bab ii kajian pustaka 2.1 tinjauan pustaka 2.1.1 konsep ...€¦ · pedoman penggolongan dan...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Konsep Pembangunan
1) Pengertian Pembangunan
Pembangunan mempunyai pengertian yang sangat luas, secara sederhana
pembangunan itu adalah perubahan kearah yang lebih baik dan lebih maju dari
sebelumnya. Pembangunan dapat diartikan juga sebagai gagasan untuk
mewujudkan sesuatu yang dicita - citakan. Pembangunan adalah suatu proses
yang dilakukan secara terus-menerus dalam rangka memperbaiki indikator sosial
maupun ekonomi pada suatu wilayah dari waktu ke waktu (Sumodiningrat, 2009).
Tiap-tiap Negara selalu mengejar pembangunan dengan tujuan semua orang turut
mengambil bagian, sedangkan kemajuan ekonomi adalah suatu komponen
esensial dari pembangunan itu, walaupun bukan satu-satunya. Hal ini disebabkan
pembangunan itu bukanlah semata-mata fenomena ekonomi. Dalam pengertian
yang paling mendasar, bahwa pembangunan itu haruslah mencakup masalah-
masalah materi dan finansial dalam kehidupan. Pembangunan seharusnya
diselidiki sebagai suatu proses multi dimensional yang melibatkan reorganisasi
dan reorientasi dari semua sistem ekonomi dan sosial (Todaro and Smith, 2009).
2) Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses pembangunan yang
terjadi terus menerus yang bersifat dinamis. Apapun yang dilakukan hakekat dari
proses dan sifat pembangunan itu mencerminkan adanya terobosan yang baru, jadi
bukan merupakan gambaran ekonomi suatu saat saja. Pembangunan ekonomi
berkaitan pula dengan pendapatan perkapita riil, di sini ada dua aspek penting
yang saling berkaitan yaitu pendapatan total atau yang lebih banyak dikenal
dengan pendapatan nasional dan jumlah penduduk. Pendapatan perkapita berarti
pendapatan total dibagi dengan jumlah penduduk.
Pembahasan tentang masalah pembangunan ekonomi memang bukanlah
suatu perkembangan baru dalam ilmu ekonomi karena studi tentang pembangunan
ekonomi tersebut telah menarik perhatian para pakar ekonomi sejak zaman kaum
merkantilis, kaum klasik, sampai Marx dan Keynes. Ahli - ahli ekonomi tersebut
telah mengemukakan teorinya tentang pembangunan ekonomi. Adam Smith
misalnya, yang terkenal dengan bukunya An Iquiry into The Nature and Cause
The Wealth of Nation (1776) mengemukakan bahwa pembangunan ekonomi suatu
Negara sangat bergantung pada kemampuan Negara tersebut dalam menabung dan
berinvestasi. Smith juga memperhatikan ukuran pasar yang dimiliki suatu Negara
sebab luar pasar sangat mempengaruhi volume produksi yang akhirnya tergantung
pada tingkat pendapatan (Todaro dan Smith, 2009).
Ukuran pasar dapat mempengaruhi produktivitas dan pada gilirannya akan
mempengaruhi tingkat pendapatan. Tinggi rendahnya tingkat pendapatan sangat
berpengaruh pada tingkat kemampuan untuk menabung dan dorongan
berinvestasi. Selain itu, dalam bukunya yang berjudul The Progress of Wealth
yang dikembangkan dari bukunya berjudul Principles of Political Economy
(1820), Thomas Robert Malthus mengemukakan salah satu gagasannya mengenai
konsep pembangunan, khususnya bidang ekonomi bahwa pembangunan ekonomi
dapat dicapai dengan meningkatkan kesejahteraan penduduk suatu negara
(Irawan, 2008).
Akhirnya disadari bahwa pengertian pembangunan itu sangat luas, bukan
hanya sekedar bagaimana menaikkan Produk Domestik Bruto (PDB) per tahun
saja, melainkan juga memperhatikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu
negara untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan kualitas hidup
masyarakatnya. Pembangunan ekonomi pada umumnya didefenisikan sebagai
suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk
suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem
kelembagaan. Pembangunan ekonomi perlu dipandang sebagai kenaikan dalam
pendapatan per kapita karena kenaikan itu merupakan penerimaan dan timbulnya
perbaikan dalam kesejahteraan ekonomi masyarakat. Biasanya laju pembangunan
ekonomi suatu negara ditunjukkan dengan menggunakan tingkat pertumbuhan
PDB/PNB. Kesejahteraan suatu negara sebagian bergantung pada kuantitas produk
yang dihasilkan oleh tenaga kerjanya dan sebagian lagi pada nilai atas produk
tersebut. Malthus mendefenisikan masalah pembangunan ekonomi sebagai sesuatu
yang menjelaskan perbedaan Gross National Product potensial “kemampuan
menghasilkan kekayaan” dan Gross National Product aktual “kekayaan aktual”.
Tujuan yang ingin dicapai dalam pembangunan ekonomi yang diwujudkan dalam
berbagai kebutuhan, secara umum adalah sebagai berikut.
Adapun yang menjadi tujuan pembangunan ekonomi menurut (Todaro and
Smith, 2009) adalah sebagai berikut:
a) Menciptakan keadaan yang dapat membantu pertumbuhan rasa harga diri
melalui pembangunan sistem dan kelembagaan sosial dan ekonomi yang dapat
mengembangka rasa harga diri dan rasa hormat terhadap kemanusian.
b) Mempertinggi tingkat penghidupan bangsa yaitu tingkat pendapatan dan
konsumsi pangan, pelayanan kesehatan, pendidikan dan sebagainya melalui
proses pembanguan ekonomi.
c) Mengembangkan kebebasan untuk memilih dengan jalan memperluas
rangkaian kesempatan untuk memilih misalnya keanekaragaman jenis barang
konsumsi dan jasa yang tersedia.
3) Pembangunan Kesehatan
Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya pembangunan
nasional yang diselenggarakan pada semua bidang kehidupan. Pembangunan
kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
optimal. Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya utama untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang pada gilirannya mendukung
percepatan pencapaian sasaran pembangunan nasional. Kesehatan umumnya
menjadi tujuan utama dan merupakan hasil suatu pembangunan kesehatan
(Depkes, 1999).
Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan strategi pembangunan
profesionalisme, desentralisasi dan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat
dengan memperhatikan berbagai tantangan yang ada saat ini. Upaya pemeliharaan
dan peningkatan kesehatan masyarakat dilaksanakan melalui program peningkatan
perilaku hidup sehat, pemeliharaan lingkungan sehat, pelayanan kesehatan dan
didukung oleh sistem pengamatan, informasi dan manajemen yang handal . Untuk
mencapai tujuan pembangunan kesehatan dan melandaskan pada memperhatikan
kebijakan umum yang dikelompokkan sebagai berikut:
a) Peningkatan kerjasama lintas sektor
b) Peningkatan perilaku, pemberdayaan masyarakat dan kemitraan swasta
c) Peningkatan kesehatan lingkungan
d) Peningkatan upaya kesehatanya
e) Peningkatan sumber daya kesehatan
f) Peningkatan kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan
g) Peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan
h) Peningkatan lingkungan sosial budaya
4) Pembangunan Manusia
Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang
memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati umur panjang, sehat dan
menjalankan kehidupan produktif. Hal ini tampaknya merupakan suatu kekayaan
yang sederhana. Tetapi hal ini seringkali terlupakan oleh berbagai kesibukan
jangka pendek untuk mengumpulkan harta dan uang. Pembangunan manusia
dirumuskan sebagai perluasan pilihan bagi penduduk (enlarging the choices of
people), yang dapat dilihat sebagai proses upaya ke arah “perluasan pilihan” dan
sekaligus sebagai taraf yang dicapai dari upaya tersebut. Pada saat yang sama
pembangunan manusia dapat dilihat juga sebagai pembangunan (formation)
kemampuan manusia melalui perbaikan taraf kesehatan, pengetahuan, dan
keterampilan, sekaligus sebagai pemanfatan (utilization) kemampuan/ketrampilan
mereka. Konsep pembangunan di atas jauh lebih luas pengertiannya dibandingkan
konsep pembangunan ekonomi yang menekankan pada pertumbuhan (economic
growth), kebutuhan dasar, kesejahteraan masyarakat, atau pegembangan sumber
daya manusia (UNDP, 1995).
Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan manusia, empat hal
pokok yang perlu diperhatikan adalah produktivitas, pemerataan, kesinambungan,
pemberdayaan (UNDP, 1995). Secara ringkas empat hal pokok tersebut
mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut :
a) Produktivitas
Penduduk harus dimampukan untuk meningkatkan produktivitas dan
berpartisipasi penuh dalam proses penciptaan pendapatan dan nafkah.
Pembangunan ekonomi, dengan demikian merupakan himpunan bagian dari
model pembangunan manusia.
b) Pemerataan
Penduduk harus memiliki kesempatan atau peluang yang sama untuk
mendapatkan akses terhadap semua sumber daya ekonomi dan sosial. Semua
hambatan yang memperkecil kesempatan untuk memperoleh akses tersebut
harus dihapus, sehingga mereka dapat mengambil menfaat dari kesempatan
yang ada dan berpartisipasi dalam kegiatan produktif yang dapat
meningkatkan kualitas hidup.
c) Kesinambungan
Akses terhadap sumber daya ekonomi dan sosial harus dipastikan tidak hanya
untuk generasi-generasi yang aka datang. Semua sumber daya fisik, manusia,
dan lingkungan selalu diperbaharui.
d) Pemberdayaan
Penduduk harus berpartisipasi penuh dalam keputusan dan proses yang akan
menentukan (bentuk atau arah) kehidupan mereka, serta untuk berpartisipasi
dan mengambil manfaat dari proses pembangunan. Paradigma pembangunan
manusia tidak berhenti sampai disana. Pilihan-pilihan tambahan yang
dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat luas seperti kebebasan politik,
ekonomi dan sosial, sampai kesempatan untuk menjadi kreatif dan produktif,
dan menikmati kehidupan yang sesuai dengan harkat pribadi dan jasmani hak-
hak asasi manusia merupakan bagian dari paradigma tersebut. Dengan
demikian, paradigma pembangunan manusia memiliki dua sisi. Sisi pertama
berupa informasi kapabilitas manusia seperti perbaikan taraf kesehatan,
pendidikan dan keterampilan. Sisi lainnya adalah pemanfaatan kapabilitas
mereka untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif, kultural, sosial dan
politik.
Konsep pembangunan manusia dalam pengertian di atas jauh lebih baik
dari pada teori-teori pembangunan ekonomi yang konvensional termasuk model
pertumbuhan ekonomi, pembangunan sumber daya manusia (SDM), pendekatan
kesejahteraan dan pendekatan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Model
pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan peningkatan pendapatan dan produksi
nasional (GNP). Pembangunan manusia terutama sebagai input dari proses
produksi (sebagai suatu sarana bukan tujuan). Pendekatan kesejahteraan melihat
manusia sebagai agen perubahan dalam pembangunan. Pendekatan kebutuhan
dasar memfokuskan pada penyediaan barang dan jasa kebutuhan hidup.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index
(HDI) merupakan ukuran keberhasilan pembangunan aspek manusia dalam suatu
wilayah tertentu yang standarnya ditentukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) melalui UNDP (United Nation of Development Program). Nilai IPM suatu
negara atau wilayah menunjukkan seberapa jauh negara atau wilayah itu telah
mencapai sasaran yang ditentukan, yaitu angka harapan hidup 85 tahun,
pendidikan dasar bagi semua lapisan masyarakat (tanpa kecuali) dan tingkat
pengeluaran dan konsumsi yang telah mencapai standar hidup yang layak.
Semakin dekat nilai IPM suatu wilayah terhadap angka 100, semakin dekat jalan
yang harus ditempuh untuk mencapai sasaran itu. Penurunan beberapa komponen
IPM sebagai akibat kepekaan IPM sebagai alat ukur yang dapat menangkap
perubahan nyata yang dialami penduduk dalam jangka pendek (Todaro dan Smith,
2009).
Saat ini Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Provinsi Bali berada di
peringkat ke-5 dengan angka 72,48 dan berada diatas nilai IPM nasional sebesar
68,90. Namun pertumbuhan IPM Provinsi Bali masih berada di bawah tingkat
nasional. Pertumbuhan IPM Provinsi Bali hanya 0,54 sedangkan di tingkat
nasional sebesar 0,86 (Tempo.co.id, 2015). Salah satu program yang di upayakan
oleh pemerintah Bali untuk meningkatkan IPM yaitu program Jaminan Kesehatan
Bali Mandara (JKBM), program JKBM ini di terapkan sejak tahun 2008 dan
mendapat dukungan pendanaan dari APBD Bali anggaran tahun 2008 sebesar Rp.
20 Miliyar, pada tahun 2010 APBD yang di anggarkan untuk JKBM ini sebanyak
Rp. 127 Miliyar. Program JKBM melibatkan 108 Puskesmas non perawatan dan
jejaring serta 22 puskesmas yang mempunyai fasilitas rawat inap, delapan Rumah
Sakit Umum Daerah, Rumah Sakit Indera, Rumah Sakit Jiwa Bangli dan RSUP
Sanglah Denpasar sebagai pusat rujukan. Dengan tercapainya status kesehatan
masyarakat yang optimal maka diharapkan akan mampu meningkatkan
produktifitas sehingga kesejahteraan masyarakat juga ikut meningkat.
2.1.2 Konsep Gangguan Jiwa (Skizofrenia)
1) Pengertian Skizofrenia
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III menjelaskan
bahwa skizofrenia adalah suatu sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum
diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau “deteriorating”)
yang luas. Pada umumnya skizofrenia ditandai oleh penyimpangan yang
fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta afek yang tidak
wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih (clear
consciousness) dan kemampuan intelektual dan biasanya tetap terpelihara,
walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Maslim,
2004).
Skizofrenia merupakan suatu sindroma klinis yang bervariasi, tetapi sangat
destruktif psikopatologinya mencakup aspek-aspek kognisi, emosi, persepsi dan
aspek-aspek perilaku lainnya. Gangguan ini biasanya dimulai sebelum usia 25
tahun, dapat mengenai siapa saja dari kelompok sosial ekonomi manapun (Sadock
dan Sadock, 2007). Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten serius yang
mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret dan kesulitan dalam
memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah
(Stuart, 2007). Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi
area fungsi individu, termasuk berpikir dan berkomunikasi, menerima, dan
menginterprestasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi, dan beperilaku
dengan sikap yang dapat diterima secara sosial (Isaacs, 2005).
