bab ii kajian pustaka 2.1 teori keagenan (agency theory) ii.pdfperusahaan dan berkewajiban untuk...
TRANSCRIPT
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori keagenan pada dasarnya merupakan teori yang muncul karena
adanya konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Teori ini mengasumsikan
bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya
sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen.
Prinsipal mengontrak agen untuk melakukan pengelolaan sumber daya dalam
perusahaan dan berkewajiban untuk memberikan imbalan kepada agen sedangkan
agen berkewajiban melakukan pengelolaan sumber daya yang dimiliki oleh
perusahaan dan bertanggungjawab atas tugas yang dibebankan kepadanya (Jensen
dan Meckling, 1976). Lane (2000:31) menyatakan bahwa hubungan prinsipal dan
agen terjadi apabila tindakan yang dilakukan seseorang memiliki dampak pada
orang lain atau ketika seseorang sangat tergantung pada tindakan orang lain.
Pengaruh atau ketergantungan ini diwujudkan dalam kesepakatan-kesepakatan
dalam struktur institusional pada berbagai tingkatan, seperti norma perilaku dan
konsep kontrak antara keduanya.
Teori keagenan dilandasi oleh 3 (tiga) asumsi yaitu (a) asumsi tentang sifat
manusia; (b) asumsi tentang keorganisasian dan (c) asumsi tentang informasi.
Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat
mementingkan diri sendiri (self interest) memiliki keterbatasan rasionalitas
(bounded rationality) dan tidak menyukai resiko (risk aversion). Asumsi
keorganisasian menekankan adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi
sebagai kriteria produktivitas. Asimetri informasi (asimmetric information)
11
merupakan informasi yang tidak seimbang karena perbedaan distribusi informasi
antara prinsipal dan agen (Giraldi, 2001).
Teori keagenan akan terjadi pada berbagai organisasi termasuk dalam
organisasi pemerintahan dan berfokus pada persoalan ketimpangan/asimetri
informasi antara pengelola (agen/pemerintah) dan publik (diwakili prinsipal/
dewan). Prinsipal harus memonitor kerja agen, agar tujuan organisasi dapat
dicapai dengan efisien serta tercapainya akuntabilitas publik (Lane, 2002:82;
Petrie, 2002). Mardiasmo (2007: 20-21) menjelaskan bahwa pengertian
akuntabilitas publik sebagai kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk
memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan
segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak
pemberi amanah (prinsipal) yang memiliki hak untuk meminta
pertanggungjawaban tersebut. Akuntabilitas publik terdiri dari dua macam, yaitu:
(a) pertanggungjawaban atas pengelolaan dana kepada otoritas yang lebih tinggi
(akuntabilitas vertikal), dan (b) pertanggungjawaban kepada masyarakat luas
(akuntabilitas horizontal).
Praktek pelaporan keuangan dalam organisasi sektor publik merupakan suatu
konsep yang didasari oleh teori keagenan. Pemerintah yang bertindak sebagai agen
mempunyai kewajiban menyajikan informasi yang bermanfaat bagi para pengguna
informasi keuangan pemerintah yang bertindak sebagai prinsipal dalam menilai
akuntabilitas dan membuat keputusan baik keputusan ekonomi, sosial, maupun politik
serta baik secara langsung atau tidak langsung melalui wakil-wakilnya (Irwan, 2011).
2.1.1 Hubungan keagenan dalam pengelolaan keuangan daerah
Keagenan dalam pengelolaan keuangan daerah diinterpretasikan dalam
2 (dua) hubungan yaitu: 1) hubungan yang terjadi rakyat sebagai prinsipal dan
12
kepala daerah sebagai agen serta 2) hubungan kepala daerah sebagai prinsipal dan
kepala SKPD sebagai agen.
1) Hubungan rakyat sebagai prinsipal dan kepala daerah sebagai agen
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
menyatakan kepala daerah dipilih oleh rakyat. Mekanisme pemilihan ini
merupakan pemberian otoritas eksekutif dan pelimpahan wewenang rakyat
kepada pemerintah daerah (gubernur, bupati/walikota). Pemerintah daerah
juga menerima pelimpahan wewenang atas pengelolaan sumber daya yang
ada di daerah. Pertanggungjawaban pemerintah daerah selaku agen terhadap
wewenang yang diberikan rakyat, wajib memberikan laporan
pertanggungjawaban atas perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumber
daya yang tertuang dalam APBD kepada rakyat dalam bentuk LKPD yang
telah diaudit oleh BPK. DPRD yang merupakan representasi keterwakilan
rakyat selaku prinsipal adalah pengemban fungsi kontrol terhadap jalannya
pemerintahan di daerah. Fungsi ini sesuai dengan pendapat Lane (2002:81)
dan Petrie (2002) yang menyatakan bahwa prinsipal harus memonitor kerja
agen, agar tujuan organisasi dapat dicapai dengan efisien. Kinerja kepala
daerah akan dinilai dalam laporan pertangungjawabannya kepada DPRD
tentang keberhasilan berbagai program dan kebijakannya yang tercermin pada
realisasi APBD serta opini LKPD yang diperoleh pemerintah daerah.
2) Hubungan kepala daerah sebagai prinsipal dan kepala SKPD sebagai agen
Hubungan kepala daerah sebagai prinsipal dan kepala SKPD sebagai
agen tercermin dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah yang menyatakan bahwa kekuasaan
pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan oleh kepala SKPKD selaku PPKD
dan kepala SKPD selaku pejabat pengguna anggaran (PA) atau pengguna
13
barang daerah. Kedudukan kepala SKPD dan PPKD adalah menerima
wewenang dari kepala daerah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan daerah. Kepala daerah selaku prinsipal wajib melaksanakan sistem
kontrol melalui SPI untuk menjamin bahwa progam dan kegiatan yang
tertuang dalam APBD serta penatausahaan atas pengelolaan keuangan daerah
dapat dijalankan secara baik sehinga tujuan organisasi dapat dicapai. Kepala
SKPD dan PPKD selaku agen wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan
wewenang yang telah diterimanya kepada kepala daerah melalui sekretaris
daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah.
Wujud tanggung jawab tersebut sesuai amanat PP Nomor 8 Tahun
2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, adalah
dalam bentuk laporan keuangan dan laporan kinerja. Kepala SKPD selaku PA
menyusun laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD pada SKPD yang bersangkutan melalui PPK dan menyampaikannya
kepada gubernur/ bupati/ walikota selaku kepala daerah melalui PPKD.
PPKD menyusun laporan keuangan pemerintah daerah berdasarkan laporan
keuangan SKPD serta laporan pertanggungjawaban pengelolaan
perbendaharaan daerah yang setidak-tidaknya terdiri dari laporan realisasi
anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan (PP
Nomor 8, 2006). Gilardi (2001) mengemukakan bahwa hubungan tersebut
merupakan salah satu bentuk hubungan pendelegasian (chains of delegation).
Pendelegasian terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang/prinsipal
memilih orang atau kelompok lain/agen untuk melakukan tindakan sesuai
dengan kepentingan prinsipal (Lupia dan McCubbins, 2000). Hubungan
14
pendelegasian kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dapat dilihat pada
Gambar 2.1
Sumber: Departemen Dalam Negeri, 2007
Gambar 2.1
Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah
Pada tingkatan SKPD, kewenangan Kepala SKPD selaku pengguna
anggaran, didelegasikan kepada pejabat-pejabat di lingkungan SKPD yang
bersangkutan. Pendelegasian tersebut digambarkan pada gambar 2.2.
