bab ii kajian pustaka a.tinjauan umum tentang ...eprints.umm.ac.id/46921/3/bab ii.pdfvers adalah...
TRANSCRIPT
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.Tinjauan Umum Tentang General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)
1. Sejarah GATT
Pada akhir Perang Dunia II (PD II), perdagangan internasional berada
dalam keadaan yang tidak menentu, banyak peringkat dari subsistem yang
menunjang kelancaran perdagangan yang telah mengalami kerusakan baik
institusional maupun fisik.17 Sebagian besar dari kegiatan perdagangan
terpaksa dilakukan secara ad-hoc sementara secara bertahap sendi-sendi yang
menunjang mulai diperbaiki.18 Adapun upaya masarakat internasional setelah
perang dunia kedua adalah memperbaiki ataupun merekontruksi kembali
perekonomian dunia. Dalam pelaksanaannya, upaya masyarakat internasional
untuk menangani masalah keuangan dan moneter internasional dapat
dilaksanakan dengan cara yang relatif lebih cepat.19
Dalam Konferensi Bretton Woods tahun 1944, masyarakat internasional
menyetujui didirikannya Dana Moneter Internasional atau International
Monetary Fund (IMF) dalam waktu yang relatif singkat.20 Begitu pula
dalam hal menentukan rencana untuk mengadakan rekontruksi bagi negara-
negara menghadapi kerusakan akibat PD II. Untuk itu masyarakat internasional
17 H. S. Kartadjoemena, 2002. GATT dan WTO : Sistem, Forum, dan Lembaga
Internasional di Bidang Perdagangan(selanjutnya disebut Buku II) Jakarta: UI Press, hlm. 33. 18 ibid 19 ibid., hlm. 34 20 ibid
17
telah mendirikan Bank Dunia atau International Bank for Recontruction and
Development (IBRD). Bank dunia juga didirikan secara bersamaan pada tahun
1944 dalam rangka perjanjian yang ditandatangani di Bretton Woods.21 Untuk
masalah yang menyangkut bidang perdagangan internasional, dikemukakan
bahwa perkembangan institusional dibidang perdagangan internasional tidak
terlampau lancar.22
Berbeda dengan bidang finansial dan keuangan, dibidang perdagangan,
negara-negara peserta konferensi tidak berhasil medirikan suatu organisasi
internasional. Semula diharapkan bahwa rencana untuk mendirikan
International Trade Organization (ITO) dapat disetujui untuk diciptakan agar
menangani masalah perdagangan internasional. Namun, Karena berbagai
pertimbangan politis, ITO tidak jadi terbentuk yang terutama disebabkan
karena kongres Amerika Serikat tidak menyetujui untuk didirikannya ITO,
dimana AS memiliki peranan yang sangat menentukan untuk terwujudnya
perdagangan bebas dunia. Maka terdapat suatu kekosongan institusional pada
tingkat internasional dalam bidang perdagangan.23
Dengan adanya kekosongan institusional tersebut, maka GATT yang
semula merupakan suatu perjanjian interim, menjadi satu-satunya instrumen
dibidang perdagangan yang telah memperoleh konsensus yang luas untuk
menjadi landasan dalam pengaturan tata cara perdagangan internasionalyang
21 ibid 22 ibid 23 Hendra Halwani.2002. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hlm. 340.
18
mana benih sejarah pembentukan GATT sebenarnya berawal dari waktu
ditandatanganinya Piagam Atlantik (Atlantic Charter) pada bulan Agustus
1941.24
Salah satu sumber hukum yang penting dalam hukum perdagangan
internasional adalah persetujuan umum mengenai Tarif dan Perdagangan
(General Agreemant On Tariff And Trade atau GATT). 25 Dengan demikian
maka pada tahun 1947 GATT menjadi satu-satunya lembaga yang beroperasi
sebagai organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional,
sekurang-kurangnya bagi negara-negara anggota. Karena perdagangan
internasional antara negara-negara anggota merupakan sekitar 80% dari
seluruh perdagangan dunia secara riil, maka GATT menetapkan dan
menerapkan aturan permainan dari hampir seluruh perdagangan internasional.26
GATT dibentuk pada Oktober tahun 1947. lahirnya WTO pada tahun
1994 membawa perubahan yang sangat penting bagi GATT. Pertama, WTO
mengambil alih GATT dan menjadikannya salah satu lampiran aturan WTO.
kedua, bidang baru dalam perjanjian WTO, khususnya perjanjian mengenai
jasa (GATS), penanaman modal (TRIMs), dan juga perjanjian mengenai
perdagangan yang terkait dengan hak atas kekayaan intelektual (TRIPS).27
GATT didirikan setelah perang Dunia II pada Oktober tahun 1947
bersamaan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Internasional
24 H. S. Kartadjoemena, Loc. Cit., hlm 34. 25 Huala Adolf. Hukum Perdagangan Internasional.2005. Jakarta: PT Raja Grapindo
Persada. hal 97 26 Huala Adolf, Op.cit., hlm. 103-106. 27 ibid., hal 97
19
Monetary Fund (IMF), International Bank for Reconstruction and
Develophment (IBRD/BANK DUNIA) . Ada dua puluh tiga anggota yang
tergabung dalam GATT. Hingga tahun 1994, ketika Putaran Uruguay telah
selesai dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) didirikan pada tanggal 1
Januari 1995. GATT adalah satu-satunya organisasi multilateral yang membuat
peraturan tentang kebijakan perdagangan internasional.28
GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang awalnya hanya
merupakan suatu perjanjian interim, menjadi satu satunya instrumen di
bidang perdagangan yang telah memperoleh konsensus untuk menjadi landasan
dalam pengaturan tata cara perdagangan internasional. GATT sebenarnya
hanya merupakan salah satu dari Chapters yang direncanakan menjadi isi
Havana Charter mengenai pembentukan ITO, yaitu chapter yang menyangkut
kebijaksanaan perdagangan (trade policy).29
GATT yang berlaku sejak 1948 bukanlah suatu organisasi dan hanya
merupakan persetujuan multilateral yang berisi ketentuan dan disiplin dalam
mengatur perilaku negara-negara dalam kegiatan perdagangan internasional.
Dokumen utama GATT yang berjudul The General Agreement on Tariffs and
Trade terdiri atas 4 bagian dan 38 pasal. Tujuan dari persetujuan GATT ini
adalah untuk menciptakan suatu iklim dalam perdagangan internasional yang
aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta untuk menciptakan liberalisasi
28 Ratya Anindita & Michael R.Reed, 2008, Bisnis dan Perdagangan Internasional, CV.
Andi Offset. Yogyakarta, hlm.67. 29 Christhophorus Barutu. Ketentuan Antidumping Subsidi dan Tindakan Pengamanan
(Safeguard) Dalam GATT dan WTO. hlm 7
20
perdagangan yang berkelanjutan di dalam penanaman modal, lapangan kerja
dan penciptaan iklim perdagangan yang sehat.30
Selain itu, ada tiga fungsi utama GATT dalam mencapai tujuannya,
yaitu:31 Pertama, sebagai suatu perangkat ketentuan multilateral yang
mengatur tindak-tanduk perdagangan yang dilakukan oleh pemerintah dengan
memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan. Kedua, sebagai suatu
forum perundingan perdagangan. Ketiga, adalah sebagai suatu “pengadilan”
internasional di mana para anggotanya menyelesaikan sengketa dagangnya
dengan anggota-anggota GATT lainnya.
Masalah-masalah perdagangan dalam GATT diselesaikan melalui
serangkaian perundingan multilateral yang juga dikenal dengan nama Putaran
Perdagangan (Trade Round) untuk mempercepat terwujudnya liberalisasi
perdagangan internasional. Dalam GATT, ada beberapa kali diadakan Putaran
Perdagangan sebelum WTO terbentuk, yaitu sebagai berikut.32
a. Putaran Jenewa tahun 1947 (23 negara peserta), Putaran Annecy
tahun 1949 (13 negara peserta), Putaran Torquay tahun 1950-1951
(33 negara peserta), Putaran Jenewa tahun 1956 (26 negara
peserta), dan Putaran Dillon tahun 1960-1961 (26 negara peserta)
hanya membahas masalah tarif (upaya penurunan atau
penghapusan hambatan tarif perdagangan).
30 Huala Adolf, A. Chandrawulan.1994. Masalah-Masalah Hukum dalam Perdagangan
Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm 1. 31 Ibid. hlm. 4 32 Christhophorus Barutu, op. cit., hlm. 10.
21
b. Putaran Kennedy tahun 1964-1967 diikuti oleh 62 negara peserta
yang khusus membahas masalah tarif dan Anti-dumping;
c. Putaran Tokyo tahun 1973-1979 (102 negara peserta) yang
membahas masalah tarif dan nontarif juga serangkaian persetujuan
di bidang pertanian dan manufaktur;
d. Putaran Uruguay tahun 1986-1994 (123 negara peserta) yang
membahas masalah tarif, hambatan nontarif, produk sumber daya
alam, tekstil dan pakaian jadi, pertanian, produk tropis, pasal-pasal
GATT, Tokyo Round Codes, Anti-dumping, subsidi, kekayaan
intelektual, aturan investasi, penyelesaian sengketa, sistem GATT,
dan jasa.
Konsep pembentukan GATT pada prinsipnya sama dengan WTO yaitu
untuk menciptakan suatu iklim perdagangan internasional yang aman dan jelas
bagi masyarakat bisnis, serta untuk menciptakan liberalisasi perdagangan yang
berkelanjutan, lapangan kerja dan iklim perdagangan yang sehat. Untuk
mencapai tujuan itu, sistem perdagangan internasional yang diupayakan WTO
GATT ialah sistem yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan di seluruh dunia.
