bab ii kajian pustaka dan kerangka pikir · addressee dalam laporan pertandingan kekalahan tersebut...
TRANSCRIPT
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Studi Terdahulu
Penelitian mengenai penggunaan bahasa di televisi dengan pendekatan
pragmatik telah banyak dilakukan. Akan tetapi sejauh penelusuran penulis
penelitian yang berfokus pada FTA dan strategi kesantunan masih belum banyak
dilakukan. Penelitian ini mengambil data dari dialog motivasi pada tayangan
Mario Teguh Super Show di MNCTV. Berikut ini adalah beberapa penelitian
terdahulu yang relevan dengan penelitian ini.
Penelitian mengenai tindakan pengancaman muka (FTA) dan strategi
kesantunan adalah skripsi Damis Amaroh (2010), Sastra Indonesia Universitas
Sebelas Maret Surakarta, yang berjudul Tindakan Pengancaman Muka dan
Strategi Kesopanan dalam Rubrik “Pembaca Menulis” di Harian Jawa Pos:
(Sebuah Kajian Pragmatik). Penelitian ini menyimpulkan beberapa hal berikut.
Pertama dalam surat aduan rubrik “Pembaca Menulis” diperoleh 8 jenis tindakan
yang mengancam muka negatif lawan tutur, yaitu memerintah, meminta, memberi
saran, memberi nasihat, bertanya, menuntut, menagih janji, dan marah. Terdapat 4
jenis tindakan yang mengancam muka positif lawan tutur, yaitu menuduh,
mengeluh, mengkritik, dan menghina. Pengadu menggunakan strategi on record,
off record, kesopanan negatif, dan kesopanan positif. Simpulan kedua, dalam surat
tanggapan rubrik “Pembaca Menulis” diperoleh 3 jenis tindakan yang mengancam
muka negatif penutur, yaitu ucapan terima kasih, melakukan pembelaan, dan
melakukan janji. Diperoleh 2 jenis tindakan yang mengancam muka positif
11
penutur, yaitu tindakan meminta maaf dan mengakui kesalahan. Teradu
menggunakan strategi on record, off record, kesopanan negatif, dan kesopanan
positif.
Penelitian lainnya adalah skripsi Mumtazus Sundus (2012), Program Studi
Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, yang
berjudul Sikap Menjaga Muka pada Laporan Pertandingan Kekalahan Chelsea
dalam “Bridge Kids”: Sebuah Analisis Pragmatik. Penelitian ini bertujuan
melihat hubungan antara fungsi dari sebuah wacana, dalam hal ini laporan
pertandingan kekalahan Chelsea untuk anak-anak dengan penggunaan strategi
Face Threatening Acts di dalam penulisannya. Simpulan dari penelitian tersebut
adalah 1) dengan menggunakan strategi Face Threatening Acts dalam laporan
pertandingan kekalahan Chelsea muncul kesan menjaga muka yang berhasil
diciptakan oleh Chelsea; 2) derajat keburukan Chelsea akibat kekalahan yang
mereka peroleh berhasil dikurangi sebagai dampak digunakannya strategi Face
Threatening Acts di dalam laporan pertandingan tersebut; 3) strategi Face
Threatening Acts memang harus digunakan mengingat anak-anak sebagai
addressee dalam laporan pertandingan kekalahan tersebut merupakan subjek yang
memerlukan “pelayanan” khusus dalam penyampaian jenis berita semacam itu;
dan 4) terdapat ketaksaan pesan dalam laporan pertandingan kekalahan Chelsea
sebagai akibat digunakannnya strategi Face Threatening Acts. Terdapat maksud-
maksud terselubung yang bertujuan untuk melindungi muka Chelsea akibat
kekalahan yang didapat. Strategi bald on-record dan positive redressive
merupakan strategi yang dominan digunakan.
12
Sebelumnya sudah dilakukan beberapa penelitian dilakukan dengan
menggunakan tuturan Mario Teguh sebagai sumber datanya. Akan tetapi
penelitian-penelitian tersebut dibatasi pada jenis tindak tutur tertentu. Penelitian
tentang Mario Teguh yang relevan dengan penelitian ini adalah artikel penelitian
Wulandari, Agustina, dan Ngusman, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Universitas Negeri Padang, yang berjudul Tindak Tutur Ekspresif
Mario Teguh dalam Acara “Golden Ways”. Artikel penelitian ini dimuat dalam
Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajaran Volume 2 Nomor 1, Februari 2015.
Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, jenis tindak
tutur ekspresif yang digunakan oleh Mario Teguh dalam program Golden Ways
adalah menunjukkan rasa terima kasih, ucapan selamat, memuji, mengkritik,
meminta maaf. Memuji adalah yang paling dominan tindak tutur ekspresif yang
digunakan oleh Mario Teguh. Kedua, strategi bertutur yang digunakan oleh Mario
Teguh dalam acara Golden Ways, yaitu strategi bertutur secara apa adanya tanpa
basa-basi, strategi bertutur dengan menggunakan basa-basi kesantunan positif,
strategi bertutur dengan basa-basi kesantunan negatif, dan strategi bertutur secara
off record atau samar-samar. Strategi yang paling dominan digunakan adalah
bertutur dengan strategi kesantunan positif. Simpulan yang ketiga berkaitan
dengan konteks sosial. Penggunaan strategi bertutur secara apa adanya tanpa basa-
basi cenderung digunakan pada situasi penonton yang lebih muda dengan subjek
sensitif, penggunaan strategi bertutur basa-basi kesantunan positif cenderung
digunakan pada situasi penonton yang lebih muda dengan subjek sensitif
penggunaan strategi bertutur basa-basi kesantunan negatif cenderung digunakan
pada situasi penonton yang lebih muda dengan subjek tidak sensitif, dan
13
penggunaan strategi samar-samar cenderung digunakan pada situasi penonton
yang lebih muda dengan subjek tidak sensitif.
Ketiga penelitian di atas digunakan sebagai tinjauan studi terdahulu karena
membahas permasalahan yang relevan. Penelitian yang penulis lakukan ini
difokuskan pada tindakan yang mengancam muka mitra tutur dan strategi yang
kesantunan yang digunakan Mario Teguh dalam dialog motivasi MTSS.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Wulandari terletak pada fokus
penelitian. Penelitian tersebut juga membahas strategi kesantunan pada tuturan
Mario Teguh namun dibatasi pada strategi kesantunan yang digunakan dalam
tindak tutur ekspresif. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Amaroh dan
Sundus terletak pada sumber data. Kedua penelitian tersebut menggunakan data
tertulis sedangkan penelitian ini menggunakan data lisan dari tayangan televisi,
yaitu acara Mario Teguh Super Show di MNCTV. Selain itu Sundus melakukan
kajian FTA dan strategi kesantuanan tehadap berita yang ditulis dalam bahasa
Inggris.
