bab ii kajian pustaka dan hipotesis penelitian 2.1 ... ii.pdf · sinyal ini dapat berupa informasi...

21
14 BAB II Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Perusahaan merupakan tempat dimana berkumpulnya pihak-pihak dengan tujuan yang sama, namun seringkali adanya perbedaan pandangan. Perbedaan pandangan akan berdampak pada tujuan perusahaan. perbedaan tujuan perusahaan biasanya terjadi pada manajer maupun investor. Para manajer diberi kekuasaan oleh para pemilik perusahaan, yaitu pemegang saham untuk membuat keputusan dimana hal ini menciptakan potensi konflik kepentingan yang dikenal sebagai teori keagenan (Brigham dan Houston, 2010:26). Jensen dan Meckling (1976), teori keagenan adalah teori yang menjelaskan agency relationship dan masalah masalah yang ditimbulkannya. Agency relationship adalah hubungan yang terjadi antara principal dan agent dalam bertransaksi dengan pihak ke tiga. Principal dan agent yang dimaksud dalam agency relationship pada suatu perusahaan adalah manajer dan investor yang pada kenyataannya mempunyai perbedaan pendapat dalam mencapai tujuan perusahaan. Jensen dan Meckling (1976), adanya informasi yang tidak seimbang juga akan mempersulit pemegang saham dalam melakukan pengawasan dan pemantauan kepada manajer sehingga akan menimbulkan dua masalah, yaitu:

Upload: haquynh

Post on 12-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

14

BAB II

Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)

Perusahaan merupakan tempat dimana berkumpulnya pihak-pihak dengan

tujuan yang sama, namun seringkali adanya perbedaan pandangan. Perbedaan

pandangan akan berdampak pada tujuan perusahaan. perbedaan tujuan perusahaan

biasanya terjadi pada manajer maupun investor. Para manajer diberi kekuasaan oleh

para pemilik perusahaan, yaitu pemegang saham untuk membuat keputusan dimana

hal ini menciptakan potensi konflik kepentingan yang dikenal sebagai teori

keagenan (Brigham dan Houston, 2010:26).

Jensen dan Meckling (1976), teori keagenan adalah teori yang menjelaskan

agency relationship dan masalah – masalah yang ditimbulkannya. Agency

relationship adalah hubungan yang terjadi antara principal dan agent dalam

bertransaksi dengan pihak ke tiga. Principal dan agent yang dimaksud dalam

agency relationship pada suatu perusahaan adalah manajer dan investor yang pada

kenyataannya mempunyai perbedaan pendapat dalam mencapai tujuan perusahaan.

Jensen dan Meckling (1976), adanya informasi yang tidak seimbang juga akan

mempersulit pemegang saham dalam melakukan pengawasan dan pemantauan

kepada manajer sehingga akan menimbulkan dua masalah, yaitu:

15

1) Moral Hazard, yaitu permasalahan yang timbul ketika agent atau manajer

tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak

kerja.

2) Adverse Selection, yaitu suatu keadaan dimana pemilik tidak dapat

mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh manajer benar-benar

didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai

suatu kelalaian dalam menjalankan tugas.

Konflik keagenan (agency conflict) muncul dalam dua bentuk, yaitu antara

pemilik perusahaan (principals) dengan pihak manajemen (agent), dan antara

pemegang saham dengan pemegang obligasi (Husnan dan Pudhiastuti, 2006:12).

Konflik antara pemilik perusahaan dengan pihak manajemen lebih sering terjadi

karena manajer mempunyai kepentingan sendiri yan gtidak menguntungkan pihak

pemegang saham. Pengawasan dan pemantauan dalam mengurangi konflik antara

manajemen dan investor ini pasti akan menimbulkan biaya (agency cost).

Agency cost adalah biaya yang dikeluarkan pemilik untuk mengatur dan

mengawasi kinerja para manajer sehingga mereka bekerja untuk kepentingan

perusahaan (Nur’aeni, 2010). Jensen dan Meckling (1976), terdapat tiga macam

biaya keagenan yaitu:

1) Monitoring Cost, yaitu biaya yang dikeluarkan dengan tujuan untuk

membatasi penyimpangan yang dilakukan oleh pihak manajer dengan

memonitor aktivitas yang dilakukan oleh manajer.

16

2) Bonding Cost, dalam beberapa situasi tertentu pihak agent diberikan

kesempatan untuk membelanjakan sumber daya perubahan yang diharapkan

dapat menjamin bahwa manajer tidak akan merugikan pemilik.