Sumber: Departemen Dalam Negeri, 2007
Gambar 2.2
Struktur Pengelolaan Keuangan Daerah SKPD
Kepala SKPD dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada
kepala unit kerja pada SKPD yang bersangkutan selaku kuasa pengguna
anggaran (KPA). Pelimpahan sebagian kewenangan tersebut berdasarkan
KEPALA SKPD Selaku Pengguna Anggaran
Kuasa Pengguna Anggaran
PPK - SKPD
PPTK Bendahara
KEPALA DAERAH
(Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah)
SEKRETARIS DAERAH (Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah)
PPKD selaku Bendahara Umum Daerah
KEPALA SKPD selaku Pengguna Anggaran
15
pertimbangan tingkatan daerah, besaran SKPD, besaran jumlah uang yang
dikelola, beban kerja, lokasi, kompetensi, rentang kendali, dan/atau
pertimbangan objektif lainnya (Pasal 11 Permendagri Nomor 21 Tahun
2011). Kepala SKPD menetapkan pejabat yang melaksanakan fungsi tata
usaha keuangan pada SKPD sebagai PPK-SKPD untuk melaksanakan
wewenang atas penggunaan anggaran yang dimuat dalam DPA-SKPD (Pasal
13 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006). Hubungan ini menimbulkan
kewajiban dan tanggung jawab pejabat tata usaha selaku PPK atas
pelaksanaan wewenang yang telah diterimanya kepada kepala SKPD selaku
PA. Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 telah mengatur tugas dari PPKD, PA
dan PPK dalam pengelolaan keuangan daerah adalah sebagai berikut:
a) PPKD memiliki tugas untuk: (1) menyusun dan melaksanakan kebijakan
pengelolaan keuangan daerah; (2) menyusun rancangan APBD dan
rancangan perubahan APBD; (3) melaksanakan pemungutan pendapatan
daerah yang telah ditetapkan dengan peraturan daerah; (4) melaksanakan
fungsi BUD; serta (5) menyusun laporan keuangan daerah dalam rangka
pertanggung-jawaban pelaksanaan APBD;
b) Kepala SKPD selaku PA, wajib untuk: (1) menyelenggarakan
penatausahaan atas pertanggungjawaban anggaran pada SKPD yang
dipimpinnnya; (2) menyusun dan menyampaikan laporan keuangan SKPD
yang dipimpinnya, serta (3) mengawasi pelaksanaan anggaran SKPD yang
dipimpinnya.
c) PPK-SKPD memiliki tugas: (1) melaksanakan verifikasi penatausahaan
keuangan atas pertanggung jawaban yang disampaikan oleh bendahara
16
pengeluaran dan PPTK; (2) melaksanakan akuntansi SKPD serta
(3) menyiapkan laporan keuangan SKPD.
Perbedaan ruang lingkup tugas dalam pengelolaan dan penyusunan laporan
keuangan antara PPKD dan PPK-SKPD dimana PPKD menyusun LKPD yang
melingkupi satu instansi sebagai entitas pelaporan dan PPK-SKPD menyusun
laporan keuangan SKPD yang melingkupi satu unit kerja sebagai entitas akuntansi,
dapat menciptakan masalah keagenan akibat adanya hubungan asimetri informasi
antara PPK dan PPKD. Kualitas laporan keuangan SKPD sebagai entitas
pelaporan sangat dipengaruhi oleh pemahaman PPK-SKPD terhadap aturan
pelaporan keuangan, SPIP dan SAP. Laporan keuangan SKPD ini kemudian
dikonsolidasikan oleh PPKD menjadi LKPD. LKPD sebagai pertanggungjawaban
kepala daerah atas pelaksanaan APBD wajib disajikan berdasarkan SPIP yang
memadai dan sesuai dengan SAP. Kompetensi PPK-SKPD dan PPKD dalam
menerapkan SPIP dan SAP menentukan kualitas laporan keuangan daerah.
2.2 Teori Pembelajaran (Learning Theory)
Pembelajaran menurut Weiss (1990) dalam Robbins dan Judge (2008:69)
adalah setiap perubahan perilaku yang relatif permanen dan terjadi sebagai hasil
dari pengalaman. Pembelajaran tidak hanya dilakukan dan didapat dari
lingkungan pendidikan seperti sekolah saja tetapi pembelajaran terjadi setiap
waktu. Tiga komponen yang dilibatkan dalam pengertian pembelajaran, yaitu:
(a) pembelajaran melibatkan perubahan; (b) perubahan tersebut harus relatif
permanen; serta (c) perlu pengalaman, yang bisa didapat secara langsung melalui
pengamatan atau latihan, ataupun didapat secara tidak langsung.
Robbins dan Judge (2008:70-74) mengemukakan bahwa terdapat 3 (tiga)
teori pembelajaran yaitu:
17
2.2.1 Pengkondisian klasik (classical conditioning),
Pengkondisian klasik merupakan suatu jenis pengkondisian di mana
sebuah individu menanggapi stimulus tertentu yang diperoleh sebagai respon
terhadap sesuatu yang dikenali. Sifat pengkondisian ini adalah pasif.
2.2.2 Pengkondisian operant (operant conditioning)
Pengkondisian operant yaitu suatu jenis pengkondisian yang diinginkan
perilaku untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan atau menghindari sesuatu
yang tidak diinginkan. Teori ini menyatakan bahwa perilaku merupakan fungsi
dari konsekuensi-konsekuensinya. Perilaku operant adalah perilaku secara
sukarela atau yang dipelajari dan merupakan kebalikan dari perilaku refleksi atau
yang tidak dipelajari. Konsep pengondisian operant merupakan bagian dari
konsep Skinner mengenai paham perilaku (behaviorism) menyatakan bahwa
perilaku mengikuti rangsangan dalam cara yang relatif tidak terpikirkan. Konsep-
konsep seperti perasaan dan pikiran tidak diperhitungkan dalam hal ini. Artinya,
individu belajar untuk mengasosiasikan rangsangan dan respon tetapi pikiran
sadar mereka terhadap asosiasi ini adalah tidak relevan.
2.2.3 Pembelajaran sosial
Pembelajaran sosial merupakan pandangan dimana individu dapat belajar
melalui pengalaman tidak langsung ataupun pengalaman langsung yang dirasakan.
Pembelajaran sosial merupakan perluasan dari pengondisian operant yang
mengasumsikan bahwa perilaku adalah akibat dari konsekuensi. Empat proses yang
menjadi dasar untuk menentukan pengaruh model pada individu, yaitu (a) proses
perhatian, individu belajar dari sebuah model hanya ketika mereka mengenali dan
mencurahkan perhatian terhadap fitur-fitur penting, cenderung terpengaruh oleh
model yang menarik. (b) proses penyimpanan, pengaruh sebuah model akan
bergantung pada seberapa baik individu mengingat tindakan model. (c) proses
18
reproduksi motor merupakan proses mengamati model dan diubah menjadi tindakan.
(d) proses penegasan terjadi saat individu akan termotivasi untuk menampilkan
perilaku yang dicontohkan jika tersedia insentif positif atau penghargaan.