B. Landasan Teori
1. Pragmatik
Menurut Levinson istilah pragmatik diperkenalkan oleh seorang filsuf
yang bernama Charles Morris. Morris mengolah kembali pemikiran pendahulunya
seperti Locke dan Peirce mengenai semiotika. Oleh Morris semiotika dibagi
menjadi tiga cabang, yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik. Sintaksis
mempelajari hubungan formal antara tanda-tanda, semantik mempelajari
14
hubungan antara tanda dengan obyek, dan pragmatik mengkaji hubungan antara
tanda dengan penafsir. Tanda-tanda yang dimaksud di sini adalah tanda bahasa
(1983: 1).
Selain mengutip pendapat tersebut Levinson (1983: 9) juga
mendefinisikan bahwa “pragmatics is the study of those relations between
language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of a
language” (pragmatik adalah studi mengenai hubungan bahasa dan konteks yang
tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur bahasa).
Leech membandingkan pragmatik dengan semantik. Lazimnya semantik
memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan dua segi
(dyadic) sedangkan pragmatik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan
yang melibatkan tiga segi (triadic). Dengan demikian makna dalam pragmatik
didefinisikan dalam hubungannya dengan penutur. Leech memberikan batasan
yang baru bahwa pragmatik adalah studi tentang makna dalam hubungannya
dengan situasi-situasi ujar (dalam edisi terjemahan Oka, 1993: 9)
Mey (1993: 42) mendeskripsikan bahwa “pragmatics the study of the
conditions of human language use as these are determined by the context of
society” (pragmatik adalah studi mengenai kondisi penggunaan bahasa yang
ditentukan oleh konteks).
Thomas mendeskripsikan bahwa pragmatik adalah bidang yang mengkaji
makna dalam interaksi (meaning in interaction). Menurutnya “making meaning is
a dynamic process, involving the negotiation of meaning between speaker and
hearer, the context of utterance (physical, social and linguistic) and the meaning
potential of an utterance” (membuat makna adalah proses yang dinamis, yang
15
melibatkan negosiasi makna antara penutur dan pendengar, konteks ucapan (fisik,
sosial dan linguistik) dan potensi makna dari sebuah tuturan) ( 2013:22).
Yule mengatakan bahwa pragmatik adalah studi tentang makna yang
disampaikan penutur (atau penulis) dan diinterpretasikan oleh pendengar
(pembaca). Yule memberikan ruang lingkup dalam pragmatik, yaitu sebagai
berikut.
a. Studi tentang maksud penutur.
b. Studi tentang makna kontekstual.
c. Studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada
yang dikatakan (dalam edisi terjemahan Indah Fajar Wahyuni dan Rombe
Mustajab, 2006:3-4).
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa aspek yang
membedakan pragmatik dari cabang ilmu bahasa yang lainnya adalah
dilibatkannya konteks tuturan. Jika linguistik struktural mempelajari makna
secara internal maka pragmatik mempelajari makna secara eksternal. Tuturan
dalam pragmatik tidak bisa dilepaskan dari konteks-konteks yang melingkupinya.
2. Konteks
Cummings mengungkapkan bahwa definisi pragmatik tidak akan lengkap
apabila konteksnya tidak disebutkan (2007:5). Sebagai studi tentang makna
kontekstual tuturan-tuturan dalam analisis pragmatik selalu terikat aspek-aspek
yang menyertai tuturan tersebut. Aspek-aspek tersebut disebut konteks. Oleh
karena itu, dalam pragmatik analisis bahasa tidak dapat dilepaskan dari analisis
konteks yang melingkupi bentuk bahasa tersebut. Hymes (dalam Pranowo, 2012:
16
100-101) mengemukakan bahwa faktor yang harus diperhatikan dalam
berkomunikasi adalah: setting and scene (latar), (participants (peserta), ends
(tujuan komunikasi), act sequence (pesan yang ingin disampaikan), key (kunci,
cara penyampaian), instrumentalities (alat), norms (norma), dan genres (ragam,
register).
Menurut Leech konteks tuturan diartikan sebagai aspek-aspek yang
berhubungan dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Dalam pragmatik
konteks pada hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan yang dipahami
bersama oleh penutur dan petutur (dalam edisi terjemahan Oka, 1993: 19).
Menurut Wijana konteks yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext)
sedangkan konteks latar belakang sosial disebut konteks (1996, 11). Konteks ini
berperan membantu mitra tutur dalam menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan
oleh penutur.
Leech memasukkan konteks tuturan sebagai salah satu aspek dalam
situasi tutur. Selain konteks, aspek-aspek dalam situasi tutur adalah sebagai
berikut.
a. Yang menyapa (penyapa) dan yang disapa (pesapa)
Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca
dalam wacana tulis. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan
lawan tutur ini adalah usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin,
tingkat keakraban dan sebagainya.
b. Konteks sebuah tuturan
c. Tujuan sebuah tuturan
17
Dalam konteks ini istilah goal „tujuan‟ atau function „fungsi‟ dianggap
lebih netral daripada intended meaning „makna yang dimaksud‟.
Alasannya karena tujuan tidak membebani pemakainya dengan suatu
kemauan atau motivasi yang sadar sehingga dapat digunakan secara umum
untuk kegiatan-kegiatan yang berorientasi tujuan. Tuturan yang
diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh tujuan tertentu. Dalam
hubungan ini bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan
untuk menyatakan tujuan yang sama. Juga sebaliknya berbagai tujuan
dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Di dalam pragmatik berbicara
mmerupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal oriented
activities).
d. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan: tindak ujar
Apabila tata bahasa menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai entitas
yang abstrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi
semantik, maka pragmatik berhubungan dengan verbal (verbal act) yang
terjadi dalam situasi tertentu. Dalam hubungan ini pragmatik menangani
bahasa dalam tingkatannya yang lebih konkret dibanding dengan tata
bahasa. Tuturan sebagai entitas yang konkret jelas penutur dan lawan
tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraannya.
e. Tuturan sebagai produk tindak verbal
Selain sebagai tindak ujar dan tindak verbal dalam pragmatik kata
„tuturan‟ dapat digunakan sebagai produk suatu tindak verbal. Sebagai
contoh apakah rokmu tidak terlalu pendek? Dapat ditafsirkan sebagai
pertanyaan atau perintah. Dalam hubungan ini dapat ditegaskan ada
18
perbedaan mendasar antara kalimat (sentence) dengan tuturan (utterance)
(dalam edisi terjemahan Oka, 1993:19-21).