2) Etiologi
Menurut Maramis (2009), faktor-faktor yang berisiko untuk terjadinya
skizofrenia adalah sebagai berikut :
a) Biologik
(1) Keturunan
Penelitian tentang genetika dari skizofrenia, dilakukan pada tahun 1930-
an, ditemukan bahwa kemungkinan seseorang akan menderita skizofrenia jika
anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia. Kemungkinan seseorang
menderita skizofrenia berhubungan dengan dekatnya hubungan persaudaraan
tersebut. Faktor keturunan menentukan timbulnya skizofrenia, dibuktikan dengan
penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia dan terutama anak-anak
kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 – 1,8%, bagi
saudara kandung 7 – 15%, bagi anak dengan salah satu anggota keluarga yang
menderita skizofrenia 7 – 16%, bila kedua orang tua menderita skizofrenia 40 –
68%, bagi kembar dua telur (heterozigot) 2 – 15%, bagi kembar satu telur
(monozigot) 61 – 86%.
(2) Biokimia
Rumusan yang paling sederhana untuk mengungkapkan patofisiologi dari
skizofrenia adalah hipotesa dopamine. Hipotesa ini secara sederhana menyatakan
bahwa skizofrenia disebabkan karena terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik.
Hipotesis ini disokong dari hasil observasi pada beberapa obat anti psikotik yang
digunakan untuk mengobati skizofrenia dimana berhubungan dengan
kemampuannya menghambat dopamine (D2) reseptor. Hipotesis dopaminergik
tentang skizofrenia terus diperbaiki dan diperluas. Satu bidang spekulasi adalah
reseptor dopamine tipe 1 mungkin memainkan peranan dalam gejala negatif, dan
beberapa peneliti tertarik dalam menggunakan agonis D1 sebagai pendekatan
pengobatan untuk gejala tersebut (Sadock et.al, 2007).
(3) Endokrin
Skizofrenia mungkin disebabkan oleh suatu gangguan endokrin. Teori ini
dikemukakan berhubung dengan sering timbulnya skizofrenia pada waktu
pubertas, waktu kehamilan atau peuerperium dan waktu klimakterium.
mesolimbic overactivity =
positive symptoms of psychosis
Gambar 2.1 Bikomia Otak Pada Penderita Skizofrenia
(4) Faktor imunovirologi
Ada teori popular mengatakan bahwa perubahan patologi otak pada
individu penderita skizofrenia dapat disebabkan oleh pajanan virus atau respon
imun tubuh terhadap virus dapat mengubah fisiologi otak. Baru-baru ini para
peneliti memfokuskan infeksi pada ibu hamil sebagai kemungkinan penyebab
awal skizofrenia.
b) Psikososial
Skizofrenia ditinjau dari faktor psikososial sangat dipengaruhi oleh faktor
keluarga dan stressor psikososial. Pasien yang keluarganya memiliki emosi
ekspresi yang tinggi memiliki angka relaps lebih tinggi daripada pasien yang
berasal dari keluarga berekspresi yang rendah. Emosi ekspresi didefinisikan
sebagai perilaku yang intrusif, terlihat berlebihan, kejam, dan kritis. Disamping itu
stress psikologik dan lingkungan paling mungkin mencetuskan dekompensasi
psikotik yang lebih terkontrol. Pada negara industri sejumlah pasien skizofrenia
berada dalam kelompok sosio ekonomi rendah. Pengamatan tersebut telah
dijelaskan oleh hipotesis pergeseran ke bawah (downward drift hypothesis), yang
menyatakan bahwa orang yang terkena bergeser ke kelompok sosio ekonomi
rendah karena penyakitnya. Suatu penjelasan alternatif adalah hipotesis akibat
sosial, yang menyatakan stress yang dialami oleh anggota kelompok sosio
ekonomi rendah berperan dalam perkembangan skizofrenia. Beberapa pendapat
mengatakan bahwa penyebab sosial dari skizofenia di setiap kultur berbeda
tergantung dari bagaimana penyakit mental diterima di dalam kultur, sifat peranan
pasien, tersedianya sistem pendukung sosial dan keluarga serta kompleksitas
komunikasi sosial.
3) Sejarah Skizofrenia
Gangguan jiwa telah dikenal sejak zaman peradaban kuno di hampir
semua kebudayaan. Deskripsi tentang gangguan ini tercatat sebelum 2000 SM di
buku kuno Egyptian Book of Hearts, bagian dari Ebers papyrus. Gejala-gejala
psikologikal dikira muncul dari jantung dan uterus, dan berhubungan dengan
pembuluh darah, racun, atau setan. Deskripsi Hindu (1400 SM) dapat ditemukan
di Atharva Veda, salah satu teks pada agama Hindu. Veda ini berisi hymne dan
mantra dari India kuno. Tertulis bahwa kesehatan merupakan hasil dari
keseimbangan 5 elemen (Butha) dan 3 humor (Dosa) dan ketidakseimbangan
menghasilkan kegilaan. Teks Cina berjudul The Yellow Emperor's Classic of
Internal Medicine 1000 SM, menjabarkan gejala kegilaan, demensia, dan kejang.
Setan atau keadaan supernatural sering dikira sebagai penyebab tingkah laku
psikotik.
Plato, penulis abab ke-5 dan ke-4 SM mendukung konsep yang modern
tentang hubungan antara pikiran dan tubuh. Plato menemukan ide tentang
ketidaksadaran dan proses mental yang tidak berlogika dan menyatakan bahwa
semua orang mempunyai kapasitas pemikiran yang irrasional. Sigmund Freud
(1856-1939) kemudian mengambarkan spekulasi Plato untuk mendukung teorinya
tentang proses ketidaksadaran sebagai fondasi gangguan mental. Hippocrates
menyingkirkan ide psikosis karena setan dan menganjurkan bahwa gangguan
seperti epilepsi, kebingungan, dan kegilaan semua berasal dari otak. Dalam usaha
menjelaskan gangguan mental dan fisik, beliau membuat dalil tentang kehadiran
"humors" di tubuh termasuk darah dan empedu. Fungsi mental dan fisik yang
optimal dapat tercapai jika humors ini berada dalam keadaan seimbang dan
harmonis.
Istilah skizofrenia berasal dari bahasa Jerman, yaitu Schizo adalah
perpecahan atau split dan Phenos adalah mind atau jiwa). Pada skizofrenia terjadi
suatu perpecahan pikiran, perilaku dan perasaan. Emil Kraeplin (1856-1926)
merupakan orang yang berjasa dalam sejarah modern psikiatri dalam hal
mengidentifikasi skizofrenia. Istilah dasar dari Emil Kraeplin untuk skizofrenia
adalah dementia praecox (demensia yang terjadi pada usia dini) ditandai dengan
proses kognitif yang makin lama makin memburuk dan disertai dengan gejala
klinis berupa halusinasi dan waham (Sadock et.al, 2007).
Eugene Beuler (1857-1939) mempunyai pandangan berbeda dengan
Kraeplin menyangkut dua poin utama, bahwa gangguan tersebut tidak selalu
terjadi pada usia dini dan gangguan tersebut tidak akan berkembang menjadi
demensia tanpa dapat dihindari. Dengan demikian istilah dementia praecox tidak
sesuai lagi dan pada tahun 1908. Bluer mengajukan istilahnya sendiri yaitu
skizofrenia yang berasal dari bahasa Yunani schizein yang artinya “membelah”
dan phren yang artinya “akal pikiran” untuk mencerminkan karakteristik utama
kondisi tersebut. Berbeda dengan kepribadian yang terpecah, Bleuler mengartikan
terpecahnya fungsi psikik. Dia memperkenalkan empat tanda penting berupa
“empat A”,yaitu: Afek tumpul, Asosiasi longgar, Ambivalensi dan Autisme.
Gejala lain dari skizofrenia seperti delusi, halusinasi, katatonia, negativisme dan
stupor dikenal sebagai gejala sekunder. Bleuler mencatat bahwa gejala sekunder
ini muncul seperti gejala lainnya (Sadock et.al, 2007).
4) Epidemiologi
Skizofrenia adalah masalah kesehatan masyarakat yang mempengaruhi
kurang dari 1% dari populasi dunia. Prevalensi skizofrenia di seluruh dunia
diperkirakan 0,2-0,8% dalam setahun (Maramis, 2009). Berdasarkan jenis kelamin
prevalensi skizofrenia adalah sama, perbedaannya terlihat dalam onset dan
perjalanan penyakit. Onset untuk laki laki 15 sampai 25 tahun sedangkan wanita
25 sampai 35 tahun. Prognosisnya adalah lebih buruk pada laki laki dibandingkan
wanita. Prevalensi penyakit ini meningkat pada pasien dengan riwayat keluarga
skizofrenia (Sadock et.al, 2007).
Skizofrenia ditemukan dalam semua masyarakat dan wilayah geografis.
Angka kejadian dan tingkat prevalensinya lebih besar di perkotaan daripada di
pedesaan dan cenderung lebih berat pada negara maju dibandingkan negara
berkembang. Perbedaan ini sebelumnya telah dikaitkan dengan fenomena
penyimpangan sosial, dimana individu rentan terkena stres atau depresi dalam
melakukan aktivitas sosial maupun pekerjaan mereka (Sadock et.al, 2007).
5) Anatomi dan Patalogi
Pembesaran ventricular otak merupakan salah satu yang palin sering
menyebabkan gangguan pada pasien skizofrenia. Akan tetapi pembesaran pada
sulkus dan atrofi pada otak juga pernah dilaporkan. Pada pemeriksaan dengan
menggunakan MRI terdapat juga kemungkinan kerusakan pada daerah thalamus,
amygdale/ hippocampus, lobus temporal, dan basal ganglia. Pada peneliatan,
menunjukan sampel otak pasien skizofrenia postmortem ditemukan adanya
penurunan ukuran daerah tersebut. Ganglia basalis terlibat dalam pengendalian
gerakan dimana pada pasien skizofrenia mempunyai pergerakan yang aneh,
bahkan tanpa adanya gangguan pergerakan akibat medikasi. Gerakan aneh
termasuk berjalan yang kaku, menyeringai wajah, dan gerkan streotipik. Sehingga
ganglia basalis dilibatkan dalam patofisiologi skizofrenia. Beberapa penelitian
menyatakan bahwa ukuran regio temporal yang berkurang pada skizofrenia dan
gangguan pada gyrus temporalis superior atau planum temporal berhubungan
dengan timbulnya halusinasi.
Gambar 2.2 Anatomi Patologi Otak Pada Skizofrenia
6) Jenis Skizofrenia
Menurut Maramis (2009) tipe-tipe skizofrenia adalah :
a) Skizofrenia Paranoid
Gejala-gejala yang mencolok adalah waham primer, disertai dengan
waham-waham sekunder dan halusinasi. Baru dengan pemeriksaan yang teliti
ternyata ada juga gangguan proses berpikir, gangguan afek, emosi dan kemauan.
Jenis skizofrenia ini sering mulai sesudah umur 30 tahun, permulaannya mungkin
subakut, tetapi munkin juga akut. Kepribadian penderita sebelum sakit sering
dapat digolongkan schizoid. Mereka mudah tersinggung, suka menyendiri, agak
congkak dan kurang percaya pada orang lain.
b) Skizofrenia Hebefrenik
Permulaannya perlahan-lahan atau sub akut dan sering timbul pada masa
remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang mencolok adalah gangguan proses
berpikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi atau double personality.
Gangguan psikomotor seperti mannerism, neologisme atau perilaku kekanak-
kanakan sering terdapat pada skizofrenia hebefrenik. Waham dan halusinasi
banyak sekali.
c) Skizofrenia Katatonik
Timbulnya pertama kali antara umur 15-35 tahun, dan biasanya akut serta
sering didahului oleh stress emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah
katatonikatau stupor katatonik. Stupor katatonik, penderita tidak menunjukkan
perhatian sama sekali terhadap lingkungannya. Emosinya sangat dangkal. Gejala
yang penting adalah gejala psikomotor seperti:
(1) Mutisme, kadang-kadang dengan mata tertutup.
(2) Muka tanpa mimik, seperti topeng.
(3) Stupor, penderita tidak bergerak beberapa hari, bahkan kadang-kadang
sampai beberapa bulan.
(4) Bila diganti posisinya penderita menentang (negativism).
(5) Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga terkumpul di dalam mulut
dan meleleh keluar, air seni dan feses ditahan.
(6) Terdapat grimasm dan katalepsi.
d) Skizofrenia Simpleks
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas, gejala utama pada jenis
simpleks adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan namun gangguan
proses berpikir bisanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali
terdapat. Jenis ini timbulnya perlahan-lahan sekali, pada permulaan mungkin
penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari
pergaulan. Makin lama ia makin mundur dalam pekerjaan atau pelajaran dan
akhirnya menjadi penganggur. Bila tidak ada orang yang menolongnya ia
mungkin akan menjadi pengemis, pelacur atau penjahat.
e) Skizofrenia Residual
Jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia dengan gejala-gejala
berkembang ke arah gejala negatif yang lebih menonjol. Gejala negatif terdiri dari
kelambatan psikomotor, penurunan aktivitas, penumpulan afek, pasif dan tidak
ada inisiatif, kemiskinan pembicaraan, ekspresi nonverbal yang menurun, serta
buruknya perawatan diri dan fungsi sosial.
Menurut International Classification of Diseases (ICD) 10 edisi revisi
tahun 2007, berdasarkan epidemiologi tipe skizofrenia yang paling banyak di
dunia dijumpai adalah tipe paranoid. Di Rumah Sakit Jwa Provinsi Bali pun
didapatkan bahwa tipe paranoid merupakan tipe skizofrenia terbanyak yang
diderita pasien skizofrenia.
7) Gejala-Gejala Skizofrenia
Ada beberapa gejala positif dan negatif pada individu penderita skizofrenia
(Videbeck, 2008), yaitu:
a) Gejala Positif
(1) Halusinasi: persepsi sensori yang salah atau pengalaman persepsi sensori yang
tidak terjadi dalam realitas.
(2) Waham: keyakinan yang salah dan dipertahankan yang tidak memiliki dasar
dalam realitas.
(3) Ekopraksia: peniruan gerakan dan gesture orang lain yang dialami klien.
(4) Flight of ideas: aliran verbalisasi yang terus menerus saat individu melompat
dari satu topik ke topik lain dengan cepat.
(5) Preserverasi: terus menerus membicarakan satu topik atau gagasan;
pengulangan kalimat, kata atau frase secara verbal, dan menolak untuk
mengubah topik tersebut.
(6) Asosiasi longgar: pikiran atau gagasan yang terpecah-pecah atau buruk.
(7) Gagasan rujukan: kesan yang salah bahwa peristiwa eksternal memiliki makna
khusus bagi individu.
(8) Ambivalensi: mempertahankan keyakinan atau perasaan yang tampak
kontradiktif tentang individu, peristiwa atau situasi yang sama.
b) Gejala Negatif
(1) Apatis: perasaan tidak peduli terhadap individu, aktivitas dan peristiwa
disekelilingnya.
