bab ii kajian pustaka dan kerangka pikir a. kajian …selain sebagai tindak ujar atau tindak berbal...
TRANSCRIPT
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
Penelitian mengenai prinsip kesantunan dan implikatur sudah banyak
dilakukan. Beberapa kajian terdahulu yang penulis temukan yang sejenis dan
masih relevan dengan penelitian ini dipaparkan sebagai berikut.
Marina Catur Nopita Wati (2012) dalam skripsinya berjudul Pematuhan dan
Pelanggaran Prinsip Kesantunan serta Implikatur Percakapan dalam Talk Show
Apa Kabar Indonesia Malam di TV ONE. Selain pematuhan dan pelanggaran
prinsip kesantunan, implikatur sindiran juga banyak dijumpai dalam skripsi
tersebut. Pematuhan prinsip kesantunan dalam talk show ”Apa Kabar Indonesia
Malam” dideskripikan melalui pematuhan maksim kearifan, maksim
kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan
dan maksim simpati. Pelanggaran prinsip kesantunan dalam talk show “Apa
Kabar Indonesia Malam” meliputi pelanggaran maksim kedermawanan, maksim
pujian, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan dan maksim simpati.
Implikatur percakapan meliputi meminta, menghina, sindiran, ketidakpercayaan,
menyuruh, tidak setuju, kecewa dan keraguan.
Dwi Ariyani, (2010) dalam skripsinya yang berjudul “Pelanggaran Prinsip
Kesantunan dan Implikatur dalam Acara Opera Van Java di Trans TV: Sebuah
Kajian Pragmatik” menghasilkan tiga hal. Pertama, pelanggaran terhadap prinsip
kesantunan ditemukan dalam data yang mendominasi, yang meliputi tujuh
9
maksim. Pelanggaran yang paling banyak terjadi adalah pada maksim pujian.
Kedua, terdapat prinsip ironi dalam acara OVJ. Hanya terdapat sedikit data yang
mengandung penerapan prinsip ironi dalam acara OVJ. Hal tersebut terjadi karena
kemungkinan para pemain akan merasa lebih puas jika mengecam atau menghina
orang lain secara terang-terangan. Ketiga, ditemukan beberapa implikatur
percakapan dalam acara OVJ. Implikatur tersebut terdiri dari sembilan implikatur,
yaitu menghina, memancing amarah, tidak suka, ingin menyiksa, tidak sayang
kepada istri, menyuruh dan merayu.
Reni Wijayanti (2014) dalam skripsinya yang berjudul Pelanggaran Prinsip
Kesantunan dan Implikatur Percakapan dalam Talk Show “Ada-ada Aja” di
Global TV: Suatu Pendekatan Pragmatik, menyimpulkan beberapa hal. Pertama,
terdapat pelanggaran prinsip kesantunan yang meliputi enam maksim, yaitu
maksim kearifan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan
hati, maksim kesepakatan dan maksim simpati yang didominasi oleh pelanggaran
pada maksim kearifan. Kedua, terdapat delapan implikatur dalam data tersebut.
Implikatur tersebut meliputi implikatur meminta, menghina, sindiran,
ketidakpercayaan, menyuruh, ketidaksetujuan, kecewa dan keraguan. Implikatur
menghina yang mendominasi data tersebut.
Dari uraian ketiga penelitian di atas membahas mengenai masalah prinsip
kesantunan dan implikatur yang dilakukan dalam objek kajian penelitiannya.
Ketiga penelitian tersebut digunakan sebagai tinjauan studi terdahulu, karena
dalam penelitian ini penulis membahas prinsip kesantunan dan implikatur
percakapan. Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan dalam membahas
10
pelanggaran prinsip kesantunan dan implikatur percakapan dalam talk show
“Hitam Putih” di Trans 7. Pelanggran prinsip kesantunan dan implikaur
percakapan dalam talk show “Hitam Putih” di Trans 7 belum pernah diteliti
sebelumnya.
B. Landasan Teori
1. Pragmatik
Pragmatik sebagai salah satu cabang linguistik mulai berkumandang
dalam percaturan linguistik Amerika sejak tahun 1970-an. Pragmatik semakin
berkembang dengan banyaknya teori-teori yang dikeluarkan oleh para ahli
linguistik. Istilah pragmatik sudah dikenal sejak masa hidupnya seorang filsuf
terkenal bernama Charles Morris (dalam Rahardi, 2005:45). Charles Morris
(dalam Rahardi, 2005:47) membagi ilmu tanda dan ilmu lambang itu ke dalam
tiga cabang ilmu, yakni (1) Sintaktika (syntactic) “studi relasi formal tanda-
tanda”, (2) semantika (semantics) “studi relasi tanda-tanda dengan objeknya”.
(3) pragmatika (pragmatics) “studi relasi antara tanda-tanda dengan
penafsirannya.”
Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah pragmatik secara berbeda-
beda. Jenny Thomas mendefinisikan pragmatik sebagai makna dalam
interaksi. Menurutnya suatu makna bukanlah yang melekat pada suatu kata,
tetapi merupakan suatu proses dinamis yang melibatkan penutur dan petutur,
konteks tuturan, dan makna potensial dari suatu tuturan (1996:22).
11
Leech (dalam terjemahan Oka, 1993:8) mendefinisikan pragmatik
sebagai studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar
(speech situations). Leech melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam
linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut
semantisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari semantik;
pragmatisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; dan
komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang
yang saling melengkapi. Karya Leech yang paling menonjol di bidang
pragmatik adalah teori prinsip kesantunan (politeness principles).
George Yule (1996:4), menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu:
a. studi tentang maksud penutur,
b. studi tentang makna kontekstual,
c. studi tentang bagaimana agar banyak yang disampaikan daripada yang
dituturkan, dan
d. studi tentang ungkapan dari jarak hubungan.
Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa
secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam
komunikasi. Jadi, makna yang dikaji pragmatik adalah makna yang terikat
konteks (context dependent) atau dengan kata lain mengkaji maksud penutur.
Pragmatik dapat dimanfaatkan oleh setiap penutur untuk memahami maksud
lawan tutur. Penutur dan lawan tutur dapat memanfaatkan pengalaman
bersama (background knowledge) untuk memudahkan pengertian bersama
(Wijana, 1996:1-2).
12
Menurut Asim Gunarwan (1994:83-84), pragmatik adalah cabang
linguistik yang mempelajari maksud ujaran, bukan makna atau daya (force)
ujaran. Pragmatik juga mempelajari fungsi ujaran, yakni untuk apa suatu
ujaran ini dibuat atau diujarkan.