3. Kesantuan Berbahasa
Menurut Sulistyo kesantunan atau kesopanan adalah perlakuan suatu
konsep yang tegas yang berhubungan dengan tingkah laku sosial yang terdapat di
budaya atau suatu masyarakat. Khususnya dalam bahasa, sopan-santun atau
tatakrama berbahasa adalah menghargai dan menghormati pesapa (2013:26).
Untuk mencapai penggunaan bahasa yang santun masyarakat harus
memperhatikan etika berbahsa. Menurut Chaer etika berbahasa berkaitan erat
dengan norma-norma sosial dalam sistem budaya yang berlaku dalam suatu
kelompok masyarakat. Seseorang dikatakan pandai berbahasa jika di menguasai
tata cara atau etika berbahasa tersebut (2010: 6-7). Menurut Pranowo dengan
berbahasa secara santun, seseorang mampu menjaga harkat dan martabat dirinya
dan menghormati orang lain. Menjaga harkat dan martabat diri adalah substansi
dari kesantunan, sedangkan menghormati orang lain bersifat perlokatif (2012: 1).
Gunarwan (dalam Purwo (Ed.), 1994: 87) mengatakan bahwa konsep mengenai
kesantunan berbahasa telah dikemukan oleh para linguis, antara lain Lakoff
(1972), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978), dan Leech (1983).
a. Kesantunan Menurut Lakoff
Lakoff menyatakan ada tiga ketentuan untuk dapat dipenuhinya
kesantunan dalam kegiatan bertutur. Kaidah yang pertama adalah skala formalitas
(formality scale). Di dalam kegiatan bertutur, masing-masing peserta tutur harus
dapat menjaga keformalitasan dan menjaga jarak yang sewajarnya dan senatural-
naturalnya antara yang satu dengan yang lainnya. Kaidah yang kedua adalah skala
19
ketidaktegasan (hesitancy scale) atau seringkali disebut dengan skala pilihan
(optionality scale). Skala ini menunjukkan bahwa agar penutur dan mitra tutur
dapat saling merasa nyaman dalam bertutur maka pilihan-pilihan dalam bertutur
harus diberikan oleh kedua belah pihak. Kaidah yang ketiga adalah peringkat
persamaan atau kesekawanan (equality scale). Agar dapat bersifat santun orang
haruslah berisikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak
yang satu dengan pihak yang lain (dalam Rahardi, 2005: 70).
b. Kesantunan Menurut Fraser
Fraser (dalam Gunarwan) membedakan kesantunan (politeness) dari
penghormatan (deference). Penghormatan adalah bagian dari aktivitas yang
berfungsi sebagai sarana simbolis untuk menyatakan penghargaan secara regular.
Sementara itu kesantunan adalah properti yang diasosiasikan dengan ujaran,
dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, bahwa si penutur tidak melampaui
hak-haknya atau tidak mengingkari dalam memenuhi kewajibannya. Ada
beberapa hal yang perlu diulas dalam pengertian ini. Pertama, kesantunan itu
adalah properti atau bagian dari ujaran, jadi bukan ujaran itu sendiri. Kedua,
pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu ada pada suatu
ujaran. Ketiga, kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta
interaksi. Artinya, kesantunan sebuah ujaran dilihat berdasarkan (a) apakah si
penutur melampaui haknya kepada lawan bicaranya dan (b) apakah si penutur
memenuhi kewajibannya kepada lawan bicaranya. Yang dimaksud dengan hak
dan kewajiban penutur-mitra tutur itu adalah menyangkut apa yang boleh
diujarkan serta cara mengujarkannya (dalam Purwo (Ed.), 1994: 88-89)).
20
c. Kesantunan Munurut Brown dan Levinson
Brown dan Levinson mengatakan teori kesantunan berbahasa itu berkisar
atas nosi muka (face), yang dibagi menjadi dua, yaitu muka positif dan negatif.
Muka positif mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional, yang
berkeinginan agar yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang
merupakan nilai-nilai yang ia yakini, diakui orang lain sebagai suatu hal yang
baik, menyenangkan, dan patut dihargai. Selanjutnya yang dimaksud muka negatif
itu mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional berkeinginan agar ia
dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakan atau
membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu (1987: 61-62). Konsep
muka ini dimiliki oleh setiap warga masyarakat. Oleh karena itu, dalam
berinteraksi masing-masing peserta tutur harus saling menjaga muka. Sebuah
tuturan dapat merupakan ancaman terhadap muka. Untuk mengurangi
keterancaman tersebut dalam berinteraksi perlu memperhatikan strategi
bertuturnya.
d. Kesantunan Menurut Leech
Menurut Leech terdapat lima skala untuk menentukan santun atau tidaknya
sebuah tuturan. Skala-skala tersebut adalah kerugian atau keuntungan (cost-benefit
scale), skala kemanasukaan (optionally scale), skala ketidaklangsungan
(indirectness scale), skala keotoritasan (authority scale), dan skala jarak sosial
(social distance scale) (dalam edisi terjemahan Oka, 1993: 194-200).
Leech mengemukakan bahwa prinsip kesantunan memiliki beberapa
maksim, yaitu maksim kearifan (tact maxim), maksim kedermawanan (generosity
maxim), maksim pujian (approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty
21
maxim), maksim kesepakatan (agreement maxim), dan maksim simpati (sympathy
maxim) (dalam edisi terjemahan Oka, 1993: 206-207). Setiap maksim dalam
prinsip kesantunan itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat
kesantunan sebuah tuturan. Thomas (1995: 167-168) mengemukkan bahwa ada
beberapa masalah dalam pendekatan Leech, yaitu itu (a) tidak ada pembatasan
maksim (b) memungkinkan menghasilkan maksim baru untuk menjelaskan setiap
keteraturan yang dirasakan kecil dalam penggunaan bahasa.
Teori kesantunan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Brown
dan Levinson. Teori kesantunan yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson
mengedepankan cara-cara yang ditempuh penutur untuk memperoleh tuturan
dengan ancaman muka yang seminimal mungkin. Teori ini dianggap sesuai karena
tuturan Mario Teguh yang digunakan dalam memotivasi akan memberikan
pengaruh terhadap muka mitra tutur. Untuk menjaga keharmonisan dan
menghindari kemungkinan pengancaman muka maka penggunaan strategi
kesantunan sangat dipertimbangkan.