3) Residual Cost, merupakan nilai uang yang ekuivalen dengan kesejahteraan

yang dialami oleh pemilik, biaya ini dianggap sebagai biaya yang timbul

dari hubungan keagenan dan dinamakan biaya kerugian residual.

2.1.2 Teori Sinyal (Signalling Theory)

Bringham dan Houston (2010) menyatakan bahwa perusahaan dengan profit

yang konsisten memberikan sinyal positif bagi investor bahwa perusahaan tidak

mudah mengalami kebangkrutan yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan

harga saham. Memberikan informasi ke publik mengenai laporan keuangan yang

menunjukkan kebijakan-kebijakan yang diambil perusahaan akan dapat

menumbuhkan kepercayaan pihak luar terhadap perusahaan tersebut.

Signaling theory menjelaskan mengenai model penerimaan informasi baik

secara simetri maupun asimetri terkait pengaruh dengan variasi cross sectional

dalam pemilihan kebijakan keuangan (Pujiati dan Widanar, 2006). Adanya

informasi asimetri antara perusahaan dengan pihak luar maka perusahaan

memberikan sinyal berupa laporan keuangan perusahaan karena perusahaan lebih

mengetahui tentang perusahaannya sendiri. Investor cenderung lebih melindungi

diri dalam mengambil keputusan apabila kurang memiliki informasi mengenai

perusahan, hal ini akan mengakibatkan penurunan harga saham pada perusahaan

tersebut.

17

Hasnawati (2005) menyatakan dalam teori sinyal dijelaskan tentang

hubungan antara pengeluaran investasi dan juga nilai perusahaan, dimana

pengeluaran investasi memberikan sinyal positif tentang pertumbuhan perusahaan

dimasa yang akan datang, sehingga dapat meningkatkan harga sebagai indikator

nilai perusahaan. Sinyal ini dapat berupa informasi dan promosi dari manajemen

mengenai apa yang sudah dilakukan untuk merealisasikan keinginan pemegang

saham, serta menunjukkan kepada calon investor bahwa perusahaan mereka tepat

sebagai alternatif investasi (Fenandar dan Surya, 2012).

Fenandar dan Raharja (2012) menyatakan laporan keuangan berisi berbagai

informasi yang diperlukan para investor dan pihak manajemen dalam mengambil

berbagai keputusan, seperti keputusan investasi, keputusan pendanaan, dan

kebijakan dividen. Integritas informasi dalam laporan keuangan yang

mencerminkan nilai perusahaan merupakan sinyal positif yang dapat

mempengaruhi opini investor dan kreditor serta pihak-pihak lain yang

berkepentingan. Susilowati dan Turyanto (2011) menyatakan teori sinyal ini

membahas bagaimana seharusnya sinyal-sinyal keberhasilan atau kegagalan

manajemen (agent) disampaikan kepada pemilik modal (principle). Penyampaian

laporan keuangan dapat dianggap sebagai sinyal, yang berarti bahwa apakah agent

telah berbuat sesuai dengan kontrak atau belum.

2.1.3 Nilai Perusahaan

Secara normatif tujuan manajer dalam keputusan keuangan adalah untuk

memaksimumkan nilai perusahaan atau memaksimumkan kemakmuran pemegang

saham. Nilai perusahaan adalah harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli

18

apabila perusahaan dijual (Husnan dan Pudjiastuti, 2006:6). Semakin tinggi nilai

perusahaan, semakin besar kemakmuran yang akan diterima oleh pemilik

perusahaan (Wiagustini, 2010:8). Nilai perusahaan sangat penting karena

mencerminkan seberapa besar perusahaan tersebut dapat memberikan keuntungan

bagi investor.

Nilai perusahaan sangat penting karena mencerminkan kinerja perusahaan

yang dapat mempengaruhi persepsi investor terhadap perusahaan. Untuk dapat

memaksimalkan nilai perusahaan maka manajer dihadapkan pada keputusan

keuangan yang meliputi keputusan investasi, keputusan pendanaan dan keputusan

yang menyangkut pembagian laba (Van Horne, 2001). Nilai perusahaan pada

dasarnya diukur dari beberapa aspek salah satunya adalah harga pasar saham

perusahaan, karena harga pasar saham perusahaan mencerminkan penilaian

investor atas keseluruhan ekuitas yang dimiliki (Wahyudi dan Pawestri, 2006).