Pragmatik semakin berkembang dengan banyaknya teori yang
dikeluarkan oleh para ahli bahasa. Tahun 1965, seorang ahli bahasa yang
bernama J.L Austin menelusuri hakikat tindak tutur. Melalui karyanya yang
berjudul How To Do Things With Words, Austin mengungkapkan terminologi-
terminologi dalam tindak tutur. Austin, (1965:9) “the actions may be
performed in ways other than by a performative utterance, and in any case the
circumstances, including other actions, must be appropriate” suatu tindakan
dapat dilakukan dengan cara lain tidak hanya dengan tuturan performatif, dan
dalam situasi apapun, termasuk tindakan lainnya juga harus tepat.
Searle, salah satu murid Austin, meneruskan pemikiran-pemikiran
Austin tentang tindak tutur. Searle (1969:16) menyatakan “the form that this
such as making question, making promise and so on and more abstractly”
bentuk hipotesis ini akan berbicara mengenai bahasa sebagai tindak tutur,
tindakan seperti membuat pertanyaan, member perintah, mengajukan
pertanyaan, membuat janji dan sebagainya. Selanjutnya Searle (1969:23)
mengemukakan bahwa secara pragmatis ada tiga jenis tindakan yang dapat
diwujudkan oleh penutur, yakni tindak ilokusi, tindak ilokusi dan tindak
perlokusi.
13
2. Situasi Tutur
Dalam kajian pragmatik, situasi tutur yang terdapat dalam satu tuturan
amat diperhitungkan. Maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat
diidentifikasikan melalui situasi tutur yang mendukungnya. Leech (edisi
terjemahan oleh Oka, 1993:19) menjelaskan bahwa pragmatik mengkaji
makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situation).
Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan, pernyataan ini sejalan
dengan pandangan bahwa tuturan merupakan akibat, sedangkan situasi tutur
merupakan sebabnya (Rustono, 1999:26)
Leech (edisi terjemahan oleh Oka, 1993:19-21) menjelaskan mengenai
aspek-aspek situasi ujar untuk mengetahui apakah suatu percakapan tersebut
merupakan fenomena atau sistematis. Aspek situasi ujar tersebut adalah
sebagai berikut.
a. Yang menyapa (penyapa) atau yang disapa (pesapa)
Orang yang menyapa akan diberi simbol n „penutur‟ orang yang
disapa dengan simbol t „petutur‟. Simbol-simbol ini merupakan singkatan
untuk „penutur/penulis‟dan „petutur/pembaca‟. Jadi penggunaan penutur
dan petutur tidak membatasi pragmatik pada bahasa lisan saja. Istilah-
istilah „penerima‟ (orang yang menerima atau menafsirkan pesan) dan
„yang disapa‟ (orang yang seharusnya menerima dan menjadi sasaran
pesan) juga perlu dibedakan. Si penerima bisa saja seorang yang kebetulan
lewat dan pendengar pesan, dan bukan orang yang disapa.
14
b. Konteks sebuah tuturan
Konteks diartikan sebagai aspek-aspek yang gayut dengan
lingkungan fisik dan sosial sebagai tuturan. Leech (edisi terjemahan oleh
Oka, 1993:20) mengartikan konteks sebagai suatu pengetahuan latar
belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan membantu petutur
menafsirkan makna tuturan.
c. Tujuan sebuah tuturan
Tujuan sebuah tuturan adalah tujuan atau fungsi daripada makna
yang dimaksud atau maksud penutur mengucapkan sesuatu. Istilah tujuan
dianggap lebih netral daripada maksud, karena tidak membebani
pemakainya dengan suatu kemauan atau motivasi yang sadar, sehingga
dapat digunakan secara umum untuk kegiatan-kegiatan yang berorientasi
tujuan.
d. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan tindak ujar
Pragmatik berurusan dengan tindak-tindak atau performasi-
performasi verbal yang terjadi dalam situasi dan waktu tertentu. Dengan
demikian pragmatik menangani bahasa pada tingkatan yang lebih konkret
daripada tata bahasa.
e. Tuturan sebagai produk tindakan verbal
Selain sebagai tindak ujar atau tindak berbal itu sendiri, dalam
pragmatik kata „tuturan‟ dapat digunakan dalam arti yang lain, yaitu
sebagai produk suatu tindak verbal (sentence-instance) atau tanda kalimat
(sentence-token), tetapi bukanlah sebuah kalimat. Dalam artian yang kedua
15
ini tuturan-tuturan merupakan unsur-unsur yang maknanya dikaji dalam
pragmatik, sehingga dengan tepat pragmatik dapat digambarkan sebagai
suatu ilmu yang mengkaji makna tuturan.
3. Tindak Tutur
Istilah dan teori mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh
J.L. Austin, seorang guru besar di Universitas Harvard, pada tahun 1956.
Teori yang berasal dari materi kuliah ini kemudian dibukukan olah J.O.
Urmson (1965) dengan judul How to do Things with Word?. Teori tersebut
baru menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah Searle menerbitkan buku
berjudul Speech Act and Essay in The Philoshopy of Language (Wijana,
1996:50).
Menurut Rustono (1999: 31) tindak tutur (speech act) merupakan
entisitas yang bersifat sentral itulah, tindak tutur bersifat pokok di dalam
pragmatik. Mengujarkan sebuah tuturan tertentu bisa dipandang sebagai
melakukan tindakan (mempengaruhi, menyuruh) disamping memang
mengucapkan atau mengujarkan tuturan itu.
Yule (dalam terjemahan Indah Fajar Wahyuni dan Rombe Mustajab,
2006: 82) memberikan definisi mengenai tindak tutur sebagai tindakan-
tindakan yang ditampilkan lewat tuturan. Tindak tutur digunakan untuk
mengungkapkan maksud komunikatif penutur dalam menghasilkan tuturan
kepada mitra tutur. Maksud komunikatif penutur akan dimengerti oleh mitra
tutur bila ada keadaan situasi lingkungan sekitarnya atau konteks.