2.3 Pendekatan Kontijensi
Teori kontinjensi muncul sebagai bagian yang sangat mendasar karena
berbagai studi dilakukan untuk mencari sifat kontinjensi dalam akuntansi
(Albernathy dan Lillis, 1995 dalam Parkinson, 2012). Donalson (2001) dan Gerdin
dan Greve (2008) berpendapat bahwa pendekatan kontinjensi dapat dilakukan jika
memenuhi asumsi yang menjadi ide dari pendekatan kontijensi sebagai berikut: (a)
tidak ada satupun desain organisasional yang terbaik, yang terstruktur secara pasti dan
tidak terstruktur secara pasti, yang diaplikasikan dalam suatu organisasi serta (b)
beragam desain organisasional tersebut memiliki peluang hasil atau kinerja yang
sama. Terpenuhinya kedua asumsi tersebut merupakan syarat untuk dapat
dilakukannya pengujian kontinjensi dalam bentuk seleksi natural yaitu dengan
menyesuaikan perubahan jumlah populasi (Donalson, 2001; Gerdin dan Greve, 2008).
Tujuan penggunaan pendekatan kontijensi dalam beberapa penelitian adalah
untuk mengidentifikasi berbagai variabel kontijensi yang memengaruhi
perancangan dan penggunaan sistem pengendalian. Hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa ada ketidakkonsistenan antara antara satu peneliti dengan
peneliti lainnya, sehingga disimpulkan bahwa terdapat variabel lain yang
memengaruhinya. Perbedaan hasil temuan tersebut dapat dilakukan dengan
melakukan pendekatan kontijensi (Govindarajan, 1988). Pendekatan kontijensi
memungkinkan adanya variabel-variabel yang dapat bertindak sebagai moderating
maupun intervening. Tuckman (1988) dalam Sugiyono (2013:61) mengemukakan
bahwa variabel intervening merupakan variabel penyela/antara yang memengaruhi
hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen, sehingga
19
variabel independen tidak langsung mempengaruhi berubahnya atau timbulnya
variabel dependen. Pendekatan kontijensi dalam penelitian ini akan digunakan
untuk mengevaluasi hubungan antara kompetensi SDM dengan kualitas laporan
keuangan daerah. Berdasarkan pendekatan diatas, ada dugaan bahwa penerapan
SPIP dan SAP akan memediasi hubungan antara kompetensi SDM dengan
kualitas laporan keuangan.
2.4 Kualitas Laporan Keuangan
2.4.1 Pengertian laporan keuangan menurut PP nomor 71 tahun 2010
Laporan keuangan menurut PP nomor 71 tahun 2010 merupakan laporan
terstruktur mengenai laporan posisi keuangan dan transaksi-transaksi yang
dilakukan oleh suatu entitas pelaporan. Laporan keuangan merupakan bentuk
pertanggungjawaban atas kepengurusan sumber daya ekonomi yang dimiliki
oleh suatu entitas. Laporan keuangan yang diterbitkan harus disusun berdasarkan
standar akuntansi yang berlaku agar laporan keuangan tersebut dapat dibandingkan
dengan laporan keuangan periode sebelumnya atau dibandingkan dengan laporan
keuangan entitas lain.
2.4.2 Kualitas laporan keuangan
Kualitas laporan keuangan merupakan persyaratan normatif yang harus
dipenuhi dalam penyusunan laporan keuangan agar laporan keuangan yang
dihasilkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi para pengguna
laporan keuangan tersebut. Kualitas pelaporan keuangan adalah informasi yang
lengkap dan transparan, dirancang tidak menyesatkan kepada pengguna (Jonas
dan Blanchett, 2000). Laporan keuangan dalam penelitian ini dikatakan
berkualitas jika memenuhi karakteristik kualitatif laporan keuangan yang terdapat
dalam PP Nomor 71 tahun 2010.
20
PP Nomor 71 tahun 2010 menyatakan bahwa karakteristik kualitatif laporan
keuangan adalah ukuran-ukuran normatif yang perlu diwujudkan dalam informasi
akuntansi sehingga dapat memenuhi tujuannya. Keempat karakteristik berikut
merupakan prasyarat normatif yang diperlukan agar laporan keuangan pemerintah
dapat memenuhi kualitas yang dikehendaki yakni :
1) Relevan
Laporan keuangan bisa dikatakan relevan jika informasi yang termuat
di dalamnya dapat memengaruhi keputusan pengguna dengan membantu
mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu atau masa kini, dan memprediksi
masa depan, serta menegaskan atau mengoreksi hasil evaluasi mereka di
masa lalu. Informasi keuangan yang relevan dapat dihubungkan dengan
maksud penggunaannya. Informasi yang relevan antara lain memiliki
karakteristik:
(a) memiliki manfaat umpan balik (feedback value), yaitu informasi
memungkinkan pengguna untuk menegaskan atau mengoreksi
ekspektasi di masa lalu.
(b) memiliki manfaat prediktif (predictive value), yaitu informasi dapat
membantu pengguna untuk memprediksi masa yang akan datang
berdasarkan hasil masa lalu dan kejadian masa kini.
(c) tepat waktu, yakni informasi disajikan tepat waktu sehingga dapat
berpengaruh dan berguna dalam pengambilan keputusan.
(d) lengkap, yakni informasi akuntansi keuangan pemerintah disajikan
selengkap mungkin, yaitu mencakup semua informasi akuntansi yang
dapat memengaruhi pengambilan keputusan. Informasi yang
melatarbelakangi setiap butir informasi utama yang termuat dalam
21
laporan keuangan diungkapkan dengan jelas agar kekeliruan dalam
penggunaan informasi dapat dicegah.
2) Andal
Informasi dalam laporan keuangan bebas dari pengertian yang
menyesatkan dan kesalahan yang material, menyajikan setiap fakta secara
jujur, serta dapat diverifikasi. Informasi yang andal memenuhi karakteristik:
(a) penyajian jujur, yaitu informasi menggambarkan dengan jujur transaksi
serta peristiwa lainnya yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar
dapat diharapkan untuk disajikan.
(b) dapat diverifikasi (veriability), yaitu informasi yang disajikan dalam
laporan keuangan dapat diuji, dan apabila pengujian dilakukan lebih dari
sekali oleh pihak yang berbeda, hasilnya tetap menunjukkan simpulan
yang tidak berbeda jauh.
(c) netralitas, yaitu informasi diarahkan pada kebutuhan umum dan tidak
berpihak pada kebutuhan pihak tertentu.
3) Dapat dibandingkan yaitu informasi yang termuat dalam laporan keuangan
akan lebih berguna jika dapat dibandingkan dengan laporan keuangan periode
sebelumnya atau laporan keuangan entitas pelaporan lain pada umumnya.
Perbandingan dapat dilakukan secara internal dan eksternal. Perbandingan
secara internal dapat dilakukan bila suatu entitas menerapkan kebijakan
akuntansi yang sama dari tahun ke tahun. Perbandingan secara eksternal dapat
dilakukan bila entitas yang diperbandingkan menerapkan kebijakan akuntansi
yang sama. Apabila entitas pemerintah akan menerapkan kebijakan akuntansi
yang lebih baik daripada kebijakan akuntansi yang sekarang diterapkan,
perubahan tersebut diungkapkan pada periode terjadinya perubahan.
22
4) Dapat dipahami yaitu informasi yang disajikan dalam laporan keuangan dapat
dipahami oleh pengguna dan dinyatakan dalam bentuk serta istilah yang
disesuaikan dengan batas pemahaman para pengguna untuk mempelajari
informasi yang dimaksud.
2.4.3 Faktor-faktor yang memengaruhi kualitas laporan keuangan
Macmillan (2003) menyatakan bahwa untuk meningkatkan kualitas
laporan keuangan pemerintah dibutuhkan sumber daya dan arahan yang terdiri
dari: pernyataan konsep akuntansi (statements of accounting concepts),
pernyataan standar akuntansi (statements of accounting standards), kebijakan
akuntansi (accounting policies), petunjuk, pelatihan, bahan-bahan dan tulisan
(manuals, training materials, and text), petunjuk laporan keuangan (financial
statement instruction), akuntan yang memiliki kompetensi dan professional
(accountants with the competence and the professional), kemampuan dalam
teknologi informasi (capabilities in information technology), hukum dan
peraturan yang terkait dengan laporan keuangan (laws and regulations related to
financial reporting), hubungan dengan asosiasi dan badan akuntansi internasional
(links to international accounting bodies and associations).
Arens et al. (2012:349) menyebutkan bahwa tujuan penerapan SPIP adalah
tercapainya laporan keuangan yang berkualitas. Penerapan SPIP yang meliputi
menciptakan lingkungan pengendalian yang baik, melakukan penilaian risiko
yang mungkin dihadapi, melakukan aktifitas pengendalian fisik maupun terhadap
dokumen penting lainnya, menjaga kelancaran arus informasi dan komunikasi serta
melakukan pengawasan terhadap seluruh proses akuntansi dan keuangan yang terjadi
didalam entitas akuntansi sehingga dengan berjalannya seluruh tahapan pengendalian
intern tersebut maka akan tercipta laporan keuangan yang berkualitas.
23
Bastian (2006:55) menyatakan bahwa penyiapan dan penyusunan laporan
keuangan yang berkualitas memerlukan SDM yang menguasai akuntansi
pemerintahan. SDM menjadi faktor kunci dalam menciptakan laporan keuangan
yang berkualitas karena yang menyusun laporan keuangan adalah mereka yang
menguasai SAP. Betapapun bagusnya SAP, tanpa didukung SDM yang handal,
maka laporan keuangan yang berkualitas sulit dicapai.
Nordiawan (2006:49) menyatakan bahwa penerapan SAP berdampak pada
peningkatan kualitas laporan keuangan di pemerintah pusat dan daerah. SAP
adalah prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan
menyajikan laporan keuangan pemerintah sehingga SAP merupakan persyaratan
yang mempunyai kekuatan hukum dalam upaya meningkatkan kualitas laporan
keuangan pemerintah di Indonesia. Penerapan SAP akan mengarahkan sistem
akuntansi dan manajemen keuangan pemerintah yang lebih baik sehingga laporan
keuangan yang dihasilkan mempunyai informasi yang lebih baik.
Agami (2006) mengemukakan tuntutan untuk menerapkan standar
akuntansi telah diamanatkan undang-undang. Dalam menerapkan SAP ini,
pemerintah daerah perlu mempersiapkan SDM yang handal serta memahami
masalah penyusunan laporan keuangan dan sosialisasi SAP. Buruknya kompetensi
SDM dapat mengakibatkan kesalahan dalam memahami dan melaksanakan
metode, teknik dan ketentuan baku yang terdapat dalam standar akuntansi
pemerintahan, sehingga laporan keuangan yang dibuat juga akan salah.
Pengendalian intern yang efektif juga sangat diperlukan agar penerapan
SAP dapat berjalan sebagaimana mestinya, seperti yang dikatakan Arens et al.
(2008:203) bahwa pengendalian internal yang efektif akan memengaruhi
pelaksanaan standar akuntansi dalam menciptakan laporan keuangan yang andal.
Pengendalian intern adalah proses yang dilakukan untuk memberikan keyakinan
24
memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan
efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan
terhadap peraturan perundang-undangan termasuk didalamnya penerapan SAP.
Pernyataan Arens et al. (2008:203) sesuai dengan pernyataan yang tercantum
dalam PP No 8 Tahun 2006 yang menyebutkan SPIP adalah suatu proses yang
dipengaruhi oleh manajemen yang diciptakan untuk memberikan keyakinan yang
memadai dalam pencapaian efektivitas, efisiensi, ketaatan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan keandalan penyajian laporan keuangan
pemerintah. Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan beberapa pendapat diatas
adalah kualitas laporan keuangan pemerintah dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya: kompetensi SDM, kualitas penerapan SPIP serta SAP. Pengaruh
faktor-faktor tersebut terhadap kualitas laporan keuangan dapat secara langsung
maupun tidak langsung.
2.5 Kompetensi SDM
2.5.1 Pengertian Kompetensi
Spencer dan Spencer (1993:41) menyatakan bahwa kompetensi adalah
“an underlying characteristic of an individual that is casually related to criterion
– referenced effective and/or superior performance in a job or situation”.
(karakteristik dasar seseorang yang memengaruhi cara berpikir dan bertindak,
membuat generalisasi terhadap segala situasi yang dihadapi, serta bertahan cukup
lama dalam diri manusia). Kompetensi menurut Boyatzis (1982:96) merupakan
kombinasi pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan dalam bidang karir tertentu
yang memungkinkan seseorang untuk melakukan tugas atau fungsi sesuai
keahliannya. Jing (1998) mendefinisikan kompetensi dalam akuntansi sebagai
seperangkat pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan bagi seseorang
untuk bekerja sebagai seorang akuntan. Pendapat ini sejalan dengan pasal 1 ayat 10
25
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan
bahwa kompetensi adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai standar yang ditetapkan.
Efendy (2010) memberikan batasan bahwa kompetensi adalah segala
bentuk perwujudan, ekspresi, dan representasi dari motif, pengetahuan, sikap,
perilaku utama agar mampu melaksanakan pekerjaan dengan sangat baik atau
yang membedakan antara kinerja rata-rata dengan kinerja superior. Sudarmanto
(2009:86) mengemukakan bahwa kompetensi dapat digambarkan sebagai
kemampuan untuk melaksanakan satu tugas, peran atau tugas, kemampuan
mengintegrasikan pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan, sikap-sikap dan nilai-
nilai pribadi, dan kemampuan untuk membangun pengetahuan dan keterampilan
yang didasarkan pada pengalaman dan pembelajaran yang dilakukan. Kompetensi
menurut Sudarmanto (2009:86) disimpulkan sebagai sebuah pernyataan terhadap
apa yang seseorang harus lakukan ditempat kerja untuk menunjukan
pengetahuannya, keterampilannya dan sikap sesuai standar yang dipersyaratkan.
Definisi kompetensi dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
kemampuan seseorang yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap
dalam pelaksanaan tugas jabatannya secara professional, efektif, dan efisien sesuai
dengan standar yang ditetapkan.
2.5.2 Karakteristik kompetensi
Sebagai karakteristik individu yang melekat, kompetensi terlihat pada cara
berperilaku seseorang di tempat kerja. Kompetensi memiliki ciri atau karakteristik
yang dipakai untuk membedakan antara seseorang yang berkinerja unggul dengan
seseorang yang berkinerja rata-rata atau seseorang yang perilaku efektif dan
perilaku yang tidak efektif. karakteristik kompetensi bagi organisasi, dapat
26
membantu proses rekruitmen, seleksi, menentukan imbalan, pengembangan
sumber daya manusia dan penilaian kinerja.
Spencer dan Spencer (1993:73) serta Tucker dan Cofsky (1994),
mengemukakan terdapat lima jenis sumber kompetensi yang berbeda yaitu;
1) Motif (motives), adalah sesuatu yang konsisten dipikirkan atau diinginkan
sehingga menyebabkan suatu tindakan. Motif akan mendorong, mengarahkan
perilaku, terhadap tindakan atau tujuan tertentu dan tidak pada yang lainnya.
2) Karakter (traits), merupakan karakteristik mental seseorang dan konsistensi
respon terhadap rangsangan, tekanan, situasi atau informasi.
3) Konsef diri (self concepts), adalah gambaran tentang nilai luhur, yang dijunjung
tinggi seseorang, serta bayangan diri atau sikap terhadap sesuatu yang ideal,
dicita-citakan yang diwujudkan dalam pekerjaan dan kehidupannya. Sebetulnya
sikap itu tidak sesederhana yang dibayangkan orang kalau belum diwujudkan
dalam bentuk perilaku. Sikap yang dalam psikologi sosial disebut sebagai
attitude dapat saja mengarah kepada benda, orang, peristiwa, pandangan,
lembaga, norma, nilai, dan lain-lain.
4) Pengetahuan (knowledge), merupakan kemampuan seseorang yang terbentuk
dari informasi yang dimiliki dalam bidang kajian tersebut. Sumber-sumber
pengetahuan diperoleh dari hasil telaah (study, learning) dan pengalaman
(experience) serta intuisi (intuition). Sofo (1999:78) lebih lanjut menyatakan
pengetahuan sebagai kemampuan untuk menyelesaikan tugas tertentu melalui
belajar. Belajar adalah mengaitkan secara bersama-sama antara data dengan
informasi, pengalaman, dan sikap yang dimiliki seseorang.
27
5) Keterampilan (skill), adalah kemampuan untuk melakukan aktifitas fisik dan
mental. Kompetensi keterampilan mental atau kognitif meliputi, pemikiran
analitis (memproses pengetahuan atau data, menentukan sebab dan pengaruh,
mengorganisasi data dan rencana), dan pemikiran konseptual.
Motif dan karakter termasuk dalam hidden competency karena sulit untuk
dikembangkan dan sulit mengukurnya. Pengetahuan dan keterampilan disebut
visible competency yang cenderung terlihat, mudah dikembangkan dan mudah
mengukurnya, konsep diri berada di antara kedua kriteria kompetensi tersebut
(Spencer dan Spencer, 1993:54; Tucker dan Cofsky, 1994). McClelland
menganalogikan kompetensi seperti gunung es yang mana keterampilan dan
pengetahuan membentuk puncaknya yang berada di atas air. Bagian yang ada di
bawah permukaan air tidak terlihat dengan mata telanjang, namun menjadi fondasi
dan memiliki pengaruh terhadap bentuk dari bagian yang berada di atas air. Peran
sosial dan citra diri berada pada bagian sadar seseorang, sedangkan motif dan
karakter seseorang berada pada alam bawah sadar.
Wyatt dalam Ruky (2003:106) menyatakan kompetensi merupakan kombinasi
dari keterampilan, pengetahuan, dan perilaku yang dapat diamati dan diterapkan
secara kritis untuk suksesnya sebuah organisasi dan prestasi kerja serta kontribusi
pribadi karyawan terhadap organisasinya. Pendapat Wyatt ini serupa dengan pendapat
Sudarmanto (2009:86) dan Irwan (2011) yang mengemukakan bahwa secara umum
sistem kompetensi yang digunakan perusahaan/organisasi terdiri dari pengetahuan,
keterampilan dan perilaku, yang diberlakukan terhadap SDM dalam mencapai tujuan
organisasi perusahaan/organisasi. Konsep kompetensi menurut Ruky (2003:107-108)
dipergunakan dalam suatu organisasi dengan alasan dan tujuan yang bervariasi
sebagai berikut: (a) memperjelas standar kerja dan harapan yang ingin dicapai;
(b) menjadi alat seleksi pegawai; (c) memaksimalkan produktivitas; (d) dasar dalam
28
pengembangan sistem remunerasi; (e) memudahkan adaptasi terhadap perubahan, dan
(f) menyelaraskan perilaku kerja dengan nilai-nilai organisasi.
2.5.3 Klasifikasi kompetensi
Muins (2000:40) menyatakan bahwa terdapat tiga jenis kompetensi, yaitu:
kompetensi profesi, kompetensi individu dan kompetensi sosial. Kompetensi
profesi merupakan kemampuan untuk menguasai keterampilan/keahlian pada
bidang tertentu, sehingga tenaga kerja maupun bekerja dengan tepat, cepat teratur
dan bertanggung jawab. Kompetensi individu merupakan kemampuan yang
diarahkan pada keunggulan tenaga kerja, baik penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) maupun daya saing kemampuannya. Kompetensi sosial
merupakan kemampuan yang diarahkan pada kemampuan tenaga kerja dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan, sehingga mampu mengaktualisasikan
dirinya di lingkungan masyarakat maupun lingkungan kerjanya.
Penetapan standar kompetensi menurut Maarif (2003:16), dapat diprioritaskan
pada pengetahuan, keterampilan dan sikap, baik yang bersifat hard competencies
maupun soft competencies. Soft/generic competencies menurut Spencer dan Spenser
(1993:86) meliputi enam kelompok kompetensi, yaitu:
1) Kemampuan merencanakan dan mengimplementasikan (motivasi untuk
berprestasi, perhatian terhadap kejelasan tugas, ketelitian dan kualitas kerja,
proaktif dan kemampuan mencari dan menggunakan informasi).
2) Kemampuan melayani (empati, berorientasi pada pelanggan).
3) Kemampuan memimpin (kemampuan mengembangkan orang lain, kemampuan
mengarahkan kerjasama kelompok, kemampuan memimpin kelompok).
4) Kemampuan berpikir (berpikir analisis, berpikir konseptual, keahlian
teknis/profesional/manajerial).
29
5) Kemampuan bersikap dewasa (kemampuan mengendalikan diri, fleksibilitas,
komitmen terhadap organisasi).
2.5.4 Kompetensi Aparatur
Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 46A Tahun 2003
menyatakan bahwa kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki
seorang PNS berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan
dalam pelaksanaan tugas jabatannya, sehingga PNS tersebut dapat melaksanakan
tugasnya secara professional, efektif, dan efisien. Pengertian kompetensi menurut
Surat Keputusan Mendiknas Nomor 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Perguruan
Tinggi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki
seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam
melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu.
Suprapto (2002:3) berpendapat bahwa standar kompetensi minimal
mengandung empat komponen pokok, yaitu: (a) pengetahuan; (b) keterampilan;
(c) perilaku dan (d) kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan kepada orang lain. Suprapto (2002:3) menjelaskan bahwa kualifikasi
PNS dapat ditinjau dari tiga unsur utama, yaitu: keahlian, kemampuan teknis dan
sifat-sifat personil yang baik. Keahlian PNS antara lain: (a) memiliki pengalaman
yang sesuai dengan tugas dan fungsinya; (b) memiliki pengetahuan yang mendalam
dibidangnya; (c) memiliki wawasan yang luas dan (d) beretika. Memahami tugas-
tugas dibidangnya merupakan kemampuan teknis yang harus dimiliki PNS dan sifat-
sifat pegawai yang baik antara lain harus memiliki disiplin yang tinggi, jujur, sabar,
menaruh minat, terbuka, objektif, pandai berkomunikasi, selalu siap dan terlatih.
Pengembangan kompetensi aparatur dilakukan melalui program pendidikan
dan pelatihan. Pelatihan menurut Smith (2000:2) adalah proses terencana untuk
mengubah sikap/perilaku, pengetahuan dan keterampilan melalui pengalaman belajar
untuk mencapai kinerja yang efektif dalam sebuah kegiatan atau sejumlah kegiatan.
30
Pendidikan dan pelatihan bagi pegawai harus diberikan secara berkala agar setiap
pegawai terpelihara kompetensinya untuk peningkatan kinerja organisasi melalui
peningkatan produktivitas, efektitas dan efisiensi organisasi (Donalson dan Scannel,
1993; Schuler dan Jackson, 1997: 325, Simanjuntak, 2007: 58; Rivai, 2009: 213).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN)
mengatur tentang pengembangan kompetensi pegawai melalui pendidikan dan
pelatihan. Pasal 70 disebutkan bahwa setiap pegawai ASN memiliki hak dan
kesempatan untuk mengembangkan kompetensi. Setiap instansi pemerintah wajib
menyusun rencana pengembangan kompetensi ASN dalam rangka pengembangan
karir PNS. Pengukuran kompetensi ASN dalam pengembangan karir PNS antara lain:
a) Kompetensi teknis yang diukur dari tingkat dan spesialisasi pendidikan,
pelatihan teknis fungsional dan pengalaman bekerja secara teknis.
b) Kompetensi manajerial yang diukur dari tingkat pendidikan, pelatihan struktural
atau manajemen, dan pengalaman kepemimpinan.
c) Kompetensi sosial kultural yang diukur dari pengalaman kerja berkaitan dengan
masyarakat majemuk dalam hal agama, suku, dan budaya sehingga memiliki
wawasan kebangsaan.
2.6 Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
2.6.1. Konsep dan pengertian
Rai (2011:283) menyatakan bahwa SPI merupakan kebijakan dan prosedur
yang dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai bagi manajemen bahwa
organisasi mencapai tujuan dan sasarannya. Mulyadi (1997) menyebutkan bahwa
sistem pengendalian intern meliputi struktur organisasi, metode dan ukuran-ukuran
yang dikoordinasikan untuk menjaga kekayaan organisasi, mengecek ketelitian dan
keandalan data akuntansi, mendorong efisiensi dan mendorong terpenuhinya
kebijaksanaan manajemen. PP No 8 Tahun 2006 menyebutkan bahwa SPIP adalah
suatu proses yang dipengaruhi oleh manajemen yang diciptakan untuk memberikan
31
keyakinan yang memadai dalam pencapaian efektivitas, efisiensi, ketaatan terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan keandalan penyajian laporan
keuangan pemerintah.
2.6.2 Unsur-unsur sistem pengendalian intern pemerintah
Unsur-unsur SPIP menurut PP No 60 Tahun 2008, mengacu pada unsur SPI
yang telah dipraktikan pada lingkungan pemerintahan di berbagai negara, meliputi:
1) Lingkungan pengendalian
Pimpinan instansi pemerintah dan seluruh pegawai harus menciptakan dan
memelihara lingkungan pengendalian dalam keseluruhan organisasi yang
menimbulkan perilaku positif dan mendukung terhadap pengendalian intern dan
manajemen yang sehat. Lingkungan pengendalian mencakup (a) penegakan integritas
dan nilai etika; (b) komitmen terhadap kompetensi; (c) kepemimpinan yang kondusif;
(d) pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan; (e) pendelagasian
wewenang dan tanggung jawab yang tepat; (f) penyusunan dan penerapan kebijakan
yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia; (g) perwujudan peran aparat
pengawasan intern pemerintah yang efektif; serta (h) hubungan kerja yang baik
dengan instansi pemerintah terkait.
2) Penilaian risiko
Pengendalian intern harus memberikan penilaian atas risiko yang dihadapi
unit organisasi baik dari luar maupun dari dalam. Penilaian risiko terdiri atas
(a) identifikasi risiko; dan (b) analisis risiko.
3) Kegiatan pengendalian
Kegiatan pengendalian membantu memastikan bahwa arah pimpinan Instansi
Pemerintah dilaksanakan. Kegiatan pengendalian harus efisien dan efektif dalam
pencapaian tujuan organisasi. Kegiatan pengendalian terdiri atas: (a) reviu atas
kinerja instansi pemerintah yang bersangkutan; (b) pembinaan sumber daya manusia;
(c) pengendalian atas pengelolaan sistem informasi; (d) pengendalian fisik atas aset;
32
(e) pemisahan fungsi; (f) pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan
kejadian; (g) dokumentasi yang baik atas sistem pengendalian intern serta transaksi
dan kejadian penting serta (h) pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya.
4) Informasi dan komunikasi
Informasi harus dicatat dan dilaporkan kepada instansi pemerintah dan pihak
lain yang ditentukan. Informasi disajikan dalam suatu bentuk dan sarana tertentu serta
tepat waktu sehingga memungkinkan pimpinan instansi pemerintah melaksanakan
pengendalian dan tanggung jawabnya. Penyelenggaraan sistem informasi yang efektif
oleh pimpinan instansi pemerintah mesti: (a) menyediakan dan memanfaatkan
berbagai bentuk dan sarana komunikasi; (b) mengelola, mengembangkan, dan
memperbaharui sistem informasi secara terus menerus.
5) Pemantauan
Pemantauan harus dapat menilai kualitas kinerja dari waktu ke waktu dan
memastikan bahwa rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya dapat segara ditindak
lanjuti. Pemantauan sistem pengendalian intern dilaksanakan melalui pemantauan
berkelanjutan, evaluasi terpisah, tindak lanjut hasil rekomendasi audit dan reviu
lainnya.
2.7 Standar Akuntansi Pemerintahan menurut PP 71 Tahun 2010
Mahsun (2006) menyatakan bahwa standar akuntansi sektor publik
adalah prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan
menyajikan laporan keuangan organisasi sektor publik. SAP mengatur penyajian
laporan keuangan untuk tujuan umum dalam rangka meningkatkan
keterbandingan laporan keuangan baik terhadap anggaran, antar periode, maupun
antar entitas. Untuk mencapai hal tersebut, SAP menetapkan seluruh
pertimbangan dalam rangka penyajian laporan keuangan, pedoman struktur
laporan keuangan dan persyaratan minimum isi laporan keuangan (Zeyn, 2011).
33
Pengembangan SAP menurut Nordiawan (2006:68) mengacu pada praktik-praktik
terbaik di tingkat internasional dengan tetap mempertimbangkan kondisi di
Indonesia, baik peraturan perundangan dan praktik-praktik akuntansi yang berlaku
maupun kondisi sumber daya manusia. Penerapan SAP akan berdampak pada
peningkatan kualitas laporan keuangan di pemerintah pusat dan daerah. Informasi
keuangan pemerintahan akan dapat menjadi dasar pengambilan keputusan dan
terwujudnya transparansi serta serta akuntabilitas pemerintah.
Pemerintah Indonesia sudah menetapkan standar akuntansi untuk
pemerintahan yang disebut SAP yang tertuang dalam PP Nomor 71 Tahun 2010
tentang SAP. Lingkup Peraturan Pemerintah ini meliputi SAP berbasis akrual dan
SAP berbasis kas menuju akrual. SAP berbasis akrual dapat segera diterapkan
oleh setiap entitas sejak tanggal ditetapkan yaitu 22 Oktober 2010 sedangkan SAP
berbasis kas menuju akrual berlaku selama masa transisi bagi entitas yang belum
siap untuk menerapkan SAP berbasis akrual (PP No. 71 Tahun 2010).
Ketidaksiapan ini pada umumnya terjadi karena: (a) keterbatasan kemampuan
SDM yang dimiliki oleh pemerintah daerah; (b) belum intensifnya pelaksanaan
pelatihan dan sosialisasi PP Nomor 71 Tahun 2010; (c) belum diterbitkannya
peraturan daerah mengenai penerapan akuntansi berbasis akrual dan (d) belum
memiliki sistem/aplikasi pengelolaan keuangan yang mendukung terlaksananya
penerapan akuntansi berbasis akrual (IHPS I, 2014).
Kabupaten Tabanan sebagai obyek dalam penelitian ini sampai dengan
tahun 2014 masih menerapkan SAP berbasis kas menuju akrual sebagai persiapan
penerapan SAP berbasis akrual pada tahun 2015. Standar ini dinyatakan dalam
bentuk pernyataan standar akuntansi sektor publik dan memuat rumusan secara
terperinci elemen-elemen standar akuntansi yang terdiri atas sebuah kerangka
konseptual dan 11 (sebelas) pernyataan. Kerangka konseptual akuntansi
34
pemerintahan merumuskan konsep yang mendasari penyusunan dan penyajian
laporan keuangan pemerintah pusat dan daerah serta berfungsi sebagai pedoman
jika terdapat masalah akuntansi yang belum dinyatakan dalam SAP.
Laporan keuangan pokok pemerintah daerah menurut PP Nomor 71 tahun
2010 terdiri dari: (a) laporan realisasi anggaran (LRA); (b) neraca; (c) laporan arus
kas (LAK) dan (d) catatan atas laporan keuangan (CaLK). Penyajian laporan kinerja
dan laporan perubahan ekuitas diperkenankan untuk disajikan selain laporan
keuangan pokok pemerintah daerah. Penjelasan PP Nomor 71 tahun 2010 memuat
pernyataan standar akuntansi pemerintahan, yang selanjutnya disebut PSAP. PSAP
terdiri dari 11 (sebelas) pernyataan standar yaitu:
1) PSAP No 01 tentang penyajian laporan keuangan
Pernyataan standar ini memiliki tujuan untuk mengatur penyajian laporan
keuangan untuk tujuan umum (general purpose financial statements) dalam rangka
meningkatkan keterbandingan laporan keuangan baik terhadap anggaran, antar
periode, maupun antar entitas. Laporan keuangan untuk tujuan umum adalah laporan
keuangan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan bersama sebagian besar
pengguna laporan. Standar ini menetapkan seluruh pertimbangan dalam rangka
penyajian laporan keuangan, pedoman struktur laporan keuangan, dan persyaratan
minimum isi laporan keuangan untuk mencapai tujuan umum laporan keuangan.
Laporan keuangan disusun dengan menerapkan basis kas untuk pengakuan pos-pos
pendapatan, belanja, dan pembiayaan, serta basis akrual untuk pengakuan pos-pos
aset, kewajiban, dan ekuitas dana. Pengakuan, pengukuran, dan pengungkapan
transaksi-transaksi spesifik dan peristiwa-peristiwa yang lain, diatur dalam standar
akuntansi pemerintahan lainnya.
2) PSAP No 02 tentang LRA
Tujuan standar LRA adalah menetapkan dasar-dasar penyajian LRA untuk
pemerintah dalam rangka memenuhi tujuan akuntabilitas sebagaimana ditetapkan
35
oleh peraturan perundang-undangan. Pelaporan realisasi anggaran bertujuan untuk
memberikan informasi tentang realisasi dan anggaran entitas pelaporan secara
tersanding. Penyandingan antara anggaran dan realisasinya menunjukkan tingkat
ketercapaian target-target yang telah disepakati antara legislatif dan eksekutif
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
3) PSAP No 03 tentang LAK
Tujuan pernyataan standar LAK adalah mengatur penyajian laporan arus
kas yang memberikan informasi historis mengenai perubahan kas dan setara kas
suatu entitas pelaporan dengan mengklasifikasikan arus kas berdasarkan aktivitas
operasi, investasi aset nonkeuangan, pembiayaan, dan nonanggaran selama satu
periode akuntansi. Pelaporan arus kas memiliki tujuan untuk memberikan
informasi mengenai sumber, penggunaan, perubahan kas dan setara kas selama
suatu periode akuntansi dan saldo kas dan setara kas pada tanggal pelaporan.
Informasi ini disajikan untuk pertanggungjawaban dan pengambilan keputusan.
4) PSAP No 04 tentang CaLK
PSAP ini bertujuan untuk mengatur penyajian dan pengungkapan yang
diperlukan pada CaLK. CaLK dimaksudkan agar laporan keuangan dapat
dipahami oleh pembaca secara luas, tidak terbatas hanya untuk pembaca tertentu
ataupun manajemen entitas pelaporan. Laporan keuangan mungkin mengandung
informasi yang dapat mempunyai potensi kesalahpahaman di antara pembacanya,
sehingga dalam laporan keuangan harus dibuat CaKL yang berisi informasi untuk
memudahkan pengguna dalam memahami laporan keuangan.
5) PSAP No 05 tentang akuntansi persediaan
Pernyataan standar ini untuk mengatur perlakuan akuntansi persediaan dan
informasi lainnya yang dianggap perlu disajikan dalam laporan keuangan.
Persediaan mencakup barang atau perlengkapan yang dibeli dan disimpan untuk
36
digunakan, misalnya barang habis pakai seperti alat tulis kantor, barang tak habis
pakai seperti komponen peralatan dan pipa, dan barang bekas pakai seperti
komponen bekas. Persediaan dalam hal pemerintah memproduksi sendiri meliputi
barang yang digunakan dalam proses produksi seperti bahan baku pembuatan alat-
alat pertanian. Barang hasil proses produksi yang belum selesai dicatat sebagai
persediaan, contohnya alat-alat pertanian setengah jadi.
6) PSAP No 06 tentang akuntansi investasi
Pernyataan standar ini bertujuan untuk mengatur perlakuan akuntansi untuk
investasi dan pengungkapan informasi penting lainnya yang harus disajikan dalam
laporan keuangan. Investasi pemerintah dibagi atas dua yaitu investasi jangka pendek
dan investasi jangka panjang. Investasi jangka pendek merupakan kelompok aset
lancar sedangkan investasi jangka panjang merupakan kelompok aset nonlancar.
7) PSAP No 07 tentang akuntansi aset tetap.
Tujuan pernyataan standar ini adalah mengatur perlakuan akuntansi untuk
aset tetap. Permasalahan utama akuntansi untuk aset tetap adalah saat pengakuan
aset, penentuan nilai tercatat, serta penentuan dan perlakuan akuntansi atas
penilaian kembali dan penurunan nilai tercatat (carrying value) aset tetap.
Pernyataan standar ini mensyaratkan bahwa aset tetap dapat diakui sebagai aset
jika memenuhi definisi dan kriteria pengakuan suatu aset dalam kerangka
konseptual akuntansi pemerintahan.
8) PSAP No 08 tentang akuntansi konstruksi dalam pengerjaan.
Tujuan pernyataan standar konstruksi dalam pengerjaan adalah mengatur
perlakuan akuntansi untuk konstruksi dalam pengerjaan dengan metode nilai
historis. Permasalahan utama akuntansi untuk konstruksi dalam pengerjaan adalah
jumlah biaya yang diakui sebagai aset yang harus dicatat sampai dengan
konstruksi tersebut selesai dikerjakan. Pernyataan standar ini memberikan
37
panduan untuk (a) identifikasi pekerjaan yang dapat diklasifikasikan sebagai
konstruksi dalam pengerjaan; (b) penetapan besarnya biaya yang dikapitalisasi
dan disajikan di neraca; (c) penetapan basis pengakuan dan pengungkapan biaya
konstruksi.
9) PSAP No 09 tentang akuntansi kewajiban.
Pernyataan standar tentang akuntansi kewajiban bertujuan untuk mengatur
perlakuan akuntansi kewajiban meliputi saat pengakuan, penentuan nilai tercatat,
amortisasi, dan biaya pinjaman yang dibebankan terhadap kewajiban. Kewajiban
umumnya timbul karena konsekuensi pelaksanaan tugas atau tanggungjawab untuk
bertindak di masa lalu. Kewajiban dalam konteks pemerintahan antara lain muncul
karena penggunaan sumber pembiayaan pinjaman dari masyarakat, lembaga
keuangan, entitas pemerintahan lain atau lembaga internasional. Kewajiban
pemerintah juga terjadi karena perikatan dengan pegawai yang bekerja pada
pemerintah, kewajiban kepada masyarakat luas yaitu kewajiban tunjangan,
kompensasi, ganti rugi, kelebihan setoran pajak dari wajib pajak, alokasi/realokasi
pendapatan ke entitas lainnya, atau kewajiban dengan pemberi jasa lainnya.
10) PSAP No 10 tentang koreksi kesalahan.
Tujuan pernyataan standar ini adalah mengatur perlakuan akuntansi atas
koreksi kesalahan, perubahan kebijakan akuntansi, dan peristiwa luar biasa.
Laporan keuangan untuk melaporkan pengaruh kesalahan, perubahan kebijakan
akuntansi dan peristiwa luar biasa suatu entitas harus disusun dan disajikan
dengan menerapkan pernyataan standar ini.
11) PSAP No 11 tentang laporan keuangan konsolidasi.
Pernyataan standar ini untuk mengatur penyusunan laporan keuangan
konsolidasian pada unit-unit pemerintahan dalam rangka menyajikan laporan
keuangan untuk tujuan umum (general purpose financial statements) demi
38
meningkatkan kualitas dan kelengkapan laporan keuangan dimaksud. Laporan
keuangan untuk tujuan umum adalah laporan keuangan untuk memenuhi
kebutuhan bersama sebagian besar pengguna laporan termasuk lembaga legislatif
sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.8 Penelitian Terdahulu
Syarif dan Aldiani (2009) meneliti tentang faktor-faktor pendukung
keberhasilan penerapan PP No.71 tahun 2010 pada Pemkab Labuhan Batu dengan
hasil SDM, komitmen dan perangkat pendukung secara simultan berpengaruh
terhadap keberhasilan PP No.71 tahun 2010 di Pemerintahan Kabupaten Labuhan
Batu. Hasil penelitian Fistarini (2009) mengenai penerapan SAP pada
Pemerintahan Kota Padang menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Padang secara
implisit belum mampu menerapkan SAP, yang dapat dilihat dari banyaknya dinas
di Kota Padang yang belum selesai dalam menyusun laporan keuangan. SDM
yang bukan dari bidang ilmu akuntansi dan kurangnya pelatihan-pelatihan yang
dilakukan oleh Pemerintah Kota Padang merupakan salah satu faktor penyebab
lemahnya penerapan SAP di Kota Padang. Penelitian Indriasari dan Nahartyo
(2008), menemukan bukti empiris bahwa SDM di sub bagian akuntansi/ tata usaha
keuangan yang ada di Kota Palembang dan Kabupaten Ogan Ilir masih sangat
kurang dari sisi jumlah maupun kualifikasinya. Hasil penelitian ini berbeda
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Roviyantie (2011) yang memberikan
temuan empiris bahwa sumber daya manusia di sub bagian/tata usaha keuangan
yang ada di Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya sudah mencukupi, baik dari sisi
jumlah maupun kualifikasinya.
Choirunisah (2008) menyimpulkan kemampuan SDM dan organisasi tim
secara simultan berpengaruh terhadap relevansi informasi sebagai karakteristik
kualitas informasi laporan keuangan. Darman (2009) meneliti pengaruh penerapan
39
SAP dan SPIP terhadap kualitas laporan keuangan pemerintah dengan populasi
seluruh auditor pada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Provinsi
Sumatera Barat. Hasil penelitian menunjukan adanya pengaruh yang signifikan
positif antara penerapan standar akuntansi pemerintahan dan penerapan sistem
pengendalian internal pemerintah terhadap kualitas laporan keuangan pemerintah.
Indriasih (2014) meneliti pengaruh kompetensi aparatur pemerintah dan efektifitas
SPIP menuju kualitas pelaporan keuangan pemerintah daerah Kota Tegal, Jawa
Tengah, dan menyimpulkan bahwa kompetensi aparatur pemerintah dan
efektifitas SPIP merupakan penyebab utama lemahnya kualitas pelaporan
keuangan di seluruh unit pemerintah daerah.
Xu, et al. (2003) meneliti faktor kunci dari kualitas informasi akuntansi
studi kasus di Australia. Hasil penelitiannya menyatakan sumber daya manusia,
sistem, organisasi, dan faktor eksternal merupakan faktor kritis menentukan
kualitas informasi akuntansi. Keandalan sistem harus didukung oleh keandalan
SDM dan harus dikontrol agar dapat berjalan dengan baik. Arens et al. (2012:290)
memaparkan bahwa pengendalian dalam perusahaan akan mendorong pemakaian
sumber daya secara efektif dan effisien untuk mengoptimalkan sasaran
perusahaan. Penelitian mengenai kualitas laporan keuangan juga dilakukan oleh
Belkoui (1989) Jonas dan Blanchet (2000) serta McDaniel et al. (2010) yang
menyatakan bahwa kualitas pelaporan keuangan harus menghasilkan informasi
yang lengkap, transparan dan bermanfaat bagi penggunanya. Lobo dan Zhou
(2006); Cohen et al. (2008); Bartov dan Cohen (2009); serta Chambers dan Payne
(2009) membuktikan bahwa adanya undang-undang yang membahas tentang
pengendalian internal atas pelaporan keuangan dapat meningkatkan kualitas
pelaporan di Sarbanes.