bab ii kajian pustaka dan hipotesis penelitian … ii.pdf · untuk mencapai efektivitas dan...
TRANSCRIPT
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Investasi
Investasi adalah suatu komitmen atas sejumlah dana atau sumber dana yang
dilakukan pada saat ini, dengan tujuan memperoleh keuntungan dimasa yang akan
datang (Tandelilin, 2010:2). Harapan keuntungan di masa yang akan datang
merupakan kompensasi atas waktu dan risiko yang terkait dengan keuntungan yang
diharapkan atau sering disebut return. Untuk mencapai efektivitas dan efisiensi
dalam suatu keputusan, diperlukan ketegasan terhadap tujuan yang diharapkan.
Begitu pula halnya dalam bidang investasi perlu menentukan tujuan apa yang
hendak dicapai. Menurut Fahmi (2012:3), tujuan investasi yaitu:
1) Terciptanya keberlanjutan (continuity) dalam investasi tersebut,
2) Terciptanya profit yang maksimum atau keuntungan yang diharapkan
(profit actual),
3) Terciptanya kemakmuran bagi para pemegang saham,
4) Turut memberikan andil bagi pembangunan bangsa.
Setiap akan melakukan keputusan investasi, selalu saja diperlukan proses.
Proses tersebut akan memberikan gambaran pada setiap tahap yang akan ditempuh
perusahaan. Secara umum proses manajemen investasi meliputi lima langkah
(Fahmi, 2012:6), sebagai berikut:
16
1) Menetapkan sasaran investasi
Penetapan sasaran berarti melakukan keputusan yang bersifat fokus atau
menempatkan target sasaran terhadap yang akan diinvestasikan.
2) Membuat kebijakan investasi
Tahap ini berkaitan dengan bagaimana perusahaan mengelola dana yang
berasal dari saham, obligasi, dan lainnya untuk kemudian
didistribusikan ke tempat-tempat yang dibutuhkan.
3) Memilih strategi portofolio
Tahap ini menyangkut keputusan peranan yang akan diambil oleh pihak
perusahaan, yaitu apakah bersifat aktif atau pasif saja. Investasi aktif
akan selalu mencari informasi yang tersedia dan kemudian selanjutnya
mencari kombinasi portofolio yang paling tepat untuk dilaksanakan.
Sementara secara pasif hanya dapat dilihat pada indeks rata-rata atau
dengan perkataan lain berdasarkan reaksi pasar saja, tanpa ada sikap
atraktif.
4) Memilih aset
Pihak perusahaan berusaha memilih aset investasi yang nantinya akan
memberi imbal hasil yang tertinggi (maximal return). Imbal hasil disini
dilihat sebagai keuntungan yang akan mampu diperoleh perusahaan.
5) Mengukur dan mengevaluasi kinerja
Tahap ini menyangkut tahap reevaluasi bagi perusahaan untuk melihat
kembali apa yang telah dilakukan selama ini dan apakah tindakan yang
telah dilakukan selama ini telah benar-benar maksimal atau belum. Jika
17
belum, maka sebaiknya segera melakukan perbaikan agar tidak terjadi
kerugian kedepannya.
Investor selalu berusaha meminimalisasi berbagai risiko yang timbul, baik
risiko yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang dalam mengambil setiap
keputusan investasi. Risiko investasi dapat diartikan sebagai kemungkinan
terjadinya perbedaan antara tingkat pengembalian yang sesungguhnya (actual
return) dan tingkat pengembalian yang diharapkan (expected return). Menurut
Halim (2013:43), risiko investasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :
1) Risiko sistematis (systematic risk)
Risiko yang tidak dapat dihilangkan dengan melakukan diversifikasi,
karena fluktuasi risiko ini dipengaruhi oleh faktor-faktor makro yang
dapat memengaruhi pasar secara keseluruhan. Misalnya perubahan
tingkat bunga, inflasi, kurs valuta asing, kebijakan pemerintah, dan
sebagainya.
2) Risiko tidak sistematis (unsystematic risk)
Risiko yang dapat dihilangkan dengan melakukan diversifikasi, karena
risiko ini hanya ada dalam satu perusahaan atau industri tertentu.
Misalnya faktor struktur modal, struktur aset, tingkat likuiditas, tingkat
keuntungan, dan sebagaiannya.
2.1.2 Pasar Modal
Menurut Darmaji, (2012:1) Pasar modal (capital market) merupakan sarana
pendanaan bagi perusahaan maupun institusi lain (misalnya pemerintah) sebagai
18
sarana bagi kegiatan berinvestasi. Pasar modal memfasilitasi berbagai sarana dan
prasarana kegiatan jual beli dan kegiatan terkait lainnya.
