bab ii kajian pustaka 2.1 wayang potehirepository.ub.ac.id/2565/3/bab ii.pdfindonesia. wayang potehi...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Wayang Potehi
Wayang Potehi adalah salah satu kesenian dari negara Tiongkok
Selatan tepatnya di daerah Fujian yang berusia ratusan tahun dan diwariskan
secara turun temurun. Menurut Mastuti (2014:22) wayang Potehi dalam lafal
Hokkian, berasal dari kata 布bù /poo/ kain, 袋 dài /tay/ kantong dan 戏 xì
/hie/ wayang yang disebut sebagai boneka kantong, kemudian kata tersebut
diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi Potehi. Menurut sejarah, istilah
“Potehi” berkaitan dengan kisah legenda terciptanya seni pertunjukan wayang
Potehi. Boneka Potehi terbuat dari kain (poo) bekas yang ada di penjara dan
tubuhnya dibuat menyerupai kantung (te). Demikian asal-usul terciptanya
nama Potehi atau yang disebut juga dengan poo-te-hi dalam bahasa daerah
Hokkian, atau 布袋戏 bùdàixì dalam bahasa Mandarin, yang berarti
pertunjukan drama/wayang (戏/hi/xì) yang terbuat dari kain berbentuk
kantung /poo-te/bùdài/ (Purwoseputro, 2014:26).
2.1.1 Sejarah Wayang Potehi
Kesenian wayang Potehi ini sudah berumur sekitar 3.000
tahun. Seni wayang ini pertama kali diciptakan oleh lima narapidana
terhukum mati pada zaman dinasti Qín (265-420 Masehi) pada masa
pemerintahan raja Tioe Ong. Menjelang eksekusi, seorang dari
narapidana berupaya menghibur diri dengan cara memanfaatkan
barang-barang yang ada di balik sel. Ajakan ini direspon baik oleh
empat narapidana yang lain. Dari balik bui itulah kelima narapidana
tersebut merancang satu pertunjukan dan menyiapkan segala
perlengkapannya, termasuk alat musik seadanya yaitu, tangkai sapu
bambu bekas (alat untuk mengatur aba-aba musik), pecahan kaca,
tutup panci bekas, baskom (sebagai gembreng/alat musik pukul), serta
sapu tangan bekas/perca dan sobekan kain (untuk baju tokoh
wayangnya). Akhirnya kelima narapidana menyelenggarakan
pementasan kecil-kecilan dan ternyata hal ini sampai ke telinga raja.
Kemudian kelima narapidana ditantang untuk tampil di hadapan raja
dan akan mendapat imbalan terbebas dari hukuman bila raja merasa
senang. Mendengar kesempatan ini, kelima narapidana merasa harus
memanfaatkan kemampuan dan situasi tersebut dengan baik. Akhirnya
diputuskan untuk mengangkat lakon yang bertemakan Raja Tioe Ong
sendiri, dengan cara meriwayatkan kebaikan dan citra positif pada diri
raja. Karena hal ini, maka kelima narapidana tersebut akhirnya
terbebas dari hukuman.
Terbebasnya hukuman kelima narapidana ini dengan syarat
bahwa kelimanya harus menyebarkan pertunjukan boneka yang
diciptakan sebagai suatu kesenian tradisional. Mulailah kelima
narapidana tersebut berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain
memainkan pertunjukan boneka. Cerita yang dimainkan selain tentang
diri sendiri, juga mengambil cerita-cerita tentang kerajaan, sejarah dan
dewa-dewa (Mastuti, 2014).
1.1.2 Sejarah Wayang Potehi di Indonesia
Dalam sejarahnya, wayang Potehi dibawa dan diperkenalkan
oleh para perantau dari Tiongkok ke beberapa negara, termasuk
Indonesia. Wayang Potehi yang ada di Indonesia sudah berusia lebih
dari 100 tahun. Potehi dibawa ke Indonesia oleh seniman asal Fujian
pada awal abad ke 20 (1900-1930), kemudian menyebar di beberapa
daerah di Jawa (Gudo-Jombang, Surabaya, Semarang). Wayang
Potehi di Indonesia sempat mengalami pasang surut. Periode 1900-
1967 merupakan masa kejayaan sekaligus masa kelam wayang Potehi
di Jawa.
Pada masa penjajahan Belanda hingga masa penjajahan
Jepang, kegiatan berkesenian masyarakat Tionghoa tidak mengalami
hambatan, bahkan pertunjukan wayang Potehi mendapat dukungan
pemerintah. Kemudian memasuki zaman pemerintahan Soeharto,
aktivitas pertunjukan wayang Potehi sempat terhenti. Pada tahun 1967
pemerintahan Orde Baru mengeluarkan peraturan yang menyatakan
bahwa segala kegiatan yang bernuansa Tiongkok dilarang untuk
dikaji, diekspose, dibicarakan, dan dimanfaatkan, sehingga hal itu
berdampak pada kesenian pertunjukan wayang Potehi. Bahkan
wayang Potehi dan wayang kulit Tiongkok-Jawa (wayang thithi) tidak
masuk daftar jenis wayang yang ada di Indonesia. Namun larangan
tersebut tidak membuat wayang Potehi sepenuhnya musnah dari
Indonesia.
Beberapa penulis dari barat mencatat pernah menyaksikan
pertunjukan Potehi di masa itu. Pertunjukan secara diam-diam ini
berlangsung sedikit leluasa di Jawa Timur, karena penerapan hukum
tentang pelarangan pertunjukan bernuansa Tiongkok tidak seperti di
Jawa Tengah. Setelah masa Orde Baru berakhir, peraturan
pemerintahan mengenai larangan untuk menggelar pertunjukan seni
bernuansa Tiongkok berubah menjadi sebuah kebebasan. Pada tahun
2000, presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) secara resmi mencabut
PP No. 14 tahun 1967 kemudian menerbitkan Dekrit Presiden No. 6
tahun 2000 mengenai wayang Potehi yang diijinkan melakukan
pertunjukan secara bebas di klenteng dan tempat-tempat umum. Inilah
masa kebangkitan wayang Potehi di Indonesia. Setelah adanya
peraturan baru tersebut, pertunjukan wayang Potehi mulai dapat
dijumpai di beberapa tempat seperti di pusat perbelanjaan, hotel,
restoran, kampus dan tempat hiburan lainnya. Banyak pula klenteng
yang menghidupkan kembali pertunjukan wayang Potehi setelah
cukup lama vakum. Beberapa dalang dan pengrajin wayang yang
merupakan peranakan Tionghoa akhirnya dapat berkarya lagi
(Suminar, 2016:10).
2.2 Unsur-Unsur Wayang Potehi
Seperti halnya dalam pertunjukan wayang, dalang merupakan nyawa
bagi sebuah wayang. Seorang dalang tak lepas dari asisten dalang yang
bertugas membantu memainkan wayang apabila dalam suatu bagian cerita
terdapat lebih dari 2 tokoh yang tampil. Tak hanya asisten dalang, peran
musik tidak kalah penting keberadaannya. Pertunjukan akan terasa kurang
menarik tanpa adanya musik. Iringan musik mampu menghidupkan suasana
ketika bagian cerita sedih atau gembira. Saat bagian cerita perang musik
sangat mampu membawa penonton larut dalam situasi perang dalam cerita.
Musik juga berfungsi sebagai penanda kedatangan raja atau juga kedatangan
tokoh-tokoh lainnya.
2.2.1 Dalang
Dalang (sehu) merupakan orang yang bertugas menceritakan
mengenai kisah atau legenda tersebut. Dalang adalah sutradara yang
sekaligus berperan sebagai penutur kisah/cerita, pembaca lagu, dan
pemandu bagi para pendukung pertunjukan. Mulyana (2008:67)
mengatakan bahwa dalang merupakan pemberi jiwa pada wayang atau
pelaku-pelaku manusianya. Dalang bertugas untuk menyampaikan
cerita, sementara asisten dalang bertugas untuk menyiapkan dan
menata peralatan pentas, seperti wayang, busana, senjata, dan
perlengkapan pangggung lainnya. Dalang dan asisten dalang dapat
memainkan dua buah wayang. Sebelum wayang Potehi mulai
ditampilkan, dalang dan asisten dalang menyiapkan wayang dengan
cara mengatur berdasarkan urutan tampil dalam sebuah adegan.
Sebanyak 20-25 wayang bisa digunakan dalam satu adegan (Mastuti,
2014:8).
Gambar 2.1 Dalang dan Asisten Dalang
Menurut wawancara dengan Widodo, dalang wayang Potehi
pada tanggal 07 Maret 2017, dalang wayang Potehi tidak hanya
berasal dari masyarakat Tionghoa peranakan tetapi juga berasal dari
Jawa. Dalang Potehi yang bukan Tionghoa peranakan merupakan
orang-orang yang tinggal berdekatan dengan klenteng. Pada awalnya
orang-orang tersebut sering menonton pertunjukan wayang Potehi saat
kecil. Setelah itu orang-orang tersebut mencari tahu lebih banyak
mengenai wayang Potehi dengan bertanya kepada pemain wayang
Potehi. Rasa ingin tahu yang sangat besar tersebut berlanjut dengan
mencoba memainkan alat-alat musik yang digunakan, dan kemudian
mencoba menjadi dalang.
2.2.2 Alat Musik
Alat musik orkestra dalam pertunjukan wayang Potehi disebut
dengan Lauw Tay (Mastuti 2014:8). Terdapat beberapa alat musik
yang mengiringi pertunjukan wayang Potehi. Alat musik tersebut
adalah alat musik yang berasal dari negeri Tiongkok. Alat musik
tersebut berguna sebagai pengiring cerita selama pertunjukan wayang
berlangsung. Ada beberapa jenis alat musik yang digunakan sebagai
pengiring dalam pertujukan wayang Potehi. Alat musik tersebut
dimainkan oleh 3 orang pemain musik,dan satu orang dapat
memainkan 2 atau 3 alat musik. Alat-alat musik yang dipergunakan
dalam pertunjukan wayang Potehi, yaitu sebagai berikut:
1. 锣 luó : Gong
锣 luó/gong ini biasanya terbuat dari perunggu. Alat musik
ini memiliki peran penting dalam perkusi Tiongkok. Dalam
pertunjukan wayang Potehi, suara gong inilah yang paling berperan
ketika tokoh raja muncul.
Gambar 2.2锣 luó/gong
2. 镲 chă : Kecer atau simbal kecil
Terbuat dari perunggu dan terdapat tali di tengahmya yamg
berfungsi sebagai pegangan.
Gambar 2.3镲 chă/kecer atau Simbal Kecil
3. 笛子 dízĭ : Suling bambu
笛子 dízĭ adalah nama alat musik tiup berupa seruling
horizontal yang berasal dari Tiongkok.
Gambar 2.4笛子 dízĭ/suling bambu
4. 鼓 gǔ : Tambur
Tambur merupakan jenis alat musik pukul, berbentuk
bundar, yang terbuat dari kulit yang diberi bingkai. Alat musik
ini mampu menambah suasana ketegangan dalam bagian cerita
perang.
Gambar 2.5鼓 gǔ/tambur
5. 喇叭 lăbā : Terompet
Sama seperti seruling, terompet merupakan alat musik tiup
vertikal. Yaitu lubang untuk meniup berada di ujung bukan di
samping seperti halnya seruling.
Gambar 2.6喇叭 lăbā/terompet
6. 阮 ruăn : Ruan
Ruan merupakan alat musik petik berbentuk bulat dengan 4
senar yang berasal dari Tiongkok.
Gambar 2.7阮 ruăn/ruan
7. 二胡 èrhú : Erhu
Erhu merupakan alat musik tradisional Tiongkok yang
paling popular. Erhu menggunakan 2 senar yang dulu terbuat dari
sutra, tetapi sekarang erhu menggunakan senar dari logam.
Gambar 2.8二胡 èrhú/erhu
2.2.3 Karakter Tokoh
Boneka Potehi terbuat dari kayu yang diukir berdasarkan tokoh
karakter wayang yang berbeda-beda. Tokoh wayang Potehi dibuat
berbeda satu sama lainnya, yang berarti satu boneka wayang hanya
digunakan untuk satu tokoh. Boneka wayang Potehi dapat digunakan
untuk tokoh yang sama asalkan mempunyai kesamaan karakter pada
tokoh tersebut. Kesamaan karakter tokoh-tokoh tersebut tidak lepas
dari konsep cerita yang ditampilkan dalam pertunjukan wayang
Potehi.
Perbedaan dari kesamaan karakter nampak dalam atribut-
atribut yang digunakan tokoh wayang Potehi yang sesuai dengan
karakter tokoh cerita/legenda dalam kepercayaan masyarakat
Tionghoa. Kekhasan karakter boneka wayang Potehi sesuai dengan
cerita dari Tiongkok juga nampak dalam wajah, pakaian, dan senjata.
Gambar 2.9 Potehi
Wayang Potehi terdiri dari kepala, tangan, kaki dan sepatu.
Tingginya 30 cm dan lebarnya 15 cm, ukuran kepalanya ± 5 cm. Kayu
merupakan bahan yang digunakan untuk membuat kepala, kaki, dan
tangan. Pakaian wayang Potehi terbuat dari kain satin.
2.2.4 Panggung
Panggung wayang Potehi disebut dengan戏台 xìtái. Warna
merah merupakan warna yang mendominasi panggung tersebut karena
dalam kepercayaan orang Tionghoa warna merah menandakan
kebahagiaan. Panggung yang digunakan untuk pertunjukan di luar
klenteng adalah miniatur rumah yang permanen atau yang bongkar
pasang. Apabila pertunjukan dilaksanakan di dalam kelenteng maka
panggung yang digunakan adalah meja. Untuk panggung di luar
kelenteng, panggung memiliki pintu di sisi kiri dan kanan. Bagian
tengah merupakan ruang untuk pertunjukan wayang dan di bagian
belakang merupakan tempat untuk dalang, asisten dalang, pemain
musik dan perlengkapan pertunjukan lainnya.
Gambar 2.10 Panggung
Terdapat tata cara yang harus dilakukan ketika panggung
baru dipergunakan untuk pertama kali. Persembahan diletakkan di atas
meja tambahan. Persembahan ini disebut dengan sam seng atau 3
binatang. Menurut Mastuti (2014:9) binatang-binatang tersebut terdiri
atas binatang yang hidup di air (ikan), yang hidup di udara (unggas)
dan yang hidup di darat (babi).
2.2.5 Busana
Busana adalah pakaian yang dikenakan sesuai dengan
keperluan dan adat kebiasaan, sesuai dengan tata cara yang berlaku.
Busana atau kostum pada wayang Potehi selalu berhubungan erat
dengan budaya dan pribadi pemakainya. Busana sendiri merupakan
suatu sistem tanda yang saling terkait dengan sistem-sistem tanda
lainnya dalam masyarakat, dan melaluinya dapat dikirimkan pesan
tentang sikap, status sosial, kepercayaan politik, dan sebagainya.
Dalam busana tokoh wayang Potehi dapat dibagi kedalam
beberapa golongan, yaitu golongan raja, bangsawan, panglima atau
jendral, dewa, dan rakyat jelata. Simbol-simbol yang tertera pada
busana juga dapat membedakan status sosial mereka.
Menurut wawancara dengan Widodo, dalang wayang Potehi
pada tanggal 7 Maret 2017, di dalam wayang Potehi warna juga
membedakan status sosial dan memberikan watak pada suatu tokoh.
Warna kuning hanya digunakan oleh para raja beserta keluarganya
karena warna kuning merupakan warna emas yang melambangkan
kemewahan, warna putih melambangkan kecerahan, kemurnian, dan
kepuasan, warna merah melambangkan keberuntungan dan
kegembiraan, dan warna biru yang melambangkan semangat.
Mastuti (2009:121) menyatakan bahwa ada perbedaan
pemaknaan warna di kebudayaan Tiongkok dan Jawa. Perbedaan
tersebut yaitu sebagai berikut, warna merah pada kebudayaan Jawa
berarti keberanian, dinamika, wanita, surya (matahari), dan kasih
sayang. Namun pada kebudayaan Tiongkok, merah berarti sifat yang
dominan yang sangat erat kaitannya dengan sikap hangat serta
kemakmuran tetapi juga menggambarkan kemarahan, malu, dan
kebencian.
Dalam kebudayaan Tiongkok, warna memiliki makna
tersendiri, demikian juga pada busana wayang Potehi. Setiap tokoh
memiliki sifat dan strata sosial yang berbeda dan hal tersebut
diperjelas oleh warna busana yang digunakan tokoh tersebut. Berikut
makna warna dalam kebudayaan Tiongkok.
a. Kuning : Melambangkan warna emas, melambangkan keagungan,
keberuntungan, kekayaan, dan kemakmuran.
b. Merah : Warna merah erat kaitannya dengan sifat hangat serta
kemakmuran, kegembiraan, kebahagiaan tetapi juga dapat
menggambarkan kemarahan.
c. Biru : Warna biru melambangkan kedamaian, kebijaksanaan,
dan ketenangan.
d. Hitam : Warna hitam identik dengan kegelapan dan kejahatan.
2.2.6 Simbol
Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah
antara penanda dengan petandanya, misalnya burung hantu sebagai
simbol kecerdasan dan kebijaksanaan. Semua makna budaya
diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol Spradley (dalam
Sobur 2013:177). Semua simbol kata-kata yang terucapkan maupun
sebuah objek seperti sebuah bendera, gerakan tubuh misalnya
melambaikan tangan, sebuah tempat seperti masjid atau gereja, atau
sebuah peristiwa perkawinan, hal tersebut merupakan bagian dari
suatu sistem simbol. Simbol meliputi segala yang dirasakan atau
kejadian yang dialami. Kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-
makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui
sejarah. Kebudayaan adalah sistem dari konsep-konsep yang
diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui
manusia berkomunikasi dan mengembangkan pengetahuan tentang
kehidupan ini dan cara menyikapi kehidupan ini.
Pada sebuah kostum boneka wayang Potehi tentu saja terdapat
beberapa motif yang mengandung arti bermacam-macam. Motif dan
warna kostum tersebut dapat mempengaruhi watak dari suatu tokoh
(Mastuti, 2009:120). motif juga mempengaruhi status sosial tokoh
wayang Potehi. Ada berbagai macam motif yang terdapat dalam
busana tokoh wayang Potehi. Motif tersebut adalah motif cakar lima
yang hanya digunakan oleh para raja. Motif naga (liong) yang
kebanyakan digunakan pada kostum tokoh para bangsawan. Banyak
makna yang terdapat dalam berbagai macam motif yang terkandung di
dalam busana wayang Potehi. Contohnya motif macan melambangkan
keberanian dan motif bunga teratai yang melambangkan simbol
kehidupan Budha yang menggambarkan sebuah kehidupan yang
mulia/bersahaja dalam carut-marutnya dunia (Mastuti, 2009:223).
Tabel 2.1 Data Makna Simbol
No Gambar Nama Simbol Makna
1
Cakar Naga Cakar naga yang berjumlah lima buah
hanya boleh dipakai oleh seorang raja.
Untuk gambar cakar naga berjumlah
empat, hanya boleh dipakai oleh
pejabat-pejabat istana saja. Untuk
jumlah cakar di bawah empat boleh
dipakai siapa saja.
2
Naga / Liong Naga merupakan makhluk mitologi
yang berwujud reptil raksasa. Pada
umumnya naga digambarkan berwujud
ular raksasa atau bisa juga kadal
bersayap. Di Tiongkok, naga dianggap
simbol kekuatan alam, khususnya
angin topan. Pada umumnya makhluk
ini dianggap memiliki sifat yang baik
dan ia selalu dihormati. Naga dianggap
sebagai penjelmaan roh orang suci
yang belum bisa masuk surga.
Masyarakat Tiongkok juga
menganggap naga melambangkan
kekuatan, keadilan, kebahagiaan, serta
diyakini sebagai hewan yang bisa
mengusir kekuatan jahat atau roh jahat,
dan juga dianggap sebagai pemberi
keuntungan.
3
Bunga Teratai Teratai lekat dalam legenda dan tradisi
masyarakat Tiongkok. Kwam Im,
Dewi Welas Asih dan pelindung
orang-orang kesulitan biasa tampil
dalam singgasana kuntum bunga
teratai.
4
Ombak Laut ombak menggambarkan suatu
rintangan dan lautan yang luas dan
menggambarkan sesuatu yang besar
atau cukup banyak. Ombak lautan
memiliki makna rintangan yang cukup
banyak.
5
八卦 Bā guà Merupakan lambang ramalan atau
perhitungan feng shui Tiongkok.
6
Harimau Harimau termasuk binatang buas. Bagi
masyarakat Tiongkok, harimau juga
disebut sebagai raja binatang buas.
harimau juga melambangkan
kemuliaan seorang raja serta lambang
keganasan. Harimau juga
menyimbolkan suatu kekuatan militer.
Pada zaman dahulu, tentara Tiongkok
terkadang memakai baju kulit harimau
palsu ketika akan pergi berperang,
dengan harapan ketika berperang suara
teriakan bisa menakuti musuh seperti
halnya auman harimau. Menurut
kepercayaan Cina, orang yang
dimakan oleh harimau, arwahnya tidak
akan pergi kemana-mana, dikarenakan
arwah tersebut akan melayani harimau
tersebut. Bahkan binatang ini dianggap
hewan yang paling kuat yang dapat
melindungi manusia dari bahaya
apapun.
2.3 Klenteng
Klenteng adalah nama khas Indonesia untuk institusi agama bagi
orang percaya, dengan dasar religius memuliakan keagungan Tuhan,
menghormati leluhur dan penghormatan pada dewa. Selain itu terdapat unsur-
unsur ibadah Tri Dharma, persembahyangan, ritual, upacara, hari suci, dan
sebagainya yang menyatu di dalamnya (Moerthiko, 2010:55). Istilah
kelenteng erat hubungannya dengan kebiasaan atau karakteristik masyarakat
untuk menyebut sesuatu yang bertalian dengan suara (bunyi), karena ketika
diselenggarakan upacara keagamaan, selalu membunyikan genta kecil yang
apabila dipukul akan berbunyi “klentheng” atau “klinthing”. Istilah klenteng
tersebut sejatinya berasal dari Indonesia. Sebab di luar negeri, misalnya di
Malaysia, Filipina, Singapura tidak pernah ditemukan adanya pemakaian
istilah klenteng untuk menyebut kuil Tionghoa (Moerthiko, 2010:56).
2.4 Ikonografi
Ikonografi adalah cabang sejarah seni yang mempelajari identifikasi,
deskripsi dan interpretasi isi gambar.
2.4.1 Definisi Ikonografi
Ikonografi berasal dari kata bahasa Yunani „eikon‟ yang berarti
gambar, patung dan lain-lain. Kata „graphe‟ yang berarti tulisan. Fokus
dari ikonografi adalah pembahasan tentang makna dari “pokok
persoalan” (subject matter) karya seni rupa. Dengan kata lain
ikonografi membahas isi atau gambaran tradisi dibalik lambang-
lambang spesifik yang menjadi objek dari kajiannya (amanita,
2007:19).
2.4.2 Perkembangan Ikonografi
Pendekatan ikonografi dimulai sejak abad 19 dan 20. Pada
abad 20 banyak tokoh-tokoh penting dalam sejarah seni rupa seperti
Emile Male, N.P. Kondakov, Hugo Kehrer dan Erwin Panofsky. Dalam
perkembangannya, ikonografi menjadi ikonologi, yaitu kajian tentang
isi atau muatan simbolik dan budaya, dimana dibalik simbolik tersebut
dapat ditemukan suatu politisi, literer, religious, filosofis, social, visi,
nilai, atau pesan-pesan tertentu. Pendekatan ikonografi ini dapat
diterapkan pada berbagai cabang seni rupa seperti lukis, seni patung,
seni kriya, komik, dan lain-lain (Amanita, 2007:19).
2.4.3 Teori Ikonografi Panofsky
Panofsky dalam Kamil (2013:13) menjelaskan bahwa ikonografi
bersifat deskriptif dan claaificatory, sedangkan ikonologi bersifat
identifikasi. Panofsky menjelaskan bahwa untuk memahami dan
mengkaji makna suatu karya seni tersimpan di dalamnya, diperlukan
tiga tahapan yang perlu dikaji, yakni tahap yang pertama adalah
deskripsi pra-ikonografi (pre iconographical descrition), tahap yang
kedua adalah analisis ikonografi (iconographical analysis), dan tahap
yang ketiga adalah interpretasi ikonografi (iconographical
interpretation). Ketiga tahap tersebut memiliki hubungan prerequisite
atau prasyarat dari tahapan satu dengan tahapan berikutnya. Panofsky
menjelaskan tiga pemaknaan karya seni, yaitu sebagai berikut.
a. Pokok bahasan primer atau alami.
Pada tingkat pertama, berhadapan dengan konfigurasi-
konfigurasi garis, warna pada sebuah kanvas yang menggambarkan
manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, rumah dan peralatan.
Bentuk-bentuk itu dianggap sebagai representasi suatu objek
alamiah. Makna yang berhubungan dengan objek diperoleh dari
peristiwa. Makna juga diperoleh dari perasaan seperti sedih dan
gembira, misalnya suasana rumah mewah atau rumah biasa.