4. Teori Kesantunan Brown dan Levinson
a. Muka dan Keinginan Muka
Menurut Penelope Brown dan Stephen C. Levinson kesantunan itu
berkisar atas nosi “muka”. Titik pusat teori ini adalah teori face yang
dikemukakan oleh Goffman. “Face, the public self image that every member
wants to claim for himself” (muka, gambar diri masyarakat yang setiap anggota
ingin mengklaim untuk dirinya sendiri) (1987: 61). Istilah “muka” dapat diartikan
sebagai reputasi, harga diri atau nama baik seseorang. Setiap warga masyarakat
22
memiliki muka, mereka juga harus menyadari bahwa muka tersebut dimiliki oleh
warga lainnya. Dalam berinteraksi setiap warga masyarakat senantiasa bekerja
sama untuk menghormati muka masing-masing.
Brown dan Levinson membedakan muka menjadi dua, yaitu “(1) negative
face: the want of every „competent adult member‟ that his actions be unimpeded
by others, (2) positive face: the want of every member that his want be desirable
to at least some others” ((1) muka negatif adalah keinginan setiap anggota
masyarakat supaya tindakannya tidak dihalangi orang lain, (2) muka positif adalah
keinginan setiap anggota masyarakat agar keinginannya dihargai orang lain)
(1987: 62).
Muka negatif adalah citra diri setiap orang yang berkeinginan agar
dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakan atau
membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Muka positif
mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar yang dilakukannya,
yang dimilikinya atau yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini, diakui orang lain
sebagai suatu hal yang baik, menyenangkan, dan patut dihargai.
b. Face Threatening Act (FTA)
Menurut Brown dan Levinson “thus face is something that is emotionally
invested and that can be lost maintained or enchanced and must be constantly
attended to in interaction” (muka adalah sesuatu yang diinvestasikan secara
emosional dan dapat hilang oleh karena itu harus dipertahankan atau ditingkatkan
terus-menerus dalam interaksi) (1987: 61). Dalam interaksi sehari-hari muka
adalah sesuatu yang rawan terhadap ancaman dan harus dipertahankan, baik itu
muka mitra tutur maupun muka penutur. Beberapa tuturan berpotensi
23
mengandung tindakan yang dapat mengancam, merusak, atau mengurangi rasa
hormat terhadap muka peserta tutur, baik itu muka mitra tutur maupun muka
penutur sendiri. Hal-hal yang menyebabkan keterancaman muka disebut sebagai
Face Threatening Act (FTA).
Kriteria pertama yang dikemukakan Brown dan Levinson adalah mengenai
bentuk-bentuk FTA terhadap muka mitra tutur. Menurut Brown dan Levinson
(1987:65-66) tindakan yang merupakan acaman bagi muka negatif mitra tutur
adalah sebagai berikut.
1) Tindakan yang mengakibatkan mitra tutur memberikan persetujuan atau
penolakan seperti orders and requests, suggestions, advice, remindings,
threats, warnings, and dares (meminta dan memberi saran, menasihati,
mengingatkan, mengancam, memperingatkan, serta menantang).
2) Upaya melakukan sesuatu terhadap mitra tutur dan memaksa mitra tutur
menerima atau menolak, seperti offers and promises (menawarkan dan
berjanji).
3) Tindakan mengungkapkan keinginan penutur untuk melakukan sesuatu
terhadap mitra tutur atau terhadap yang dimiliki mitra tutur, seperti
compliments, expressions of envy or admirations, expressions of strong
(negative) emotions toward addressee e.g hatred, anger, and lust (pujian
atau memberikan ucapan selamat, ekspresi cemburu, kekaguman,
kebencian, kemarahan, dan keinginan yang kuat).
Sementara itu tindakan yang dapat mengancam muka positif mitra tutur
menurut Brown dan Levinson (1987: 66-67) adalah sebagai berikut.
24
1) Memperlihatkan penilaian negatif terhadap mitra tutur, seperti
disapproval, criticism, contempt or ridicule, complains and reprimands,
accusations, insults, contradictions or disagreement, challenges emotions
(celaan, mengkritik, merendahkan, keluhan dan teguran, penghinaan,
pertentangan atau ketidaksetujuan, tantangan emosi).
2) Menunjukkan sikap tidak peduli terhadap mitra tutur, seperti, expressions
of violent emotions, irreverence, taboo topics, bringing bad news about H
or good news about S, raising of dangerously emotional or divisive topics,
blatant non-cooperation in an activity, use of address terms and other
status-markerd identifications in initial encounters (ekspresi emosi
kekerasan, ketidaksopanan, topik tabu, membawa kabar buruk tentang
mitra tutur atau berita baik tentang penutur, menaikkan topik berbahaya
secara emosional atau memecah belah, terang-terangan tidak bekerja sama
dalam suatu kegiatan, penggunaan istilah dan identifikasi lainnya dalam
pembicaraan.
Kriteria yang kedua adalah FTA terhadap muka penutur. Menurut Brown
dan Levinson (1987: 67-77) tindakan yang mengacam muka penutur adalah
sebagai berikut.
1) Tindakan yang mengancam muka negatif penutur adalah expressing
thanks, acceptance of H‟s thanks or H‟ apology, excuse, acceptance of
offers, responses to H‟s faux pas, unwilling promises and offers (ekspresi
terima kasih, menerima ucapan terima kasih atau permintaan maaf,
pembelaan, menerima tawaran, merespon kesalahan bicara mitra tutur,
keseganan dalam berjanji dan menawarkan).
25
2) Tindakan yang mengancam muka positif penutur adalah apologies,
acceptance of a compliment, breakdown of physical control over body,
self-humilliation, confenssions, admissions of guilt, emotion leakage
(meminta maaf, menerima ucapan selamat, melakukan tindakan yang
memalukan, merendahkan diri, mengakui kesalaan, emosi yang tak
terkendali).
Dalam penelitian ini analisis bentuk-bentuk FTA dibatasi pada tindakan-
tindakan yang merupakan FTA terhadap muka mitra tutur yang terdapat pada
tuturan Mario Teguh pada dialog motivasi MTSS, baik itu positif maupun negatif.
c. Skala Kesantunan Brown dan Levinson
Skala kesantunan adalah skala penentu tingginya peringkat kesantunan
berbahasa yang muncul dalam suatu peristiwa tutur. Menurut Brown dan
Levinson (1987: 74) skala-skala tersebut adalah sebagai berikut.
1) Social distance (skala peringkat jarak sosial) antara penutur dan mitra
tutur, skala ini banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur,
jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. Semakin tua umur
seseorang maka tingkat kesantunan yang digunakan akan semakin
santun. Pada umumnya wanita memiliki tingkat kesantunan yang lebih
tinggi dari pada laki-laki. Berkenaan dengan latar belakang sosial
kultural, orang yang memilik jabatan tertentu dalam kelompok sosial
cenderung memiliki peringkat kesantunan yang lebih tinggi.