Aktivitas perekonomian diharapkan meningkat karena adanya pasar modal.
Pasar modal merupakan alternatif pendanaan bagi perusahaan, sehingga perusahaan
dapat beroperasi dengan skala yang lebih besar. Menurut Darmadji (2012:2),
beberapa manfaat dari keberadaan pasar modal adalah sebagai berikut:
1) Menyediakan sumber pembiayaan (jangka panjang) bagi dunia usaha
sekaligus memungkinkan alokasi sumber dana secara optimal.
2) Memberikan wahana investasi bagi investor sekaligus memungkinkan
upaya diversifikasi.
3) Menyediakan indikator utama (leading indicator) bagi tren ekonomi
Negara.
4) Memungkinkan penyebaran kepemilikan perusahaan hingga lapisan
masyarakat menengah.
5) Memungkinkan penyebaran kepemilikan, keterbukaan, dan
profesionalisme serta terciptanya iklim berusaha yang sehat.
6) Menciptakan lapangan kerja/profesi yang menarik.
7) Memberikan kesempatan memiliki perusahaan yang sehat dan
mempunyai prospek.
8) Menjadi alternatif investasi yang memberikan potensi keuntungan
dengan risiko yang bisa diperhitungkan melalui keterbukaan, likuiditas,
dan diversifikasi investasi.
19
9) Membina iklim keterbukaan bagi dunia usaha, memberikan akses
kontrol sosial.
10) Mendorong pengelolaan perusahaan dengan iklim keterbukaan dan
pemanfaatan manajemen profesional.
Adapun lembaga-lembaga yang menjadi pelaku pasar modal adalah sebagai
berikut (Raharjaputra, 2009:29):
1) Emiten
Emiten adalah perusahaan yang membutuhkan dana melalui pasar
modal. Melalui pasar modal tersebut, perusahaan dapat memperoleh
dana jangka panjang, baik berupa modal sendiri (equity) maupun
melalui modal pinjaman.
2) Pemodal (Investor)
Investor adalah seseorang atau pihak yang menanamkan modalnya
secara langsung, membangun pabrik, memiliki sumber daya manusia,
dan sebagainya yang mendirikan dan mengoperasikan suatu perusahaan
sampai memproduksi barang dan jasa untuk dijual ke masyarakat.
3) Lembaga Penunjang
Keberadaan lembaga penunjang merupakan salah satu faktor penting
berkembangnya pasar modal. Lembaga penunjang yang menyediakan
jasanya bagi para emiten dan pemilik modal meliputi: penjamin emisi,
penunjang (guarantor), wali amanat, perantara perdagangan efek
(pialang/broker), pedagang efek, perusahaan surat berharga, dan
perusahaan pengelola dana.
20
4) Kantor (Biro) Administrasi Efek
Kegiatan kantor administrasi efek adalah sebagai berikut.
A. Membantu emiten dan penjamin emisi dalam rangka emisi efek.
Bantuan ini dalam bentuk mencetak sertifikat saham emiten, mencatat
permohonan pembelian efek pada pasar perdana, dan sebagainya.
B. Melaksanakan kegiatan untuk menyimpan dan pengalihan hak atas
saham para pemodal.
C. Menyusun daftar pemegang saham dan perubahannya untuk
melakukan pembukuan pemegang saham dan diserahkan oleh emiten
kepada kantor administrasi efek.
D. Menyiapkan koreponden emiten kepada para pemegang saham,
seperti menyampaikan panggilan RUPS termasuk pemberitahuan
pembayaran dividen.
E. Membuat laporan-laporan lainnya bila diminta instansi berwenang
seperti Bapepam-LK.
2.1.3 Analisis Fundamental
Untuk melakukan analisis saham dapat digunakan dua pendekatan dasar, yaitu
analisis teknikal dan analisis fundamental (Husnan, 2009:307). Analisis teknikal
merupakan upaya untuk memperkirakan harga saham dengan mengamati
perubahan harga saham tersebut di waktu yang lampau, (Husnan, 2009:341).
Menurut Husnan (2009:307) analisis fundamental mencoba memperkirakan harga
saham dimasa yang akan datang dengan mengestimasi nilai faktor-faktor
21
fundamental yang mempengaruhi harga saham di masa yang akan datang dan
menerapkan hubungan variabel-variabel tersebut sehingga diperoleh taksiran harga
saham. Menurut Darmadji (2006:189), analisis fundamental merupakan salah satu
cara melakukan penilaian saham dengan mempelajari atau mengamati berbagai
indikator terkait kondisi makro ekonomi dan kondisi industri suatu perusahaan.
Dengan demikian analisis fundamental merupakan analisis yang berbasis pada data
riil untuk mengevaluasi atau memproyeksikan nilai suatu saham. Analisis
fundamental didasarkan atas pemikiran bahwa kondisi perusahaan tidak hanya
dipengaruhi faktor internal tetapi juga faktor-faktor eksternal, yaitu kondisi
ekonomi dan industri.
Analisis fundamental dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan top-
down untuk menilai prospek perusahaan yang terdiri atas 3 (tiga) tahapan
(Tandelilin, 2010:339) yaitu:
1) Analisis ekonomi dan pasar modal dilakukan dengan mengamati
perubahan yang terjadi pada kondisi ekonomi di suatu negara. Apabila
kondisi ekonomi buruk maka kemungkinan besar investor menjadi
tidak tertarik untuk melakukan investasi saham dan akan berdampak
pada penurunan harga saham.
2) Analisis industri dengan membandingkan kinerja dari berbagai industri
untuk dapat mengetahui jenis-jenis industri mana saja yang
menguntungkan dan mana yang tidak berprospek baik.
3) Analisis perusahaan melalui analisis terhadap kinerja keuangan
perusahaan dengan melihat laporan keuangan perusahaan. Analisis
22
kinerja perusahaan dapat dilakukan dengan menggunakan analisis
terhadap rasio-rasio dari laporan keuangan perusahaan
2.1.4 Saham
Menurut Riyanto (2011:240) saham adalah tanda bukti keikutsertaan sebagai
pemilik dalam suatu perusahaan. Saham yang diterbitkan oleh emiten
diperjualbelikan di bursa efek sesuai harga berlaku. Dalam pasar modal ada dua
jenis saham yang paling umum dikenal oleh publik (Hartono, 2009:141-150), antara
lain:
1) Saham biasa (common stock)
Saham biasa adalah surat berharga yang dijual oleh suatu perusahaan
yang menjelaskan nilai nominal (rupiah, dollar, yen, dan sebagainya)
dimana pemegangnya diberi hak untuk mengikuti Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) dan Rapat Umum Pemegang Saham Luar
Biasa (RUPSLB) serta berhak untuk menentukan membeli right issue
(penjualan saham terbatas) atau tidak.
2) Saham istimewa (preferred stock)
Saham istimewa adalah surat berharga yang dijual oleh suatu
perusahaan yang menjelaskan nilai nominal (rupiah, dollar, yen dan
sebagainya) di mana pemegangnya akan memperoleh pendapatan tetap
dalam bentuk dividen yang akan diterima setiap kuartal (tiga bulanan).
23
Investor biasaya memilih untuk berinvestasi saham untuk tujuan
mendapatkan keuntungan. Terdapat beberapa keuntungan bila memiliki saham
(Fahmi, 2012:88), antara lain:
1) Memperoleh dividen yang akan diberikan pada setiap akhir tahun.
2) Memperoleh keuntungan modal (capital gain), yaitu keuntungan
pada saat saham yang dimiliki tersebut dijual kembali pada harga yang
lebih mahal.
3) Memiliki hak suara bagi pemegang saham jenis saham biasa
(common stock).
2.1.5 Harga Saham
Menurut Husnan dan Pudjiastuti (2004:151), harga saham merupakan nilai
sekarang (present value) dari penghasilan-penghasilan yang akan diterima oleh
pemodal dimasa yang akan datang. Harga saham adalah harga selembar saham yang
terjadi pada saat tertentu yang ditentukan oleh permintaan dan penawaran di pasar
modal (Hutami, 2012).
Menurut Ang (dalam Dini dan Indarti (2012), harga saham dapat dibedakan
menjadi 3, antara lain:
1) Harga/nilai normal (Par Value)
Harga dasar suatu saham erat kaitannya dengan harga pasar suatu
saham. Harga dasar suatu saham baru merupakan harga perdananya.
24
2) Harga/ nilai Nominal (Base Price)
Nilai nominal suatu saham adalah nilai yang tercantum pada saham
yang bersangkutan yang berfungsi untuk tujuan akuntansi. Jadi, nilai
nominal ini merupakan suatu nilai yang berguna bagi pencatatan
akuntansi, dimana nilai nominal inilah yang dicatat sebagai modal
ekuitas perseroan di dalam neraca.
3) Harga pasar (Market Price)
Harga pasar merupakan harga yang paling mudah ditentukan karena
harga pasar merupakan harga suatu saham pada pasar yang sedang
berlangsung. Jika pasar bursa efek sudah tutup, maka harga pasar
adalah harga penutupan (closing price).
Harga saham setiap waktu dapat berubah-ubah tergantung pada besarnya
penawaran dan permintaan investor akan saham tersebut. Besar kecilnya jumlah
permintaan terhadap suatu saham yang terjadi di pasar modal pada dasarnya
dipengaruhi oleh informasi yang diterima oleh investor (Amalia, 2010). Hal ini
merupakan kekuatan pasar yang akan berpengaruh terhadap harga saham. Bila
terdapat kecenderungan kenaikan permintaan saham suatu perusahaan maka hal ini
akan meningkatkan harga saham tersebut. Keadaan ini menunjukkan bahwa posisi
perusahaan mempunyai prospek jangka panjang yang baik dan berarti akan
menaikan nilai perusahaan tersebut. Apabila keadaan yang terjadi adalah
sebaliknya maka hal ini akan menurunkan nilai perusahaan yang bersangkutan.
Menurut Fahmi (2012:89), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan harga
saham dapat berfluktuasi, antara lain:
25
A. Kondisi mikro dan makro ekonomi.
B. Kebijakan perusahaan dalam memutuskan untuk ekspansi
(perluasan usaha), seperti membuka kantor cabang (brand office)
dan kantor cabang pembantu (sub-brand office), baik yang dibuka di
domestik maupun luar negeri.
C. Pergantian direksi secara tiba-tiba.
D. Adanya direksi atau pihak komisaris perusahaan yang terlibat tindak
pidana dan kasusnya sudah masuk ke pengadilan.
E. Kinerja perusahaan yang terus mengalami penurunan dalam setiap
waktunya.
F. Risiko sistematis, yaitu suatu bentuk risiko yang terjadi secara
menyeluruh dan telah ikut menyebabkan perusahaan ikut terlibat.
G. Efek dari psikologi pasar yang ternyata mampu menekan kondisi
teknikal jual beli saham.
2.1.6 Analisis Makro Ekonomi
Analisis makro ekonomi atau analisis ekonomi merupakan salah satu dari tiga
analisis dalam pendekatan top-down. Analisis ini perlu dilakukan untuk dapat
membantu investor dalam menentukan keputusan investasinya yang dilihat dari
faktor-faktor makro ekonomi. Tujuan dari analisis makro ekonomi adalah untuk
mengidentifikasi variabel-variabel makro ekonomi yang mempengaruhi kinerja
atau return suatu sekuritas Analisis ini perlu dilakukan karena kecenderungan
26
adanya hubungan yang kuat antara apa yang terjadi pada lingkungan ekonomi
makro dan kinerja suatu pasar modal, (Tandelilin, 2010:339). Adanya fluktuasi
yang terjadi dalam pasar modal akan berkaitan dengan adanya perubahan yang
terjadi pada berbagai variabel makro ekonomi. Suku bunga SBI dan inflasi
selanjutnya digunakan dalam penelitian ini sebagai cerminan dari variabel makro
ekonomi.
1) Suku Bunga SBI
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh
BI sebagai pengakuan hutang berjangka waktu pendek dengan sistem
diskonto/bunga. Menurut Rismawati (2010), suku bunga SBI merupakan instrumen
suku bunga yang dikeluarkan oleh BI untuk mengontrol peredaran uang di
masyarakat. SBI merupakan instrumen yang diperdagangkan oleh Bank Indonesia
untuk mengontrol likuiditas di pasar uang. Dengan menjual SBI, Bank Indonesia
dapat menyerap kelebihan uang primer yang beredar.
Tingkat suku bunga yang berlaku pada setiap penjualan SBI ditentukan oleh
mekanisme pasar berdasarkan sistem lelang yang mengacu pada suku bunga BI.
