
perlindungan usaha peternakan di Provinsi Bali. Peraturan Gubernur tersebut
sebagai acuan bagi pelaku usaha dalam menata pelaksanaan usaha peternakan
melalui pola kemiteraan, menjaga dan melestarikan kelangsungan hidup
peternakan ayam ras pedaging di Bali. Esensi Pergub tersebut adalah mewajibkan
perusahaan besar (Inti) menata produksi doc (day old chiken) sesuai dengan
permintaan ayam di Bali, sehingga harga ayam hidup lebih stabil pada level yang
menguntungkan. Kebijakan pemerintah berpijak pada UU Peternakan No 67 yang
menyebutkan bahwa usaha peternakan merupakan usaha rakyat dengan tujuan
membuka lapangan kerja dan sumber pendapatan yang luas bagi masyarakat
(Simatupang, 2003).
Secara empiris, pemerintah bertekad melindungi usaha peternakan ayam ras
pedaging skala kecil, dengan mengatur, melindungi dan mengembangkan industri
peternakan rakyat, akan tetapi dalam kenyataannya tekad pemerintah tersebut,
tidak mampu melawan kekuatan pasar (Yusdja, dkk., 2003; Hafsah, 2009).
Pemerintah menginginkan struktur industri ayam ras dalam bentuk usaha rakyat,
dengan cara membangun pilar-pilar industri padat modal (seperti; industri pakan,
industri pembibitan ayam dan pengolahan). Namun dalam perkembangan yang
27
relatip cepat, justru hal tersebut menyebabkan menyembunyikan kegagalan
kebijakan pemerintah.
Ilham, dkk., (2013) mengatakan, bahwa kegagalan kebijakan pemerintah
terjadi sejak pemerintah melakukan intervensi melalui kebijakan operasional
dengan tujuan agar usaha peternakan ayam ras berkembang untuk memenuhi
kebutuhan permintaan daging nasional. Pemerintah juga gagal melaksanakan
kebijakan karena beranggapan usaha ayam ras dapat dilakukan dalam skala kecil,
sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan menjadi sumber pendapatan,
padahal dalam kenyataan hal ini tidak terwujud.
Kebijakan Pemerintah tersebut antara lain Kepres No 50 Tahun 1981 tentang
pembinaan usaha peternakan ayam ras. Esensi kebijakan tersebut adalah
pembatasan skala usaha, 750 ekor (per siklus) untuk ayam pedaging dan 5000 ekor
(per siklus) untuk ayam petelur. Dalam kenyataan, peternak ayam ras skala kecil
tidak efesien, dan fluktuasi harga input dan output sangat tingi. Sehingga peternak
skala kecil mengalami kebangkrutan (Yusdja, dkk., 2004).
Pada tahun 1990, pemerintah menerbitkan Keppres No. 22 Tahun 1990,
tentang pembinaan usaha peternakan ayam ras. Pada pasal 3 dinyatakan, bahwa
pemerintah mengijinkan usaha ayam ras komersial skala besar untuk melakukan
budidaya, dengan catatan 65% produksi ditujukan untuk ekspor dan perusahaan
tersebut harus melakukan kemiteraan dengan peternak skala kecil.
Keppres tersebut dimanfaatkan oleh perusahaan skala besar dengan membagi-
bagi usahanya dalam berbagai nama kepemilikan sehingga tidak menyimpang dari
28
Kepres No.22 Tahun 1990, dan dalam periode 1992/1996 tercapai kemajuan
industri ayam ras dengan rata-rata pertumbuhan 16,10 persen pertahun, jumlah
produksi tersebut telah mencapai 62 persen dari total daging nasional, karena
dominasi perusahaan besar melalui pola kemiteraan (Suparta, 2001)
Kemitraan yang berlangsung dinilai sulit diharapkan menjadi andalan untuk
membangun ekonomi peternak rakyat yang modern dan dinamis (Sipayung dkk.,
1997). Bentuk kemitraan yang berlaku, kurang dapat memberikan nilai tambah
kepada peternak kecil sesuai kinerja, menyebabkan perkembangan usaha menjadi
terbatas. Muncul kerisauan peternak kecil atas ancaman pailit usahanya, karena
tidak mampu bersaing dengan usaha skala besar, sekalipun mendapat perlindungan
pemerintah (Yusdja, 1996)
Pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Keppres No. 85 Tahun 2000,
untuk memberikan jaminan kepastian dan efesiensi usaha peternakan ayam ras
dalam era perdagangan global. Pemerintah tidak lagi melakukan intervensi pada
pengaturan struktur industri ayam ras, akan tetapi pemerintah lebih berperan
sebagai regulator pada usaha budidaya ayam ras (Yusdja, dkk., 2004)
Untuk menyelamatkan usaha ayam ras skala kecil, para ahli ekonomi dan
peternakan menyampaikan saran kepada pemerintah terkait rencana restrukturisasi
industri perunggasan (Komnas FBFI, 2007; Sudaryanto dan Yusdja, 2007).
Restrukturisasi perunggasan yang dimaksud adalah menata ulang struktur dan
sistem yang sudah ada untuk meningkatkan efesiensi dan produktivitas usaha
perunggasan (Ditjennak, 2009a).
29
Upaya restrukturisasi yang dilakukan oleh pemerintah bertujuan agar
membangkitkan kembali usaha unggas yang lebih diarahkan pada peternakan
unggas lokal skala kecil. Langkah kongkret yang dilakukan adalah melalui
beberapa kegiatan yaitu (1) Restrukturisasi perunggasan melalui pengembangan
usaha budidaya unggas di pedesaan (village poultry farming/VPF) (Ditjennak,
2006b); (2) Restrukturisasi perunggasan melalui penataan pemeliharaan unggas
(Ditjennak, 2009b); (3) Penataan kompartemen dan penataan zona usaha
perunggasan dan (4) Kawasan agribisnis unggas local (Ditjen PKH, 2013a).
Namun kenyataannya usaha ayam ras skala kecil belum bisa berkembang sesuai
tujuan pemerintah ( Ilham dkk., 2013; Martindah et al., 2014; Ditjennak ,2009a).
Berdasarkan hal tersebut dapat dinyatakan, berbagai kebijakan yang telah
dilakukan oleh pemerintah, namun belum ada yang berhasil dalam meningkatkan
kinerja usaha ternak dan pendapatan peternak. Mengacu pada Pergub No. 6 Tahun
2013, dilakukan penelitian lebih lanjut tentang dampak dari kebijakan tersebut,
yakni apakah dapat meningkatkan kinerja usaha ternak dan pendapatan peternak,
dengan indikator tingkat mensejahterakan peternak, tingkat memberdayakan usaha
peternak, dan tingkat melindungi usaha peternak.
Ada 2 (dua) penelitian yang memiliki kemiripan konsep dan teori serta
pendekatan metodelogi, yaitu penelitian Rahadian (2005) dan penelitian Yul
(2005). Kedua penelitian itu menggunakan konsep teori penerapan kebijakan
dengan pendekatan kuantitatif. Rahadian (2005) menyatakan bahwa implementasi
kebijakan Penyuluhan Pertanian berpengaruh positip dan signifikan terhadap
30
kemandirian kelompok tani. Yul (2005) menemukan bahwa implementasi
kebijakan pemberasan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja dan
pendapatan petani.
2.2.3 Indikator Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah dalam penelitian ini adalah Kebijakan Pemerintah
Provinsi Bali yang tertuang dalam Peraturan Gubernur No. 6 Tahun 2013 (Pergub
No 6 Tahun 2013), tentang pelaksanaan kemiteraan dan perlindungan usaha
peernakan. Tujuan diterbitkan peraturan ini adalah menata pelaksanaan usaha
peternakan ayam ras melalui pola kemiteraan. Pemerintah Daerah Provinsi Bali,
membantu memediasi antara perusahaan besar dengan usaha rakyat dalam
pelaksanaan pola kemiteraan, serta membina, memantau, mengawasi dan
mengevaluasi pelaksanaannya. dan memberikan sangsi bagi yang melanggar
pelaksanaan pola kemiteraan.
Kebijakan ini, sebagai acuan bagi pelaku usaha ayam ras pedaging dalam
menjalankan usahanya, menata pelaksanaan usaha peternakan melalui pola
kemiteraan, dan menjaga kelangsungan hidup budaya peternakan ayam ras yang
ada di Bali. Dalam pelaksanaan, pemerintah bekerja sama dengan asosiasi
peternakan ayam ras. Asosiasi adalah perkumpulan orang yang mempunyai
maksud, tujuan dan kepentingan bersama dalam usahanya dan telah memperoleh
pengakuan dari pemerintah daerah. Peranan asosiasi dalam pelaksanaan pola
kemiteraan dan perlindungan usaha adalah (1) memberikan bimbingan tentang
31
pelaksanaan perlindungan usaha kepada peternak , (2) mendampingi pemerintah
daerah dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang timbul antara inti
dan plasma (peternak), (3) bersama pemerintah daerah melakukan pembinaan, dan
pengawasan terhadap pola kemiteraan. (Pergub No 6 Tahun 2013).