2) The speaker and hearer relative power (skala peringkat status sosial
antara penutur dan mitra tutur) atau sering kali disebut juga dengan
peringkat kekuatan atau kekuasaan (power rating). Skala ini
26
didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur.
Sebagai contoh, di dalam kelas seorang dosen memiliki peringkat
kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan seorang mahasiswa.
3) The absolute rangking of imposition in the particular culture (skala
pembebanan) merupakan skala yang didasarkan atas kedudukan relatif
jenis tindak tutur dalam situasi yang dianggap tidak terlalu mengancam
muka.
d. Strategi Kesantunan
Penutur selalu menghadapi pilihan sebelum membuat tuturan karena setiap
tuturan memiliki potensi mengancam muka mitra tutur, baik itu muka positif
maupun muka negatif. Untuk mengurangi risiko mengancam muka tersebut maka
dalam bertutur hendaknya penutur mempertimbangkan cara bertuturnya. Brown
dan Levinson (1987: 69) membagi strategi kesantunan menjadi lima strategi, yaitu
bald on record (strategi langsung tanpa basa-basi), positive politeness strategy
(strategi kesantuan positif), negative politeness strategy (strategi kesantunan
negatif), off the record (strategi tidak langsung), dan don‟t do the FTA (strategi
tidak melakukan tindakan mengancam muka). Menurut Nadar (2009: 31) kata
“strategi” dalam strategi kesopanan berbahasa tidak selalu mengandung arti usaha
sadar untuk berperilaku sopan melainkan merujuk pada ungkapan-ungkapan
berbahasa yang rutin dan mengacu pada upaya untuk berbicara secara sopan.
Berikut adalah bagan yang menunjukkan strategi kesantunan.
27
Bagan 1
Strategi Kesantunan Brown dan Levinson
(Brown dan Levinson, 1987: 69)
1) Strategi Bald On Record (Langsung Tanpa Basa-Basi)
Apabila penutur membuat tuturan secara on record maka penutur masih
harus menentukan apakah tuturan tersebut akan dituturkan secara lugas tanpa
usaha penyelamatan muka (without redressive action, baldly) atau dengan
mempertimbangkan tindakan penyelamatan muka (with redressive action).
Menurut Brown dan Levinson jika penutur membuat tuturan secara lugas
tanpa melakukan usaha menyelamatkan muka mitra tuturnya maka penutur
membuat tuturannya dengan cara yang paling langsung, jelas, tegas, dan ringkas.
Strategi seperti ini akan mengakibatkan mitra tutur merasa terkejut, malu dan
tidak nyaman. Hal seperti ini biasanya dilakukan ketika penutur tidak
Do the FTA
5. don‟t do
the FTA
4. off
record
on record
1. without
redressive
action,
balddly
2. positive
politeness
3. negative
politeness
with redressive
action
28
mempedulikan adanya sanksi balas dendam dari mitra tutur. Biasanya strategi ini
digunakan dalam situasi ketika (a) penutur dan mitra tutur sama-sama menyadari
adanya hal-hal yang bersifat mendesak sehingga hal-hal yang terkait dengan muka
dikesampingkan terlebih dahulu, (b) bilamana ancaman terhadap muka mitra tutur
sangatlah kecil, misal seperti tindakan yang terkait dengan penawaran,
permintaan, saran dan lain-lain yang jelas mengacu pada kepentingan mitra tutur
dan tidak membutuhkan pengorbanan yang besar pada pihak penutur, dan (c)
penutur memiliki kekuasaan „power‟ yang jauh lebih tinggi dibandingkan mitra
tutur, atau penutur mendapatkan dukungan besar untuk melakukan tindakan yang
dapat mengancam muka mitra tutur tanpa harus kehilangan mukanya sendiri
(1987:69).
Menurut Brown dan dan Levinson (1987: 71) dengan melakukan tuturan
secara on record penutur memperoleh berbagai keuntungan, yaitu sebagai berikut.
a) He can enlist public pressure against the addressee or in support of
himself (memperoleh bantuan berupa tekanan terhadap mitra tutur).
b) He can get credit for honesty, for indicating that he trusts the
addressee (memperoleh kepercayaan tentang kejujurannya dengan
menunjukkan bahwa dia mempercayai mitra tuturnya).
c) He can get credit for outspokenness, avoiding the danger of being seen
to be a manipulator (memperoleh kepercayaan karena keterbukaannya,
menghindari bahaya dianggap sebagai manipulator).
d) He can avoid the danger of being misunderstood (menghindari
kemungkinan kesalahpahaman).
29
e) He can have the opportunity to pay back in face whatever he
potentially takes away by the FTA (dapat memperbaiki kembali yang
telah dilanggar oleh tindakan yang mengancam muka).
Menurut Brown dan Levinson pilihan kedua apabila penutur membuat
tuturannya secara on record adalah dengan mempertimbangkan tindakan
penyelamatan muka. Tindakan penyelamatan muka adalah tindakan yang
“memberikan muka” kepada mitra tutur. Melalui tindakan ini penutur berusaha
menangkal rasa kurang senang mitra tutur sebagai akibat dari tindakan yang
kurang menyenangkan. Tindakan penyelamatan muka bisa dilakukan dengan cara
melakukan penambahan dan perubahan yang sedemikian rupa pada tuturan. Hal
ini dilakukan untuk menunjukkan kepada mitra tutur bahwa sebenarnya penutur
sama sekali tidak memiliki keingininan untuk melakukan tindakan yang kurang
menyenangkan tersebut. Penutur sesungguhnya memahami keinginan mitra tutur
dan menginginkan agar keinginan tersebut bisa dicapai. Tindakan penyelamatan
muka ini terdiri dari dua bentuk tergantung pada aspek muka yang ingin
ditekankan, yaitu muka negatif atau muka positif (1987: 69-70).
2) Strategi Kesantunan Positif
Brown dan Levinson memberikan penjelasan tentang strategi kesantunan
positif sebagai berikut.
Positive politeness is oriented toward the positive face of H, the
positive self-image that he claims for himself. Positive politeness is
approach-based: it “anoints” the face of the addressee by indicating
that in some respects, S wants H‟s wants (e.g. by treating him as a
member of an in group, friend, a person whose wants and
personality traits are known and liked). (Kesantunan positif adalah
kesantunan yang tujukan kepada muka positif mitra tutur, yakni citra
positif yang dianggap dimiliki oleh mitra tutur. Kesantunan positif
dilakukan dengan upaya menorehkan pada mitra tutur bahwa pada
hal-hal tertentu penutur memiliki keinginan yang sama dengan mitra
30
tuturnya. Salah satunya dengan memperlakukan mitra tutur sebagai
anggota kelompok, sahabat, atau sebagai seseorang yang
keinginannya maupun seleranya dikenal dan disukai) (1987:70).