Adapun dasar hukum penerbitan SBI adalah surat SBI diterbitkan berdasarkan
keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/67/KEP/DIR pada tanggal 23 Juli 1998
penjualan SBI diprioritaskan pada lembaga perbankan. Tetapi tidak tertutup
kemungkinan masyarakat baik perorangan maupun perusahaan untuk dapat
memiliki SBI. Pembelian SBI oleh masyarakat tidak dapat dilakukan secara
langsung kepada Bank Indonesia, melainkan harus melalui bank umum serta
pialang pasar modal yang ditunjuk oleh Bank Indonesia (Novianto, 2011). Menurut
27
situs www.bi.go.id, suku bunga SBI dapat mempengaruhi pasar modal melalui
beberapa cara diantaranya:
(1) Melalui peningkatan suku bunga SBI akan diikuti dengan peningkatan suku
bunga tabungan. Dengan peningkatan suku bunga tabungan maka investor
cenderung akan mengalihkan dananya dari saham ke tabungan atau deposito
karena bunga yang tinggi dan memberikan risiko yang lebih rendah, dengan
begitu banyak investor yang menjual saham dan mengalihkan dananya ke
pasar uang dengan asumsi permintaan saham tetap dan tingkat penawaran
saham meningkat, maka harga saham akan turun
(2) Melalui peningkatan suku bunga kredit maka beban biaya bunga perusahaan
meningkat dan berakibat pada turunnya laba perusahaan. Hal tersebut akan
berakibat pada tidak menariknya perusahaan tersebut dan turunnya harga
saham.
2) Inflasi
Menurut Tandelilin (2010: 342) inflasi merupakan kecenderungan
terjadinya peningkatan harga produk-produk secara keseluruhan. Inflasi yang tinggi
mengurangi tingkat pendapatan riil yang diperoleh investor dari investasi.
Sebaliknya, jika tingkat inflasi suatu negara mengalami penurunan maka hal ini
merupakan sinyal yang positif bagi investor seiring dengan turunnya resiko daya
beli uang dan risiko penurunan pendapatan riil.
Menurut Darmadji dan Fakhruddin (2006:116) mendefinisikan inflasi
sebagai suatu kondisi dimana harga barang-barang pada umumnya menjadi lebih
tinggi dari sebelumnya. Inflasi memiliki dampak positif dan negative tergantung
28
parah atau tidaknya inflasi. Inflasi yang rendah akan mempunyai pengaruh yang
positif dalam arti mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan
pendapatan nasional dan membuat orang menjadi bergairah untuk bekerja,
menabung, dan berinvestasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada
saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi) keadaan perekonomian menjadi
kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Minat dan gairah masyarakat untuk
bekerja, menabung dan berinvestasi akan menurun karena terjadinya peningkatan
harga barang.
Inflasi merupakan keadaan naiknya harga barang–barang dalam periode
tertentu. Inflasi juga berpengaruh terhadap harga saham. Baik buruknya pengaruh
inflasi tergantung pada besar kecilnya tingkat inflasi tersebut. Inflasi yang tinggi
menurunkan harga saham perusahaan karena permintaan terhadap saham tersebut
menurun.
2.1.7 Analisis Perusahaan
Analisis perusahaan atau analisis mikro ekonomi bertujuan untuk membantu
investor dalam menentukan keputusan investasi atas saham suatu perusahaan
emiten. Hasil dari analisis perusahaan dapat memberikan gambaran tentang nilai
perusahaan, kualitas dan kinerja manajemen, serta prospek perusahaan di masa
datang. Menurut Tandelilin, (2010:364) bagi para investor yang melakukan analisis
perusahaan, informasi laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan merupakan
salah satu jenis informasi yang paling mudah dan paling murah didapatkan
dibandingkan dengan alternatif informasi lainnya.
29
2.1.8 Rasio Keuangan
Menurut Brigham dan Houston (2010), dari sudut pandang investor,
peramalan masa depan adalah inti dari analisis keuangan sebenarnya. Sementara
itu, dari sudut pandang manajemen, analisis laporan keuangan berguna untuk
membantu mengantisipasi kondisi masa depan, yang lebih penting lagi adalah
sebagai titik awal untuk merencanakan tindakan-tindakan yang akan memperbaiki
kinerja dimasa depan. Rasio keuangan dirancang untuk membantu kita
mengevaluasi laporan keuangan. Berdasarkan informasi rasio keuangan tersebut
dapat diketahui kondisi keuangan suatu perusahaan dari berbagai aspek. Rasio
keuangan tersebut hanyalah refleksi dari yang sebenarnya terjadi, dan dari
informasi rasio keuangan tersebut maka perlu dilakukan analisis rasio keuangan.
Menurut Wiagustini (2010:75), analisis rasio adalah suatu teknik analisis
yang menghubungkan anatara satu pos dengan pos lainnya baik dalam neraca atau
rugi laba maupun kombinasi dari kedua laporan keuangan untuk mengetahui
kondisi keuangan perusahaan. Tujuan dilakukannya analisis ini adalah untuk
memberi informasi atas hasil interpretasi mengenai kinerja yang dicapai
perusahaan.
Menurut Wiagustini (2010:75-77) kondisi keuangan perusahaan dapat dilihat
dalam lima (5) aspek yaitu aspek likuiditas yang merupakan kemampuan
perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek dengan dana lancar yang
dimiliki perusahaan, aspek solvabilitas/leverage yaitu kemampuan perusahaan
untuk memenuhi kewajiban finansialnya baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang atau mengukur sejauh mana perusahaan dibiayai dengan utang, aspek
profitabilitas/rentabilitas yang menunjukkan kemampuan perusahaan memperoleh
30
laba atau ukuran efektivitas pengelolaan manajemen perusahaan, aspek aktivitas
usaha yaitu untuk mengukur tingkat efektivitas pemanfaatan sumberdaya
perusahaan, dan aspek penilaian pasar yang mengukur kemampuan manajemen
dalam menciptakan nilai pasarnya di atas biaya investasi.
Rasio keuangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rasio penilaian
pasar yang diproksikan melalui Earning Per Share (EPS), rasio profitabilitas yang
diproksikan melalui Return On Equity (ROE), dan rasio leverage yang diproksikan
melalui Debt to Equity Ratio (DER).
1) Earning Per Share
Menurut Tandelilin (2010:365), Earning Per Share adalah salah satu jenis
rasio pasar yang digunakan untuk membandingkan antara laba bersih yang siap
dibagikan bagi pemegang saham dengan jumlah lembar saham perusahaan.
Menurut Gitosudarmo dan Basri (2002) dalam Priatinah dan Kusuma (2012)
memaksimalkan kekayaan pemegang saham dapat diukur dari pendapatan per
lembar saham (earning per share/ EPS), sehingga dalam hal ini EPS akan
memengaruhi kepercayaan investor pada perusahaan. Informasi EPS suatu
perusahaan menunjukkan besarnya laba bersih perusahaan yang siap dibagikan
kepada semua pemegang saham perusahaan. EPS biasanya menjadi perhatian
investor dan manajer keuangan. Semakin tinggi EPS suatu perusahaan, maka
semakin besar pula earning yang akan di terima investor dari investasinya, sehingga
bagi perusahaan peningkatan EPS tersebut dapat memberi dampak positif terhadap
harga sahamnya di pasar (Nurfadillah, 2011).
31
Besarnya EPS suatu perusahaan dapat diketahui dari informasi laporan
keuangan perusahaan. Meskipun beberapa perusahaan tidak mencantumkan
besarnya EPS perusahaan bersangkutan dalam laporan keuangannya, tetapi
besarnya EPS dapat dihitung berdasarkan laporan rugi laba perusahaan yaitu
dengan membagi antara laba bersih setelah bunga dan pajak dengan jumlah saham
perusahaan yang beredar (Tandelilin, 2010:374).
2) Return On Equity
Return On Equity (ROE) adalah proksi dari rasio profitabilitas yang
mengkaji sejauh mana suatu perusahaan mempergunakan sumber dana yang
dimiliki untuk mampu memberikan laba atas sekuritas (Fahmi, 2012:99). Apabila
Return On Equity (ROE) meningkat maka akan mengakibatkan profitablitas
perusahaan meningkat, sehingga akan meningkatkan profitablitas yang dinikmati
oleh pemegang saham. Dengan kata lain, semakin tinggi rasio ini maka semakin
baik produktivitas aset dalam memperoleh keuntungan bersih (Husnan, 2009:331).
Menurut Mardiyanto (2009: 196) ROE adalah rasio yang digunakan untuk
mengukur keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan laba bagi para pemegang
saham. ROE dianggap sebagai representasi dari kekayaan pemegang saham atau
nilai perusahaan. Menurut Riyadi (2006: 155) Return On Equity (ROE) adalah
perbandingan antara laba bersih dengan modal (modal inti) perusahaan. Rasio ini
menunjukkan tingkat persentase yang dapat dihasilkan. ROE sangat penting bagi
para pemegang saham dan calon investor, karena ROE yang tinggi berarti para
pemegang saham akan memperoleh dividen yang tinggi pula dan kenaikan ROE
akan menyebabkan kenaikan saham. Menurut Chrisna (2011) dalam Hutami (2012)
32
kenaikan ROE biasanya diikuti oleh kenaikan harga saham perusahaan yang
bersangkutan. Semakin tinggi ROE berarti semakin efisien penggunaan modal
sendiri yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan untuk menghasilkan
keuntungan bagi pemegang saham.