Christiawan dan Josua (2007), terdapat beberapa konsep nilai yang

menjelaskan nilai suatu perusahaan antara lain:

1) Nilai nominal yaitu nilai yang tercantum secara formal dalam anggaran

dasar perseroan, disebutkan secara eksplisit dalam neraca perusahaan, dan

juga ditulis jelas dalam surat saham kolektif.

2) Nilai pasar sering disebut kurs adalah harga yang terjadi dari proses tawar

menawar di pasar saham. Nilai ini hanya bisa ditentukan jika saham

perusahaan dijual dipasar saham.

3) Nilai intrinsik merupakan nilai yang mengacu pada perkiraan nilai riil suatu

perusahaan. Nilai perusahaan dalam konsep nilai intrinsik ini bukan sekedar

19

harga dari sekumpulan aset, melainkan nilai perusahaan sebagai entitas

bisnis yang memiliki kemampuan menghasilkan keuntungan di kemudian

hari.

4) Nilai buku adalah nilai perusahaan yang dihitung dengan dasar konsep

akuntansi.

5) Nilai likuidasi adalah nilai jual seluruh aset perusahaan setelah dikurangi

semua kewajiban yang harus dipenuhi. Nilai sisa itu merupakan bagian para

pemegang saham. Nilai likuidasi bisa dihitung berdasarkan neraca yang

disiapkan ketika suatu perusahaan akan dilikuidasi.

Nilai perusahaan dapat dilihat dari Price Book Value (PBV) yang

merupakan perbandingan antara harga saham dengan nilai buku per lembar saham.

Price book value merupakan rasio antara harga perlembar saham dengan nilai buku

perlembar saham. Nilai buku dapat dicari dengan cara modal dibagi dengan jumlah

saham yang beredar. Nilai buku per lembar saham menunjukkan jumlah rupiah

yang akan dibayarkan kepada setiap lembar saham apabila perusahaan pada saat itu

dibubarkan dengan anggapan bahwa semua aktiva dapat direalisir atau dijual

dengan harga yang sama dengan nilai bukunya atau menunjukkan jumlah rupiah

aktiva perusahaan yang menjadi hak setiap lembar saham (Munawir, 2010).

Murhadi (2009) menyatakan ada beberapa alasan mengapa investor

menggunakan rasio harga terhadap nilai buku (PBV) dalam analisis investasi:

pertama, nilai buku sifatnya relatif stabil, bagi investor yang kurang percaya

terhadap estimasi arus kas, maka nilai buku merupakan cara paling sederhana untuk

membandingkannya. Kedua, adanya praktik akuntansi yang relatif standar diantara

20

perusahaan-perusahaan menyebabkan PBV dapat dibandingkan antar berbagai

perusahaan yang akhirnya dapat memberikan sinyal apakah nilai perusahaan under

atau overvaluation (Murhadi, 2009). Terakhir, pada kasus perusahaan yang

memiliki earnings negative maka tidak memungkinkan untuk mempergunakan

PER, sehingga penggunaan PBV dapat menutupi kelemahan PER (Murhadi, 2009).

2.1.4 Struktur Kepemilikan

Sartono (2000: 10) menyatakan agency problem adalah konflik yang timbul

antara pemilik, karyawan, dan manajer perusahaan dimana ada kecenderungan

manajer lebih mementingkan tujuan individu daripada tujuan perusahaan. Masalah

keagenan (agency problem) muncul dalam yaitu antara pemilik perusahaan

(principals) dengan pihak manajemen (Husnan dan Pudjiastuti: 2006: 10). Konflik

antara hubungan dari pihak-pihak di dalam perusahaan terjadi karena adanya

ketidaksamaan tujuan baik antara pemilik, karyawan, dan manajer. Masalah

keagenan ini diharapkan dapat diatasi dengan struktur kepemilikan.

Struktur kepemilikan adalah perbandingan antara jumlah saham yang

dimiliki orang dalam (insider ownership) dengan jumlah saham yang dimiliki oleh

investor (Kartini dan Arianto, 2009). Adanya struktur kepemilikan dapat

berpengaruh terhadap perkembangan kinerja perusahaan karena adanya

pengawasan yang dimiliki oleh pemegang saham sehingga mampu meningkatkan

nilai perusahaan dan memperbaiki kinerja keuangan. Tingkat konsentrasi dan

komposisi kepemilikan menentukan distribusi kekuasaan perusahaan antara

manajer dan pemegang saham yang pada dirinya akan mempengaruhi sifat

21

pengambilan keputusan yang berpengaruh pada perkembangan perusahaan (Sutedi,

2012).