Dengan menggunakan kesantunan positif penutur dapat menunjukkan
kedekatan dan hubungan yang baik dengan mitra tuturnya. Brown dan Levinson
mengemukakan tiga mekanisme kesantunan positif, yaitu: (a) claim common
ground (mengklaim kesamaan); (b) convey that S and H are cooperators
(menyatakan bahwa penutur dan mitra tutur bekerja sama); dan (d) fulfill H‟s want
for some x (memenuhi keinginan mitra tutur). Ketiga mekanisme tersebut
dijabarkan dalam lima belas strategi berikut.
a) Strategi 1: Notice; attend to H (his interest, wants, needs, goods)
(memperhatikan minat, keinginan kebutuhan, barang-barang atau
segala sesuatu yang menjadi milik mitra tutur)
Contoh : “Ya ampun, kamu potong rambut! (…) Ngomong-
ngomong, saya datang untuk meminjam tepung.”
b) Strategi 2: Exaggerate (interest, approval, sympathy with H) (melebih-
lebihkan rasa ketertarikan, persetujuan, simpati terhadap mitra tutur)
Contoh : “Masakkanmu benar-benar enak. Hebat sekali kamu.”
c) Strategi 3: Intensify interest to H (mengintensifkan perhatian kepada
mitra tutur)
Misalnya pada suatu interaksi penutur suka menyelipkan sisipan
ungkapan dan juga pertayaan yang tujuannya hanya untuk membuat
mitra tutur tebih terlibat pada interaksi tersebut.
Contoh : “Aku baru saja menuruni tangga, dan kamu tahu apa yang
aku lihat?”
31
d) Strategi 4: Use in-group identity markers (menggunakan bentuk-
bentuk identitas kelompok)
Contoh : “Kemarilah, Nak!”
e) Strategi 5: Seek agreement:safe topics, repetition (mencari persetujuan
dengan topik yang umum atau mengulang sebagian/ seluruh ujaran)
Cara untuk menerapkan strategi ini adalah mengulang sebagian tuturan
mitra tutur untuk menunjukkan bahwa penutur menyetujui dan
mengikuti informasi yang dituturkan oleh mitra tutur.
Contoh : A: “Banku kempes saat perjalanan pulang”
B: “Ya Tuhan, bannya kempes!”
f) Strategi 6: Avoid agreement: Token agreement, pseudo- agreement,
white lies, hedging opinions (menghindari ketidaksetujuan dengan
mitra tutur: berpura-pura setuju, persetujuan yang semu,berbohong
untuk kebaikan, kata berpagar )
Contoh: A: “Jadi apakah ini akan selamanya?”
B: “Ya, selamanya. Selamanya sampai saya menikah lagi.”
g) Strategi 7: Presuppose/ raise/ assert commond ground (menunjukkan
hal- hal yang dianggap mempunyai kesamaan melalui basa basi dan
presuposisi)
Contoh : A: “Luka ini sakit sekali, Bu”
B: “Ya sayang, memang sakit sekali, saya tahu”
h) Strategi 8: Joke (membuat lelucon)
Contoh : “Motormu butut itu sebaiknya untukku saja (sepeda motor
baru)”
32
i) Strategi 9: Assert or presuppose S‟s knowledge of and concern for H‟s
wants (membuat persepsi bahwa penutur memahami keinginan mitra
tuturnya)
Contoh : “Saya tahu bahwa kamu suka mawar tetapi persediaan mawar
sudah habis di toko bunga, jadi saya membawakanmu geranium
sebagai gantinya.”
j) Strategi 10: Offer, promise (membuat janji)
Contoh : “Saya akan datang lagi minggu depan.”
k) Strategi 11: Be optimistic (menunjukkan rasa optimis)
Contoh : “Anda pasti dapat meminjamkan mesin pemotong rumput ini
akhir pekan.”
l) Strategi 12: Include both S and H in the activity (berusaha melibatkan
penutur dan mitra tutur dalam kegiatan)
Contoh : “Aku lapar, ayo kita makan siang!”
m) Strategi 13: Give (or ask for) reason (memberikan pertanyaan atau
meminta alasan)
Contoh : ”Bagaimana kalau Anda meminjamkan saya penginapan
akhir pekan ini?”
n) Strategi 14: Assume or assert reciprocity (menawarkan tindakan timbal
balik)
Contoh : “Aku akan membantumu mengerjakan tugas ini jika kamu
mau membuatkanku segelas susu.”
33
o) Strategi 15: Give gifts to H (goods, sympathy, understanding,
cooperation) (memberikan hadiah, barang, simpati, perhatian,
kerjasama kepada lawan tutur).
Contoh : “Kalau ada yang bisa saya bantu katakanlah!” (1987: 103-
129).
3) Strategi Kesantunan Negatif
Brown dan Levinson memberikan pejelasan tentang strategi
kesantunan negatif sebagai berikut.
Negative politeness, on the other hand, is oriented mainly toward
partially satisfying (redressing) H‟s negative face, his basic want to
maintain claims of territory and self determination. Negative
politeness, thus, is essentially avoidance based, and realizations of
negative-politeness strategies consist in assurances that the speaker
recognizes and respect the addressee‟s negative-face wants and will
not (or will only minimally) interfere with the addresee‟s freedom of
action. (Kesantunan negatif ditujukan untuk menyelamatkan muka
negatif mitra tutur, yakni keinginan dasar mitra tutur untuk
mempertahankan apa yang dia anggap sebagai wilayah dan
keyakinan dirinya. Strategi kesantunan negatif mengandung jaminan
bahwa penutur menghormati muka negatif mitra tutur dan tidak akan
mencampuri ataupun melanggar kebebasan mitra tutur untuk
bertindak) ( 1987:70).
Brown dan Levinson mengatakan bahwa kesantunan positif
meminimalkan jarak, sementara kesantunan negatif justru menciptakan jarak
sosial. Strategi kesantunan negatif dirumuskan ke dalam lima mekanisme, yaitu
(a) be direct (langsung berbicara pada inti persoalan); (b) don‟t presume/ assume
(tidak mengira- ngira); (c) don‟t coerce (jangan memaksa); (d) communicate S‟s
want to not impinge on H (komunikasikan keinginan untuk tidak menekan mitra
tutur); dan (e) redress other wants of H‟s (penuhi keinginan lain mitra tutur).