2. Prinsip-prinsip GATT33
Untuk mencapai tujuannya GATT berpedoman pada lima prinsip utama
yaitu sebagai berikut:
33 Huala adolf. 2014, hukum perdagangan internasional. Jakarta. Rajawali Press. hal 108
22
1. Prinsip Most-favoured-Nation
Prinsip most favoured nation ini termuat dalam pasal 1 GATT. Prinsip
ini menyatakan suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar
nondiskriminatif. menurut prinsip ini semua negara anggota terikat untuk
memberikan negara negara lainya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan
kebijakan ekspor dan impor serta yang menyangkut biaya biaya yang
lainnya.34
Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera dan
tanpa syarat (immediately and unconditionally) terhadap produk yang
berasal atau yang diajuakan kepada semua anggota GATT. oleh karena itu,
suatau negara tidak boleh memberikan perlakuan istimewa kepada negara
lainnya atau memberlakuakan tindakan diskriminasi terhadapnya. Prisip ini
tamapak dalam pasal 4 perjajian yang terkait dengan hak kekayaan
intelektual (TRIPS) dan tercantum pula dalam pasal 2 perjajian mengenai
jasa (GATS).
Pendek kata, semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama
dan semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan
perdagangan. Namun demikian, dalam pelaksanaanya prisip ini mendapat
pengecualian-pengecualianya, khususunya dalam menyangkut kepentingan
negara yang sedang berkembang.
Jadi, berdasarkan prinsip itu, suatu negara anggita pada pokoknya
dapat menununut untuk diperlakukan sama terhadap produk impor dan
34 Olivier Long dalam Huala Adolf. 2014. hukum perdagangan
internasional.Jakarta.Rajawali Press.hal 108
23
ekspornya maupun di negara-negara anggota lain. Namun demikian, ada
beberapa pengecualian terhadap prinsip ini.
Pengecualian tersebut ada yang ditetapkan dalam pasal-pasal GATT
itu sendiri dan sebgian lagi ada yang ditetapkan dalam putusan-putusan
dalam konferensi-konferensi GATT melalui suatu penanggalan (waiver)
dan prinsip-prinsip GATT berdasarkan pasal XXV. Pengecualian yang
dimaksud adalah sebagai berikut.
a. Keuntungan yang diperoleh karena jarak lalu lintas (frontier
traffic advantage), tidak boleh dikenankan terhadap anggota
GATT lainya (pasal VI).
b. Perlakuan preferensi dalam wilayah-wilayah tertentu yang sudah
ada (misalnya kerjasama ekonomi dalam ‘British Commonwelth’;
the French Union (prancis dengan negara-negara bekas
koloninya); dan benelux (Benelux Economic Union), tetat boleh
terus dilaksanakan namun tingkat batas preferensinya tidak boleh
dinaikan (pasal 1 ayat 2-4)
c. Anggota-anggota GATT yang membentuk suatu Customs Union
atau Free trade Area yang memenuhi persyaratan pasal XXIV
tidak harus memberikan perlakuan yang sama kepada negara
anggota lainya. Untuk negara-negara yang membentuk
pengaturan-pengaturan preferensial regional dan bilateral yang
tidak memenuhi persyaratan pasal XXIV, dapat membentuk
24
pengecualian dengan menggunakan alasan ‘penanggalan’
(waiver) terhadap ketentuan GATT.
Penanggalan ini dapat pula dilakukan atau diminta oleh suatu
negara anggota. Menurut prisip ini, suatu negara dapat, memohon
pengecualian dari kewajiban tertentu yang ditetapkan GATT
ketika ekonominya atau keadaan perdaganganya dalam keadaan
yang sulit.
d. Pemberian prefensi tarif oleh negara-negara maju kepada produk
impor dari negara yang sedang berkembang atau negara-negara
yang kurang beruntung (last developed) melalui Fasilitas
Generalized system of Preference (sistem preferensi umum).35
Pengecualian lainnya adalah apa yang disebut dengan ketentuan
‘pengamanan’ ( safeguard rule) pengakuan ini mengakui bahwa suatu
pemerintah, apabila tidak mempunyai upaya lain, dapat untuk melindungi
atau memproteksi untuk sementara waktu industri dalam negerinya.
Pengaturan ‘saveguard’ ini, yang diatur dalam pasal XIX,
memperbolehkan kebijakan demikian, namun hanya dipakai dalam keadaan-
keadaan tertentu saja. Suatu negara naggota dapat membatasi atau
menangguhkan suatu konsesi tarif pada produk-produk yang di impor dalam
suatu jumlah (kuantitas) yang meningkat dan yang menyebabkan kerusakan
serius (serious injury) terhadap produsen dalam negeri.
35 Gunter Jaenicke, dalam. dalam Huala Adolf.2014. hukum perdagangan
internasional.Jakarta.Rajawali Press. hal 110
25
Dalam tahun-tahun belakangan ini, cukup banyak anggota GATT
yang menerapkan pengaturan bilateral yang diskriminatif yang juga sering
kali disebut dengan ‘voluntary export restraints’ (VERs) kebijakan
perdagangan ini dilakukan untuk menghindari salah satu isu yang cukup
hangat dibahas dalam Putaran Uruguay yakni perdagangan tekstil.
VERs adalah cara ‘halus’ negara maju untuk menekan negara sedang
berkembang yang umumnya adalah penghasil tekstil. untuk membatasi
produk tekstil kedalam pasar dalam negerinya, negara maju secara halus
menyatakan kepada negara berkembang untuk mengekspor tekstilnya dalam
jumlah tertentu saja. Dalam hal ini, negara maju menenkankan bahwa
pembatasan jumlah tersebut semata-mata haruslah sukarela sifatnya yang
datang atau berasal dari kehendak negara berkembang.
2. Prinsip National treament
Prinsip National Treatment terdapat dalam pasal III GATT. menurut
prinsif ini, produk dari suatu negara yang diimpor kedalam suatu negara
harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri.36 prinsip ini
sifatnya berlaku luas. prinsip ini juga berlaku terhadap semua macam pajak
dan pungutan pungutan lainnya. ia berlaku pula terhadap perundang
undangan, pengaturan dan persyaratan-persyaratan (hukum) yang
memengaruhi penjualan, pembelian,pengangkutan, distribusi atau
penggunaan produk-produk di pasar dalam negeri. prinsip ini juga
36 Olivier Long dalam Huala Adolf.2014. hukum perdagangan
internasional.Jakarta.Rajawali Press.hal 111
26
memberikan perlindungan terhadap proteksionisme sebagai akibat atau
upuya-upaya kebijakan administratif atau legislatif.37
prinsip National Treatment dan prinsip MPN merupakan prinsip
sentral dibandingkan dengan prinsip prinsip lainnya dalma GATT. kedua
prinsip ini menjadi prinsip pada pengaturan bidang bidang perdagangan
yang kelak lahir dalam putaran Uruguay. Misalanya, prinsip ini tercantum
dalam pasal 3 perjajian TRIPS. Kedua prisip INI diberlakukan pula dalam
The General Agreemant On Trade On Service (GATS). dalam GATS,
negara-negara anggota WTO diwajibkan untuk memberlakuakan perlakuan
yang sama (MFN treatment) terhadap jasa-jasa atau terhadap pemberi jasa
dari suatu negara terhadap negara lainnya.
Meskipun demikaian, perjajian WTO memperbolehkan suatu negara
untuk meminta pembebasan dari penerapan kewajiban MFN ini yang
mencakup upaya-upaya tertentu (spesific measure) yang pada mulanya tidak
dapat menwarkan perlakuan demikian.
Untuk maksud tersebut, ketika suatu negara meminta suatu
pembebasan dari penerapan kewajiban MFN, permintaan tersebut akan di
tinjau setiap lima tahun. pembebasan dari kewajiban MFN hanya boleh
dilakuakan untuk jangka waktu 10 tahun.
Prinsip national treatment merupakan suatu kewajiban dalam GATS
yang mana negara-negara secara ekplisit harus menerapkan prinsip ini
terhadap jasa-jasa atau kegiatan jasa-jasa tertentu. oleh karena itulah prisip
37 Ibid
27
natioanal treatment atau perlakuan nasional ini pada umumnya hasil dari
negosiasi atau perundingan diantara negara-negara anggota.
3. Prinsip larangan Restriksi (pembatasan kuantitatif)
Ketentuan dasar GATT adalah larangan restriksi kuatitatif yang
merupakan rintangan terbesar terhadap GATT. restriksi kuantitatif terhadap
ekspor dan impor dalam bentuk apa pun ( misalnya dalam pembatasan kuota
impor atau ekspor, lisensi ekspor atau impor, pengawasan pembayaran
ekspor atau impor), pada umumnya dilarang (pasal IX). hal ini disebabkan
karena praktek demikian menggagu praktek perdagangan yang normal.
Restriksi kuatitatif dewasa ini tidak begitu meluas dinegara maju.
namun demikian, tektil, logam, dan beberapa produk produk tertentu, yang
kebanyakan berasal dari negara negara yang sedang berkebang masih
acapkali terkena rintangan ini.
Namun demikian dalam pelaksanaanya, hal tersebut dapat dilakukan
dalam hal: pertama, untuk mencegah terkurasnya produk produk esensial di
negara pengekspor. kedua untuk melindungi pasar dalam negeri khususnya
yang menyangkut produk pertanian dan perikanan. ketiga, untuk
mengamankan, berdasarkan escape clause (pasal XIX), meningkatkan
impor yang berlebihan (increase of import) di dalam negeri sebagai upaya
untuk melindungi, misalanya, terancamnya produksi dalam negeri; keempat,
untuk melindungi neraca pembayaran (luar negerinya) (pasal XII).
28
Meskipun demikian, restriksi tersebut tidak boleh diterapkan di luar
yang diperlukan untuk melindungi neraca pembayarannya. Restriksi itu pun
secara progresif harus dikurangi bahkan di hilangkan apabila tidak
dibutuhakan kembali.
Dengan adanya pengakuan sebagaimana diatur dalam pasal XVII,
pengecualian itu telah diperluas pada negara-negara yang sedang
bekembang. dalam hal ini negara tersebut dapat memberlakuakan restriksi
kuantitatif untuk mencegah terkurasnya Valuta asing (devisa) mereka yang
disebabkan oleh adanya permintaan untuk impor yang diperlukan bagi
pembayaran atau karena mereka sedang mendirikan atau memperluas
produksi dalam negerinya.
Bagi kepentingan negara tersebut, GATT menyelenggarakan
konsultasi secara reguler yang diadakan dengan negara yang mengajukan
restriksi impor untuk melindungi neraca pembayarannya. Menurut pasal
VIII, restriksi kuantitatif ini, meskipun diperbolehkan, tidak boleh
diterapkan secara diskriminatif.
4. Prinsip perlindungan melalui tarif
Pada prinsipnya GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi
terhadapp indutri domestik melalui tarif (menaikan tingkat tarif bea masuk)
dan tidak melalui upaya upaya perdagangan lainya (non-tarif commercial
measures).
Perlindungan melaluai tarif ini menunjukan dengan jelas tingkat
perlindungan yang diberikan dan masih memungkinkan adanya kompetisi
29
yang sehat. Sebagai kebijakan untuk mengatur masuknya barang ekspor dari
luar negeri, pengenaan tarif ini masih diperbolehkan dalam GATT. Negara-
negara GATT umumnya banyak menggunakan cara ini untuk melindungi
industri dalam negerinya dan juga untuk menarik pemasukan untuk
negara yang bersangkutan.
Meskipun diperbolehkan, pengunaan tarif ini tetap tunduk pada
ketentuan ketentuan GATT. misalanya saja pengenaan atau penetapan tarif
tersebut tidak boleh diskriminatif dan tunduk pada komitmen tarifnya
kepada GATT/WTO.
Komitmen tarif ini maksudnya adalah tingkat tarif suatu negara
terhadap suatu produk tertentu. tingkat tarif ini menjadi komitmen negara
tersebut yang siftanya mengikat. oleh karena itu suatu negara yang telah
menyatakan komitmennya atas suatu tarif tidak dapat semena-mena
meningkatkan tarif yang telah ia sepakati, kuacuali diikuti dengan negoisasi
mengenai pemberian kompensasi dengan mitra-mitra dagangnya (pasal
XXVII).
Perlu dikemukakan disini bahwa negoisasi tarif diantara negara-negara
merupakan salah satu pekerjaan GATT (yang sekarang juga dilanjutkan oleh
WTO). Tujuan GATT dalam hal ini adalah berupaya menurunkan tingkat
tarif ke titik yang serendah-rendahnya.
30
5. Prinsip Resiprositas
Prinsip ini merupakan prinsip pundamental dalam GATT. prinsip ini
tampak pada preambule GATT dan berlaku dalam perundingan perundingan
tarif yang didasarkan atas timbal balik dan menguntungkan kedua belah
pihak.
6. Perlakuan khusus bagi negara yang sedang berkembang
Sekitar dua pertiga negara negara anggota GATT adalah negara
negara yang sedang berkembang yang masih berada pada tahap awal
pembangunan ekonominya. untuk membantu pembangunan mereka, pada
tahun 1965, suatu bagian baru yaitu part IV yang memuat tiga pasal (pasal
XXXVI-XXXVIII) ditambahkan dalam GATT tiga pasal baru tersebut
dimaksudkan untuk mendorong negara negara indusrti dalam membantu
pertumbuhan ekonomi ekonomi negara yang sedang berkembang.
Bagian IV ini mengakui kebutuhan negara yang sedang berkembang
untuk menikmati akses pasar yang lebih menguntungkan. bagian ini juga
melarang negara-negara maju untuk membuat rintangan-rintangan baru
terhadap ekspor negara negara yang sedang berkembang. negara negara
industri juga mau menerima bahwa mereka tidak akan menerima balasan
dalam perundingan mengengenai penurunan atau penghilangan tarif atau
rintangan-rintangan terhadap perdagangan negara negara yang sedang
berkembang.
31
Pada waktu putaran tokyo 1979 berakhir, negara-negara sepakat dan
mengeluarkan putusan mengenai pemberian perlakuan yang lebih
menguntungkan dan partisipasi yang lebih besar bagi negara sedang
berkembang dalam perdagangan dunia (enebling clause). keputusan tersebut
mengakui bahwa negara sedang berkembang juga sebagai pelaku yang
permanen dalam sistem perdagangan dunia. pengakuan ini juga merupakan
dasar hukum bagi negara industri untuk memberikan GSP (generalizaed
system of preferences atau sistem prefensi umum) kepada negara-negara
yang sedang berkembang.
3. Tujuan dan fungsi dibentuknya GATT
Tujuan utama GATT-WTO yang utama dapat dilihat dengan jelas seperti
yang tercantum dalam prambule nya yaitu:38
a. meningkatkan taraf hidup umat manusia.
b. meningkatkan kesempatan kerja.
c. meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia.
d. meningkatkan produksi dan tukar menukar barang.
Dalam mencapai tujuan tersebut, GATT-WTO mempunyai tiga fungsi yang
utama yaitu sebagai berikut:39
38 ibid. hal 98 39 ibid
32
a. Sebagai perangkat ketentuan atau aturan multilateral yang mengatur
transaksi perdagangan yang dilakukan oleh negara anggota GATT-WTO
dengan memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan (the rules of
the road for trade).
b. Sebagai forum atau wadah perundingan perdagangan. Dalam GATT-
WTO diupayakan praktik perdagangan dibebaskan dari rintangan
rintangan yang menganggu (liberalisasi perdagangan). Selain itu GATT-
WTO mengupayakan agar peraturan atau praktik perdagangan demikian
itu menjadi jelas (predictable) baik melalui pembukaan pasar nasional
atau melalui penegakan dan penyebarluasan pemberlakuan peraturannya.
c. Sebagai suatu pengadilan internasional dimana para anggotanya
menyelesaikan sengketa dagang dengan anggota yang lain. Hal ini
sebenarnya menarik karena pada pembentukan GATT tidak dilengkapi
badan khusus atau aturan khusus mengenai penyelesaian sengketa.
B. Tinjauan Umum Tentang World Trade Organization (WTO)
1. WTO Sebagai Organisasi Perdagangan Dunia
World Trade Organization, selanjutnya disingkat dengan (WTO) atau
Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional
yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem
perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi
aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang
telah ditandatangani oleh negara-negara anggota.
33
WTO didirikan negara anggotanya dengan maksud dan tujuan
bersama sebagaimana dicantumkan dalam mukadimahnya sebagai berikut:40
Bahwa hubungan-hubungan perdagangan dan kegiatan ekonomi negara negara
anggota harus dilaksanakan dengan maksud untuk meningkatkan standar
hidup, menjamin lapangan kerja sepenuhnya, peningkatan penghasilan nyata,
memperluas produksi dan perdagangan barang dan jasa, dengan penggunaan
optimal sumber-sumber daya dunia sesuai dengan tujuan pembangunan
berkelanjutan. Juga mengusahakan perlindungan lingkungan hidup dan
meningkatkan cara-cara pelaksanaannya dengan cara-cara yang sesuai dengan
kebutuhan masing-masing negara yang berada pada tingkat pembangunan
ekonomi yang berbeda. Dalam mengejar tujuan-tujuan ini diakui adanya suatu
kebutuhan akan langkah-langkah positif untuk menjamin agar supaya Negara
berkembang, teristimewa yang paling terbelakang, mendapat bagian dari
pertumbuhan perdagangan internasional sesuai dengan kebutuhan
pembangunan ekonominya. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini diadakanlah
suatu pengaturan yang saling menguntungkan yang diarahkan pada
pengurangan tarif secara substansial dan juga hambatan-hambatan non-tarif
terhadap perdagangan, dan untuk menghilangkan perlakuan diskriminatif
dalam hubungan perdagangan internasional.
Diantara fungsi WTO yang terpenting adalah melancarkan
pelaksanaan, pengadministrasian serta lebih meningkatkan tujuan dari
perjanjian pembentukan WTO sendiri serta perjanjian-perjanjian lain yang
40 Hira Jhamtani, 2005 WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga, Yogyakarta: INSIST
press, hal. 3.
34
terkait dengannya.41 Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-
anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan
kebijakan perdagangannya. Walaupun ditandatangani oleh pemerintah, tujuan
utamanya adalah untuk membantu para produsen barang dan jasa, eksportir
dan importir dalam kegiatan perdagangan. Indonesia merupakan salah satu
negara pendiri WTO dan telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO
melalui UU NO. 7/1994.
Perjanjian-perjanjian WTO sangat luas dan kompleks sebab
menyangkut berbagai bidang seperti tekstil dan pakaian, pertanian, perbankan,
telekomunikasi, belanja negara (government procurement), standar industri,
undang-undang sanitasi dan keamanan makanan, perlindungan hak
kekayaan intelektual dan sebagainya. Namun demikian terdapat beberapa
prinsip mendasar yang menaungi semua bentuk perjanjian dalam WTO
yakni:42 Trade without discrimination (prinsip non-diskriminasi dalam
perdagangan): (a) Most favoured nation (MFN): treating other people equally,
(b) National treatment; Freer Trade: gradually, through negotiation (mencapai
perdagangan bebas secara bertahap melalui negosiasi)10; Predictable (dapat
diprediksi); Promoting fair competition (mendorong persaingan dagang yang
adil); Encouraging development and economic reform (mendorong
pembangunan dan pembaharuan ekonomi bagi negara miskin dan
berkembang).
41 Hata. 2006. Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO Aspek-Aspek
Hukum dan Non Hukum. Bandung: Refika Aditama, hal. 88. 42 www.wto.org Understanding the WTO: Principles of the Trading System, World Trade
Organization. diakses tanggal 1 Mei 2017.
35
1) Trade Without Discrimination (Prinsip Non-Diskriminasi dalam
Perdagangan)
a) Most favoured nation (MFN): treating other people equally
Dalam perjanjian WTO, semua negara diperlakukan sama.
Artinya negara-negara anggota WTO tidak boleh melakukan
diskriminasi terhadap mitra dagangnya dan tidak boleh ada
perbedaan perlakuan antara produk domestiknya dengan produk
impor. Kebaikan standar ini dalam bentuknya yang tak bersyarat
adalah bahwa ia secara umum memberlakukan bagi seluruh peserta
perjanjian keuntungan-keuntungan yang diberikan oleh salah satu
dari mereka kepada negara ketiga. Prinsip ini merupakan landasan
bagi tiga perjanjian WTO, yaitu GATT (artikel 1), GATS (artikel
2) dan TRIPS (artikel 4).43
b) National treatment
Dalam prinsip ini produk lokal maupun produk impor harus
diperlakukan sama. Prinsip perlakuan sama dengan produk nasional
ini meliputi bidang jasa, merek, undang-undang hak cipta dan hak
paten. Misalnya, pajak penjualan yang sama akan dikenakan bagi
produk serupa yang dijual orang asing dan yang diperdagangkan
warga negara sendiri. Prinsip ini merupakan landasan bagi tiga
43 Hata. Op. Cit., hal. 55.
36
perjanjian WTO yaitu GATT (artikel 3), GATS (artikel 17) dan
TRIPS (artikel 3).44
2) Freer Trade: Gradually, Through Negotiation (Mencapai
Perdagangan Bebas Secara Bertahap Melalui Negosiasi)
Dalam prinsip ini mencapai perdagangan bebas dilakukan secara
bertahap melalui negosiasi. Menurunkan hambatan perdagangan
merupakan langkah nyata dalam mendorong perdagangan. Berbagai
masalah hambatan perdagangan seperti bea masuk (tarif) dan larangan
impor atau kuota yang membatasi kuantitas suatu produk secara
selektif serta isu-isu lain seputar hambatan perdagangan seperti
penggunaan label merah dan perubahan kebijakan nilai tukar juga
didiskusikan dalam rangkaian negosiasi perdagangan.
3) Predictable (Dapat Diprediksi)
Dengan adanya stabilitas dan prediktibilitas bagi dunia usaha
maka iklim investasi dapat mendorong terciptanya lapangan
pekerjaan, peluang-peluang bisnis dan keuntungan yang dapat
dinikmati oleh konsumen dari ketersediaan berbagai jenis barang
dengan harga murah sebagai akibat dari munculnya persaingan dagang
yang sehat. Dengan adanya stabilitas dan prediktibilitas akan
menurunkan hambatan perdagangan seperti kuota dan langkah-
langkah lainnya yang bertujuan untuk membatasi masuknya produk
impor.
44 ibid
37
4) Promoting Fair Competition (Mendorong Persaingan Dagang Yang
Adil)
Dalam prinsip ini, persaingan dalam perdagangan dapat
diterapkan secara adil. Sistem WTO masih memperkenankan
penerapan tarif dan bentuk-bentuk proteksi dalam skala kecil. Melalui
berbagai tahapan liberalisasi perdagangan yang progresif, penerapan
tarif dan kebijakan proteksi tersebut diharapkan dapat dihilangkan
sepenuhnya sehingga kondisi perdagangan yang adil akan tercipta.
Mekanisme MFN dan nationaltreatment diharapkan dapat
mengurangi praktek dumping, subsidi serta hambatan-hambatan
perdagangan lainnya.
5) Encouraging Development And Economic Reform (mendorong
pembangunan dan pembaharuan ekonomi bagi negara miskin
dan berkembang)
Sistem WTO dapat membawa kontribusi bagi pembangunan dan
pembaharuan ekonomi bagi negara-negara berkembang. WTO
memberikan kesempatan, kelonggaran waktu dan fleksibilitas yang
besar serta berbagai perlakuan khusus untuk melakukan berbagai
penyesuaian sebagai persiapan menuju pasar bebas. Berbagai
kemudahan diberikan karena lebih dari 75 persen anggota WTO adalah
negara-negara berkembang dan negara-negara yang sedang mengalami
transisi ke arah ekonomi pasar.
38
Selain prinsip-prinsip perdagangan dalam WTO yang telah disebutkan di
atas, adapun terdapat prinsip-prinsip negosiasi dalam WTO sebagai berikut:45
a) prinsip fundamental yang digunakan negara-negara dalam melakukan
negosiasi di WTO adalah memperoleh keuntungan bersama;
b) asas resiprositas adalah ketika suatu negara mencari perbaikan akses di
pasar negara lain (seperti penurunan tarif), negara tersebut harus siap pula
untuk memberikan konsesi (seperti pengurangan tarif) yang dianggap
menguntungkan atau memiliki nilai yang sama dengan konsesi yang
diminta oleh mitra dagangnya tersebut.46
c) prinsip Single Undertaking merupakan prinsip dalam negosiasi di WTO
yang didefinisikan sebagai “seluruh unsur dalam negosiasi merupakan
bagian dari satu kesatuan utuh yang tidak bisa dibagi-bagi atau disetujui
hanya sebagiannya saja.” Prinsip ini dikenal juga sebagai konsep “nothing
is agreeduntil everything is agreed.”47
Sistem perdagangan multilateral WTO tersebut diatas diatur melalui
suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional
sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara
anggotanya. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota
yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan
perdagangannya.
45 Mochamad Slamet Hidayat. Sekilas WTO (World Trade Organization). Edisi Keempat,
(Jakarta: Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI Direktorat Jenderal
Multilateral Departemen Luar Negeri, tanpa tahun), hal. 6. 46 ibid 47 ibid
39
2. Struktur Organisasi Dalam WTO
Sebagai suatu organisasi permanen peranan WTO akan lebih kuat dari
pada GATT selama ini. hal ini tercermin dalam struktur organisasi yang
melibatkan negara anggotanya sampai pada tingkat mentri.48 Struktur
organisasi WTO secara garis besar adalah sebagai berikut:
a. Ministral Conference (konferensi tingkat mentri/KTM)
merupakan forum pengambil keputusan tingkat tertinggi dan
secra teratur megadakan pertemuan setiap dua tahun.
b. General council (dewan umum) bertugas sevagai pelaksana
harian, terdiri dari para wakil dari negara anggota dan
mengadakan pertemuan sesuai dengan kebutuhan baik untuk
kegiatan dibawah Multilateral Trade Agreement maupun
Plurilateral Trade Agreement.
c. Council for trade in goods (dewan perdagangan barang)
merupakan badan dibawah general council yang bertugas
memantau pelaksanaan persetujuan yang dicapai dalam barang
perdagangan barang.
d. Conucil for trade and services (dewan perdagangan jasa)
merupakan badan dibawah General Council yang bertugas
memantau pelaksanaan persetujuan yang dicapai di bidang
perdagangan jasa.
48 Syahmin AK., 2006. Hukum Dagang Internasional Dalam Kerangka Studi
Analitis.Jakarta; Raja Grafindo Persada.
40
e. Coucil for trade related aspecs of intellectual property rights
(Dewan untuk aspek dagang yang terkait dengan hak kekayaan
intelektual) merupakan badan dibawah General Council yang
bertugas memantau pelaksanaan dibidang aspek perdagangan dari
hak atas kekayayan intelektual.
f. Dispute settlement body (badan penyelesaian sengketa), badan ini
merupakan di bawah ministerial conference yang
menyelenggarakan forum penyelesaian sengketa perdagangan
yang timbul di antara negara-negara anggota.
g. Trade policy review body (badan kebijakan peninjauan
perdagangan), lembaga ini merupakan badan di bawah Ministrial
conference yang bertugas menyelenggarakan mekanisme
pemantauan kebijakan di bidang perdagangan.
Perenan WTO sebagai suatu organisasi perdagangan Multilateral, yaitu:
a) mengadministrasikan berbagai persetujuan yang dihasilkan putaran
Uruguay di bidang barang dan jasa, baik multilateral maupun
prulilateral serta mengawasi pelaksanaan komitmen akses pasar
dibidang tarif maupun nontarif.
b) mengawasi praktik-praktik perdagangan internasional dengan cara
reguler meninjau kebijaksanaan perdagangan negara anggotanya
dan melalui prosedur notifikasi;
41
c) menyediakan bantuan teknis yang diperlukan bagi anggotanya,
termasuk bagi negara-negara berkembang dalam melaksanakan
hasil putusan Uruguay;
d) sebagai porum bagi negara anggotanya unrtuk terus menerus
melakukan perundingan pertukaran konsesi dibidang perdagangan
guna mengurangi hambatanperdagangan dunia.
3. Segketa Perdagangan Dalam GATT/WTO
Untuk melindungi kepentingan industri dalam negeri serta mewujudkan
tatanan perdagangan dunia pemerintah Indonesia harus mengikuti ketentuan-
ketentuan multilateral maupun regional. Para pelaku bisnis baik pemerintah
swastanasional dan asing serta koperasi dengan bidang-bidang yang dicakup
dalam perdagangan, baik lokal, nasional, regional maupun internasional
senantiasa harus tunduk kepada aturan aturan internasional. Sebagai negara
yang meratifikasi WTO kita wajib untuk segera menindaklanjuti dengan
penyusunan rancangan undang-undang,baikmengenai perdagangan mau-
pun investasi nasional untuk dilaksanakan dan menjadi acuan oleh parapelaku
bisnis nasional dan internasional diIndonesia kesepakatanperdagangan
internasional, kesepakatan maupun di dunia internasional.49
Sebagaimana diketahui bahwa di seluruh dunia berbagai negara
melakukan tindakan-tindakan deregulasi maupun regulasi secara silih berganti.
Peraturan perundang-undangan tersebut dalam proses perkembangannya
49 Ibid. hlm 228
42
semakin terasa pengaruhnya atas pelaksanaan tindakan-tindakan pengusaha
dalam perdagangan internasional tersebut. Dalam kaitan tersebut saat kegiatan
para pelaku perdagangan internasional di suatu saat dapat menimbulkan
terjadinya perselisihan yang melahirkan sengketa dalam perdagangan
internasional.50
Suatu sengketa dapat terjadi apabila ada pertentangan, misalnya karena
adanya pelanggaran ketentuan GATT yang menimbulkan kerugian salah satu
pihak. Di dalam GATT tidak mengenal istilah ganti rugi atau penyitaan karena
GATT mengatur tingkah laku perdagangan untuk mencapai harmonisasi antara
peraturan internasional dengan kebijaksanaan nasional. Untuk menentukan
sumber sengketa, GATT mensyaratkan adanya multification atau impairment,
sebagaimana diatur dalam Pasal XXIII. Dari ketentuan tersebut, dapat ditarik
unsur-unsur yang dapat memberikan alasan kepada contracting parties.
Artinya, untuk terjadinya sengketa paling tidak harus dipenuhi unsur-unsur,
yaitu sebab-sebab terjadinya kerugian yang diderita oleh suatu negara dan
unsur akibat yang secara definitif ditentukan oleh GATT. Prosedur pe-
nyelesaian sengketa sebagaimana diatur dalam Pasal XXII dan Pasal XXIII,
tahap-tahap penyelesaiannya melalui konsultasi para pihak, siding contracting
parties dan panel.51
Menurut John H. Jackson' penyelesaian sengketa perdagangan dalam
WTO, memuat sekitar tiga puluh bentuk, terasuk beberapa kewenangan untuk
50 Ibid. 51 Ibid. hlm 229
43
melakukan tindakan sepihak dari peserta yang dirugikan. Misalnya,
sebagaimana dicantumkan dalam Pasal VII, peserta GATT dapat diminta untuk
meninjau kembali peraturan perundang-undangan yang menyangkut bea cukai
yang dianggap tidak sesuai dengan GATT. Penyelesaian sengketa perdagangan
sebagaimana diatur dalam Pasal XXII dan Pasal XXIII, merupakan pasal utama
dalam penyelesaian sengketa GATT. 52
Walaupun secara tegas instrumen penyelesaian sengketa dimuat dalam
GATT, tampak beberapa kelemahan yang menimbulkan ketidakpuasan. Hal ini
sebagaimana ditegaskan oleh John H. Jackson, 9 yang menyatakan sebagai
berikut.53
‘’though the original GATT draftments clearly had inmind binding
précis rules, and although the procedures ofGATT tended to reinforced that
views during the first decades of its existence, in recent its institutional
compliance with rules. Rule departures (breach) have in some cases become so
frequent and so tolerant that the rules are now simply traps for the unwary in
expert, or naive."
4. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perdagangan Dalam WTO
Sistem penyelesaian sengketa WTO merupakan elemen pokok dalam
menjamin keamanan dan kepastian dalam perdagangan multilateral.
Mekanisme penyelesaian sengketa WTO sangat penting dalam dalam rangka
52 Ibid. 53 Ibid. hlm 230
44
penerapan disiplin dan fungsi WTO secara efektif. Di bawah WTO hanya ada
satu badan penyelesaian sengketa Disputes Settlement Body yang selanjutnya
disingkat dengan DSB mengatur persengketaan yang timbul dari persetujuan
yang terdapat pada final Act.54
Jadi dalam hal ini DSB mempunyai otoritas untuk menentukan Panels
Adopts dan Apallate Reports, mempertahankan pengawasan dalam penerapan
peraturan dan rekomendasi dan memberi kuasa dalam aturan pembalasan
dalam hal-hal non-implementation of Recommendations.
Sistem penyelesaian sengketa melalui LPS-WTO di atur dalam
Understanding on rules and procedures geverning the settlement of dipute
yang biasa di sebut DSU. Subtansi ketentuan yang ada dalam DSU merupakan
interpretasi dan implementasi dari ketentuan pasal IIII GATT 1947 dan badan
yang melaksanakannya adalah Disputes Settlement Body atau DSB.55
Mengenai kewenangan DSB meliputi membentuk panel, mengadopsi
panel dan laporan badan banding (appellate bodyreport), melaksanakan
pengawasan implementasi terhadap rekomendasi dan keputusan yang telah
dibuat serta mengotorisasi penundaan konsesi (supension of concesion).
Dengan adanya DSB, maka semua anggota WTO wajib menyesuaikan
sengketa dagang melalui jalur ini dan semua negara anggota tidak
54 ibid. hlm 252 55 Ade Maman Suherman., 2014. Hukum perdagangan internasional lembaga
penyelesaian sengketa WTO dan negara Berkembang. Jakarta; sinar grafika. hal 55
45
diperbolehkan mengambil tindakan secara sepihak (Unilateral) yang akan
menimbulkan persoalan baru secara bilateral maupun multilareral.56
Berdasarkan pasal 3 DSU dapat diketahui tugas utama dari DSB adalah
sebagai berikut.57
1. Mengklarifikasi ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian WTO
dengan melakukan interpretasi menurut hukum kebiasaan internasional
publik.
2. Hasil penyelesaian sengketa tidak boleh menambah atau mengurangi hak-
hak dan kewajiban yang diatur dalam ketentuan WTO.
3. Menjamin solusi yang positif dan diterima oleh para pihak dan konsisten
dengan subtansi perjajian dalam WTO.
4. Memastikan penarikan tindakan negara pelanggar yang tidak sesuai
dengan ketentuan-ketentuan perjanjian yang sudah tercakup dalam
agreement (coveredagreement)58.
Putusan yang diambil oleh DSB harus dilakukan secara konsensus
dimana mekanisme yang digunakan adalah reverse consensus atau negative
consensus artinya DSB harus dianggap mengambil suatu putusan jika tidak ada
konsensus untuk tidak mengambil mengambil putusan yang bersangkutan.
Dengan kata lain pembentukan panel dan pengadopsian laporan panel dapat
56 ibid hal 56 57 ibid 58 Coveredagrement terdiri atas dua macam agreement: pertama adalah multulateral trade
agreement yang meliputi: trade in goods, general agreement on trade on sevices, TRIPS,
understanding on rules and procedures governing the settement dispute, Kedua adalah plurilateral
trade agreement yang meliputi: tradein Civil Aircraft, agreement on Goverment procurement,
international Dairi Agreement dan international Bovine Agreement.
46
secra otomatis berjalan, kecuali ada penolakan dari seluruh anggota WTO.59
Konsensus negatif ini dipergunakan sebagai pengganti sistem yang lama
konsensus positif. Konsensus negatif ini ditujukan untuk mencegah
terhambatnya proses penyelesaian sengketa apabila dikarenakan ada suatu
negara anggota yang menolak yang menimbulkan tidak dapat
dilangsungkannya penyelesaian sengketa. Saat ini sepanjang satu anggota
mengkehendaki untuk mengadopsi laporan, dan laporan tersebut akan otomatis
diadopsi. selanjutanya pihak yang kalah dapat mengajukan banding, upaya
hukum banding ini baru ada sejak WTO berdiri dimana sebelumnya dalam era
GATT tidak dikenal upaya hukum banding.60
Dalam penyelesaian sengketa dalam hubungan dagang mempunyai
tahapan-tahapan yang dapat dilaluai dalam penyelesaian sengketa dagang di
dalam WTO sebagai berikut:61
a. Konsultasi (Consultations)
Tujuan dari dari penyelesaian sengketa dagang di WTO adalah untuk
menguatkan solusi yang positif terhadap sengketa. Setiap anggota harus
menjawab secara tepat dalam waktu sepuluh hari untuk meminta
diadakannya konsultasi dan memasuki periode konsultasi selama tiga
puluh hari setelah waktu permohonan.
Untuk memastikan kejelasannya, setiap permohonan untuk konsultasi
harus diberitahuakan kepada DSB secara tertulis, dan disebutkan alsan
59 ibid hal 57 60 ibid 61 Syahmin Ak., Op. Cit., hal. 253
47
alasan permohonan konsultasi termasuk dasar-dasar hukum untuk
pengaduan. Bila konsultasi gagal dan kedua belah pihak setuju , masalah
ini dapat diajukan kepada direktur jendral WTO yang akan siap
menawarkan good offices, konsiliasi, atau mediasi dalam penyelesaian
sengketa.
b. Pembentukan panel (Establishment of panel)
Jika suatu anggota tidak memberikan jawaban untuk meminta
diadakan konsultasi dalam waktu sepuluh hari atau jika konsultasi gagal
untuk diselesaikan dalam enam puluh hari, penggugat dapat meminta
kepada DSB untuk membentuk suatu panel untuk menyelesaikan masalah
pembentukan panel. Prosedur ini menurut DSB untuk segera membentuk
panel selambat lambatnya pada sidang kedua dari permintaan panel. jika
tidak, diputuskan secara konsensus. hal ini dimaksudkan adalah negara
yang digugat tidak boleh menghalangi pemkbentukan panel. dalam hal ini
penentuan Term Of Reference dan komposisi panel juga diajukan. panel
harus disusun dalam waktu tiga puluh hari pembentukan.
Sekretariat WTO akan menyarankan tiga orang penalis yang potensial
pada pihak-pihak sengketa. jika pihak-pihak tersebut tidak setuju terhadap
penalis dalam watu dua puluh hari dari pembentukan panel, Direktur
Jendral melakukan konsultasi kepada ketua DSB dan ketua dewan akan
menunujuk penalis. para penalis akan melayani sesuaio dengan
kapasitasnya dan tidak berpegang pada intruksi-intruksi dari negara yang
bersangkutan.
48
c. Prosedur prosedur Panel (panels Procedures)
Pengertian ini menunjuikan bahwa periode di mana panel
mengajukan melaksanakan pengujuan masalah , selanjutnya Term of
Reference dan komposisi panel disetujui, kemudian panel memberikan
laporan kepada para pihak yang bersengketa tidak boleh lebih dari enam
bulan. dalam hal brang barang yang mudah rusak, waktu dapat dipercepat
menajdi tiga bulan. apabila tidak ada masalah, watu pembentukan panel ke
sirkulasi laporan kepada anggota tidak boleh lebih dari sembilan bulan.
d. Penerimaan laporan panel ke DSB (Adoption Of Panels)
Prosedur WTO menunjukan bahwa laporan panel harus diterima
oleh DSB dalam waktu enam puluh haridari pengeluaran. jika tidak, suatu
pihak memberitahukan keputusannya untuk menarik atau konsensus
terhadap pengesahan laporan. DSB tidak dapat mempertimbangkan
laporan panel lebih cepat dua puluh hari setelah laporan tersebut di
sirkulasikan kepada para anggota.
e. Penijiauan kembali (Appellate Review)
Suatu gambaran baru dari mekanisme penyelesaian sengketa di
WTO memberikan kemungkinan penarikan terhadap salah satu pihak
dalam satu berlangsungnya panel. semua permohonan akan di dengar oleh
suatu badan peninjau (Appellate Body) yang dibentuk oleh DSB. Badan ini
terdiri dari tujuh orang yang merupakan perwakilan dari keanggotaan
WTO yang akan melayani dalam termin empat tahun. mereka merupakan
49
orang yang ahli di bidang hukum dan perdagangan internasional, dan tidak
berafuiliasi dengan negara manapun.
Tiga orang anggota dari Appellate Body mendengarkan permohonan-
permohonan mereka dapat membela, mengubah, atau membatalkan hasil
kesimpulan panel sesuai aturan, namun pengajuan permohonan tidak lebih
dari 60-90 hari. Tiga puluh hari setelah pengeluaran, laporan dari
Appellate Body harus diterima oleh DSB dan tanpa syrat diterima oleh
pihak-pihak yang bersengketa. jika tidak, konsensus akan diberlakuakan
terhadap pengesahan ini.
f. Implementasi (Implementation)
Kebijaksanaan menekankan bahwa peraturan dari DSB sangat
penting agar mencapai resolusi yang efektif dari persengketaan-
persengketaan yang bermamfaat untuk semua anggota. Pada pertemuan
DSB berlangsung dalam waktu tiga puluh hari dari adopsi panel, pihak
yang bersangkutan harus menyatakan niat untuk menghargai
implementasi dari rekomendasi-rekomendasi. Bila hal itu tidak berguna
untuk segera menyetujui, anggota akan diberikan suatu periode waktu
yang beralasan yang ditentukan oleh DSB.
Bila hal itu gagal dalam waktu yang telah ditentukan itu, diwajiibkan
untuk mengadakan negoisasi dengan penggugat untuk menentukan
kompensasi yang dapat diterima kedua belah pihak yang bersengketa. jika
dalam dua puluh hari tidak ada konpensasi yang memuaskan yang dapat
disetujui, penggugat dapat memeohon otorisasi dari DSB untuk
50
menangguhkan konsesi-konsesi atau obligasi-obligasi terhadap pihak
tergugat. Prosedur menentukan bahwa DSB menjamin otorisasi ini dalam
waktu 30 hari dari batas waktu “reasonable period of time”. jika
konsensus akan diberlakukan. jika anggota bersangkutan menolak /
berkeberatan terhadap tingkat suspensi, hal tersebut diteruskan dalam
arbitrase. Hla ini akan diselesaikan oleh anggota-anggota panel yang asli.
Bila hal ini tidak memungkinkan dilakukan oleh arbitrator yang ditunjuk
oleh Direktor Jendral WTO. Arbirtase harus selesai dalam waktu enam
puluh hari dari batas waktu “reasonable period of time”, dan hasil
keputusan harus diterima oleh pihak-pihak yang besangkutan sebagi final,
dan tidak diteruskan kepada arbitrase lainnya. DSB selanjutnya memberi
kuasa suspensi dari konsesi-konsesi secara konsisten dari hasil
penyelesaian arbitrator. Jika tidak, maka diadakan konsensus.
C. Tinjauan Umum Tentang Dumping dan Anti-dumping
1. Pengertian Dumping
Sebagaimana diketahui bahwa semua negara anggota WTO telah sepakat
untuk menciptakan perdagangan dunia yang bebas, di mana semua hambatan
perdagangan baik yanng berbentuk tarif maupun non tarif dihapuskan. Dengan
adanya penghapusan hambatan-hambatan perdagangan tersebut, maka arus
barang dapat masuk ke semua negara anggota dengan bebas. Indonesia
merupakan salah satu negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (The
World Trade Organization), karena telah meratifikasi Agreement Establishing
51
the World Trade Organization sebagaimana diwujudkan dalam Undang undang
No.7 tahun 1994 tentang Pengesahan Establishing the world Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
Sebagai Negara anggota WTO, Indonesia harus mematuhi peraturan organisasi
perdagangan dunia tersebut.
Dumping merupakan suatu kebijakan negara atau perusahaan dari suatu
negara untuk menjual produk di luar negeri dengan harga yang lebih rendah
dibandingkan terhadap harga jual produk itu didalam negeri itu sendiri, dan
tindakan dumping merupakan suatu tindakan dalam perdagangan yang tidak
jujur. Menurut Sumadji P, Yudha Pratama dan Rosita, Dumping adalah politik
ekonomi yang dilakukan suatu negara untuk menjual hasil produksinya di luar
negeri dengan harga lebih murah daripada penjualan dalam negeri, dengan
tujuan menguasai pasaran luar negeri.62
Dumping, sebagai bentuk diskriminasi harga umumnya dilakukan
berdasarkan beberapa alasan. pertama, untuk mengembangkan pasar, yaitu
dengan memberikan insentif, melalui pemberlakuan harga yang lebih rendah,
kepada pembeli pada pasar yang dituju. kedua, adanya peluang, pada kondisi
pasar,yang memungkinkan menentukan harga secara lebih leluasa, baik dari
pasar ekspor maupun dalam pasar domestik. Ketiga, untuk mempersiapkan
62 Sumadji. P, Yudha Pratama dan Rosita, 2006, Kamus Ekonomi Edisi Lengkap Inggris-
Indonesia, Cet. I, Wacana Intelektual, Jakarta, h. 265.
52
kesempatan bersaing dan pertumbuhan jangka panjang yang lebih baik dengan
cara memamfaatkan strategi penetapan harga yang progresif63.
Dalam kondisi normal, Dumping adalah hal wajar dalam perdagangan
internasional. Dumping dianggap sebagai ancaman apabila penurunan harga
dari suatu produk dilakukan melampaui suatu kewajaran secara merugikan atau
bertentangan dengan hukum.64
Adapun Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, bahwa Dumping
diartikan sebagai system penjualan barang di pasaran luar negeri dalam jumlah
banyak dengan harga yang rendah sekali (dengan tujuan agar harga pemb elian
di dalam negeri tidak diturunkan sehingga akhirnya dapat menguasai pasar luar
negeri dan dapat menguasai harga kembali).65
Menurut Kamus Lengkap Perdagangan Internasional, Dumping adalah
penjualan suatu komoditi di suatu pasar luar negeri pada tingkat harga yang
lebih rendah dari nilai yang wajar, biasanya dianggap sebagai tingkat harga
yang lebih rendah dari pada tingkat harga di pasar domestiknya, atau negara
ketiga, sedangkan menurut Kamus Hukum Ekonomi, dumping adalah praktik
dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komuditi di pasaran
internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar, atau lebih rendah dari
pada harga barang tersebut di negerinya. sendiri, atau dari pada harga jual
63 Ida Bagus Wyasa Putra, 2008, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional Dalam
Transaksi Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, hlm 13 64 Ibid 65 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta; Balai Pustaka, hal 246.
53
kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat
merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor.66
Muhammad Ashri menyebutkan Dumping adalah suatu persaingan
curang dalam bentuk diskriminasi harga, yaitu suatu produk yang ditawarkan
di pasar negara lain lebih rendah dibandingkan dengan harga normalnya atau
dari harga jual di Negara ketiga.67 Berdasarkan ketentuan dan pengertian
tentang dumping tersebut di atas dapat disebutkan bahwa unsur unsur dumping
adalah :
1. adanya penjualan suatu jenis barang ke luar negeri (ekspor).
2. harga jenis barang yang dijual di luar negeri tersebut lebih rendah
dari pada harga jenis barang di dalam negeri negara pengimpor.
3. adanya kerugian (injury) bagi produsen dalam negeri yang
memproduksi barang sejenis.
4. adanya hubungan (causal link) antara Dumping yang dilakukan
dengan akibat injury yang terjadi.
Praktek Dumping merupakan praktek dagang yang tidak fair karena bagi
Negara pengimpor, praktik Dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia
usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir
barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah dari pada
66 Elips, 1997, Kamus Hukum Ekonomi, Jakarta, hal. 105. 67 AF. Elly Erawaty dan J.S. Badudu, 1996. Kamus Hukum Ekonomi Inggris-Indonesia.
(Jakarta, Proyek ELIPS, hal.39.
54
barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing
sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri,
yang diikuti munculnya dampak ikutannya, seperti pemutusan hubungan kerja
massal, pengangguran, dan bangkrutnya industri sejenis dalam negeri.68
Dari uraian tersebut diatas, praktik dumping sangat merugikan bagi
suatu Negara pengimpor melemahkan dan menjatuhkan ekonomi Negara
tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa praktek dumping ini sudah banyak
terjadi dalam perdagangan internasional dewasa ini. Barang yang disebut
sebagai barang dumping dijual keluar negeri jauh dibawah harga dari barang di
dalam negeri asal produksinya.
Pasal 6 ayat (1) GATT 1947 memberikan kriteria umum bahwa
Dumping yang di larang oleh GATT adalah dumping yang dapat memberikan
kerugian materil, baik terhadap industri yang sudah berdiri (to an established
industry) maupun telah menimbulkan hambatan pada pendirian industri
domestik (the established of a domestic industry).69 Ada 2 unsur yang menjadi
acuan bagi GATT 1947 untuk melarang tindakan dumping, yaitu dumping
yang di lakukan oleh suatu Negara dengan di bawah harga normal atau “less
than fair value” yang di anggap dapat menimbulkan kerugian materil “material
injury” terhadap industri dalam negeri importer (domestic industry).70
68 Barutu christhophorus, 2007.ketentuan antidumping, subsidi, dan tindakan pengamanan
(safe guard) dalam GATT dan WTO, cet 1, Bandung, Citra Aditya Bakti.hlm. 39 69 ibid. hlm. 40 70 Lusy k.f.r. Gerungan. kajian yuridis kebijakan antidumping dalam perdagangan
internasional. Jurnal Hukum. hlm. 138
55
Selanjutnya, diuraikan tentang pengertian “less than fair value” (LTFV)
atau dibawah harga normal, yaitu jika harga ekspor produk yang diekspor dari
suatu Negara ke Negara lain kurang dari harga saing (comparable price), yang
berlaku dalam pasar yang wajar (in the ordinary course of trade), bagi produk
sejenis (like product) itu ketika di peruntukan bagi konsumsi di Negara yang
yang mengimpor. Jika dalam hal tidak terdapat harga domestik, kurang dari
harga saing tertinggi (highest comparable price) dari barang sejenis yang
diekspor ke Negara ketiga dalam pasar yang wajar atau dengan biaya produksi
di Negara asal di tambah jumlah yang sepantasnya untuk biaya penjualan dan
keuntungan.71
Adapun batas Harga dumping (margin of dumping) Teknis perhitungan
margin of dumping (batas harga dumping) di hitung dari selisih harga normal
dengan harga LTFV dengan mengikuti ketentuan dalam pasal VI ayat (1)
adalah sebagai berikut :72
a) Selisi antara harga normal dan harga LTFV di pasar domestik Negara
tujuan ekspor ;
b) Selisi harga normal dengan harga LTFV di pasar Negara ketiga jika
tidak terdapat harga dalam negeri (domestic) ; dan
c) Selisih harga normal dan jumlah biaya produksi, ongkos penjualan
dan keuntungan tidak terdapat harga dalam negeri (domestic) pula.
71 Barutu christhophorus. Op. cit, hlm. 41 72 ibid. hlm 41-42
56
Dalam batas harga Dumping ketentuan berlakunya suatu kebijakan batas
harga Dumping di lihat dari margin dumpingnya. Pada dasarnya Dumping tidak
dilarang dalam perdagangan internasional, tetapi jika menimbulkan kerugian
pada pihak lain, dapat dilawan dengan aturan negara tersebut berupa tindakan
Anti-dumping. Article VI GATT mengatur bahwa suatu negara anggota
diperkenankan mengenakan tindakan Anti-dumping apabila barang impor
tersebut mengandung Dumping dan menimbulkan kerugian bagi industri dalam
negeri. Praktik Dumping merupakan tindakan yang sangat merugikan
perekonomian suatu negara dan bisa mematikan industri dalam negeri.
Globalisasi perdagangan semakin menuntut kesiapan setiap negara untuk
bersaing secara sehat dan terbuka.
2. Jenis-jenis Dumping
Menurut Robert Willig ada 5 tipe dumping yang dilihat dari tujuan
eksportir, kekuaran pasar dan struktur pasar import, antara lain:73
1. Market Expansion Dumping
Perusahaan pengekspor bisa meraih untung dengan menetapkan
“mark-up” yang lebih rendah di pasar impor karena menghadapi
elastisitas permintaan yang lebih besar selama harga yang ditawarkan
rendah.
2. Cyclical Dumping
73 Djoko Hanantijo, MM. Jurnal. Praktek Dumping. Universitas Surakarta.
57
Motivasi Dumping jenis ini muncul dari adanya biaya marginal
yang luar biasa rendah atau tidak jelas, kemungkinan biaya produksi
yang menyertai kondisi dari kelebihan kapasitas produksi yang terpisah
dari pembuatan produk terkait.
3. State Trading Dumping
Latar belakang dan motivasinya mungkin sama dengan kategori
dumping lainnya, tapi yang menonjol adalah akuisisi.
4. Strategic Dumping
Istilah ini diadopsi untuk menggambarkan ekspor yang
merugikan perusahaan saingan di negara pengimpor melalui strategis
keseluruhan negara pengekspor, baik dengan cara pemotongan harga
ekspor maupun dengan pembatasan masuknya produk yang sama ke
pasar negara pengekspor. Jika bagian dari porsi pasar domestik tiap
eksportir independen cukup besar dalam tolok ukur skala ekonomi,
maka memperoleh keuntungan dari besarnya biaya yang harus
dikeluarkan oleh pesaing-pesaing asing.
5. Predatory Dumping
Istilah predatory Dumping dipakai pada ekspor dengan harga
rendah dengan tujuan mendepak pesaing dari pasar, dalam rangka
memperoleh kekuatan monopoli di pasar negara pengimpor. Akibat
58
terburuk dari Dumping jenis ini adalah matinya perusahan-perusahaan
yang memproduksi barang sejenis.
3. Dumping menurut pasal VI GATT
Tujuan dasar GATT adalah mengantisipasi pertumbuhan perdagangan
lintas batas negara yang semakin pesat dan melindungi semua pihak dari akibat
buruk suatu prilaku menyimpang dalam prektek perdagangan. Pasal VI GATT
meyatakan,74
in order to offset or prevent dumping, a contracting party may levy
on any dumped product an anti-dumping duty..
(pasal VI, ayat 2)
Menurut ketentuan ini, setiap negara anggota GATT yang terkena
Dumping,75 dapat melakukan tidakan pembalsan berupa pembebanan
kewajiban Anti-dumping (Anti-dumping duties ) yang seimbang. Bentuk
kewajiban ini, yaitu pertama, pembebanan bea khusus atas barang-barang
impor, untuk mengimbangi subsidi barang impor yang diberikan oleh negara
pengekspor atau keuntungan yang diterima pengekspor akibat adanya subsidi
74 Ida Bagus Wyasa Putra., Op.,Cit hal 14 75 Dumping menurut pasal VI GATT (ayat 1) diartikan sebagai, produk disuatu negara
(amggota) dipasarkan di pasaran anggota lainya dengan harga lebih rendah dari harga produksi
normal (normal value of the products). Lebih rendah dari nilai produksi normal dari nilai produksi
normal barang produksi (at les than its normal value) diartikan sebagai suatu kondisi jika barang
yang diekpor itu, pertama lebih rendah dari harga umum yang berlaku (less than comparable
price) untuk barang yang sejenis, dan barang itu diperuntukan sebagai barang konsumsi di negara
ekportir; Kedua, dalam hal tidak ditentukanya harga domestik oleh negara importir, haraga barang
itu lebih rendah dari, a. harga umum tertinggi yang berlaku untuk barang sejenis yang ditujukan
sebagai barang ekpor yang juga di ekpor ke negara ekportir lainya; b. biaya produksi barang
bersangkutan di negara asal setelah ditambah dengan biaya penjualan dan keuntungan yang
rasional.