Terdapat dua sudut pandang terkait struktur kepemilikan (Noviawan dan

Septiani, 2013), yaitu:

1) Pendekatan keagenan (agency approach), yaitu pendekatan yang

menganggap bahwa struktur kepemilikan sebagai sebuah alat untuk

mengurangi konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham.

2) Pendekatan ketidakseimbangan informasi (asymmetric information

approach), yaitu pendekatan ketidakseimbangan informasi memandang

mekanisme struktur kepemilikan sebagai suatu cara untuk mengurangi

ketidakseimbangan informasi antara insiders dan outsiders melalui

pengungkapan informasi di dalam pasar modal.

Jumlah pemegang saham besar mempunyai arti penting dalam memonitor

perilaku manajer dalam perusahaan (Susanti, 2011). Ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan dalam struktur kepemilikan, antara lain (Nur’aeni, 2010) :

1) Kepemilikan sebagian kecil perusahaan oleh manajemen mempengaruhi

kecenderungan untuk memaksimalkan nilai pemegang saham dibanding

sekedar mencapai tujuan perusahaan semata.

2) Kepemilikan yang terkonsentrasi memberi insentif kepada pemegang

saham mayoritas untuk berpartisipasi secara aktif dalam perusahaan.

3) Identitas pemilik menentukan prioritas tujuan sosial perusahaan dan

maksimalisasi nilai pemegang saham, misalnya perusahaan milik

22

pemerintah cenderung untuk mengikuti tujuan politik dibanding tujuan

perusahaan.

Pujiati dan Widanar (2009) menyatakan, berdasarkan atas proporsi saham

yang dimiliki dalam suatu perusahaan struktur kepemilikan dikelompokkan

menjadi:

2.1.4.1 Kepemilikan Manajerial

Pada umumnya, manajer dapat diartikan sebagai setiap orang yang

mempunyai tanggung jawab atas bawahan dan sumber daya organisasi lainnya

(Handoko, 2003). Noviawan (2013) menyatakan manajerial berarti suatu sistem

yang mengatur hubungan antara manajer dengan bawahan dan sumber daya

organisasi lainnya. Manajer dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu manajer lini

(supervisor dan mandor), manajer menengah (kepala seksi), dan manajer puncak

(direksi dan komisaris).

Perbedaan tujuan antara manajer dengan pemegang saham mengakibatkan

timbulnya konfilk keagenan yang ada di dalam teori keagenan. Masalah keagenan

dapat diminimalisir dengan adanya kepemilikan manajerial. Kepemilikan

manajerial merupakan pemegang saham dari pihak manajemen yang secara aktif

ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan (Wahidahwati, 2002). Hal ini

sangat membantu perusahaan dalam menyamakan tujuan perusahaan karena

pemegang saham dari dalam perusahaan ikut serta merasakan hasil keputusan yang

diambil sehingga dapat menyatukan tujuan dari manajemen maupun pemegang

saham.

23

Kepentingan manajerial akan menyejajarkan kepentingan manajemen dan

pemegang saham sehingga akan memperoleh manfaat langsung dari keputusan

yang diambil serta menanggung kerugian dari pengambilan keputusan yang salah

(Wongso, 2012). Jensen and Meckling (1976) menyatakan kepemilikan manajer

akan saham perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan

kepentingan antara pemegang saham diluar manajemen sehingga permasalahan

keagenan diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer adalah juga sebagai

seorang pemilik.

Secara teoritis ketika kepemilikan manajerial rendah maka insentif untuk

memonitor terhadap kemungkinan terjadinya perilaku oportunistik manajer akan

meningkat (Nur’aeni, 2010). Manajer harus lebih tegas dalam mengambil

keputusan karena akan berdampak bagi dirinya sendiri yang dimana manajer

merupakan sekaligus pemilik dari saham tersebut. Selain itu, manajer harus mampu

bertanggung jawab mencapai tujuan tersebut yaitu menyamakan keuntungan

manajer dan pemegang saham.