34
Selanjutnya 5 mekanisme tersebut dibagi menjadi 10 strategi kesantunan negatif
berikut.
a) Strategi 1: Be conventionally indirect (ungkapan tidak langsung sesuai
konvensi yang berlaku di masyarakat)
Strategi ini merupakan jalan keluar bagi dua keadaan yang saling
bertentangan satu sama lain, yakni keinginan untuk tidak menekan
penutur di satu sisi dan keinginan untuk menyatakan pesan secara
langsung tanpa bertele-tele serta jelas maknanya di sisi lain. Oleh
karena itu, strategi ini menempuh cara penyampaian pesan secara tidak
langsung namun makna pesan harus jelas dan tidak ambigu
berdasarkan konteksnya.
Contoh : “Dapatkah kamu menolong saya mengambilkan garam?”
b) Strategi 2: Question, hedge (pertanyaan, pagar)
Dalam strategi kesantunan ini penutur dilarang mengedepankan
praanggapan dan jangan berasumsi bahwa segala hal yang terlibat
dengan ancaman muka dipercaya oleh pendengar. Hedge „pagar‟
adalah partikel, kata, atau frasa yang dapat mengubah derajat predikat
atau frasa benda dalam satu rangkaian menjadi benar hanya dalam hal-
hal tertentu. Dengan kata lain “pagar” membatasi power sebuah
tuturan.
Contoh :
“Menurut saya tindakanmu itu salah.”
“Saya mau minta tolong padamu, bisa kan, kamu bisa menolong saya
kan?”
35
c) Strategi 3: Be pessimistic (bersikap pesimis dan melakukannya secara
hati-hati)
Contoh : “Sebenarnya saya mau minta tolong tetapi saya takut
mengganggu Anda.”
d) Strategi 4: Minimize the imposition, Rx (mengurangi daya ancaman)
Contoh : “Bolehkah kalau saya mencicipi kue itu sedikit saja?”
e) Strategi 5: Give deference (memberikan penghormatan)
Contoh : “Permisi, Pak, apakah Bapak keberatan jika saya menutup
jendela itu?”
f) Strategi 6: Apologize (permintaan maaf)
Contoh : “Permisi Bu, maaf mengganggu kenyamanan Anda, tetapi
restoran ini akan segera tutup beberapa menit lagi.”
g) Strategi 7:Impresionalize S and H (tidak menyebutkan penutur dan
mitra tutur)
Contoh : “Tolong keluarkan barang itu!”
h) Strategi 8: State the FTA as a generale rule (menyatakan bahwa FTA
tersebut adalah ketentuan yang berlaku secara umum)
Pilihan pertama dalam strategi ini adalah dengan menyatakan bahwa
FTA yang dilakukan adalah ketentuan sosial. Contoh: “Penonton
dilarang membawa makanan dan minuman ke dalam bioskop.”
Pilihan yang kedua adalah dengan menggunakan kata kelompok,
bukan mengacu satu individu. Contoh: “Pemerintah Amerika Serikat
mengungkapkan penyesalan atas terjadinya insiden ini.”
36
Pilihan yang ketiga adalah menyatakan bahwa FTA tersebut adalah
aturan yang berlaku bagi siapa saja, termasuk penutur dan mitra tutur.
Contoh : “Jony, kita tidak duduk di meja ya, kita duduknya di kursi!”
i) Strategi 9: Nominalize (menominalkan pernyataan)
Contoh : “Prestasimu dalam ujian sangat mengesankan kami.”
j) Strategi 10: Go on record as incurring debt, or as not indebting H
(menyatakan secara jelas bahwa penutur sudah memberikan kebaikan
atau belum terhadap mitra tutur.
Contoh : “Saya tidak akan pernah bisa membayar kebaikan Anda
seandainya Anda…..” (1987: 129-210).
4) Strategi Off Record
Brown dan Levinson memberikan pejelasan tentang strategi off
record sebagai berikut.
A communication act is done off record if is done in such a way it is
not possible to attribute only one clear communicative intention to
the act. In other words, the actor leaves himself an "out" by
providing himself with number of defensible interpretations, he
cannot be held to have commited himself to just one particular
interpretation of his act. Thus if a speaker wants to do an FTA, but
want to avoid the responsibility for doing it, he can do it off record
and leave it up to the addresse to decide how to interpret it. (Tuturan
dibuat secara off record jika suatu tuturan secara sedemikian rupa
tidak mungkin ditujukan hanya untuk satu tujuan komunikatif yang
jelas. Dengan kata lain, penutur membiarkan dirinya "keluar" dengan
menyediakan dirinya untuk kemungkinan timbulnya sejumlah
interpretasi. Di sini penutur tidak bertanggung jawab atas interpretasi
tersebut melainkan mitra tutur. Oleh karena itu jika penutur ingin
melakukan FTA, tetapi ingin menghindari tanggung jawab untuk
melakukannya, dia bisa melakukannya secara off the record dan
menyerahkannya kepada mitra tutur untuk menginterpretasikannya)
(1987: 211).
Brown dan Levinson (1987: 213-227) memberikan lima belas strategi
kesantunan off record, yaitu sebagai berikut.
37
a) Strategi 1: Give hints (memberikan isyarat)
Contoh : “Aduh di sini gerah sekali” (minta dibukakan jendela).
b) Strategi 2: Give association clues (memberi petunjuk asosiasi)
Contoh : “Rumahku tidak jauh dari sini lho, dekat kok, gang depan
pasar masuk, yang catnya hijau” (minta rumahnya dikunjungi).
c) Strategi 3: Presuppose (menggunakan presuposisi)
Contoh: “Jadi akau lagi nih yang mencuci mobil?”
d) Strategi 4: Understate ( menggunakan ungkapan yang lebih halus)
Contoh : “Sepertinya rumah ini perlu sedikit sentuhan seni” (rumah ini
berantakan).
e) Strategi 5: Overstate (menggunakan ungkapan yang berlebihan)
Contoh : “Aku sudah telepon kamu ratusan kali, tapi kamu tidak
pernah menjawab.”
f) Strategi 6: Use tautologies (menggunakan tautologi)
Conntoh: “Katanya mau mengajakku ke pantai, wah janji tinggal janji
ya.”
g) Strategi 7: Use contradictions ( menggunakan kontradiksi)
Contoh: “Jony, kamu itu di sini tapi sebenarnya kamu nggak di sini”
(jiwanya).
h) Strategi 8: Be ironic (menggunakan ironi)
Contoh : “Jony itu memang pandai, pandai sekali.” (Jony tidak pernah
mendapatkan nilai bagus).
i) Strategi 9: Use metaphors (menggunakan metafora)
Contoh : “Wah Heri itu benar-banar ikan ya” (pandai berenang).