16
Tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan
keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam
menghadapi situasi tertentu (Wijana, 1996:50).
a. Performatif dan Konstatif
Tuturan performatif (performative utterance); tuturan yang
memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan pembicara dan
bahwa dengan mengungkapkannya berarti perbuatan telah diselesaikan
pada saat itu juga misalnya: dalam ujaran Saya mengucapkan terima kasih,
pembicara mengujarkannya dan sekaligus menyelesaikan perbuatan
“mengucapkan” (Kridalaksana, 1993:43). Secara ringkas dikatakan pula
bahwa tuturan performatif adalah tuturan untuk melakukan sesuatu
(perform the action).
b. Tindak Lokusi, Ilokusi dan Perlokusi
Austin (dalam Leech, 1993: 316) dan Searle (dalam Wijana, 1996:17)
mengemukakan bahwa secara pragmatis setidaknya ada tiga jenis tindakan
yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi
(melakukan tindakan mengatakan sesuatu), tindak ilokusi (melakukan
tindakan dalam mengatakan sesuatu), dan tindak perlokusi (melakukan
tindakan dengan mengatakan sesuatu).
c. Tindak Lokusi (locutionary act)
Tindak lokusi merupakan tindak tutur yang dimaksudkan untuk
menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk
kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Tindak tutur ini disebut
17
sebagai The Act of Saying Something. Searle (1969) menyebut tindak tutur
lokusi ini dengan istilah tindak bahasa preposisi (prepositional act) karena
tindak tutur ini hanya berkaitan dengan makna.
d. Tindak Ilokusi (illocutionary act)
Tindak ilokusi merupakan tindak melakukan sesuatu (the act of to do
something). Berbeda dari lokusi, tindak ilokusi merupakan tindak tutur
yang mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan.
e. Tindak Perlokusi (perlocutionary act)
Sebuah tuturan yang diucapkan seseorang sering memiliki efek atau daya
pengaruh (perlocutionary force). Efek yang dihasilkan dengan
mengujarkan sesuatu itulah yang oleh Austin dinamakan tindak perlokusi.
Efek atau daya tuturan itu dapat ditimbulkan oleh penutur secara sengaja,
dapat pula secara tidak sengaja. Tindak tutur yang pengujarannya
dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur inilah yang merupakan
tindak perlokusi.
Sebagai pencetus teori tindak tutur, Austin (1965: 150-163) kemudian
membagi lagi tindak tutur ilokusi menjadi lima kategori, yaitu:
1) Verdiktif (verdictives utterance)
Tindak tutur verdiktif dilambangkan dengan memberi keputusan, misalnya
keputusan hakim. Juri, dan penengah atau wasit, perkiraan, dan penilaian.
Verba tindak tutur verdiktif antara lain: menilai, menandai,
memperhitungkan, menempatkan, menguraikan,dan menganalisis.
18
2) Eksersitif (exercitives utterance)
Tindak tutur eksersitif merupakan tindak tutur yang menyatakan
perjanjian, nasihat peringatan dan sebagainya. Verba yang menandai
antara lain: mewariskan, membujuk, menyatakan, membatalkan perintah
(lampau, memperingatkan dan menurunkan pangkat.
3) Komisif (commissives utterance)
Tindak tutur komisif dilambangkan dengan harapan atau dengan kata lain
perjanjian, menjanjikan untuk melakukan sesuatu, tetapi juga termasuk
pengumuman atau pemberitahuan, yang bukan janji. Verba yang menandai
antara lain: berjanji, mengambil alih atau tanggung jawab, mengajukan,
menjamin, bersumpah, dan menyetujui.
4) Behabitif (behabitives utterance)
Tindak tutur behabitif meliputi reaksi-reaksi terhadap kebiasaan dan
keberuntungan orang lain dan merupakan sikap serta ekspresi seseorang
terhadap kebiasaan orang lain, misalnya: meminta maaf, berterima kasih,
bersimpati, menantang, mengucapkan salam dan mengucapkan selamat.
5) Ekspositif (expositives utterance)
Tindak tutur ekspositif tindak tutur yang member penjelasan keterangan,
atau perincian kepada seseorang, misalnya: menyangkal, menguraikan,
menyebutkan, menginformasikan, mengabarkan, dan bersaksi.
19
Sehubungan dengan pengertian tindak tutur atau tindak ujar, maka
tindak tutur dikategorikan oleh Searle menjadi lima jenis (1969: 147-149),
yaitu:
a) Asertif (Assertives)
Tindak tutur asertif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada
kebenaran proposisi atas hal yang dikatakannya. Tuturan-tuturan yang
termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya, tindak tutur
menyatakan, melaporkan, memprediksi, menunjukkan, dan menyebutkan.
b) Direktif (Directives)
Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dilakukan oleh penuturnya
dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan di
dalam tuturan itu atau berharap lawan tutur melakukan sesuatu. Tuturan-
tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya, tindak
tutur menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, memerintah,
meminta, dan menantang.
c) Komisif (Commisives)
Tindak tutur komisif adalah tindak tutur untuk mengikat penuturnya pada
suatu tindakan yang dilakukannya pada masa mendatang dan
melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam tuturan. Tuturan-tuturan
yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya, tindak tutur
berjanji, bersumpah, berkaul, menawarkan, menyatakan kesanggupan,
dan mengancam.
20
d) Ekspresif (Expressives)
Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dilakukan dengan maksud
agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan
dalam tuturan untuk mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap
suatu keadaan. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur
ini misalnya, tindak tutur memuji, mengucapkan terima kasih, meminta
maaf, mengucapkan selamat, mengkritik, dan mengeluh.
e) Deklarasi (Declarations)
Tindak tutur deklarasi adalah tindak tutur yang dilakukan penutur dengan
maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang
baru. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini
misalnya, tindak tutur memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan,
dan mengangkat.
Fraser (dalam Nadar, 2009:16-17) juga membagi tindak tutur menjadi
tujuh macam, yaitu:
1) Tindakan Asertif (act of asserting)
Tindakan asertif ini ditandai dengan verba menuduh (accuse),
menegaskan (affirm), menyetujui (agree), melaporkan (report),
mengatakan (say) dan sebagainya.
2) Tindakan Evaluasi (act of evaluating)
Tindakan evaluasi ini ditandai dengan verba mendesak (insist),
memuji (cite), membuat hipotesa (hypothesize), dan sebagainya.
21
3) Tindakan refleksi perilaku pembicara (act of reflecting attitude)
Tindakan refleksi perilaku pembicara ini ditandai dengan verba minta
maaf (apologize), mengeluh (complain), mengucapkan selamat
(congratulate), mengucapkan terima kasih (thank) dan sebagainya.
4) Tindakan penetapan(act of stipulating)
Tindakan penetapan ditandai dengan verba memanggil (call),
kelompok (class), mendefinisikan (define), mengidentifikasi (identify),
dan sebagainya.
5) Tindakan permohonan (acts of requesting)
Tindakan permohonan ini ditandai dengan verba meminta (ask),
meminta dengan sangat (beg), memberi perintah (command), menuntut
(demand), dan sebagainya.