Apabila kepemilikan manajerial kecil berarti hanya sedikit jumlah

pemegang saham yang ikut terlibat dalam mengelola perusahaan sehingga semakin

tinggi pula kemungkinan munculnya masalah keagenan karena adanya perbedaan

kepentingan antara pemegang saham dengan pengelola perusahaan yang semakin

besar (Nur’aeni, 2010). Hal berbeda yang dikatakan Grosman dan Hart (1982 dalam

Zulhawati, 2004) menyatakan bahwa tingkat kepemilikan insider yang terlalu tinggi

berdampak buruk terhadap perusahaan, ini dikarenakan pemegang saham kesulitan

kontrol. Manajer mempunyai hak suaara yang tinggi atas kepemilikan yang tinggi,

24

jadi pengendalian perusahaan akan berpindah dari outsider ke insider. Proporsi

kepemilikan saham oleh manajer harus ditentukan dengan tepat sehingga

memberikan dampak positif bagi perusahaan dalam hal kaitannya dengan kebijakan

yang merupakan otoritas manajer sebagai pengelola.

2.1.4.2 Kepemilikan Institusional

Jensen dan Meckling (1976) menyatakan teori keagenan (Agency Theory)

adalah suatu teori yang menjelaskan hubungan kerjasama antara principal (pemilik

perusahaan) dan agent (manajemen perusahaan), dimana principal mendelegasikan

wewenang kepada agent untuk mengelola perusahaan dan mengambil keputusan.

Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi alat monitoring yang

efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer (Tarjo, 2008).

Kepemilikan institusional merupakan pemegang saham dari pihak luar perusahaan

yang turut mengawasi kinerja perusahaan agar tidak terjadi kecurangan-kecurangan

dalam manajemen.

Putri (2013) menyatakan investor institusional dibedakan menjadi dua yaitu

investor pasif dan investor aktif. Investor aktif merupakan investor yang aktif

terlibat dalam pengambilan keputusan strategi perusahaan. Sedangkan, investor

pasif merupakan investor yang tidak terlalu ingin terlibat dalam keputusan

perusahaan.

Pemegang saham institusional biasanya berbentuk entitas seperti

perbankan, asuransi, dana pensiun, reksa dana dan institusi lain. Investor

institusional umumnya merupakan pemegang saham yang cukup besar karena

memiliki pendanaan yang besar. Semakin besar tingkat kepemilikan saham

25

institusional semakin besar pula pengawasan yang dilakukan untuk menghalangi

perilaku oportunistik manajer (Dian dan Lidyah, 2013).

Semakin tinggi kepemilikan institusional maka semakin kuat kontrol

eksternal terhadap perusahaan dan mengurangi biaya keagenan, sehingga dapat

meningkatkan nilai perusahaan. Adanya kontrol yang ketat, menyebabkan manajer

menggunakan hutang pada tingkat rendah untuk mengantisipasi kemungkinan

terjadinya financial distress dan risiko kebangkrutan (Crutchley et all. 1999).

Keberadaaan investor institusional dianggap mampu mengoptimalkan pengawasan

kinerja manajemen dengan memonitoring setiap keputusan yang diambil oleh pihak

manajemen selaku pengelola perusahaan (Wiranata dan Nugrahanti, 2013).

Jensen and Meckling (1976) menyatakan bahwa, kepemilikan institusional

memiliki peranan yang penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang

terjadi diantara pemegang saham dengan manajer. Permanasari (2010) menyatakan

kepemilikan institusional memiliki kelebihan antara lain:

1) Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi sehingga dapat

menguji keandalan informasi.

2) Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan lebih ketat

atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan.

Wulandari (2005) menyatakan bahwa, struktur kepemilikan perusahaan

publik di Indonesia sangat terkonsentrasi pada institusi. Cruthley et all. (1999)

menyatakan bahwa monitoring yang dilakukan institusi mampu mensubtitusi biaya

keagenan lain sehingga biaya keagenan menurun dan nilai perusahaan meningkat.

Dengan demikian semakin minimnya konflik keagenan akan membuat perusahaan

26

mempunyai keuntungan lebih dan dapat kepercayaan yang lebih dari investor yang

dimana dapat meningkatkan nilai perusahaan.

2.1.5 Investment Opportunity Set

Investasi sebenarnya merupakan suatu tindakan melepaskan dana saat

sekarang yang diharapkan untuk memperoleh arus kas masuk pada waktu yang akan

datang, selama umur proyek itu (Salim dan Moeljadi, 2001: 110). Gitosudarmo dan

Basri (2008: 133) menyatakan investasi merupakan pengeluaran uang pada saat ini,

dimana hasil yang diharapkan dari pengeluaran uang itu baru akan diterima di tahun

akan datang. Proses investasi menunjukkan bagaimana seharusnya seorang investor

membuat keputusan investasi pada efek yang dapat dipasarkan dan kapan dilakukan

(Halim, 2005: 4).