Indikator kebijakan pemerintah yang merupakan refleksi dari Pergub No 6
Tahun 2013 adalah tingkat mensejahterakan peternak, tingkat memberdayakan
usaha peternak dan tingkat melindungi usaha peternak. Tingkat mensejahterakan
peternak dimaksud adalah (1) kepastian peternak mendapatkan keuntungan, (2)
kepastian memperoleh kontinuitas produksi, (3) usahanya dapat berkembang dan
(4) usahanya mengarah ke usaha berkelanjutan. Tingkat memberdayakan peternak
dimaksud adalah (1) peternak mendapat kemudahan melakukan pola kemiteraan,
(2) peternak dapat meningkatkan skala produksi, (3) dapat meningkatkan
produktivitas tenaga kerja. Tingkat perlindungan usaha peternak adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum kepada pelaku usaha ayam ras
dalam menjalankan usahanya dengan komponen : (1) kebijakan pemerintah dapat
melindungi usaha peternakan dari praktek monopoli, (2) melindungi dari
persaingan tidak sehat (3) melindungi dari pemusatan kekuatan ekonomi oleh
perusahaan besar.
2.2.4 Pengaruh Kebijakan Pemerintah terhadap Kinerja Usaha Ternak dan
Pendapatan Peternak
Kebijakan pemerintah Daerah Provinsi Bali yang dituangkan melalui
peraturan Gubernur Bali No 6 Tahun 2013 tentang pelaksanakan kemiteraan dan
32
perlindungan usaha peternakan di Provinsi Bali, diperkirakan mempunyai dampak
yang bersifat positip maupun negatip terhadap kinerja usaha ternak dan
pendapatan peternak ayam ras pedaging di Bali. Pengaruh kebijakan pemerintah
terhadap kinerja usaha ternak diukur dengan: (1) FCRA (feed convertion ratio
actual) adalah rasio penggunaan pakan dibandingkan dengan berat badan dicapai
secara alami, (2) FCRD (feed convrtion ratio differen) adalah selisih antara FCRA
dengan FCRS dan (3) Indek produksi. Ketiga indikator variabel Kinerja usaha
ternak sangat tergantung dengan kapabilitas peternak, kemampuan, teknologi yang
dimiliki oleh peternak. Demikian pula dengan pendapatan peternak, diukur dengan
pertumbuhan penjualan, pertumbuhan asset dan pertumbuhan laba.
Subarsono (2005) mengatakan, kebijakan yang sudah direkomendasikan untuk
dipilih, bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam
implementasinya. Jones (1994) mengungkapkan bahwa implementasi kebijakan
yang merupakan bagian dan fungsi manajemen memiliki keterkaitan dan pengaruh
yang kuat terhadap segala bentuk aktivitas publik, termasuk didalamnya
kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah diyakini mempunyai peranan untuk mengatur dan memperbaiiki
aktivitas perekonomian. Dalam perekonomian modern, peranan pemerintah dapat
diklasifikasikan dalam tiga golongan besar (Guritno, 2008). yaitu : (1) peranan
alokasi sumber-sumber ekonomi, (2) peranan distribusi, (3) peranan stabilisasi.
Dari ketiga peranan pemerintah, tampak bahwa terdapat satu peranan pemerintah
yang berpengaruh terhadap peningkatan kinerja dan pendapatan masyarakat yaitu
33
peranan distribusi. Gillespie et al. (2009) menyatakan bahwa kebijakan pemerintah
di sektor pertanian dapat meningkatkan kinerja dan pendapatan petani, serta
distribusi pendapatan semakin merata dan meningkat, yang pada akhirnya dapat
mengurangi ketimpangan pendapatan di masyarakat.
Jhingan (1992), mengungkapkan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi
pendapatan masyarakat, yaitu (1) penerapan kebijakan nasional guna
meningkatkan kekuasaan dan pengaruh melampaui batas-batas nasional, (2) Ingin
memiliki suatu negara kesejahteraan dengan pemerataan pendapatan yang lebih
adil, (3) keputusan membangun pusat perdagangan dan sector-sektor penting lain.
Penelitian Rahadian (2005) yang menemukan bahwa implementasi kebijakan
Penyuluhan Pertanian berpengaruh positip dan signifikan terhadap kemandirian
kelompok tani, yang dapat diartikan bahwa implementasi kebijakan
mempengaruhi kinerja dan pendapatan petani. Demikian halnya hasil penelitian
Yul (2005) yang menyatakan bahwa implementasi kebijakan pemberasan
mempengaruhi secara positif dan signifikan terhadap kinerja dan pendapatan
petani. Berdasarkan hal tersebut dapat dinyatakan, salah satu faktor mempengaruhi
peningkatan pendapatan masyarakat, adalah faktor implementasi kebijakan.
2.3 Intensitas Kemiteraan
2.3.1 Pengertian dan Defenisi Kemiteraan
Kemiteraan adalah suatu kerja sama antara perusahaan besar dengan
perusahaan kecil dalam suatu usaha, atas dasar prinsip saling memerlukan,
34
mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan (Pergub No. 6 Tahun 2013). Pola
Kemiteraan adalah suatu pola kerja sama antara perusahan inti sebagai penyedia
modal dengan peternak plasma sebagai pelaksana yang mengacu pada prinsip-
prinsip saling menguntungkan, keterbukaan, keadilan dan pemberdayaan yang
diatur secara tertulis dalam kesepakatan bersama (Pergub No 6 Tahun 2013).
Menurut Undang-Undang Nomer 9 Tahun 1995, pola kemiteraan inti
plasma adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah
atau Usaha Besar, yang didalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar bertindak
sebagai inti dan Usaha Kecil selaku plasma, perusahaan ini melaksanakan
pembinaan mulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis, sampai
dengan pemasaran hasil produksi.
Kemiteraan usaha dilakukan oleh karena ada masalah struktural dalam dunia
usaha, hal ini ditunjukkan oleh adanya lapisan pengusaha besar yang relatip sedikit
jumlahnya namun menguasai sebagian besar asset produktif, sedangkan lapisan
pengusaha kecil sebagai dasar perekonomian rakyat yang jumlahnya relatip besar,
namun kurang andal dan hanya menguasai sebagian kecil asset nasional
(Kartasasmita, 1996). Intensitas kemiteraan merupakan suatu kegiatan untuk
mengukur pelaksanaan kemiteraan yang dilakukan oleh perusahaan inti dengan
peternak plasma. Peningkatan intensitas hubungan ini akan menciptakan suatu
kondisi saling ketergantungan kedua belah pihak, dan akan melahirkan
peningkatan kinerja usaha ternak dan pendapatan peternak ( Dewi dkk., 2014,
Ilham dkk., 2013).
35
Adanya kesenjangan akibat dari tidak meratanya kepemilikan sumberdaya
produksi dan produktivitas, serta sistem distribusi dan pasar diantara pelaku
ekonomi. Kesenjangan tersebut telah menyebabkan terjadinya dikotomi yaitu
pelaku ekonomi kuat dan pelaku ekonomi lemah, serta menumbuhkan rasa
ketidak-adilan. Dualisme dalam perekonomian tidak mudah untuk dihilangkan
karena menyangkut penguasaan teknologi, pemilikan modal, akses pasar dan
sumber daya manusia (Abdul Samad, 2016). Untuk memecahkan masalah ini,
dilakukan upaya besar, yang salah satu diantaranya adalah Kemiteraan.
Kemiteraan dilakukan diantara para pelaku ekonomi itu sendiri. Kemiteraan,
dalam dunia usaha adalah hubungan antar pelakunya yang didasarkan pada ikatan
usaha yang saling menguntungkan dalam hubungan kerja yang sinergis, yang
hasilnya bukanlah suatu zerosum-game, tetapi positive-sum-game, atau win-win
solution. Dengan kata lain kemiteraan usaha merupakan hubungan kerjasama antar
usaha yang sejajar, dilandasi oleh prinsip-prinsip saling menunjang dan saling
menghidupi berdasarkan asas kekeluargaan. (Kartasasmita, 1996).
2.3.2 Dimensi dan Indikator Intensitas Kemiteraan
Berdasarkan konsep kemiteraan yang tertuang dalam Pergub No 6 Tahun
2013, bahwa kemiteraan usaha ayam ras pedaging dilakukan dengan pola
kemiteraan inti plasma, yaitu suatu pola kerja sama antara perusahaan inti sebagai
penyedia modal dengan peternak plasma sebagai pelaksana budidaya, mengacu
36
pada prinsip-prinsip saling menguntungkan, keterbukaan, keadilan dan
pemberdayaan yang diatur secara tertulis dalam kesepakatan bersama.