(2) Alogia: kecenderungan berbicara sedikit atau menyampaikan substansi makna
(miskin isi pikir).
(3) Afek datar: tidak adanya ekspresi wajah yang akan menunjukan emosi atau
mood.
(4) Afek tumpul: rentang keadaan perasaan emosional atau mood yang terbatas.
(5) Anhedonia: merasa tidak senang atau tidak gembira dalam mejalani hidup,
aktivitas dan hubungan.
(6) Katatonia: imobilitas karena faktor psikologis, kadang kala ditandai oleh
periode agitasi atau gembira; klien tampak tidak bergerak, seolah-olah dalam
keadaan setengah sadar.
(7) Tidak memiliki kemauan: tidak adanya keinginan, ambisi atau dorongan untuk
bertindak melakukan tugas-tugas.
Adapun untuk membedakan skizofrenia gejala positif menonjol atau
skizofrenia gejala negatif menonjol, dapat menggunakan instrument Positive and
Negative Symptom Scale (PANSS).
8) Perjalanan Skizofrenia
Perjalanan penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu:
a) Fase Prodromal
Biasanya timbul gejala gejala non spesifik yang lamanya bisa minggu, bulan
ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi jelas. Gejala
tersebut meliputi : hendaya fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi
penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri. Perubahan perubahan ini
akan mengganggu individu serta membuat resah keluarga dan teman, mereka
akan mengatakan “orang ini tidak seperti yang dulu”. Semakin lama fase
prodromal semakin buruk prognosisnya.
b) Fase Aktif
Gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik,
inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir semua
individu dating berobat pada fase ini, bila tidak mendapat pengobatan gejala-
gejala tersebut dapat hilang spontan, suatu saat mengalami eksaserbasi atau
terus bertahan.
c) Fase Residual
Gejala-gejalanya sama dengan fase prodromal tetapi gejala positif/
psikotiknya sudah berkurang. Disamping gejala-gejala yang terjadi pada
ketiga fase di atas, penderita skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif
berupa gangguan berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan
dan eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan sosial). Pada 29% - 70% kasus,
dapat mengalami remisi atau eksaserbasi akut kembali. Peningkatan
terjadinya remisi kemungkinan dipengaruhi oleh faktor psikopatologi,
psikososial, dan pengobatan yang diberikan (Sadock et.al., 2007).
9) Diagnosis
Salah satu instrumen sebagai alat bantu diagnostik skizofrenia di Indonesia
adalah dengan menggunakan PPDGJ-III, yaitu:
a) Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
(1) Thought echo yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama,
namun kualitasnya berbeda ; atau thought insertion or withdrawal, yaitu isi
yang asing dan luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi
pikirannyadiambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
thought broadcasting, yaitu isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya.
(2) Delusion of control yaitu waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau delusion of passivitiy, yaitu waham tentang
dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang
”dirinya” dimana secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh / anggota gerak
atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus); delusional perception,
yaitu pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi
dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
(3) Halusinasi auditorik yaitu suara halusinasi yang berkomentar secara terus
menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien-pasien di
antara mereka sendiri (di antara berbagai suara yang berbicara), atau jenis
suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian tubuh;
(4) Waham-waham menetap jenis lainnya yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia
biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan
mahluk asing dan dunia lain).
b) Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
(1) Halusinasi yang menetap dan panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yangsetengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas,ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus-menerus.
(2) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan, atau neologisme.
(3) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
(4) Gejala- gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang dan
respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika.
c) Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal).
d) Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude) dan
penarikan diri secara sosial (Maslim, 2003).
10) Diagnosis Banding
Skizofrenia harus dibedakan dengan semua kondisi yang menimbulkan
psikosis aktif. Semua kemungkinan-kemungkinan harus dengan hati-hati
disisihkan misalnya, gangguan skizoafektif, gangguan afektif berat, dan semua
kondisi organik yang sangat mirip dengan skizofrenia, misalnya stadium awal
Khorea Huntington, stadium awal penyakit Wilson, epilepsi lobus temporalis,
tumor lobus temporalis atau frontalis, stadium awal multiple sklerosis dan
sindrom lupus eritomatosis, porfilia, paresis umum, penyalahgunaan zat yang
kronik dan halusinasi alkoholik kronik.
11) Prognosis
Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronis. Pasien secara
berangsur-angsur menjadi semakin menarik diri, dan tidak berfungsi setelah
bertahun-tahun. Pasien dapat mempunyai waham dengan taraf ringan dan
halusinasi yang tidak begitu jelas (samar-samar). Sebagian gejala akut dan gejala
yang lebih dramatik hilang dengan berjalannya waktu, tetapi pasien secara kronis
membutuhkan perlindungan atau menghabiskan waktunya bertahun-tahun di
dalam rumah sakit jiwa. Secara keseluruhan harapan hidupnya pendek, terutama
akibat kecelakaan, bunuh diri, dan ketidakmampuannya merawat diri.
Sebelumnya, skizofrenia dibedakan antara skizofrenia proses (terjanya
berangsur-angsur, perjalanannya kronis deteriorasi) dan skizofrenia reaktif (awitan
cepat, prognosis lebih baik). Selain itu, skizofrenia juga dibedakan dengan gejala
positif (halusinasi, waham, perilaku aneh dll) yang biasanya berespons terhadap
antipsikoti konvensional dan gejala negatif (afek datar, miskin pembicaraan,
anhedonia, penarikan diri dari sosial, dll) yang tidak berespon terhadap
antipsikotik konvensional (berespon lebih baik terhaddap obat-obat antipsikotik
baru) Gambaran klinis yang dikaitkan dengan prognosis baik yaitu :
a) Awitan gejala-gejala psikotik aktif terjadi secara mendadak.
b) Awitan terjadi setelah umur 30 tahun, terutama pada perempuan.
c) Fungsi pekerjaan dan sosial premorbid (sebelum sakit) baik.
d) Kebingungan sangat jelas dan gambaran emosi menonjol, selama episode akut
(gejala positif) beberapa hal yang perlu ditanyakan yaitu :
(1) Kemungkinan adanya suatu stress yang mempersipitasi psikosi akut dan tidak
ada bukti gangguan susunan saraf pusat (SSP)
(2) Tidak ada riwayat keluarga yang menderita skizofrenia
Bentuk skizofrenia reaktif dan skizofrenia proses mungkin secara etiologi
berbeda. Meskipun ada veriabilitas yang besar, tipe disorganisasi secara umum
mempunyai prognosis yang buruk, tetapi tipe paranoid mempunyai prognosis
baik. Prognosis menjadi lebih buruk bila pasien menyalahgunakan zat atau
hidup dalam keluarga yang tak harmonis.
2.1.3 Permasalahan Sosial Ekonomi Pada Skizofrenia
Masalah kesehatan mental berdampak buruk tidak hanya pada satu segmen
tertentu, melainkan pada seluruh segmen dalam kehidupan. Terpisah dari
penderitaan subjektif yang dialami oleh orang-orang dengan gangguan mental,
dampak pada fungsi sosial dan pekerjaan, kesehatan fisik dan kematian sangatlah
besar. Ini tidak lain karena kesehatan mental itu sendiri sangatlah vital dan
menentukan taraf kehidupan. Mengingat tidak satupun orang imun terhadap
gangguan ini, pada akhirnya permasalahan mental pun menjadi tantangan besar
bagi perkembangan global (WHO, 2003).
Menurut Hudson (2005) status sosial ekonomi memiliki korelasi dengan
gangguan jiwa. Pendapat ini didasarkan pada sebuah studi yang meneliti 34.000
pasien dengan dua atau lebih rawat inap psikiatri di Massachusetts selama 1994-
2000. Kesimpulannya bahwa pengangguran, kemiskinan dan tunawisma
berkorelasi dengan resiko penyakit mental. Kondisi sosial ekonomi yang miskin,
resiko lebih tinggi adalah untuk cacat mental dan rawat inap psikiatri. Status sosial
ekonomi dinilai atas dasar pendapatan masyarakat, pendidikan dan status
pekerjaan. Studi ini memberikan bukti kuat bahwa status sosial ekonomi
berhubungan dengan perkembangan penyakit mental secara langsung, maupun
tidak langsung bersama-sama dengan kondisi stres ekonomi yang tidak
menguntungkan pada kelompok pendapatan rendah.
Hasil penelitian Santoso (2004) menunjukan bahwa gambaran beban
kemiskinan yang dapat menyebabkan stress berdasarkan urutan besarnya
penyebab adalah lingkungan pekerjaan (58,8%), kesesuaian pekerjaan (56,9%)
jumlah anggota keluarga (45,1%), pemilikan rumah (45,9%) dan pendapatan
(37,3%). Untuk dapat menekan kejadian strees yang disebabkan beban kemiskin
yang meliputi: kesesuaian pekerjaan, lingkunan pekerjaan, jumlah anggota
keluarga, kepemilikan rumah, dan pendapatan,
Gangguan jiwa yang serius mengganggu kemampuan orang untuk
melaksanakan aspek-aspek penting dari kehidupan sehari-hari, seperti perawatan
diri dan manajemen rumah tangga. Gangguan jiwa juga dapat mencegah orang
dari membentuk dan memelihara hubungan stabil atau menyebabkan orang salah
menafsirkan bimbingan orang lain dan bereaksi rasional. Masalah sosial yang
luas yang ditimbulkan mencakup diantaranya: ketergantungan besar pada
kesejahteraan dengan hilangnya harga diri, rasa percaya diri; ketidakmampuan
bersosialisasi (menurunnya kemampuan berkomunikasi dan menjaga relasi
selama mengalami gangguan); dan penurunan fungsi sosial dalam jangka
panjang, khususnya bagi individu dengan gangguan yang sifatnya kronis atau
gangguan yang muncul kembali (Cassano & Fava, 2002).
Hasil studi Thornicroft et.al (2009) di Jerman, menemukan bahwa
penderita gangguan jiwa berat (skizofrenia) mengalami diskriminasi dalam
berbagai bidang kehidupan yaitu :
1) 47 persen responden pernah mengalami diskriminasi dalam membina
hubungan pertemanan.
2) 29 persen responden pernah mengalami diskriminasi oleh anggota keluarga.
3) 29 persen responden diperlakukan tidak adil saat bekerja.
4) 64 persen responden diperlakukan secara antipati dan diskriminasi saat mulai
bekerja, training atau pendidikan.
5) 72 persen responden merasa perlu menyembunyikan sakit yang dideritanya.
Meskipun banyak penderita gangguan jiwa berat (skizofrenia) mampu
bergaul baik dengan teman maupun keluarganya, namun hasil studi
mengemukakan sekitar 60-70 persen tidak menikah dan mengalami keterbatasan
teman (Barbato, 1997). Tahun 2002 laporan dari Australia menemukan bahwa
pada penderita skizofrenia 31 persen hidup sendiri, 59 persen mengalami
gangguan dalam bersosialisasi, 35 persen tidak pernah melakukan tatap muka
dengan relasi secara teratur, 39 persen tidak memiliki teman dekat untuk berbagi
dan 12 persen sama sekali tidak memiliki teman (Sane, 2002). Penderita
gangguan jiwa (skizofrenia) memiliki resiko lebih tinggi dalam melakukan
percobaan bunuh diri dibanding dengan populasi umum (CIHI, 2007).
Terkait dengan isu kemiskinan ditemukan bahwa gangguan jiwa (neurosis)
yang dialami masyarakat miskin 2 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan
masyarakat yang tidak miskin. Masyarakat yang mempunyai persoalan dengan
kelaparan dan berhutang, memiliki potensi yang besar untuk mengalami
gangguan jiwa neurosis. Gangguan mental (neurosis) pada umumnya dialami
oleh masyarakat yang tinggal di daerah pemukiman yang miskin dan padat (Patel,
1999). WHO (2000) melaporkan bahwa Gangguan jiwa (neurosis) juga pada
umumnya dijumpai pada masyarakat yang tingkat penganggurannya tinggi dan
berpenghasilan rendah. Khusus gangguan jiwa psikosis masyarakat yang
memiliki status sosial ekonomi terendah mempunyai kecenderungan resiko
schizophrenia 8 kali lebih tinggi ketimbang masyarakat yang memiliki status
sosial tertinggi (Saraceno, 1997).
Indikator sosial ekonomi menurut Rogers (1985) adalah kasta, umur,
pendidikan, status perkawinan, aspirasi pendidikan, partisipasi sosial, hubungan
oraganisasi pembangunan, pemilikan lahan (asset), pemilikan sarana, serta
penghasilan sebelumnya. Status sosial ekonomi dalam masyarakat dapat
dimengerti dari apa yang dimiliki oleh individu-individu ataupun melalui
kemampuan untuk mengusahakannya.
Orang dengan gangguan jiwa berat yang gejala psikotiknya sudah
terkontrol masih bisa bekerja, walaupun sebagian diantaranya mempunyai
keterbatasan dalam pilihan pekerjaan yang sesuai dengan kondisinya. Mereka
yang sudah mampu bekerja ini seringkali mengalami kesulitan ketika ingin
mendapatkan pekerjaan. Padalah bekerja agar menjadi mandiri merupakan salah
satu proses yang dapat mempercepat proses adaptasi penderita. Pemerintah
sebaiknya mendorong berkembangnya unit-unit usaha yang dijalankan oleh orang
dengan gangguan jiwa.
2.1.4 Pendampingan Pada Skizofrenia
Pendampingan adalah suatu upaya untuk memberikan bantuan atau
layanan dan dukungan yang bermanfaat dalam rutinitas tugas harian tanpa dibayar
bagi seseorang yang tidak mampu melakukannya. Orang yang menerima layanan
biasanya mengalami gangguan atau disabilitas untuk bisa menyelesaikan tugas
hariannya tersebut. Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang bersifat kronis,
yang menyebabkan penderitanya mengalami keterbatasan kapasitas untuk
melakukan hubungan sosial, perawatan diri dan okupasional sehingga perlu
dibantu pendamping untuk kehidupannya sehari-hari (Chan, 2011). Menurut
(Ambari, 2010) peningkatan angka relapse pada pasien skizofrenia pasca
perawatan dapat mencapai 25% - 50% yang pada akhirnya dapat menyebabkan
keberfungsian sosialnya menjadi terganggu. Pendampingan keluarga diperlukan
untuk menekan sekecil mungkin angka relapse dan mengembalikan keberfungsian
sosialnya. Berbagai penelitian yang dilakukan terhadap masalah skizofrenia
menunjukkan bahwa gangguan dan hendaya pada fungsi sosial berdampak pada
penurunan kualitas hidup, dan menyebabkan beban bagi kehidupan sebagian besar
anggota keluarga yang merawat pasien skizofrenia (Harvey dan Fielding, 2003).