59
itu atau, kedua, pembebanan bea khusus terhadap barang impor, untuk
mengimbangi pembebanan harga (harga normal) yang berlaku di negara
pengekspor (Anti-dumping duties).76
Bea khusus sebagaimana diizinkan oleh pasal VI GATT, dqalam hal
bentuk countervailing duties, tidak boleh melampaui jumlah subsidi yang
diberikan, atau dalam hal Anti-dumping duties, harus setara dengan selisih
antara harga ekspor dengan nilai wajar yang berlaku di negara pengekspor.77
4. Pengertian Anti-dumping.
Pesatnya dinamika perkembangan perdagangan internasional menyisakan
sejumlah permasalahan sebagai implikasi dari kegiatan perdagangan
internasional itu sendiri. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat
mengkristal dan menjadi hambatan (barrier) yang dapat mendorong terjadinya
degradasi hubungan yang harmonis dalam hubungan perdagangan
internasional.
Dalam hubungan perdagangan internasional dalam Negara, komitmen
dalam mewujudkan perdagangan yang jujur dan fair merupakan tuntutan yang
sangat penting yang tidak boleh di abaikan. Masalah terbesar yang mudah di
identifikasi dan paling sering terjadi adalah justru terkait dengan pelanggaran
prinsip kejujuran dan fair yang mengakibatkan terjadinya praktek dagang yang
76 Ibid 77 Ibid hal 15
60
tidak sehat (unfair trade practices) dalam melaksanakan aktifitas perdagangan
internasional.78
Dalam kebijakan-kebijakan GATT dan WTO tentang praktek Anti-
dumping yang dapat menjadi bentuk kecurangan dalam dunia perdagangan
internasional, perlu ada dasar ketentuan yang dapat mengatur hal tersebut.
Dalam dunia perdagangan, praktik Dumping ini sangat merugikan bagi
kestabilan ekonomi suatu Negara yang menjadi tenpat praktik Dumping
tersebut. Pembaharuan khusus yang berlaku untuk menutup kecurangan dalam
praktik Anti-dumping masih perlu di perkuat dan pelaksanaannya perlu di
tegaskan.Agar barang-barang yang masuk atau keluar sebagai barang dagang
internasional, tidak menjadi atau tidak di curangi sebagai barang dumping yang
dapat merugikan ekonomi suatu Negara. GATT dan WTO telah mengeluarkan
ketentuan yang dapat di ambil sebagai kebijakan yang dapat menjadi benteng
dalam perdagangan internasional untuk menanggulangi praktik dumping itu
sendiri.79
Adapun sikap yang menentang adanya dumping melalui suatau kebijak
sanaan-kebijaksanaan perdagangan itulah yang disebut dengan Anti-dumping.
Anti-dumping menurut Black adalah tindakan atau kebijaksanaan pemerintah
78 Barutu Christhophorus, Op. cit, hal 37 79 Lusy k.f.r. Gerungan. Op. cit, hlm. 137
61
negara pengimpor terhadap barang dumping yang merugikan industri dalam
negeri melalaui pemberian bea masuk Anti-dumping.80
Anti-dumping merupakan kebijakan yang dibuat untuk menghindari
tindakan dumping yaitu dengan melakukan tindakan pembalasan berupa
pembebanan kewajiban Anti-dumping yang seimbang.81 Pengaturan mengenai
Anti-dumping juga terdapat dalam Pasal VI GATT, “ In order to offset or
prevent dumping, a contracting party may levy on any dumped product an anti-
dumping duty. . . .”. Akan tetapi pengaturan mengenai Anti-dumping pada
ketentuan ini menimbulkan penafsiran yang berbeda sehingga menyebabkan
disalahgunakannya pasal tersebut. Akibatnya, tindakan Anti-dumping bukan
digunakan sebagai penanggulangan tindakan dumping tetapi digunakan sebagai
tindakan curang dalam bisnis internasional. Karena hal itu maka dibentuklah
Anti-dumping Code untuk membatasi kemungkinan penyimpangan penerapan
Pasal VI GATT. Anti-dumping Code dibentuk melalui Tokyo Round Agreement
yang kemudian dibentuk kembali dan dilengkapi selama Kennedy Round
(1962-1967).
Anti-dumping ini tidak lain adalah suatu kebijakan yang di mana
mengatur tentang ketentuan yang mendasar pada praktik dumping itu sendiri,
praktik dumping sudah sangat jelas merugikan Negara ataupun berdampak
tidak baik bagi perekonomian internasional, di mana praktik itu sendiri adalah
80 Sukarni.2002.regulasi anti dumping dibawah bayang-bayang pasar bebas. jakarta: Sinar
Grafika. hal. 28. 81 Ida Bagus Wyasa Putra, 2008, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional Dalam
Transaksi Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, hlm. 14.
62
bagian dari pelanggaran dalam perdagangan internasional. Dalam hal ini
sebuah Negara memerlukan suatu perlindungan atau proteksi terhadap
perekonomian negaranya, dimana tidak dapat di pungkiri masih banyaknya
praktik dumping yang terjadi dalam perdagangan internasional dan dalam
negeri. Mengenal dumping itu sendiri adalah suatu keadaan di mana barang-
barang yang di ekspor oleh suatu Negara ke Negara lain Lex Administratum,
dengan harga yang lebih rendah dari harga jual dalam negerinya sendiri atau
nilai normal dari barang tersebut.82
Praktek Anti-dumping adalah salah satu isu yang paling penting dalam
menjalankan perdagangan internasional agar terciptanya fair trade. Mengenai
hal ini telah diatur dalam Persetujuan Anti-Dumping (Anti-Dumping Agreement
atau Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994). Tarif yang
diikat (binding tariff) dan pemberlakuannya secara sama kepada semua mitra
dagang anggota WTO merupakan kunci pokok kelancaran arus perdagangan
barang.83
Suatu negara pengimpor dapat mengenakan tidakan Anti-dumping atas
produk produk yang di ekspor ke negaranya. negara yang dirugikan dapat
mengenakan bea tambahan pada barang yang dikenakan Dumping sebesar
margin dumpingnya.84 semua negara-negara anggota WTO dapat melakuakan
tidakan Anti-dumping termasuk negara kita indonesia. Bea masuk Anti-
Dumping ini bertujuan untuk memperkecil kerugian dari barang dumping.
82 Barutu christhophorus, Op. cit, hal 38 83 Hartati.Jurnal hukum. anti dumping dalam konsep hukum di indonesia. hlm 1 84 ibid, hlm. 28.
63
Suatu barang yang dijual dengan harga Dumping jika ekspor barang tersebut
ke negara lain lebih rendah dari nilai normalnya (yaitu harga jual barang
tersebut dinegara asalnya). Selisih nilai normal terhadap harga ekspor dari
barang tersebut adalah margin Dumping. Besarnya margin Dumping akan
menentukan besarnya bea masuk Anti-dumping yang akan dikenakan.
Menurut Fisher, sebagaimana dikutip oleh Sukarni, ada tiga faktor yang
biasanya dipergunakan untuk menentukan adanya kerugian yakni:
1. The motivation on the exportirs
2. The impack on the industry in term of price, market share
3. The like lihood of future injury.85
Artinya tiga faktor yang biasa digunakan untuk menentukan adanya
kerugaian antara lain adalah apa motivasi dari eksportir yang memasukan
barangnya kedalam negeri artinya dilihat dari tujuan eksportir melakukan
dumping itu sendiri. faktor yang ketiga adalah dampak dari dumping itu sendiri
terhadap industri dalam negeri baik itu dari segi harga barang maupun pangsa
pasar yang beralih kepada barang ekspor tersebut. faktor yang ketiga adanya
kerugian material dimasa yang akan datang yang akan dialami oleh indusri
dalam negeri, akan terhalang perkembangannya oleh barang impor yang diduga
dumping tersebut.
Kemudian pengaturan Anti-dumping dalam Pasal VI GATT dimaksudkan
sebagai suatu kebijakan untuk mengatasi dumping, menurut kententuan
85 ibid, hlm. 29.
64
tersebut pada umumnya setiap negara anggota GATT yang terkena dumping
dapat melakukan tindakan pembalasan berupa pembebanan kewajiban Anti-
dumping yang seimbang. Penafsiran mengenai ketentuan tersebut nyatanya
telah disalahgunakan bagi negara produsen terutama negara-negara
berkembang, praktik Anti-dumping yang umumnya dilakukan oleh negara-
negara industri maju sering kali menjadi sumber kerugian dan perdagangan
yang tidak adil. Anti-dumping tidak selalu dipergunakan sebagaimana
tujuannya, tetapi lebih sering digunakan sebagai tindakan untuk melindungi
pasar domestiknya.
Hal-hal yang sering dilakukan adalah menjatuhkan tuduhan dumping
tanpa alasan yang patut dan kemudian menolak produk yang berasal dari
negara-negara berkembang yang kebetulan berkedudukan sebagai negara
eksportir. Hal ini tentu mengakibatkan kesenjangan perekonomian dalam
perdagangan internasional. Sehingga praktik Anti-dumping yang sedemikian
hakikatnya juga merupakan unfair trade practice.86
Menurut catatan GATT, tuduhan Dumping yang dilakuakan oleh negara
importir telah mendekati 2000 kasus dan meliputi berbagai jenis barang ekspor.
dari keseluruhan jumlah itu, 4% adalah tuduhan terhadap produk peretanian,
4% untuk tektil dan pakaian jadi, 26% untuk logam dasar, dan 38% untuk jenis
produk lainya.87
86 Ida Bagus Wyasa Putra. Op.cit. hlm. 10 87 ibid. hal 16
65
Negara yang paling banyak melakukan tuduhan adalah Australia 33%,
EEC 23%, USA 21,5% kanada 18% dan negara lainnya 5%. komposisi
penuduh ini menunjukan bahwa sebagian besar penjatuhan tuduhan dumping
dilakuakan oleh negara-negara industri maju.