6) Tindakan menyarankan (acts of suggesting)
Tindakan menyarankan ini ditandai dengan verba mendesak (exhort),
mengusulkan (propose), melarang (forbid), menyapa (greet), dan
sebagainya.
7) Tindakan dari penggunaan kekuasaan (acts of exercising authority)
Tindakan dari penggunaan kekuasaan ini ditandai dengan verba
membatalkan (cancel), melarang (forbid), menyapa (greet), dan
sebagainya.
22
Bentuk-bentuk tindak tutur menurut Kreidler (1998: 183-194), yaitu:
1. Asertif
Kreidler (1998: 183) menyatakan bahwa pada tindak tutur asertif, para
penutur dan penulis memakai bahasa untuk menyatakan bahwa mereka
mengetahui atau mempercayai sesuatu. Bahasa asertif berkaitan dengan
fakta. Tujuannya adalah member informasi. Tindak tutur ini berkaitan
dengan pengetahuan, data, apa yang ada atau diadakan, atau telah
terjadi atau tidak terjadi. Dengan demikian, tindak tutur asertif bisa
benar dan bisa salah dab biasanya dapat diverifikasikan atau disalahkan.
Tindak tutur asertif dibagi menjadi dua, yaitu tindak tutur asertif
langsung dan tidak langsung. Tindak tutur asertif langsung diawali
dengan kata saya atau kami diikuti dengan verba asertif. Sedangkan
tindak tutur asertif tidak langsung juga diikuti dengan verba asertif yang
merupakan tuturan yang dituturkan kembali oleh penutur. Yang
termasuk verba asertif antara lain mengatakan, mengumumkan,
menjelaskan, menunjukkan, menyebutkan, melaporkan, dan
sebagainya.
2. Performatif
Tindak tutur performatif merupakan tindak tutur yang menyebabkan
resminya apa yang dinamakan. Tuturan performatif menjadi sah jika
dinyatakan oleh seorang yang berwenang dan dapat diterima. Verba
performatif antara lain bertaruh, mendeklarasikan, membabtis,
23
menamakan, menominasikan, menjatuhkan hukuman, menyatakan,
mengumumkan.
Biasanya ada pembatasan-pembatasan terhadap tindak tutur
performatif, yaitu antara lain:
(1) Subjek kalimat harus saya atau kami
(2) Verbanya harus dalam bentuk kala kini (dalam bahasa inggris
menggunakan V-ing). Dalam bahasa Indonesia menggunakan
keterangan waktu yang terjadi sekarang.
(3) Yang paling penting adalah penutur harus diketahui memiliki
otoritas untuk membuat pernyataan dan situasinya harus cocok.
Tindak tutur performatif terjadi pada situasi formal dan berkaitan
dengan kegiatan-kegiatan resmi.
3. Verdiktif
Tindak tutur verdiktif merupakan tindak tutur dimana penutur membuat
penilaian atas tindakan orang lain, biasanya mitra tindak tutur.
Penilaian-penilaian ini termasuk merangking, menilai, memuji, dan
memaafkan. Adapun yang termasuk verba verdiktif adalah menuduh,
bertanggung jawab, dan berterimakasih. Verba ini berada pada
kerangka „saya… Anda atas…‟ karena tindak tutur ini menampilkan
penampilan penilaian penutur atas perbuatan penutur sebelumnya, maka
tindak tutur ini bersifat retrospektif.
24
4. Ekspresif
Tindak tutur performatif merupakan tindak tutur pertuturan bermula
dari kegiatan sebelumnya atau kegagalan penutur, atau mungkin akibat
yang ditimbulkan atau kegagalannya. Maka dari itu tindak tutur
ekspresif bersifat retrospektif dan melibatkan penutur. Verba-verba
tindak tutur ekspresif antara lain mengakui, bersimpati, memaafkan,
dan sebagainya.
5. Direktif
Tindak tutur direktif merupakan tindak tutur dimana penutur berusaha
meminta mitra tutur untuk melakukan perbuatan atau tindak melakukan
perbuatan. Jadi, tindak tutur direktif menggunakan pronominal you
sebagai pelaku, baik hadir secara eksplisit maupun tidak.
Tindak tutur direktif mempreposisikan suatu kondisi tertentu kepada
mitra tutur sesuai dengan konteks. Misalnya, tuturan lift this 500 pound
weight tidak masuk akal jika disampaikan kepada seseorang yang tidak
mampu mengangkat beban tersebut. Ada tiga macam tindak tutur
direktif yaitu perintah, permintaan dan anjuran.
6. Komisif
Tindak tutur komisif merupakan tindak tutur yang menyebabkan
penutur melakukan serangkaian kegiatan. Verba tindak tutur komisif
antara lain menyetujui, bertanya, menawarkan, menolak, berjanji,
bersumpah, dan sebagainya.
25
Verba-verba tersebut bersifat prospektif dan berkaitan dengan
komitmen penutur trhadap perbuatan dimasa akan datang. Predikat
komisif adalah predikat yang dapat digunakan untuk menjalankan
seseorang (atau menolak menjalankan seseorang) terhadap perbuatan
masa akan datang. Subjek kalimat sebagian besar adalah saya dan kami.
Lebih lanjut verbanya harus dalam bentuk kata kini dan ada mitra tutur.
7. Fatis
Tindak tutur fatis bertujuan untuk menciptakan hubungan antara
penutur dan mitra tutur. Tindak tutur fatis memiliki fungsi yang kurang
jelas jika dibandingkan dengan enam jenis tindak tutur sebelumnya,
namun bukan berarti bahwa tindak tutur fatis ini tidak penting. Tuturan-
tuturan fatis termasuk ucapan salam, ucapan salam berpisah, cara-cara
yang sopan seperti thank you, you are welcome, excuse me yang tidak
berfungsi verdiktif atau ekspresif.
4. Tindak Tutur Langsung dan Tidak Langsung
Menurut Yule (1996: 54-55), tindak tutur langsung dapat dibedakan dari
tindak tutur tidak langsung melalui kalimat. Secara umum kalimat dibedakan
menjadi tiga macam berdasarkan modusnya, yaitu kalimat berita, kalimat
tanya, dan kalimat perintah. Ketiga macam tersebut secara konvensional
difungsikan masing-masing untuk memberitahukan sesuatu, menanyakan
sesuatu, dan memerintah. Pemakaian ketiganya secara konvensional akan
menandai kelangsungan suatu tindak tutur. Dengan demikian, kesesuaian
26
antara modus kalimat dan fungsinya secara konvensional itu merupakan
tindak langsung atau direct speech act. Sebaliknya, ketidaksesuaian antara
modus kalimat dengan fungsinya menandai adanya tindak tutur tidak langsung
atau indirect speech act.