Melakukan kegiatan investasi merupakan keputusan tersulit bagi

manajemen perusahaan karena akan mempengaruhi nilai perusahaan (Vranakis dan

Chatzoglou 2012). Keputusan investasi didefinisikan sebagai kombinasi antara

aktiva yang dimiliki (assets in place) dan pilihan investasi di masa yang akan datang

dengan net present value positif (Myers 1977). Keputusan investasi merupakan

keputusan yang harus diambil manajer dalam mengolah dananya agar kedepannya

dapat memberikan timbal balik yang lebih besar yang dapat membangun

perusahaan.

Sartono (2000: 146) menemukan bahwa, tidak jarang perusahaan

menghadapi masalah lain dalam memilih kesempatan investasi sementara di pihak

lain perusahaan dihadapkan pada keterbatasan kemampuan untuk memenuhi

kebutuhan dana. Ayuningtias dan Kurnia (2013) menyatakan kesempatan investasi

27

di dalam perusahaan adalah menyangkut pemilihan investasi yang diinginkan dari

sekelompok atau set kesempatan investasi yang ada, memilih salah satu atau lebih

alternatif investasi yang dinilai paling menguntungkan. Memilih investasi yang

paling mengutungkan dan risiko yang paling kecil, disini manajer dapat mengelola

keuangan dengan baik dan akan menarik investor. Semakin baiknya keputusan-

keputusan investasi yang diambil perusahaan, maka investor akan menaruh

kepercayaannya untuk mendapatkan keuntungan. Dengan semakin banyaknya

investor yang tertarik maka permintaan sahampun bertambah dan akan

meningkatkan nilai perusahaan.

Investment opportunity set (IOS) bersifat tidak dapat diobservasi oleh sebab

itu perlu menggunakan proksi yang sesuai. Kallapur dan Tombley (2001)

menjelaskan proksi IOS yang digunakan dalam bidang akuntansi dan keuangan

digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu:

1) Proksi IOS berbasis pada harga

Proksi IOS berbasis pada harga merupakan proksi yang menyatakan

bahwa prospek pertumbuhan perusahaan sebagian dinyatakan dalam harga

pasar. Proksi berdasarkan anggapan yang menyatakan bahwa prospek

pertumbuhan perusahaan secara parsial dinyatakan dalam harga-harga

saham, dan perusahaan yang tumbuh akan memiliki nilai pasar yang lebih

tinggi secara relatif untuk aktiva- aktiva yang dimiliki (asset in place)

dibandingkan perusahaan yang tidak tumbuh. Investment opportunity set

yang didasari pada harga akan berbentuk suatu rasio sebagai suatu ukuran

aktiva yang dimiliki dan nilai pasar perusahaan.

28

Proksi IOS yang merupakan proksi berbasis harga adalah: market

value of equity plus book value of debt, ratio of book to market value of

asset, ratio of book to market value of equity, ratio of book value of property,

plant, and equipment to firm value, ratio of replacement value of assets to

market value, ratio of depreciation expense to value dan earning price ratio.

2) Proksi IOS berbasis pada investasi

Proksi IOS berbasis pada investasi merupakan proksi yang percaya

pada gagasan bahwa suatu level kegiatan investasi yang tinggi berkaitan

secara positif dengan nilai IOS suatu perusahaan. Proksi IOS yang

merupakan proksi IOS berbasis investasi adalah: ratio R&D expense to firm

value, ratio of R&D expense to total assets, ratio of R&D expense to sales,

ratio of capital addition to firm value, dan ratio of capital addition to asset

book value.

3) Proksi IOS berbasis pada varian

Proksi IOS berbasis pada varian (variance measurement)

merupakan proksi yang mengungkapkan bahwa suatu opsi akan menjadi

lebih bernilai jika menggunakan variabilitas ukuran untuk memperkirakan

besarnya opsi yang tumbuh, seperti variabilitas return yang mendasari

peningkatan aktiva. Proksi IOS yang berbasis varian adalah: VARRET

(variance of total return), dan Market Model Beta.

2.1.6 Return On Equtiy

Keuntungan suatu perusahaan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti

halnya dari pengelolaan keuangan perusahaan. Pengelolaan keuangan perusahaan

29

dapat berupa keputusan-keputusan yang akan dilakukan seperti keputusan investasi.