Dalam pola kemiteraan ini diupayakan terwujud iklim usaha yang saling
memerlukan, saling mempercayai, memperkuat dan saling menguntungkan kedua
belah pihak. Perusahaan inti dan peternak plasma yang melaksanakan pola
kemiteraan inti plasma, sama-sama mempunyai hak untuk mendapatkan
kemudahan dalam pelaksanaan kemiteraan. Selain itu, perusahaan inti
berkawajiban meningkatkan efesiensi usaha, memberikan informasi kepada
pemerintah dan asosiasi peternak mengenai perkembangan pelaksanaan
kemiteraan, dan mentaati dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah diatur
dalam perjanjian kemiteraan.
Dalam pola kemiteraan inti-plasma perusahaan inti wajib melakukan
pembinaan kepada kelompok mitra binaannya (Pergub No 6 Tahun 2013).
Kewajiban itu dijelaskan dalam 5 (lima) aspek antara lain: (1) aspek pemasaran
dengan membantu akses pasar, memberikan bantuan informasi pasar, memberikan
bantuan promosi, mengembangkan jaringan usaha, membantu melakukan
identitifikasi pasar dan perilaku konsumen, membantu peningkatan mutu produk
dan nilai tambah kemasan. (2) Aspek pembinaan dan pengembangan sumberdaya
manusia dengan : melakukan pendidikan dan pelatihan, melakukan magang, studi
banding dan konsultasi, (3) Aspek permodalan dengan : memberikan informasi
dan memfasilitasi sumber-sumber kredit, mengajukan jaminan dari berbagai
lembaga penjamin, memediasi terhadap sumber-sumber pembiayaan, memberi
37
informasi dan tata cara penyertaan modal dan membantu akses permodalan, (4)
Aspek manajemen dengan : membantu aspek kelayakan, membantu memberikan
sistem organisasi dan manajemen, menyediakan tenaga konsultan dan advisor, (5)
Aspek teknologi dengan: membantu perbaikan, inovasi dan alih teknologi,
membantu perbaikan sistem produksi dan kontrol kualitas, dan membantu
pengembangan desain dan rekayasa produk.
Dewi, dkk., ( 2014) mengatakan bahwa dimensi intensitas kemiteraan dalam
pola kemiteraan inti plasma, dimana perusahaan inti menyediakan sarana produksi
peternakan (sapronak) berupa: bibit ayam, pakan, obat-obatan/vitamin, bimbingan
teknis, dan memasarkan hasil produksi, sedangkan peternak plasma menyediakan
kandang serta peralatannya dan tenaga kerja. Peternak diharapkan mampu
mengkombinasikan penggunaan factor-faktor produksi tersebut secara efesien,
agar bisa mencapai pendapatan maksimal.
Indikator intensitas kemiteraan yang merupakan refleksi dari dimensi
intensitas kemiteraan yang tertuang dalam Pergub No 6 Tahun 2013 adalah; (1)
Tingkat penyediaan sarana produksi ternak (sapronak), (2) Tingkat melakukan
bimbingan/pembinaan, (3) Tingkat melakukan pemasaran hasil produksi peternak..
Ketiga indikator itu, sangat menentukan kinerja usaha ternak dan pendapatan
peternak. Tingkat efisiensi dalam usaha sangat menentukan keberhasilan
pengelolaan usaha peternakan ayam ras pedaging, mampu menghasilkan produk
yang bisa bersaing di pasar dan sekaligus membuka peluang kesempatan kerja
serta memberikan pendapatan bagi peternak pola kemitraan.
38
2.3.3 Pengaruh Intensitas Kemiteraan Terhadap Kinerja Usaha Ternak Dan
Pendapatan Peternak
Secara empiris mekanisme pola kemitraan inti plasma yang ditawarkan akan
membantu mengatasi masalah permodalan plasma, karena perusahaan Inti
memberikan pinjaman sarana produksi peternakan kepada peternak. Kemudahan
lain yang didapatkan oleh peternak yaitu melalui jaminan pasar yang diberikan
oleh perusahaan Inti, yang juga berarti perusahaan Inti membangun pasar tetap
bagi produk-produk sapronak yang mereka hasilkan. Perusahaan inti menjual
sapronak secara kredit kepada peternak plasma dan peternak plasma membeli
secara kredit sapronak dari perusahaan Inti pada awal dan selama periode
pemeliharaan ayam. Sapronak yang telah dipasok oleh perusahaan Inti dan dibeli
oleh peternak plasma menjadi milik dan tanggung jawab peternak, jika terjadi
kerusakan dan kehilangan akan menjadi resiko dari peternak ( Bahari, dkk., 2012 )
Waktu panen dilakukan pada saat ayam ras pedaging berumur 35 hari, tetapi
ada kalanya perusahaan Inti terlambat dua hingga empat hari dalam melakukan
pemanenan. Keterlambatan pemanenan akan merugikan peternak karena harus
mengeluarkan biaya tambahan untuk biaya pakan. Pembayaran sapronak oleh
peternak plasma kepada perusahaan Inti dilakukan pada akhir periode
pemeliharaan ayam ras pedaging, yaitu setelah dilakukan pemanenan. Pembayaran
hasil panen oleh perusahaan Inti, diperhitungkan langsung dengan harga sapronak
yang diberikan kepada peternak dan bonus rasio konsumsi pakan terhadap
peningkatan berat badan.
39
Lebih lanjut dikatakan, bahwa peternak plasma mempunyai kewajiban untuk
menyediakan lahan dan membangun kandang-kandang dengan biaya sendiri,
sesuai dengan standar kandang ayam ras pedaging yang ditentukan oleh pihak
perusahaan Inti. Peternak plasma juga wajib menyediakan sendiri tenaga kerja dan
menyediakan perlengkapan kandang sesuai standar perlengkapan yang ditentukan
oleh perusahaan Inti. Peternak wajib melakukan budidaya atau pemeliharaan ayam
ras pedaging menurut petunjuk dan tata cara budidaya atau pemeliharaan ayam ras
pedaging yang ditetapkan oleh perusahaan Inti. Peternak plasma tidak
diperkenankan untuk menggunakan sapronak selain dari pihak Inti dan menjual
atau mengalihkan sapronak kepada pihak lain. Peternak plasma juga tidak
diperkenankan untuk menjual hasil panen ayam ras pedaging kepada selain
perusahaan Inti. Peternak plasma mempunyai tanggung jawab untuk menjaga mutu
ayam ras pedaging dengan menggunakan sapronak dari atau yang
direkomendasikan oleh perusahaan Inti.
Apabila terjadi kegagalan panen atau kerugian yang diakibatkan oleh
kesalahan pemeliharaan, maka kerugian ditanggung oleh peternak. Peternak
plasma wajib menjalankan prosedur administrasi dan tata cara panen yang
ditetapkan. Peternak plasma bertanggung jawab menjaga keamanan kandang dan
sapronak dan menjalankan biosecurity (sistem pengamanan hayati) yang ketat dan
tidak diperkenankan memasukkan ayam ras pedaging tambahan dan atau yang
tidak direkomendasikan ke dalam kandang. Peternak plasma mempunyai
kewajiban untuk melaporkan secara periodik perkembangan budidaya atau
40
pemeliharaan ayam ras pedaging kepada perusahaan inti dan apabila ayam ras
pedaging yang dipelihara terjangkait wabah penyakit maka peternak mempunyai
kewajiban untuk segera melapor kepada perusahaan Inti ( Dewi, dkk., 2014)
Kemitraan merupakan strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih
dalam jangka waktu tertentu, untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip
saling membutuhkan, menguntungkan dan memperkuat dengan memperhatikan
tanggung jawab moral dan etika bisnis yang merupakan landasan awal
pelaksanaan kemitraan (Hafsah, 1999). Intensitas kemitraan adalah untuk
mengukur sejauh mana pelaksanaan kemitraan telah dilakukan. Peningkatan
intensitas hubungan inti dan plasma dapat saling memuaskan kedua-belah pihak
dan akhirnya ada saling ketergantungan (Dewi, dkk., 2014; Ilham, dkk., 2013).
Namun, Abdul Samad (2016) mengatakan bahwa produktivitas peternak terus
meningkat belum dapat meningkatkan pendapatan peternak. Oleh karena, disatu
sisi peternak memilki keahlian, modal dan teknologi serta akses pemasaran sangat
terbatas, disisi lain para peternak harus berhadapan dengan perusahaan besar yang
sudah mempunyai modal, teknologi, akses pasar, manajemen yang tinggi.
Dampaknya pertumbuhan populasi dan produksi begitu pesat, namun pada
gilirannya telah menurunkan rasio harga hasil produksi, dan kondisi produkstivitas
peternakan yang terus meningkat belum dapat meningkatkan pendapatan peternak
(Abdul Samad, 2016).
Hasil analisis empirik agribisnis perunggasan peternakan ayam ras pedaging
secara parsial yang dilakukan oleh (Sumaryanto et al. 1989; Rusastra et al.,1990;
41
Agustian dan Rachman, 1994; Yusdja, 1997; Saptana et al., 2002) menyatakan
bahwa struktur industri perunggasan perlu diarahkan pada penguatan konsolidasi
kelembagaan di tingkat peternak rakyat melalui pengembangan pola kemitraan
dengan azas saling membutuhkan, memperkuat, dan saling menguntungkan.
2.4 Perilaku
2.4.1 Konsep dan Pengertian Perilaku
Perilaku adalah cara bertindak yang menunjukkan tingkah laku seseorang dan
merupakan kombinasi antara pengembangan anatomis, fisiologis dan psikologis
(Kast dan Rosenzweig, 2002). Stephen dan Timothy (2015) mengatakan bahwa
perilaku adalah cara tertentu terhadap seseorang yang menunjukkan tingkah laku
dan merupakan tahapan pembentukan attitude (sikap) , karena sikap akan
terbentuk dari tiga komponen yaitu cognitive (evaluasi), afektive (perasaan) dan
perilaku (tindakan). Gabungan dari atribut biologis, psikologis, dan pola
perilaku aktual menghasilkan keperibadian (character), yakni kombinasi yang
kompleks dari sifat-sifat dan mental, nilai-nilai, sikap, kepercayaan, selera, ambisi,
minat, kebiasaan, dan ciri lain yang membentuk suatu diri yang unik ( Kast dan
Rosenzweig, 2002). Unsur perilaku terdiri atas perilaku yang tidak nampak seperti
pengetahuan (cognitive) dan sikap (affective), serta perilaku yang nampak seperti
keterampilan (psychomotoric) dan tindakan nyata (action) (Samsudin, 2009).
Pola perilaku orang bisa saja berbeda tetapi proses terjadinya adalah
mendasar bagi semua individu, yakni dapat terjadi karena digerakkan, dan
42
ditunjukkan pada sasaran (Kast dan Rosenzweig, 2002). Jika pernyataan itu absah,
maka perilaku itu tidak dapat spontan dan tanpa tujuan, sehingga harus ada sasaran
baik eksplisit maupun implisit. Perilaku kearah sasaran timbul sebagai reaksi
terhadap rangsangan (penyebab) yang dapat berupa jarak (gap) antara kondisi
sekarang dengan kondisi yang diinginkan, dan perilaku yang timbul untuk
menutup jarak tersebut. Rangsangan disaring melalui sistem keinginan atau
kebutuhan (Gambar 2.1).
Individu
Perilaku
Gambar 2.1
Model Dasar Perilaku Individu (Suparta, 2001)
Tahap rangsangan dapat berubah karena adanya perbedaan persepsi, dimana
perbedaan persepsi, kognisi dan motivasi dapat menyebabkan perbedaan pola
perilaku dari rangsangan yang sama. Menurut Leagans dan Loomis, (1971),
perubahan perilaku merupakan hal yang sangat esensial dalam pembangunan
pertanian, adanya perubahan perilaku agar petani mampu mengelola usahanya
lebih efisien secara teknis maupun ekonomis.
Notoatmodjo (2003) menyatakan perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari
manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan arti yang sangat luas antara lain :
berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, menulis, membaca, dan
Rangsangan
(sebab)
Kebutuhan
Keinginan
Ketegangan
Ketidak senangan
Sasaran
43
sebagainya. Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa perilaku manusia adalah
semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang
tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh
Notoatmodjo (2003), merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi
seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini
terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian
organism tersebut merespon, maka teori Skinner disebut teori S-O-R atau
stimulus-organisme-respon.
2.4.2 Pengertian dan Defenisi Perilaku Tri Hita Karana (Perilaku THK)
Tri Hita Karana berasal dari bahasa sanskerta, yaitu Tri, Hita, dan Karana.
Tri artinya tiga, Hita artinya bahagia, dan Karana artinya penyebab. Dengan
demikian Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kebahagiaan. Tri Hita Karana
mengajarkan agar manusia mengupayakan hubungan harmonis dengan Tuhan,
dengan sesama manusia dan dengan alam lingkungannya (Wiana, 2007)
Tri Hita Karana sebagai filosofi hidup umat hindu dalam membangun sikap
hidup yang benar menurut ajaran agama Hindu. Sikap hidup yang benar adalah
bersikap yang seimbang antara percaya dan bakti pada Tuhan dengan mengabdi
pada sesama manusia dan menyayangi alam, berdasarkan yadnya. Terlaksananya
ajaran Tri Hita Karana ini merupakan suatu kebutuhan manusia. Karena kalau
terbangun hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia
44
dengan manusia, dan manusia dengan alam lingkungannya, manusialah yang
pertama yang akan merasakan kebahagiaan tersebut.
Menurut Sulistyawati (2000), THK adalah kearifan lokal (local wisdom) yang
sudah menjadi kepribadian budaya (cultural identity) karena mampu
mengakomodasikan dan mengintegrasikan unsur-unsur budaya luar ke dalam
kebudayaan asli sekaligus menjadi bingkai tatanan kehidupan masyarakat Bali.
THK adalah konsep bersifat totalitas meliputi alam semesta, di mana unsur-unsur
THK di alam semesta (makrocosmos) meliputi lingkungan alam fisik, manusia
sebagai penggerak alam, dan Tuhan yang menjiwai alam semesta (Putra, 2000).
Menurut Kaler (1983) dalam diri manusia (mikrocosmos) unsur-unsur THK
meliputi badan kasar (angga sarira), tenaga atau energi (prana) yang mengaktifan
manusia, serta jiwa zat penghidupan manusia (atman).
Sesuai dengan batasan ini, perilaku berdasarkan budaya Tri Hita Karana
(Perilaku THK) dapat dirumuskan sebagai bentuk interaksi indifidu dengan
lingkungannya berdasarkan konsep-konsep budaya Tri Hita Karana . Karena
dalam disertasi ini fokus pada perilaku peternak ayam ras pedaging maka dalam
penerapan konsep Tri Hita Karana, peternak diharapkan mampu memahami
filosofi Tri hita Karana yang menekankan bahwa dalam proses kehidupan menuju
hidup yang sejahtera, manusia diminta menjaga keserasian atau harmonisasi
hubungan antara manusia dengan penciptanya yaitu Tuhan Yang Maha Esa
(Parahyangan), manusia dengan alam/lingkungan (Palemahan), dan manusia
45
dengan sesamanya (Pawongan) sebagai satu kesatuan yang utuh (Sudibya, 1997;
Surpha,2004; Wiana, 2004; Windia, 2006; Ashrama, 2005).
Dimensi budaya Tri Hita Karana bersifat universal dan dinamis, sebagai
sebuah filosofi masyarakat hindu dalam kehidupan bermasyarakat, karana Tri
Hita Karana merupakan tradisi budaya yang diwarisi secara turun temurun.
Budaya itu sendiri didefinisikan sebagai subjektivitas kolektif. Teori nilai subjektif
(The Subjective Theory of Value) menekankan bahwa preferensi seorang individu
tidak dapat diukur dan secara tidak langsung hanya tercermin dalam perilaku
individu tersebut (Casson, 1993). Perilaku THK merupakan perilaku indifidu
berdasarkan filosofi-filosofi budaya THK. Filosofi THK yang melekat di mana-
mana, seperti dalam selera, kebiasaan, dan sebagainya. Akan tetapi, dalam
perkembangannya, budaya memiliki peranan yang cukup penting di dalam
mendukung kinerja perekonomian karena terkait dengan pembentukan trust di
dalam kelompok sehingga mengurangi biaya transaksi ( Pratikto, 2012).
Arif (1999) menyebutkan bahwa filosofi THK adalah filosofi universal yang
pada hakekatnya ada dan dianut oleh masyarakat lain meskipun mereka tidak
beragama Hindu. Penerapan filosofi THK diharapkan akan dapat membangun
masyarakat yang hidup berlandaskan harmoni dan kebersamaan (Windia dan
Dewi, 2007). Perilaku THK menekankan perlunya menyeimbangkan kinerja budaya
dan kinerja bisnis dalam setiap kegiatan perekonomian. Kegiatan Perekonomian selalu
dikaitkan dengan proses kewirausahaan oleh karena itu kewirausahaan dapat
dilakukan oleh setiap orang yang menyangkut segala tindakan dan peluang. Riana
46
(2011) menyatakan bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam kultur THK terbukti
mempengaruhi secara signifikan kemampuan orientasi kewirausahaan dan pasar
(Putra dan Suparta, 2016).