Wijana (1996:30) menyatakan bahwa Secara formal berdasarkan
modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat
tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif). Secara konvensional
kalimat berita digunakan untuk memberitahukan sesuatu (informasi); kalimat
tanya untuk menanyakan sesuatu; dan kalimat perintah untuk menyatakan
perintah, ajakan, permintaan, atau permohonan. Apabila kalimat berita
difungsikan secara konvensional untuk mengatakan sesuatu, kalimat tanya
untuk bertanya, dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, memohon,
dan sebagainya, maka akan terbentuk tindak tutur langsung (direct speech),
seperti dalam contoh berikut ini:
Sidin memiliki lima ekor kucing.
Di manakah letak pulau Bali?
Ambilkan baju saya! (Wijana, 1996:30).
Di samping itu, untuk berbicara secara sopan, perintah dapat diutarakan
dengan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak
merasa dirinya diperintah. Bila hal ini yang terjadi, maka terbentuklah tindak
tutur tidak langsung (indirect speech act). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
kalimat di bawah ini:
27
Di mana sapunya?
Kalimat di atas bila diutarakan oleh seorang ibu kepada seorang anak,
tidak semerta-merta berfungsi untuk menanyakan di mana letak sapu itu, tetapi
juga secara tidak langsung memerintah sang anak untuk mengambil sapu itu
(Wijana, 1996:30-31).
5. Tindak Tutur Literal dan Tidak Literal
Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang
maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Sedangkan
tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang
maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan kata-kata yang
menyusunnya.
(+) Penyanyi itu suaranya bagus.
(─) Suaramu bagus (tapi kamu tidak usah menyanyi).
Tuturan (+) jika diutarakan dengan maksud untuk memuji atau
mengagumi suara penyanyi yang dibicarakan, maka kalimat itu merupakan
tindak tutur literal. Tuturan (-) merupakan tindak tutur tidak literal, penutur
bermaksud mengatakan bahwa suara lawan tuturnya jelek, yaitu dengan
mengatakan “tak usah nyanyi saja” (Wijana, 1996:32).
Bila tindak tutur langsung disinggungkan (diinterseksikan) dengan
tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, maka akan terdapat tindak
tutur-tindak tutur sebagai berikut (Wijana, 1996:33-35):
28
a) Tindak tutur langsung literal
Tindak tutur literal (direct literal speech act) ialah tindak tutur yang
diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan
maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan
kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, dan
menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya.
b) Tindak tutur tidak langsung literal
Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) adalah
tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak
sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang
menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh penutur.
c) Tindak tutur langsung tidak literal
Tindak tutur langsung tidak literal (direct nonliteral speech act)
adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang
sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya
tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya.
d) Tindak tutur tidak langsung tidak literal
Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect nonliteral speech
act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang
tidak sesuai dengan maksud yang ingin diutarakan.
29
6. Prinsip Kesantunan
Kesopanan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasan yang
penting karena di dalam komunikasi, penutur dan mitra tutur tidak hanya di
tuntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk
menjaga keharmonisan hubungan. Keharmonisan hubungan penutur dan mitra
tutur bisa tetap terjaga apabila masing-masing peserta tutur senantiasa
bersikap sopan dan menghormati satu sama lain oleh sebab itu dalam
pertukaran pertuturan, peserta tutur tidak hanya menghormati prinsip-prinsip
kerja sama sebagaimana di kemukakan oleh Grice tetapi juga mengindahkan
prinsip-prinsip kesopanan.
Prinsip kesantunan (politeness principle) adalah prinsip percakapan yang
mewajibkan setiap penutur berlaku santun dalam komunikasi dengan orang
lain. Prinsip ini bermula dari strategi komunikasi yang sengaja melanggar
prinsip kerja sama Grice (1975). Dalam prinsip kerja sama, Grice
mengajarkan penutur untuk berbicara yang benar. Pernyataan tersebut berbeda
dengan prinsip kesantunan Leech yang tujuannya adalah berbicara secara baik.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip kesantunan Leech sengaja
melanggar prinsip kerja sama Grice. Dalam prinsip kesantunan Leech,
berbicara secara baik dikaitkan dengan strategi biaya-maslahat (cost-benefit
strategies), yaitu kerugian lebih dibebankan kepada penutur dan keuntungan
diberikan kepada mitra tutur (Jumanto dalam Purnanto, Saddhono dan
Prayitno, 2009:88).
30
Di samping itu, ada alasan lain mengapa para peserta komunikasi tidak
mematuhi prinsip kerja sama Grice, yaitu karena di dalam komunikasi para
peserta pertuturan tidak hanya selalu menyampaikan pesan atau informasi saja
melainkan juga untuk menjaga dan memelihara hubungan sosial diantara
peserta tuturan (Gunarwan dalam Purwo, 1992:84).
Berbeda dengan prinsip kerja sama yang hanya di cetuskan oleh Grice
(1975), konsep kesantunan dikemukakan oleh banyak ahli , antara lain Lakoff
(1972), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978) dan Leech (1983). Lakoff
berpendapat bahwa ada tiga kaidah yang harus ditaati agar tuturan itu santun,
yaitu formalitas, ketidaktegasan dan persamaan atau kesekawanan. Kaidah
formalitas maksudnya jangan memaksa atau jangan angkuh. Kaidah
ketidaktegasan maksudnya buatlah sedemikian rupa sehingga mitra tutur dapat
menentukan pilihan. Kaidah persamaan atau kesekawanan maksudnya penutur
hendaklah membuat mitra tutur merasa senang (Gunarwan, 1994:87-88).
Berbeda dengan Lakoff yang mendasarkan konsep kesantunannya atas
dasar kaidah, Fraser lebih mendasarkan konsep kesantunannya atas dasar
strategi. Akan tetapi, Fraser tidak merinci bentuk dan strategi kesantunannya.
Meskipun demikian, dia membedakan kesantunan dari penghormatan.
Menurutnya, kesantunan adalah properti yang diasosiakan dengan ujaran, dan
menurut pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak
mengingkari memenuhi kewajibannya. Diantara hak-hak penutur di dalam
sebuah percakapan dan interaksi adalah hak untuk bertanya. Sementara itu, di
antara kewajiban-kewajiban pendengar atau lawan bicara adalah kewajiban
31
menjawab. Di samping itu, terdapat hak dan kewajiban penutur-pendengar
yaitu menyangkut apa yang boleh di ujarkan serta cara bagaimana
mengujarkannya. Dari sini dapat diketahui bahwa pembedaan kesatuan dari
pernghormatan seperti yang di buat oleh Fraser sebenarnya terlalu dicari-cari,
karena kewajiban seorang penyerta percakapan dapat saja mencangkup juga
kewajiban untuk menunjukkan penghormatan (Gunarwan, 1994:88-89).
Di lain pihak, Brown dan Levinson merumuskan prinsip kesantunannya
berkisar atas nosi muka, yaitu muka positif dan muka negatif (Gunarwan,
1994:90). Muka positif adalah muka yang mengacu kepada citra diri orang
yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau
apa yang merupakan nilai-nilai yang diyakininya, diakui orang sebagai suatu
hal yang baik, menyenangkan, patut dihargai, dan seterusnya. Sementara itu,
muka negatif adalah muka yang mengacu kepada citra diri setiap orang (yang
rasional) yang berkeinginan agar dia dapat dihargai dengan jalan
membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas
dari keharusan mengerjakan sesuatu.
Menurut Brown dan Levinson, sebuah tindak tutur dapat mengancam
muka mitra tuturnya. Tindak tutur tersebut disebut sebagai face-threatening
act (FTA). Untuk mengurangi ancaman terhadap muka mitra, muka penutur
hendaknya menggunakan prinsip kesantunan. Karena ada dua sisi muka yang
terancam yaitu muka negatif dan muka positif, maka kesantunan pun dibagi
dua, yaitu kesantunan negatif (untuk menjaga negatif) dan kesantunan positif
(untuk menjaga muka positif). Berkenan dengan hal ini, Brown dan Levinson
32
mengusulkan tesis dasar yaitu bahwa penutur “menghitung” derajat
keterancaman sebuah tindak tutur (yang akan dituturkan) dengan
mempertimbangkan factor-faktor seperti (1) jarak sosial di antara penutur dan
mitra tutur, (2) besarnya perbedaan kekuasaan diantara keduanya, dan (3)
status relatif jenis tindak tutur didalam kebudayaan yang bersangkutan.
Berdasarkan pada perkiraan itulah si penutur memilih strategi (Gunarwan,
1994:90-91). Adapun bentuk strategi itu, antara lain:
a. Melakukan tindak tutur secara apa adanya, tanpa basa-basi, dengan
mematuhi prinsip kerja sama Grice.
b. Melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan positif.
c. Melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan negatif.
d. Melakukan tindak tutur secara off record (berkata dengan tuturan
tidak langsung)
e. Tidak melakukan tindak tutur atau diam saja (Gunarwan, 1994:186).
Berbeda dengan Brown dan Levinson yang mendasarkan kesantunannya
pada nosi muka, Geoffrey Leech mendasarkan konsep kesantunannya pada empat
nosi, yaitu (1) biaya (cost) dan keuntungan (beneflt), (2) kesetujuan (agreement),
(3) pujian (approbation), dan simpati/antipasti (Gunarwan, 1994:91). Disamping
itu, Leech juga mengemukakan bahwa prinsip kesantunan itu berhubungan
dengan dua pihak, yaitu diri dan lain. Diri adalah penutur, dan lain adalah mitra
tutur atau juga dapat menunjuk kepada pihak ketiga, baik yang hadir maupun
yang tidak hadir dalam situasi tutur (dalam terjemahan Oka, 1993:206).
33
Prinsip kesopanan harus menjaga keseimbangan sosial dan keramahan
hubungan, karena hanya dengan hubungan-hubungan sosial dan keramahan
hubungan, karena hanya dengan hubungan-hubungan yang demikian dapat di
harapkan peserta yang lain akan bekerja sama. Di dalam bukunya Principles of
Pragmatics, Leech (dalam terjemahan Oka, 1993:206-207) merumuskan prinsip
kesantunan ke dalam enam maksim, yaitu sebagai berikut.
Dalam prinsip kesopanan Leech, terdapat enam maksim kesopanan seperti
yang dapat dijelaskan di bawah ini:
1) Maksim Kearifan (Tact Maxim)
Maksim kearifan mengatur ilokusi – ilokusi direktif dan komisisf. Isi
proposisional ilokusi – ilokusi ini mengacu pada tindakan yang akan
dilaksanakan oleh penutur (komisif) dan oleh mitra tutur (direktif). Maksim
kearifan menasihatkan peserta tutur untuk (a) membuat kerugian orang lain
sekecil mungkin, dan (b) membuat keuntungan orang lain sebesar mungkin
(Leech edisi terjemahan oleh Oka, 1993:206). Contoh pelaksanaan maksim
kearifan:
A : Silahkan makan saja dulu, Nak! Kami semuasudah makan tadi.
B : Wah, saja jadi tidak enak, Bu.
(Sumber: Rahardi, 2005:60)
Di dalam tuturan di atas tampak sangat jelas bahwa apa yang di
tuturkan A sungguh memaksimalkan keuntungan dan
meminimalkan karugian bagi B. Tuturan A pada contoh tersebut
34
memenuhi prinsip kesopanan karena memenuhi nasihat maksim
kearifan.
2) Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)
Maksim kedermawanan dituturkan dengan ilokusi-ilokusi direktif
dan komisif. Maksim kedermawanan menasihatkan peserta tutur
untuk saling menghormati dengan (a) membuat keuntungan diri
snediri sekecil mungkin, dan (b) membuat kerugian diri sendiri
sebesar mungkin (Leech edisi terjemahan oleh Oka, 1993:206)
A : Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak
kok yang kotor.
B : Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga.
(Sumber: Rahardi, 2005:61)
Dari tuturan yang disampaikan oleh A dapat diketahui dengan jelas
bahwa A berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain (B)
dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu
dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan
pakaian kotor B. Tuturan A pada contoh tersebut memenuhi nasihat
maksim kedermawanan.
3) Maksim Pujian (Approbation Maxim)
Maksim Pujian diungkapkan dalam ilokusi – ilokusi ekspredif dan
asertif. Maksim pujian menasihatkan peserta tutur untuk (a)
mengencam orang lain sedikit mungkin, dan (b) memuji orang lain
35
sebanyak mungkin (Leech edisi terjemahan oleh Oka, 1993:207).
Contoh pelaksanaan maksim pujian :
A : Selamat dating di gubuk saya.