Istilah pendamping atau caregiver didefinisikan sebagai keluarga, teman,
tetangga yang memberikan bantuan atau layanan dan dukungan yang bermanfaat
dalam rutinitas tugas harian tanpa dibayar bagi seseorang yang tidak mampu
melakukannya. Orang yang menerima layanan biasanya mengalami gangguan
atau disabilitas untuk bisa menyelesaikan tugas hariannya tersebut (Savage &
Bailey, 2004). Pendamping bertanggung jawab untuk mengatasi gejala yang
kronis dan tidak terprediksi (Mackay & Pakenham, 2012) serta berbagai
permasalahan lainnya seperti perubahan rutinitas keluarga, hubungan sosial,
permasalahan finansial, pengaturan waktu dan pekerjaan, serta kesehatan (Chan,
2011).
Namun untuk menjadikan seseorang menjadi pendamping memerlukan
suatu proses. Zarit (2005) melalui penelitiannya terhadap penderita demensia dan
pendampingnya menyatakan ada 3 poin agar intervensi dapat membantu untuk
pendamping menjalankan perannya dengan baik. Pertama adalah appraisal
(penilaian) terhadap penyakit atau gangguan. Pendamping sering salah paham
dengan perilaku penderita dan menganggapnya sebagai bentuk mencari perhatian
atau kemalasan. Penyediaan informasi tentang gangguan dan kenapa penderita
memunculkan perilaku tersebut akan membantu pendamping memahami situasi
yang terjadi. Kedua, banyak pendamping tidak mengetahui cara untuk mengatasi
berbagai permasalahan yang muncul akibat gangguan atau penyakit yang
mempengaruhi perilaku penderita, misalnya gelisah, tidak tidur pada malam hari
dan sebagainya. Ketrampilan pemecahan masalah (problem solving) yang
menjelaskan tentang identifikasi penyebab dan konsekuensi serta intervensi yang
bisa dilakukan untuk memutus atau memodifikasi hubungan tersebut. Ketiga
adalah dukungan sosial (social support). Banyaknya dukungan sosial yang
didapatkan dapat menurunkan tingkat beban subjektif pendamping. Dukungan
sosial dalam dijelaskan sebagai keberadaan orang, baik formal (tenaga
professional) maupun informal (keluarga, teman, kelompok) yang dapat diajak
berbicara atau bersosialisasi dan menerima perasaan positif dan dihargai dari
orang lain (Mackay & Pakenham, 2012). Dukungan sosial juga dapat berfungsi
sebagai pelindung dari efek buruk situasi yang menekan atau kehidupan penuh
tekanan (Kaufman, et al., 2010).
Proses pendampingan dirancang sebelum penderita akan pulang dari
rumah sakit. Program ini mengadopsi program BANGKIT yang dicetuskan oleh
Subandi (2006) yang lebih menekankan pada aspek psikologis. Pendampingan
yang direncanakan peneliti adalah lebih menekankan pada aspek kemandirian dan
produktifitas. Pada awal program ini peneliti akan memberikan materi kepada
pendamping. Materi dalam program ini disusun berdasar kebutuhan pendamping,
terdiri dari empat sesi yaitu pengetahuan tentang skizofrenia, ketrampilan
komunikasi, pemecahan masalah dan menjadi pendamping tangguh sehingga
penderita mampu mandiri dan produktif.
Intervensi diawali dengan memberi kesempatan dan mendorong
pendamping untuk bercerita tentang pengalaman yang bertujuan untuk
mendapatkan data kondisi pendamping dan mengurangi beban emosi, serta
mempersiapkan kondisi pendamping untuk mengikuti intervensi. Program ini
juga mencakup simulasi, role-play dan latihan sehingga pendamping mendapatkan
pengalaman langsung dalam proses pembelajaran. Program ini diberikan secara
individual agar dapat menyesuaikan dengan kondisi pendamping (Diana, 2014).
Lingkungan dan pendamping (keluarga) mempunyai andil yang besar
dalam mencegah terjadinya kekambuhan pada penderita dengan gangguan jiwa.
Oleh karena itu pemahaman keluarga mengenai kondisi penderita serta kesediaan
keluarga dan lingkungan menerima penderita apa adanya dan memperlakukannya
secara manusiawi dan wajar merupakan hal yang mendasar dalam mencegah
kekambuhan penderita. Beberapa hal yang perlu di perhatikan oleh pendamping
(keluarga) dalam merawat penderita gangguan jiwa di rumah:
1) Memberikan kegiatan/kesibukan dengan membuatkan jadwal sehari-hari.
2) Berikan tugas yang sesuai dengan kemampuan penderita dan secara bertahap
tingkatkan sesuai perkembangan.
3) Menemani dan tidak membiarkan penderita sendiri saat melakukan kegiatan,
meliputi kegiatan sehari-hari : makan, mandi, membersihkan rumah dll. Selain
itu juga mendampingi penderita melakukan kegiatan produktif seperti
beternak, bertani dsb.
4) Keluarga dan teman diminta untuk menyapa saat bertemu penderita dan
jangan mendiamkan penderita berbicara sendiri.
5) Mengajak dan mengikutsertakan penderita dalam kegiatan bermasyarakat
misal; kerja bakti.
6) Berikan pujian yang realitas terhadap keberhasilan penderita atau dukungan
untuk keberhasilan sosial penderita.
7) Mengontrol dan mengingatkan dengan cara yang baik dan empati untuk selalu
minum obat untuk prinsip benar, benar nama obat, benar dosis, benar cara
pemberian.
8) Mengenali adanya tanda-tanda kekambuhan seperti: sulit tidur, bicara sendiri,
marah-marah, senyum sendiri, menyendiri, murung dan bicara kacau.
9) Mengontrol suasana lingkungan yang dapat memancing terjadinya marah.
2.1.5 Pengobatan Pada Skizofrenia
Pengobatan antipsikotik yang diperkenalkan awal tahun 1950-an, telah
merevolusi penanganan skizofrenia. Kurang lebih dua sampai empat kali lipat
pasien mengalami relaps bila diobati dengan placebo dibandingkan mereka yang
diobati dengan obat antipsikotik. Namun, obat-obat ini hanya mengatasi gejala
gangguan dan tidak menyembuhkan skizofrenia. Obat antipsikotik mencakup dua
kelas utama yaitu antagonis reseptor dopamine (tipikal) dan antagonis serotonin
dopamine (atipikal).
Antagonis reseptor dopamin efektif dalam penanganan skizofrenia,
terutama dalam gejala positif. Obat ini memiliki dua kekurangan utama dalam
pengobatan skizofrenia. Pertama, hanya sebagian kecil (sekitar 25%) dapat
memulihkan fungsi mental secara bermakna. Tercatat bahwa hampir 50% pasien
yang menjalanin pengobatan masih tetap terganggu dalam hidupnya dengan
gejala-gejala dari skizofrenia tersebut. Kedua, antagonis reseptor dopamin
dikaitkan dengan adanya efek samping yang sangat menggangu dan serius. Efek
samping yang paling menggangu adalah akatisia dan gejala lir-parkinsonian
berupa rigiditas dan tremor (Maslim, 2007).
Tabel 2. 1
Golongan obat generasi pertama (tipikal)
Nama generik Nama dagang
Chlorpromazine HCl Chlorpromazine (CPZ), Largactil, Promactil,
Meprosetil, cepezet
Trifluoperazine HCl Stelazine, stelosi
Thioridazine HCl Melleril
Haloperidol Haldol, Govotil, Serenace, lodomer injeksi, haldol
decanoas injeksi
Tabel 2.2 Golongan obat generasi kedua (atipikal)
Nama generik Nama dagang
Risperidone Risperdal, Rizodal, Noprenia, neripros, zofredal
Clozapine Clozaril, clorilex, cycozam, sizoril
Quetiapine Serequel
Olanzapine Zyprexa injeksi, olandoz, onzapin
Antagonis serotonin dopamin memiliki efek samping ekstra piramidal
yang minimal atau bisa tidak ada, berinteraksi dengan subtipe reseptor dopamin
yang berbeda dibandingkan antipsikotik standar. Obat ini juga memiliki efek
samping neurologis dan endokrinologis yang lebih sedikit dan lebih efektif dalam
menanggulangi gejala negatif skizofrenia, contohnya penarikan diri. Obat ini lebih
efektif dibandingkan dengan obat antagonis reseptor dopamin. Golongan ini juga
memiliki efektifitas yang sama dengan obat golongan antagonis reseptor dopamin
dalam menanggulangi gejala positif skizofrenia dan memiliki efek samping ekstra
piramidal yang lebih sedikit (Maslim, 2007).
Bentuk yang paling umum dari gejala ekstrapiramidal adalah sindrom
parkinson atau sering juga disebut parkinsonisme. Sindrom parkinson
(parkinsonismus) merupakan suatu penyakit/sindrom karena gangguan pada
ganglia basalis akibat penurunan atau tidak adanya pengiriman dopamine dari
substansia nigra ke globus palidus/neostriatum (striatal dopamine deficiency).
Sindrom parkinson mempunyai manifestasi yang sama dengan penyakit
parkinson yaitu ditandai dengan berkurangnya mobilitas secara abnormal
(bradikinesia), kekakuan anggota gerak (rigiditas) dan postur yang tidak stabil
(Kruger, 2003). Selain masalah efek samping obat, penderita dengan gangguan
jiwa skizofrenia biasanya sukar mengikuti aturan minum obat karena adanya
gangguan realitas dan ketidakmampuan mengambil keputusan (Keliat, 1996).
Saat di rumah sakit yang bertanggung jawab dalam pemberian dan pemantauan
minum obat adalah perawat. Pada klien yang sudah keluar dari rumah sakit maka
tugas perawat digantikan oleh keluarga. Seringkali klien tidak melanjutkan
pengobatannya karena merasa obat yang diminum tidak efektif atau efek obat
yang rendah dan ada juga yang menghentikan pengobatannya karena merasa
lebih baik (Sadock et.al., 2005).
Meskipun diketahui dampak efektif dari medikasi, banyak pasien dengan
skizofrenia yang tidak mengikuti medikasi yang disarankan untuknya
(Zygmunt,dkk., 2002). Sebanyak 80% pasien dengan gangguan psikotik tidak
mengikuti program terapi medikasi mereka secara tuntas (Kemp, et.al., 1996).
Tingkat ketidakpatuhan terhadap obat pada pasien dengan skizofrenia rawat jalan
hanya mencapai 50% setelah dipulangkan dari rumah sakit (Babiker, 1986).
Ketidakpatuhan pasien terhadap medikasi itu sendiri seringkali menjadi penyebab
kegagalan penanganan gangguan skizofrenia (Nose, Barbui, & Tansella., 2003).
Klien yang sering mengalami kambuh biasanya kembali dirawat di rumah
sakit karena keluarga tidak dapat mengatasi klien. Namun jika klien datang
berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama, maka kira-kira sepertiga
dari mereka akan sembuh sama sekali (“full remission or recovery”), sepertiga
yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih terdapat cacat
sedikit dan mereka masih harus sering periksa dan diobati selanjutnya (“social
recovery”), sisanya biasanya mereka tidak dapat berfungsi di masyarakat dan
mereka menuju kemunduran mental (Maramis, 2009). Pasien yang kambuh
membutuhkan waktu lebih lama untuk kembali pada kondisi semula dan dengan
kekambuhan yang berulang, kondisi penderita bisa semakin memburuk dan sulit
untuk kembali ke keadaan semula, oleh karena itu kecenderungan pengobatan
skizofrenia saat ini tidak cukup hanya pada pengendalian gejalanya saja, tetapi
juga harus dapat mencegah kekambuhan penyakit sehingga dapat mengembalikan
fungsi pasien untuk produktif dan akhirnya dapat meningkatkan kualitas
hidupnya. Young, dkk (1998) (dalam Joy, 2012) mengatakan bahwa keteraturan
meminum obat dan datang ke pelayananan kesehatan untuk kontrol rutin dapat
mempengaruhi kualitas hidup pasien skizofrenia.
Ada beberapa prinsip yang harus diikuti dalam pemberian obat yaitu :
a) Benar obat : adalah memastikan bahwa obat yang diberikan sesuai dengan yang
diberikan dari rumah sakit. b) Benar dosis : adalah dosis yang diberikan pada
pasien tertentu sesuai dengan penyakit dan kebutuhan penyembuhan. c) Benar
waktu adalah saat dimana obat yang diresepkan harus diberikan pada waktu yang
telah dianjurkan untuk diminum oleh pasien. d) Benar rute/cara adalah disesuaikan
dengan obat yang telah diresepkan apakah diminum atau disuntikan. e) Benar –
benar diminum: memastikan bahwa obat yang diberikan benar-benar telah
diminum oleh pasien.
2.1.6 Partisipasi Sosial dan Ekonomi pada Skizofrenia
Pengobatan yang begitu modern sekarang ini ternyata memberikan
prognosis yang baik pada pasien Skizofrenia. Pemulangan pasien Skizofrenia
pada keluarga tergantung pada keparahan penyakit dan tersedianya fasilitas
pengobatan rawat jalan (Sadock. et.al., 1997). Biarpun pasien tidak sempurna
sembuh, penanganan dengan metode yang tepat membuat gangguan jiwa ini
menjadi controllable dan manageable meskipun dikatakan non-curable. Penderita
gangguan jiwa skizofrenia yang berulang kali kambuh dan berlanjut kronis serta
menahun maka selain program terapi, diperlukan program rehabilitasi (Hawari,
2003). Penelitian yang dilakukan oleh Barton (1970, dalam Hawari, 2003)
menunjukkan bahwa 50% dari penderita Skizofrenia kronis yang menjalani
program rehabilitasi dapat kembali produktif dan mampu menyesuaikan diri
kembali di keluarga dan masyarakat.
Partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam
proses pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk
kegiatan dengan memberi masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan
atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan
(Sumaryadi, 2010). Partisipasi dapat juga berarti bahwa pembuat keputusan,
menyarankan kelompok atau masyarakat ikut terlibat dalam bentuk penyampaian
saran dan pendapat, barang, keterampilan, bahan dan jasa. Partisipasi dapat juga
berarti bahwa kelompok mengenal masalah mereka sendiri, mengkaji pilihan
mereka, membuat keputusan, dan memecahkan masalahnya (Djalal dan Supriadi,
2001).
Keberfungsian sosial merupakan istilah lain dari partisipasi sosial dan
ekonomi dalam ilmu kesehatan, adalah salah satu tolok ukur dalam keberhasilan
terapi. Hal ini meliputi perawatan diri sehari-hari (mandi, makan, keramas,
menyikat gigi, berganti pakaian serta kemampuan pasien untuk minum obat),
aktivitas yang berguna secara sosial (bekerja atau bersekolah, berperan dalam
aktivitas kelompok serta melakukan pekerjaan rumah tangga), hubungan personal
dan sosial baik dengan keluarga maupun dengan pendukung terapi, serta berkaitan
dengan pekerjaan. Keberfungsian sosial pada pasien skizofrenia dipengaruhi oleh
perjalanan penyakit itu sendiri, gejala penyakit yang tersisa, dukungan dari
lingkungan sosial serta pengobatan yang diterima oleh pasien. Meyer (2004)
menyatakan bahwa terapi psikososial dilaporkan juga membantu meningkatkan
performa fungsi pada pasien dan berkaitan dengan hal ini, rehabilitasi yang
sesegera mungkin, serta dukungan dari lingkungan dapat membantu
meningkatkan performa fungsi pada pasien skizofrenia.
Pendekatan yang bisa dilakukan untuk membantu pasien skizofrenia untuk
meningkatkan keberfungsian sosialnya, sehingga nantinya dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien setelah keluar dari rumah sakit dan menurunkan
kemungkinan untuk kembali ke rumah sakit (Sarason, 1996). Salah satu cara
adalah melalui program intervensi keluarga. Intervensi keluarga perlu dilakukan
secara terstruktur dan dikoordinasikan dalam model perawatan yang menyeluruh
agar lebih efektif sehingga membantu pasien meraih penyesuaian sosial yang
maksimal (Nevid, 2003). Sekembalinya dari rumah sakit, pasien adalah bagian
dari masyarakat yang berkewajiban menjalankan fungsi sosialnya. Menurut
Khalimah (2007), gangguan keberfungsian sosial selalu dialami oleh pasien
skizofrenia yang dapat menyebabkan kesulitan dalam memenuhi tuntutan sosial,
termasuk bidang pekerjaan.
Menurut Sofa (2008) ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang
mengalami gangguan keberfungsian sosial: a) Apabila ada kebutuhannya yang
tidak terpenuhi. b) Keberfungsian sosial menjadi terganggu karena adanya
frustrasi dan kekecewaan. c) Apabila seseorang mengalami gangguan kesehatan,
kedukaan yang berat, penderitaan lain sebagai akibat bencana alam maka
keberfungsian sosialnya akan terganggu. Untuk meningkatkan dan
mengembalikan keberfungsian sosial pasien skizofrenia pasca perawatan
diperlukan sikap keluarga yang turut terlibat langsung dalam penangan, menjauhi
tindakan bermusuhan, ekspresi emosi yang rendah, kehangatan dan sedikit
memberikan kritik.
Salah satu faktor yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi
sosial dan ekonomi pasien skizofrenia adalah dengan dukungan keluarga melalui
proses pendampingan. Dukungan keluarga menurut (Francis dan Satiadarma,
2004) merupakan bantuan/sokongan yang diterima salah satu anggota keluarga
dari anggota keluarga lainnya dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi yang
terdapat di dalam sebuah keluarga. Keberhasilan perawatan di rumah sakit yakni
pemberian obat akan menjadi sia-sia apabila tidak ditunjang oleh peran serta
dukungan keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Jenkins, dkk (2006)
menunjukkan bahwa family caregivers adalah sumber yang sangat potensial untuk
menunjang pemberian obat pada pasien skizofrenia. Nurdiana dkk (2007) dalam
penelitiannya menyebutkan bahwa keluarga berperan penting dalam menentukan
cara atau asuhan keperawatan yang diperlukan oleh pasien di rumah sehingga
akan menurunkan angka kekambuhan.
Hasil penelitian tersebut dipertegas oleh penelitan lain yang dilakukan oleh
Dinosetro (2008), menyatakan bahwa keluarga memiliki fungsi strategis dalam
menurunkan angka kekambuhan, meningkatkan kemandirian dan taraf hidupnya
serta pasien dapat beradaptasi kembali pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Dukungan yang dimiliki oleh seseorang dapat mencegah berkembangnya masalah
akibat tekanan yang dihadapi. Seseorang dengan dukungan yang tinggi akan lebih
berhasil menghadapi dan mengatasi masalahnya dibanding dengan yang tidak
memiliki dukungan (Taylor, 1995). Seseorang dengan skizofrenia dengan
ketidakmampuannya melakukan fungsi sosial tentunya sangat memerlukan adanya
dukungan untuk menjadi individu yang lebih kuat dan menghargai diri sendiri
sehingga dapat mencapai taraf kesembuhan yang lebih baik dan meningkatkan
keberfungsian sosialnya. Melalui pendampingan oleh keluarga diharapkan mampu
meningkatkan fungsi sosial dan selanjutnya akan meningkatkan kualitas hidup
pasien dengan skizofrenia.
Keberfungsian sosial dapat dipengaruhi oleh berbagai hal selain dukungan
keluarga. Keberfungsian sosial pasien skizofrenia dapat juga dipengaruhi oleh
faktor usia. Menurut Wiramihardja (2005), keberfungsian sosial pasien
skizofrenia meningkat seiring usia yang disebabkan oleh penanganan yang
membantu mereka lebih stabil dan atau karena keluarga mereka belajar mengenali
simtom-simtom awal terjadinya atau kambuhnya gangguan. Lingkungan sosial
individu berperan dalam memulihkan dan memfasilitasi pasien skizofrenia pasca
perawatan mencapai taraf keberfungsian yang baik untuk jangka panjang
(Wiramihardja, 2005). Sedangkan lingkungan keluarga berperan dalam merawat
dan meningkatkan keyakinan pasien akan kesembuhan dirinya dari skizofrenia
sehingga pasien mempunyai motivasi dalam proses penyembuhan dan rehabilitasi
diri, karena suasana di dalam keluarga yang mendukung akan menciptakan
perasaan positif dan berarti bagi pasien itu sendiri (Nurdiana dkk, 2007).
Keberfungsian sosial pada pasien skizofrenia, dapat juga dipengaruhi oleh
kejiwaan pasien. Kepatuhan minum obat dan kontrol ke rumah sakit dapat
mempengaruhi kondisi kejiwaan yang selanjutnya akan mempengaruhi
keberfungsian sosial, sehingga pasien dapat melaksanakan tugas dan peran-peran
sosialnya.
2.1.7 Kualitas Hidup
1) Definisi Kualitas Hidup
Kualitas hidup diartikan sebagai persepsi individu mengenai
keberfungsian mereka di dalam bidang kehidupan. Lebih spesifiknya adalah
penilaian individu terhadap posisi mereka di dalam kehidupan, dalam konteks
budaya dan sistem nilai dimana mereka hidup dalam kaitannya dengan tujuan
individu, harapan, standar serta apa yang menjadi perhatian individu (Nofitri,
2009). Menurut WHO (dalam Bangun, 2008), kualitas hidup didefenisikan
sebagai persepsi individu sebagai laki-laki atau wanita dalam hidup, ditinjau dari
konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal, dan berhubungan dengan
standar hidup, harapan, kesenangan, dan perhatian mereka. Hal ini merupakan
konsep tingkatan, terangkum secara kompleks mencakup kesehatan fisik, status
psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial dan hubungan kepada karakteristik
lingkungan mereka.
Hornuist (dalam Vergi, 2013) mengartikan kualitas hidup sebagai tingkat
kepuasan hidup individu pada area fisik, psikologis, sosial, aktivitas, materi, dan
kebutuhan struktural. Ferrans mendefenisikan kualitas hidup sebagai perasaan
sejahtera individu, yang berasal dari rasa puas atau tidak puas individu dengan
area kehidupan yang penting baginya. Menurut Taylor, kualitas hidup
menggambarkan kemampuan individu untuk memaksimalkan fungsi fisik, sosial,
psikologis, dan pekerjaan yang merupakan indikator kesembuhan atau
kemampuan beradaptasi dalam penyakit kronis. Selanjutnya Padilla dan Grant
(dalam Kwan,2000) mendefinisikan kualitas hidup sebagai pernyataan pribadi dari
kepositifan atau negatif atribut yang mencirikan kehidupan seseorang dan
menggambarkan kemampuan individu untuk fungsi dan kepuasan dalam
melakukannya.
Kualitas hidup adalah gabungan berbagai aspek kehidupan yang terdiri
dari kesehatan jasmani, kesehatan mental, derajat optimisme, serta kemampuan
dalam berperan aktif dan menikmati aktivitas sosial sehari-hari yang berhubungan
dengan pekerjaan, kehidupan rumah tangga, kehidupan sosial dan hobi (Wijaya,
2005). Kualitas hidup pada dasarnya bersifat istimewa pada masing-masing
individu. Kualitas hidup ini dapat mencerminkan perspektif biopsikososial pasien
terhadap penyakit mereka dan juga berhubungan secara paralel terhadap intervensi
multidisiplin yang dilakukan dalam sebuah pengobatan (Burckhardt dan
Anderson, 2003). Kelompok pasien yang memiliki penyakit yang sama dan tujuan
terapi yang sama dapat memiliki laporan kualitas hidup yang berbeda dikarenakan
oleh perbedaan harapan dan kemampuan beradaptasi dari masing-masing pasien
terhadap penyakit yang dideritanya.
2) Aspek-Aspek Kualitas Hidup
Menurut WHOQoL Group (dalam Lopers dan Snyder, 2004), kualitas
hidup memiliki enam aspek yaitu kesehatan fisik, kesejahteraan psikologis,
tingkat kemandirian, hubungan sosial, hubungan dengan lingkungan, dan keadaan
spiritual. WHOQoL ini kemudian dibuat lagi menjadi instrument WHOQoL–
BREF dimana enam aspek tersebut dipersempit menjadi empat aspek yaitu
kesehatan fisik, kesejahteraan psikologis, hubungan sosial dan hubungan dengan
lingkungan (Power dalam Lopez dan Snyder, 2004). Kualitas hidup meliputi
beberapa aspek yaitu:
a) Kesehatan Fisik
Yang menyangkut kemampuan : a). Aktifitas sehari-hari, b). Ketergantungan
pada obat dan alat, c). Kelemahan dan kekuatan, d). Mobilitas, e). Rasa nyeri
dan ketidaknyamanan, f). Pola tidur dan istirahat, g). Kemampuan kerja.
b) Psikologis
Menyangkut faktor : a). Penampilan dan body image, b). Perasaan negatif, c).
Perasaan positif, d). Harapan pribadi, f). Keyakinan spiritual atau pribadi, g).
Proses pikir belajar, daya ingat dan konsentrasi.
c) Hubungan Sosial
Menyangkut faktor : a). Hubungan personal, b). Dukungan sosial, c). Aktifitas
seksual.
d) Aspek Lingkungan
Menyangkut masalah: a). Kemampuan finansial, b). Kebebasan, rasa aman
dan keselamatan secara psikis, c). Ketersediaan dan kualitas pelayanan
kesehatan dan sosial, d). Lingkungan rumah, e). Kesempatan mendapat
informasi baru dan ketrampilan, f). Peran serta dalam aktifitas rekreasional, g).
Lingkungan fisik (polusi, aturan hukum, iklim, dan kebisingan), h).
Transportasi (WHO, 1996).
Menurut Depkes (2007) dikutip dari kualitas hidup menurut Jennifer J.
Clinch, Deborah Dudgeeon dan Harvey Schipper (1999), kualitas hidup
mencakup:
a) Gejala fisik
b) Kemampuan fungsional (aktivitas)
c) Kesejahteraan keluarga
d) Spiritual
e) Fungsi sosial
f) Kepuasan terhadap pengobatan (termasuk masalah keuangan)
g) Orientasi masa depan
h) Kehidupan seksual, termasuk gambaran terhadap diri sendiri
i) Fungsi dalam bekerja
3) Manfaat dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup
Pengukuran kualitas hidup telah digunakan dalam penelitian kesehatan
untuk mengidentifikasi kebutuhan pasien, memfasilitasi perencanaan suatu
program, serta memonitoring kemajuan klinis dan hasil pengobatan. Sejumlah
penelitian membuktikan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas
hidup seseorang, yaitu: umur, jenis kelamin, beratnya psikopatologi, efek samping
obat, respon subyektif pasien terhadap obat dan penyesuaian psikososial pasien.
Aspek yang paling penting dari kualitas hidup adalah perasaan dan fungsi hidup
sehari- hari pasien, sehingga kebutuhan pasien dapat dilihat secara subyektif dari
kualitas hidup mereka (Tempier dan Pawliuk, 2001).
Kualitas hidup secara langsung dipengaruhi oleh pengalaman positif
pengasuhan, pengalaman pengasuhan negatif, dan stres kronis. Sumber daya
ekonomi dan sumber daya sosial memiliki dampak langsung pada kualitas hidup.
Ferrans dan Powers (dalam Kwan, 2000). Empat domain yang sangat penting
untuk kualitas hidup yaitu kesehatan dan fungsi, sosial ekonomi, psikologis,
spiritual dan keluarga. Domain kesehatan dan fungsi meliputi aspek-aspek seperti
kegunaan kepada orang lain dan kemandirian fisik. Domain sosial ekonomi
berkaitan dengan standar hidup, kondisi lingkungan, teman-teman, dan
sebagainya. Domain psikologis/spiritual meliputi kebahagiaan, ketenangan
pikiran, kendali atas kehidupan, dan faktor lainnya. Domain keluarga meliputi
kebahagiaan keluarga, anak-anak, pasangan, dan kesehatan keluarga. Meskipun
sulit untuk membuang semua elemen kehidupan, keempat domain mencakup
sebagian besar elemen dianggap penting untuk kualitas hidup.
Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup adalah:
a) Gender atau Jenis Kelamin
Ryff dan Singer (dalam Nofitri, 2009) mengatakan bahwa secara umum,
kesejahteraan laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda, namun perempuan
lebih banyak terkait dengan aspek hubungan yang bersifat positif sedangkan
kesejahteraan tinggi pada pria lebih terkait dengan aspek pendidikan dan
pekerjaan yang lebih baik.
b) Usia
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Singer (dalam Nofitri,
2009), individu dewasa mengekspresikan kesejahteraan yang lebih tinggi pada
usia dewasa madya. Penelitian yang dilakukan oleh Rugerri, et.al. (dalam
Nofitri, 2009) menemukan adanya kontribusi dari faktor usia tua terhadap
kualitas hidup subjektif.
c) Pendidikan
Penelitian yang dilakukan oleh Wahl, et.al. (dalam Nofitri, 2009) menemukan
bahwa kualitas hidup akan meningkat seiring dengan lebih tingginya tingkat
pendidikan yang didapatkan oleh individu. Penelitian yang dilakukan oleh
Noghani, et.al. (dalam (Nofitri, 2009) menemukan adanya pengaruh positif
dari pendidikan terhadap kualitas hidup subjektif namun tidak banyak.
d) Pekerjaan
Moons, et.al. (dalam Nofitri, 2009) mengatakan bahwa terdapat perbedaan
kualitas hidup antara penduduk yang berstatus sebagai pelajar, penduduk yang
bekerja, penduduk yang tidak bekerja (atau sedang mencari pekerjaan), dan
penduduk yang tidak mampu bekerja (atau memiliki disablity tertentu). Wahl,
et.al. (dalam Nofitri, 2009) menemukan bahwa status pekerjaan berhubungan
dengan kualitas hidup baik pada pria maupun wanita.
e) Status pernikahan
Penelitian empiris di Amerika secara umum menunjukkan bahwa individu
yang menikah memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi dari individu yang
tidak menikah, bercerai, ataupun janda/duda akibat pasangan meninggal Glenn
dan Weaver (dalam Nofitri, 2009). Demikian juga dengan penelitian yang
dilakukan oleh Wahl, et.al. (dalam (Nofitri, 2009) menemukan bahwa baik
pada pria maupun wanita, individu dengan status menikah atau kohabitasi
memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi.
f) Finansial
Baxter, et.al. (dalam Nofitri, 2009) menemukan adanya pengaruh dari faktor
ekonomi berupa penghasilan dengan kualitas hidup yang dihayati secara
subjektif. Penelitian yang dilakukan oleh Noghani et.al. (dalam Nofitri, 2009)
juga menemukan adanya kontribusi dari faktor penghasilan terhadap kualitas
hidup subjektif.
g) Hubungan dengan orang lain
Baxter, et.al. (dalam (Nofitri, 2009) menemukan adanya faktor jaringan sosial
dengan kualitas hidup yang dihayati secara subjektif. Kahneman, et.al. (dalam
Nofitri, 2009) mengatakan bahwa pada saat kebutuhan akan hubungan dekat
dengan orang lain terpenuhi, baik melalui hubungan pertemanan yang saling
mendukung maupun melalui pernikahan, manusia akan memiliki kualitas
hidup yang lebih baik baik secara fisik maupun emosional. Penelitian yang
dilakukan oleh Noghani, et.al. (dalam (Nofitri, 2009) juga menemukan bahwa
faktor hubungan dengan orang lain memiliki kontribusi yang cukup besar
dalam menjelaskan kualitas hidup subjektif.
h) Standard referensi
Glatzer dan Mohr (dalam (Nofitri, 2009) menemukan bahwa di antara
berbagai standard referensi yang digunakan oleh individu, komparasi sosial
memiliki pengaruh yang kuat terhadap kualitas hidup yang dihayati secara
subjektif.
Terkait kualitas hidup pada penderita gangguan jiwa berat (skizofrenia)
dari beberapa hasil penelitian dipengaruhi oleh beberapa faktor. Penelitian
Nakamura, et.al., (2014) berjudul “Structural equation model factor related to
quality of life for community – dwelling schizophrenic patients in japan. Hasil
penelitian tersebut menyimpulkan bahwa status pernikahan dan umur
berhubungan dengan kualitas hidup penderita skizofrenia. Selain itu persepsi diri
(self efficacy), harga diri (self esteem) dan gejala penyakit juga berpengaruh.
Namun yang paling kuat mempengaruhi kualitas hidup penderita skizofrenia
adalah persepsi diri (self efficacy) yang berkaitan dengan kedudukan sosial di
masyarakat serta kemampuan yang dimiliki. Jadi untuk meningkatkan kualitas
hidup penderita skizofrenia disarankan untuk memberikan penguatan atau pujian
(positive feedback) tentang hal-hal positif serta meningkatkan keterampilan
sosialnya.
Penelitian Studzinska et.al. (2011) berjudul “The quality of life in patients
with schizophrenia in community mental health service –selected factors”. Hasil
penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penderita laki-laki, cerai atau tidak
menikah, tinggal bersama orang tua, kondisi sosial ekonomi yang buruk,
ketergantungan keuangan dan sering dirawat, memiliki kualitas hidup lebih
rendah. Jadi direkomendasikan bahwa kebijakan tentang pemberian pekerjaan
pada penderita skizofrenia yang status mentalnya stabil harus dilakukan, karena
penderita yang tidak berkerja dan kesulitan keuangan (miskin) berdampak pada
rendahnya kualitas hidup.
Penelitian Guo et.al (2010) berjudul “Effect of antipsychotic medication
alone vs combined with psychososial intervention on outcomes of early-stage
schizophrenia”. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa pasien skizofrenia yang
mendapat psikofarmaka dikombinasikan dengan terapi psikososial mengalami
tilikan, fungsi sosial dan kualitas hidup yang lebih baik dari yang hanya mendapat
terapi psikofarmaka. Selain mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsi
sosial, pasien skizofrenia juga menghadapi masalah yang berhubungan dengan
keterampilan interpersonal dan sosial yang buruk dan mengalami defisit fungsi
kognitif, sehingga akhirnya mereka mengalami isolasi sosial dan memiliki
kualitas hidup yang buruk (Bustillo et al., 2000).
Penelitian Safitri (2010) tentang perbedaan kualitas hidup antara pasien
skizofrenia gejala positif dan gejala negatif menonjol. Simpulan penelitian yaitu
terdapat perbedaan kualitas hidup yang sangat bermakna antara pasien skizofrenia
gejala positif menonjol dan gejala negatif menonjol serta proporsi pasien
skizofrenia yang mempunyai kualitas hidup baik secara sangat bermakna lebih
banyak didapatkan pada kelompok pasien skizofrenia yang mempunyai gejala
positif menonjol daripada yang negatif menonjol.
Penelitian Patra and Mishra (2012) tentang hubungan psikopatologi
dengan kualitas hidup pada pasien dengan skizofrenia akut di India menemukan
adanya pengaruh gender, status pernikahan dan pendidikan terhadap kualitas
hidup. Demikian pula penelitian Aurigena et.al., (2014) tentang kualitas hidup
pasien dengan skizofrenia, dampak sosial ekonomi dan efek samping pengobatan
antipsikotik atipikal. Dikatakan efek samping pengobatan antipsikotik atipikal
berpengaruh terhadap kualitas hidup yakni berkiatan dengan mobilitas fisik.
Selain itu pasien dengan pendapatan rumah tangga yang rendah dan pengangguran
ikut mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Dengan demikian disimpulkan,
dampak dari obat antipsikotik memperparah situasi sosial dan ekonomi pasien
dengan skizofrenia.
4) Penilaian Kualitas Hidup
Penilaian kualitas hidup menjadi penting dan seringkali membutuhkan
bagian dari penilaian kesehatan. Pada pasien dengan penyakit kronis, penilaian
kualitas hidup memberikan harapan yang berarti untuk menentukan dampak
penyakit tersebut terhadap kesehatan ketika tidak lagi memungkinkan untuk
sembuh. WHO menyusun WHOQOL-BREF yang merupakan versi singkat dari
WHOQOL-100. WHOQOLBREF terdiri dari 24 facets yang mencakup 4 domain
dan terbukti dapat digunakan untuk mengukur kualitas hidup seseorang. Keempat
domain tersebut adalah: a) kesehatan fisik (physical health) terdiri dari 7
pertanyaan; b) psikologik (psychological) 6 pertanyaan; c) hubungan sosial (social
relationship) 3 pertanyaan; dan d) lingkungan (environment) 8 pertanyaan.
WHOQOL-BREF juga mengukur 2 facets dari kualitas hidup secara umum yaitu:
a) kualitas hidup secara keseluruhan (overall quality of life); dan b) kesehatan
secara umum (general health).
Evaluasi sendiri oleh pasien skizofrenia mungkin kurang dapat dipercaya
karena adanya gejala psikopatologi dan rendahnya kesadaran akan penyakit yang
mereka miliki. Oleh karena itu, banyak penelitian yang menggunakan evaluasi
kualitas hidup secara obyektif, bergantung kepada hasil wawancara terhadap
psikiater atau perawat pasien tersebut (Tomida et al., 2010). Jika pasien
skizofrenia dalam keadaan sadar dan dapat mengekspresikan disfungsi sosial yang
dialaminya, penilaian kualitas hidup hendaknya ditentukan secara subyektif.
Lehman menunjukkan bahwa data kualitas hidup yang didapat dari pasien dengan
penyakit mental yang kronis juga dapat dipercaya dan menyimpulkan bahwa
evaluasi kualitas hidup secara subyektif dapat dilakukan pada pasien tersebut
(Tomida et a.l, 2010).
2.2 Teori-Teori Relevan
2.2.1 Pembangunan Kesehatan
Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua
komponen bangsa dalam rangka meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber
daya manusia secara sosial dan ekonomis. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu
diusahakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat
diterima serta terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Upaya-upaya kesehatan
tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
meliputi pencegahan penyakit (preventif), peningkatan kesehatan (promotif),
penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) (Depkes
RI, 2010).
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara
sosial dan ekonomis. Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan diperlukan
fasilitas kesehatan, yaitu alat dan tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan, baik peningkatan, pencegahan,
pengobatan, maupun pemulihan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat.
Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, pembekalan
kesehatan, kesediaan farmasi, dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan
kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
(UU No. 36 Tahun 2009).
2.2.2 Ekonomi Kesehatan
1) Pengertian
Ekonomi kesehatan merupakan ilmu ekonomi yang diterapkan dalam
topik-topik kesehatan (Tjiptoherijanto, 1994). Mills dan Gillson (1999)
mendefinisikan ekonomi kesehatan sebagai penerapan teori, konsep dan
teknik ilmu ekonomi dalam sektor kesehatan. Lubis (2009) menyatakan bahwa
ilmu ekonomi kesehatan adalah penerapan ilmu ekonomi dalam upaya
kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan untuk mencapai
derajat kesehatan yang optimal.
2) Ruang Lingkup
Ekonomi kesehatan berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut :
a) Alokasi sumber daya diantara berbagai upaya kesehatan.
b) Jumlah sumber daya yang dipergunakan dalam pelayanan kesehatan.
c) Pengorganisasian dan pembiayaan dari berbagai pelayanan kesehatan.
d) Efisiensi pengalokasian dan penggunaan berbagai sumber daya.
e) Dampak upaya pencegahan, pengobatan dan pemulihan kesehatan pada
individu dan masyarakat.
3) Hubungan Ekonomi dan Kesehatan
Ekonomi kesehatan perlu dipelajari, karena terdapat hubungan antara
kesehatan dan ekonomi. Kesehatan mempengaruhi kondisi ekonomi, dan
sebaliknya ekonomi mempengaruhi kesehatan.
a) Kesehatan yang buruk seorang menyebabkan biaya bagi orang tersebut
karena menurunnya kemampuan untuk menikmati hidup, memperoleh
penghasilan, atau bekerja dengan efektif. Kesehatan yang lebih baik
memungkinkan seorang untuk memenuhi hidup yang lebih produktif.
b) Kesehatan yang buruk individu dapat memberikan dampak dan ancaman bagi
orang lain.
c) Seorang yang terinfeksi penyakit infeksi dapat menular ke orang lain.
Misalnya, AIDS.
d) Kepala rumah tangga pencari nafkah yang tidak sehat atau sakit akan
menyebabkan penurunan pendapatan keluarga, makanan dan perumahan yang
buruk bagi keluarga.
e) Anggota keluarga yang harus membantu merawat anggota keluarga yang
sakit akan kehilangan waktu untuk mendapatkan penghasilan dari pekerjaan.
f) Pekerja yang memiliki kesehatan buruk akan mengalami menurunan
produktivitas.
Jadi pelayanan kesehatan yang lebih baik akan memberikan manfaat bagi
individu dan masyarakat keseluruhan jika membawa kesehatan yang lebih baik.
Status kesehatan penduduk yang baik meningkatkan produktivitas, meningkatkan
pendapatan per kapita, meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara (Murti, 2011).
4) Need, Demand dan Want
Need (kebutuhan) adalah kuantitas barang atau pelayanan yang secara
objektif dipandang terbaik untuk digunakan memperbaiki kondisi kesehatan
pasien. Need biasanya ditentukan oleh dokter, tetapi kualitas pertimbangan dokter
tergantung pendidikan, peralatan, dan kompetensi dokter. Demand (permintaan)
adalah barang atau pelayanan yang sesungguhnya dibeli oleh pasien. Permintaan
tersebut dipengaruhi oleh pendapat medis dari dokter, dan juga faktor lain seperti
pendapatan dan harga obat. Wants (keinginan) adalah barang atau pelayanaan
yang diinginkan pasien karena dianggap terbaik bagi mereka (misalnya, obat yang
bekerja cepat). Wants bisa sama atau berbeda dengan need (kebutuhan) (Murti,
2011).
5) Karakteristik Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan berbeda dengan barang dan pelayanan ekonomi
lainya. Pelayanan kesehatan atau pelayanan medis sangat heterogen, terdiri atas
banyak sekali barang dan pelayanan yang bertujuan memelihara, memperbaiki,
memulihkan kesehatan fisik dan jiwa seorang. Karena sifat yang sangat heterogen,
pelayaanan kesehatan sulit diukur secara kuantitatif. Beberapa karakteristik
khusus pelayanan kesehatan sebagai berikut (Santerre dan Neun, 2000) :
a) Intangibility, tidak seperti mobil atau makanan, pelayanan kesehatan tidak
bisa dinilai oleh panca indera. Konsumen (pasien) tidak bisa melihat,
mendengar, membau, merasakan, mengecap pelayanan kesehatan.
b) Inseparability, produksi dan konsumsi pelayanan kesehatan terjadi secara
simultan (bersama). Makanan bisa dibuat dulu, untuk dikonsumsi kemudian.
Tindakan operatif yang dilakukan dokter bedah pada saat yang sama
digunakan oleh pasien.
c) Inventory, pelayanan kesehataan tidak bisa disimpan untuk digunakan pada
saat dibutuhkan oleh pasien nantinya.
d) Inkonsistency, komposisi dan kualitas pelayanan kesehatan yang diterima
pasien dari dari seorang dokter dari waktu ke waktu, maupun pelayanan
kesehatan yang digunakan antar pasien, bervariasi.
Sarana pelayanan kesehatan di Provinsi Bali relatif cukup banyak baik dari
segi jumlah maupun jenisnya. Sarana pelayanan kesehatan dasar milik pemerintah
(puskesmas) telah menjangkau keseluruhan kecamatan yang ada di
kabupaten/kota, bahkan jika digabungkan dengan puskesmas pembantu sebagai
jaringan pelayanannya, telah mampu menjangkau seluruh desa yang ada.
Perkembangan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan di sektor swasta juga
bekembang pesat dengan munculnya berbagai sarana pelayanan seperti rumah
sakit swasta, dokter praktek swasta, bidan praktek swasta, klinik dan lain-lain
(Dinkes Bali, 2015).