3) Debt To Equity Ratio
Menurut Brigham and Houston (2010:143), rasio total utang terhadap total
ekuitas yang umumnya disebut rasio utang modal (debt to equity ratio) adalah rasio
yang mengukur persentase dana yang diberikan oleh kreditor dengan
membandingkan antara total utang perusahaan dengan total ekuitas yang dimiliki.
Total utang tersebut sudah termasuk seluruh kewajiban lancar dan utang jangka
panjang. Kreditor lebih menyukai rasio utang yang lebih rendah karena semakin
rendah rasio utang perusahaan, maka makin besar perlindungan terhadap kerugian
kreditor jika terjadi likuidasi. Di sisi lain, pemegang saham mungkin menginginkan
lebih banyak leverage karena akan memperbesar laba yang diharapkan dalam upaya
melakukan ekspansi.
Menurut Basuki (2012), semakin besar debt to equity ratio (DER)
menunjukkan semakin besar tingkat ketergantungan perusahaan terhadap pihak
eksternal (kreditur) dan semakin besar pula beban biaya utang atau biaya bunga
yang harus dibayar oleh perusahaan. Dengan semakin meningkatnya rasio ini, maka
hal tersebut berdampak terhadap profitablitas yang diperoleh perusahaan, karena
sebagian digunakan untuk membayar bunga pinjaman. Dengan biaya bunga yang
semakin besar, maka profitabilitas (earnings after tax) semakin berkurang sehingga
dapat menyebabkan hak para pemegang saham berupa dividen juga semakin
33
berkurang. DER yang tinggi menunjukkan tingginya ketergantungan permodalan
perusahaan terhadap pihak luar, sehingga beban perusahaan juga semakin berat.
Jika suatu perusahaan menanggung beban utang yang tinggi, yaitu melebihi modal
sendiri yang dimiliki, maka harga saham perusahaan akan menurun (Amanda et al,
2012).
2.2 Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Suku Bunga SBI Terhadap Harga Saham
Peningkatan suku bunga SBI diikuti dengan peningkatan suku bunga
simpanan akan menyebabkan investor cenderung mengalihkan dananya dalam
bentuk simpanan deposito dengan pendapatan/return yang lebih tinggi dan risiko
yang lebih rendah daripada berinvestasi pada saham (Tandelilin, 2010:343).
Tingkat penawaran saham akan meningkat karena banyak investor menjual
sahamnya sedangkan tingkat permintaan saham tetap sehingga harga saham akan
turun atau berpengaruh secara negatif. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian dari
Permana (2009), Kewal (2012), Yogaswari (2012) dan Aurora (2013) menyatakan
bahwa tingkat bunga SBI memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap harga
saham. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
H1: Suku Bunga SBI berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Harga
Saham.
34
2.2.2 Pengaruh Inflasi Terhadap Harga Saham
Inflasi merupakan penurunan nilai uang atau naiknya harga barang dan jasa
secara keseluruhan. Tingkat Inflasi yang tinggi biasanya dikaitkan dengan kondisi
ekonomi yang terlalu panas (overheated). Artinya kondisi ekonomi mengalami
permintaan atas produk yang melebihi kapasitas penawaran produknya, sehingga
harga-harga cenderung naik (Tandelilin, 2012:343). Biaya produksi perusahaan
juga akan ikut naik karena kenaikan harga kebutuhan pokok dan bahan baku
produksi. Hal ini juga akan mempengaruhi pasar modal dimana permintaan saham
akan menurun karena penurunan daya beli investor. Dampaknya adalah jumlah
saham yang ditawarkan akan lebih tinggi dari jumlah permintaan saham sehingga
harga saham akan mengalami penurunan. Hasil penelitian dari Aurora (2013),
Yogaswari (2012) dan Sihaloho (2013) menyatakan bahwa tingkat inflasi
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap harga saham. Berdasarkan uraian
tersebut maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
H2: Inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Harga Saham.