Bentuk-bentuk tersebut diuraikan sebagai tahapan pra-ikonografi
dalam karya seni.
b. Pokok bahasan sekunder atau konvesional
Ikonografi yang sesungguhnya dimulai pada tingkat kedua.
Pada tingkat kedua ini Panofsky menggambarkan figur wanita
yang memegang buah peach pada lukisan Agnolo Bronzino yang
berjudul “Allegory With Venus and Cupid” bukanlah sekedar
wanita biasa, tetapi personifikasi dari venus (dewi cinta dan
keindahan). Panofsky juga menggabarkan objek karya lukisan
“The Last Supper” dalam gambaran dua watak jahat dan baik.
Dalam karya atas menunjukkan peristiwa persoalan objek yang
digambarkan dengan peristiwa. Di samping karya tersebut
mencantumkan persoalan komposisi. Analisis ikonografi
mempelajari pemaknaan dengan menggunakan aturan-aturan yang
sudah disetujui oleh pakar seni. Artinya analisis yang menjelaskan
pemaknaan karya seni dari sumber-sumber literatur. Memfokuskan
pada pemaknaan yang dikaitkan dengan dunia gambar, sejarah dan
alegori.
c. Makna atau muatan intrisik
Pada tahap ketiga ini interpretasi ikonologis adalah cara
memahami karya seni melalui penetapan makna isinya dengan
menyikapi prinsip-prinsip dasar yang mengungkapkan sikap dasar
suatu bangsa, suatu periode, suatu kelas sosial, suatu persuasi
religious dan filosofi yang terkandung di dalamnya. Makna ini
dikaitkan dengan bagian dari mentalitas dasar budaya yang
memanifestasikan budaya yang lain (ilmu pengetahuan agama,
filsafat, ideologi) karena karya seni merupakan simtom zamannya
(zeistget).
2.5 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah skripsi
berjudul “Makna Simbolis Pakaian Adat Pengantin Suku Sasak Lombok Nusa
Tenggara Barat” oleh Siandari (2013), Fakultas Bahasa dan Seni Universitas
Negeri Yogyakarta. Skripsi ini meneliti proses upacara pengantin adat suku
sasak Lombok serta makna simbolik pakaian adat pengantin suku sasak
Lombok. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif
dengan pengumpulan data dengan teknik observasi, wawancara dan
dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Proses upacara adat
pengantin suku Sasak Lombok dapat membantu untuk mengetahui makna
simbolis pada unsur-unsur pakaian adat pengantin. (2) Pakaian adat pengantin
golongan bangsawan dimaknai dari segi perhiasannya, dilihat dari ekstrinsik
dan intrinsik kualitas bahan terbuat dari bahan emas. Sedangkan untuk
masyarakat biasa terbuat dari bahan perak atau tembaga. (3) Pakaian adat
pengantin wanita terbagi menjadi empat bagian yaitu; kepala, leher, badan
dan lengan.
Penelitian selanjutnya, skripsi berjudul “Cerita dan Makna Simbolis
Mural Klenteng Kwan Sing Bio Tuban” oleh Fadhliyah (2016) Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Brawijaya Malang. Skripsi ini meneliti tentang lukisan
apa saja yang terdapat dalam klenteng Kwan Sing Bio dan cerita makna
simbolis yang terdapat pada mural tersebut. Metode yang digunakan adalah
deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
teknik observasi, wawancara dan studi literatur. Hasil temuan penelitian ini
berupa, simbol makhluk hidup yang melambangkan panjang umur. Peta
Indonesia yang melambangkan rasa nasionalisme. Peta Republik Rakyat
Tionghoa yang merupakan asal mereka. Temuan lainnya adalah cerita yang
mengisahkan sejarah perjalanan hidup dewa Kwan Kong.
Adapun persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah
menggunakan metode deskriptif kualitatif dan membahas tentang makna
simbol. Perbedaannya terletak pada objek penelitian, dalam penelitian
Siandari obejek penelitiannya adalah pakaian adat pengantin suku sasak di
Lombok, dan objek penelitian Fadhliyah adalah mural yang terdapat di
klenteng Kwan Sing Bio Tuban. Sedangkan dalam penelitian ini objek
penelitiannya adalah busana 布袋戏 bùdàixì dalam pertunjukan „raja秦
Jin/Qín pukul 6 kerajaan„ pada perayaan Imlek 2568 di klenteng Eng An
Kiong Malang. Keunggulan skripsi ini dibandingkan skripsi sebelumnya