6) Ciri-Ciri Sektor Kesehatan
Aplikasi ilmu ekonomi pada sektor kesehatan perlu mendapat perhatian
terhadap sifat dan ciri khususnya sektor kesehatan. Sifat dan ciri khusus tersebut
menyebabkan asumsi-asumsi tertentu dalam ilmu ekonomi tidak berlaku atau
tidak seluruhnya berlaku apabila diaplikasikan untuk sektor kesehatan (Lubis,
2011). Ciri khusus tersebut antara lain:
a) Kejadian penyakit tidak terduga, adalah tidak mungkin untuk memprediksi
penyakit apa yang akan menimpa kita dimasa yang akan datang, oleh karena
itu adalah tidak mungkin mengetahui secara pasti pelayanan kesehatan apa
yang kita butuhkan dimasa yang akan datang. Ketidakpastian (uncertainty) ini
berarti adalah seseorang akan menghadapi suatu risiko akan sakit dan oleh
karena itu ada juga risiko untuk mengeluarkan biaya untuk mengobati
penyakit tersebut.
b) Consumer Ignorance, konsumer sangat tergantung kepada
penyedia (provider) pelayanan kesehatan. Pada umumnya consumer tidak
tahu banyak tentang jenis penyakit, jenis pemeriksaan dan jenis pengobatan
yang dibutuhkannya. Dalam hal ini provider yang menentukan jenis dan
volume pelayanan kesehatan yang perlu dikonsumsi oleh konsumer.
c) Sehat dan pelayanan kesehatan sebagai hak, makan, pakaian, tempat tinggal
dan hidup sehat adalah elemen kebutuhan dasar manusia yang harus
senantiasa diusahakan untuk dipenuhi, terlepas dari kemampuan seseorang
untuk membayarnya. Hal ini menyebabkan distribusi pelayanan kesehatan
sering sekali dilakukan atas dasar kebutuhan (need) dan bukan atas dasar
kemampuan membayar (demand).
d) Ekstemalitas, terdapat efek eksternal dalam penggunaan pelayanan kesehatan.
Efek eksternal adalah dampak positif atau negatif yang dialami orang lain
sebagai akibat perbuatan seseorang. Misalnya imunisasi dari penyakit
menular akan memberikan manfaat kepada masyarakat banyak. Sehingga
imunisasi tersebut dikatakan mempunyai social marginal benefit yang jauh
lebih besar dari private marginal benefit bagi individu tersebut.
e) Pelayanan kesehatan yang tergolong pencegahan akan mempunyai
ekstemalitas yang besar, sehingga dapat digolongkan sebagai komoditi
masyarakat atau public goods. Program ini sebaiknya mendapat subsidi atau
bahkan disediakan oleh pemerintah secara gratis. Sedangkan untuk pelayanan
kesehatan yang bersifat kuratif akan mempunyai eksternalitas yang rendah
dan disering disebut dengan private good, hendaknya dibayar atau dibiayai
sendiri oleh penggunanya atau pihak swasta.
f) Non Profit Motive, secara ideal memperoleh keuntungan yang
maksimal (profit maximization) bukanlah tujuan utama dalam pelayanan
kesehatan. Pendapat yang dianut adalah orang tidak layak memeperoleh
keuntungan dari penyakit orang lain.
g) Padat Karya, kecendrungan spesialis dan superspesialis menyebabkan
komponen tenaga dalam pelayanan kesehatan semakin besar. Komponen
tersebut bisa mencapai 40%-60% dari keseluruhan biaya.
h) Mixed Outputs, yang dikonsumsi pasien adalah satu paket pelayanan, yaitu
sejumlah pemeriksaan diagnosis, perawatan, terapi dan nasihat kesehatan.
Paket tersebut bervariasi antara individu dan sangat tergantung kepada jenis
penyakit.
i) Upaya kesehatan sebagai konsumsi dan investasi, dalam jangka pendek upaya
kesehatan terlihat sebagai sektor yang sangat konsumtif, tidak
memberikan return on investment secara jelas. Seringkali sektor kesehatan
ada pada urutan bawah dalam skala prioritas pembangunan terutama kalau
titik berat pembangunan adalah pembangunan ekonomi. Akan tetapi orientasi
pembangunan pada akhirnya adalah pembangunan manusia, maka
pembangunan sektor kesehatan sesuangguhnya adalah suatu investasi paling
tidak untuk jangka panjang.
j) Restriksi berkompetisi, terdapat pembatasan praktek berkompetisi. Hal ini
menyebabkan mekanisme pasar dalam pelayanan kaesehatan tidak bisa
sempurna seperti mekanisme pasar untuk komoditi lain. Dalam mekanisme
pasar, wujud kompetisi adalah kegiatan pemasaran (promosi, iklan dan
sebagainya). Sedangkan dalam sektor kesehatan tidak pernah terdengar
adanya promosi discount atau bonus atau banting harga dalam pelayanan
kesehatan. Walaupun dalam prakteknya hal itu sering juga terjadi dalam
pelayanan kesehatan.
k) Banyak teori dan praktek yang telah dikembangkan di bidang ini, walaupun
dalam banyak hal kerangka ilmu (body of knowledge) nya masih relatif kecil
dibandingkan dengan subdisiplin ekonomi yang lain (Lubis, 2009).
2.2.3 Psikologi Ekonomi
Psikologi ekonomi dimaknai dengan sebuah pemahaman yang muncul
dalam diri individu, berhubungan dengan segala pengalaman yang telah dijalani
dan segala perilaku yang muncul dalam sudut pandang ekonomi (Kirchler dan
Holzl, 2003). Malakhov et.al., (1994) memberikan pemaknaan bahwa psikologi
ekonomi sebagai sebuah studi ilmu yang mempelajari sebuah hubungan antara
karakteristik psikologi yang terdapat pada individu maupun pada kelompok dalam
aktivitas ekonomi yang dilakukan. Studi terdapat pada sifat pembawaan dan
dinamika berpikir seorang individu maupun dalam kelompok yang berkaitan
dengan segala sesuatu yang bersifat proses ekonomi dan perilaku atas dasar
pemikiran tersebut.
Individu sebagai bagian dari sebuah kelompok sosial akan memberikan
pengaruh dalam perilaku yang akan dilakukannya. Proses interaksi antar individu
dalam sebuah kelompok akan memberikan nilai-nilai yang baru dalam
mempengaruhi individu dalam berperilaku. Psikologi ekonomi menunjukkan
bahwa dalam aktivitas ekonomi maupun mekanisme peraturan yang terbentuk
bukanlah berdasarkan pada hukum ekonomi yang ada. Aspek-aspek dari
kehidupan sosial dan manusia itu sendiri memiliki pengaruh yang besar dalam
proses munculnya sebuah perilaku. Hal tersebut menunjukkan bahwa psikologi
ekonomi cenderung lebih memiliki pengaruh dalam sistem ilmu sosial. Area
keilmuan dalam psikologi ekonomi dijelaskan bahwa adanya sebuah relevansi
keilmuan dengan sosiologi, antropologi, hukum, dan di satu sisi dengan teori
pengambilan keputusan, cybernetic dan game theory di sisi lain.
Kirchler dan Holzl, (2003) menjelaskan bahwa area studi dalam psikologi
ekonomi, berkaitan dengan pengambilan keputusan, studi tentang memilih dan
mengambil keputusan oleh individu, interaksi sosial, pengulangan dari perspektif
teori permainan, topik yang berkaitan dengan perilaku keuangan termasuk dalam
keputusan berinvestasi, perilaku menabung, debit dan kredit dalam berumah
tangga, pasar uang. Psikologi ekonomi juga memberikan ruang studi terhadap
perilaku tentang perpajakan, pasar kerja, sosialisasi ilmu ekonomi dan teori
tentang peletakannya. Selain hal tersebut, aspek politik seperti pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan, pajak, dan kebijakan serta perubahan ikut dalam
kajian keilmuan psikologi ekonomi. Psikologi ekonomi memiliki dimensi yang
berbeda dengan perilaku konsumen, dikarenakan bahwa dimensi peilaku
konsumen terbatas pada sikap, perilaku, harapan konsumen dengan pemasaran
dan iklan.
Psikologi ekonomi merupakan ilmu yang didasarkan atas munculnya
relevansi konsep psikologi yang seyogyanya akan mempengaruhi perilaku
ekonomi yang muncul saat ini. Dasar paradigma dalam psikologi ekonomi adalah
tiga elemen mendasar yang akan membentuk sebuah skema dasar bahwa perilaku
ekonomi yang muncul berawal dengan adanya stimulus dan berlangsung adanya
proses mental dalam diri dengan hasil akhir berupa perilaku. Tiga elemen
mendasar tersebut berupa lingkungan yang bersifat objektif (termasuk pemasukan,
aset yang dimiliki, kesempatan bekerja, dan status sosial ekonomi) akan
memberikan sebuah pengaruh dalam proses mental yang dilakukan oleh individu.
Proses mental dalam hal ini akan membentuk perasaan yang nyaman sebagai
anggota dari masyarakat. Proses mental yang berjalan akan memunculkan sebuah
harapan dan sikap yang berkaitan dengan konteks ekonomi yang ada saat itu.
Sikap dan harapan-harapan yang muncul dalam sebuah proses mental akibat
adanya pengaruh dari lingkungan objektif yang melekat pada individu akan
membentuk sebuah perilaku ekonomi sebagai bentuk respon atas adanya stimulasi
awal (Antonides, 1991).
2.2.4 Teori Kesejahteraan
Kesejahteraan sosial dan ekonomi adalah salah satu aspek yang cukup
penting untuk menjaga dan membina terjadinya stabilitas sosial dan ekonomi.
Kondisi tersebut juga diperlukan untuk meminimalkan terjadinya kecemburuan
sosial dalam masyarakat. Selanjutnya percepatan pertumbuhan ekonomi
masyarakat memerlukan kebijakan ekonomi atau peranan pemerintah dalam
mengatur perekonomian sebagai upaya menjaga stabilitas perekonomian. Ekonom
Italia, Vilveredo Pareto, telah menspesifikasikan suatu kondisi atau syarat
terciptanya alokasi sumberdaya secara efisien atau optimal, yang kemudian
terkenal dengan istilah syarat atau kondisi pareto (Pareto Condition) (Swasono,
2005).
Kondisi pareto adalah suatu alokasi barang sedemikian rupa, sehingga bila
dibandingkan dengan alokasi lainnya, alokasi tersebut tidak akan merugikan pihak
manapun dan salah satu pihak pasti diuntungkan. Atas kondisi pareto juga dapat
didefinisikan sebagai suatu situasi dimana sebagian atau semua pihak tidak
mungkin lagi diuntungkan oleh pertukaran sukarela. Berdasarkan kondisi pareto
inilah, kesejahteraan sosial (Social Welfare) diartikan sebagai kelanjutan
pemikiran yang lebih utama dari konsep-konsep tentang kemakmuran (Welfare
Economics). Berdasarkan pada pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat
kesejahteraan seseorang dapat terkait dengan tingkat kepuasan (Utility) dan
kesenangan (Pleasure) yang dapat diraih dalam kehidupannya untuk mencapai
tingkat kesejahteraannya yang diinginkan. Maka dibutuhkan suatu perilaku yang
dapat memaksimalkan tingkat kepuasan sesuai dengan sumber daya yang tersedia.
Kesejahteraan hidup seseorang dalam realitanya, memiliki banyak
indikator keberhasilan yang dapat diukur. Kesejahteraan masyarakat menengah ke
bawah dapat direpresentasikan dari tingkat hidup masyarakat ditandai oleh
terentaskannya kemiskinan, tingkat kesehatan yang lebih baik, perolehan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, dan peningkatan produktivitas masyarakat.
Kesemuanya itu merupakan cerminan dari peningkatan tingkat pendapatan
masyarakat golongan menengah kebawah. Todaro and Smith (2009) secara lebih
spesifik mengemukakan fungsi kesejahteraan W (Welfare) dengan persamaan
sebagai berikut :
W = W (Y, I, P)
Keterangan :
W = Kesejahteraan (Welfere) Y = Pendapatan Perkapita
I = Ketimpangan P = Kemiskinan Absolut
Ketiga variabel ini mempunyai signifikan yang berbeda-beda, dan
selayaknya harus dipertimbangkan secara menyeluruh untuk menilaikesejahteraan
di Negara-negara berkembang. Berkaitan dengan fungsi persamaan kesejahteraan
diatas, diasumsikan bahwa kesejahteraan sosial berhubungan positif dengan
pendapatan perkapita, namun berhubungan negatif dengan kemiskinan.
2.2.5 Teori Human Capital
Menurut Becker, (1993) human capital adalah bahwa manusia bukan
sekedar sumber daya namun merupakan modal (capital) yang menghasilkan
pengembalian (return) dan setiap pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
mengembangkan kualitas dan kuantitas modal tersebut merupakan kegiatan
investasi. Terdapat dua prinsip kunci dalam human capital yaitu:
1) Manusia merupakan aset yang memiliki nilai yang dapat ditingkatkan melalui
investasi, tujuan dari investasi ini adalah memaksimalkan nilai melalui
manajemen resiko.
2) Kebijakan human capital dalam organisasi harus disesuaikan dengan
dukungan misi organisasi yaitu misi, visi, tujuan dan strategi telah
didefenisikan sebagai arahan yang telah dirancang untuk dapat
diimplementasikan dan dinilai oleh sebuah standar, bagaimana konsep human
capital ini dapat membantu organisasi mencapai misinya.
Pendekatan modal manusia sebagai suatu sistem dirancang untuk
menciptakan keunggulan kompetitif yang bersinambung melalui pengembangan
karyawan. Tidak semua peran penting dalam suatu perusahaan memiliki derajat
yang sama dalam menciptakan kepuasan pelanggan dan pemegang saham. Namun
yang terpenting ketika menempatkan peran kinerja karyawan terhadap perusahaan
maka mereka harus memiliki kemampuan terbaiknya dalam memenuhi kebutuhan
pelanggan ketimbang karyawan di perusahaan pesaingnya.
Human capital merupakan kombinasi dari pengetahuan, ketrampilan,
inovasi dan kemampuan seseorang untuk menjalankan tugasnya sehingga dapat
menciptakan suatu nilai untuk mencapai tujuan. Pembentukan nilai tambah yang
dikontribusikan oleh modal manusia dalam menjalankan tugas dan pekerjaannya
akan memberikan sustainable revenue di masa akan datang bagi suatu organisasi.
Teori modal manusia telah menciptakan kerangka analitis seragam dan umumnya
berlaku untuk belajar tidak hanya kembali pada pendidikan dan pelatihan, tetapi
juga upah perbedaan dan upah profil dari waktu ke waktu. Aplikasi lainnya,
dikejar oleh berbagai ekonom, termasuk kerusakan kedalam komponen faktor
yang mendasari pertumbuhan ekonomi, migrasi, serta investasi dan penghasilan di
sektor kesehatan.
2.2.6 Teori Alokasi Waktu
Setiap rumah tangga masing-masing memiliki alokasi waktu yang
berbeda. Reynolds (1969) menyatakan bahwa selain keadaan sosial ekonomi
keluarga, alokasi waktu seseorang juga dipengaruhi oleh karakteristik yang
melekat pada setiap anggota rumah tangga yang dicirikan dengan faktor umur,
tingkat pendidikan atau keahlian yang dimiliki. Becker (1976) mengasumsikan,
bahwa ada tiga pilihan kegiatan dalam hubungan dengan penggunaan waktu, yaitu
consumption, labor force participation dan investment in human capital.