Suprantiningrum dan Asji (2013) menyatakan laporan tahunan merupakan salah

satu sumber informasi guna mendapatkan gambaran kinerja perusahaan, informasi

ini diberikan oleh pihak manajemen perusahaan merupakan salah satu cara untuk

memberikan gambaran tentang kinerja perusahaan kepada para stakeholder.

Kinerja keuangan merupakan hal penting yang harus dicapai oleh setiap

perusahaan, karena kinerja keuangan tersebut merupakan cerminan dari

kemampuan perusahaan dalam mengelola dan mengalokasikan sumber dayanya

(Suprantiningrum dan Sabat, 2013).

Rentabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menciptakan laba

atau keuntungan, modal perusahaan pada dasarnya diperoleh dari modal sendiri

(equity) dan modal dari luar (short and long term liabitites) (Raharjaputra, 2009:

195). Return on equity (ROE) juga dapat menjadi tolak ukur efeisensi manajemen

dalam mengelola modalnya untuk mendapatkan keuntungannya. Rasio ROE diukur

dengan laba bersih setelah pajak dibagi modal sendiri yang dikalikan 100 persen.

Rentabilitas modal sendiri atau return on equity, rasio ini mengukur banyak

keuntungan yang menjadi hak pemiliki modal sendiri (Husnan dan Pudjiastuti,

2006: 73). Return On Equity merupakan hal yang dilihat oleh investor karena disini

dapat dilihat perusahaan dapat menghasilkan keuntungannya dengan modal sendiri,

semakin tinggi ROE maka semakin tinggi pula kepercayaan investor. Investor akan

lebih percaya dengan perusahaan yang dapat mengelolah modalnya dengan baik

yang dapat memberi keuntungan kepada mereka.

30

Tingkat return yang diperoleh menggambarkan seberapa baik nilai

perusahaan dimata investor (Suprantiningrum dan Asji, 2013). Dewi, Yuniarta,

Atmadja (2014) menyatakan ROE merupakan rasio keuangan yang digunakan

untuk mengukur profitabilitas dari ekuitas, semakin besar hasil ROE maka kinerja

perusahaan semakin baik. Mardiyati dkk. (2012) menyatakan semakin tinggi nilai

profit yang didapat maka akan semakin tinggi nilai perusahaan, karena profit yang

tinggi akan memberikan indikasi prospek perusahaan yang baik sehingga dapat

memicu investor untuk ikut meningkatkan permintaan saham. Hal ini dapat

meningkatkan nilai perusahaan dengan semakin banyaknya permintaan saham oleh

investor.

2.2 Hipotesis

2.2.1 Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Nilai Perusahaan

Kepemilikan manajerial merupakan pemegang saham dari pihak

manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan

(Wahidahwati, 2002). Saham perusahaan yang juga dimiliki oleh pihak manajer

dapat mewujudkan tujuan perusahaan yaitu meningkatkan nilai perusahaan.

Manajer seringkali mementingkan kepentingan sendiri dengan mengambil

keputusan yang dapat meguntungkan pihak manajer saja dan keputusan yang

diambil akan berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Jensen and Meckling (1976)

menyatakan kepemilikan manajer akan saham perusahaan dipandang dapat

menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara pemegang saham diluar

manajemen sehingga permasalahan keagenan diasumsikan akan hilang apabila

seorang manajer adalah juga sebagai seorang pemilik.

31

Taswan (2003) serta Reyna dan Encalada (2012), menyatakan bahwa faktor

kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, sehingga

semakin besar kepemilikan manajerial maka nilai perusahaan akan meningkat.

Penelitian yang dilakukan Ruan et al. (2011) menyatakan kepemilikan manajerial

mempengaruhi struktur modal, yang pada gilirannya mempengaruhi nilai

perusahaan bagi perusahaan-perusahaan sipil-lari Cina. Hal ini sejalan dengan

penelitian Susanti (2011) menyatakan kepemilikan manajerial memiliki pengaruh

positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian Rizqi dkk. (2013)

juga mengatakan bahwa kenaikan atau penurunan kepemilikan manajerial dapat

mengubah nilai perusahaan. Ullah dkk. (2012) menyatakan kepemilikan manajerial

berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Hal ini sejalan dengan

penelitian Juhandi dkk. (2013).

H1: Kepemilikan manajerial berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai

perusahaan.