Perilaku THK merupakan refleksi dari penerapan konsep kultur lokal dan
religi dalam kehidupan masyararkat Hindu di Bali, guna mencapai keseimbangan
dan kebahagiaan seperti :
a. Konsep sekala niskala (nyata-tidak nyata)
Niskala, berhubungan dengan keyakinan (sradha) dan kesetiaan (bhakti)
kepada Tuhan. Sebaliknya, sekala berkaitan dengan semangat saling melayani
dan menyayangi antara sesama manusia dan lingkungan nya (Ashrama, 2005).
b. Konsep rwa-bhineda (penghargaan terhadap setiap perbedaan)
Dalam kehidupan, ada pengakuan,penghargaan, dan penghormatan terhadap
berbagai perbedaan yang ada dalam dinamika kehidupan manusia. Hal ini
merupakan elemen penting dari prinsip pelaksanaan demokrasi dalam
kehidupan kemasyarakatan (Ashrama, 2005). Wiana (2004) menambahkan
bahwa konsep ini juga mengakui eksistensi konsep purusa dan predana (laki
dan perempuan atau maskulin dan feminin), benar dan salah, siang dan
malam, baik dan buruk, benar dan salah, kehidupan jasmani dan rohani.
c. Konsep tatvam asi
Surpha (2002) menyatakan bahwa ajaran tatvam asi terdapat dalam kitab suci
Weda yang artinya “engkau adalah aku dan aku adalah engkau”. Maksudnya
adalah bahwa antara manusia yang satu dengan lainnya tidak ada perbedaan
47
hak dan ini merupakan dasar dari hak asasi manusia sebagai sesama mahkluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Konsep ini meletakkan pijakan melaksanakan
kemanusiaan yang adil dan beradab dengan rasa kejujuran, kesucian,dan tanpa
pamrih sesuai dengan swadharma (tugas dan kewajiban masing-masing). Jiwa
tatvam asi mengeliminasi sekat/belenggu kehidupan, seperti; golongan, suku,
ras, agama, kefanatikan kepentingan diri sendiri. Dari toleransi ini diharapkan
terciptanya keharmonisan hidup sehingga seluruh dunia menjadi satu
keluarga. konsep ini mencirikan adanya pengakuan adanya empati, rasa kasih
sayang, dan rasa saling menghargai antar sesama manusia (Ashrama, 2005)
d. Konsep luan-teben
Menurut Ashrama (2005), konsep ini terkait dengan cara mencari harmoni
dalam tata ruang (palemahan), sebagaimana dijabarkan secara rinci dalam
konsep Tri Mandala (adanya harmoni dalam pelaksanaan pembangunan yang
bersifat horisontal), dan Tri Angga (adanya harmoni dalam pelaksanaan
pembangunan yang bersifat vertikal).
e. Konsep tri maya (tiga dimensi cermin kehidupan)
Konsep ini mencerminkan bahwa pengakuan dari tiga dimensi proses
kehidupan manusia, yakni adanya attita (masa lampau), anagata (masa
depan), dan warta warna (masa kini). Hal ini mengandung makna bahwa apa
yang terjadi pada masa depan harus bercermin dari kondisi masa lampau dan
apa yang terjadi pada masa kini. Dengan demikian, pencarian untuk
48
menemukan harmoni dilakukan agar ada keterkaitan antara masa lampau,
masa kini dan masa akan datang (Ashrama, 2005).
2.4.3 Dimensi Dan Indikator Perilaku THK
Indikator dan dimensi perilaku THK merupakan refleksi dari filosofi THK
antara lain (a) tingkat penerapan konsep parahyangan, (b) tingkat penerapan
konsep pawongan dan (c) tingkat penerapan konsep palemahan. Lebih jelasnya
diuraikan sebagai berikut :
a. Penerapan Aspek Parahyangan
Parahyangan berasal dari kata hyang yang berarti Hyang Widhi atau Tuhan.
Parahyangan merupakan salah satu dimensi dari filosofi THK yang menekankan
bahwa kesejahteraan dicapai bila terealisasi hubungan harmonis antara manusia
dengan Tuhan penciptanya (Surpha, 2001; Wiana, 2004; Ashrama, 2005).
Kegiatan bisnis adalah sebuah persembahan, yang karenanya tak luput dari kontrol
Tuhan (Windia dan Dewi, 2007). Menurut Putra (2000), filosofi THK dalam
konsep parahyangan, seorang pengusaha memiliki keyakinan bahwa keberhasilan
yang dicapai bukanlah semata-mata karena kemampuan dan kerja keras mereka,
melainkan keberhasilan tersebut juga karena kehendak Tuhan. Pengusaha
menyadari bahwa sumber penghasilan berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, seorang
pengusaha memandang doa-doa dan kegiatan keagamaan sebelum melakukan
aktivitas sangat penting maknanya bagi keberhasilan usaha. Dalam hubungan itu
Ashrama (2005), Windia dan Dewi (2007) menjelaskan bahwa pihak perusahaan
49
diharapkan mengusahakan semaksimal mungkin timbulnya suasana Ketuhanan
(relegius) baik di dalam maupun di luar lingkungan perusahaan.
Misalnya, di dalam lingkungan perusahaan dibuatkan pelinggih atau pura
(tempat suci atau tempat pemuujaan Tuhan, seperti musola, masjid, gereja, wihara
dan sebagainya) yang sesuai dengan persyaratan, asri, dan dengan jalan akses yang
mudah. Manajemen hendaknya melaksanakan berbagai bentuk persembahan
kepada Tuhan, seperti mesaiban (persembahan tiap hari sehabis masak), mebanten
(persembahan berupa canang atau bunga dan wewangian) atau memperdengarkan
instrumen dan lagu bernuansa relegi dan kultur sesuai dengan waktu, tempat dan
momennya (desa-kala-patra). Dengan adanya tempat suci ini, setiap kegiatan
perusahaan perlu diarahkan untuk menunjang terciptanya nuansa relegi dan kultur,
misalnya ada dharma wacana (ceramah atau dialog agama dan kekulturan), dan
ngayah (gotong royong) di tempat-tempat suci. Pihak perusahaan juga diharapkan
ikut berpartisipasi dalam mewujudkan nuansa religius dan kearifan lokal di luar
lingkungan perusahaan. Misalnya, di saat ada odalan (ritual peringatan berdirinya
tempat suci) dan kultur di sekitarnya, pihak perusahaan perlu berpartisipasi, antara
lain diwujudkan dengan medana punia (sumbangan sukarela).
Perusahaan mesti mencegah berbagai aktivitas yang menimbulkan penafsiran
negatif yang dapat mengakibatkan keresahan, misalnya, penggunaan simbol-
simbol suci agama atau kultur yang tidak semestinya, baik dalam kontek tempat,
waktu maupun momennya. Sebaliknya, perusahaan sedapat mungkin menyediakan
buku-buku agama dan kultur serta serana lain seperti pendidikan dan ruang relegi
50
khusus bersifat universal untuk para tamu, dalam rangka meningkatkan
pemahaman terhadap agama dan kecintaannya pada kultur khususnya kultur local.
Demikian pula rasa syukur dalam bentuk tindakan menyisihkan sebagian
keuntungan untuk kepentingan yang ada hubungannya dengan keagamaan
(yadnya) dan kepentingan non keagamaan, baik dalam lingkungan perusahaan
maupun di luar perusahaan.
Diungkapkan bahwa pendekatan diri dengan Tuhan dirasakan sebagai
kekuatan religius yang menyebabkan dapat berpikir tenang dan jernih. Hal ini
menyebabkan para pengusaha dapat meningkatkan kemampuan mengendalikan
diri terhadap berbagai tindakan dan tantangan.
b. Penerapan aspek Pawongan
Aspek Pawongan berasal dari kata wong (orang atau penduduk) dalam
masyarakat. Implementasi dari filosofi THK pada dimensi ini adalah melalui
adanya hubungan harmonis antar sesama manusia (Surpha, 2001; Wiana, 2004;
Ashrama, 2005). Dalam kontek bisnis perlu dibangun hubungan harmonis intern
karyawan, antar karyawan dan manajemen perusahaan, dan antar manajemen
perusahaan dengan masyarakatnya (Ashrama, 2005). Secara lebih rinci, Ashrama
(2005) menjelaskan bahwa hubungan harmonis tersebut dapat diindikasikan dari
beberapa hal, misalnya : adanya skehe-sekehe (kelompok atau organisasi)
dimasyarakat seperti: serikat pekerja yang efektif dan harmonis dengan
manajemen, kelompok kidung (vokal dan paduan suara), suka-duka, dan lain
51
sebagainya. Pitana (2002) menekankan bahwa ajaran perbuatan (karma) menjadi
pegangan bagi untuk mengembangkan hubungan harmonis terhadap berbagai
unsur yang terkait dengan usahanya.
Perusahaan juga diharapkan mempunyai hubungan yang harmonis dengan
masyarakat, misalnya : memanfaatkan sebagian besar tenaga kerja lokal.
Perusahaan mesti memiliki program yang jelas dan nyata dalam mempersiapkan
SDM dari tenaga kerja lokal (melalui program sekolah lanjutan, kursus/training,
dan lain-lain) agar siap bekerja di perusahaan atau mampu menempati jenjang
manajemen yang lebih tinggi atau mampu menjalin kewirausahaan dengan
perusahaan.Perusahaan mengusahakan sedapat mingkin memanfaatkan hasil
pertanian, peternakan, perkebunan lokal dengan pola kemitraan yang saling
menguntungkan atau membangkitkan kegiatan ekowisata di masyarakat sekitar
untuk pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan. Disamping itu perusahaan
secara aktif mengajak rekanan bisnis atau wisatawan untuk melihat kondisi dan
atraksi unik yang ada di sekitar perusahaan yang mengarah pada membangkitkan
kebanggaan masyarakat terhadap keberadaannya dan rasa memilikinya terhadap
perusahaan. Perusahaan juga harus memiliki program yang jelas dalam mengatasi
masalah kemanusiaan.
c. Penerapan aspek Palemahan
Aspek palemahan berasal dari kata lemah yang berarti tanah, tanah
pekarangan atau wilayah pemukiman. Secara umum dalam filosofi THK,
Palemahan merupakan dimensi yang berhubungan dengan aspek fisik dari
52
lingkungan di sekitarnya, atau di lingkungan perusahaan (Surpha, 2001; Wiana,
2004; Ashrama, 2005).
Ashrama (2005) selanjutnya mengatakan bahwa tata letak perusahaan dan
bangunan yang ada hendaknya disesuaikan dengan keyakinan agama dan kultur
tempat perusahaan berada. Di Bali, perusahaan diharapkan mengikuti tata letak
dan tata ruang dari konsep tri mandala (konsep ruang horizontal, yaitu : kawasan
hulu(utama mandala) untuk tempat suci, kawasan tengah (madia mandala) untuk
hunian, dan kawasan hilir (nista mandala) untuk fasilitas umum, maupun tri angga
(konsep ruang vertikal), yaitu bagian atas adalah kawasan suci, bagian tengan
adalah hunian, dan bagian bawah adalah untuk fasilitas umum. Perusahaan
semestinya memperhatikan asta-kosala-kosali (arsitektur tradisional Bali) untuk
bangunan suci ataupun bangunan yang bernuansa kultur Bali.
Perusahaan diharapkan menyisihkan keuntungannya untuk aktivitas yang
terkait dengan lingkungan yang nantinya digunakan sebagai biaya dalam kaitannya
dengan tanggung jawab sosial perusahaan CSR (corporate social
responsibility).Palemahan berkaitan dengan keberlanjutan (sustainability)dalam
pengelolaanyang merupakan tujuan jangka panjang perusahaan (long orientation).
Perusahaan mesti memiliki komitmen dalam menjaga dan meningkatkan
kualitas lingkungan.Misalnya, berpartisipasi aktif dalam program penyelamatan
lingkungan baik yang dirancang sendiri atau yang dilakukan oleh asosiasi
perusahaan atau pemerintah daerah dan pusat.Perusahaan dapat memanfaatkan
energy dan sumber daya alam seperti lahan dan air secara bijaksana dan efisien
53
serta mampu menangani limbah serta buangan berbahaya dan beracun dengan
baik. Misalnya: kemampuan dalam me”reuse,reduce, dan recycle”, baik botol,
kaleng, plastik, serta lainnya dan melakukan pengomposan sampah dengan baik.
Perusahaan mesti memperhatikan apakah telah melakukan usaha konservasi
alam (ekosistem) yang mungkin dapat dilakukan, seperti : konservasi flora dan
fauna yang dilindungi undang-undang baik berupa konservasi habitat, program
penangkaran legal dan profesional, penyediaan dana untuk konservasi, membantu
sitem pertanian organik terutama yang sesuai dengan kearifan kultur lokal.
Pitana (2002) memandang bahwa dari ketiga filosofi THK tersebut posisi
pawongan adalah sebagai subjek sekaligus objek, dalam arti manusia dalam
hidupnya menentukan dan ditentukan oleh dirinya sendiri terkait dengan
pengetahuan dan pengamalannya. Oleh karena itu, apabila konsep tersebut
diaplikasikan secara ideal maka keharmonisan akan tercapai. Sebaliknya apabila
manusia tidak peduli, maka akan menemukan ketidak harmonisan.
2.4.4 Pengaruh Perilaku THK Terhadap Kinerja Usaha Ternak dan
Pendapatan Peternak.
Kemampuan seorang wirausahawan di dapat melalui pengalaman masa lalu dan
pekerjaan yang dilakukan saat ini. Adnyana (2005) menunjukkan bahwa
wirausahawan yang beragama hindu dan taat menjalankan agama, menjadikan
gagasan-gagasan yang terkandung dalam pustaka suci weda sebagai kerangka
normatif dalam berperilaku. Gagasan tersebut antara lain kualitas dan citra manusia
54
(Tri Kaya Parisudha), hakikat dan makna kerja (Karma yoga), dan keselarasan (Tri
Hita Karana). Budaya Tri Hita Karana memuat nilai-nilai pentingnya keselarasan
dalam berperilaku dalam menjalani hidup dan kehidupan dan pekerjaan. Berperilaku
tidak terlepas dari keyakinan diri yang merupakan kebutuhan psikologis dan menjadi
kebutuhan ekonomi untuk penyesuaian diri. Penelitian oleh Gunawan (2011)
mengungkapkan bahwa nilai-nilai falsafah Tri Hita Karana membentuk sikap mental
serta perilaku pengelola yang telah memainkan peran dalam pertumbuhan dan
Kinerja. Falsafah Tri Hita Karana selain memainkan peran dalam pertumbuhan dan
kinerja juga berperan dalam pengelolaan dan pelestarian.
Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta
interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk
pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain perilaku merupakan
respon/reaksi seorang indifidu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun
dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan seperti berpikir,
berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). (Stephen dan
Timothy, 2015)
Dalam perspektif perilaku, Perilaku THK yang berdasarkan filosofi budaya
Bali, kaitan dengan usaha peternakan ayam ras pedaging :
Pertama , filosofi hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), manusia
percaya dengan kemaha-kuasaan dan keberadaan Tuhan, percaya dengan hukum
karma phala (hasil perbuatan), percaya dengan konsep tri kaya parisudha
(berpikir baik, berkata baik, perilaku baik), jika dipahami dan diterapkan akan
55
mendorong tercipta prilaku manusia yang senantiasa patuh pada perintahNya dan
menjauhi laranganNya. Peternak yang memiliki hubungan harmonis dengan Tuhan
cenderung akan bersifat lebih jujur, lebih adil, berusaha tidak melakukan
kekeliruan/kecurangan, dan berpengaruh terhadap kinerja dan pendapatan
peternak.
Kedua, filosofi hubungan harmonis antar manusia dengan manusia
(pawongan), yang diderivasi dari konsep relegi tat twam asi (cinta kasih) atau
secara arfiah berarti aku adalah kamu, engkau adalah aku, engkau dan aku adalah
satu, dengan kultur lokal berarti saling asah, asih asuh. Serta konsep relegi rwa
bhineda (mengakui dan menghargai perbedaan artinya sikap menghormati,
menghargai dan menyayangi kepada seseorang berarti juga menghormati,
menghargai, dan menyayangi diri sendiri). Apabila konsep ini dipahami dan
diterapkan maka hubungan antara perusahan besar sebagai pengelola kemitraan
dan peternak selaku plasma menjadi harmonis. Perusahaan besar akan
mempekerjakan peternak secara manusiawi, menghargai kempetensinya, dengan
kompensasi yang memadai sesuai dengan prestasi peternak, tanpa melakukan
tekanan atau tindakan yang tidak profesional. Maka akan berpengaruh terhadap
kinerja dan pendapatan peternak.
Ketiga, filosofi hubungan manusia dengan alam (palemahan). Sesuai dengan
relegi dan kultur hindu, dalam pola pikir manusia, bahwa semua kehidupan adalah
ciptaan Tuhan. Dengan pola pikir tersebut, umat hindu mengimplementasikan
dalam bentuk persembahan atau yadnya seperti : tumpek kandang, tumpek ubuh,
56
dan sebagainya dengan harapan manusia menjadi lebih ramah lingkungan,
memanfaatkan sumber daya secukupnya dan secara sukarela melakukan kegiatan
konservasi dan pelestarian lingkungan. tidak melakukan ekploitasi lingkungan,
tidak beripikiran pragmatis terhadap lingkungan, maka akan berpengaruh terhadap
kinerja dan pendpatan peternak, dan perusahaan akan berkelanjutan
Kajian empiris tentang perilku berdasarkan filosofi THK, telah banyak
diimplentasikan dalam kegiatan penelitian, seperti penelitian subak oleh Windia
(2005), studi tentang kerusakan lingkungan oleh Agung (2007), studi analisis
bisnis oleh Windia dan Dewi (2007). Filosofi THK juga telah diimplementasikan
dalam pengembangan instrumen pengukur kinerja kultur dan lingkungan jasa
akomodasi (hotel) dan atraksi wisata dalam THK Award and Accreditiatian dan
lomba desa pekraman di Provinsi Bali.