38
j) Strategi 10: Use rhetorical questions (menggunakan pertanyaan
retoris)
Contoh : “Sudah berapa kali aku berkata kepada tentang hal itu?”
(sudah sangat sering).
k) Strategi 11: Be ambigious (menggunakan pernyataan yang ambigu)
Contoh : “Eh bulan ini ada yang ulang tahun kan?”(tidak jelas
maksudnya, tergantung konteks)
l) Strategi 12: Be vague (menggunakan ungkapan yang samar-samar)
Contoh : “Aku akan pergi, kamu tahu akan ke mana?”
m) Strategi 13: Over-generalize (menggunakan generalisasi yang
berlebihan)
Contoh : “Satu sen yang ditabung adalah satu sen yang diterima.”
n) Strategi 14: Displace H (tidak mengacu pada mitra tutur secara
langsung)
Contoh : “Yang seragamnya tidak lengkap harap maju ke depan!”
o) Strategi 15: Be incomplete, use ellipsis (menggunakan ungkapan yang
tidak lengkap, epilipsis)
Contoh : “Dingin sekali….” (dingin sekali ruangan ini, tolong kipas
anginnya dimatikan saja).
5) Don‟t do the FTA (Strategi Tidak Melakukan Tindakan Mengancam
Muka)
Menurut Brown dan Levinson dengan “don‟t do the FTA” secara
sederhana penutur menghindari tindakan yang menyinggung mitra tutur dengan
FTA tertentu. Tentu saja S juga gagal untuk mencapai komunikasi yang
39
diinginkan (1987:72). Melalui strategi ini penutur memilih diam dan menahan
tuturannya. Hal ini menjadi pilihan ketika penutur tidak menemukan jalan keluar
untuk memperhalus tuturan yang mengandung FTA. Dengan bersikap demikian
penututur justru menunjukkan kesantunan daripada harus memaksakan diri untuk
bertutur.
5. Motivasi dan Memotivasi
Menurut Gray motivasi merupakan hasil sejumlah proses yang bersifat
internal atau eksternal bagi seorang individu yang menyebabkan timbulnya
antusiasme dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan (dalam Winardi (Ed.), 2004:
2). Keberadaan motivasi ini sangatlah penting karena berhubungan dengan
kemauan untuk bertindak. Seseorang yang termotivasi akan melaksanakan upaya-
upaya secara maksimal untuk mecapai tujuannya. Sementara seseorang yang tidak
termotivasi hanya akan memberikan upaya yang minimum.
Memotivasi adalah memberikan motivasi; menciptakan suasana yang
subur untuk lahirnya motif (Tim Redaksi KBBI, 2008: 930). Setiap orang
memiliki kemampuan untuk memotivasi dirinya sendiri dan kemampuan
memotivasi orang lain. Menurut Mesdag (dalam Denny edisi terjemaham
Sumaktoyo, 1994: xi) tugas dalam memotivasi orang lain mencakup kemampuan
untuk berkomunikasi, memberi teladan, menghadapi tantangan, memberikan
dukungan, mengumpulkan umpan balik, melibatkan orang, melaksanakan
pendelegasian, melaksanakan pengembangan, memberi informasi, memberi
petunjuk,serta menjamin berlakunya penghargaan yang layak.
40
Menurut Denny (dalam edisi terjemahan Sumaktoyo, 1994: 71-75)
langkah-langkah dalam memotivasi orang lain adalah sebgai berikut.
a. Menjadi pendengar yang baik, yaitu, terbuka, tidak mencaci maki yang
dimotivasi, selalu memberi kesempatan berbicara secara wajar, dan siap
mendengarkan permasalahan.
b. Menjadi pendengar yang pantas dipercaya.
c. Menunjukkan pengakuan bahwa orang yang bersangkutan telah
melakukan dengan benar. Dalam upaya ini teguran dan kritik disampaikan
dalam bentuk penjelasan.
d. Menunjukkan kepercayaan terhadap invidu yang bersangkutan.
e. Memberikan pesan positif dengan kata-kata yang menggugah semangat.
f. Menciptakan tantangan bukan untuk menyakiti hati.
g. Berhati-hati dengan tantangan negatif.
h. Menghindari sindiran tajam.
i. Menarik kembali orang-orang yang telah sukses dengan tanggapan yang
yang baik.
41
C. Kerangka Pikir
Kerangka pikir adalah cara kerja yang dilakukan oleh penulis untuk
menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Kerangka pikir dalam penelitian
ini secara garis besar digambarkan pada bagan di bawah ini.
Bagan 2
Kerangka Pikir
Mario Teguh Super
Show
FTA terhadap muka mitra tutur
- Tindakan-tindakan yang
merupakan FTA terhadap
muka negatif mitra tutur
- Tindakan-tindakan yang
merupakan FTA terhadap
muka negatif mitra tutur
Strategi kesantunan yang digunakan Mario Teguh dalam
metuturkan tuturan yang mengandung FTA terhadap muka mitra
tutur.
Tujuan
Mendeskripsikan tuturan Mario Teguh yang mengandung FTA
terhadap muka mitra tutur dan strategi kesantunan
Strategi Kesantunan Brown
dan Levinson
- Bald on Record
- Kesantunan negatif
- Kesantunan positif
- Off record
- Tidak melakukan
FTA
Dialog motivasi antara Mario Teguh
dengan mitra tutur
42
Sumber data dalam penelitian adalah acara MTSS episode Februari-Maret
2016 yang diunduh dari situs video YouTube. Penelitian ini difokuskan pada
dialog motivasi antara Mario Teguh dengan penanya. Dalam dialog tersebut
Mario Teguh menggunakan berbagai macam tuturan untuk memberikan motivasi
kepada penanya. Terdapat tuturan yang mengandung FTA atau tindakan yang
dapat mengancam muka terhadap mitra tutur, baik itu muka positif maupun muka
negatif. Untuk mengurangi daya ancaman dan untuk menjaga muka mitra tutur
maka tuturan tersebut dituturkan dengan mempertimbangkan strategi kesantunan
Brown dan Levinson. Tahapan pertama dalam penelitian ini adalah
mendeskripsikan bentuk-bentuk FTA terhadap mitra tutur baik itu muka positif
maupun muka negatif. Selanjutnya data dideskripsikan berdasarkan strategi
kesantunan yang digunakan dalam tuturan tersebut. Dari situ akan diperoleh
kesimpulan tentang strategi menjaga muka mitra tutur yang dilakukan oleh Mario
Teguh dalam dialog motivasi Mario Teguh Super Show.