B : Terimakasih, baru kali ini saya mengunjungi rumah seindah
ini.
Tuturan B pada contoh di atas memenuhi maksim pujian karena
penutur meminimalkan kecaman dan memaksimalkan pujian
terhadap pihak lain (A)
4) Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)
Maksim kerendahan hati juga diungkapkan dalam ilokusi-ilokusi
ekspresif dan asertif. Maksim kerendahan hati menasihatkan
peserta tutur untuk (a) memuji diri sendiri sedikit mungkin, dan (b)
mengencam diri sendiri sebanyak mungkin (Leech edisi terjemahan
oleh Oka, 1993:207). Contoh pelaksanaan maksim kerendahan hati:
A : Mobilmu bagus sekali, pasti harganya mahal.
B : Ah, tidak juga, ini hanya mobil biasa.
Tuturan di atas memenuhi maksim kerendahan hati karena B telah
memaksimlakan kecaman terhadap dirinya sendiri dan juga
meminimalkan pujian untuk dirinya.
5) Maksim Kesepakatan
Maksim kesepakatan dituturkan dalam ilokusi-ilokusi asertif.
Maksim kesepakatan menasihatkan peserta tutur untuk (a)
mengusahakan agar ketidak sepakatan antara diri dan orang lain
36
terjadi sesedikit mungkin, dan (b) mengusahakan agar kesepakatan
antara diri dan orang lain terjadi sebanyak mungkin (Leech edisi
terjemahan oleh Oka, 1993:207). Contoh pelaksanaan maksim
kesepakatan:
1. A : Bagaimana kalau sehabis kuliah kita mendiskusikan tugas
pragmatik?
B : Baiklah.
2. A : Bagaimana kalau sehabis kuliah kita mendiskusikan tugas
pragmatik?
B : Saya sangat setuju
(Sumber: Rahardi, 2005:69)
Tuturan (1) B dan (2) B merupakan tuturan yang meminimalkan
ketidaksepakatan dan memaksimalkan kesepakatan antara diri
sendiri sebagai penutur dengan pihak lain sebagai mitra tutur.
Karena itu derajat kesopanannya lebih tinggi tuturan (2) B daripada
tuturan (1) B.
6) Maksim Simpati (Sympathy Maxim)
Maksim simpati juga dituturkan dalam ilokusi asertif. Maksim
simpati menasihatkan peserta tutur untuk (a) mengurangi rasa
antipati antara diri dengan orang lain hingga sekecil mungkin, dan
(b) meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri
dengan orang lain (Leech edisi terjemahan oleh Oka, 1993:207).
Contoh pelaksanaan maksim simpati:
37
1. A : Paman saya sedang sakit.
B : Itu bukan urusan saya.
2. A : Paman saya sedang sakit.
B : Semoga pamanmu cepat sembuh.
(Diadaptasi dari Rustono, 1999:71)
Tuturan (1) memiliki bagian yang melanggar prinsip kesopanan. B
melakukan pelanggaran terhadap prinsip kesopanan yaitu maksim
simpati. B tidak bersimpati dengan apa yang tengah terjadi pada A.
sebaliknya tuturan (2) dirasa mematuhi prinsip kesopanan, sebab
tuturan B mengurangi rasa antipati antara diri dan meningkatkan
rasa simpati sebanyak-banyaknya kepada A.
7. Skala Kesantunan Leech
Pematuhan dan pelanggaran kesantunan akhirnya akan menyangkut
derajat atau tingkat kesantunan sebuah tuturan. Leech (edisi terjemahan oleh
Oka, 1993: 194-200) memberikan lima skala kesantunan yang digunakan
sebagai tolok ukur menentukan tingkat suatu tuturan.
a. Skala Untung Rugi (Cost-Benefit Scale)
Leech (edisi terjemahan oleh Oka, 1993: 194) menjelaskan pada
skala ini diperkirakan keuntungan atau kerugian tindakan mitra tutur bagi
penutur atau bagi mitra tutur. Skala untung-rugi terdiri dari dua skala yang
berbeda, yaitu untung-rugi bagi penutur dan untung rugi bagi mitra tutur.
Pada umumnya keragaman dua skala ini saling bergantung, tetapi mungkin
38
juga keberagaman skala yang satu terjadi terlepas dari keragaman skala
yang lain (Leech, 1993: 195).
b. Skala Kemanasukaan (Optionally Scale)
Skala ini mengurut ilokusi-ilokusi menurut jumlah pilihan yang
diberikan oleh penutur kepada mitra tuur (Leech edisi terjemahan oleh
Oka, 1993: 193). Optianitaly scale atau skala pilihan, menunujuk pada
banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur
kepada mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu
memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak
dan leluasa, akan dianggap makin sopanlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila
pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si
penutur dan mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak sopan
(Rahardi, 2005:57)
c. Skala Ketaklangsungan (Indirectness Scale)
Leech (edisi terjemahan oleh Oka, 1993: 195) menjelaskan skala
ketaklangsungan dari sudut pandang penutur, skala ini mengurut ilokusi-
ilokusi menurut panjang jalan yang menghubungkan tindak ilokusi dengan
tujuan ilokusi, sesuai dengan analisis cara tujuan. Skala ketaklangsungan
juga dapat dirumuskan dari sudut pandang mitra tutur, yaitu sesuai
panjangnya jalan yang dibutuhkan oleh makna untuk mencapai ke daya.
Oleh karena itu, ada dua skala ketaklangsungan, satu untuk penutur dan
satu untuk mitra tutur.
d. Skala Otoritas (Authority Scale)
39
Leech (edisi terjemahan oleh Oka, 1993: 199) menjelaskan skala
otoritas digambarkan dengan sumbu vertikal yang mengukur jarak sosial
menurut „kekuasaan‟ atau otoritas yang dimiliki seseorang pemeran serta
atas pemeran serta yang lain. Ukuran ini adalah ukuran yang asimetris,
artinya seseorang yang memiliki otoritas atau kekuasaan dapat
menggunakan bentuk apapun yang akrab kepada orang lain, tetapi orang
yang disapa akan menjawab dengan sapaan hormat.
e. Skala Jarak Sosial (Social Distance)
Leech (edisi terjemahan oleh Oka, 1993: 193) menjelaskan skala
jarak sosial (sosial distance) digambarkan dengan garis horizontal yang
mengukur jarak sosial. Menurut skala ini derajat rasa hormat yang ada ada
sebuah situasi ujar tertentu sebagian besar tergantung pada beberapa faktor
yang relatif permanen, yaitu faktor-faktor status atau kedudukan, usia,
derajat, keakraban dan sebagainya. Tetapi sedikit banyak juga tergantung
pada peranan sementara seseorang dalam hubungannya dengan orang lain.