2.2.3 Pengaruh Earning Per Share Terhadap Harga Saham
Menurut Darmadji (2012:97), Earning Per Share (EPS) merupakan rasio
yang menunjukkan berapa besar keuntungan yang dapat diperoleh investor atau
pemegang saham per saham. Semakin tinggi nilai Earning Per Share (EPS) tentu
saja menggembirakan pemegang saham karena semakin besar laba yang akan
diperoleh pemegang saham. Earning Per Share (EPS) dalam laporan keuangan
sering digunakan oleh manajemen untuk menarik perhatian calon investor. Nilai
35
EPS yang terus meningkat akan menarik minat investor untuk berinvestasi saham
pada perusahaan tersebut sehingga harga saham juga akan meningkat karena
tingginya permintaan. Begitu juga sebaliknya, apabila EPS menurun akan
mempengaruhi turunnya minat investor dalam berinvestasi dan akan berdampak
pada menurunnya harga saham. Teori tersebut didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Pasaribu (2008), Amalia (2010), Silviana (2013),dan Widaningsih
(2013), menunjukkan hasil bahwa secara parsial earning per share (EPS) memiliki
pengaruh positif dan signifikan terhadap harga saham. Hal serupa juga ditemukan
oleh Malhotra (2013) dan Putranto (2014) bahwa earning per share EPS
berpengaruh positif signifikan terhadap harga saham. Berdasarkan uraian tersebut
maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
H3: Earning per share (EPS) berpengaruh positif dan signifikan terhadap
harga saham.
2.2.4 Pengaruh Return On Equity Terhadap Harga Saham
Return On Equity (ROE) adalah rasio yang digunakan untuk mengukur
keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan laba bagi para pemegang saham.
ROE dianggap sebagai representasi dari kekayaan pemegang saham atau nilai
perusahaan (Mardiyanto, 2009:196). Nilai ROE yang positif menunjukkan baiknya
kinerja manajemen dalam mengelola modal yang ada untuk menghasilkan laba.
Menurut Chrisna (2011) dalam Hutami (2012) kenaikan ROE biasanya diikuti oleh
kenaikan harga saham perusahaan yang bersangkutan. Semakin tinggi ROE berarti
semakin efisien penggunaan modal sendiri yang dilakukan oleh pihak manajemen
36
perusahaan untuk menghasilkan keuntungan bagi pemegang saham. Teori tersebut
didukung dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Kusumawardani (2011),
Wang et al. (2013), dan Sari (2014) menyatakan bahwa return on equity (ROE)
berpengaruh positif signifikan terhadap harga saham. Hal ini berarti semakin tinggi
Return On Equity (ROE) suatu perusahaan, maka akan berdampak pada
peningkatan harga saham. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
H4: Return On Equity (ROE) berpengaruh positif dan signifikan terhadap
Harga Saham.
2.2.5 Pengaruh Debt To Equity Ratio Terhadap Harga Saham
Debt to equiy ratio (DER) merupakan salah satu rasio keuangan yang
mengukur seberapa besar kemampuan perusahaan melunasi utang dengan modal
yang dimiliki (Husnan, 2009:70). Menurut Sudana (2011:153) penggunaan utang
yang semakin besar dibandingkan dengan modal sendiri akan berdampak pada
penurunan nilai perusahaan. DER yang tinggi menunjukkan tingginya
ketergantungan permodalan perusahaan terhadap pihak luar, sehingga beban
perusahaan juga semakin berat. Jika suatu perusahaan menanggung beban utang
yang tinggi, yaitu melebihi modal sendiri yang dimiliki, maka harga saham
perusahaan akan menurun (Amanda et al, 2012). Investor cenderung akan
menghindari berinvestasi pada perusahaan dengan tingkat DER yang tinggi karena
semakin tinggi tingkat penggunaan hutang maka dividen yang seharusnya
dibagikan kepada pemegang saham akan berkurang karena laba yang diperoleh
37
digunakan untuk membayar utang perusahaan. Hal ini menyebabkan investor
menjadi tidak tertarik untuk berinvestasi pada saham tersebut sehingga permintaan
saham akan menurun. Penurunan permintaan saham ini kemudian berdampak pada
penurunan harga saham. Teori tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan
oleh Hatta (2012) dan Widaningsih (2013), menyatakan bahwa debt to equity ratio
(DER) memiliki hubungan yang negatif dan signifikan terhadap harga saham.
Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh serta Ratih (2013) juga menemukan
bahwa secara parsial variabel DER berpengaruh negatif dan tidak signifikan
terhadap harga saham. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
H5: Debt to Equity Ratio (DER) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
Harga Saham.
38
Gambar 2.1 Model Penelitian
Pengaruh Suku Bunga SBI dan Inflasi, Serta Fundamental Perusahaan
Terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Indeks LQ-45
di Bursa Efek Indonesia (BEI)
H1 (-)
H2 (-)
H3 (+)
H4 (+)
H5 (-)
EPS (X3) Harga Saham
(Y)
ROE (X4)
DER (X5)
Suku Bunga SBI (X1)
Inflasi (X2)