Pertama, seseorang memerlukan waktu untuk keperluan pokok
(consumption), seperti tidur, makan, istirahat dan semua waktu yang diperlukan
untuk berbagai kegiatan yang tidak termasuk dalam kegiatan pasar (non labor
force participation) disebut non market consumption activity. Kedua, individu
memerlukan waktu untuk keperluan pasar (labor force participation). Jumlah jam
kerja yang dicurahkan oleh setiap individu di pasar kerja cukup bervariasi. Jumlah
ini sangat dipengaruhi oleh tingkat upah dan beberapa faktor lain dari masing-
masing individu sebagai upaya untuk mencapai tingkat utility tertinggi. Dalam
teori ini diasumsikan, banyaknya waktu yang dicurahkan individu untuk kegiatan
pasar kerja dipengaruhi oleh initial endowment dan tingkat upah di pasar kerja.
Semakin tinggi tingkat upah di pasar kerja pada suatu batas tertentu, semakin
besar jumlah waktu yang dialokasikan untuk pasar kerja. Pengalokasian waktu itu
harus mempertimbangkan kendala, bahwa satu hari hanya terdiri dari 24 jam.
Bersama kendala yang lain, kendala waktu dan selera rumah tangga
terhadap leisure akan menentukan kombinasi antara leisure dan komoditi pasar
yangmengoptimalkan kepuasan individu atau rumah tangga. Apabila individu
mengalokasikan seluruh waktunya untuk pasar kerja, maka total penghasilan yang
diperoleh dari kegiatan ini disebut labor income. Sebaliknya income yang tidak
diperoleh dari bekerja disebut non labor income. Sedangkan total dari dua
pendapatan di atas disebut full income (full wealth).
Ketiga, individu perlu waktu investasi dalam modal manusia (investment
in human capital). Pada bagian ketiga ini, individu berhadapan dengan dua
alternatif, memasuki pasar kerja atau tidak. Bila seseorang tidak memasuki pasar
kerja berarti sejumlah waktunya dikorbankan untuk memperoleh sejumlah
pendapatan. Namun dengan pilihan tersebut berarti akumulasi human capitalnya
menjadi lebih besar. Akumulasi kapital ini pada akhirnya akan meningkatkan
tingkat upah. Berkaitan dengan curahan waktu pada dasarnya rumah tangga
mengalokasikan waktunya untuk tiga kategori kegiatan, yaitu waktu untuk
aktivitas pasar, baik untuk usaha sendiri maupun diupah, waktu untuk aktivitas
rumah tangga, dan waktu untuk santai.
2.3 Keaslian Penelitian
Penelitian Ambari (2010) berjudul “Hubungan Antara Dukungan Keluarga
Dengan Keberfungsian Sosial Pada Pasien Skizorenia Pasca Perawatan di Rumah
Sakit”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan
keluarga dengan keberfungsian sosial pada pasien Skizofrenia pasca perawatan di
rumah sakit. Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini berupa skala, yaitu
Skala Dukungan Keluarga dan Skala Keberfungsian Sosial. Skala diujicobakan
pada 30 subyek. Skala Dukungan Keluarga terdiri dari 14 aitem valid dan Skala
Keberfungsian Sosial terdiri dari 15 item valid. Sampel penelitian yang digunakan
adalah 30 pasien pasca perawatan RSJ Menur Surabaya. Teknik pengambilan
sampel dilakukan dengan teknik nonprobability sampling yaitu purposive
sampling. Analisis data dilakukan dengan teknik analisis regresi sederhana. Dari
analisis data diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0,836 dengan p = 0,00
(p<0,05). Angka tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat
signifikan antara variabel dukungan keluarga dengan keberfungsian sosial.
Sumbangan efektif dukungan keluarga terhadap keberfungsian sosial pada pasien
Skizofrenia pasca perawatan di rumah sakit sebesar 69,9% dan faktor-faktor lain
memberi pengaruh sebesar 30,1%.
Perbedaan penelitian Ambari (2010) dengan peneliti adalah pada variabel
penelitian yaitu hanya mengaitkan dukungan keluarga dengan keberfungsian
sosial pada penderita skizofrenia. Namun memiliki kesamaan dalam hal
mengidentifikasi keberfungsian sosial pada penderita skizofrenia. Istilah
keberfungsian sosial yang digunakan dalam istilah kesehatan jiwa tidak
digunakan, namun menggunakan istilah partisipasi sosial ekonomi.
Penelitian Rosita (2011) berjudul “Keefektifan Konseling Eklektik untuk
Meningkatkan Kapasitas Fungsi Sosial dan Kualitas Hidup pada Pasien
Skizofrenia”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan konseling
eklektik untuk meningkatkan kapasitas fungsi sosial dan kualitas hidup pasien
skizofrenia. Penelitian dilakukan di poli rawat jalan Rumah Sakit Jiwa Daerah
(RSJD) Surakarta. Populasi sumber (populasi terjangkau) adalah semua pasien
yang berobat ke poli rawat jalan RSJD Surakarta yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi penelitian. Kriteria inklusi meliputi pasien skizofrenia dalam remisi
yang menderita skizofrenia <5 tahun yang ditegakkan berdasarkan kriteria PPDGJ
III oleh psikiater dengan nilai BPRS <20. Pasien berusia 20-45 tahun, mampu
membaca, menulis dan berkomunikasi dengan baik serta kooperatif, tidak
mengalami disfungsi kognitif (nilai SCoRSvI <2), bersedia mengikuti penelitian,
dan mendapat persetujuan dari anggota keluarga yang ditunjukkan dengan
penandatanganan surat persetujuan peserta penelitian (informed consent). Kriteria
eksklusi meliputi pasien skizofrenia dengankelainan organik (epilepsi, retardasi
mental), penyakit fisik yang berat, gangguan pendengaran, dan eksaserbasi akut
selama pengambilan data. Dengan purposive sampling, yakni sesuai dengan
kriteria tersebut, diperoleh 34 subjek penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa konseling eklektik mempunyai efek yang secara statistik signifikan
terhadap peningkatan skor Social and Occupational Functioning Assessment
Scale (SOFAS). Kelompok subjek yang mendapatkan konseling eklektik rata-rata
mengalami peningkatan skor SOFAS sebesar 7.13 poin lebih tinggi daripada
subjek yang tidak mendapatkan konseling eklektik (b = 7.13; CI 95% 2.19 hingga
12.06; p=0.006). Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Zimmer
et al. (2007) dan Ucok et al. (2002) yang menyimpulkan bahwa konseling eklektik
dapat meningkatkan kapasitas fungsi sosial pasien skizofrenia yang meliputi aspek
hubungan interpersonal, perbaikan emosi, dan aktivitas personal. Hasil penelitian
ini juga menunjukkan, konseling eklektik efektif untuk meningkatkan kualitas
hidup, yakni menurunkan skor Clinical Global Impression for Quality of Life
(CGI-QL) secara statistik signfikan. Kelompok subjek yang mendapatkan
konseling eklektik rata-rata mengalami penurunan skor CGIQL sebesar -1.19 poin
lebih rendah dibandingkan dengan subjek yang tidak mendapatkan konseling
eklektik (b = -1.19; CI 95 % -2.12 hingga -0.26; p=0.014). Kesimpulan penelitian
ini bahwa peningkatan kapasitas fungsi sosial dapat meningkatkan kualitas hidup
pasien skizofrenia.
Perbedaan penelitian Rosita (2011) dengan peneliti adalah pada variabel
penelitian yaitu mengaitkan konseling eklektik untuk meningkatkan kapasitas
fungsi sosial dan kualitas hidup pada pasien skizofrenia. Namun memiliki
kesamaan dalam hal mengidentifikasi kapasitas fungsi sosial dan kualitas hidup
pada pasien skizofrenia. Istilah kapasitas fungsi sosial yang digunakan dalam
istilah kesehatan jiwa tidak digunakan, namun menggunakan istilah partisipasi
sosial ekonomi.
Penelitian oleh Rubbyana (2012) berjudul “Hubungan antara Strategi
Koping dengan Kualitas Hidup Pada Penderita Skizofrenia Remisi Simptom”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara
strategi koping dengan kualitas hidup pada penderita skizofrenia remisi simptom.
Jumlah subjek 20 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah accidental
sampling. Kriteria untuk sampel penelitian yaitu (1) penderita yang didiagnosis
skizofrenia oleh dokter atau psikiater yang merawat, (2) dalam masa remisi
simptom yang ditentukan berdasarkan rendahnya skor tiap item skala BPRS. Alat
pengumpulan data yang digunakan adalah skala strategi koping terdiri dari 34
butir (α = 0,904), dan skala kualitas hidup penderita skizofrenia terdiri dari 30
butir (α = 0,844), yang merupakan terjemahan dari Self-report Quality of Life
Measure for People with Schizophrenia dibuat oleh Diane Wild (2010). Analisis
data dilakukan dengan menggunakan statistik korelasi product moment Pearson.
Diperoleh nilai korelasi sebesar 0.757 dengan taraf signifikansi 0.001. Hasil
perhitungan menunjukkan ada korelasi positif antara strategi koping dengan
kualitas hidup penderita skizofrenia remisi simptom.
Penelitian Safitri (2010) berjudul “Perbedaan Kualitas Hidup antara Pasien
Skizofrenia Gejala Positif dan Gejala Negatif Menonjol. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui perbedaan kualitas hidup antara pasien skizofrenia gejala positif
dan gejala negatif menonjol dan untuk mengetahui perbedaan proporsi pasien
skizofrenia dengan gejala positif dan negatif menonjol yang memiliki kualitas
hidup yang baik dan tidak baik. Penelitian ini merupakan penelitian observasional
analitik dengan pendekatan studi kontrol kasus yang dilaksanakan pada bulan
Mei- Juli 2010 di RSJD Surakarta. Pengambilan sampel dilaksanakan secara
purposive sampling pada pasien skizofrenia yang pernah mengalami kekambuhan
kurang dari empat kali dengan status ekonomi yang tidak terlalu tinggi dan terlalu
rendah. Sampel dibedakan menjadi gejala positif menonjol dan negatif menonjol
dengan PANSS dan dinilai kualitas hidupnya dengan kuesioner WHO-QoL bref.
Diperoleh 128 data dan dianalisis menggunakan uji normalitas data Kolmogorov-
Smirnov, uji Mann-Whitney, dan uji Chi Kuadrat melalui SPSS 17.0 for Windows.
Hasil penelitian didapatkan (1) rerata kualitas hidup pasien skizofrenia dengan
gejala positif menonjol sebesar 108,94 ± 17,33 dan untuk gejala negatif menonjol
sebesar 63,70 ± 13,78 (2) hasil uji Mann-Whitney didapatkan nilai p = 0,000 (3)
hasil uji Chi Kuadrat didapatkan nilai X2= 36,14 dengan p = 0,000 (OR = 52, 99%
CI = 11,37 – 239,70). Simpulan penelitian bahwa terdapat perbedaan kualitas
hidup yang sangat bermakna antara pasien skizofrenia gejala positif menonjol dan
gejala negatif menonjol serta proporsi pasien skizofrenia yang mempunyai
kualitas hidup baik secara sangat bermakna lebih banyak didapatkan pada
kelompok pasien skizofrenia yang mempunyai gejala positif menonjol daripada
yang negatif menonjol.
Perbedaan penelitian Safitri (2011) dengan peneliti adalah pada variabel
penelitian yaitu hanya mengaitkan perbedaan kualitas hidup antara gejala positif
dan gejala negatif menonjol pada pasien skizofrenia. Namun memiliki kesamaan
dalam hal mengidentifikasi kualitas hidup pada pasien skizofrenia. Gejala positif
dan negatif ini memiliki kesamaan dalam kondisis kejiwaan pasien saat dilakukan
penelitian.
Penelitian Hudson (2005) berjudul “Sosioeconomic Status and Mental
Illness: Tests of the Social Causation and Selection Hypotheses”. Menurut
Hudson (2005) status sosial ekonomi memiliki korelasi negatif dengan gangguan
jiwa. Pendapat ini didasarkan pada sebuah studi yang meneliti 34.000 pasien
dengan dua atau lebih rawat inap psikiatri di Massachusetts selama 1994-2000.
Kesimpulannya bahwa pengangguran, kemiskinan dan tunawisma berkorelasi
dengan risiko penyakit mental. Kondisi sosial ekonomi yang miskin, risiko lebih
tinggi adalah untuk cacat mental dan rawat inap psikiatri. Status sosial ekonomi
dinilai atas dasar pendapatan masyarakat, pendidikan dan status pekerjaan. Studi
ini memberikan bukti kuat bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan
perkembangan penyakit mental secara langsung, maupun tidak langsung bersama-
sama dengan kondisi stres ekonomi yang tidak menguntungkan pada kelompok
pendapatan rendah.
Penelitian Santoso (2004) berjudul “Gambaran Faktor-Faktor Beban
Kemiskinan dengan Stress Kejiwaan Pasien Pasca Rawat Inap Pengguna Kartu
Sehat di Wilayah Kerja Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Jambi”. Hasil
penelitian menunjukan bahwa gambaran beban kemiskinan yang dapat
menyebabkan stress berdasarkan urutan besarnya penyebab adalah lingkungan
pekerjaan (58,8%), kesesuaian pekerjaan (56,9%) jumlah anggota keluarga
(45,1%), pemilikan rumah (45,9%) dan pendapatan (37,3%). Untuk dapat
menekan kejadian strees yang disebabkan beban kemiskin yang meliputi:
kesesuaian pekerjaan, lingkunan pekerjaan, jumlah anggota keluarga, kepemilikan
rumah, dan pendapatan, dapat disarankan kepada pemerintah untuk penyediakan
lapangan pekerjaan baru, membuat standarisasi lingkungan pekerjaan,
memaksimalkan program keluarga berencana dan membuat program-program
yang dapat menurunkan angka kemiskinan.
Perbedaan penelitian Hudson (2005) dan Santoso (2004) dengan peneliti
adalah pada variabel penelitian yaitu hanya mengaitkan status sosial ekonomi
dengan dengan gangguan jiwa khususnya pada pasien skizofrenia. Namun
memiliki kesamaan dalam hal mengidentifikasi faktor sosial ekonomi pada pasien
skizofrenia. Asumsi penelitian ini adalah seseorang dengan sosial ekonomi rendah
akan memiliki kecenderungan untuk mengalami gangguan jiwa namun sebaliknya
seseorang yang mengalami gangguan jiwa pada akhirnya akan mengalami
hambatan dalam kehidupan sehari-hari, pekerjaan dan sosial ekonominya.