8. Implikatur
Konsep implikatur pertama kali diperkenalkan oleh H.P. Grice (1975)
untuk memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan
oleh teori semantik biasa. Grice menyatakan bahwa “what a speaker can
imply, seggest, or mean, as distines from what a speaker literally says.”
Implikatur dipakai untuk memperhitungan apa yang disarankan atau apa yang
40
dimaksudkan oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan
secara harafiah (Brown dan Yule dalam Rani, Arifin dan Martutik, 2006: 170).
Di samping memberikan definisi tentang implikatur, Grice (dalam
Thomas, 1996: 57-58) juga membedakan implikatur menjadi dua macam,
yaitu implikatur konvensional (conventional implicature) dan implikatur
percakapan (convensational implicature). Implikatur konvensional tidak
didasarkan pada prinsip kerjasama atau maksim-maksim, dan tidak harus
terjadi dalam percakapan. Selain itu, implikatur konvensional juga tidak
tergantung pada konteks tuturan.
Di lain pihak, Nadar dalam bukunya “Pragmatik dan Penelitian
Pragmatik” mengartikan implikatur sebagai sesuatu yang diimplikasikan
dalam suatu percakapan (2009: 60). Sementara itu, Mey mengatakan bahwa
implikatur “implicature” berasal dari kata kerja to imply, sedangkan kata
bendanya adalah implication. Kata kerja itu berasal dari bahasa latin plicare
yang berarti to fold “melipat” sehingga untuk mengerti apa yang dilipat atau
disimpan harus dilakukan dengan cara membukanya. Artinya, untuk
memahami apa yang dimaksudkan oleh penutur, mitra tutur harus melakukan
interpretasi terhadap tuturan-tuturannya (dalam Nadar, 2009: 60).
Ahli lain, Levinson, menyatakan bahwa implikatur merupakan salah satu
gagasan atau pemikiran terpenting dalam pragmatik. Adapun salah satu alasan
penting yang diberikan oleh Levinson ialah bahwa implikatur memberikan
penjelasan eksplisit tentang cara bagaimana dapat mengimplikasikan lebih
banyak dari apa yang dituturkan (dalam Nadar, 2009: 61).
41
9. Talk Show
Talk show adalah ungkapan bahasa Inggris yang berasal dari dua kata:
show dan talk. Show artinya tontonan, pertunjukan atau pameran, sedangkan
talk artinya omong-omong, ngobrol-ngobrol atau bercakap-cakap
membicarakan sesuatu. Dengan begitu talk show berarti pertunjukan orang-
orang yang sedang ngobrol.
(http://bloogkoo.wordpress.com/2011/03/21/talkshow/)
Istilah Talk show merupakan aksen dari bahasa Inggris di Amerika. Di
Inggris sendiri, istilah talk show ini biasa disebut Chat Show. Pengertian Talk
show adalah sebuah program televisi atau radio di mana seseorang ataupun
grup berkumpul bersama untuk mendiskusikan suatu topik dengan suasana
santai tapi serius, yang dipandu oleh seorang moderator atau pembawa acara.
Kadangkala talk show menghadirkan tamu berkelompok yang ingin
mempelajari berbagai pengalaman hebat maupun untuk berbagi pengalaman.
(www.hendra.ws/pengertian-talkshow)
Sejak era reformasi, di Indonesia talk show merupakan acara yang
populer di media televisi dan radio. Acara tersebut terkadang bersifat off air,
berupa seminar-seminar, saresehan, diskusi atau debat yang mengambil
tempat di hotel atau di kafe dan tentu saja dengan menjual tiket yang tidak
murah. Yang ditampilkan dalam talk show itu biasanya pembicara-pembicara
yang dianggap sedang top dan membahas isu yang sedang hangat dibicarakan.
(http://bloogkoo.wordpress.com/2011/03/21/talkshow/)
42
C. Kerangka Pikir
Kerangka pikir adalah sebuah cara kerja yang dilakukan oleh penulis untuk
menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Kerangka pikir yang terkait
dalam penulisan ini secara garis besar dilukiskan pada bagan di bawah ini.
Bagan di atas menggambarkan bahwa sumber data pada penelitian ini adalah
acara talk show “Hitam Putih” di Trans 7. Masalah yang diteliti dalam penelitian
Pendekatan Pragmatik
Prinsip Kesantunan
1. Maksim Kearifan
2. Maksim Kedermawanan
3. Maksim Pujian
4. Maksim Kerendahan Hati
5. Maksim Kesepakatan
6. Maksim Simpati
Tuturan dalam Talk Show Hitam Putih di Trans 7
Implikatur
Talk Show Hitam Putih di Trans 7
Pelanggaran Kesantunan
1. Bentuk Pelanggaran Prinsip Kesantunan
2. Bentuk Implikatur
43
ini adalah bentuk pelanggaran prinsip kesantunan serta implikatur yang terjadi
dalam percakapan dalam acara talk show Hitam Putih di Trans 7. Dalam hal ini
penulis mengumpulkan data penelitian pada bulan Maret sampai April 2012.
Sumber data dari penelitian ini adalah hasil rekaman tayangan acara talk
show „Hitam Putih‟ di Trans 7. Data dari penelitian ini adalah tuturan yang
mengandung pelanggaraan prinsip kesantunan dan implikatur percakapan.
Tuturan tersebut merupakan wujud dari pertanyaan dan jawaban yang
disampaikan oleh pembawa acara, pengisi musik serta bintang tamu dalam talk
show “Hitam Putih” di Trans 7.
Semua dialog atau tuturan yang disampaikan oleh pembawa acara, pengisi
musik dan bintang tamu disebut dengan peristiwa tutur. Dari tuturan yang
dilakukan oleh para pendukung talk show “Hitam Putih” tersebut, dapat diketahui
apakah tuturan tersebut merupakan tuturan yang mengandung pelanggaran prinsip
kesantunan dan implikatur percakapan.
Berbagai tuturan yang terjadi antara pembawa acara, pengisi musik dan
bintang tamu pada sebuah percakapan memungkinkan timbulnya pelanggaran
prinsip kesantunan dan implikatur percakapan. Adanya pelanggaran prinsip
kesantunan yang dilakukan oleh penutur akan mengasilkan tuturan yang
berbentuk implisit yang biasa disebut dengan impliaktur sehingga dari
pelanggaran tersebut akan menghasilkan implikatur.