Kajian empiris diatas didukung oleh penelitian Riana (2010) mengatakan
bahwa penerapan nilai-nilai kultur lokal Tri Hita Karana berpengaruh signifikan
terhadap orientasi kewirausahaan. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai-nilai
harmonisasi yang terkandung dalam kultur Tri Hita Karana terbukti mampu
meningkatkan kemampuan orientasi kewirausahaan. Semakin baik harmonisasi
hubungan dengan Tuhan (parahyangan), antar sesama (pawongan), dan dengan
lingkungan (palemahan), maka akan semakin tinggi kemampuan orientasi
kewirausahaan. Penelitian Gunawan (2011) dalam Putra dan Suparta (2016)
mengungkapkan bahwa nilai-nilai falsafah Tri Hita Karana membentuk sikap
mental dan perilaku pengelola, memainkan peran dalam pertumbuhan dan Kinerja
57
2.5 Kinerja Usaha Ternak
2.5.1 Pengertian dan Defenisi Kinerja
Kinerja merupakan suatu konsep kontekstual terkait dengan fenomena yang
sedang dipelajari, sehingga langkah-langkah yang digunakan untuk mewakili
kinerja dipilih berdasarkan keadaan perusahaan yang sedang diamati. Penilaian
kinerja merupakan aktivitas penting bagi suatu perusahaan sebagai proses evaluasi
seluruh aktivitasnya. Sifat dasar kinerja suatu perusahaan dan pengukurannya
menjadi topik para ahli dan praktisi sejak perusahaan pertama kali dibentuk.
Penilaian kinerja sering menjadi masalah karena penilaian kinerja seakan-akan
ditujukan untuk tujuan evaluasi dan mengesampingkan tujuan lain seperti
pengembangan kompetensi dan kemampuan individu dalam melaksanakan tugas
serta tujuan lainnya (Moeheriono,2009).
Menurut Riana (2010) bahwa kinerja usaha dapat diartikan sebagai sesuatu
yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan, dan kemampuan kerja. Secara umum
kinerja yang diharapkan oleh perusahaan adalah berupa prestasi kerja yang dicapai
perusahaan dalam periode tertentu. Prestasi kerja yang ingin dicapai perusahaan
pada umumnya dihubungkan dengan tujuan yang ingin dicapai perusahaan.
Perusahaan pada umumnya dapat mengukur kinerja usahanya dengan
menggunakan ukuran finansial (pertumbuhan penjualan, pertumbuhan keuntungan,
dan pertumbuhan asset) dan nonfinansial ( perputaran karyawan, kepuasan
pelanggan dan produktivitas)
58
Gitman (1994) mengatakan bahwa kinerja usaha digunakan untuk mengukur
dampak dari strategi perusahaan. Strategi perusahaan selalu diarahkan untuk
menghasilkan kinerja, baik berupa kinerja pemasaran (seperti volume penjualan,
market share, dan tingkat pertumbuhan penjualan), maupun kinerja keuangan
dengan menggunakan rasio keuangan seperti levarage ratio, liquidity ratio,
profitability ratio, effeciency ratio, dan market value ratio. Keown, et al., (2005),
menyatakan bahwa pengukuran kinerja keuangan umumnya menggunakan
profitabilitas untuk mengukur efektivitas manajemen yang ditunjukkan oleh
perbandingan antara laba dihasilkan dari penjualan dengan investasi perusahan.
Secara umum, konsep kinerja perusahaan didasarkan pada gagasan bahwa
perusahaan adalah gabungan aktiva produktif, meliputi sumber daya manusia,
sumber daya fisik dan modal untuk mencapai tujuan bersama. Kinerja perusahaan
merupakan cerminan keberhasilan atau kegagalannya dan menggambarkan tingkat
pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan, program atau kebijakan dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi perusahaan. Semakin tinggi kinerja
suatu perusahaan, semakin tinggi tingkat pencapaian tujuan perusahaan. Kinerja
bisa diketahui apabila perusahaan mempunyai kriteria keberhasilan yang
ditetapkan (Carton & Hofer, 2006).
2.5.2 Dimensi Dan Indikator KinerjaUsaha Ternak
Pengukuran kinerja perusahaan menyajikan problem konseptual dan
metodelogi karena ada bermacam-macam pengukuran atau indikator kinerja yang
59
tersedia. Dalam manajemen tradisional, ukuran kinerja yang biasa digunakan
adalah kinerja keuangan, karena mudah melakukannya. Sementara kinerja non
keuangan seperti peningkatan produktivitas, peningkatan kompetensi dan
komitmen pegawai, hubungan dengan pemasok, kepercayaan pelanggan dan
efisiensi proses bisnis dalam melayani pelanggan, diabaikan karena sulit dalam
pengukurannya (Sintasih, 2011).
Efisiensi dalam usaha sangat menentukan keberhasilan pengelolaan usaha
peternakan ayam ras pedaging agar mampu menghasilkan produk yang bisa
bersaing di pasar dan sekaligus membuka peluang kesempatan kerja serta
memberikan pendapatan bagi peternak. Efesisnsi usaha ternak ayam ras pedaging
merupakan dimensi kinerja peternak dalam usahanya. Efesiensi tersebut
ditunjukkan oleh efesiensi alokasi faktor-faktor mempengaruhi produksi sekaligus
tingkat efisien teknis, efisien harga dan efisien ekonomi (Hidayanti, 2015).
Pandangan lain dimensi kinerja peternak dari Bing Taruman (1999), Kayana
(1995) menyatakan bahwa dimensi kinerja peternak dapat diukur dari rasio pakan
dengan bobot ayam (BW/body weight), selisih rasio aktual dengan rasio standar
dan indek produksi. Rasio aktual adalah efesisensi pakan dengan bobot ayam
yang dicapai secara nyata. Sedangkan rasio standar adalah efesiensi pakan dengan
bobot ayam yang dicapai secara standar, dimana standarisasi ditentukan oleh
pabrik penetasan bibit ayam. Selisish rasio actual dengan rasio standar
menghasilkan rasio different (FCRD). FCRD merupakan refleksi kinerja peternak
60
dalam efesisiensi penggunaan pakan. sedangkan indek produksi adalah ukuran
efesiensi secara keseluruhan (pakan, mortalitas, umur panen).
Dari penjelasan diatas, dalam penelitian ini indikator kinerja usaha ternak
menggunakan rasio pakan dan indek produksi yaitu: 1) Feed Conversion Rasio
Actual (FCRA) adalah arasio penggunaan pakan dengan berat badan yang dicapai
secara actual, 2) Feed conversion ratio Different (FCRD) adalah selisih antara
FCR standar dengan FCR actual yang dicapai oleh peternak, dan 3) indek
produksi (IP) adalah manajemen pengeloaan usaha ternak ayam ras pedaging yang
diukur melalui indikator: mortalitas (ekor), rata-rata berat badan ayam (kg), FCRA
(satuan), umur panen (hari).
2.5.3 Pengaruh kinerja Usaha Ternak terhadap Pendapatan Peternak
Untuk mengetahui tingkat pendapatan peternak ayam ras pedaging yang
dalam hal ini diukur dengan laba usaha, yang perlu diketahui terlebih dahulu
adalah performans produksi secara teknis dan harga input-output usaha (Gray et al.
1986 dan Saptana et al. 1998). Dari faktor tersebut dapat diketahui biaya produksi
dan penerimaan usaha. Selanjutnya dapat dihitung nilai laba usaha tersebut yang
merupakan tingkat pendapatan peternak dalam satu siklus produksi (Gray et al.,
1986; dan Henry et al., 1995).
Untuk mengetahui pengaruh kinerja peternak terhadap pendapatan adalah
dengan mengukur kualitas performace usaha yaitu besaran indek produksi yang
menunjukkan keberhasilan usaha tersebut. Semakin tinggi kualitas performace,
61
maka semakin berhasil usaha peternakan ayam ras pedaging. Artinya semakin
tinggi indek produksi semakin tinggi penerimaan peternak, yang merupakan
tingkat pendapatan peternak dalam satu siklus produksi.
Terdapat empat parameter yang digunakan untuk menghitung kualitas
performa (indeks kinerja) peternakan ayam ras pedaging, yaitu bobot badan rata-
rata, rasio konversi pakan (FCR), ratarata umur ayam saat panen dan persentase
tingkat kematian/mortalitas. Performace usaha ayam ras pedaging diuji dengan
menggunakan parameter indeks produksi(IP). Kemudian, hasil perhitungan indek
produksi dapat di lihat pendapatan peternak ayam ras pedaging yaitu hasil
pengurangan dari harga jual ayam per ekor dengan BEP harga jual ayam,
kemudian dilanjutkan dengan rumus: Pendapatan = laba per ekor x Σ populasi
ayam ras pedaging (Dewi, dkk., 2014)
2.6 Pendapatan Peternak
2.6.1 Pengertian Dan Definisi Pendapatan Peternak
Pendapatan merupakan jumlah penghasilan riel dari seluruh anggota rumah
tangga yang disumbangkan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun
perorangan dalam rumah tangga (Adiana dan Karmini, 2013). Pendapatan pribadi
dapat dirtikan sebagai semua jenis pendapatan, termasuk pendapatan yang
diperoleh tanpa memberikan suatu kegiatan apapun, yang diterima oleh seseorang
(Sukirno, 2004)
62
Konsep pendapatan menurut ilmu ekonomi, bahwa pendapatan masyarakat
(upah, bunga, sewa dan laba) muncul sebagai akibat jasa produktif (productive
service) yang diberikan kepada pihak swasta (business). Pendapatan bagi pihak
business diperoleh dari pembelian yang dilakukan oleh masyarakat untuk
memperoleh barang dan jasa yang dihasilkan atau diproduksi oleh pihak business,
yang digambarkan sebagai lingkaran aliran pendapatan (income circular flow).
Maka konsep pendapatan (income) menurut ekonomi pada dasarnya sangat
berbeda dengan konsep pendapatan (revenue) menurut akuntansi (Case & Fair,
2002; Miller & Meiners, 2000).
Ada perdebatan dalam penggunaan istilah pendapatan. Hal ini disebabkan
pendapatan dapat diartikan sebagai penghasilan (revenue) dan dapat juga diartikan
sebagai pendapatan (income), sebab keduanya memang berbeda. Penghasilan bisa
jadi lebih besar daripada pendapatan, sebab secara teoritis, penghasilan bruto harus
dikurangi dengan setiap ongkos yang dikorbankan oleh seseorang untuk
mendapatkan pendapatannya. Secara garis besar, pendapatan adalah jumlah harta
kekayaan awal periode ditambah keseluruhan hasil yang diperoleh selama satu
periode dan lebih ditekankan bahwa pendapatan didapatkan dari aktivitas
produktif (Rosyidi, 1995).
Untuk mengetahui tingkat pendapatan peternak ayam ras pedaging yang
dalam hal ini diukur dengan laba usaha (revenue) yang diperoleh dari performans
produksi secara teknis dan harga input-output usaha peternak (Gray, et al., 1986
dan Saptana et al. 1998). Produksitivitas atau tingkat kemampuan ayam untuk
63
memproduksi daging ayam merupakan faktor penting dalam penentuan
pendapatan peternak (Santoso, 2002). Dari faktor tersebut dapat diketahui biaya
produksi dan laba usaha peternak (revenue). Selanjutnya dapat dihitung nilai laba
usaha tersebut yang merupakan tingkat pendapatan peternak dalam satu siklus
produksi (Gray, et al., 1986 dan Henry, et al., 1995).
2.6.2 Dimensi Dan Indikator Pendapatan Peternak
Menurut Soekartawi (2006) bahwa, pendapatan peternak adalah selisih antara
penerimaan dengan total biaya. Rumusnya, Pd = TR – TC dimana Pd adalah
pendapatan, TR adalah total penerimaan dan TC adalah total biaya. Selanjutnya
dikatakan, bahwa penerimaan diperoleh dari produksi fisik dikalikan dengan harga
produksi. Total pendapatan bersih diperoleh dari total penerimaan dikurangi
dengan total biaya dalam suatu priode produksi. Peternak juga mendapatkan
pendapatan sampingan dari kotoran ayam (sebagai pupuk), karung pakan dan
kompensasi pemeliharaan apabila produk yang dihasilkan baik, yang ditunjukkan
oleh FCRD (feed convertion ratio differen) dan bonus mortalitas ditunjukan oleh
indek produksi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Iskandar (1993), menyatakan bahwa dimensi
pendapatan peternak dalam peternakan ayam ras pedaging bersumber dari
penjualan ayam, penjualan karung pakan dan nilai kotoran ayam yang dihasilkan.
Menurut Rasyaf (2002), menyatakan bahwa penerimaan dalam suatu peternakan
ayam ras pedaging terdiri dari: (1) hasil produksi utama berupa penjualan ayam
64
pedaging,; dan (2) hasil sampingan yaitu berupa kotoran ayam dan karung pakan.
Ditambahkan oleh Harnanto (1992), menyatakan bahwa penerimaan setiap
peternak bervariasi tergantung pada jumlah populasi ternak yang dimiliki oleh
setiap peternak dengan menggunakan hubungan antara penerimaan dan biaya.
Menurut Heriyatno (2009), menyatakan bahwa penilaian besarnya penerimaan
yang dihasilkan dari setiap uang yang dikeluarkan dalam suatu kegiatan usahatani
dapat digunakan perhitungan rasio penerimaan atas biaya (R/C rasio). Hasil dari
penghitungan rasio penerimaan atas biaya, dapat mengetahui apakah suatu
kegiatan usaha tani dapat menguntungkan atau tidak dalam pelaksanaannya.
Kadarsan (1995), yang menyatakan bahwa bahwa pendapatan peternak adalah
selisih antara total penerimaan dengan total pengeluaran dalam jangka waktu
tertentu. Rasyaf (2002) menambahkan bahwa pendapatan peternak adalah
sejumlah uang yang diperoleh setelah semua biaya variabel dan biaya tetap
tertutupi, hasil pengurangan positif berarti untung, hasil pengurangan negatif
berarti rugi.
Indikator pendapatan peternak dalam penelitian ini adalah (1) tingkat
pertumbuhan penjualan, (2) tingkat pertumbuhan asset, dan (3) tingkat
pertumbuhan laba. Ketiga indicator itu merupakan refleksi dari dimensi
pendapatan peternak. Indikator pendapatan peternak dari pertumbuhan penjualan,
sangat erat hubungannya dengan efesiensi pengeloaan input, yang diukur dengan
indek produksi.. Semakin tinggi indek produksi semakin efesien penggunaan
65
input, maka semakin meningkat volume penjualan hasil produksi. Peningkatan
volume penjualan produksi meningkatkan pendapatan peternak (Soekartawi, 2006)
Indikator pendapatan peternak dari pertumbuhan aset adalah merupakan
akumulasi pendapatan dalam suatu periode tertentu. Peningkatan besaran
perusahaan menunjukkan pertumbuhan aset suatu perusahaan. Pertumbuhan aset
diartikan sebagai peningkatan kegiatan operasional atau volume transaksi yang
mencerminkan peningkatan kinerja perusahaan. Aset adalah semua kekayaan yang
dimiliki perusahaan dan memberikan manfaat ekonomis di masa yang akan datang
(Kusmuriyanto, 2005).
Indikator pendapatan peternak dari Tingkat peningkatan laba diperoleh dari
jumlah hasil produksi fisik dikalikan dengan harga hasil produksi (P x Q) dimana
P = price dan Q = quntitas.. Total laba/keuntungan bersih diperoleh dari total
penerimaan dikurangi dengan total biaya dalam suatu periode produksi. Menurut
Soekartawi (2006) bahwa, keuntungan adalah selisih antara penerimaan dengan
semua biaya. Rumusnya, Laba = TR – TC dimana TR (total revenue) adalah total
penerimaan dari hasil penjualan, dan TC (total cost) adalah total biaya prouksi.
2.6.3 Variabel-Variabel Yang Mempengaruhi Pendapatan Peternak
Dalam mengelola usaha peternakan ayam ras pedaging, tiap peternak harus
memahami tiga unsur penting dalam produksi, yaitu: breeding (pembibitan),
feeding (makanan ternak/pakan), dan manajemen (pengelolaan usaha peternak).
Bagaimana peternak mampu mengkombinasikan penggunaan factor-faktor
66
produksi secara efesien dalam hal ini bibit ayam (doc), pakan, obat-obatan,
vitamin dan tenaga kerja, ag ar mencapai pendapatan maksimal (Bapenas, 2008).
Seperti telah dikemukakan diatas , bahwa tingkat pendapatan petani diukur
dengan menggunakan laba-rugi usaha. Dalam usaha peternakan ayam ras pedaging
laba-rugi diperoleh dari perhitungan hasil penjualan ayam hidup, ditambah produk
sampingan dan bonus performance peroduksi, dikurangi biaya variabel produksi
(Sabarani et al., 2000). Selanjtunya menurut Prawirokusumo (1986), bahwa
jumlah penerimaan hasil produksi dikurangi biaya produksi bernilai positif
merupakan laba atau pendapatan peternak dalam satu kegiatan usaha.
Pandangan ini didukung oleh Sumartini, (2004) bahwa pendapatan peternak
ayam ras pedaging dipengaruhi oleh kombinasi penggunaan factor-faktor produksi
yaitu bibit ayam (doc), pakan, obat-obatan, tenaga kerja, biaya listrik,bahan bakar,
serta investasi kandang dan peralatan. Menurut Rasyaf, (2008) biaya bibit ayam
(DOC), pakan, vaksin, obat dan vitamin, tenaga kerja, listrik, dan bahan bakar,
sebagian besar biaya variabel dihabiskan untuk pakan yaitu hingga 70% dari total
biaya . Sedangkan menurut Abdel at al., (2013) bahwa jumlah pakan dan tenaga
kerja berpengaruh signifikan terhadap jumlah produksi dan pendapatan peternak.
Semua faktor-faktor diatas (secara internal) merupakan variabel yang berpengaruh
terhadap pendapatan peternak. Secara ekternal, sesuai dengan model yang
dikemukakan dalam penelitian ini, variabel lainnya berpengaruh langsung
terhadap pendapatan peternak.