2.2.2 Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Nilai Perusahaan

Kepemilikan institusional merupakan kepemilikan yang dimiliki oleh pihak

luar perusahaan. Pihak pemegang saham dari luar perusahaan mampu

meningkatkan kualitas pengawasan dalam kinerja perusahaan agar terhindar dari

kecurangan-kecurangan yang dilakukan manajer. Pengawasan tersebut akan

menuntut manajer untuk menjalankan perusahaan dengan mengarah pada tujuan

utamanya yaitu memaksimalkan kemakmuran pemegang saham yang akan

berdampak pada nilai perusahaan (Wongso, 2013).

32

Penelitian yang dilakukan Dian dan Lidyah (2013), kepemilikan

insitusional berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan, hal itu

disebabkan karena investor beranggapan dengan kepemilikan institusi yang tinggi

maka pengawasan terhadap kinerja perusahaan juga tinggi sehingga perusahaan

mampu menghasilkan laba yang tinggi dan dapat memberikan keuntungan bagi

investor. Hal ini sejalan dengna hasil penelitian Abukosim dkk. (2014), bahwa

kepemilikan institusional berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai

perusahaan. Haruman (2008) yang menyatakan kepemilikan institusional memiliki

pengaruh dengan arah positif, semakin tinggi proporsi kepemilikan institusi akan

meningkatkan nilai perusahaan. sejalan dengan penelitian Thanatawee (2014).

H2: Kepemilikan institusional berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai

perusahaan.

2.2.3 Pengaruh Investment Opportunity Set terhadap Nilai Perusahaan

Optimalisasi nilai perusahaan dapat dicapai melalui pelaksanaan fungsi

manajemen keuangan dimana satu keputusan keuangan yang diambil akan

mempengaruhi keputusan keuangan lainnya dan berdampak pada nilai perusahaan

(Fama dan French, 1978). Keputusan investasi yang dilakukan oleh pihak manajer

akan berdampak bagi perusahaan. Pemilihan investasi tergantung peluang investasi

yang dimiliki perusahaan. Semakin besar peluang investasi perusahan maka

perusahaan dapat memilih investasi yang dapat menguntungkan dan memilih risiko

yang kecil.

Penelitian yang dilakukan Nasrum (2013) menyatakan keputusan investasi

berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Ketika keputusan investasi

33

diproksikan melalui set kesempatan investasi (IOS) meningkat, maka nilai

perusahaan juga akan meningkat. Sama halnya dengan penelitian Pratiska (2012),

IOS berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan, dimana investor

percaya bahwa perusahaan yang meningkatkan IOS, akan memiliki prospek yang

bagus di kemudian hari sehingga berinvestasi pada perusahaan tersebut akan

menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi. Hasil penelitian Rizqi dkk. (2013) juga

mengatakan bahwa kenaikan atau penurunan peluang investasi dapat mengubah

nilai perusahaan. Penelitian yang lain yang sejalan yang dilakukan Ayuningtias dan

Kurnia (2013) serta Wijaya dan Wibawa (2010) yang menyatakan IOS berpengaruh

positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan.

H3: Investment Opportunity Set berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai

perusahaan.

2.2.4 Pengaruh Return On Equtity terhadap Nilai Perusahaan

Return on equity adalah rasio yang mengukur banyak keuntungan yang

menjadi hak pemiliki modal sendiri (Husnan dan Pudjiastuti, 2006: 73). Return on

equity memperlihatkan bagaiamana kemampuan perusahaan dalam mengelola

modalnya agar mendapatkan keuntungan. Tingkat return yang diperoleh

menggambarkan seberapa baik nilai perusahaan dimata investor (Suprantiningrum

dan Asji, 2013). Investor akan tertarik dengan ROE yang tinggi karena akan

semakin tinggi juga keuntungan bagi pemeganng saham. Banyaknya investor yang

tertarik pada perusahaan membuat nilai perusahaan semakin meningkat.

Penelitian Mardiyati dkk. (2012) serta Dewi dan Wirajaya (2013) ROE

berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Hal ini sejalan dengan

34

hasil penelitian Dewi dkk. (2014), semakin tinggi ROE maka semakin tinggi juga

price book value sebagai ukuran dari nilai perusahaan karena investor akan

membeli saham-saham dan akan lebih tertarik dengan ROE atau bagian dari total

profitabilitasnya ke pemegang saham. Sejalan dengan hasil penelitian

Suprantiningrum dan Asji (2013), bahwa besarnya keuntungan yang diperoleh

perusahaan melalui modal yang dimiliki akan meningkatkan nilai perusahaan.

Penelitian lainnya yang sejalan yaitu Marangu dan Jagongo (2014).

H4: Return on Equity berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan.